You are on page 1of 14

REFARAT

KONTUSIO SEREBRI

DISUSUN OLEH :
HOTDIA NOVINIA
18010010

PEMBIMBING :
dr. BUDI SANTOSO, Sp.S

RS MURNI TEGUH
DEPARTEMEN SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN
KONTUSIO SEREBRI

Definisi

Secara definisi contusio cerebri didefinisikan sebagai gangguan fungsi


otak akibat adanya kerusakan jaringan otak disertai perdarahan yang secara
makroskopis tidak mengganggu jaringan. Contosio sendiri biasanya menimbulkan
defisit neurologis jika mengenai daerah motorik atau sensorikotak, secara klinis
didapatkan penderita pernah atau sedang tidak sadar selama lebih dari 15 menit
atau didapatkan adanya kelainan neurologis akibat kerusakan jaringan otak.
Kontusio serebri sangat sering terjadi difrontal dan labus temporal, walaupun
dapat terjadi juga pada setiap bagian otak, termasuk batang otak dan serebelum.
Batas perbedaan antara kontusio dan perdarahan intraserebral traumatika memang
tidak jelas. Kontusio serebri dapat saja dalam waktu beberapa jam atau hari
mengalami evolusi membentuk pedarahan intra serebral.

Etiologi

Penyebab penting terjadinya lesi kontusio adalah akselerasi kepala yang


juga menimbulkan pergeseran otak dengan tulang tengkorak serta pengembangan
gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat akan menyebabkan
hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat,
sehingga menimbulkan blokade reversibel terhadap lintasan asendens retikularis
difus. Akibat hambatan itu, otak tidak mendapat input aferen sehingga kesadaran
hilang selama blokade reversibel berlangsung.
Anatomi Otak
Anatomi Kepala Pada Kulit kepala terdri dari 5 lapisan yang disebut sebagai
SCALP yaitu (1) Skin atau kulit, (2) Connective Tissue atau jaringan subkutis, (3)
Aponeurosis galea, (4) Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar, dan (5)
Pericranium (perikranium).

(1) Skin atau kulit Sifatnya tebal dan mengandung rambut serta kelenjar keringat.
(2) Connective Tissue atau jaringan subkutis Merupakan jaringan kat lemak yang
memiliki septa-septa, kaya akan pembuluh darah terutama di atas Galea.
Pembuluh darah tersebut merupakan anastommistis antara arteri karotis interna
dan eksterna, tetapi lebih dominan arteri karotis eksterna.
(3) Aponeurosis galea Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang
melekat pada tiga otot, yaitu : a. ke anterior – m. frontalis b. ke posterior – m.
occipitslis c. ke lateral – m. temporoparietalis Ketiga otot ini dipersarafi oleh
nervus fasialis (N. VII)
(4) Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar Lapisan ini mengandung vena
emissary yang merupakan vena tanpa katup (valveless vein), yang
menghubungkan SCALP, vena diploica, dan sinus vena intrakranial (misalnya
Sinus sagitalis superior). Jika terjadi infeksi pada lapisan ini, akan muda
menyebar ke intrakranial. Hematoma yang tebentuk pada lapisan ini disebut
Subgaleal hematom, merupakan hematoma yang paling sering ditemukan setelah
cedera kepala.
(5) Pericranium (perikranium) Merupakan periosteum yang melapisi tulang
tengkorak, melekat erat terutama pada sutura karena melalui sutura ini periosteum
akan langsung berhubngan dengan endosteum (yang melapisi permukaan dalam
tulang tengkorak).
Selaput otak (meningien) adalah selaput yang membungkus otak dan
sumsum tulang belakang untuk mrlindungi struktur syaraf yang halus, membawa
pembuluh darah dan cairan sekresi serebrospinalis, meperkecil benturan atau
getaran pada otak dan sumsum tulang belakang. Selaput otak terdiri dari tiga
lapisan yaitu :
a. Duramater Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat
tebal dan kuat. Pada bagian tengkorak terdiri dari periost (selaput) tulang
tengkorak dan durameter propia bagian dalam. Duramater ditempat tertentu
mengandung rongga yang mengalirkan darah dari venaotak. Rongga ini
dinamakan sinus vena. Diafragma sellae adalah lipatan 12 berupa cincin dalam
duramater menutupi sel tursika sebuah lekukan pada tulang stenoid yang berisi
kelenjar hipofisis.
b. Araknoidea Selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi cairan
otak yang meliputi susunan saraf sentral. Otak dan medulla spinalis berada dalam
balon yang berisi cairan itu. Kantong-kantong araknoid ke bawah berakhir di
bagian sacrum, medulla spinalis berhenti setinggi lumbal I-II. Dibawah lumbal II
kantong berisi cairan hanya terdapat saraf-saraf perifer yang keluar dari media
spinalis. Pada bagian ini tidak ada medulla spinalis. Hal ini dimanfaatkan untuk
pengambilan cairan otak yang disebut pungsi lumbal.
c. Piameter Selaut tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak,
piamaeter yang berhubungan dengan araknoid melalui struktur jaringan ikat yang
disebut trebekhel.
Patomekanisme

Kontusio dapat terjadi akibat adanya gaya yang dikembangkan oleh


mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis, sehingga terdapat
vasoparalisis. Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau
menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif ikut terlibat, maka rasa
mual, muntah dan gangguan pernapasan bisa terjadi.

Kontusio serebri yang tidak terlampau berat dapat terjadi dengan adanya
gangguan-gangguan di susunan kardiopulmonal pada trauma kapitis, dengan
mekanisme melalui sistem vaskular yang ikut terkena secara langsung karena
perdarahan ataupun trauma langsung pada jantung. Sebagai reaksi tubuh, volume
sirkulasi ditambah dengan cairan yang berasal dari lingkungan ekstraselular.
Keadaan ini bisa ke hemodilusi jika penderita diberi cairan melalui infus tanpa
plasma atau darah. Gangguan yang akan menyusulnya adalah tekanan osmotik
dan O2 (PO2) menurun.

Gejala Klinis
Pada kontusio atau memar otak terjadi perdarahan-perdarahan di dalam
jaringan otak tanpa adanya robekan jaringan yang kasat mata, meskipun neuron-
neuron mengalami kerusakan atau terputus. Pada trauma yang membentur dahi
kontusio terjadi di daerah otak yang mengalami benturan. Pada benturan di daerah
parietal, temporalis dan oksipitalis selain di tempat benturan dapat pula terjadi
kontusio pada lesi yang bertentangan pada jalan garis benturan.

Lesi kedua ini disebut lesi kontra benturan. Perdarahan mungkin pula
terjadi di sepanjang garis gaya benturan ini, dan pada permukaan bagian otak
yang menggeser karena gerakan akibat benturan itu. Pada pemeriksaan neurologik
pada kontusio ringan mungkin tidak dijumpai kelainan neurologik yang jelas
kecuali kesadaran yang menurun. Pada kontusio serebri dengan penurunan
kesadaran yang berlangsung berjam – jam pada pemeriksaan daapat atau tidak
dijumpai defisit neurologik. Pada kontusio serebri yang berlangsung lebih dari 6
jam penurunan kesadarannya, biasanya dijumpai defisit neurologik yang jelas.
Gejala – gejalanya bergantung pada lokasi dan luasnya daerah lesi. Keadaan klinis
yang berat terjadi pada perdarahan besar atau tersebar pada jaringan otak, sering
juga disertai dengan perdarahan subaraknoidal atau kontusio batang otak. Edema
otak yang menyertainya tidak jarang berat dan menyebabkan meningkatnya
tekanan intrakranial. Tekanan intrakranial yang meninggi menimbulkan gangguan
mikrosirkulasi otak dengan akibat menghebatnya edema. Dengan demikian
timbullah lingkaran setan yang akan berakhir dengan kematian bila tidak dapat
diputus.

Pada perdarahan dan edema di daerah diensefalon pernapasan biasa atau


bersifat Cheyne Stokes, pupil mengecil, reaksi cahaya baik. Mungkin terjadi
rigiditas dekortikasi yaitu kedua tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua
lengan kaku dalam sikap fleksi pada sendi siku. Pada gangguan di daerah
mesensefalon dan pons bagian atas, kesadaran menurun hingga koma, pupil
melebar, refleks cahaya tidak ada, gerakan mata diskonjugat, tidak teratur,
pernapasan hiperventilasi, motorik menunjukkan rigiditas deserebrasi dengan
keempat ekstremitas kaku dalam sikap ekstensi.

Pada lesi pons bagian bawah bila nuklei vestibularis terganggu bilateral,
gerakan kompensasi bola mata pada gerakan kepala menghilang. Pernapasan
tidak teratur. Bila oblongata terganggu, pernapasan melambat tak teratur,
tersengal-sengal menjelang kematian.

Diagnosis
Dengan CT-scan dan MRI, perdarahan intrakranial akibat trauma kepala
lebih mudah dikenali.1,2,4
Foto Polos Kepala
Pada foto polos kepala, kita tidak dapat mendiagnosa pasti sebagai
epidural hematoma. Dengan proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral dengan sisi
yang mengalami trauma pada film untuk mencari adanya fraktur tulang yang
memotong sulcus arteria meningea media.4
Computed Tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan dapat menunjukkan lokasi, volume, efek, dan
potensi cedara intracranial lainnya. Pada epidural biasanya pada satu bagian saja
(single) tetapi dapat pula terjadi pada kedua sisi (bilateral), berbentuk bikonfeks,
paling sering di daerah temporoparietal. Densitas darah yang homogen
(hiperdens), berbatas tegas, midline terdorong ke sisi kontralateral. Terdapat pula
garis fraktur pada area epidural hematoma, Densitas yang tinggi pada stage yang
akut ( 60 – 90 HU), ditandai dengan adanya peregangan dari pembuluh darah.1,4

Gambar 3. Pemeriksaan CT-Scan pada epidural hematoma terdapat bayangan


hiperdense berbentuk bikonveks

Meagnetic resonance Imaging


MRI akan menggambarkan massa hiperintens bikonveks yang menggeser
posisi duramater, berada diantara tulang tengkorak dan duramater. MRI juga dapat
menggambarkan batas fraktur yang terjadi. MRI merupakan salah satu jenis
pemeriksaan yang dipilih untuk menegakkan diagnosis.1,4

Penatalaksaan
Otak yang mengalami cidera samgat sensitif terhadap deviasi dalam
lingkungan fisiologiknya. Bahkan episode hipotensi, hipoksia, atau peningkatan
ICP yng hanya terjadi dalam waktu singkat dapat sangat membahayakan otak
tersebut. Perawatan awal pada pasien cidera kepala ditujukan pada pengamanan
jalan napas dan memberikan oksigenasi dan ventilasi yang memadai. Hipotensi
memiliki efek berbahaya bagi pasien cidera kepala karena membahayakan tekana
perfusi otak dan berperan dalam timbulnya edema dan sikemia otak.
CT scan kepala merupakan metode pemeriksaan radiologi terpilih untuk
mengevaluasi pasien cidera kepala. Kriteria untuk melakukan intervensi bedah
adalah memburuknya status neurologis secara cepat, bergesernya garis tengah
tubuh 5mm atau lebih, dan bila harus memulihkan kekedapan sawar dara.
Penaganan medis memusatkan pada rumatan parameter fisiologik sedakat
mungkin dengan keadaan normal dan segera menangani jika terjadi deviasi.
Tujuan penanganan medis adalah (1) mempertahankan tekanan darah rata-rata
(MAP) sebesar 80mmHg atau lebih, (2) menangani demam secara agresif, (3)
mempertahankan saturasi oksigen ideal, (4) menghindari hiperventilasi, (5)
mencegah kseimbangan nitrogen negetif dengan memberikan makanan per entral
atau hiperalimentasi, dan (6) penanganan peningkatan ICP secara agresif.
Tindakan untuk mengurangi peningkatan ICP adalah dengan menginduksi
drainase ICP melalui ventrikulostomi, analgesia, dan sedasi. Manitol diberikan
dalam bolus dosis 0,25 hingga 1g/kgBB.
Tindakan yang diambil pada keadaan kontusio berat ditunjukan untuk
mencegah meningginya tekanan intrakranial.
1. Usahakan jalan napas yang lapang dengan membersihkan hidung dan
mulut dari darah dan muntahan, melonggarkan pakaian yang ketat, bila
perlu pasang pipa endotrakeal atau lakukan trakeostimi, O2 diberikan bila
tidak ada hiperventilasi.
2. Hentikan perdarahan.
3. Bila fraktur pasang bidai untuk fiksasi
4. Letakkan pasien dalam posisi miring hingga bila muntah dapat bebas
keluar dan tidak menganggu jalan napas.
5. Berikan profilaksis antibiotika bila ada luka-luka yang berat.
6. Bila ada syok, infus dipasang untuk memberikan cairan yang sesuai. Bila
tidak ada syok pemasangan infus tidak perlu dilakukan dengan segera.
Pada hari pertama pemberian infus 1,5 liter cairan/hari, dengan 0,5 liter
NaCl 0,9%. Bila digunakan glukosa, berikan dextrose 10% untuk
mencegah hebatnya edema pada otak dan kemungkinan timbulnya edema
pumonal. Setelah hari ke-4 jumlah cairan perlu ditambahi sehingga 2,5
liter/24 jam. Bila bising usus sudah terdengar baik diberikan makanan cair
personde.
7. Pada keadaan edema otak yang hebat diberikan manitol 20% dalam infus
sebanyak 250 cm3 dalam waktu 30 menit yang dapat diulang tiap 12-24
jam.
8. Furosemide intramuskular 20 mg/24jam, selain meningkatkan diuresis
berkhasiat mengurangi pembentukan cairan otak.
9. Untuk menghambar pembentukan edema serebri diberikan deksametason.
10. Pemantauan keadaan penderita selain keadaan umumnya perlu diperiksa
secara teratur PCO2 dan PO2 darah. Keadaan yang normal adalah PCO2
sekitar 42mmHg dan PO2 diatas 70mmHg. Selanjutnya adalah perawatan
dalam keadaan koma.
Prognosis
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan
beratnya kerusakan otak yang terjadi. Berbagai fungsi otak dapat dijalankan oleh
beberapa area, sehinnga area yang tidak mengalami kerusakan bisa menggantikan
fungsi dari area lainnya yang mengalami kerusakan. Tetapi semakin tua umur
penderita, maka kemampuan otak untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya,
semakin berkurang. Penderita cedera kepala berat kadang mengalami amnesia dan
tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan
kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka biasanya
ingatan penderita akan pulih kembali. Penderita bisa mengalami sindroma pasca
konkusio, dimana sakit kepala terus menerus dirasakan dan terjadi gangguan
ingatan. Status vegetatif kronis merupakan keadaan tak sadarkan diri dalam waktu
yang lama, yang disertai dengan siklus bangun dan tidur yang mendekati normal.
Keadaan ini merupakan akibat yang paling serius dari cedera kepala yang non-
fatal. Penyebabnya adalah kerusakan pada bagian atas dari otak (yang
mengendalikan fungsi mental), sedangkan talamus dan batang otak (yang
mengatur siklus tidur, suhu tubuh, pernafasan dan denyut jantung) tetap utuh. Jika
status vegetatif terus berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, maka
kemungkinan untuk sadar kembali sangat kecil.
DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono, editor. Trauma. In: Buku Ajar Neurologi Klinis. Jakarta:


Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia; 2015. p. 257.
2. Dorland’s Illustrated Medical Dictionary. 32nd ed. Madrid: Elsevier; 2012.
832 p.
3. Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. 6th ed. Yesdelita N,
editor. Jakarta: EGC; 2011.
4. Scalon VC, Sanders T, editors. The Nervous System. In: Essential of
Anatomy and Physiology. 5th ed. Philadelphia: F. A. Davis Company;
2007. p. 163.
5. Faris M. Pedoman Tatalaksana Cedera Otak. 2nd ed. Wahyuhadi J,
Suryaningtyas W, Susilo RI, Faris M, Apriawan T, editors. Surabaya: Tim
Neurotrauma RSU Dr.Soetomo Fakultas Kedokteran Universitas
Airlangga; 2014. 8-12 p.
6. Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta,
2000
7. Chusid JG., Neuroanatomi Korelatif & Neurologi Fungsional, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 1990
8. Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1993

You might also like