You are on page 1of 46

Family Folder

KELUARGA TN. A

Periode:
20 Maret – 13 April 2018

Oleh :
Muhammad Imam Mulia, S.Ked 04054821719036
Iqbal Fahmi, S.Ked 04054821719033

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN


ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

i
Family Folder dengan Judul :
Keluarga Tn. A

Disusun Oleh:
Muhammad Imam Mulia, S.Ked dan Iqbal Fahmi, S.Ked

Telah diterima sebagai salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya RSUP Dr. Mohammad Hoesin
Palembang.

Palembang, April 2018


Mengetahui,
Kepala Puskesmas Dempo

dr. Hj. Meiri Iryani, M.Kes

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
portofolio ini dengan judul “Keluarga Tn.O”. Portofolio ini merupakan salah satu
syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian IKM-IKK FK UNSRI.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada dr. H. M. A. Husnil Farouk, MPH selaku pembimbing yang telah
memberikan pengarahan dan saran yang mendukung sehingga portofolio ini dapat
terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan Puskesmas
Dempo dr. Hj. Meiri Iryani, M.Kes sebagai pembimbing, beserta stam, teman-
teman, dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan portofolio ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan portofolio ini
masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Demikianlah penulisan portofolio ini, semoga bermanfaat, amin.

Palembang, April 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI
Halaman Judul………………………………………………................... i
Halaman Pengesahan………………………………………… ................ ii
Kata Pengantar……………………………………………………… ...... iii
Daftar Isi…………………………………………………………............ iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………………… 1

BAB II LAPORAN KASUS


2.1 Identitas Pasien……………………………………………………… 3
2.2 Anamnesis………………………………………………………… ... 3
2.3 Pemeriksaan Fisik…………………………………………………… 5
2.4 Rencana Pemeriksaan Penunjang…………………………………… 8
2.5 Diagnosis Kerja ................................................... ............................... 8
2.6 Diagnosis Banding ................................................... .......................... 8
2.7 Penatalaksanaan…………………………………………………… .. 8
2.9 Prognosis…………………………………………………………… . 9
2.10 Kerangka Masalah Pasien…………………………………………… 10

BAB III TINJAUAN PUSTAKA


3.1 Definisi……………………………………………………………....... 11
3.2 Epidemiologi………………………………………………………....... 11
3.3 Etiologi……………………………………………………………....... 13
3.4 Patofisiologi…………………………………………………………… 16
3.5 Gejala Klinis........................................................................................... 16
3.6 Diagosis……………………………...………………………………... 19
3.7 Diagosis Banding……………………………...……………………… 22
3.8 Penatalaksanaan……………………………...……………………….. 23
3.9 Pencegahan…….…………………………...……………………….. 26
3.10 Prognosis ............................................................................................ 27
3.11 Kesimpulan ......................................................................................... 27

iv
BAB IV PENCEGAHAN/PEMBINAAN
4.1 Genogram…………………………………… .................................... 29
4.2 Home Visite………………………………………………… ............ 29

DAFTAR PUSTAKA………………………………… .......................... 34


LAMPIRAN 1…………………………………………………… .......... 36
LAMPIRAN 2……………………………………………… .................. 39
LAMPIRAN 3………………………………………………………... ... 40

v
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Scabies merupakan suatu infestasi penyakit yang berasal dari tungau
Sarcoptes scabiei var. hominis, famili Sarcoptidae, kelas Arachnida. Di negara-
negara berkembang, scabies cenderung memiliki prevalensi lebih tinggi pada
anak-anak usia prasekolah dan remaja, sedangkan di negara-negara maju,
prevalensi merata di semua usia (Burkhartet al. 2000). Penyakit scabies juga
tinggi pada negara tropis sebagai daerah endemik. Pada beberapa penelitian,
lebih banyak ditemukan di pedesaan dan terjadi pada musim dingin sekitar bulan
6-8 (Leone, 2007). Menurut tinjauan WHO dari 18 studi prevalensi antara tahun
1971 dan 2001, prevalensi scabies berkisar antara 0,2% dan 24%.
Berdasarkan data Departemen Kesehatan RI, prevalensi scabies di
puskesmas seluruh Indonesia pada tahun 1996 adalah 4,6 % – 12,96 % dan
scabies menduduki urutan ketiga dari 12 penyakit kulit tersering. Berdasarakan
data Dinas Kesehatan Kota Palembang (2009) prevalensi scabies sebesar 8,9%
dari keseluruhan penyakit kulit infeksi. Data Rumah Sakit Umum Pusat Dr.
Mohammad Hoesin (RSUP MH) Palembang mencatat, pada tahun 2007-2011
secara berurutan sebesar 6,32%, 9,38%, 4,36%, 4,08% dan 5,13% kasus scabies
dari total penyakit kulit infeksi (Thaha, 2014).
Scabies dapat ditularkan secara langsung dan tidak langsung. Kontak
langsung dengan penderita scabies seperti berjabat tangan, tidur bersama dan
hubungan seksual. Sedangkan kontak tak langsung terjadi melalui benda yang
dipakai bersama seperti handuk, pakaian, sprei, bantal, dan lain-lain (Handoko,
2011). Penyakit scabies pada umumnya menyerang individu yang hidup
berkelompok seperti di asrama, pesantren, lembaga pemasyarakatan, rumah
sakit, perkampungan padat, dan rumah jompo (Sudirman, 2006).
Penyakit ini mudah menular dan banyak faktor yang membantu
penyebarannya antara lain kemiskinan, higiene individu yang jelek dan
lingkungan yang tidak sehat (Sudirman, 2006). Menurut Leone (2007),

1
peningkatan scabies juga diikuti oleh kepadatan lingkungan tempat tinggal dan
masalah kesehatan masyarakat di lingkungan dengan hygiene yang kurang baik.
Kasus scabies tercatat masih cukup banyak akibat transmisi penyakit yang
mudah terutama pada lingkungan padat yang hidup bersama seperti pesantren.
Padahal penyakit kudis ini sebenarnya bukan penyakit yang berbahaya dan bisa
disembuhkan, namun banyak kerugian yang dapat ditimbulkan seperti
peningkatan biaya karena kesalahan diagnosis sehingga melakukan pengobatan
yang berulang, mengganggu aktivitas dan konsentrasi belajar karena gatal yang
ditimbulkan dan dapat dengan mudah menular kepada orang terdekat sehingga
dapat menyebar. Bahaya lebih lanjut pada penderita scabies dapat terjadi infeksi
sekunder yang dapat menyebabkan impetigo, abses dan selulitis yang bisa
menjadi komplikasi yang serius seperti septikemia, penyakit ginjal, glomerulo
nefritis, demam rematik bahkan bisa sampai kepada kematian.

BAB II
LAPORAN KASUS

2
I. IDENTIFIKASI
Nama : Tn. A
Tempat Tanggal Lahir : Palembang, 23 Februari 1988
Usia : 30 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Tukang Masak
Suku Bangsa : Palembang
Alamat : Jln. Kolonel Atmo No 419 RT 09 Kec. Ilir Timur 1
Kel. 17 Ilir Palembang, Sumatera Selatan
Puskesmas : Dempo
Dokter Muda : Muhammad Imam Mulia, S.Ked dan Iqbal Fahmi,
S.Ked

II. ANAMNESIS (Autoanamnesis pasien pada tanggal 31 Maret 2018 pukul


10.00 WIB)
Keluhan utama : timbul bintil merah di kedua punggung tangan, lengan
bawah, tungkai bawah, dan punggung kaki yang bertambah
banyak sejak 1 pekan yang lalu.
Keluhan tambahan : terasa gatal terutama malam hari pada bintil merah.
Riwayat perjalanan penyakit
Kisaran 1 bulan lalu, timbul beberapa bintil merah seukuran biji kacang
hijau di kedua tungkai bawah dan punggung kaki yang terasa gatal terutama
pada malam hari. Pasien tidak berobat.
Kisaran 2 pekan lalu, bintil merah kedua tungkai bawah dan punggung
kaki semakin banyak. Timbul beberapa bintil baru seukuran biji kacang hijau
di kedua punggung tangan yang gatal terutama pada malam hari. Pasien sering

3
menggaruk bintil hingga pecah menjadi lecet yang kemudian ditutupi keropeng
coklat kehitaman. Pasien mengkonsumsi obat CTM 3 kali sehari namun
keluhan tidak ada membaik.
Kisaran 1 pekan lalu, bintil merah bertambah hingga ke lengan bawah.
Bintil merah di tungkai bawah dan kaki semakin banyak, sebagian menjadi
kehitaman. Keluhan gatal semakin berat terutama pada malam hari dan
dirasakan menganggu istirahat. Pasien kemudian berobat ke puskesmas Dempo
Palembang.

Riwayat Penyakit Dahulu


 Keluhan yang sama berupa bintil merah dan gatal terutama pada malam
hari sebelumnya disangkal.
 Timbul bentol merah yang gatal setelah konsumsi makanan laut ada pada
2 bulan yang lalu.
 Timbul bentol merah yang gatal setelah konsumsi obat-obatan tertentu
disangkal.
 Rasa gatal berulang terutama di lipatan siku, lipatan paha, dan lipatan lutut
disangkal.
 Merasa gatal setelah kontak dengan pakaian berbahan dasar wol disangkal.
 Digigit serangga sebelum timbul bintil merah sebelumnya disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


 Timbul bintil disertai gatal terutama malam hari pada keluarga disangkal.
 Keluhan gatal dan timbul bintil merah setelah konsumsi makanan laut pada
keluarga disangkal.
 Teman satu kamar pasien ada yang mengalami keluhan yang sama dengan
pasien.
Riwayat Sosioekonomi
Pasien merupakan kepala keluarga dari seorang istri tanpa anak. Pasien tinggal
di rumah bersama orang tua, saudara beserta keluarga saudara, tidur di kamar
yang berisi 5 orang. Pasien dan istri bekerja sebagai pembuat roti.
4
Kesan : Sosio ekonomi menengah.

Riwayat higienitas
 Pasien tidur bersama 4 orang keluarganya
 Pasien tidak menggunakan handuk bersama dengan teman lain.
 Pasien tidak pernah bergantian memakai baju yang sama dengan
temannya.
 Pasien mandi 2 kali sehari dengan menggunakan air sumur dan sabun.
 Sarung kasur dan bantal serta selimut di kamar jarang diganti, yaitu 3 – 4
bulan sekali.
Kesan: Higienitas kurang baik.

III. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 31 Maret 2018 pukul 10.00 WIB)


Status generalikus
Keadaan umum : sakit ringan
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Suhu : 36,3oC
Pernapasan : 18 x/menit
Tinggi badan : 165 cm
Berat badan : 46 kg
IMT : 16,89 kg/m2
Status gizi : underweight

Keadaan Spesifik
Kepala

5
Mata : tidak ada orbital darkening, tidak ada lipatan
Dennie-Morgan, tidak ada konjungtiva palpebra
pucat, tidak ada sklera ikterik
Hidung : tidak ada sekret, mukosa merah muda
Telinga : meatus akustikus eksternus lapang
Mulut : chelitis tidak ada, stomatitis tidak ada
Tenggorokan : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher : tidak ada lipatan leher depan, JVP (5-2) cm H2O
Dada
Jantung : HR = 90 x/menit, bunyi jantung normal, tidak ada
bunyi jantung tambahan
Paru-paru : suara paru vesikuler (normal), tidak ada rhonki dan
wheezing
Perut : datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada
nyeri tekan, bising usus dalam batas normal
Ekstremitas : tidak ada hiperlinearis palmoplantar, tidak ada
xerosis, akral hangat, tidak ada edema
Kelenjar getah bening : pada inspeksi dan palpasi tidak didapatkan
pembesaran bening (KGB) KGB retroaurikula,
submandibula, colli, axilla, et inguinal medial et
lateral.
Status dermatologikus
Pada regio antebrachialis et dorsum manus et tibialis et dorsum pedis dextra
et sinistra:
- papul eritem, multipel, bulat, milier, diskret, sebagian konfluen;
- makula hiperpigmentasi, multipel, bulat-ireguler, milier-lentikuler, diskret;
- erosi, multipel, bulat-ireguler, beberapa ditutupi krusta coklat kehitaman,
tipis, dan sulit dilepaskan (Gambar 1, 2, 3, 4).

6
1 2

Gambar 1. Regio antebrachialis et dorsum manus aspektus anterior dextra et sinistra:


(1) Papul eritem (2) makula hiperpigmentasi; (3) erosi

3 4

1
2

Gambar 2. Regio antebrachialis aspektus posterior dextra et sinistra: (1) papul eritem (2) makula
hiperpigmentasi; (3) erosi; (4) krusta

3
1 2

Gambar 3. Regio tibialis aspektus anterior dextra et sinistra: (1) papul eritem; (2) makula
hiperpigmentasi; (3) erosi.

7
1 2

Gambar 4. Regio tibialis aspektus posterior dextra et sinistra: (1) papul eritem; (2) makula
hiperpigmentasi; (3) krusta.
IV. RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan kerokan kulit menggunakan KOH

V. DIAGNOSIS BANDING
1. Skabies
2. Dermatitis atopik
3. Prurigo hebra

VI. DIAGNOSIS KERJA


Skabies

VII. PENATALAKSANAAN
Khusus
Topikal:
 krim permetrin 5% 30 gram.

Sistemik
 tablet cetirizine 1x10 mg/hari/oral.

8
Umum
 Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita merupakan
penyakit menular akibat tungau yang bersarang pada karpet, sprei, baju,
handuk, dan lain-lain.
 Menjelaskan kepada pasien untuk merendam pakaian, sarung kasur dan
bantal, dan handuk yang digunakan dengan menggunakan air panas.
 Menjelaskan kepada pasien untuk mencuci dan menjemur kasur dan
bantal secara teratur minimal 1 kali sepekan.
 Menyarankan kepada pasien untuk membawa teman satu kamar dengan
pasien untuk berobat.
 Menjelaskan kepada pasien cara pemakaian obat yang benar, yaitu
dioleskan ke seluruh tubuh mulai dari bagian belakang telinga, leher ke
bagian bawah, termasuk sela jari tangan dan kaki, hindari terkena air
setelah pemakaiannya dan biarkan selama 8-12 jam. Diulangi 1 pekan
kemudian.

IX. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : bonam

9
Kerangka Masalah Pasien

Biologis
Riwayat keluarga
menderita
penyakit serupa

Lingkungan Lingkungan
Teman satu kamar Sarung kasur,
pasien menderita bantal dan selimut
penyakit serupa Skabies jarang dicuci

Pelayanan
Kesehatan
Ada sarana
prasarana
menangani
skabies

10
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
SKABIES

3.1. DEFINISI
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis.1 Sarcoptes scabiei ini dapat
ditemukan di dalam terowongan lapisan tanduk kulit pada tempat-tempat
predileksi. Wabah scabies pernah terjadi pada zaman penjajahan Jepang (1942-
1945),2 kemudian menghilang dan timbul lagi pada tahun 1965. Hingga kini,
penyakit tersebut tidak kunjung reda dan insidensnya tetap tinggi.3 pengetahuan
dasar tentang penyakit ini diletakkan oleh Von Hebra, bapak dermatologi modern.
Penyebabnya ditemukan pertama kali oleh Benomo pada tahun 1667, kemudian
oleh Mellanby dilakukan percobaan induksi pada sukarelawan selama perang dunia
II.1

3.2. EPIDEMIOLOGI
Skabies menduduki peringkat ke-7 dari sepuluh besar penyakit utama di
puskesmas dan menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di
Indonesia.3 Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies.
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain keadaan
sosial ekonomi yang rendah, higiene yang buruk, hubungan seksual yang sifatnya
promiskuitas, kesalahan diagnosis dan perkembangan dermografik seperti keadaan
penduduk dan ekologik.1 Penyakit ini juga dapat dimasukkan dalam Infeksi
Menular Seksual (IMS).5
Beberapa sumber menuliskan bahwa skabies merupakan penyakit yang
terdapat diseluruh dunia dengan insiden yang berfluktuasi akibat pengaruh faktor
yang belum diketahui sepenuhnya.3 Untuk suatu sebab yang sulit dimengerti,
penyakit skabies ternyata sering menyebabkan epidemi yang diperkirakan setiap 30
tahun sekali. Sekitar tahun 1940-1970 pernah terjadi pandemi terbesar di seluruh
dunia. Penyakit ini sering terjadi terutama pada daerah beriklim tropis dan
subtropis.5

11
Di beberapa Negara yang sedang berkembang, prevalensi skabies sekitar 6-
27% dari populasi umum dan cenderung tinggi pada anak usia sekolah serta remaja.
Menurut data Departemen Kesehatan RI prevalensi skabies di puskesmas di seluruh
Indonesia pada tahun 1986 adalah 4,5-12,9% dan menduduki urutan ke-3 dari 12
penyakit kulit terbanyak. Di Divisi Dermatologi Anak Unit Rawat Jalan RSU Dr.
Soetomo selama 6 tahun (1996 sampai 2001) skabies menduduki urutan ke-3
diantara 10 penyakit kulit terbanyak (10,5-12,3%). Jumlah penderita skabies anak
usia 1-14 tahun di Divisi Dermatologi Anak Unit Rawat Jalan RSU Dr. Soetomo
tahun 2003 sebanyak 80 penderita.6
Insiden penyakit skabies di Negara berkembang memperlihatkan siklus
berfluktuasi yang tidak dapat dijelaskan secara memuaskan, mungkin berhubungan
dengan teori herd immunity. Skabies dapat diderita semua orang tanpa
membedakan usia dan jenis kelamin; akan tetapi lebih serin ditemukan pada anak-
anak usia sekolah dan dewasa muda (remaja). Di beberapa Negara berkembang,
penyakit ini dapat menjadi endemik secara kronis pada beberapa negara.5 Insidens
penyakit skabies ini sangat tinggi terutama pada lingkungan dengan tingkat
kepadatan penghuni yang tinggi dan kebersihan yang kurang memadai. Pada
beberapa penelitian menemukan bahwa di suatu pesantren yang padat penghuninya,
prevalensi skabies mencapai 78,7% dimana prevalensi yang lebih tinggi terdapat
pada kelompok yang higienenya kurang baik (72,7%) dan pada kelompok yang
higienenya baik prevalensi skabies hanya 3,8% dan 2,2%.3 Penelitian lain yang
dilakukan di Pondok Pesantren di kabupaten lamongan menunjukkan bahwa dari
338 santri, 64,20 % menderita skabies yang dimana angka ini lebih tinggi dari
prevalensi pada Negara sedang berkembang yang hanya 6-27% atau bahkan
prevalensi di Indonesia yang hanya 4,60-12,75% saja. Dari penelitian tersebut
didapati bahwa penyebab paling sering adalah karena higiene yang buruk, sanitasi
lingkungan yang kurang baik, serta perilaku para santri yang tidak menjaga
kesehatan.7
Di kelompok usia dewasa muda, cara penularan yang paling sering terjadi
adalah melalui kontak seksual. Meskipun demikian rute infeksi agak sulit
ditentukan karena periode “inkubasi” yang lama dan asimptomatis. Apabila dalam
satu keluarga terdapat beberapa anggota mengeluh adanya gatal-gatal, maka

12
penegakan diagnosis menjadi lebih mudah. Dan tidak seperti penyakit menular
seksual lainnya, skabies dapat menular melalui kontak non seksual di dalam satu
keluarga. Kontak kulit dengan orang yang tidak serumah dan transmisi tidak
langsung seperti lewat handuk dan pakaian sepertinya tidak menular, kecuali pada
skabies yang berkrusta/skabies Norwegia. Sebagai contoh, meskipun skabies sering
dijumpai pada anak-anak usia sekolah, penularan yang terjadi di sekolah jarang
didapatkan. Penularan di pegawai rumah sakit juga jarang, tetapi beberapa kasus
pernah dilaporkan terutama yang bentuk krusta/skabies Norwegia.5,8

3.3. ETIOLOGI
Penyebab penyakit skabies sudah dikenal lebih dari 100 tahun yang lalu
sebagai akibat infestasi tungau yang dinamakan Acarus scabiei dan Sarcoptes
scabiei varian hominis.2 Sarcoptes scabiei termasuk kedalam filum Arthropoda,
kelas Arachnida, ordo Ackarima, superfamili Sarcoptes. Pada manusia disebut
Sarcoptes scabiei var. hominis.1 Kutu ini khusus menyerang dan menjalani siklus
hidupnya dalam lapisan tanduk kulit manusia. Selain itu terdapat S. scabiei yang
lain, yakni varian animalis. Sarcoptes scabiei varian animalis menyerang hewan
seperti anjing, kucing, lembu, kelinci, ayam, itik, kambing, macan, beruang dan
monyet. Sarcoptes scabiei varian hewan ini dapat menyerang manusia yang
pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut diatas, misalnya peternak,
gembala, dll. Gejalanya ringan, sementara, gatal kurang, tidak timbul terowongan-
terowongan, tidak ada infestasi besar dan lama serta biasanya akan sembuh sendiri
bila menjauhi hewan tersebut dan mandi yang bersih.2
Secara morfologik merupakan tungau kecil, berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini translusen, berwarna putih kotor dan
tidak bermata. Ukurannya, yang betina berkisar antara 330-450 mikron x 250-350
mikron, sedangkan yang jantan lebih kecil, yakni 200-240 mikron x 150-200
mikron. Bentuk dewasa mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang kaki di depan sebagai
alat untuk melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut,
sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan
keempat berakhir dengan alat perekat yang dapat dilihat pada gambar berikut.1

13
Gambar 5. Tungau Scabies Betina

Tungau skabies tidak dapat terbang namun dapat berpindah secara cepat
saat kontak kulit dengan penderita. Tungau ini dapat merayap dengan kecepatan
2,5 cm – 1 inch per menit pada permukaan kulit. Belum ada studi mengenai waktu
kontak minimal untuk dapat terjangkit penyakit skabies namun dikatakan jika ada
riwayat kontak dengan penderita, maka terjadi peningkatan resiko tertular penyakit
skabies.4
Yang menjadi penyebab utama gejala – gejala pada skabies ini ialah
Sarcoptes scabiei betina. Bila tungau betina telah mengandung (hamil), ia membuat
terowongan pada lapisan tanduk kulit dimana ia meletakkan telurnya.2 Untuk lebih
memahaminya, berikut siklus hidup tungau ini. Setelah kopulasi (perkawinan) yang
terjadi di atas kulit, yang jantan akan mati, kadang-kadang masih dapat hidup
beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh yang betina. Tungau betina yang
telah dibuahi, menggali terowongan dalam stratum korneum, dengan kecepatan 2-
3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4 butir sehari sampai
mencapai jumlah 40 atau 50. Bentuk betina yang dibuahi ini dapat hidup sebulan
lamanya. Telur akan menetas, biasanya dalam waktu 3-5 hari dan menjadi larva
yang mempunyai 3 pasang kaki. Larva ini dapat tinggal dalam terowongan tetapi
dapat juga ke luar. Setelah 2-3 hari larva akan menjadi nimfa yang mempunyai 2
bentuk, jantan dan betina dengan 4 pasang kaki. Seluruh siklus hidupnya mulai dari
telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu antara 8-12 hari tetapi ada juga
yang menyebutkan selama 8-17 hari.1 Studi lain menunjukkan bahwa lamanya

14
siklus hidup dari telur sampai dewasa untuk tungau jantan biasanya sekitar 10 hari
dan untuk tungau betina bisa sampai 30 hari.4 Berikut dipaparkan gambar siklus
hidup skabies.

Gambar 6. Siklus Hidup Tungau Skabies

Tungau betina ini dapat hidup lebih lama dari tungau jantan yaitu hingga
lebih dari 30 hari.4 Tungau skabies ini umumnya hidup pada suhu yang lembab dan
pada suhu kamar (210C dengan kelembapan relatif 40-80%) tungau masih dapat
hidup di luar tubuh hospes selama 24-36 jam.5
Sarcoptes scabiei varian hominis betina, melakukan seleksi bagian-bagian
tubuh mana yang akan diserang, yaitu bagian-bagian yang kulitnya tipis dan
lembab, seperti di lipatan-lipatan kulit pada orang dewasa, sekitar payudara, area
sekitar pusar dan penis. Pada bayi-bayi karena seluruh kulitnya tipis, telapak
tangan, kaki. Wajah dan kulit kepala juga dapat diserang.2 Tungau biasanya
memakan jaringan dan kelenjar limfe yang disekresi dibawah kulit. Selama makan,
mereka menggali terowongan pada stratum korneum dengan arah horizontal.4
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan beberapa ahli memperlihatkan bahwa
tungau skabies khususnya yang betina dewasa secara selektif menarik beberapa
lipid yang terdapat pada kulit manusia. lipid tersebut diantaranya adalah asam
lemak jenuh odd-chain-length (misalnya pentanoic dan lauric) dan tak
jenuh(misalnya oleic dan linoleic) serta kolesterol dan tipalmitin. Hal tersebut

15
menunjukkan bahwa beberapa lipid yang terdapat pada kulit manusia dan beberapa
mamalia dapat mempengaruhi baik insiden infeksi maupun distribusi terowongan
tungau di tubuh. Bila telah terbentuk terowongan maka tungau dapat meletakkan
telur setiap hari. Tungau dewasa meletakkan baik telur maupun kotoran pada
terowongan dan analog dengan tungau debu, tampaknya enzim pencernaan pada
kotoran adalah antigen yang penting untuk menimbulkan respons imun terhadap
tungau skabies.5

3.4. PATOFISIOLOGI
Sarcoptes scabiei dapat menyebabkan reaksi kulit yang berbentuk eritem,
papul atau vesikel pada kulit dimana mereka berada. Timbulnya reaksi kulit disertai
perasan gatal.2
Masuknya S. scabiei ke dalam epidermis tidak segera memberikan gejala
pruritus. Rasa gatal timbul 1 bulan setelah infestasi primer serta adanya infestasi
kedua sebagai manifestasi respons imun terhadap tungau maupun sekret yang
dihasilkan terowongan di bawah kulit. Tungau skabies menginduksi antibodi IgE
dan menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat. Lesi-lesi di sekitar
terowongan terinfiltrasi oleh sel-sel radang. Lesi biasanya berupa eksim atau
urtika, dengan pruritus yang intens, dan semua ini terkait dengan hipersensitivitas
tipe cepat. Pada kasus skabies yang lain, lesi dapat berupa urtika, nodul atau papul,
dan ini dapat berhubungan dengan respons imun kompleks berupa sensitisasi sel
mast dengan antibodi IgE dan respons seluler yang diinduksi oleh pelepasan sitokin
dari sel Th2 dan/atau sel mast.5
Di samping lesi yang disebabkan oleh Sarcoptes scabiei secara langsung,
dapat pula terjadi lesi-lesi akibat garukan penderita sendiri.2 Dengan garukan dapat
timbul erosi, ekskoriasi, krusta, dan infeksi sekunder.1

3.5. GEJALA KLINIS


Ada 4 tanda kardinal :
1. Pruritus nokturnal, artinya gatal pada malam hari yang disebabkan karena
aktivitas tungau ini lebih tinggi pada suhu yang lebih lembab dan panas.1 Pada

16
awalnya gatal terbatas hanya pada lesi tetapi seringkali menjadi menyeluruh.
Pada infeksi inisial, gatal timbul setelah 3 sampai 4 minggu, tetapi paparan
ulang menimbulkan rasa gatal hanya dalam waktu beberapa jam.5 Namun studi
lain menunjukkan pada infestasi rekuren, gejala dapat timbul dalam 4-6 hari
karena telah ada reaksi sensitisasi sebelumnya.9
2. Penyakit ini menyerang secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga
biasanya seluruh angota keluarga terkena infeksi. Begitu pula dalam sebuah
perkampungan yang padat penduduknya, sebagian besar tetangga yang
berdekatan akan diserang oleh tungau tersebut.1 Penularan skabies terutama
melalui kontak langsung seperti berjabat tangan, tidur bersama dan hubungan
seksual. Penularan melalui kontak tidak langsung, misalnya melalui
perlengkapan tidur, pakaian atau handuk.3
3. Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang
berwarna putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-
rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan itu ditemukan papul atau vesikel.
Jika timbul infeksi sekunder ruam kulitnya menjadi polimorf (pustul,
ekskoriasi, dan lain-lain).1 Berikut dipaparkan gambaran kelainan kulit pada
skabies.

Gambar 7. Kelainan kulit pada sela-sela jari dan penis

17
Gambar 8. Kelainan kulit pada bagian punggung

Gambar 9. Kelainan kulit pada mammae


Tempat predileksinya biasanya merupakan tempat dengan stratum korneum
yang tipis, yaitu : sela-sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku
bagian luar, lipat ketiak bagian depan, areola mamae (wanita), umbilikus,
bokong, genitalia eksterna (pria), dan perut bagian bawah. Skabies jarang
ditemukan di telapak tangan, telapak kaki, dibawah kepala dan leher namun
pada bayi dapat menyerang telapak tangan dan telapak kaki.1 Berikut
dipaparkan gambaran tempat predileksi skabies.

Gambar 10. Tempat Predileksi Skabies

18
4. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling diagnostik. Dapat
ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Berikut merupakan
gambaran mikroskopik tungau skabies.1

Gambar 11. Tungau Skabies pada Stratum Korneum

Gambar 12. Tungau Skabies Dewasa

Terdapat berbagai variasi dalam gambaran klinis, mulai dari bentuk-bentuk


yang tidak khas pada orang-orang yang tingkat kebersihannya tinggi, berupa papul-
papul saja pada tempat predileksi. Tidak jarang terjadi infeksi sekunder akibat
garukan dengan kebersihan kuku yang kurang baik. Pada kasus-kasus yang
kebersihannya kurang baik dapat terlihat ektima, impetigo, selulitis, folikulitis, dan
furunkulosis.2

3.6.DIAGNOSIS
Beberapa sumber menyebutkan bahwa penegakan diagnosis skabies masih menjadi
persoalan dalam dermatologi. Disebutkan bahwa jika gejala klinisnya khas,
diagnosis skabies mudah ditetapkan, tetapi gejala klinis skabies sering menyerupai

19
penyakit kulit lainnya sehingga dapat menimbulkan salah diagnosis dan selanjutnya
dapat menyebabkan kesalahan pengobatan.3
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis yaitu adanya pruritus
nokturna dan erupsi kulit berupa papul, vesikel, dan pustule di tempat predileksi,
distribusi lesi yang khas, terowongan-terowongan pada predileksi, adanya penyakit
yang sama pada orang-orang sekitar.3 Terowongan terkadang sulit ditemukan, dan
petunjuk yang lazim adalah penyebaran yang khas. Diagnosis definitif bergantung
pada identifikasi mikroskopis adanya tungau, telur atau fecal pellet.5 Seringkali
tungau tidak dapat dapat ditemukan ditemukan walau terdapat lesi skabies nodula
yang klasik di genitalia, atau ruam yang khas dengan riwayat gatal-gatal pada
anggota keluarga yang lain. Dari beberapa penelitian yang telah lama dilakukan
beberapa ahli menemukan bahwa dari sebagian besar penderita skabies hanya dapat
ditemukan sedikit tungau dari setiap penderita.5 Hal ini yang terkadang
menimbulkan kesalahan diagnosis. Selain itu, kesalahan diagnosis juga disebabkan
oleh pemeriksaan yang tidak adekuat.3 Infestasi skabies sering disertai infeksi
sekunder sehingga erupsi kulit tidak khas lagi dan menyulitkan pemeriksaan.
Karena sulitnya menemukan tungau, maka Lyell menyatakan diagnosis skabies
harus dipertimbangkan pada setiap penderita dengan keluhan gatal yang menetap
walalupun dengan cara ini dikatakan perevalensi skabies menjadi lebih tinggi dari
yang sebenarnya.3
Diagnosis pasti skabies ditegakkan dengan ditemukannya tungau melalui
pemeriksaan mikroskop, yang dapa dilakukan dengan beberapa cara antara lain:5
1. Kerokan kulit
Kerokan kulit dilakukan dengan mengangkat atap terowongan atau papula
menggunakan scalpel nomor 15. Kerokan diletakkan pada kaca objek,
diberi minyak mineral atau minyak imersi, diberi kaca penutup dan dengan
pembesaran 20X atau 100X dapat dilihat tungau, telur atau fecal pellet.3,5
2. Mengambil tungau dengan jarum
Jarum dimasukkan ke dalam terowongan pada bagian yang gelap (kecuali
pada orang kulit hitam pada titik yang putih) dan digerakkan tangensial.
Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat keluar.3,5
3. Epidermal shave biopsy

20
Menemukan terowongan atau papul yang dicurigai antara ibu jari dan jari
telunjuk, dengan hati-hati diiris puncak lesi dengan scalpel nomor yang 15
dilakukan sejajar dengan permukaan kulit. Biopsi dilakukan sangat
superfisial sehingga tidak terjadi perdarahan dan tidak perlu anestesi.
Spesimen diletakkan pada gelas objek lalu ditetesi minyak mineral dan
diperiksa dengan mikroskop.5
4. Kuretase terowongan
Kuretase superfisial mengikuti sumbu panjang terowongan atau puncak
papula kemudian kerokan diperiksa dengan mikroskop, setelah diletakkan
di gelas objek dan ditetesi minyak mineral.3,5
5. Tes tinta Burowi
Papul skabies dilapisi dengan tinta pena, kemudian segera dihapus dengan
alkohol, maka jejak terowongan akan terlihat sebagai garis yang
karakteristik, berbelok-belok, karena ada tinta yang masuk. Tes ini tidak
sakit dan dapat dikerjakan pada anak dan pada penderita yang non-
kooperatif.5
6. Tetrasiklin topikal
Larutan tetrasiklin dioleskan pada terowongan yang dicurigai. Setelah
dikeringkan selama 5 menit kemudian hapus larutan tersebut dengan
isopropilalkohol. Tetrasiklin akan berpenetrasi ke dalam melalui stratum
korneum dan terowongan akan tampak dengan penyinaran lampu wood,
sebagai garis linier berwarna kuning kehijauan sehingga tungau dapat
ditemukan.3,5
7. Apusan kulit
Kulit dibersihkan dengan eter, kemudian diletakkan selotip pada lesi dan
diangkat dengan gerakan cepat. Selotip kemudian diletakkan di atas gelas
objek (enam buah dari lesi yang sama pada satu gelas objek) dan diperiksa
dengan mikroskop.5
8. Biopsi plong (punch biopsy)
Biopsy berguna pada lesi yang atipik, untuk melihat adanya tungau atau
telur. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa jumlah tungau hidup pada
penderita dewasa hanya sekitar 12, sehingga biopsi berguna bila diambil

21
dari lesi yang meradang. Secara umum digunakan punch biopsy, tetapi
biopsy mencukur epidermis adalah lebih sederhana dan biasanya dilakukan
tanpa anestetik local pada penderita yang tidak kooperatif.5
Selain itu, alat lain yang dapat dipakai untuk diagnostik adalah dermoskopi.
Argenziano melaporkan bahwa alat ini cukup efektif. Pembesaran gambar
menunjukkan struktur triangular kecil berwarna gelap yang berhubungan dengan
bagian anterior tungau yang berpigmen, dan suatu segmen linier haus di belakang
segitiga yang mengandung gelembung udara kecil, dimana kedua gambaran ini
menyerupai “jet with contrail”dan dianggap sebagai bentuk terowongan beserta
telur dan fecal pellet. Dilaporkan juga oleh Bezold bahwa penggunaan polymerase
chain reaction (PCR) untuk membuktikan adanya skabies pada penderita yang
secara klinis menunjukkan eczema atipikal. Skuama epidermal positif untuk DNA
Sarcoptes scabiei sebelum terapi dan menjadi negatif 2 minggu setelah terapi.5
Dari berbagai cara pemeriksaan diatas, kerokan kulit merupakan cara yang
paling mudah dilakukan dan memberikan hasil yang paling memuaskan.
Mengambil tungau dengan jarum memerlukan keterampilan khusus dan jarang
berhasil karena biasanya terowongan sulit diidentifikasi dan letak tungau sulit
diketahui. Swab kulit mudah dilakukan tetapi memerlukan waktu lama karena dari
1 lesi harus dilakukan 6 kali pemeriksaan sedangkan pemeriksaan dilakukan pada
hampir seluruh lesi. Tes tinta Burowi dan uji tetrasiklin jarang memberikan hasil
positif karena biasanya penderita datang pada keadaan lanjut dan sudah terjadi
infeksi sekunder sehingga terowongan tertutup oleh krusta dan tidak dapat dimasuki
tinta atau salep.3

3.7.DIAGNOSIS BANDING
Skabies dapat mirip berbagai macam penyakit sehingga disebut juga “The great
imitator”.1,3 Diagnosis banding skabies meliputi hampir semua dermatosis dengan
keluhan pruritus, yaitu dermatitis atopik, dermatitis kontak, prurigo, urtikaria
popular, pioderma, pedikulosis, dermatitis herpetiformis, ekskoriasi-neurotik, liken
planus, penyakit Darier, gigitan serangga, mastositosis, urtikaria, dermatitis
eksematoid infeksiosa, pruritis karena penyakit sistemik, dermatosis pruritik pada
kehamilan, sifilis dan vaskulitis.3

22
3.8. PENATALAKSANAAN
Terapi skabies harus segera dilakukan setelah penegakan diagnosis. Penundaan
terapi dapat menyebabkan infestasi tungau yang semakin banyak dan kemungkinan
peningkatan keparahan gejala.9 Terapi skabies ini juga harus tuntas bagi penderita
dan juga dilakukan bagi keluarga penderita yang memiliki gejala yang sama karena
skabies yang tidak terobati biasanya memiliki hubungan dengan peningkatan
kejadian pyoderma oleh Streptococcus pyogenes.10 Terdapat sejumlah terapi
skabies yang efektif dan pemilihannya tergantung pada biaya dan potensi
toksiknya. Terkadang penderita menggunakan obat lebih lama dari waktu yang
dianjurkan, sehingga mengetahui kuantitas obat yang tepat untuk diresepkan akan
dapat mencegah timbulnya iritasi akibat pemakaian obat yang berlebihan, yang
pada akhirnya disalahartikan sebagai kegagalan terapi. Skabisid topikal sebaiknya
dipakai di seluruh tubuh kecuali wajah. Obat harus segera dibersihkan secara
menyeluruh setelah periode waktu yang dianjurkan. Pagi hari setelah terapi,
pakaian, sprei, dan handuk dicuci menggunakan air panas. Tungau akan mati pada
suhu 130oC. Pasien dapat diberikan edukasi untuk meningkatkan kebersihan
lingkungan dan perorangan.5
Penderita hendaknya diberikan pengertian bahwa meskipun penyakit telah
diobati secara adekuat, rasa gatal akan tetap ada sampai beberapa bulan. Seluruh
anggota keluarga yang memiliki gejala harus diterapi, termasuk pasangan seksual.
Para ahli merekomendasikan terapi untuk anggota keluarga bersifat simultan,
karena angka kesembuhan setelah 10 minggu lebih tinggi.5 Terapi topikal untuk
skabies yang sering digunakan adalah sebagai berikut :
1. Krim Permetrin ( Elimite, Acticin), yaitu suatu skabisid berupa piretroid
sintesis yang efektif pada manusia dengan toksisitas rendah, bahkan dengan
pemakaian yang berlebihan sekalipun dan obat ini telah dipergunakan lebih
dari 20 tahun.5,11 Krim permetrin ditoleransi dengan baik, diserap minimal
dan tidak diabsorbsi sistemik, serta dimetabolisasi dengan cepat.5,10 Obat ini
merupakan terapi pilihan lini pertama rekomendasi dari CDC untuk terapi
tungau tubuh.12 Penggunaan obat ini biasanya pada sediaan krim dengan
kadar 1% untuk terapi tungau pada kepala dan kadar 5% untuk terapi tungau

23
tubuh. Studi menunjukkan Penggunaan permethrin 1% untuk tungau daerah
kepala lebih baik dari lindane karena aman dan tidak diabsorbsi secara
sistemik.11 Cara pemakaiannya dengan dioleskan pada seluruh area tubuh
dari leher ke bawah dan dibilas setelah 8-14 jam.12 Bila diperlukan,
pengobatan dapat diulang setelah 5-7 hari kemudian. Belum ada laporan
terjadinya resistensi yang signifikan tetapi beberapa studi menunjukkan
adanya resistensi permethrin 1% pada tungau kepala namun dapat ditangani
dengan pemberian permethrin 5%.5,11 Permetrin sebaiknnya tidak
digunakan pada bayi berumur kurang dari 2 bulan atau pada wanita hamil
dan menyusui namun studi lain mengatakan bahwa obat ini merupakan drug
of choice untuk wanita hamil.5,13 Dikatakan bahwa permethrin memiliki
angka kesembuhan hingga 97,8% jika dibandingkan dengan penggunaan
ivermectin yang memiliki angka kesembuhan 70%. Tetapi penggunaan 2
dosis ivermectin selama 2 minggu memiliki keefektifan sama dengan
permethrin. Efek samping yang sering timbul adalah rasa terbakar dan yang
jarang adalah dermatitis kontak dengan derajat ringan sampai sedang.14
2. Lindane 1% (gamma-benzen heksaklorida), merupakan pilihan terapi lini
kedua rekomendasi CDC.12 Dalam beberapa studi memperlihatkan
keefektifan yang sama dengan permetrin. Studi lain menunjukkan lindane
kurang unggul dibanding permetrin.5 Lindane memiliki angka
penyembuhan hingga 98% dan diabsorbsi secara sistemik pada penggunaan
topikal terutama pada kulit yang rusak.10 Sediaan obat ini biasanya
sebanyak 60 mg.14 Cara pemakaiannya adalah dengan dioleskan dan
dibiarkan selama 8 jam. Sama seperti pada permetrin, kadang diperlukan
pengolesan ulang 1 minggu setelah terapi pertama. Salah satu kekurangan
obat ini adalah absorbsi secara sistemik terutama pada bayi, anak dan orang
dewasa dengan kerusakan kulit yang luas. Lindane memiliki efek samping
yaitu toksik pada sistem saraf pusat dengan keluhan utama kejang.10
Lindane sebaiknya tidak digunakan untuk bayi, anak dibawah 2 tahun,
dermatitis yang meluas, wanita hamil atau menyusui, penderita yang pernah
mengalami kejang atau penyakit neurologi lainnya. Sejak 1 januari 2002,
Negara bagian California telah meninggalkan pemakaian lindane. Belum

24
ada laporan mengenai toleransi yang signifikan terhadap pemakaian
lindane.5,10
3. Sulfur, biasanya diresepkan sebagai sulfur presipitat (6%) dalam
petrolatum. Sulfur dipakai saat malam hari selama 3 malam dan dibersihkan
secara menyeluruh 24 jam terakhir. Kekurangannya adalah sulfur berbau,
meninggalkan noda dan berminyak, mengiritasi, membutuhkan pemakaian
berulang, namun relatif aman, efektif dan tepat untuk bayi berumur kurang
dari 2 bulan dan selama kehamilan atau menyusui.5,10
4. Benzil benzoat 25%, merupakan produk alamiah, disebut juga balsam Peru
dan telah dipergunakan lebih dari 60 tahun. Obat ini merupakan skabisid
kerja cepat yang efektif terhadap semua stadium namun tidak dijual bebas
di Amerika Serikat. Penggunaannya diberikan setiap malam selama 3 kali.
Obat ini sulit diperoleh, sering memberi iritasi dan kadang-kadang makin
gatal setelah dipakai. Benzyl benzoate memiliki keefektifan yang sama
dengan lindane.1,5,10
5. Krim Krotamiton (Eurax) dianggap tidak cukup efektif untuk mengobati
skabies. Kualitas krim ini dibawah permetrin dan efektivitasnya setara
dengan benzyl benzoat atau sulfur.5
Selain itu juga terdapat terapi sistemik, khususnya untuk penderita AIDS.
Ivermektin adalah suatu antiparasit yang disahkan oleh FDA untuk onchocerciasis
dan strongilodiasis pada manusia.5 Ivermectin dikatakan merupakan pilihan terapi
lini ketiga rekomendasi dari CDC.12 Ivermectin memiliki aktivitas spectrum luas
pada nematoda dan arthropoda yang dapat digunakan pada hewan dan manusia
serta obat ini dapat digunakan pada terapi filariasis.10 Jika dibandingkan dengan
permethrin, angka kesembuhan dengan penggunaan ivermectin masih lebih rendah
dibandingkan permethrin tetapi jika dibandingkan dengan lindane, pada penelitian
yang telah dilakukan menunjukkan bahwa 80% pasien mengalami perbaikan gejala
klinis lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan lindane yang hanya 44%.14
Sejak tahun 1993 dilaporkan bahwa ivermektin yang diberikan 1 atau 2 dosis oral
200 mg/kgBB menjadi terapi skabies yang efektif pada penderita AIDS.
Diperlukan studi control lebih lanjut dengan menentukan dosis dan cara pemberian
obat yang paling efektif, baik bagi penderita dengan status imun normal ataupun

25
pada penderita yang mengalami imunosupresi, serta keefektifan kombinasi terapi
oral dan topikal ivermektin.5,12 Penggunaan Ivermectin ini tidak boleh pada wanita
hamil dan menyusui.12 Sediaan ivermektin topikal, yaitu larutan ivermektin 1%
dalam propilen-glikol juga sedang diteliti penggunaannya sebagai terapi alternatif.5
Walaupun demikian, ivermectin topikal dilarang penggunaannya di UK. 11 Pada
beberapa sumber dikatakan bahwa sediaan crotamiton, benzyl benzoate, malathion,
sulfur, dan ivermectin masih belum disetujui penggunaannya oleh FDA untuk
indikasi terapi skabies namun sumber lainnya mengatakan penggunaan telah dapat
ditolerir dan mulai banyak beredar namun di Negara tertentu penggunaan dibatasi
bahkan dilarang.14
Penyakit yang serius akibat skabies jarang didapatkan, kecuali pada bayi dan
penderita skabies berkrusta. Tetapi pruritus dan infeksi yang ditimbulkan dapat
menjadi masalah dan memerlukan terapi khusus. Lesi dengan fecal pellet terkadang
memberi rasa gatal untuk beberapa saat setelah tungau mati. Hal ini memerlukan
pemberian antihistamin dan bila gatal tetap mengganggu dapat diberikan steroid
oral dalam waktu yang singkat. Bila didapatkan superinfeksi oleh bakteri, antibiotic
harus diberikan. Terdapat istilah acarofobia yaitu penderita dengan delusi. Penderita
mulai merasa bahwa pada kulit mereka masih terdapat tungau meskipun telah diobati. Bila
gangguan ini berkelanjutan maka diperlukan pertolongan psikiater.5

3.9. PENCEGAHAN
Pencegahan dilakukan dengan meningkatkan higiene perseorangan melalui:
 Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit yang diderita merupakan
penyakit menular akibat tungau yang bersarang pada karpet, sprei, baju,
handuk, dan lain-lain.
 Menjelaskan kepada pasien untuk merendam pakaian, sarung kasur dan
bantal, dan handuk yang digunakan dengan menggunakan air panas.
 Menjelaskan kepada pasien untuk mencuci dan menjemur kasur dan
bantal secara teratur minimal 1 kali sepekan.
 Menyarankan kepada pasien untuk membawa teman satu kamar dengan
pasien untuk berobat.

26
3.10. PROGNOSIS
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat, serta syarat
pengobatan dan menghilangkan faktor prediposisi (antara lain higiene), maka
penyakit ini dapat diberantas dan memberikan prognosis yang baik. Oleh karena
manusia merupakan penjamu (hospes) definitif, maka apabila tidak diobati dengan
sempurna, Sarcoptes scabiei akan tetap hidup tumbuh pada manusia.1,2

3.11. KESIMPULAN
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan sensitisasi
terhadap tungau Sarcoptes scabiei varietas hominis. Penyakit ini terdapat di
seluruh dunia dan menempati urutan ke-3 dari 12 penyakit kulit tersering di
Indonesia.
Tungau Sarcoptes scabiei membuat terowongan pada lapisan tanduk kulit
dengan siklus hidup dari telur sampai bentuk dewasa memerlukan waktu 8-12 hari.
Tungau dapat menular melalui kontak langsung (seperti berjabat tangan, tidur
bersama dan hubungan seksual) dan kontak tidak langsung (misalnya melalui
perlengkapan tidur, pakaian atau handuk).
Sarcoptes scabiei menyebabkan reaksi kulit berupa eritem, papul atau
vesikel pada kulit. Selain bentuk tersebut, terdapat pula bentuk skabies lainnya
antara lain : skabies nodula (gambaran klinisnya berupa nodul berpigmen yang
terasa gatal), skabies incognito (gambaran klinis kabur, kronis dan meluas karena
penggunaan steroid), skabies pada bayi (dapat menjadi eksema generalisata),
skabies norwegia atau skabies berkrusta (lesi berskuama tebal yang penuh dengan
infestasi tungau) dan skabies pada penderita HIV/AIDS (biasanya skabies
berkrusta dan menyerang wajah, kulit dan kuku).
Gejala klinis skabies meliputi 4 tanda kardinal yaitu :
1) Pruritus nokturnal, artinya gatal pada malam hari.
2) Menyerang secara kelompok, misalnya dalam sebuah keluarga.
3) Adanya terowongan pada tempat-tempat predileksi seperti sela-sela jari
tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku bagian luar, lipat ketiak bagian
depan, areola mamae pada wanita, umbilikus, bokong, genitalia eksterna pada
pria, dan perut bagian bawah.

27
4) Menemukan tungau.
Diagnosis klinis ditetapkan berdasarkan anamnesis adanya tanda-tanda
kardinal. Diagnosis pasti ditegakan dengan ditemukannya tungau melalui
pemeriksaan mikroskopis melalui beberapa cara seperti kerokan kulit, mengambil
tungau dengan jarum, epidermal shave biopsy, kuretase terowongan, tes tinta
Burowi, tetrasiklin topikal, apusan kulit dan biopsi plong (punch biopsy).
Penatalaksanaan untuk skabies yang sering digunakan antara lain :
1) Krim permetrin (elimite, acticin), sediaan krim 1% untuk terapi tungau pada
kepala dan krim 5% untuk terapi tungau tubuh, dioleskan pada area tubuh dan
dibilas setelah 8-14 jam.
2) Lindane 1% (gamma-benzen heksaklorida), sediaan 60 mg, dioleskan dan
dibiarkan selama 8 jam.
3) Sulfur presipitat 6%, dipakai pada malam hari selama 3 malam dan
dibersihkan secara menyeluruh 24 jam terakhir.
4) Benzil benzoat 25%. Dipakai setiap malam selama 3 kali.
5) Krim krotamiton (eurax). Mulai jarang digunakan karena dianggap tidak
cukup efektif.
6) Ivermectin 1 atau 2 dosis oral 200 mg/kgBB untuk terapi skabies pada
penderita AIDS.
Lesi-lesi yang memberikan rasa gatal setelah tungau mati memerlukan
pemberian antihistamin, dan jika didapatkan superinfeksi oleh bakteri harus
diberikan antibiotik. Untuk menghindari infeksi berulang, seluruh kontak dekat
dengan pasien harus dieradikasi, seluruh kain, selimut, handuk dan pakaian harus
dicuci dengan air panas. Terapi harus tuntas bagi penderita dan keluarga penderita
yang memiliki gejala yang sama.

28
29
BAB IV
PENCEGAHAN ATAU PEMBINAAN KELUARGA

4.1 Genogram Keluarga Tn. Masno Syamsudin

Tn. A/ 30 tahun Ny.F/ 27 tahun

An. F/ 8 tahun An. P/ 4 tahun

4.2 Home Visite (9 Fungsi Keluarga)


4.2.1 Fungsi Holistik
Fungsi holistik adalah fungsi keluarga yang meliputi fungsi biologis,
psikologis, dan sosial ekonomi.
a. Fungsi Biologis: Didalam keluarga ini tidak terdapat penyakit yang
menurun seperti thalasemia, hemofilia, buta warna, dll. Di dalam
keluarga ini juga terdapat penyakit serupa yang terjadi
b. Fungsi Psikologis: Keluarga ini memiliki fungsi psikologis yang baik.
Hubungan antar anggota keluarga harmonis dan sangat akrab.
c. Fungsi Sosial Ekonomi: Kondisi ekonomi keluarga ini menengah
kebawah. Tn. Agus selaku kepala keluarga bekerja sebagai pembuat roti
dengan pendapatan per bulan Rp.2.000.000,- per bulan sedangkan Ny.
Fitri sebagai ibu rumah tangga.

29
4.2.2 Fungsi Fisiologis
Keluarga diukur dengan skor APGAR, yaitu skor yang digunakan
untuk menilai fungsi keluarga ditinjau dari sudut pandang setiap anggota
keluarga terhadap hubungannya dengan anggota keluarga yang lain. Skor
APGAR meliputi:
a. Adaptation: keluarga ini sudah mampu beradaptasi antar sesama
anggota keluarga, saling mendukung, saling menerima dan memberikan
saran satu dengan yang lainnya.
b. Partnership: komunikasi dalam keluarga ini sudah baik, mereka saling
membagi, saling mengisi antar anggota keluarga dalam setiap masalah
yang dialami oleh keluarga tersebut.
c. Growth: Keluarga ini juga saling memberikan dukungan antar anggota
keluarga akan hal-hal yang baru yang dilakukan anggota keluarga
tersebut.
d. Affection: Interaksi dan hubungan kasih sayang antar anggota keluarga
ini sudah terjalin dengan cukup baik.
e. Resolve: Keluarga ini memiliki rasa kebersamaan yang cukup tinggi dan
kadang-kadang menghabiskan waktu bersama dengan anggota keluarga
lainnya.
Adapun skor APGAR keluarga ini adalah 7.5, dengan interpretasi
cukup (data terlampir).

4.2.3 Fungsi Patologis


Fungsi patologis dinilai dengan skor SCREEM:
a. Social: Interaksi keluarga ini dengan tetangga cukup baik.
b. Culture: Keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan yang cukup
terhadap budaya, tata karma, dan perhatian terhadap sopan santun.
Walaupun berasal dari dua budaya yang berbeda, namun hal ini tidak
menjadi hambatan dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Bahasa
yang digunakan sehari-hari adalah bahasa Palembang.

30
c. Religious: Keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai dengan
ajaran agama yang dianutnya.
d. Economic: Status ekonomi keluarga ini menengah kebawah.
e. Educational: Tingkat pendidikan Tn. A dan Ny. F cukup baik. Mereka
berdua adalah seorang tamatan SMA.
f. Medical: Keluarga ini sudah mampu mendapat pelayanan kesehatan
yang memadai. Jika ada anggota keluarga yang sakit, mereka berobat ke
Puskesmas atau ke praktik dokter umum.

4.2.4 Fungsi Hubungan antarmanusia


Hubungan interaksi antar anggota keluarga sudah terjalin dengan
baik.

4.2.5 Fungsi Keturunan (genogram)


Fungsi genogram dalam keadaaan baik (sudah dijelaskan diatas).

4.2.6 Fungsi Perilaku (Pengetahuan, sikap, dan tindakan)


Pengetahuan tentang kesehatan keluarga ini sudah cukup baik, sikap sadar
akan kesehatan dan beberapa tindakan yang mencerminkan pola hidup sehat sudah
dilakukan dengan baik.

4.2.7 Fungsi Non-perilaku (Lingkungan, pelayanan kesehatan, keturunan)


Lingkungan rumah tergolong tidak sehat karena tidak terdapat pohon dan
tanaman serta tidak memiliki halaman rumah. Keluarga ini juga aktif memeriksakan
diri ke tempat pelayanan kesehatan. Jarak rumah dengan puskesmas/rumah sakit
cukup dekat sekitar 1 km dari Puskesmas Dempo.

4.2.8 Fungsi Indoor


Gambaran lingkungan dalam rumah belum memenuhi syarat-syarat
kesehatan. Dinding seluruh ruangan dirumah berbahan beton yang di cat dan
dalam keadaan bersih. Lantai sebagian berbahan keramik dan sebagian lagi

31
hanya semen. Pada ruang keluarga, lantai dilapisi dengan karpet yang cukup
tebal. terdapat 1 jendela di ruang keluarga dengan ventilasi, sirkulasi udara,
dan pencahayaan cukup baik.. Terdapat 1 kamar tidur yang langsung
berhubungan dengan ruang keluarga dengan ventilasi, sirkulasi udara, dan
pencahayaan kurang baik, Pada dapur, tidak terdapat jendela dengan
ventilasi, sirkulasi udara, dan pencahayaan kurang baik. pada kamar tidur
dan dapur lantai hanya dilapisi semen.
Sumber air bersih terjamin karena keluarga menggunakan air PAM.
Jamban ada di dalam rumah. Pengelolaan feses melalui septik tank.
Pengelolaan sampah dan limbah sudah cukup baik karena keluarga
membuang sampah di bak pembuangan sampah di sekitar lingkungan
tempat tinggal.

4.2.9 Fungsi Outdoor


Gambaran lingkungan luar rumah sudah cukup baik. Jarak rumah
dengan jalan raya tidak terlalu jauh, yaitu ± 10 meter. Tidak ada kebisingan
disekitar rumah. Tempat pembuangan umum tidak jauh dari lokasi rumah,
± 500 meter.

4.3 Upaya Pencegahan dan Pembinaan


Upaya pencegahan dan pembinaan yang saya ajukan selaku Pembina
kesehatan keluarga Tn. Agus dapat ditinjau dari diseased-oriented point of view,
yaitu dalam rangka tatalaksana penyakit Tn. Agus berupa scabies. Saya membagi
penatalaksanaan menjadi dua bagian utama, yaitu penatalaksanaan non
farmakologis dan farmakologis. Pada penatalaksanaan non farmakologis, saya
menekan pada konsep komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE). Penjelasan
mengenai penyakit yang diderita, penyebab penyakit, dan hal-hal yang dapat
memperparah penyakit saya berikan kepada pasien. Penjelasan bahwa bintil merah
yang timbul dan terasa gatal pada kulit berasal dari gangguan tungau. Saya juga
menjelaskan bahwa penyakit ini bisa menular melalui tungau yang bersarang pada
karpet, sprei, baju, handuk dan lainnya sehingga disarankan kepada pasien untuk

32
merendam pakaian, sarung kasur, dan bantal serta handuk yang digunakan
menggunakan air panas untuk membunuh tungau penyebab penyakit dan mencegah
penularan. Kemudian saya akan mengajarkan pasien untuk tidak menggaruk bintil
dan menjaga agar bintil tidak pecah. Tidak lupa pula mengajarkan pasien untuk
membawa teman satu kamar pasien untuk berobat untuk memutus rantai penularan
serta dijelaskan juga cara pemakaian obat yang benar yaitu dioleskan ke seluruh
tubuh mulai dari bagian belakang telinga, leher ke bagian bawah, termasuk sela jari
tangan dan kaki, hindari terkena air setelah pemakaiannya dan biarkan selama 8 –
12 jam.
Terapi Farmakologis yang saya ajukan adala pemberian obat topikal berupa
krim permetrin 5% 30 gram untuk membunuh tungau. Kemudian diberikan pula
obat sistemik berupa tablet cetirizine 1x10mg untuk mengurangi gatal.

33
DAFTAR PUSTAKA
1. Handoko, R. Skabies. In : Djuanda, A. Hamzah, N. Aisah, S. Ilmu Penyakit
Kulit Dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2009 : 119-122

2. Makatutu, H. Penyakit Kulit Oleh Parasit Dan Insekta. In : Harahap, M.


Penyakit Kulit. Jakarta : PT Gramedia. 1990 : 100-104

3. Sungkar S. Skabies. Jakarta : Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia.


1995 : 1-25

4. Beggs, J. dkk. Scabies Prevention And Control Manual. USA : Michigan


Department Of Community Health. 2005 : 4-6, 10

5. Murtiastutik D. Buku Ajar Infeksi Menular Seksual : Skabies. Edisi 1.


Surabaya : Airlangga University Press. 2005 : 202-208

6. Setyaningrum, T. Listiawan, M. Zulkarnain, I. Kadar Imunoglobulin E-


Spesifik Terhadap Tungau Debu Rumah Pada Penderita Skabies
Nonatopi Anak. Berkala Ilmu Kesehatan Dan Kelamin 2007 : 19 :
100

7. Ma’rufi, I. Keman, S. Notobroto, H. Faktor Sanitasi Lingkungan Yang


Berperan Terhadap Prevalensi Penyakit Scabies Studi Pada Santri di
Pondok Pesantren Kabupaten Lamongan. Jurnal Kesehatan
Lingkungan 2005 : 2 : 11-17

8. Chosidow, O. Scabies. The New England Journal Of Medicine 2006 : 1718-


1727

9. Department Of Public Health. Scabies. USA : Department Of Public Health


Division Of Communicable Disease Control. 2008 : 1-3

10. McCarthy, J. Kemp, D. Walton, S. Currie, B. Review Scabies : More Than Just
An Irritation. Postgrad Medical Journal 2004 : 80 : 382-386

11. Cox, N. Permethrin Treatment In Scabies Infestasion : Important Of Correct


Formulation. British Medical Journals 2000 : 320 : 37-38

12. Fox, G. Itching And Rash In A Boy And His Grandmother. The Journal Of
Family Practice 2006 : 55 : para. 26-27, 30

34
13. Johnston, G. Sladden, M. Scabies : Diagnosis And Treatment. British Medical
Journal 2005 : 331 : 619-622

14. Leone, P. Scabies And Pediculosis : An Update Of Treatment Regiments And


General Review. Oxford Journals 2007 : 44 : 154-159

35
Lampiran 1

Kondisi Rumah Keluarga Tn. Agus

Ruang
Keluarga
Dapur

Pintu masuk

WC
Tangga
mar
mand
i

Gambar 13. Pintu Masuk Rumah An. Rio Saputra

36
Gambar 14. Kondisi Dapur

Gambar 15. Kondisi WC

37
Gambar 16. Kondisi Kamar

38
Lampiran 2
SKOR APGAR

0 : Jarang/tidak sama sekali


1 : Kadang-kadang
2 : Sering/selalu

Variabel Penilaian APGAR APGAR


Tn. Agus Ny. Fitri
Adaptation 2 2
Partnership 1 1
Growth 2 2
Affection 1 1
Resolve 1 2
Total 7 8

Interpretasi : ≤5 (Kurang), 6-7 (Cukup), dan 8-10 (Baik).


Rata-rata apgar score: 7, 5 (Cukup)

39
Lampiran 3
SKOR SCREEM

Variabel Penilaian Penilaian


Social Interaksi keluarga ini dengan tetangga sekitar baik.
Culture Keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan
yang cukup terhadap budaya, tata karma, dan
perhatian terhadap sopan santun. Walaupun berasal
dari dua budaya yang berbeda, namun hal ini tidak
menjadi hambatan dalam menjalani kehidupan
rumah tangga. Anak penderita terkadang
menggunakan bahasa batak.
Religious Keluarga ini cukup taat menjalankan ibadah sesuai
dengan ajaran agama yang dianutnya.
Economic Status ekonomi keluarga ini menengah kebawah
Educational Tingkat pendidikan Tn. Agus dan Ny. Fitri cukup
baik. Mereka berdua adalah seorang tamatan SMA.

Medical Keluarga ini sudah mampu mendapat pelayanan


kesehatan yang memadai. Jika ada anggota keluarga
yang sakit, mereka berobat ke Puskesmas atau ke
praktik dokter umum.

40

You might also like