You are on page 1of 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Mekanisme perencanaan pembangunan wilayah nasional berjalan melalui dua


pendekatan utama, yaitu pembangunan sektoral dan regional. Hasil dua pendekatan
diharapkan dapat menciptakan landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh
dan bekembang atas dasar kekuatan sendiri dan mewujudkan masyarakat adil makmur
berdasarkan pancasila. Kenyataannya, upaya menciptakan keselarasan dan keserasian dua
strategi tersebut merupakan hak pelik, bahkan cenderung kontradiktif dan dikotomis.

Dalam perkembangannya pendekatan pertama (sektoral) nampak lebih menonjol


dan semakin mengua dibanding pendektan kedua (regional), hal ini dapat dilihat dari
orientasi pembangunan yang secara tegas meletakkan aspek pertumbuhan ekonomi
(econimoc growth) sektoral sebagai cara untuk mencapai tujuan pembangunan.
Disamping telah memberikan hasil yang memuaskan seperti pertumbuhan ekonomi
tinggi, pendapatan perkapita naik, namun orientasi tersebut ternyata telah menimbulkan
beberapa masalah, salah satu diantaranya adalah tidak meratanya distribusi kegiatan dan
hasil pembangunan, sehingga beberapa agenda permasalahan pembangunan, seperti
kemiskinan, kesenjangan sosial-ekonomi, ketimpangan antar wilayah (kota-desa, pusat-
daerah), sering digunakan sebagai contoh produk model pembangunan (sektoral) yang
lebih berorientasi pada pertumbuhan ekonomi.

Indonesia dengan segala sumberdaya alamnya mempunyai peranan yang ngat


strategis dalam keberhasilan pembangunan berkelanjutan di dunia. mbangunan
berkelanjutan (sustainable development) adalah proses mbangunan (lahan, kota, bisnis,
masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip emenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengorbankan pemenuhan kebutuhan nerasi masa depan (Lélé 1991). Pembangunan
berkelanjutan yang menekankan da keseimbangan antara aspek lingkungan, sosial
dan ekonomi tidak akan lepas dari fungsi hutan sebagai penghasil oksigen bagi
kehidupan tidak hanya tuk saat sekarang namun juga untuk generasi yang akan datang.
Badan Pusat Statistik (2014) mencatat luas kawasan hutan di Indonesia 1,3 juta Ha
dan dengan karakteristik yang sebagian besar merupakan hutan jan tropis. Indonesia
sering disebut-sebut sebagai paru-paru dunia sehingga nyak pihak yang membutuhkan
peran Indonesia terutama dalam penyerapan rbon dioksida dan mengurangi efek negatif
pemanasan global. Dalam dekade akhir wilayah hutan hujan tropis di Indonesia

1
mengalami perubahan dalam nggunaan lahan. Hal ini disebabkan antara lain oleh
pengambilan kayu dan mudian oleh perluasan lahan pertanian yang terus meningkat
intensitas nggunaannya. Perluasan lahan pertanian untuk perkebunan merupakan bentuk
rubahan penggunaan lahan yang banyak ditemukan diberbagai daerah di wasan
hutan hujan tropis di Indonesia. Kementrian Kehutanan mencatat laju forestasi di
Indonesia kurang lebih 1 juta Ha per tahun pada periode tahun 2000 mpai dengan 2005.
Sementara Irwanto (2011) menyatakan laju deforestasi di donesia diperkirakan 1,6 juta
Ha per tahun. Kerusakan tersebut disebabkan oleh ngelolaan hutan yang tidak tepat,
penebangan liar, perambahan hutan, dan mbukaan hutan skala besar untuk perkebunan
serta kebakaran hutan.

Secara umum perubahan penggunaan lahan hutan di Indonesia terjadi akibat


nversi hutan untuk berbagai peruntukan, baik yang sudah direncanakan maupun ng tidak
direncanakan. Sementara itu degradasi hutan terjadi sebagai akibat dari ngelolaan hutan
yang dilaksanakan secara tidak lestari oleh para pemegang izin utan Alam atau karena
penebangan yang dilakukan oleh para pihak yang tidak emiliki izin usaha pemanfaatan
hasil hutan kayu. Kegiatan ini menyebabkan ndisi tegakan hutan mengalami kerusakan
dan terdegradasi, sehingga cadangan omass atau karbon mengalami penurunan karena
laju pemanenan kayu lebih sar dari pertumbuhan (riap) pohon. Persoalannya, kerusakan
hutan dan mbangunan di atasnya dilaksanakan belum berdasarkan prinsip keadilan.
ementerian Kehutanan 2010).

Potensi pasar industri hilir kelapa sawit belum optimal dikembangkan pemerintah.
Menurut Said et al. (2013) nilai tambah produk olahan kelapa sawit Indonesia yang masih
rendah disebabkan beberapa permasalahan pada industri hilir kelapa sawit yakni
keterbatasan modal, infrastruktur, regulasi dan insentif. Di luar negeri, industri hilir
kelapa sawit harus menghadapi persaingan pasar yang tidak seimbang ditambah isu
kampanye negatif, sentimen pasar, kualitas dan standar produk. Indonesia tertinggal
dalam pengembangan industri hilir kelapa sawit dibandingkan dengan Malaysia. Sejak
tahun 2000-an, produk olahan sawit Malaysia memiliki porsi 88% dari total penjualan
ekspor produk kelapa sawitnya. Di sisi lain, porsi produk ekspor olahan sawit Indonesia
baru sebesar 39,3% (Amirudin, 2003).

Pengembangan industri hilir kelapa sawit terkendala oleh ketersediaan


infrastruktur seperti transportasi, ketersedian energi (listrik dan gas), ketersediaan air dan
teknologi pengolahan limbah masih terbatas. Penelitian dan pengembangan industri hilir
kelapa sawit juga masih terbatas karena belum tersedia pusat penelitian yang terintegrasi
sesuai kebutuhan industri. Aspek SDM terbatas oleh rendahnya kompetensi karyawan
dalam pengembangan industri hilir kelapa sawit (Harsono et al. 2012). Penelitian dan

2
pengembangan industri hilir kelapa sawit terbatas oleh pendanaan dan penyerapannya
oleh industri (Rai, 2010). Penelitian Pahan (2011) menunjukan terdapat kesenjangan yang
menghambat antara keinginan pemangku kepentingan dengan realisasi pembangunan
industri hilir kelapa sawit di Indonesia. Kesenjangan tersebut meliputi: 1) ketersediaan
dan efisiensi infrastruktur; 2) konsistensi kebijakan pemerintah dan efesiensi birokrasi; 3)
kemudahan investasi; 4) akses permodalan; dan 5) peningkatan penelitian dan
pengembangan.

Daya tarik dan dukungan yang kondusif seperti kondisi iklim serta didukung oleh
prasyarat ketersediaan lahan luas dan juga pertumbuhan yang selalu positif setiap
tahunnya inilah yang menjadikan perkebunan kelapa sawit berkembang dengan pesat di
Kecamatan Anggotoa dan telah membawa perkebunan sawit tersebut sebagai bentuk
usaha yang semula menjadi symbol enclave economy (tertutup), kini telah menjadi usaha
dengan beragam format dan corak pola pengusahaan. Bahkan, perkembangan
Industri berbasis sawit terakhir ini juga telah menghantar hingga berlakunya teori
dualisme ekonomi ala Boeke dimana dalam praktek pembangunan ekonomi ada
dua kelompok penting yang menjalankan roda perekonomian tersebut yaitu
kelompok ekonomi lemah (masyarakat yang hanya sebagai buruh sawit) dan kelompok
ekonomi kuat (baik investor asing maupun investor dalam negeri yang menguasai
perkebunan sawit). (Mubyarto, 2000).

Pentingnya peranan perkebunan kelapa sawit dalam perekonomian nasional


khususnya bagi pengembangan wilayah di Kecamaan Anggotoa seperti yang telah
dipaparkan sebelumnya, permasalahan pengelolaan perkebunan kelapa sawit menjadi
sangat penting dicarikan solusinya. Sejauh ini, kebijakan yang ada dirasa belum
sepenuhnya mampu mengakomodir kepentingan dan kebutuhan semua pemangku
kepentingan yang ditandai oleh adanya sejumlah masalah bahkan konflik antar pelaku.
Untuk itu diperlukan perbaikan sejumlah kebijakan dengan melibatkan pihak-pihak yang
berkepentingan dan terkena dampak langsung maupun tidak langsung kebijakan
yang dibuat pemerintah melalui kajian yang komprehensif.

B. Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang permasalahan tersebut diatas, maka penulis


merumuskan masalahnya sebagai berikut.

1. Bagaimana kondisi eksisting Kecamatan Anggaberi ?


2. Bagaimana Permasalahan Kelapa Sawit di Kelurahan Larehoma ?
3. Bagaimana Konsep perencanaan pengembangan Kelapa sawit di Kelurahan
Larehoma ?

3
C. Tujuan Penulisan

Dari rumusan masalah tersebut, penulis memiliki tujuan supaya pembaca dapat
menggambarkan dan memahami mengenai:

1. Untuk mengetahui Bagaimana kondisi eksisting Kecamatan Anggaberi


2. Untuk mengetahui Bagaimana kondisi eksisting Kelapa Sawit di Kelurahan
Larehoma .
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Konsep perencanaan pengembangan Kelapa sawit di
Kelurahan Larehoma.

You might also like