You are on page 1of 20

Makalah Pendidikan Kewarganegaraan

DEMOKRASI
Oleh :
KELOMPOK V:
PARASIAN SITINJAK (4172121029)
RIKARDO SITOHANG (4172121030)
SABRIANTO HUTABARAT (4171121031)
STEVEN A. S. TELAUMBANUA (4173321053)

KELAS FISIKA DIK D 2017

JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2018
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa dimana atas
berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah Pendidikan Kewarganegaraan
tentang Demokrasi ini dapat terselesaikan. Penulisan menyusun makalah ini
dimaksudkan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan.
Kami tidak lupa berterima kasih pada semua pihak yang telah mendukung
penulis dalam menyusun Makalah ini, terutama kepada Dosen mata kuliah
Termodinamika maupun bagi saudara/i sekalian yang ikut ambil bagian dalam
penyusunan Makalah ini.
Kami menyadari bahwa sebagai manusia, penulis juga pasti tidak luput
dari kesalahan dalam hal penyusunan makalah termodinamika ini baik dalam isi
yang terlampir maupun dalam hal kesalahan dalam pengetikan sehingga kritik dan
saran pembaca sangat dibutuhkan dalam memperbaiki Makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memenuhi harapan sebagai
pemenuhan tugas dalam mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Akhir kata,
kami mengucapkan Terima Kasih.

Medan, Oktober 2018

Kelompok 5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara
sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat (kekuasaan warganegara) atas
negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut. Hasil Penelitian
menyatakan “mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi dinyatakan
sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik
dan sosial yang di perjuangan oleh para pendukungnya yang berpengaruh”
(UNESCO 1949).
Hampir semua negara di dunian menyakini demokrasi sebagai “tolok ukur tak
terbantah dari ke absahan politik.” Kenyakina bahwa kehendak rakyat adalah
dasar utama kewenangan pemerintah menjadi basis bagi tegak kokohnya sistem
politik demokrasi. Hal itu menunjukan bahwa rakyat di letakkan pada posisi
penting walau pun secara operasional implikasinya di berbagai negara tidak selalu
sama. Tidak ada negara yang ingin dikatakan sebagai negara yang tidak
demokratis atau negara otoriter.
Di Indonesia demokrasi dari masa ke masa mengalami perkembangan baik
pada saat revolusi, orde Lama, orde baru, reformasi hingga sekarang. Di setiap
perkembangan demokrasi di Indonesia terdapat pedoman dan aturan yang
berbeda-beda sesuai dengan keinginan atau tujuan yang hendak dicapai dari
pemerintahan yang berkuasa saat itu. Dalam Pelaksanaan demokrasi di Indonesia
terkadang mengalami kegagalan, salah satunya disebabkan karena
ketidakkonsistenannya penguasa sehingga peraturan yang dibuat hanya
menguntungkan golongan tertentu.
Demokrasi sebagai sebuah konsep yang mengalami perkembangan sejarah
yang amat kompleks itu dipahami dalam perspektif sosiologis. Di samping
persoalan-persoalan yang menyangkut struktur dan budaya, demokrasi sering
mendapatkan interpretasi yang bersifat lokal dan partikular yang tidak jarang
malah menyingkirkan elemen-elemen yang bersifat universal. Praktek demokrasi
Orde Baru diangkat sebagai kasus dan sekaligus pijakan untuk melihat
kemungkinan mengembangkan sebuah wacana dan praktek demokrasi yang lebih
sejati di Indonesia. Pemahaman demokrasi sebagai sebuah proses, di samping
mengisyaratkan pentingnya usaha untuk membangun lembaga-lembaga politik
juga mengabarkan pentingnya masyarakat pada umumnya dan elit politik pada
khususnya mengembangkan kesadaran-kesadaran politik yang memungkinkan
interaksi di antara elemen-elemen demokrasi berlangsung secara konstruktif.
Awal mula berkembangnya gagasan dan konsep demokrasi di Indonesia tidak
dapat dilepaskan dengan perkembangan situasi sosial politik masa kolonial pada
tahun-tahun pertama abad 20 yang ditandai dengan beberapa perkembangan
penting: Pertama, mulai terbuka terhadap arus informasi politik di tingkat global.
Kedua, migrasi para para aktifis politik berhaluan radikal Belanda, umumnya
mereka adalah para buangan politik, ke Hindia Belanda. Di wilayah yang baru ini
mereka banyak memperkenalkan ide-ide dan gagasan politik modern kepada para
pemuda bumiputera Ketiga, transformasi pendidikan di kalangan masyarakat
pribumi
1.2.Rumusan Masalah
1. Apa pengertia dari demokrasi?
2. Bagaimana proses perkembangan demokrasi di Indonesia?
3. Bagaimana sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pengertian Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno
pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari
sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti
dari istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah
berevolusi sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi
di banyak negara.
Kata demokrasi berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan
kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci
tersendiri dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat
ini disebut-sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara.
Demokrasi menempati posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan
dalam suatu negara (umumnya berdasarkan konsep dan prinsip trias politica)
dengan kekuasaan negara yang diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Prinsip semacam trias politica ini menjadi sangat penting untuk
diperhitungkan ketika fakta-fakta sejarah mencatat kekuasaan pemerintah
(eksekutif) yang begitu besar ternyata tidak mampu untuk membentuk masyarakat
yang adil dan beradab, bahkan kekuasaan absolut pemerintah seringkali
menimbulkan pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia.
Demikian pula kekuasaan berlebihan di lembaga negara yang lain, misalnya
kekuasaan berlebihan dari lembaga legislatif menentukan sendiri anggaran untuk
gaji dan tunjangan anggota-anggotanya tanpa mempedulikan aspirasi rakyat, tidak
akan membawa kebaikan untuk rakyat.
Dalam setiap pembicaraan tentang demokrasi sering muncul istilah kebebasan.
Kebebasan dan demokrasi sering dipakai secara timbal balik, tetapi keduanya
tidak sama. Memang dalam demokrasi terkandung kebebasan, tetapi kebebasan
itu tidaklah absolut, melainkan memiliki keterbatasan. Demokrasi sesungguhnya
adalah seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan, tetapi mencakup
seperangkat praktik dan prosedur terbentuk melalui sejarah panjang dan sering
berliku-liku, sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dai kebebasan.
2.2.Bentuk Demokrasi
Menurut Budi Juliardi (2016: 88-89) menjelaskan seacara teoritis demokrasi
yang dianut oleh Negara-negara si dunia terbagi menjadi:
1. Demokrasi langsung (direct democracy), yaitu paham demokrasi yang
mengikutsertakan warga negaranya dalam permusyawaratan untuk mengambil
keputusan kebijakan umum dan undang-undang.
2. Demokrasi tidak langsung (indirect democracy), yaitu paham demokrasi yang
dilaksanakan melalui system perwakilan yang biasanya dilakukan melalui
pemilihan umum.
Dalam hubungannya dengan implementasi kedalam system pemerintahan
melahirkan banyak sekali system pemerintahan yag beramacam-macam, seperti
demokrasi dengan sistem presidensisl, demokrasi dengan sistem parlementer, dan
demokrasi dengan sistem referendum. Demokrasi dengan sistem presidensisla
menyejajarkan antara parlemen dan presiden dengan memberi dua kedudukan
keapada presiden yaitu sebagi kepala Negara dan kepala pemerintahan. Demokasi
dengan sistem parlementer meletakkan meletakkan pemerintah (kepala
pemeeintahan) dipimpin oleh perdana menteri dan kepala Negara bisa dipimpin
oleh presiden, raja, ratu, kaisar, dan sebagainya yang menjadi simbol kedaulatan
dan persatuan. Demokrasi dengan sistem referendum meletakkan pemerintah
sebagai bagian (badan kerja) dari parlemen. Dibeberapa Negara ada yang
menggunakan sistem campuran dari parlementer dan presidensial.
2.3.Prinsip-prinsip Demokrasi
Menurut Ranney ada empat prinsip yang terkait dengan pemeintahan
demokrrasi yaitu:
1. Kedaulatan rakyat
2. Persamaan politik
3. Konsulttasi pada rakyat
4. Aturan mayoritas
Sementara dalam konteks deokrasi di Indonesia mengetengahkan sepuluh pilar
deokrasi yang dipesankan oleh para pembentuk Negara (founding father)
sebagaiana diletakkan dala UUD 1945 sebagai beikut:
No Pilar Penejelasan
1 Demokrasi berdasarkan Esensinya adalah sebuah sistem serta perilaku dalam
Ketuhanan Yang Maha menyelenggaraka kenegaraan RI haruslah taat, konsisten,
Esa atau sesuia dengan nilai-nilai dan kaida-kaidah darsar
Ketuhanan Yang Maa Esa
2 Deokrasi dan kecerdasan Demokrasi harus dirancang dan dilaksanakan oleh
segenap rakyat dengan pengertian-pengertiannya yang
jelas, Dimana rakyat sendiri turiut terlibat langsung
meruuskna substansinya. Nilai-nilai dan kaidah-kaida
dasar eerlukan pengelolaan secara seksama. Rujukan
yang mengenai kehidupan bernegara dan berbangsa tidak
diaksudkan untuk diperlakukan hanya sebagi kumpulan
dogma-dogma saja, melainkan harus ditata dengan
menggunakan akal budi dan akal pikiran yang sehat.
Pengelolaan itu harus dilakuakan dengan cerdas.
3 Deokrasi yang Deokrasi menurut UUD 1945 ialah deokrasi yang
berkedaulatan rakyat berkedaulatan rakyat, yaitu kekuasaan tertingi ada di
tangan rakyat. Secara prinsip rakyatlah yang memiiki
atau memegang kedaulatna itu. Keudian kedaulatan itu
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar
4 Deokrasi dengan rule of Negara adalah organisasi kekuasaan, artinya organisasi
law yang memiliki kekuasaan dan dapat menggunakan
kekuasaan itu dengan paksa. Dala Negara hukum, negara
dan hukum itu merupakan kesatuan konsep yang integral
dan tidak dapat dipisah-pisahkan
5 Demokrasi dengan Deokrasi dikuatkan dengan pebagian kekuasaan Negara
pembagian kekuasaan dan diserahkan dan diserahkan kepada badan-badan
negara Negara yang bertanggunjawab menurut undang-unfang
dasar
6 Demokrasi dengan hak Demokrasi menurut Undang-Undang Dasar 1945
asasi manusia mengakui hak asasi manusia yang tujuannya bukan saja
menghormati hak-hak asasi, melainkan untuk
meningkatkan amrtabat dan derajat manusia seutuhnya.
Hak asasi manusia bersuber opada sifat hakikat manusia
yang seutuhnya yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha
Esa. Hak asasi manusia bukan diberikan oleh Negara
atau pemerintah. Hal ini tidaknboleh dirapas atau
diasingkan oleh Negara atau oleh siapapun.
7 Demokrasi dengan Lembaga peradilan merupakan lembaga tertinggi yang
peradilan yang merdeka menentukan kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum.
Lembaga ini merupakan pelaksana kekeuasaan kehakian
yang merdeka (independent). Ia tidak boleh diintervensi
oleh kekuasaan apapun. Kekuasaan yang merdeka ini
memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
semua pihak yang berkepentiangan untuk mencari
menemukan hukum yang seadil-adolnya.
8 Deokrasi denga otonoi Otonomi adalah hak, wewenang, kewajiban daerah
daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan..
Kesatan Republik Indonesia diabgi atas daerah-daerah
provini dan daerah provinsi dibagi enjadi kabupaten dan
kota yang masing-masing mempunyai pemerintahan
daerah.
9 Demokrasi dengan Demokrasi bukan sekedar soal kebebasan dan hak, bukan
kemakmuran sekedar soal kewajiban dan tanggunghawab, bukan
sekedar soal mengorganisisr kedaulatan rakyat atau
pembagian kekuasaan. Demokrasi bukan sekedar
otonomi daeerah dan keadilan hukum. Sebeba bersaaan
dengan itu semua, demokrasi menurut UUD 1945
ternyata ditujukan untuk membangun Negara
berkemakmuran/kesejahtraan (Welfare State) oleh untuk
sebesar-besarnya rakyat Indonesia
10 Demokrasi yang Demokrrasi menurut UUD 1945 menggariskan keadilan
berkeadilan sosial sosial diantaera berbagai kelompok, golongan, dan
lapisan masyarakat. Keadilan sosial buka soal
kesamarataan dalam pemmbagian output materi dan
sistem kemasyarakatan. Keadilan sosial justru merujkuk
pada keadilan peertyauran dalam tatanan kemasyrakatan
yang tidak disikriminatif untuk memperoleh kesempatan
tempat tinggal, pendidikan, pekerjaan, politik, adinistrasi
pemerintah, layanan birokrasi, bisnis dan lain-lain.

Uraian kesepuluh pilar demokrasi di atas sesungguhnya menegaskan


bahwa sistem politik demokrasi Indonesia adalah demokrasi konstitusional yaitu
pemerintahan yang kekuasaaan pemerintahanannya di batasi oleh konstitusi.
Menurut Miriam Budiardjo (2008: 107) demokrasi konstitusional gagasan bahwa
pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya
dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang pada warga negaranya.
Pembatasan-pembatasan atas kekuasaan pemerintah berdasarkan konstitusi
(constitutional goverment). Pemerintahan melalui konstitusi sejalan dengan
pandangan Lord Acton bahwa kekuasaan yang tanpa permbatasan akan cenderung
diselewengkan atau disalahgunakan. Postulat balıwa powert to corrupt, absolute
powert corrupts abbsolutly telah menjadi keniscayaan pembatasan kekuasaan itu.
Pada hakikatnya sebuah negara dapat disebut sebagai negara yang
demokratis, apabila di dalam pemerintahan tersebut rakyat memiliki kesempatan
untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, memiliki persamaan di muka
hukun, dan memperoleh pendapatan yang layak karna terjadi distribusi
pendapatan yang adil (Nurwardani, 2016: 172-173). Berikut penjelasan dari
pernyataan di atas :
1) Partisipasi dalam pembuatan keputusan
Dalam Negara yang menganut sistem pemerintahan, demokrasi kekuasaan
tertinggi berada di tangan rakyat dan pemerintahan di jalankan berdasarkan
kehendak rakyat. Aspirasi dan kemauan rakyat harus dipenuhi dan
pemerintahan di jalankan berdasarkan konstitusi yang merupakan arah dan
pedoman dalam melaksanakan hidup bernegara. Para pembuat kebijakan
memperhatikan seluruh aspirasi rakyat yang berkembang. Kebijakan yang
dikeluarkan harus dapat mewakili berbagai keinginan masyarakat yang
beragam.
2) Persamaan kedudukan di depan hukum
Seiring dengan adanya tuntutan agar pemerintah harus berjalan dengan baik
dan dapat mengayomi rakyat dibutuhkan adanya hukum. Hukum itu mengatur
bagaimana seharusnya penguasa bertindak, bagaimana hak dan kewajiban dari
penguasa dan juga rakyatnya. Semua rakyat memiliki kedudukan yang sama di
depan hukum. Artinya, hukum harus dijalankan secara adil dan benar. Hukum
tidak boleh pandang bulu. Siapa saja yang bersalah di hukum sesuai ketentuan
yang berlaku. Untuk menciptakan hal itu harus di tunjang dengan adanya
aparat penegak hukum yang tegas dan bijaksana, bebas dari pengaruh
pemerintahan yang berkuasa, dan berani menghukum siapa saja yang bersalah.
3) Distribusi pendapatan secara adil
Dalam Negara demokrasi, semua bidanng dijalankan dengan berdasarkan
prinsip keadilan bersama dan tidak berat sebelah, termasuk di dalam bidang
ekonomi. Semua warga Negara berhak memperoleh pendapatan yang layak.

2.4.Demokrasi di Indonesia
Perlu dipahami bahwa demokrasi yang berjalan di Indonesia telah
menghasilkan sejumlah kemajuan berarti dari segi procedural. Pemilu legislatif,
pemillu presiden, hingga Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dapat berlangsung
dengan bebas, transparan, demokratis, dan paling penting dalam suasana damai.
Check and balance di antara lembaga-lembaga eksekutif dengan legislatif juga
berlangsung sangat dinamis. Kebebasan berpendapat dan berserikat jauh lebih
baik dibanding masa orde baru. Hal paling mendasar adalah dibenahinya bebrapa
kelemahan dalam pasal-pasal UUD 1945 yang kemudian membuat wajah
konstitusi kita tampil berbeda dibanding pasal-pasal UUD 1945 sebelumnya.
Demokrasi Indonesia dikatakan demokrasi pancasila, dimana prinsip-prinsip
demokrasi yang dijalankan berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Demokrasi
Pancasila dapat diartikan secara luas maupun sempit, sebagai berikut :
1. Secara luas demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang didasarkan
pada nilai-nilai Pancasila baik sebagai pedoman penyelenggaraan maupun
sebagai cita-cita.
2. Secara sempit demokrasi Pancasila berarti kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan menurut hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
Demokrasi Pancasila dalam arti luas adalah kedaulatan atau kekuasaan
tertinggi pada rakyat yang dalam penyelenggaraannya dijiwai oleh nilai-nilai
Pancasila. Nilai-nilai Pancasila yaitu nilai : Ketuhanan, Kemanusiaan, persatuan,
kerakyatan dan nilai keaadilan sangat mendukung demokrasi. Nilai-nilai Pancasila
menentang sistem otoriter atau kediktatoran.
Demokrasi Pancasila dalam arti sempit adalah berdasrkan sila keempat
Pancasila yaitu Kerakyatann yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan. Dengan demikian, demokrasi Pancasila dalam arti
sempit adalah masalah pengambilan keputusan yaitu pengambilan keputusan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Wujud dari pengambilan keputusan yang
dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan adalah dengan musywarah mufakat
(Dirjendikti, 2012:100).
Dalam sejarah ketatanegaraan Negara Republik Indonesia yang telah lebih
dari setengah abad, perkembangan demokrasi mengalami pasang surut. Praktik
demokrasi Indonesia berhubung dengan periodesasi demokrasi yang pernah dan
berlaku dan sejarah Indonesia. Miriam Budiardjo (2008: 127-128) menyatakan
bahwa dipandang dari sudut perkembangan sejarah demokrasi Indonesia sampai
masa orde baru, dapat dibagi dalam empat masa, yaitu :
1. Masa pertama Republik Indonesia (1945-1959) yang dinamakan masa
demokrasi konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-
partai karena itu dinamakan demokrasi parlementer.
2. Masa kedua Republik Indonesia (1959-1965) yaitu masa demokrasi terpimpin
yang banyak aspek menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara
formal merupakan landasannya dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi
rakyat.
3. Masa ketiga Republik Indonesia (1965-1998) yaitu masa demokrasi Pancasila
yang merupakan demokrasi konstitusional yang emnonjolkan sistem
presidensil.
4. Masa keempat Republik Indonesia (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang
emnginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap
praktik-praktik politik yang terjadi pada masa ketiga Republik Indonesia.
Perkembangan Demokrasi di Indonesia
A. Masa Demokrasi Liberal
Momentum historis perkembangan demokrasi setelah kemerdekaan di tandai
dengan keluarnya Maklumat No. X pada 3 November 1945 yang ditandatangani
oleh Hatta. Dalam maklumat ini dinyatakan perlunya berdirinya partai-partai
politik sebagai bagian dari demokrasi, serta rencana pemerintah
menyelenggarakan pemilu pada Januari 1946. Maklumat Hatta berdampak sangat
luas, melegitimasi partai-partai politik yang telah terbentuk sebelumnya dan
mendorong terus lahirnya partai-partai politik baru.
Pada tahun 1953 Kabinet Wilopo berhasil menyelesaikan regulasi pemilu
dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 Pemilu. Pemilu multipartai secara
nasional disepakati dilaksanakan pada 29 September 1955 (untuk pemilhan
parlemen) dan 15 Desember 1955 (untuk pemilihan anggota konstituante). Pemilu
pertama nasional di Indonesia ini dinilai berbagai kalangan sebagai proses politik
yang mendekati kriteria demokratis, sebab selain jumlah parpol tidak dibatasi,
berlangsung dengan langsung umum bebas rahasia (luber), serta mencerminkan
pluralisme dan representativ.
Fragmentasi politik yang kuat berdampak kepada ketidakefektifan kinerja
parlemen hasil pemilu 1955 dan pemerintahan yang dibentuknya. Parlemen baru
ini tidak mampu memberikan terobosan bagi pembentukan pemerintahan yang
kuat dan stabil, tetapi justru mengulangi kembali fenomena politik sebelumnya,
yakni gonta-ganti pemerintahan dalam waktu yang relatif pendek.
Ketidakefektifan kinerja parlemen memperkencang serangan-serangan yang
mendelegitimasi parlemen dan partai-partai politik pada umumnya. Banyak
kritikan dan kecaman muncul, bahkan tidak hanya dilontarkan tokoh-tokoh anti
demokrasi. Hatta dan Syahrir menuduh para politisi dan pimpinan partai-partai
politik sebagai orang yang memperjuangkan kepentingannya sendiri dan
keuntungan kelompoknya, bukan mengedepankan kepentingan rakyat. Namun
begitu, mereka tidak menjadikan demokrasi parlementer sebagai biang keladi
kebobrokan dan kemandegan politik. Hal ini berbeda dengan Soekarno yang
menempatkan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal sebagai sasaran
tembak. Soekarno lebih mengkritik pada sistemnya. Kebobrokan demokrasi
liberal yang sedang diterapkan, dalam penilaian Soekarno, merupakan penyebab
utama kekisruhan politik. Maka, yang paling mendesak untuk keluar dari krisis
politik tersebut adalah mengubur demokrasi liberal yang dalam pandangannya
tidak cocok untuk dipraktikkan di Indonesia. Akhirnya, Soekarno menyatakan
demokrasi parlementer tidak dapat digunakan untuk revolusi.

B. Demokrasi Diktatorial (Dibawah Kepemimpinan Soekarno dan


Soeharto)
Dalam amanatnya kepada sidang pleno Konstitante di Bandung 22 April 1959,
Soekarno dengan lugas menyerang konstituante, praktik demokrasi liberal, dan
menawarkan kembali konsepsinya tentang demokrasi Indonesia yang disebutnya
sebagai Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy)
Demokrasi Terpimpin Soekarno kemudian runtuh setelah terjadinya peristiwa
perebutan kekuasaan yang melibatkjan unsur komunis (PKI) dan angkatan
bersenjata, yang dikenal dengan Gerakan 30 September 1965. Perebutan
kekuasaan ini mengakibatkan hancurnya kekuasaan PKI serta secara bertahap
berakhirnya kekuasaan Orde Lama Soekarno. Muncul kekuasaan baru dibawah
militer dibawah Letjen. Soeharto yang menyatakan diri sebagai “Orde Baru”.
Konsepsi demokrasi Soeharto, rencana praksis politiknya, awalnya tidak
cukup jelas. Ia lebih sering mengemukakan gagasan demokrasinya, yang
kemudian disebutnya sebagai Demokrasi Pancasila, dalam konsep yang sangat
abstrak. Pada dasarnya, konsep dasar Demokrasi Pancasila memiliki titik
berangkat yang sama dengan konsep Demokrasi Terpimpin Soekarno, yakni suatu
demokrasi asli Indonesia. Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang sesuai
dengan tradisi dan filsafat hidup masyarakat Indonesia. Demokrasi Pancasila
merupakan demokrasi yang sehat dan bertanggungjawab, berdasarkan moral dan
pemikiran sehat, berlandaskan pada suatu ideologi tunggal, yaitu Pancasila.
Langkah politik awal yang dilakukan Soeharto untuk membuktikan bahwa
dirinya tidak anti demokrasi adalah dengan merespons penjadwalan pelaksanaan
pemilihan umum (pemilu), sebagaimana dituntut oleh partai-partai politik.
Soeharto sendiri pada hakekatnya tidak menghendaki pemilu dengan segera,
sampai dengan terkonsolidasikannya kekuatan Orde Baru. Sebagai upaya lanjut
mengatasi peruncingan ideologi Soeharto melakukan inisiatif penggabungan
partai politik pada 1973, dari 10 partai menjadi 3 partai politik (Partai Persatuan
Pembangunan, Golkar, Partai Demokrasi Indonesia). Golkar sendiri yang
notabene, dibentuk dan dikendalikan oleh penguasa tidak bersedia menyatakan
diri sebagai parpol melainkan organisasi kekaryaan. Fusi atau penggabungan
partai ini merupakan wujud kekesalan Soeharto terhadap parpol dan hasratnya
untuk membangun kepolitikan kekeluargaan. Menjaga citra sebagai negara
demokrasi terus dijaga oleh rezim Orde Baru.
Terhadap tuntutan demokrasi yang berkembang kuat sejak pertengahan 1980-
an, sebuah momen perkembangan yang oleh Huntington dinamakan gelombang
demokrasi ketiga. Soeharto menjawab dengan kebijakan mulur mungkret
liberalisasi politik terbatas, yang oleh para pengkritik disebut sebagai demokrasi
seolah-olah (democracy as if), tetapi sekaligus mempertahankan instrumen
represif terhadap kelompok yang mencoba-coba keluar dari aturan “main” yang
ditentukan rezim.
Praktik democracy dictatorship yang diterapkan Soeharto mulai tergerus dan
jatuh dalam krisis bersamaan dengan runtuhnya mitos ekonomi Orde Baru sebagai
akibat terjadinya krisis moneter mulai 1997. Krisis moneter yang semakin parah
menjadikan porak porandanya ekonomi nasional yang ditandai dengan runtuhnya
nilai mata uang rupiah, inflasi, tingginya angka pemutusan hubungan kerja
(PHK), dan semakin besarnya pengangguran. Krisis ekonomi memacu
berlangsungya aksi-aksi protes dikalangan mahasiswa menuntut Soeharto mundur.

C. Demokrasi Pasca Orde Baru (Era Reformasi)


Dalam konteks Indonesia pasca Orde Baru upaya reformasi institusional atau
kelembagaan sebenarnya telah dimulai pada era pemerintahan BJ Habibie yang
ditandai dengan perubahan UU Pemilu, UU Kepartaian, dan UU Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU Susduk). Atas dasar perubahan itu maka
pemilu bebas dan demokratis pertama pasca Orde Baru diselenggarakan pada Juni
1999. Pemilu di bawah sistem multipartai tersebut kemudian menghasilkan DPR,
MPR dan pemerintah baru yang mengagendakan reformasi konstitusi melalui
empat tahap perubahan (amandemen), yakni amandemen pertama (1999) dan
kedua (2000) pada era Presiden Abdurrahman Wahid, serta amandemen ketiga
(2001) dan amandemen keempat (2002) pada era Presiden Megawati
Soekarnoputeri.
Tampak mulai disadari, kendati agak terlambat, bahwa konsensus prosedural
dalam rangka efektifitas format politik baru tak mungkin dicapai tanpa reformasi
konstitusi karena sistem demokrasi yang stabil hanya bisa tumbuh jika konsitusi
yang memayunginya cukup memadai untuk itu. Para ahli yang mendalami
masalah transisi demokrasi menggarisbawahi pentingnya reformasi konstitusi
sebagai bagian yang tak terpisahkan dari proses transisi menuju konsolidasi
demokrasi.
Amandemen atas UUD 1945 pada akhirnya memang berhasil dilakukan,
namun sulit dibantah bahwa dalam realitasnya perubahan yang dilakukan oleh
MPR atas konstitusi tersebut cenderung bersifat tambal sulam. Paling kurang ada
tiga kelemahan mendasar pada hasil amandemen yang dilakukan Badan Pekerja
MPR atas UUD 1945 sehingga diperlukan suatu komisi konstitusi yang bersifat
independen, dibentuklah Mahkamah Konstitusi. Kelemahan tersebut adalah
pertama, proses amandemen yang cenderung terjebak pada kepentingan jangka
pendek dari elite partai-partai di parlemen. Kedua, kualitas dan substansi
perubahan yang cenderung inkonsisten dan tambal-sulam satu sama lain. Dan
ketiga, format legal drafting perubahan yang tidak sistematik dan tak terpola serta
membingungkan sehingga menyulitkan pemahaman atasnya sebagai hukum dasar.
Dalam konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun
sistem pemerintahan presidensiil yang kuat, stabil, dan efektif, namun di sisi lain
obsesi besar tersebut tidak didukung oleh struktur perwakilan bicameral yang kuat
pula. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang semestinya merupakan
salah satu “kamar” dari sistem perwakilan dua-kamar, bahkan tak jelas karena
kekuasaan dan hak-haknya yang sangat terbatas. Tidak mengherankan jika para
anggota DPD dewasa ini mempertanyakan relevansi keberadaan mereka dalam
sistem yang berlaku. Sebaliknya, para politisi di Panitia Ad-Hoc I MPR selaku
penyusun konstitusi justru makin memperkuat posisi, kedudukan, kekuasaan, dan
hak-hak DPR melebihi yang seharusnya dimiliki oleh DPR dalam konteks sistem
presidensiil.
Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya
mekanisme checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan
utama, yakni lembaga eksekutif-legislatif pada khususnya dan eksekutif-legislatif-
yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU dapat tetap berlaku apabila
dalam waktu 30 hari tidak disahkan oleh Presiden, namun di pihak lain Presiden
tidak memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disetujui DPR.
Padahal tegaknya prinsip checks and balances bersifat mutlak karena menjadi
salah satu fondasi utama bagi stabilitas dan efektifitas sistem pemerintahan
presidensiil. Urgensi prinsip saling mengawasi secara seimbang itu diabaikan pula
oleh konstitusi hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai representasi
perwakilan rakyat dan DPD sebagai representasi perwakilan wilayah.
Substansi hasil amandemen yang juga tidak koheren dan inkonsisten dengan
kebutuhan pembentukan sistem presidensiil yang kuat dan efektif adalah
kedudukan dan kelembagaan MPR, serta ketidakjelasan tata-hubungan lembaga
yudikatif menyusul keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial
(KY) selain Mahkamah Agung (MA) yang telah ada sebelumnya. MPR yang
semestinya merupakan sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD
justru menjadi lembaga permanen dengan kepemimpinan permanen pula.
Reformasi kelembagaan yang cenderung tambal-sulam dan mengabaikan
koherensi dan konsistensi juga tercermin dalam UU bidang politik –UU Partai
Politik (No. 31/2002), UU Pemilu (No. 12/2003), UU Pemilu Presiden (No.
23/2003), dan UU Susduk (No. 22/2003)—dalam rangka Pemilu 2004. Secara
teoritis, pilihan atas sistem pemilu seharusnya merupakan konsekuensi logis dari
pilihan terhadap sistem perwakilan, sedangkan pilihan atas sistem kepartaian
adalah konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem pemilu. Namun dalam
realitasnya kita mempertahankan sistem proporsional (proportional representation
system) untuk pemilu legislatif, suatu pilihan politik sebenarnya tidak tepat karena
sistem proporsional merupakan basis bagi terbentuknya sistem multipartai.
Padahal, sistem presidensiil tak akan pernah bisa bekerja efektif apabila
fragmentasi dan polarisasi partai terlalu tinggi seperti sistem multipartai yang
berlaku dewasa ini.
Selain problematik yang dikemukakan di atas, reformasi kelembagaan yang
tambal-sulam juga tampak dari diabaikannya urgensi keberadaan UU Lembaga
Kepresidenan. Di dalam suatu UU Lembaga Kepresidenan tak hanya bisa diatur
wilayah politik yang menjadi kewenangan Wakil Presiden --karena terbatasnya
pengaturan oleh konstitusi— melainkan juga format kabinet yang seharusnya
berlaku untuk memperkuat dan mengefektifkan pemerintahan presidensiil.
Disharmoni relasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla
tak perlu terjadi seandainya ada pengaturan yang jelas mengenai apa saja
sesungguhnya wilayah kewenangan Wapres dalam “membantu” Presiden. Begitu
pula, tarik-menarik kepentingan partai-partai politik dalam pembentukan kabinet
atau dalam isu reshuffle kabinet tak perlu terjadi jika Presiden cukup percaya diri
bahwa pemerintahannya bukanlah kabinet partai-partai atau koalisi partai seperti
berlaku di dalam sistem parlementer. Di sisi lain, para politisi partai kita
semestinya menyadari bahwa mandat dan legitimasi Presiden dalam suatu sistem
presidensial tidak berasal dari parlemen ataupun partai-partai, melainkan dari
rakyat secara langsung.
Pengalaman lebih dari sewindu reformasi memperlihatkan bahwa hampir
selalu terdapat kesenjangan antara obsesi para wakil rakyat dengan tindakan,
perilaku, dan pilihan politiknya. Dalam konteks sistem pemerintahan misalnya, di
satu pihak para politisi mengobsesikan sistem presidensiil, tetapi di pihak lain
tindakan dan perilaku politik mereka cenderung berorientasi parlementer.
Kecenderungan perilaku parlementarian itu pula yang tampak di balik isu tarik-
menarik dukungan terhadap pemerintahan sekarang ini.
2.5.Pendidikan Demokrasi
Bahmueller dan Udin Winataputra mengatakan bahwa perkemabangan
deokrasi suatu Negara bergantung kepada sejulah faktor yang menentukan yakni:
perkebangan ekonomi, perasaan akan identitas nasional, pengalaman sejarah dan
budaya kewarganegaraan. Budaya kewarganegaraan mencerminkan tradsi
demokrasi yang ada di masyarakat. Jika di masyarakat tumbuh budaya demokrasi,
maka sangat mendukug perkembangan demokrasi negara yang bersangkutan
Pendidikan demokrasi pada hakikatnya adalah sosialisasi nilai-nilai demokrasi
supaya bisa diterimadan dijalankan oleh warga Negara. Pendidikan demokrasi
secara subsatansi f menyangkut sosialisasi, diseminasi, aktualisasi dan
implementsi sistem, nilai, konsep dan praktik demokrasi melalui pendidikan.
Pendidikan demokrasi diartikan sebagai upaya siostematis yang dilakukan
Negara dan masyarakat untuk memfasilitsi individu warga negaranya untuk
mnghayati, memahami, mengalamalkan dan mengembangkan konsep, prinsip,
dan nilai demokrasi sesuai dengan status dan perannya dalam masyarakat. Pada
dasarnya, pendidikan demokrasi dapat dilakuakn melalui tiga cara yaitu:
1. Pendidikan demokrasi secara formal: pendidikan yang lewat tatap muka,
diskusi timbal balik, presentsi dan studi kasus
2. Pendidikan demokrasi secar informal: pendidikan yang lewat tahap
berdemokrsdi sebagai benuk aplikasi nilai berdemokrasi sebagi hasil
interaksi terhadap lingkungan di sekitarnya fan langsung dapat dirasakan
hasilnya.
3. Pendidikan demokrasi secara non formal : pendidikan yang melewati
lingkungan masyarakat secara lebih makro karena pendidikan di luar
sekolah memilki parameter yang signifikan terhadap pembentukan jiwa
seseorang, seperti kelompok masyarakat, lembaga swadaya, partai politik,
pers, dan lain-lain (Budin Juliardi, 2016 : 101).
Pendidikan demokrasi dalam berbagai konteks, dalam hal ini untuk
pendidikan formal (di sekolah dan perguruan tinggi), nonformal (pendidikan di
luar sekolah), dan informal (pergaulan di rumah dan masyarakat) mempunyai visi
sebagai wahana subtansi, pedagogis, dan sosial kultural untuk membangun cita-
cita, nilai, konsep, prinsip, sikap, dan keterampilan demokrasi dalam diri warga
negaranya melalui pengalama hidup dan berkehidupan demokrasi dalam berbagai
konteks (Udin s. Winataputra, 2001 ; 19).

.
BAB III
PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Dari penjelasan panjang di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa pada
dasarnya demokrasi di Indonesia sampai saat ini belum berjalan sesuai dengan apa
yang diinginkan masyarakat. Demokrasi seakan dikekang oleh keinginan-
keinginan para elit politik yang “bermain” atas nama seluruh rakyat. Namun
kenyataannya, mereka justru menyengsarakan rakyat demi kepentingan pribadi
dan golongannya.
Untuk itu peran masyakat sipil (civil society) sangat dibutuhkan, dalam
memperbaiki proses demokrasi di Indonesia. Masyarakat harus ikut mengawasi
jalannya proses demokrasi, agar hak-hak rakyat tidak terabaikan oleh para
pemimpin bangsa dan elit politik.
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, 2008. Demokrasi di Indonesia. Bandung: Gramedia

Gandaman, Apiek. 2018. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi.


Medan: Unimed Press

Kemenristekdikti. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Pergurun Tinggi.


Jakarta: Kementrian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

You might also like