You are on page 1of 28

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn.Z
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 76 tahun
Alamat : Makassar
Status perkawinan : Menikah
MRS : 22 september 2015
MR : 577340
Perawatan : CVCU

II. ANAMNESIS
1) Keluhan utama
Sesak.
2) Anamnesis terpimpin
Dirasakan sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan
terus-menerus terutama bila beraktifitas dan tidur terlentang. Sesak tidak
dipengaruhi oleh cuaca dan pasien merasa lebih nyaman tidur malam dengan
memakai 3 susun bantal. Pasien kadang terbangun pada malam hari karena merasa
sesak. Nyeri dada (+) hilang timbul, batuk (-), lendir (-), darah (-). Demam (-),
riwayat demam (-), nyeri kepala (-), keringat dingin (+), nyeri ulu hati (-). Buang air
kecil lancar, buang air besar biasa.

Riwayat sosial : merokok (+), minum alkohol (-), riwayat asma (-)

Riwayat penyakit Dahulu

 Tekanan darah tinggi (+) sejak 6 tahun yang lalu, tidak terkontrol.
 Riwayat penyakit demam rheumatik disangkal
 Penyakit jantung sebelumnya (+) sejak 6 tahun yang lalu. Pasien
mengkonsumsi Simarc 1x20mg danFurosemide 1x40mg.

III. PEMERIKSAAN FISIK


Status Present
Sakit sedang/ gizi baik/ composmentis

1
Berat badan : 54 kg
Tinggi badan : 168 cm
IMT : 22,2 kg/m2
Status Gizi : Baik

Tanda Vital
Tekanan Darah : 100/70
Nadi : 88 x / menit
Pernapasan : 26 x / menit
Suhu : 36,6C

Kepala : Ukuran : Normochepal


Simetris muka : kiri = kanan
Deformitas : (-)
Rambut : hitam, lurus sukar di cabut

Mata : Eksoptalmus/Endoptalmus : (-)/(-)


Gerakan : Normal
Tekanan bola mata : t.d.p.
Kelopak mata : Edema palpebra (-)
Konjungtiva : Anemis (-)
Sklera : Ikterus (-)
Kornea : Refleks kornea (+)/(+)
Pupil : Isokor, Ø 2,5 mm/ 2,5 mm

Leher : Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran


Kelenjar gondok : Tidak ada pembesaran
DVS : R+4 cmH2O
Pembuluh darah : (-)
Kaku kuduk : (-)
Tumor : (-)

Dada : Inspeksi : Simetris kiri = kanan


Bentuk : Normochest
2
Pembuluh darah : (-)
Buah dada : Simetris kiri = kanan
Sela iga : Simetris kiri = kanan, kesan melebar (-)
Lain-lain : (-)

Paru : Palpasi : Fremitus raba simetris kiri = kanan


Nyeri tekan (-)
Perkusi : Paru kiri : Sonor
Paru kanan : Sonor
Batas paru-hepar : ICS VI dextra anterior
Batas paru belakang kanan : Linea Vertebra Thoracal
X dextra
Batas paru belakang kiri :Linea Vertebra Thoracal
XI dextra

Auskultasi :Bunyi pernapasan : Vesikuler


Bunyi tambahan : Rh +/+ basal, Wh -/-

Jantung : Inspeksi : Ictus cordis tampak


Palpasi : Ictus cordis teraba
Perkusi : Pekak
Batas jantung atas: ICS III sinistra
Batas jantung bawah: ICS VI sinistra
Batas jantung kanan: Linea Parasternalis Dextra
Batas jantung kiri: Linea Axilla Anterior Sinistra

Auskultasi : BJ I/II : Murni, regular


Bunyi tambahan : Bising (+) murmur sistol 3/6 di
apex ICS V sinistra dan ICS III parasternal Dextra

Perut : Inspeksi : Datar, ikut gerak napas


Palpasi : MT (-), NT (-)
Hati : Tidak teraba
3
Limpa : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba

Perkusi : Timpani (+)


Auskultasi : Peristaltik (+), kesan normal

Ekstremitas : Edema : -/-

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Hasil Laboratorium

Tes Hasil Nilai Rujukan Satuan


Hematologi Rutin
WBC 13.7 4.00-10.0 10^3/µl
RBC 4.53 4.00-6.00 10^6/µl

HGB 13.8 12.0-16.0 g/dl


HCT 40.7 37.0-48.0 %
MCV 89.8 80.0-97.0 Fl
MCH 33.3 26.5-35.0 Pg
MCHC 34.3 150-400 gr/dl
PLT 225 150-400 10^3/µl
RDW-CV 15.4 10.0-15.0 ---
MPV 12.3 6.50-11.0 fL
Neutrofil 74.2 52.0-75.0 10^3/µl
Limfosit 13.7 20.0-40.0 %
Monosit 6.2 2.0-8.0 10^3/µl
Eosinofil 0.07 1.00-3.00 10^3/µl
Basofil 0.12 0.00-0.10 10^3/µl
Waktu Proththrombine (PT)
PT 25.3 Kontrol 10 Detik
INR 2.41 - -
APTT 26.2 Kontrol 22.0 Detik
Biokimia Hati
SGOT 42 <38 U/L

4
SGPT 40 <41 U/L

GDS 118 140 mg/dl


Fungsi Ginjal
Ureum 113 10-50 mg/dl
Kreatinin 1.0 L(<1.3);P(<1.1) mg/dl

Elektrolit
Natrium 139 136-145 mmol/l
Kalium 5.0 3.5-5.1 mmol/l
Klorida 114 97-111 mmol/l

Elektrokardiografi:

Interpretation:

- Sinus Rhythm
- QRS Rate : 100 bpm
- Regular : Reguler
- PR interval : 0,16 s
5
- Axis : Normoaxis
- P Wave : P normal
- QRS complex : 0,12 s
- ST segment : Normal
- T wave : Normal

Kesimpulan:

Sinus rhyme, normoaksis, HR 100bpm, LAD,

Foto Thorax

Kesimpulan:

- Cardiomegaly dengan tanda-tanda bendungan paru


dini
- Dilatatio et elongatio aortae

Echocardiografi:

Kesimpulan

- Dysfunction of systolic and Diastolic


of LV and RV.
- Ejection Fraction 15,86%
- Dilatation at whole chambers.
- Akynetic anterior, others segment
Hypokinetic
- AS severe
- MR severe
- TR mild
- PH moderate

6
V. ASSESMENT
 Diagnosis Kerja
Acute Decompensated Heart Failue
Aorta stenosis
Mitral regurgitasi

VI. PLANNING
a. Pengobatan
 O2 4 lpm via nasal canule
 IVFD NaCl 0,9% 800 cc/24jam
 Aspilet 80mg/24jam/oral
 Clopidogrel 75mg/24jam/oral
 Furosemide 40 mg/12jam/iv
 ISDN 5mg/ SL/Flp

VII. RESUME
Seorang laki-laki 76 tahun msauk rumah sakit dengan keluhan sesak yang dialami
sejak 3 hari terakhir. Sesak dirasakan terus menerus dan memberat sat beraktifitas
maupun berbaring. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca dan membaik bila tidur
menggunakan 3 bantal. Pasien kadang-kadang terbangun malam hari karena merasakan
sesak.
Nyeri dada ada hilang timbul, batuk tidak ada, lendir tidak ada, darah tidak ada.
Demam tiak ada, riwayat demam tidak ada, nyeri kepala tidak ada, keringat dingin
tidak ada, nyeri ulu hati tidak ada. Buang air kecil lancar, buang air besar biasa.
Riwayat merokok ada, riwayat minum alkohol tidak ada. Riwayat menderita demam
rheumatik disangkal. Riwayat tekanan darah tinggi ada sejak 6 tahun lalu berobat tidak
teratur. Riwayat menderita penyakit jantung sejak 6 tahun lalu dan mengkonsumsi
Simarc 1x20mg dan furosemide 1x40mg.

Pada pemeriksaan fisis didapatkan tekanan darah 100/70 mmhg, nadi 88x /menit,
pernapasan 26x / menit, dan suhu axilla 36.6. Pada pemeriksaan keler didapatkan jpv
r+4 cmh2o. Auskultasi regio thoraks didapatkan adanya ronkhi di kedua basal paru.
Dari pemeriksaan elektorkardiograf didapatkan sinus rhyme, normoaksis, hr 100bpm,
lad. Pemerisaan foto x-ray thorax didapatkan adanya pembesaran jantung disertai tanda-
7
tanda bendungan paru serta dilatasi aorta. Hasil echocardiografi menunjukkan adanya
disfungsi systolic dan diastolic dari lv dan rv, ejection fraction 15,86%, dilatation at
whole chambers, akinetik anterior, others segment hipokinetik, as severe, mr severe, tr
mild, ph moderate.

Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang


telah dilakukan maka pasien ini didiagnosis sebagai Acute Decompensated Heart
Failure diserati Stenosis aorta dan Regurgitasi mitral.

8
BAB II
PENDAHULUAN

Gagal jantung merupakan sindroma klinis yang ditandai oleh sesak dan fatik (saat
istirahan atau saat beraktifitas) yang disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung.
Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama padabeberapa Negara
industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia. Dataepidemiologi untuk gagal
jantung di Indonesia belum ada, namun ada SurveiKesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa
penyakit sistem sirkulasi merupakanpenyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada
Profil KesehatanIndonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan ke-
delapan(2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia.
Di antara 10 penyakit terbanyak pada sistem sirkulasi darah, stroketidak berdarahah atau
infark menduduki urutan penyebab kematian utama, yaitusebesar 27 % (2002), 30%( 2003) ,
dan 23,2%( 2004). Gagal jantung menempatiurutan ke-5 sebagai penyebab kematian yang
terbanyak pada sistim sirkulasi pada tahun 2005. (1) Gagal jantung adalah ketidakmampuan
jantung untuk memompakan darah dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan
metabolism tubuh atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian
jantung yang tinggi atau kedua-duanya. pada dengan gagal jantung harus memenuhi kriteria
yakni gejala gejala (symptoms) gagal jantung seperti sesak napas yang spesifik pada saat
istirahat atau saat beraktifitas dan atau rasa lemah dan tidak bertenaga, adanya tanda (signs)
dari gagal jantung berupa retensi air seperti kongesti paru, edema tungkai, dan yang terakhir
ditemukannya abnormalitas dari struktur dan fugsional jantung. (1.2)
Penegakkan diagnosis yang baik sangat penting untuk penatalaksanaangagal jantung
baik akut maupun kronik.Diagnosis gagal jantung meliputianamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaananamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan modal
dasar untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan penunjang yang terdiri dari foto
thoraks,elektrokardiografi, laboratorium, echocardiografi, pemeriksaan radionuklir
jugapemeriksaan angiografi koroner.Perkembangan teknologi canggih dalampencitraan dan
biomarker dapat menolong klinisi untuk menegakkan diagnosisyang lebih baik untuk
menangani penderita dengan gagal jantung.(3)
Penatalaksanaan gagal jantung meliputi penatalaksanaan secara umum/non
farmakologi, farmakologi dan penatalaksanaan intervensi.Penatalaksanaan ini tergantung
penyebab gagal jantung yang terjadi, dan fasilitas yang tersedia.Dengan penatalaksanaan

9
yang baik diharapkan akan terwujud penguranganangka morbiditas dan mortalitas yang
disebabkan gagal jantung.(2.3)

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI
Heart failure atau gagal jantung adalah suatu sindroma klinis kompleks, yang didasari
oleh ketidakmampuan jangtung untuk memompa darah keseluruh bagian tubuh secara
adekuat akibat adanya gangguan struktural dan fungsional dari jantung. Gagal ajntung
akut didefenisikan sebagai serangan rapid/cepat/onset atau adanya perubahan pada
gejala atau tanda-tanda dari gagal jantungyang berakibat diperlukannya tindakan atau
terapi secara urgent. (1)

II. EPIDEMIOLOGI
Heart failure atau gagal jantunng di wilayah United States Amerika sekitar 4 hingga 5
millyar orang dan lebih dari 500.000 merupakan kasus baru dalam setahun. Umumnya
pasien gagal jantung meningkat pada umur tua, sekitar 10% pada umur lebih dari 75
tahun. Gagal jantung merupakan peringkat pertama penyebab pasien datang ke rumah
sakit di Amerika. Faktanya, pasien gagal jantung meningkat sekitar lebih dari 150%
dalam 20 tahun terakhir. Penyebab tersering pasien masuk ke rumah sakit dengan gagal
jantung akut dekompensasi (ADHF). (4)
Gagal jantung menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama padabeberapa
Negara industri maju dan Negara berkembang seperti Indonesia. Dataepidemiologi
untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun ada SurveiKesehatan Nasional
2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi merupakanpenyebab kematian utama
di Indonesia (26,4%) dan pada Profil KesehatanIndonesia 2003 disebutkan bahwa

10
penyakit jantung berada di urutan ke-delapan(2,8%) pada 10 penyakit penyebab
kematian terbanyak di rumah sakit di Indonesia. Di antara 10 penyakit terbanyak pada
sistem sirkulasi darah, stroketidak berdarahah atau infark menduduki urutan penyebab
kematian utama, yaitusebesar 27 % (2002), 30%( 2003) , dan 23,2%( 2004). Gagal
jantung menempatiurutan ke-5 sebagai penyebab kematian yang terbanyak pada sistim
sirkulasi pada tahun 2005.(1.4)

III. ETIOLOGI
Berbagai macam kondisi kardiovaskuler dapat merupakan etiologi dari gagal jantung
akut. Ada banyak kondisi kardiovaskuler yang merupakan pencetus dari timbulnya
gagal jantung akut ini dan juga aktor-faktor yang dapat mencetus terjadinya gagal
jantung akut. Semua faktor sangat penting untuk untuk diidentifikasi dan dihimpun
untuk mengatur strategi pengobatan.
Kondisi lain yang dapat mencetuskan gagal jantung akut adalah ketidak patuhan
minum obat atau nasehat medik , pemakaian obats seperti nsaid, cyclo-oxygenase (cox)
inhibitor, dan thiazolidinedione. Gagal jantung berat juga bisa sebagai akibat agagal
multi organ.

Gambar 1: faktor fator pencetus timbulnya gagal jantung akut (1)

11
Banyak pasien dengan gagal jantung tetap asimptomatik. Gejala klinis dapat muncul
karena adanya faktor presipitasi yang menyebabkan peningkatan kerja jantung dan
peningkatan kebutuhan oksigen, seperti infeksi, aritmia, kerja fisik, cairan, lingkungan, emosi
yang berlebihan, infark miokard, emboli paru, anemia, tirotoksikosis, kehamilan, hipertensi,
miokarditis dan endokarditis infektif.(1.7)

IV. PATOGENESIS
Gagal jantung merupakan manifestasi akhir dari kebanyakan penyakit jantung. Pada
disfungsi sistolik, kapasitas ventrikel untuk memompa darah terganggu karena gangguan
kontraktilitas otot jantung yang dapat disebabkan oleh rusaknya miosit, abnormalitas fungsi
miosit atau fibrosis, serta akibat pressure overload yang menyebabkan resistensi atau tahanan
aliran sehingga stroke volume menjadi berkurang. Sementara itu, disfungsi diastolik terjadi
akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya
compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik.
Penyebab tersering disfungi diastolik adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan
hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofi.(1.6)
Bila curah jantung menurun karena sesuatu keadaan sehingga kebutuhan metabolisme
tidak tercukupi, maka jantung akan melakukan melakukan kompensasi. Beberapa mekanisme
kompensasi alami akan terjadi pada pasien gagal jantung sebagai respon terhadap
menurunnya curah jantung serta untuk membantu mempertahankan tekanan darah yang
cukup untuk memastikan perfusi organ yang cukup. Mekanisme tersebut mencakup: (6)
1. Mekanisme Frank-Starling
Mekanisme Frank-Starling meningkatkan stroke volume berarti terjadi peningkatan
volume ventricular end-diastolic.Bila terjadi peningkatan pengisian diastolik, berarti ada
peningkatan peregangan dari serat otot jantung, lebih optimal pada filamen aktin dan miosin,
sehingga akan meningkatkan tekanan pada kontraksi berikutnya. Pada keadaan normal,
mekanisme Frank-Starling mencocokan output dari dua ventrikel.

12
Gambar 2: Progresifitas klinikal stage pada gagal jantung

2.Mekanisme Neurohormonal
Beberapa ahli menyarankan gagal jantung dilihat dalam suatu model neurohormonal
yaitu gagal jantung berkembang sebagai hasil ekspresi berlebihan suatu molekul yang secara
biologis aktif, yang dapat memberikan efek kerusakan jantung dan sirkulasi. Adapun
pengaturan neurohormonal sebagai berikut:

A. Sistem Saraf Adrenergik


Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan merangsang reseptor reseptor di
sinus karotisdan arkus aorta sebagai suatu penurunan perfusi. Reseptor ini kemudian
akan mengurangi laju rangsangan sein=ring dengan penurunan tekanan darah. Sinyal
akan diantarkan melalui syaraf kranial ke IX dan X ke pusat pengendalian kardiovaskuler
di medulla sehinga mengaktifkan saraf simpatis dan meningkatkan arus perifer dan tonus
parasimpatis berkurang. Hal ini akan meningkatkan laju jantung , meningkatkan
kontraktilitas ventrikel, dan vasokonstriksi akibat stimulus reseptor alpa pada vena dan
arteri sistemik. Peningkatan laju jantung dan kontrakstilitas ventrikal menyebabkan
cufrah jantung akan meningkat. (1.6)

B. Sistem Renin Angiotensin Aldosteron

13
- Curah jantung yang menurun, akan terjadi aktivasi sistem reninangiotensin
aldosteron. Beberapa mekanisme seperti hipoperfusi renal, berkurangnya natrium
terfiltrasi yang mencapai makula densa tubulus distal, dan meningkatnya stimulasi
simpatis ginjal, memicu peningkatan pelepasan renin dari apparatus juxtaglomerular.
Renin memecah empat asam amino dari angiotensinogen I, dan Angiotensin -
converting enzymeakan melepaskan dua asam amino dari angiotensin I menjadi
angiotensin II. Angiotensin II berikatan dengan 2 protein G menjadi angiotensin tipe 1
(AT1) dan tipe 2 (AT2). Proses rennin angiotensin aldosteron ini dapat tergambar
pada Gambar 2.2. Aktivasi reseptor AT1 akan mengakibatkan vasokonstriksi,
pertumbuhan sel, sekresi aldosteron dan pelepasan katekolamin, sementara AT2 akan
menyebabkan vasodilatasi, inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan
bradikinin.

Gambar 3.Sistem Renin Angiotensin Aldosteron


3.Remodeling Ventrikel Kiri

Remodeling ventrikel kiri yang progresif berhubungan langsung dengan bertambah


buruknya kemampuan ventrikel kiri di kemudian hari.Proses remodeling mempunyai efek
penting pada miosit jantung, perubahan volume miosit dan komponen nonmiosit pada

14
miokard serta geometri dan arsitektur ruangan ventrikel kiri.Remodeling berawal dari adanya
beban jantung yang mengakibatkan meningkatkan rangsangan pada otot jantung.
Keadaan jantung yang overload dengan tekanan yang tinggi, misalnya pada hipertensi
atau stenosis aorta, mengakibatkan peningkatan tekanan sistolik yang secara parallel
menigkatkan tekanan pada sarkomer dan pelebaran pada miosit jantung, yang menghasilkan
hipertrofi konsentrik. Jika beban jantung didominasi dengan peningkatan volume ventrikel,
sehingga meningkatkan tekanan pada diastolik, yang kemudian secara seri pada sarkomer dan
kemudian terjadi pemanjangan pada miosit jantung dan dilatasi ventrikel kiri yang
mengakibatkan hipertrofi eksentrik.

Gambar 4.Pola remodelling jantung yang terjadi karena respon terhadap


hemodinamik berlebih.

V. MANIFESTASI KLINIS

15
Pada pasien ADHF sering menampakkan perburukan gejala dari retensi cairan dan
penurunan aktivitas. Meskipun gejalanya terlihat akut, tampak pasien mengalami yang
perburukan gejala sebagai komensasi dari penurunan tingkat aktivitas.(5)
Kriteria Framingham gagal jantung digunakan untuk mendiagnosa gagal jantung kronik
tapi tidak terlalu digunakan untuk mendiagnosa ADHF. Gejala dan tanda yang klasik
pada pasien ADHF seperti penurunan berat badan, sesak, sesak saat bebaring
(ortopneu), terbangun pada malam hari akibat sesak (paroksismal nocturnal dyspneu),
mual, muntah, batuk, kembung, asites, edema periferal, dan ekstremitas dingin. dari
semua itu, gejala yang paling menonjol adalah ortopneu (sekitar 90%).(5)

VI. DIAGNOSIS
Diagnosa gagal jantung akut berdasarkan gejala yang ada dan adanya penemuan
klinis. Konsfirmasi dan penentuan diagnosa diperoleh dari hasil anamsesis yang teliti,
pemeriksaan fisis, elektrokardiograf, foto thoraks, ekokardiogram, dan hasil lab seperti
analisa gas darah, dan biomarker spesifik. penilaian awal secara sistemik berupa berupa
presentasi klinis merupakan hal yang sangat penting meliputi riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik yang teliti. (1.6)
Kriteria gagal jantung Framingham digunakan untuk menidentifikasi pasien gagal
jantung kronik tapi tidak terlalu membantu untuk meidentifikasi ADHF. Menurut The
Consensus Guideline in Management of Acute Decompensated Heart Failure antara
lain: (5)
a. Volume overload b. Hipoperfusi
- Dyspneu saat melakukan aktivitas - Cepat lelah
- Orthopnea - Perubahan status mental
- Paroxismal nocturnal dyspneu - Penyempitan tekanan nadi
16
(pnd) - Hipotensi
- Ronkhi - Ekstremitas dingin
- Cepat kenyang - Perburukan fungsi ginjal
- Mual dan muntah
- Organomegali
-
- Distensi vena juglar
- Refleks hepatojugular
- Ascites
- Edema perifer
Tabel 1: The Sign and Symptoms of the Consensus Guideline in Management of Acute
Decompensated Heart Failure

Elektrokardiograf
Pemeriksaan EKG dapat memberikan informasi yang sangat penting meliputi
frekuensi jantung yang berdebar debar, irama jantung, sistem konduksi dan kadang
etiologi dari GJA. Kelainan segmen ST berupa elevasi miokard infark (STEMI) atau
depresi (NSTEMI). Gelombang Q petanda infark tranmural sebelumnya. Adanya
hipertropi, bundel branch blok, disinkronisasi elektrikal, interval QT memanjang,
disritmia dan perimiokarditis yang perlu diperhatikan.
Foto thorax
Foto thorax harus diperiksa secepat mungkin saat masuk pada semua yang diduga
GJA untuk menilai erajat kongesti paru, dan untuk mengetahui adanya kelainan paru
dan jantung yang lai seperti efusi pleura, infiltrat atau kardiomegali.
Analisa gas darah
Analisa gas darah arterial, memungkinkan kita untuk menilai oksigenasi (po2) fungsi
respirasi (pco2) dan keseimbangan asam basah (ph) dan harus dinilai pada setiap pasien
dengan respiratory distress berat. Asidosis petanda perfusi jaringan yang buruk atau
retensi CO2 dikaitkan dengan prognosis yang buruk.
Pemeriksaan lab
Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, urea, kreatini, gula darah, albumin, enzim hati
dan INR harus merupakan pemeriksaan awal pada semua pasien yang dicurigai GJA.
Kadar sodium yang rendah, ureum dan kreatini yang tingg memberikan prognosis buruk
pada GJA. Peningkatan sedikit pada dari cardiac troponin pada pasien GJA, walau tidak
ada ACS.
Tes NT-proBNP mampu mendeteksi gagal jantung tahap dini yang belum terdeteksi
dengan pemeriksaan elektrokardiografi.Hal ini memungkinkan dokter membedakan
gagal jantung dengan gangguan pada paru yang memiliki gejala serupa, sehingga
17
pengobatan lebih terarah.Kadar NT- proBNP yang berkorelasi dalam darah itu bisa
digunakan untuk mengidentifikasi pasien gagal jantung yang perlu pengobatan intensif
serta memantau pasien risiko tinggi. Di sisi lain, kadar NT-proBNP bisa turun jika
penderita minum obat, sehingga pemeriksaan rutin NT-proBNP bisa digunakan untuk
mengetahui kemajuan pengobatan.
Kesulitan mendiagnosa gagal jantung berdasarkan gejala dan tanda berkembangny
usaha untuk mengidentifikasi biomarker terhadap penyakit ini. pemeriksaan dengan
kateterisasi jantung kanan dengan menggunakan Swan Ganz Catheteryang merupakan
Gold Standart untuk mengukur tekanan intrakardiak dan cardiac output. sayangnya
kateterisasi jantung merupakan kegiatan yang inpasif yang mungkin menimbulkan
komlokasi nantinya. namun pemeriksaan biomarker terhadap gagal jantung seperti B-
Natriuretic Peptide (BNP) yaitu merupakan suatu neurohumoral yang dilepaskan dari
ventrikel jantung sebagai respon terhadap overload cairan dan peningkatan ketegangan
dinding , merupakan penunjang diagnostik untuk ADHF dan merupakan rediksi
terhadap keparahan dan mortilitas yang dikaitkan dengan organ endokrin yang brfungsi
bersamaan dengan sistem fisiologi lainnya untuk mengatur volume cairan. miokardium
dalam hal ini menghasilkan natriuretic peptide, salah satunya B-Type Natriuretic
Peptide, suatu hormon neuretik, natriuretic, dan bekerja merelaksasikan oto polis.
Pengaturn B-Type natriuretic peptide (BNP) memiliki kaitan antara kondisi
klinis tertentu yakni.8
Serum BNP<100
Normal atau gagal jantung terkompensasi dengan baik
Serum BNP 100-200
Gagal jantung terkompensasi dengan baik
Normal (usia lanju
Cor pulmonal
Hipertensi, dysfungsi sistolik
Penyakit jantung iskemik
Serum BNP 200-400
Gagal jajntung terkompensasi dengan ringan sedang
Gagal jantung kronik terkompensasi
Serum BNP > 400
Gagal jantung kongesti yang berat (hipovolemi)
Tabel 2:
18
Ekokardiografi
Ekokardiograf memegang peranan yang sangan penting untuk evaluasi kelainan
struktural dan fungsional dari jantung yang berkaitan dengan GJA. Pemeriksaan echo
saat ini telah menjadi metode diagnostik umumdigunakan untuk menilai anatomi dan
fungsi jantung, myokardium dan perikadium, dan mengevaluasi gerakan regional
dinding jantung saat istirahat dan saat diberikan stress farmakologis pada gagal jantung.
Pemeriksaan ini noninvasif, dapat dilakukan secara cepat di tempat rawat, dapat dengan
mudah diulang secara serial, dan memungkinkan penilaian fungsi global dan regional
ventrikel kiri. Pada penilaian gagal jantung echocardiography adalah metode diagnostik
yang dapat dipercaya, dapat diulang, dan aman dengan banyak fitur seperti doppler
echo, doppler tissue imaging, strain rate imaging, dan cardiacmotion analysis.
Fitur yang paling penting pada evaluasi gagal jantung adalah penilaianleft-ventricular
ejection fraction (LVEF), beratnya remodelling ventrikel kiri, dan perubahan pada
fungsi diastolik.3 Echo dua dimensi sangat berharga dalam menilai fungsi sistolik dan
diastolik pada pasien dengan gagal jantung.

VII. KLASIFIKASI
Gagal jantung diklasifikasikan menurut American College of Cardiology (ACC) dan
American Heart Association (AHA) terbagi atas atas 4 stadium berdasarkan kondisi
predisposisi pasien dan derajat keluhannya yaitu :
a. Stage A : Risiko tinggi gagal jantung, tetapi tanpa penyakit jantung struktural atau
tanda dan gejala gagal jantung. Pasien dalam stadium ini termasuk mereka yang
mengidap hipertensi, DM, sindroma metabolik, penyakit aterosklerosis atau
obesitas.
b. Stage B : penyakit jantung struktural dengan disfungsi ventrikel kiri yang
asimptomatis. Pasien dalam stadium ini dapat mengalami LV remodeling, fraksi
ejeksi LV rendah, riwayat IMA sebelumnya, atau penyakit katup jantung
asimptomatik.
c. Stage C : Gagal jantung simptomatis dengan tanda dan gejala gagal jantung saat ini
atau sebelumnya. Ditandai dengan penyakit jantung struktural, dyspnea, fatigue,
dan penurunan toleransi aktivitas.
d. Stage D : Gagal jantung simptomatis berat atau refrakter. Gejala dapat muncul saat
istirahat meski dengan terapi maksimal dan pasien memerlukan rawat inap.
Klasifikasi Gagal Jantung menurut New York Heart Association (NYHA)
19
a. NYHA kelas I, para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan
fisik serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah,
sesak nafas atau berdebar-debar, apabila mereka melakukan kegiatan biasa.
b.NYHA kelas II, penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka
tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung berdebar,
sesak nafas atau nyeri dada.
c. NYHA kelas III, penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam
kegiatan fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan
fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala insufisiensi
jantung seperti yang tersebut di atas.
d.NYHA kelas IV, penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan gejala-gejala
insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan kegiatan fisik
meskipun sangat ringan.

Pasien dengan gejala wet-warm lebih sering diibandingkan dengan 3 gejala lainnya
yakni wet-warm, dry-warm, dan dry-cold. Keempat gejala klinis yang terlihat
digunakan untuk menentukan terapi yang tepat. Tujuan dari terapi pada pasien ADHF
adalah untuk menstabilkan pasien, mengembalikan hemodinamik yang abnormal,
mempercepat onset sesak atau hipoksemia akibat congesti paru, dan pengobatan yang
cepat dapat menurunkan perkembangan penyakit dan memperbaiki kualitas hidup. (7)
Sistem klasifikasi tersebut antara lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan
pada Infark Miokard Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi
Forrester, Stevenson dan NYHA. (3.7)
Klasifikasi Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan melihat tanda kongesti
dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya ortopnea,distensi vena juguler,
ronki basah, refluks hepatojugular, edema perifer, suara jantung pulmonal yang
berdeviasi ke kiri, atausquare wave blood pressure pada manuver valsava. Status
perfusi ditetapkan berdasarkan adanya tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans,
hipotensi simtomatik, ekstremitas dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang
mengalami kongesti disebut basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan
gangguan perfusi disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm).
Berdasarkan hal tersebut penderta dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
20
– Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
– Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
– Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
– Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)
Acute decompensated heart failure merupakan karakteristik dari abnormalitas
hemodinammik dan aktifitas neurohormonal pada gejala gagal jantung , disfungsi pada
organ, aritmia, dan pada gagal jantung yang progresif. penatalaksanaan ADHF di ruang
emergency dapat dilakukan secara sederhana dengan hasil yang baik dalam 2 menit
dengan mengenal dari 4 gejala hemodinamik yang mungkin tampak dari tanda dan
gejala. Gejala yang dilihat apakah adanya tanda congesti atau tidak (wet and dry), dan
perfusi yang adekuat atau terbatas (warm dan cold).
Klasifikasi tampilan klinis. Merupakan cara yang paling sederhana, didasarkan pada
observasi perfusi dan auskultasi paru. Perfusi baik dinyatakan dengan hangat ( warm ),
perfusi buruk dinyatakan dengan dingin ( cold). Tidak ada kongesti dinyatakan dengan
kering (dry) dan adanya kongesti paru dinyatakan dengan basah ( wet )
Tanda pada kongesti:
 Ortopnu
 Paroxysmal nocturnal dyspnea
 Distensi vena leher
 Asites , edema
 Hepatojugular reflux
 Rales

Tanda pada perfusi yang kurang:


 Hipotensi, takikardi
 Ekstremitas dingin
 Tekanan nadi sempit dan lemah
 Mengantuk, gelisah
 Peningkatan ureum dan kreatinine
 Hiponatremi, oliguri

21
VIII. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi pada pasien ADHF dapat dilakukan dengan 3 tahap. Tujuan utama saat di
ruang gawat darurat adalah perbaikan oksigenasi, perfusi ke jaringan, dan
keseimbangan cairan tubuh.
Pengobatan pada pasien HF didasari pada indikasi gejala klinis yaitu peningkatan atau
penurunan tekanan pengisian ventrikel (wet atau dry) dan baiknya perfusi ke jaringan
atau tidak (warm atau cold). Pada pasien ADHF, penatalaksanaan dilihat berdasarkan
perfusi jaringan dan tekanan pengisian.
Berbeda dengan temuan-temuan pada gagal jantung kronis, pasien gagal jantung akut
adalah pasien yang datang dengan gejala-gejala yang gawat dan sering kali mengancam
nyawa. Gagal jantung akut dapat berkembang pada pasien yang tadinya asimtomatis
(misalnya akibat sindrom koroner akut, hipertensi berat, atau regurgitasi katup akut,
atau dapat mengkomplikasi gagal jantung terkompensasi kronis setelah adanya
pemicu.Penanganan gagal jantung akut biasanya memerlukan rawat inap dan intervensi
segera. Klasifikasi pasien gagal jantung akut, dan pendekatan terapinya, dapat
dilakukan berdasarkan ada tidaknya 2 temuan ketika dirawat: (1) volume overload
(yaitu “wet” vs. “dry”) sebagai refleksi tekanan pengisian LV yang meningkat, dan (2)
tanda-tanda penurunan cardiac output disertai penurunan perfusi jaringan (tangan dan
kaki “dingin” vs. “hangat”). Contoh profil “wet”, yang merupakan indikasi volume
overload, termasuk: bunyi paru (pulmonary rales), distensi vena jugular, dan edema
ekstremitas bawah (kaki). Gambar 3 menujukkan bagaimana pasien dengan gagal
jantung akut dapat diklasifikasikan menjadi 4 profil berdasarkan observasi parameter
tersebut.
Peningkatan tekanan pengisian LV
YA TIDAK
YA Profil A Profil B
Penurunan “warm and “warm and
CO dry” Wet”
TIDAK Profil L Profil C
“Cold and Dry” “Cold and Wet”
Tabel 3: Profil hemodinamik pada gagal jantung akut
Profil A menunjukkan hemodinamik normal. Gejala kardiopulmoner pada pasien
demikian disebabkan oleh faktor-faktor di luar gagal jantung, misalnya adanya penyakit
paru-paru parenkim atau iskemia miokard sementara. Profil B dan C biasanya terjadi
22
pada pasien dengan edema pulmoner akut (dijelaskan kemudian). Profil B biasanya
paru-parunya “basah”; tetapi perfusi jaringan masih baik (preserved) sehingga pasien
“hangat”. Profil C lebih serius; selain temuan kongesti; gangguan forward cardiac
output mengakibatkan vasokonstriksi sistemik (misalnya, aktivasi sistem saraf) dan
oleh karena itu ekstremitas menjadi “dingin”. Pasien dengan Profil C prognosisnya
lebih buruk daripada Prifil B, yang outcomesnya juga akan lebih buruk daripada Profil
A. Pasien dengan Profil L bukan merupakan lanjutan Profil lainnya. Pasien dengan
Profil L menunjukkan ekstremitas “dingin” akibat output yang rendah (low, “L”) tetapi
tanpa tanda-tanda kongesti vaskuler. Profil L ini mungkin muncul pada pasien yang
mengalami deplesi volum, atau pada pasien yang reserve kardiaknya sangat terbatas
ketika tidak ada volume overload (misalnya, pada pasien dengan dilatasi ventrikel kiri
dan regurgitasi mitral yang kemudian mengalami sessak nafas ketika beraktivitas
karena ketidakmampuan menghasilkan forward cardiac output yang adekuat). Profil-
profil gagal jantung akut ini jangan dicampuradukkan dengan klasifikasi gagal jantung
kronis (Stages A sampai D).
Tujuan terapi pada gagal jantung akut adalah untuk (1) menormalkan tekanan pengisian
ventrikuler dan (2) mengembalikan perfusi jaringan yang adekuat. Identifikasi profil
pasien akan membantu pemilihan intervensi terapeutik. Sebagai contoh, pasien dengan
profil B akan memerlukan diuretik dan/atau vasodilator untuk mengatasi edema
pulmoner (dijelaskan pada bagian selanjutnya), dan pasien dengan Profil C mungkin
akan perlu tambahan terapi inotrop intravena untuk memperkuat cardiac output. Pasien
dengan Profil L mungkin memerlukan ekspansi volum. Adanya Profil A
mengindikasikan perlunya segera dicari penyebab timbulnya gejala-gejala pada pasien
selain gagal jantung (karena gejala bukan akibat gagal jantung).

23
a. Diuretik
Pasien dengan ADHF biasnaya datang dengan bendungan pada sirkulasi, terapi
diuretik intravena merupakan lini pertama dari strategi pengobatan. Obat ini akan
menurunkan kelebihan volume dengan menurunkan diuresi dan natriuresis dengan
menghambat reabsorbsi natrium di lengkung Henle. Efek diureis yang lebih besar
dapat digunakan bila digunan loop diuresis bersamaan thiazid.
Pemberian pertama diuretik diberikan secara bolus intravena untuk
memaksimalkan kerja obat dan untuk menghindari kemungkinan penurunan fungsi
karena edema intestinal. Dosis tertinggi furosemide intravna adalah 180-360mg.

24
b. Vasodilator
Vasodilator diindikasikan pada kebanyakan pasien GJA sebagai terapi lini pertama
pada hipoperfusi yang berhubungan dengan tekanan darah adekuat dan tanda
kongesti dengan diuresis sedikit. Obat ini bekerja dengan membuka sirkulasi
perifer dan mengurangi preload.
Vasodilator berperan penting dalam mengatasi gagal jantung berat, terutama yang
disebabkan oleh hipertensi, penyakit jantung iskemik, insufisiensi mitral, dan
insufisiensi aorta.
Vasodiltor akan memperbaiki keseimbangan kardiovaskular. Pada gagal jantung
bendungan, gangguan fungsi kontraksi jantung diperberat oleh peningkatan
kompensasi pada preload dan afterload. Preload adalah volume darah yang mengisi
ventrikel selama diastole. Afterload adalah tekanan yang harus diatasi jantung pada
saat memompa darah ke sistem arterial. Peningkatan preload menyebabkan
pengisian jantung berlebihan. Peningkatan afterload menyebabkan jantung bekerja
lebih kuat memompa darah ke sistem arterial. Pemberian vasodilator berguna untuk
mengurangi preload dan afterload yang berlebihan. Dilatasi pembuluh darah vena
menyebabkan berkurangnya preload jantung dengan meningkatkan kapasitas vena;
vasodilator arterial menurunkan resistensi arteriol sistemik dan menurunkan
afterload.

25
Pemilihan vasodilator untuk penderita gagal jantung dilakukan berdasarkan gejala
gagal jantung dan parameter yang ada. Pada penderita yang tekanan pengisiannya
(filling pressure) tinggi sehingga sesak nafas yang menonjol, vasodilator akan
membantu mengurangi gejala. Sebaliknya, penderita dengan curah jantung rendah
yang ditandai dengan kelelahan umum (fatique) akan tertolong dengan arteriole
dilator. Namun, pada penderita gagal jantung kronis yang kurang responsif
terhadap pengobatan, biasanya kedua faktor di atas berperan sehingga diperlukan
vasodilator yang sekaligus bekerja pada arteriol dan vena.
Vasodilator parenteral misalnya natrium nitroprusid atau nitrogliserin i.v,
digunakan untuk mengobati gagal jantung kronis dan eksaserbasi akut yang berat.
Inhibitor ACE dan vasodilator oral jangka panjang, ditujukan untuk gagal jantung
kronik yang berat refrakter. Nitrogliserin yang digunakan untuk angina pektoris
dapat pula digunakan untuk mengurangi preload sehingga akan mengurangi edema
paru.
1) Natrium Nitroprusid
Karena berefek arteriodilator dan vasodilator, obat ini mengurangi tekanan
pengisian dan meningkatkan curah jantung pada penderita gagal jantung dengan
gangguan pompa yang berat
Obat ini lebih efektif dan lebih cepat kerjanya. Isi sekuncup yang ditimbulkan
dapat mengimbangi turunnya resistensi perifer sehingga tekanan darah biasanya
tidak banyak berubah. Kombinasi dengan zat inotropik, misalnya dobutamin akan
meningkatkan efektivitasnya, terutama pada penderita dengan komplikasi
hipotensi. Dosis yang biasa diberikan adalah 15-20 µg/menit pada orang dewasa
dan 0,1-8 µg/kg BB/menit pada anak-anak.
2) Nitrogliserin
Indikasi utama obat ini ialah untuk angina pectoris, tetapi karena dapat mengurangi
preload, obat ini bermanfaat untuk menurunkan tekanan pengisian ventrikel kiri
dan mengurangi edema paru akut.
3) Hidralazin
Merupakan arteriodilator. Dalam penggunaan jangka panjang pada gagal jantung
bendungan akan memperbaiki hemodinamik walaupun efeknya terhadap
kebertahanan hidup masih belum jelas. Refleks takikardi yang sering timbul pada
penderita hipertensi jarang terjadi pada pengobatan gagal jantung.

26
Cara kerja, hidralazin merelaksasi otot polos arteriol secara langsung dan
vasodilatasi yang terjadi dapat menimbulkan reaksi kompensasi yang kuat berupa
peningkatan denyut dan kontraktilitas jantung, serta peningkatan renin plasma dan
retensi cairan yang akan melawan efek hipotensi obat. Penurunan tekanan diastolik
lebih besar daripada tekanan sistolik. Absorbsinya melalui saluran cerna dan
hampir sempurna.

c. Inotropik
Pada pasien ADHF akan tampak penurunan jumlah urin, ekstremitas menjadi
dingin, penurunan tekanan nadi, dan perubahan status mental. Terapi inotropik,
seperti dobutamin dan milrinone harus dipertimbangkan untuk diberikan pada
pasien dengan “cool and dry” pada tipe GJ. Dobutamin adalah suatu agonis β-
adrenergik yang bekerja sebagai inotropik positif pada jantung. Dalam dosis
sedang, dopamine meningkatkan kontraktilitas miokard tanpa meningkatkan
frekuensi denyut jantung, sedangkan dosis yang lebih tinggi meningkatkan tekanan
darah dan frekuensi denyut jantung. Hal ini agaknya menunjukkan kerja yang
relatif selektif pada otot ventrikel. Jadi, secara relatif, dobutamin lebih menonjol
dalam hal meningkatkan kontraktilitas otot jantung daripada meningkatkan
kontraktilitas otot jantung daripada meningkatkan frekuensi denyut janyung
sehingga obat tersebut menghasilkan inotropik positif.
Inhibitor fosferiditerase, obat yang termasuk dalam golongan ini adalah amrinon
dan milrinon sebagai inhibitor fosfodiesterase yang memacu peningkatan
konsentrasi siklik-AMP intrasel, dan meningkatkan kontraktilitas otot jantung atau
bersifat inotropik positif. Akhir-akhir ini, hasil uji klinis menunjukkan bahwa obat-
obat ini tidak dapat menurunkan angka kematian mendadak dan tidak dapat
memperpanjang masa hidup penderita gagal jantung bendungan.

27
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu


Penyakit Dalam. 5h ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.
2. kapsel
3. Andra L. Emergency Diagnosis and Treatment of Acute Decompensated Heart
Failure. Orlando: Univenrsity of Cancaty A.S; 2005.
4. John, R. Mark, A. Managenent of Acute Decompensated Heart Failure. 2006.
5. Abraham, W. Managenent of Acute Heart Failure. Colombus: Universitas State Ohio.
USA.
6. Darmojo B. Gagal Jantung Akut. Dalam : Darmojo B, Martono HH, editor. Buku Ajar
Kardiovaskular : Balai Penerbit FKUI, 2004.
7. Greeg, C. Rapid Clinical Assessment of Hemodynamic Profiles and Targeted
Treatment of Patients with Acutely Decompensated Heart Failure. USA: Department
Emergency Medicine Univescity of Michigan. 2004.

28

You might also like