Professional Documents
Culture Documents
Netralisasi toksin
Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin yang
akan menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap makrofag akan
menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan
memacu terjadinya reaksi peradangan yang menyebabkan kerusakan sel,
hipotensi, aktivasi sistem koagulasi, gagal organ multipel dan berakhir dengan
kematian. Antibodi yang mengandung reseptor sitokin dan antagonisnya, berperan
dalam menghilangkan sejumlah sitokin dalam sirkulasi dan mencegah sitokin
berikatan pada sel target.
Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik
dan eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi
terhadap bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di
dekat lokasi biologi aktif infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin
dengan sel target. Kedua, melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari
lokasi biologi aktif infeksi yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin
agar tidak dapat bereaksi dengan sel target. Dengan ikatan kompleks bersama
antibodi, toksin tidak dapat berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis,
terutama bila ukuran kompleks membesar karena deposisi komplemen pada
permukaan bakteri akan semakin bertambah.
Opsonisasi
Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen, fibronektin, yang
berfungsi untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi
yang tidak tergantung antibodi dan yang ditingkatkan oleh antibodi.
Pada opsonisasi yang tidak tergantung antibodi, protein pengikat manose dapat
terikat pada manose terminal pada permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r
dan C1s serta berikatan dengan C1q. Proses tersebut akan mengaktivasi
komplemen pada jalur klasik yang dapat berperan sebagai opsonin dan
memperantarai fagositosis. Lipopolisakarida (LPS) merupakan endotoksin yang
penting pada bakteri Gram negatif. Sel ini dapat dikenal oleh tiga kelas molekul
reseptor. Sedangkan opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri
yang resisten terhadap proses fagositosis akan tertarik pada sel PMN dan
makrofag bila telah diopsonisasi oleh antibodi.
Dalam opsonisasi terdapat sinergisme antara antibodi dan komplemen yang
diperantarai oleh reseptor yang mempunyai afinitas kuat untuk IgG dan C3b pada
permukaan fagosit, sehingga meningkatkan pengikatan di fagosit. Efek
augmentasi dari komplemen berasal dari molekul IgG yang dapat mengikat
banyak molekul C3b, sehingga meningkatkan jumlah hubungan ke
makrofag (bonus effect of multivalency). Meskipun IgM tidak terikat secara
spesifik pada makrofag, namun merangsang adesi melalui pengikatan komplemen.
Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum
dapat masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian
sel. Aktivasi komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga
menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari
komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor
kemotaktik terhadap neutrofil untuk membantu fagositosis.
Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba di
lokasi infeksi lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal
kemotaktik yang dikeluarkan oleh bakteri, sel PMN lain, komplemen atau
makrofag lain, yang lebih dahulu tiba di tempat infeksi. Sel PMN sangat peka
terhadap semua faktor kemotaktik.
Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan melakukan adesi
pada dinding sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi. Kemampuan
adesi PMN pada permukaan sel bakteri akan bertambah kuat karena sinyal yang
terbentuk pada proses adesi ini akan merangsang ekspresi Fc dan komplemen
pada permukaan sel. Sel PMN juga akan melakukan proses diapedesis agar dapat
menjangkau bakteri yang telah menginfeksi.
Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan tonjolan
pseudopodia yang berbentuk kantong fagosom untuk mengelilingi bakteri,
sehingga bakteri akan terperangkap di dalamnya, selanjutnya partikel granular di
dalam fagosom akan mengeluarkan berbagai enzim dan protein untuk merusak
dan menghancurkan bakteri tersebut.
Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi
maupun nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat
itu. Oksidasi dapat berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses
oksidasi dengan mieloperoksidase terjadi melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang
terdapat pada mieloperoksidase. Proses ini menghasilkan komplek enzim-subtrat
dengan daya oksidasi tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam
hipoklorat (HOCl).
Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H2O2 dengan
superoksida dan radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses
nonoksidasi berlangsung dengan perantaraan berbagai protein dalam fagosom
yaitu flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin, lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada
proses pemusnahan bakteri, pH dalam sel fagosit dapat menjadi alkalis. Hal ini
terjadi karena protein yang bermuatan positif dalam pH yang alkalis bersifat
sangat toksik dan dapat merusak lapisan lemak dinding bakteri Gram negatif.
Selain itu, bakteri juga dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom menjadi asam
karena aktivitas lisozim. Melalui proses ini PMN memproduksi antibakteri yang
dapat berperan sebagai antibiotika alami (natural antibiotics).
2.4.4 Interleukin 6
IL-6 merupakan polipeptida yang dihasilkan oleh sel imun dan sel non imun, berperan dalam
mengendalikan respon imun dan respon inflamasi. IL–6 diproduksi oleh sejumlah sel seperti :
monosit, makrofag, sel T dan sel B, leukosit polimorfonuklear dan sel Mast. Selain itu, banyak sel
nonimun mampu memproduksi IL–6 seperti sel endotel dan epitel, keratinosit, fibroblas, adiposit, sel
otot polos vaskuler, osteoblas, sel stroma sumsum tulang, sinoviosit, kondrosit, sel Leydig testis, sel
stroma endometrium, dan trofoblas. Pada sistem saraf pusat, IL–6 diekspresikan oleh astrosit, sel
mikroglia, dan sel folikulostelata hipotalamus (Dostatni dkk., 1996; Klipinen, 2003; Baratawidjaja,
2006). Pada percobaan in vivo dan in vitro keikutsertaan IL–6 dalam aktivasi sel T dan differensiasi
sel B dapat diperlihatkan. IL–6 bersama IL– 2 dapat mengendalikan differensiasi sel T menjadi sel T
sitotoksik. Aktivasi sel T sitotoksik ini menghasilkan IL-4. IL-4 bersama dengan IL-6 merangsang
diferensiasi sel B menjadi sel plasma untuk menghasilkan imunoglobulin.. Disamping IL-6 berperan
dalam diferensiasi sel B, IL-6 juga berperan sebagai faktor hemopoetik yaitu merangsang proliferasi
dan diferensiasi sel megakariosit dan meningkatkan jumlah platelet (Dostatni dkk., 1996; Klipinen,
2003 ; Baratawidjaja, 2010). IL–6 bekerja sebagai faktor diferensiasi sel B yang bertanggung jawab
dalam pematangan akhir sel B menjadi sel plasma dan meningkatkan produksi IgM, Ig G dan Ig A. IL–
6 merangsang proliferasi Thymosit dan sel T perifer, serta mendukung aktivasi, proliferasi, dan
diferensiasi sel NK. (Dostatni dkk., 1996; Beckerman 2001, Baratawidjaja ,2010).
2.5 Respon Imun Spesifik terhadap Infeksi Virus Respon imun spesifik terhadap infeksi virus
diperankan oleh :
2.5.1 Limfosit T
Progenitor limfosit T berasal dari sumsum tulang yang bermigrasi ke timus, berdiferensiasi menjadi
sel T. Sel T yang non aktif disirkulasikan melalui kelenjar getah bening (KGB) dan limfa yang
dikonsentrasikan dalam folikel dan zona marginal sekitar folikel. Sel T imatur dipersiapkan dalam
timus untuk memperoleh reseptor. Timosit imature hanya dapat menjadi matang bila reseptornya
tidak berintegrasi dengan peptida sel tubuh sendiri (self antigen) yang diikat MHC dan
dipresentasikan oleh APC. Sawar darah timus melindungi timosit dari kontak dengan antigen sendiri.
Sel T yang self reaktip akan mengalami apoptosis. Proses ini disebut seleksi positip timosit yang
menghasilkan sel T cytotoxic (Tc) atau sel T helper (Th) (Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010).
Kemampuan limfosit T matang untuk mengenal benda asing, karena adanya T Cell
Receptor (TCR). TCR memiliki sifat diversitas, spesifisitas dan memori. Satu sel limfosit hanya
mengekspresikan reseptor untuk satu jenis antigen sehingga sel tersebut hanya dapat mengenal
satu jenis antigen saja. TCR ditemukan pada semua sel T matang, dapat mengenal peptida antigen
yang diikat Major Histocompatibility Complek (MHC) dan dipresentasikan oleh Antigen Presenting
Cell (APC) (Hewitt,2003; Baratawidjaya, 2010).
Sel T umumnya berperan pada inflamasi, aktivasi fagositosis makrofag, aktivasi dan proliferasi sel B
dalam produksi antibodi. Sel T juga berperan dalam pengenalan dan penghancuran sel yang
terinfeksi virus. Sel T terdiri atas sel T helper (Th) yang mengaktifkan makrofag untuk membunuh
mikroba dan sel T cytotoxic (Tc) yang membunuh sel terinfeksi mikroba atau virus dan
menyingkirkan sumber infeksi. Sel T terdiri atas sel CD4+, CD8+, sel T naif dan sel Natural Killer T
(NKT) (Germain, 2002; Baratawidjaya, 2010). Sel limfosit naif adalah sel limfosit matang yang
meninggalkan timus dan belum berdiferensiasi, belum pernah terpapar antigen dan menunjukkan
molekul permukaan CD45RA. Sel T helper disebut juga sel T inducer merupakan subset sel T yang
diperlukan dalam induksi respon imun terhadap antigen asing. Antigen yang ditangkap, diproses dan
dipresentasikan makrofag dalam konteks MHC-II ke sel CD4+. Selanjutnya sel CD4+ diaktifkan dan
memproduksi IL-2 autokrin yang merangsang sel CD4+ untuk berproliferasi menjadi subset sel Th1
dan Th2, mensintesis sitokin yang mengaktifkan sel imun lain seperti CD8+, sel B makrofag dan sel NK
(Germain, 2002; Abbas dkk., 2007; Baratawidjaya, 2010). Sel T CD8+ naif yang keluar dari timus
disebut juga Cytolitic T (CTL) atau Citotoxic T (Tc). CD8+ mengenal kompleks antigen MHC-I yang
dipresentasikan APC. Molekul MHC I ditemukan pada semua sel tubuh yang bernukleus. Fungsi
utama sel CD8+ adalah menyingkirkan sel terinfeksi virus, menghancurkan sel ganas dan sel histoin
kompatibel yang menimbulkan penolakan pada transplantasi. Sel Tc menimbulkan sitolisis melalui
perforin/granzim (apoptosis), TNF-α dan memacu produksi sitokin Th1 dan Th2 (Hewitt, 2003;
Baratawidjaya, 2010).
2.5.2 Limfosit B
Sel B diproduksi pertama selama fase embrionik dan berlangsung terus selama hidup. Sebelum lahir
yolk sac, hati dan sumsum tulang janin merupakan tempat pematangan utama sel B dan setelah lahir
pematangan sel B terjadi di sumsum tulang. Pematangan sel B terjadi dalam berbagai tahap. Pada
unggas, sel B berkembang dalam bursa
fabricius yang terbentuk dari epitel kloaka. Pada manusia belum didapatkan hal yang analog dengan
bursa tersebut dan pematangan sel B terjadi di sumsum tulang atau ditempat yang belum diketahui.
Setelah matang sel B bergerak ke organ limpa, kelenjar getah bening dan tonsil (Busslinger, 2004;
Baratawidjaya, 2010). Reseptor sel B yang mengikat antigen multivalen asing akan memacu proses
proliferasi, diferensiasi menjadi sel plasma yang memproduksi antibodi, membentuk sel memori dan
mempresentasikan antigen ke sel T. Proliferasi sel B merupakan senter germinal kelenjar getah
bening. Reseptor sel B mengawali sinyal transduksi yang efeknya ditingkatkan oleh molekul
konstimulator yang kompleks. Perkembangan sel B dalam sumsum tulang adalah antigen
independen, tetapi perkembangan selanjutnya memerlukan rangsangan antigen. Sel B yang
diaktifkan berkembang menjadi limfoblas, selanjutnya menjadi sel plasma yang memproduksi
antibodi dan sel memori (Busslinger, 2004; Abbas dkk., 2007).
2.5.3 Interleukin 2 (IL-2) Interleukin 2 adalah faktor pertumbuhan sel T yang dirangsang antigen dan
berperan pada ekspansi klon sel T setelah antigen dikenal. Ekspresi reseptor IL-2 ditingkatkan oleh
rangsangan antigen, oleh karena itu sel T yang mengenal antigen merupakan sel utama yang
berproliferasi pada respons imun spesifik. IL-2 meningkatkan proliferasi dan diferensiasi sel T, sel B
dan NK. IL-2 juga mencegah respons imun terhadap antigen sendiri melalui peningkatan apoptosis
sel T (Baratawijaya, 2010). Peningkatan IL-2 dalam tubuh akan meningkatkan produksi CD4+ , dengan
demikian IL-2 juga berfungsi sebagai imunomodulator yaitu pengaturan menyeluruh sistem imun di
dalam tubuh, baik dalam keadaan normal maupun abnormal. Pemberian IL-2 telah terbukti dapat
menekan pertumbuhan beberapa tipe kanker. Treatmen penyakit HIV dengan menggunakan IL-2
jugasudah pernah dilakukan walaupun hasilnya belum signifikan (Waldmann, 2006)
INFLAMASI
Respons inflamasi terjadi dalam tiga fase dan diperantarai oleh mekanisme yang berbeda : a. fase
akut, dengan ciri vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler. b. reaksi lambat, tahap
subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit. c. fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya
degenerasi dan fibrosis (Wilmana, 2007).
1. Kemerahan (rubor) Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke
daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera (Corwin,
2008).
2. Rasa panas (kalor) Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa
panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di
sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi
jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana, 2007).
3. Rasa sakit (dolor) Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal: (1) adanya peregangan
jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan
rasa nyeri, (2) adanya pengeluaran zat – zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin,
histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf – saraf perifer di sekitar radang sehingga
dirasakan nyeri (Wilmana, 2007).
4. Pembengkakan (tumor) Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang
disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan
cairan ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh
darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008).
5. Fungsiolaesa
Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena inflamasi dan sekitarnya akibat
proses inflamasi. (Wilmana, 2007).
Sel dan mediator-mediator dari sistem imun sangat mempengaruhi dalam proser respon inflamasi,
yang khas ditandai dengan 4 fase. Pertama, pembuluh darah didaerah sekitar daerah yang mengalami
jejas memberi respon kepada sistem imun. Kedua, sistem imun dalam pembuluh darah bermigrasi ke
dalam jaringan yang mengalami jejas, dan mekanisme dari sistum imun bawaan dan sistem imun
adaptif untuk menetralisir dan menghilangkan stimulus yang menimbulkan jejas. Selanjutnya adalah
proses perbaikan dan penyembuhan dari jaringan yang mengalami jejas. Dan peristiwa tersebut
merupakan proses dari inflamasi akut. Apabila peristiwa terus berlanjut dan jaringan yang mengalami
jejas tidak mengalami proses penyembuhan, disebut inflamasi kronik. Berikut ini adalah mediator-
mediator inflamasi beserta efeknya :
Inflamasi
Inflamasi merupakan respon yang terjadi untuk melindungi tubuh dari
penyebab kerusakan sel, seperti mikroba atau toksin, dan konsekuensi dari
kerusakan sel tersebut, seperti nekrosis sel atau jaringan. Respon
inflamasi terjadi pada jaringan ikat yang mempunyai pembuluh darah, dan
melibatkan pembuluh darah, plasma dan sel-sel dalam sirkulasi. Selain itu,
inflamasi juga melibatkan matriks ekstra seluler di jaringan, seperti protein
yang berstruktur serat (kolagen dan elastin), molekul adhesi dan
proteoglikan.
Sebenarnya, agak sulit membuat definisi tersendiri untuk inflamasi ini, akan
tetapi yang jelas, proses inflamasi ini adalah kumpulan dari 4 gejala
sekaligus, yaitu dolor (nyeri), rubor (kemerahan), calor (panas)
dan tumor (bengkak). hal ini terjadi karena:
dilatasi pembuluh darah setempat, menyebabkan aliran darah meningkat,
menghasilkan rubor dan calor.
peningkatan permeabilitas kapiler, menyebabkan cairan keluar dari sel dan
pembuluh darah, begitu juga dengan leukosit, terutama netrofil PMN,
makrofag dan monosit, sehingga menghasilkan dolor dan tumor.
Proses inflamasi adalah sebagai berikut:
1. Signalling. Ketika mikroba masuk ke dalam jaringan yang berada di sekitar
pembuluh darah, yang pertama kali terangsang di jaringan adalah makrofag.
Makrofag ini kemudian akan menegeluarkan mediator inflamasi yaitu
interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor (TNF). Kedua molekul
mediator ini menginduksi sel endotel pembuluh darah untuk mengekspresikan
molekul adhesi yaitu selectin-E (CD62E) dan selectin-P. (sebenarnya, selain
kedua jenis selectin ini, ada lagi jenis molekul adhesi yang diekspresikan
endotel yaitu Immunoglobulin superfamily, seperti ICAM dan VCAM).
Molekul adhesi ini akan menarik leukosit yang mengekspresikan molekul
adhesinya yaitu selectin-L (CD62L) (Molekul adhesi leukosit lain bisa berupa
integrin LFA-1, Mac-1, dll). Ketika leukosit lewat di sekitar endotel yang
mengekspresikan selectin-E dan selectin-P ini, selectin-L di leukosit tersebut
akan menimbulkan perlekatan yang lemah dengan kedua molekul tersebut,
sehingga leukosit perlahan akan melekat dengan endotel.
2. Rolling. Setelah terjadi perlekatan lemah antara leukosit dan endotel, perlahan-
lahan ikatan ini menjadi kuat dan semakin kuat. Bahkan aliran darah tidak
dapat melepaskan ikatan ini. Leukosit pun akan menggelinding di sepanjang
endotel pembuluh darah. Perlekatan antara leukosit dan endotel menjadi
semakin kuat karena aktivasi oleh faktor kemotaktik seperti leukotrin
B4,platelet activating factor dean Interleukin-8 dengan cara kerja
meningkatkan afinitas molekul adhesi leukosit untuk molekul adhesi endotel.
3. Emigrasi. Setelah terjadi perlekatan yang lebih kuat antara leukosit dengan
endotel, sel leukosit pun berhenti menggelinding. Seketika, leukosit menembus
dinding endotel tersebut dengan proses diapedesis melalui celah antar sel
endotel.
4. Kemotaksis. Ketika sel leukosit (berupa granulosit seperti netrofil dan
eosinofil) telah bermigrasi ke ekstrasel dari pembuluh darah, ia akan bergerak
ke arah jaringan yang diserang oleh mikroba tadi karena terangsang oleh zat
chemo-attract tertentu yang dihasilkan oleh mikroba (sama seperti pengenalan
sel di proses fagositosis).
5. Fagositosis. Ketika sel leukosit telah bertemu dengan mikroba penyebab
kerusakan sel tersebut, ia akan memfagositnya. Produk dari fagositosis akan
menghasilkan bermacam eksudat sehingga jaringan di sekitar area tersebut
akan membengkak. Bisa juga apabila leukosit tersebut mati, ia akan berubah
menjadi abses atau nanah.
6. Penglepasan Mediator Inflamasi. Sel leukosit yang telah bermigrasi ke
jaringan akan berubah fungsi menjadi sel mast. Granul-granul di dalam sel
mast segera dilepaskan ke area sekitar. Granul tersebut mengandung zat-zat
mediator inflamasi (cell derived mediator), contohnya adalah histamin dan
serotonin. Keduanya akan menyebabkan dilatasi pembuluh darah dan
meningkatkan permeabilitas vaskuler supaya leukosit mudah bermigrasi ke
area tersebut. Selain dua contoh mediator di atas, ada lagi zat mediator
inflamasi lainnya yaitu plasma derived mediator yang dihasilkan oleh
komplemen. Contohnya adalah anafilatoksin yang meningkatkan permeabilitas
pembuluh darah, opsonin yang mempermudah fagositosis mikroba, kinin yang
berefek vasodilatasi, dan lain-lain.
7. Pemulihan. Ketika semua agen mikroba telah mati, inflamasi pun berakhir
perlahan. Biasanya jika inflamasi terjadi di bawah kulit, ia akan pecah keluar
kulit dan menumpahkan derivat inflamasi yang ada.
Fagositosis
Fagositosis merupakan suatu istilah yang secara harafiah berarti sel makan
dapat dipersamakan dengan pimositosis yang berarti sel minum. Fagositosis
merupakan suatu proses atau cara untuk memakan bakteri atau benda asing yang
dilakukan dimana setelah benda asing atau bakteri melekat pada permukaan
makrofag maka makrofag membentuk sitoplasma dan melekuk kedalam
membungkus bakteri atau benda tersebut. Tonjolan sitoplasma yang saling bertemu
itu akan melebur menjadi satu sehingga benda asing atau bakteri akan tertangkap didalam sebuah vakuol
fagostik intra sel. Lisozom yang merupakan suatu system
pencerna intera sel dengan kemampuan memcah materi yang berasal dari luar
maupun dari dalam. Jadi lisozom akan menyatu dengan vakuol dengan demikian
akan memusnahkan bakteri atau
benda asing tersebut.
Benda yang lembam yang tahan terhadap pencernaan dapat tinggal dalam
sitoplasma untuk waktu yang tidak menentu, ini dapat dilihat pada makrofag paru
penumpukan renik karbaon yang disebut Dust sel.
Bentuk dan Sifat Makrofag
Fagosit mononukleus memiliki ciri marfologis dengan spectum luas
berdasarkan keadaan aktifitas gungsional dan jaringan yang dihuni. Makrofag dapat
terfiksasi atu mengembara, makrofag ini mengembara bergerak dengan
mempergunakan gerakan amuboid, gerakan amuboid ini juga terjadi jika ada
rangsangan. Pada saat ini mereka mempunyai bentuk sangat tidak teratur, dengan
kaki palsu yang terjulur kesegala arah. Dengan mikroskop electron terlihat
permukaan makrofag tidak teratur, kaki palsu yang terjulur kesegala arah. Membran
plasma berlipat-lipat dan mengandung tonjolan dan lekukan Nukleus mengandung
kromotin padat, berbentuk bulat, lebih kecil, nucleoli tidak mencolok, sitoplasma
terpulas gelap dan sedikit mengandung vakuol kecil yang secara supra vital dengan
merah netral. Makrofag mempunyai lisozom primer yang mengeluarkan isinya
kedalam vakuol, sitoplasma terpulas terpulas gelap dan sedikit mengandung vakuol
kecil yang terpulas secara supra vital dengan merah netral. Makrofag mempunyai
lisozom primer yang mengeluarkan isinya kedalam vakuol yang mengandung bahan
yang telah difagositose sehingga menghasilkan lisosom sekunder atau disebut juga
fagozomdimana terjadi pencernaan bahan yang ditelan tersebut.
Fagositosis dan perluasan dibantu juga dengan permukaan yang berlipatlipat. Umumnya mempunyai
apparatus Golgi yang berkembang baik, disamping
lisosom dan sebuah retikulum endoplasma kasar yang jelas. Pada proses
transformasi monosit kemakrofag terdapat peningkatan sitesis protein dan ukuran
sel, juga terdapat peningkatan komplek Golgi, lisosom mikrotubul dan mikro filamen.
Makrofag terfiksasi pengembara merupakan fase-fase berbeda dari sel yang
sama dan satu fase dapat merubah dirinya sendiri menjadi fase lain. Karena
kesanggupan makrofag untuk bergerak dan memfagositer maka fungsi utama dari
makrofag adalah dalam pertahanan organisme tersebut. Makrofag menelan sisa-sisa
sel, zat inter sel berubah, mikro organisme dan partikel yang memasuki tubuh. Jika
makrofag menjumpai benda yang berukuran besar, makrofag-makrofag bersatu
untuk membentuk sel besar dengan 100 nukleus atau lebih yang disebut dengan sel
raksasa benda asing multi nuklir. Dalam keadaan sehat, makrofag merupakan fase
akhir dalam siklus hidup monosit, setelah meninggalkan sum-sum tulang monosit
tinggal selama 8 – 74 dalam dan melintasi dinding venula atau kapiler untuk
menembus jaringan penyambung, yang akhirnya menjadi makrofag.
Makrofag juga berperan pada reaksi imunologis tubuh, dengan menelan
memproses, dan menyimpan antigen dan menyampaikan informasi kepada sel-sel
berdekatan secara imunologis kompeten (limfosit dan sel plasma). Makrofag
mempunyai reseptor yang mengikat antibody dan makrofag bersenjata demikian
sanggup mencari dan menghancurkan antigen yang khas terhadap antibody itu.
Selama proses infeksi limfosit – T yang terangsang menghasilkan sejumlah limfokin
yang menarik makrofag ketempat yang membutuhkannya dan terus
mengaktifkannya. Makrofag berukuran 10 – 30 mm, bentuk tidak teratur, inti
lonjong atau bentuk ginjal letak exentrik, mengandung granula azurofilik, Makro.
Makrofog merupakan sel yang panjang umurnya dapat bertahan berbulan-bulan
dalam jaringan. Bila cukup dirangsang sel-sel ini dapat bertumbuh besar, membentuk sel
epiteloid (yn epi=diatas + thele = putting + eidos = seperti sel) atau beberapa
melebur menjadi sel datia (sel raksasa) multinukleus, jenis-jenis sel yang ditemukan
dalam keadaan patologis. Makrofag kadang-kadang mempunyai bentuk yang sangat
tidak teratur dengan kaki-kaki palsu yang terjulur keseluruh arah, membran plasma
yang melipat-lipat dan bertonjolan kecil-kecil. Keadaan permukaan demikian itu
membantu perluasan fagositosis dan gerakan sel.
Sajian jaringan dari hewan yang telah disuntik secara vital dengan karbon
koloid atau zat warna koloid seperti biru tripan menampakkan makrofag dengan
kumpulan zat warna tadi dalam vakuol-vakuol dalam sitoplasma.
Fungsi dari makrofag
Karena sifat fagositik atau gerakan amuboidnya mereka aktif dalam
pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme, memiliki reseptor untuk
immunoglobihin pada membran selnya.
Makrofag mempunyai fungsi antara lain
1. Fungsi utama adalah melahap partikel dan mencernakannya oleh lisozom dan
mengalarkan sederetan substansi yang berperan dalam fungsi pertahanan
dan perbaikan.
2. Dalam system imun tubuh sel ini berperan serta dalam mempengaruhi
aktivitas dari respon imun, mereka menelan, memproses dan menyimpan
antigen dan menyampaikan informasi pada sel-sel berdekatan secara
imunologis compoten (limposit dan sel plasma)
3. Macrofag yang aktif juga merupakan sel sektori yang dapat mengeluarkan
beberapa substansi penting, termasuk enzim-enzim, lisozim, elastase,
kolagenase, dua protein dari sistim komplemen dan gen anti virus penting,
interveron
Fagositosis
Fagositosis adalah suatu mekanisme pertahanan yang dilakukan oleh sel-
sel fagosit, dengan jalan mencerna mikroorganisme/partikel asing hingga
menghancurkannya berkeping-keping. Sel fagosit ini terdiri dari 2 jenis, yaitu fagosit
mononuklear dan polimorfonuklear. Fagosit mononuklear contohnya adalah monosit (di
darah) dan jika bermigrasi ke jaringan menjadi makrofag. Contoh fagosit polimorfonuklear
adalah granulosit, yaitu netrofil, eusinofil, basofil dan cell mast (di jaringan). Supaya proses
ini bisa terjadi, suatu mikroorgansime harus berjarak dekat dengan sel fagositnya.
TAHAP-TAHAP FAGOSITOSIS
Fagositosis merupakan mekanisme pertahanan tubuh non spesifik (innate immunity )yang
diperankan oleh sel mononuklear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklearatau
granulosit. Dalam melakukan fungsinya, sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan
sistem immun spesifik (adaptive immunity).
2.Perlekatan dan pengenalan mikroba oleh sel fagositInteraksi antara mikroorganisme dan sel
fagosit dapat terjadi secara :
6.Degradasi partikel/mikroba
Degradasi partikel/mikroba terjadi dalam fagolisosom, efek microbicidal
fagosomdimungkinkan oleh :
a.Keasaman fagosomPeran ini dijalankan oleh enzim Vacuolar ATPase. Enzim ini
berfungsi terutama untuk mengasamkan fagosom. Dengan bantuanVacuolar ATP-ase,
memungkinkan sel fagosit menggunakan energi untukmelawan gradient konsentrasi untuk
memasukkan ion H+ ke dalam fagosom.Keasaman fagosom menciptakan lingkungan yang
tidak kondusif bagi mikrobauntuk hidup dan membantu enzim-enzim fagosit lain
menjalankan fungsinya.
b.Pembentukan reaktive oxygen species (ROS)/Reaktive oxygen intermediate(ROI) dan
reactive nitrogen species (RNS) Pembentukan ROS/ROI diperankan oleh enzim NADPH
oxidase atau fagosit oxidase. Enzim ini mengkatalisis perubahan oksigen menjadi anion
superoksida dan radikal bebas hydroxil. ROI ini bersifat sangat toksik terhadap mikroba
dalamfagolisosom.Pembentukan RNS difasilitasi oleh enzim inducible nitric oxide (NO)
synthase(iNOS). Enzim ini mengkatalisis pembentukan nitric oxide (NO) yang juga
bersifatmikrobicidal.Dengan demikian, ROS dan RNS secara sinergis memberikan efek yang
lebihtoksik terhadap mikroba. Sebagai hasilnya, ptotein mikroba hancur, terjadikerusakan
DNA permanen menyebabkan kegagalan metabolisme mikroba dandengan sendirinya
menghambat replikasi.
c.Penghancuran komponen mikroba oleh enzim proteolisis dan hydrolase.Fagolisosom juga
dilengkapi oleh enzim-enzim endopeptidase, exopeptidase danhydrolase yang mendegradasi
berbagai komponen mikroba. Selain itu, dalam sel fagosit juga terdapat defensin, suatu potein
yang bersifat melawan mikrobadengan mengikat membran sel mikroba.