You are on page 1of 19

1.

1 Latar belakang
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di
paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam
paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk bernafas. Penyebab tersering
edema paru disebabkan oleh permasalahan jantung. Namun, akumulasi cairan di
dalam paru dapat disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah pneumonia,
beberapa racun, maupun obat-obatan. Edema paru yang terjadi secara akut
merupakan kondisi kegawatan medis yang harus segera ditangani. Walaupun
edema paru kadang merupakan kondisi yang fatal, namun penanganan yang tepat
untuk edema paru dan kondisi yang mendasarinya dapat memberikan tingkat
perbaikan yang tinggi. Terapi untuk edema paru sangat bervariasi, tergantung dari
penyebab yang mendasarinya, namun secara umum terapi ini termasuk
suplementasi oksigen dan pengobatan medikametosa.
Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta edema
paru di seluruh dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru perlu
pengobatan dan pengawasan secara komprehensif, di AS 5,5 juta penduduk
menderita edema paru, dan di Jerman 6 juta penduduk menderita edema paru.
Edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu
menyebar ke berbagai daerah, sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia.
Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan hasil dengan
kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia
insiden terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per
100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar
10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun
2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).
Gambaran radiologi penyakit edema paru dapat membantu untuk
menegakkan diagnosis. Hal ini dapat mengoptimilisasi kemampuan dan pelayanan
dalam merawat pasien yang menderita penyakit edema paru.

1
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Anatomi Paru1,2


Paru-paru adalah organ pada sistem pernapasan (respirasi) dan berhubungan
dengan sistem peredaran darah (sirkulasi). Paru-paru merupakan organ yang lunak,
spongious dan elastis, berbentuk kerucut atau konus, terletak dalam rongga toraks
dan di atas diafragma, diselubungi oleh membran pleura. Setiap paru mempunyai
apeks (bagian atas paru) yang tumpul di kranial dan basis (dasar) yang melekuk
mengikuti lengkung diphragma di kaudal. Paru-paru kanan mempunyai 3 lobus
sedangkan paru-paru kiri 2 lobus. Lobus pada paru-paru kanan adalah lobus
superius, lobus medius, dan lobus inferius. Lobus medius/lobus inferius dibatasi
fissura horizontalis; lobus inferius dan medius dipisahkan fissura oblique. Lobus
pada paru-paru kiri adalah lobus superius dan lobus inferius yg dipisahkan oleh
fissura oblique.
Organ paru-paru memiliki tube bronkial atau bronchi, yang bercabang-
cabang dan ujungnya merupakan alveoli, yakni kantung-kantung kecil yang
dikelilingi kapiler yang berisi darah. Di sini oksigen dari udara berdifusi ke dalam
darah, dan kemudian dibawa oleh hemoglobin. Darah terdeoksigenisasi dari jantung
mencapai paru-paru melalui arteri paru-paru dan, setelah dioksigenisasi, beredar
kembali melalui vena paru-paru.

Gambar 1. Anatomi paru

2
II.2 Definisi3,4,5
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di
paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam
paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk bernafas.
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru yang dapat disebabkan
oleh tekanan intrvaskular yang tinggi (edema paru kardiak) atau karena peningkatan
permeabilitas membran kapiler (edema paru non kardiak) yang mengakibatkan
terjadinya ekstravasasi cairan. Pada sebagian besar edema paru secara klinis
mempunyai kedua aspek tersebut di atas, sebab sangat sulit terjadi gangguan
permeabilitas kapiler tanpa adanya gangguan tekanan pada mikrosirkulasi atau
sebaliknya. Walaupun demikian penting sekali untuk menetapkan factor mana yang
dominan dari kedua mekanisme tersebut sebagai pedoman pengobatan.

Gambar 2. Edema Paru

II.3 Klasifikasi dan Etiologi6,7


Edema paru menurut penyebab dan perkembangannya diklasifikasikan
menjadi edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik. Edema paru
kardiogenik biasanya disebabkan karena gagal jantung kiri kongestif yang akhirnya
menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler paru. Sedangkan edema

3
paru non-kardiogenik dikatagorikan berdasarkan kondisi yang mendasarinya.
Edema paru non-kardiogenik diklasifikasikan menjadi tekanan rendah alveolus,
peningkatan permeabilitas alveolus, atau edema neurogenik. Sebagai contoh,
penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena obstruksi saluran nafas atas
seperti paralisis laring, penyebab peningkatan permeabilitas adalah leptospirosis
dan ARDS, sedangkan edema neurogenik disebabkan oleh epilepsy, trauma otak,
maupun elektrolusi.

Valvular

Kardiogenik

Non-valvular

Edema Paru
Tekanan Rendah
Alveolus

Peningkatan
Non-kardiogenik Permeabilitas
Alveolus

Neurogenik

Gambar 3. Klasifikasi Edema Paru

II.4 Patogenesis3,7,8,9
Protein yang rendah ke paru, akibat terjadinya peningkatan tekanan di
atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada
permeabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler, dan hasil akhir yang
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru:
a. Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika terdapat perpindahan cairan dari darah ke ruang
interstisial atau ke alveoli yang melebihi jumlah pengembalian cairan ke dalam
pembuluh darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe. Dalam keadaan

4
normal terjadi pertukaran cairan, koloid dan solute dari pembuluh darah ke ruang
interstitial.
Studi eksperimental membuktikan bahwa hukum Starling dapat diterapkan
pada sirkulasi paru sama dengan sirkulasi sistemik.
Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)
Dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah
tekanan hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis
adalah tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog
cairan ke kapiler; dan I adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas
dinding kapiler dalam mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan
osmotic koloid plasma, yang cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua
adalah tekanan osmotic koloid dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar
dari kepiler.
Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru dapat terjadi pada Peningkatan
tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri (stenosis mitral);
Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi ventrikel
kiri; Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan
arteri pulmonalis

b. Sistem limfatik
Sistem pembuluh ini dipersiapkan untuk merima larutan, koloid dan cairan
balik dari pembuluh darah. Akibat tekanan yang lebih negative di daerah interstisial
peribronkial dan perivascular dan dengan peningkatan kemampuan dari
interstisium non alveolar ini, cairan lebih sering meningkat jumlahnya di tempat ini
ketika kemampuan memompa dari saluran limfatik tersebut berlebihan. Bila
kapasitas dari saluran limfe terlampaui dalam hal jumlah cairan maka akan terjadi
edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat badan 70 kg dalam keadaan istirahat
kapasitas sistem limfe kira-kira 20ml/jam. Pada percobaan didapatkan kapasitas
sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan ukuran rata-rata.
Jika terjadi peningkatan tekanan di atrium kiri yang kronik, sistem limfe akan
mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan untuk mentransportasi filtrate
kapiler dalam jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema.

5
Sehingga sebagai konsekuensinya terjadi edema interstisial, saluran nafas yang
kecil dan pembuluh darah akan terkompresi.

II.5 Diagnosis4,7,10
Tabel 1. Cara membedakan Edema Paru Kardiak (EPK) dan Edema Paru Non
Kardiak (EPNK)
EPK EPNK
Anamnesis
Acute cardiac event (+) Jarang

Penemuan Klinis
Perifer Dingin (low flow state) Hangat (high flow
meter)
S3 gallop/kardiomegali (+) Nadi kuat
JVP Meningkat (-)
Ronki Basah Tak meningkat
Kering
Tanda penyakit dasar
Laboratorium
EKG Iskemia/infark Biasanya normal
Foto toraks DIstribusi perihiler Distribusi perifer
ENzim kardiak Bisa meningkat Biasanya normal
PCWP > 18 mmHg < 18 mmHg
Shunt intra pulmoner Sedikit Hebat
Protein cairan edema < 0.5 > 0.7
JVP: jugular venous pressure
PCWP: Pulmonary Capilory wedge pressure

II.6 Gambaran Radiologi5,6,9,11


Terdapat gambaran radiologis yang penting dalam edema paru. Gambaran
tersebut adalah penebalan septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau
kerley lines, peribronchial cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa

6
interlobar biasanya tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika
terdapat akumulasi cairan di daerah tersebut.

Gambar 4. Anatomi Interstitium Paru

Terdapat beberapa Kerley lines, kerley lines A, garis ini akan muncul ketika
jaringan ikat di sekitar bronchoarterial sheath di paru berisi cairan. Panjannya
sekitar 6 cm dari hilus dan tidak sampai ke perifer paru. Kerley lines B, garis ini
biasanya disebut sebagai septal lines, garis ini akan muncul biasanya di basis paru
atau di sekitar sudut costofrenikus. Panjang garis horizontal ini 1-2 cm dengan tebal
hanya 1 mm. Kerley lines C merupakan Kerley lines B en face, merupakan opasitas
reticular pada basis paru. Kerley lines D, merupakan garis yang sama dengan Kerley
lines B, dan akan terlihat hanya pada lateral chest radiograph. Peribronchial
cuffing adalah penebalan dinding bronkus dan terlihat seperti ringlike density.
Peribronchial cuffing terjadi ketika terdapatnnya akumulasi cairan di jaringan ikat
sekitar dinding bronkus. Peribronchial cuffing bentuknya ringerlike, kecil,
multiple, seperti donat.

7
Gambar 5. [Gambar Kiri] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala
panah putih), Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Kanan] Peribronchial
cuffing, pleural effusion.

Tabel 2 Perbedaan gambaran radiologis CPE dan non CPE

II.6.1 Edema karena Peningkatan Tekanan Hidrostatik


Terdapat dua stadium patofisiologi dan radiologi pada perkembangan
tekanan edema, yaitu stadium edema interstiial dan edema alveolar. Kedua stadium

8
ini identik pada gagal jantung kiri dan kelebihan cairan intravaskuler. Keduanya
sering dijumpai pada pasien dengan edema tekanan di ICU maupun IGD. Intensitas
dan durasi dari kedua stadium ini tergantung dari peningkatan tekanan yang terjadi,
yaitu tergantung dari rasio tekanan hidrostatik dan onkotik.

Gambar 6. Gambaran foto thorax pada pasien laki-laki, 33 tahun dengan edema
peningkatan tekanan hidrostatik karena akut mikolitik leukemia yang datang
dengan kelebihan cairan karena gagal ginjal dan gagal jantung. Panah hitam pada
gambar b menunjukkan adanya pelebaran progresif pembuluh darah lobus
(peribronchial cuffing), panah putih gambar c menunjukkan adanya bilateral kerley
lines, dan juga terdapat area noduler dengan peningkatan opasitas. Kelebihan cairan
dapat dikonfirmasi dari pertambahan ukuran dari vena zygos.

9
Gambar 7. Gambaran CT-scan pada pasien laki-laki 53 tahun, dengan edema
peningkatan tekanan hidrostatik. Didapatkan adanya peribronchial cuffing (panah
hitam) pada bagian anterior paru kiri. Kedua paru terlihat adanya ground-glass
area.

II.6.2. Bat Wing Edema


Bat wing edema mengarah pada distribusi edema alveolar di bagian sentral
dan dengan distribusi non-gravitasional. Gambaran radiologis ini biasanya terdapat
pada 10% kasus edema paru, dan secara keseluruhan terjadi pada kasus
perkembangan cepat gagal jantung berat seperti pada insufisiensi katub mitral akut
(yang berhubungan dengan rupturnya otot papilar, infark miokard masif, dan
destruksi katub seperti pada endokarditis septik) atau pada kasus gagal ginjal. Pada
kasus bat wing edema, korteks paru bersih dari cairan alveolar ataupun interstitial.
Kondisi patologis ini berkembang secara cepat yang ditandai secara radiologis
dengan infiltrat alveolus, dan gambaran tipikal edem pulmo jarang ditemukan.

Gambar 8. Bat wing edema pada pasien wanita, 77 tahun dengan kelebihan cairan
dan gagal jantung. Pada gambaran foto thorax dada (3.a) dan gambaran CT-scan
(3.b) menunjukkan adanya wing alveolar edema yang distribusinya sentral dan
sparing dari konteks paru. Infiltrat pada pasien ini berkurang setelah 32 jam
menjalani pengobatan.

II.6.3 Distribusi Asimetris dari Edema Peningkatan Tekanan

10
Penyebab tersering terjadinya distribusi asimetris dari edema tekanan
adalah perubahan morfologi dari parenkim paru pada kasus penyakit paru obstruksi
kronis. Selain itu, pada kasus gagal jantung, emfisema pada apices atau gambaran
destruksi dan fibrosis pada bagian paru bagian atas dan tengah (sering ditemukan
pada kasus end-stage tuberculosis, sarcoidosis, atau asbestosis) akan terlihat pada
kasus edema paru yang predominan pada bagian yang kurang berpengaruh pada
proses penyakit ini.

Gambar 9. Edema paru asimetris pada pasien laki-laki 70 tahun, dengan end-stage
fibrosis dan emfisema bulosa dikarenakan asbestosis dengan gagal jantung. Pada
gambaran radiografi didapatkan infiltrat edema paru predominan pada basis paru
karena aliran darah paru mengalir ke bagian ini dari bula lobus bagian atas.

Gambar 10. Edema paru asimetris pada pasien pria dengan chronic obstructive
pulmonary disease. Pada gambar 5.a yang merupakan parenkim paru dan gambar
5.b yang merupakan gambaran mediastinum menunjukkan edema dengan

11
gambaran diffuse ground-glass attentuation dengan gradien anteroposterior. Cairan
yang memenuhi bula subpleura paling jelas terlihat pada gambar 5.b di bagian kiri
bawah.

II.6.4 Near Drowning Pulmonary Edema


Near drowning didefinisikan sebagai asfiksiasi yang diakibatkan karena
inhalasi air dan masih bertahan hidup sampai minimal 24 jam setelahnya. Terdapat
tiga stadium pada kasus ini. Stadium pertama adalah laringospasme akut yang
diakibatkan karena inhalasi air yang sedikit (dry drowning). Gambaran radiologis
yang dapat terlihat adalah kerley lines, peribronchial cuffing, patchy, konsolidasi
alveolar perihilar. Gambaran tersebut akan hilang setelah 24 sampai 48 jam
dilakukan terapi. Pada stadium kedua, masih terdapat laringospasme pada korban,
dan sebagian air akan ditelan ke perut. Pada stadium ketiga, 10-15% pasien masih
menampakkan gejala dry drowning dikarenakan laringospasme yang persisten,
sedangkan sisanya sekitar 90% pasien, laringospasme yang terjadi akan mulai
berelaksasi karena hipoksia dan aspirasi air dalam jumlah yang cukup banyak. Pada
kasus seperti ini, lesi di paru tidak lagi berhubungan dengan edema tekanan, namun
lebih karena hipoksia yang dapat menyebabkan pengeluaran sitokin, dan akhirnya
terjadi edema permeabilitas. Gambaran radiologis pada stadium dua dan tiga
biasanya tidak spesifik. Bisa didapatkan gambaran ill-defiined lessions dan
konsolidasi ruang udara lobus. Besarnya lesi tergantung dari volume air yang
dihirup dan durasi dari hipoksia, maupun jenis air yang terhirup (air garam atau air
segar).

12
Gambar 11. Gambaran edema paru pada anak berumur 5 tahun yang hampir
tenggelam 1 jam sebelum dibawa ke rumah sakit. Terdapat pembesaran jantung,
diffuse confluent alveolar patterns of pulmonary edema, dan peribronchial cuffing.
Gambaran cortikal paru bersih dari edema interstitial, hal ini mengindikasikan
edema berasal dari kerusakan alveolar langsung dari inhalasi air atau edema karena
laringospasme dibandingkan dengan edema karena hipoksia.

Gambar 12. Gambaran foto thorax dan CT scan setelah 3 jam kejadian,
menunjukkan adanya penurunan edema paru.

13
II.6.5 Edema Paru Neurogenik
Edema paru neurogenik terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan
gangguan otak berat seperti pada trauma, perdarahan subaraknoid, stroke, maupun
status epileptikus. Diagnosis dari edema paru neurogenik dibuat menggunakan
metode eksklusi. Penyebabnya masih kontroversional, beberapa mengemukakan
kombinasi antara faktor yang mempengaruhi edema hidrostatik dan faktor yang
mempengaruhi edema permeabilitas tanpa DAD. Gejala dari edema paru
neurogenik ini diantaranya adalah dispneu, takipneu, dan sianosis yang terjadi
setelah adanya gangguan pada otak. Gejala dan tanda ini akan berkurang secara
cepat pada kebanyakan kasus. Gambaran radiografi pada kasus ini adalah adanya
bilateral, homogen konsolidasi, dengan predominasi apices pada 50% kasus.
Gambaran radiologi ini biasanya menghilang setelah 1-2 hari.

Gambar 13. Edema paru neurogenik pada pasien wantia berumur 54 tahun dengan
perdarahan intrakranial karena hipertensi arteri. Gambar a. menunjukkan foto
rontgen thorax dengan gambaran konsolidasi yang predominan pada daerah apices.
Tanpa disertai efusi pleura, Kerley lines, maupun ukuran jantung yang abnormal.
Gambar b. menunjukkan CT scan dengan gambaran konsolidasi alveolar pada
sentral paru, dan penebalan septum interlobus (tanda panah hit

Definisi Gagal Nafas

14
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernafasan untuk
mempertahankan suatu keadaan pertukaran antara atmosfer dan sel-sel tubuh yang
sesuai dengan kebutuhan tubuh normal Pada gagal nafas, terjadi kegegalan sistem
pulmoner untuk memenuhi kebutuhan eliminasi CO2 dan oksigenasi darah.

Gagal napas terjadi bila: 1). PO2 arterial (PaO2) < 60 mmHg, atau 2). PCO2 arterial
(PaCO2) > 45 mmHg , kecuali apabila peningkatan PCO2 disebabkan oleh
kompensasi dari alkalosis metabolik.

Patofisiologi gagal nafas

Gagal nafas dapat disebabkan oleh kelainan intrapulmoner maupun


ekstrapulmoner. Kelainan intrapulmoner meliputi kelainan pada saluran nafas
bawah, sirkulasi pulmoner, jaringan interstitial dan daerah kapiler alveolar.
Sedangkan ekstrapulmoner berupa kelainan pada pusat nafas, neuromuskular,
pleura maupun saluran nafas atas.
Pemahaman mengenai patofisiologi gagal nafas merupakan hal yang sangat
penting di dalam hal penatalaksanaannya nanti. Secara umum terdapat 4 dasar
mekanisme gangguan pertukaran gas pada sistem respirasi, yaitu :
1. Hipoventilasi
2. Right to left shunting of blood
3. Gangguan difusi
4. Ventilation/perfusion mismatch, V/Q mismatch.
Dari keempat mekanisme di atas, kelainan extrapulmoner menyebabkan
hipoventilasi sedangkan kelainan intrapulmoner dapat meliputi seluruh mekanisme
tersebut.

II.7 Penatalaksanaan5,10,12
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru terlebih dahulu kita cari
penyakit yang mendasari terjadinya edema. Karena merupakan faktor yang sangat
penting dalam pengobatan, sehingga perlu diketahui dengan segera penyebabnya.
Karena terapi spesifik tidak selalu dapat diberikan sampai penyebab
diketahui, maka pemberian terapi suportif sangatlah penting. Tujuan umum adalah

15
mempertahankan fungsi fisiologik dan seluler dasar. Yaitu dengan cara
memperbaiki jalan napas, ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan
tekanan darah dan semua sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu dipasang.
1. Posisi ½ duduk.
2. Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika
memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2
tidak bisa dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran
tinggi, retensi CO2, hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan
edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction,
dan ventilator.
3. Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila
ada.
4. Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis
ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai
produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
5. Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6
mg tiap 5 – 10 menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa
diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB. Jika tidak
memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis
dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan
darah sistolik 85 – 90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai
tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang
adekuat ke organ-organ vital (10).
6. Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg
(sebaiknya dihindari).
7. Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5
ug/kgBB/menit atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk
menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon
klinis atau keduanya.
8. Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.

16
9. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak
berhasil dengan oksigen.

KESIMPULAN

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di


paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Edema paru dibedakan oleh karena
sebab kardiogenik dan Non-kardiogenik. Edema paru kardiogenik disebabkan oleh
gagal jantung kiri apapun sebabnya. Edema paru kardiogenik yang akut disebabkan
oleh gagal jantung kiri akut. Sedangkan untuk edema paru non-kardiogenik
disebabkan oleh penyakit dasar di luar Jantung
Gambaran radiologis yang penting dalam edema paru adalah penebalan
septa interlobar yang biasa disebut septal lines atau kerley lines, peribronchial
cuffing, cairan di fisura, dan efusi pleura. Septa interlobar biasanya tidak terlihat
pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika terdapat akumulasi cairan di daerah
tersebut.
Penatalaksanaan pada pasien dengan edema paru yaitu perbaiki jalan napas,
ventilasi yang adekuat, dan oksigenasi. Pemeriksaan tekanan darah dan semua
sistem sirkulasi perlu ditinjau, infus juga perlu dipasang.

Terapi Oksigen
Pada keadaan O2 turun secara akut, perlu tindakan secepatnya untuk
menaikkan PaO2 sampai normal. Berlainan sekali dengan gagal napas dari
penyakit kronik yang menjadi akut kembali dan pasien sudah terbiasa
dengan keadaan hiperkapnia sehingga pusat pernapasan tidak terangsang
oleh hipercarbic drive melainkan terhadap hypoxemic drive. Akibat
kenaikan PaO2 pasien dapat apnea.
Terapinya dengan menaikkan konsentrasi oksigen fraksi inspirasi
(FiO2), menurunkan konsumsi oksigen dengan hipotermi sampai 34°C atau
pemberian obat pelumpuh otot. Ventilasi dilakukan secara bantuan atau
terkendali. Cara pemberian oksigen dapat dilakukan dengan kateter nasal,

17
atau sungkup muka. Sungkup muka tipe venture dapat mengatur kadar O2
inspirasi secara lebih tepat, bila ventilasi kembali dengan ventilator maka
konsentrasi O2 dapat diatur dari 21-100%.

Tabel.2 Cara Pemberian O2, hubungan antara besarnya aliran udara dengan
konsentrasi O2 Inspirasi.
Alat Aliran O2 (L/men) Konsentrasi O2 (%)

Kateter nasal 2-6 30-50


Sungkup muka 4-12 35-65
Sungkup muka tipe 4-8 24, 28, 35, 40
venturi
Ventilator Bervariasi 21-100
Inkubator 3-8 30-40
1.

DAFTAR PUSTAKA

1. Derrickson, B., Tortora, Gerard J., 2009. Principles of Anatomy and


Physiology. John Wilay & Sons, United States of America.
2. Hall, Guyton &. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: Peerbit
Buku Kedokteran EGC, 2007.
3. Sudoyo, 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi V. Penerbit
FK UI.
4. Nadel M, Boushey M, Textbook of respiratory medicine. 3rd edition, vol. 2,
Philadelphia, Pennsylvania. 54:1575-1614.
5. Staub NC: Pulmonary edema. Physiol Rev 54:678-811.
6. Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D.,
Revelly, Jean P., Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S.. Clinical and Radiologic
Features of Pulmonary Edema. Scientific Exhibit. 19, 1507-1531.
7. Fishman : Pulmonary disease and disorders, fourth edition, volume one,
United States, 593-617, 2008.
8. Sovari, A., Henry H., 2012. Cardiogenic Pulmonary Edema Clinical
Presentation. http://emedicine.medscape.com/article/157452-clinical.
9. Cinteza, M., Margulescu, A.D., Darabont, Roxana O., 2007. Acute
Cardiogenic Pulmonary Edema – an Important Clinical Entitiy with

18
Mechanisms on Debate. A Journal of Clinical Medicine. 2;1, 56-64Clein,
Lawrence J., 2008. Walsh: Palliative Medicine. Saunders An Imprint of
Elsevier: United States of America
10. Ingram RH Jr., Braunwald E. Pulmonary edema : cardiogenic and non-
cardiogenic. In: Han Disease. Textbook of Cardiovascular
Medicine.Braunwald E. (Ed). 3rd ed. Philadelphia : WB Saunders Co. 544-
60
11. Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non
Cardiogenic Pulmonary Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz
Arch Tierheilkd, 152:7, 311-317.
12. Klein HO, Brodsky E, Ninio R, et al; The effect of venous occlusion with
tourniquets on peripheral blood pooling and ventricular function. Chest
103:521-527, 1993.

19

You might also like