You are on page 1of 17

BAB I

PENDAHULUAN

Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus

pada daerah retrofaring. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher

bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang

retrofaring berasal dari proses infeksi di hidung, adenoid, nasofaring dan sinus

paranasal, yang menyebar ke kelenjar limfe retrofaring. Oleh karena kelenjar ini

biasanya atrofi pada umur 4 – 5 tahun, maka sebagian besar abses retrofaring

terjadi pada anak-anak dan relatif jarang pada orang dewasa.

Kasus abses retrofaring saat ini sudah mulai menurun karena penggunaan

antibiotik yang luas untuk keadaan infeksi saluran napas bagian atas. Lander dkk

menemukan 1.321 kasus abses retrofaring di Amerika Serikat pada tahun 2003.

Sedangkan di Taiwan, dari 50 kasus infeksi leher bagian dalam (deep neck

infection), 9 kasus diantaranya merupakan abses retrofaring, 17 kasus abses

parafaring, 21 kasus abses peritonsilar, dan 3 kasus lainnya campuran

Pemeriksaan mikrobiologi berupa isolasi bakteri dan uji kepekaan kuman

sangat membantu dalam pemilihan antibiotik yang tepat. Walaupun demikian,

angka mortalitas dari komplikasi yang timbul akibat abses retrofaring masih

cukup tinggi sehingga diagnosis dan penanganan yang cepat dan tepat sangat

dibutuhkan. Penatalaksanaan abses retrofaring dilakukan secara medikamentosa

dan operatif. Pada umumnya abses retrofaring mempunyai prognosis yang baik

apabila didiagnosis secara dini dan dengan penanganan yang tepat sehingga

komplikasi tidak terjadi.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Faring

Faring adalah suatu kantung fibromuskuler yang bentuknya seperti corong,

yang besar di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari

dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebrae servikalis ke-6.

Ke atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, kedepan

berhubungan dengan rongga mulut melalui ishmus orofaring, sedangkan dengan

laring di bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring

pada orang dewasa kurang lebih 14 cm, bagian ini merupakan bagian dinding

faring terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh selaput lendir, fasia

faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Faring terbagi

atas nasofaring,orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur faring

meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.

Fungsi faring terutama ialah untuk respirasi, pada waktu menelan,

resonasi suara dan untuk artikulasi. Selain itu terdapat dua ruang yang

berhubungan dengan faring (ruang faringal) yang secara klinis penting, yaitu

ruang retrofaring dan ruang parafaring.


2.1.1 Ruang Retrofaring

Ruang retrofaring merupakan ruang potensial yang terletak diantara

lapisan tengah fasia leher dalam yang mengelilingi faring dan esofagus di sebelah

anterior dan lapisan dalam fasia leher dalam di sebelah posterior. Ruang ini

memanjang dari dasar tengkorak yang merupakan batas superior sampai ke

mediastinum setinggi vertebra torakal pertama atau kedua yang merupakan batas

inferior. Selanjutnya lapisan dalam dari fasia leher dalam bergabung dengan

lapisan tengah dari fasia leher dalam.

Ruang retrofaring dibatasi oleh :

- Anterior : Fasia bukkofaringeal (divisi viscera lapisan media fasia servikalis

profunda) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan tiroid.

- Posterior : Divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda

- Lateral : Selubung karotis ( carotid sheath ) dan daerah parafaring.

Gambar 2.5. Ruang pada servikalis tampak lateral.


Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum

setinggi bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II) dimana divisi viscera dan alar

bersatu.

Daerah retrofaring terbagi menjadi 2 daerah yang terpisah di bagian lateral

oleh midline raphe . Tiap – tiap bagian mengandung 2 – 5 buah kelenjar limfe

retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4 – 5 tahun. Kelenjar ini

menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring, faring,

tuba Eustakius dan telinga tengah. Daerah ini disebut juga dengan ruang

retroviscera, retroesofagus dan ruang viscera posterior.

2.2 Epidemiologi

Abses retrofaring jarang ditemukan dan lebih sering terjadi pada anak di

bawah usia 5 tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring

masih berisi kelenjar limfe. Penelitian selama 35 tahun terhadap anak-anak yang

diterapi di Children’s Hospital, Los Angeles dijumpai sebanyak 50% kasus

berusia kurang dari 3 tahun dan 71% kasus berusia kurang dari 6 tahun.

Sedangkan di Sydney, Australia didapati sebanyak 55% kasus berusia kurang dari

1 tahun dimana 10% diantaranya dijumpai pada periode neonatus.

2.3. Etiologi dan Klasifikasi

Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses retrofaring adalah:

1. infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring;

2. trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau

tindakan medis seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea, dan

endoskopi; dan

3. tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).


Pada banyak kasus Pada banyak kasus sering ditemukan adanya kuman aerob

dan anaerob secara bersamaan. Beberapa organisme yang dapat menyebabkan

abses retrofaring adalah:

1. Bakteri aerob: Streptococcus beta hemolyticus group A (paling sering),

Streptococcus pneumoniae, Streptococcus non hemolyticus,

Staphylococcus aureus, Haemophillus sp;

2. Bakteri anaerob: Bacteroides sp, Veilonella, Peptostreptococcus,

Fusobacteria.

Secara umum abses retrofaring terbagi menjadi 2 jenis yaitu: 1

1. Akut

Sering terjadi pada anak-anak berumur di bawah 4 – 5 tahun. Keadaan ini

terjadi akibat infeksi pada saluran napas atas seperti pada adenoid, nasofaring,

rongga hidung, sinus paranasal, dan tonsil yang meluas ke kelenjar limfe

retrofaring (limfadenitis) sehingga menyebabkan supurasi pada daerah tersebut.

Sedangkan pada dewasa terjadi akibat infeksi langsung oleh karena trauma akibat

penggunaan instrumen (intubasi endotrakea, endoskopi, sewaktu adenoidektomi)

atau benda asing.

2. Kronis

Biasanya terjadi pada orang dewasa atau anak-anak yang lebih tua. Keadaan ini

terjadi akibat infeksi TB pada vertebra servikalis dimana pus secara langsung

menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior. Selain itu abses dapat terjadi

akibat infeksi TB pada kelenjar limfe retrofaring yang menyebar dari kelenjar

limfe servikal.
2.4 Patofisiologi

Ruang retrofaring berada di anterior fasia prevertebra yang berjalan

inferior dari basis kranii sepanjang faring. Ruang ini merupakan lanjutan ruang

parafaring dan fossa infratemporal. Ruang retrofaring dan parafaring dipisahkan

oleh fasia alar, yang merupakan barier yang kurang efektif terhadap penyebaran

infeksi. Ruang retrofaring berhubungan dengan mediastinum superior dan

posterior, sehingga dapat menjadi jalur yang potensial penyebaran infeksi ke

thoraks.

Ruang retrofaring terdiri dari jaringan areolar longgar dan cincin limfe,

sehingga dapat mengikuti pergerakan faring dan esofagus pada saat menelan.

Kelenjar limfe retrofaring menerima aliran limfe dari hidung, sinus paranasalis,

tuba eustachius, dan faring. Pembentukan pus pada kelenjar limfe retrofaring pada

umumya terlokalisir dengan baik, sehingga penyebaran vertikal dari infeksi

biasanya terjadi setelah beberapa waktu dalam progresi penyakit, meskipun

keadaan ini jarang terjadi pada praktiknya. Sebagian besar gejala abses retrofaring

berhubungan dengan obstruksi saluran napas bagian atas dan iritasi lokal otot

(misalnya sternomastoid dan pterigoid).

Danger space berada diantara ruang retrofaring dan ruang prevertebra

yang dipisahkan oleh dua komponen yaitu fasia alar dan fasia prevertebra. Hal ini

dapat menyebabkan penyebarab infeksi diantara basis kranii dan mediatinum

posterior sampai pada level diafragma.

Ruang retrofaring dapat mengalami infeksi yang berkembang menjadi

abses melalui dua cara, yaitu penyebaran infeksi melalui aliran limfe (sebagian
besar) secara lokal dari sumber infeksi atau inokulasi langsung bakteri melalui

trauma tembus atau benda asing.

Pada anak, abses retrofaring akut paling banyak disebabkan infeksi saluran

pernapasan atas seperti tonsilitis dan faringitis, sinusitis paranasalis, otitis media,

dan infeksi gigi yang kemudian menyebar dan menyebabkan limfadenopati

retrofaring. Limfadenopati retrofaring kemudian menyebabkan abses retrofaring

akibat supurasi kelenjar getah bening nasofaring. Hal ini merupakan alasan abses

retrofaring yang disebabkan oleh proses non-traumatik jarang ditemukan pada

orang dewasa karena kelenjar getah bening retrofaring telah mengalami regresi.

Kasus trauma tembus pada faring sebagai penyebab sekunder abses

retrofaring akut yang terjadi pada anak dapat disebabkan benda asing seperti

tulang ikan, tangkai es krim, dan pensil. Sedangkan penyebab sekunder iatrogenik

misalnya trauma post laringoskopi, intubasi endotrakeal, endoskopi, pemasangan

pipa orogastrik, maupun prosedur dental. Trauma pada faring menyebabkan

inokulasi langsung agen patogen piogenik ke dalam ruang retrofaring yang

kemudian terjadi proses supurasi dan membentuk abses.

Abses retrofaring akut pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh

inokulasi langsung patogen piogenik ke dalam ruang retrofaring yang disebabkan

trauma pada faring atau esofagus akibat tertelan benda asing atau prosedur medis

yang traumatik seperti endoskopi, laringoskopi direk, maupun intubasi

endotrakeal. Penyakit-penyakit seperti diabetes melitus, keganasan, alkoholisme

kronik, dan AIDS dilaporkan sebagai predisposisi abses retrofaring pada orang

dewasa.
Abses retrofaring kronis pada anak dapat terjadi akibat infeksi

tuberkulosis. Pada anak usia kurang dari 5 tahun, abses retrofaring kronis

disebabkan penyebaran dari infeksi tuberkulosis pada kelenjar limfe servikal

dalam ke kelenjar retrofaring yang membentuk abses dingin. Abses retrofaring

kronis yang demikian dikenal sebagai tipe lateral karena secara klinis terlihat lebih

ke arah lateral dari garis tengah tubuh, fluktuan, dengan tanda inflamasi yang

minimal. Pada anak yang lebih tua dan orang dewasa abses retrofaring kronis

biasanya disebabkan spondilitis tuberkulosis pada vertebra servikalis (Pott’s

disease) dimana pus menyebar melalui ligamentum longitudinal anterior dan

dikenal sebagai tipe sentral. Abses terjadi diantara korpus vertebra dan fasia

prevertebra. Abses mula-mula terbentuk pada garis tengah dan menyebar ke

lateral. Pada pemeriksaan ditemukan pembengkakan pada garis tengah dan

dinding faring yang berfluktuasi dengan tanda inflamasi yang minimal.

2.5 Diagnosis

2.5.1 Anamnesis

Keluhan pasien dengan abses retrofaring akut bervariasi bergantung

kepada kelompok umur. Gejala abses retrofaring berbeda untuk orang dewasa,

anak-anak, dan bayi yang dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 2.1. Gejala abses retrofaring pada berbagai kelompok usia.

Dewasa Anak > 1 tahun Bayi

 Nyeri tenggorokan  Nyeri tenggorokan (84%)  Demam (85%)

 Demam  Demam (64%)  Bengkak pada leher

 Disfagia  Kaku leher (64%) (97%)

 Odinofagia  Odinofagia (55%)  Intake oral buruk (55%)


 Nyeri leher  Batuk  Rinorrhea (55%)

 Dispnea  Letargi (38%)

 Batuk (33%)

2.5.2 Pemeriksaan fisik

Pasien dengan abses retrofaring akut dapat menunjukkan tanda-tanda

obstruksi jalan napas tetapi hal ini jarang terjadi. Meskipun demikian, pasien yang

awalnya tidak menunjukkan tanda-tanda obstruksi jalan napas dapat berkembang

menjadi obstruksi jalan napas. Pada pasien dewasa dan anak pemeriksaan fisik

dapat menunjukkan temuan yang berbeda.

Tabel 2.2. Temuan pemeriksaan fisik abses retrofaring pada berbagai kelompok usia

Dewasa Anak dan Bayi

 Edema posterior faring (37%)  Adenopati servikal (36%)

 Kaku leher  Bulging retrofaring (55%, jangan lakukan


palpasi pada anak)
 Adenopati servikal
 Demam (64%)
 Demam
 Stridor (3%)
 Drooling  Tortikolis (18%)
 Kaku leher (64%)
 Stridor
 Drooling (22%)
 Agitasi (43%)
 Massa pada leher (55%)
 Letargis (42%)
 Distres pernapasan (4%)
 Tanda-tanda terkait termasuk tonsilitis,
peritonsilitis, faringitis, dan otitis media.

Anamnesis yang baik sangat penting karena kondisi serius lain merupakan

diagnosis banding dari abses retrofaring. Abses retrofaring seringkali merupakan


sekuele dari infeksi saluran napas atas (misalnya faringitis, tonsilitis, sinusitis,

infeksi gigi) dan lebih sering terjadi pada anak sehingga riwayat tertelan benda

asing harus ditanyakan.

Pada anak manifestasi klinis dapat tidak jelas dan bergantung pada tingkat

penyakit tetapi gejala khas termasuk demam tinggi, nyeri leher (terutama pada

saat digerakkan) atau tortikolis, disfagia, iritabilitas, malaise, dan odinofagia.

Odinofagia menyebabkan drooling, intake oral yang buruk, dan anoreksia. Gejala

minor lain misalnya trismus, disfonia, stridor, dan sleep apnea. Anak dapat

terlihat menarik-narik telinga atau tenggorokan yang menunjukkan adanya nyeri.7

Pada orang dewasa manifestasi klinis lebih spesifik dengan drooling dan

disfagia tetapi dengan onset perlahan. Penting untuk menanyakan komorbiditas

seperti diabetes mellitus dan melakukan kontrol glukosa darah apabila ditemukan.

Hampir sepertiga pasien dengan abses leher dalam memiliki diabetes mellitus.7

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pemeriksaan rongga mulut dan leher

untuk mencari edema tonsil, edema orofaring, dan limfadenopati. Observasi

penting lain dilakukan terhadap drooling, dispneu, tortikolis, dan massa atau

pembengkakan pada leher. Pada anak-anak pemeriksaan mungkin terbatas

bergantung pada usia dan kooperasi dari anak dan orang tua. 7

Gangguan terhadap jalan napas biasanya tampak dengan gejala dispneu,

distres pernapasan, dan fatigue. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-

tanda seperti takipneu, sianosis, tracheal thug, atau retraksi interkosta. Laju

pernapasan yang cepat dan saturasi oksigen membantu diagnosis gangguan jalan

napas.
Abses retrofaring kronik yang disebabkan oleh infeksi tuberkulosis biasanya

timbul dengan gejala kaku pada leher dan nyeri pada belakang leher. Diagnosis

ditunjang dengan riwayat menderita tuberkulosis paru dan spondilitis tuberkulosis

(khusus untuk tipe sentral). Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembengkakan

pada garis tengah (tipe sentral) dan lateral korpus vertebra (tipe lateral) yang

berfluktuasi dengan tanda inflamasi yang minimal.

Gambar 2.2. Abses retrofaring kronik tipe lateral (kiri) dan sentral (kanan)

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang awal yang dapat dilakukan untuk menunjang

diagnosis abses retrofaring dijelaskan dalam tabel berikut:

Tabel 2.3.Pemeriksaan penunjang awal untuk diagnosis abses retrofaring.7

Pemeriksaan Hasil

Darah lengkap Leukosistosis (terutama


netrofil)
Laju endap darah
 menentukan derajat penyakit inflamasi apabila tidak Meningkat
ditemukan netrofilia yang signifikan.
CT scan leher dengan kontras
 pemeriksaan definitif. Lesi hipodens dikelilingi
 mengkonfirmasi adanya abses dan membantu dalam cincin pada rongga
merencanakan approach tindakan bedah. Adanya udara retrofaring
di dalam atau di sebelah akumulasi cairan atau udara
bebas yang berlebih diantara fascia leher sangat
prediktif untuk abses.
Foto polos servikal soft tissue lateral Pembengkakan pada ruang
 dilakukan apabila terdapat kecurigaan tetapi tidak prevertebra (> 7mm pada
tersedia CT scan tetapi dapat dilakukan sebelum CT C2 dan > 14 mm pada C6)
scan apabila kecurigaan tinggi terhadap abses
retrofaring.
Pemeriksaan dengan anestesi Bulging pada dinding
 dilakukan apabila kecurigaan tinggi dan terdapat posterior orofaring.
gangguan jalan napas atau apabila tidak terdapat
fasilitas CT scan.
 juga dapat dilakukan apabila kecurigaan tinggi tetapi
hasil pencitraan tidak konsisten dengan abses
retrofaring. Pemeriksaan ini dapat mengkonfirmasi
diagnosis dan langsung dilakukan insisi transoral dan
drainase serta pengambilan pus untuk kultur.
Kultur pus Positif terhadap organisme
 pus yang didapatkan dari drainase dilakukan kultur dan penyebab.
uji sensitivitas antibiotik.

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan antara lain foto polos

dada yang diindikasikan apabila terdapat kecurigaan timbulnya komplikasi berupa

pneumonia aspirasi atau mediastinitis.3 Kultur darah tidak rutin dilakukan kecuali

pada kecurigaan terjadinya sepsis.

Untuk abses retrofaring kronis pemeriksaan penunjang yang mendukung

diagnosis adalah leukositosis, peningkatan laju endap darah, dan tes Mantoux

yang positif. Foto polos servikal lateral menunjukkan destruksi korpus vertebra

dengan peningkatan ruang retrofaring dan bayangan udara di dalamnya. CT scan

dapat lebih mengkonfirmasi temuan tersebut.


Gambar 2.8. Gambar radiologis abses retrofaring

2.7 Diagnosis Banding

Penyakit-penyakit lain dengan manifestasi klinis yang menyerupai abses

retrofaring dijelaskan pada tabel berikut:

1. Adenoiditis

2. Tumor

3. Anuerisma Aorta

2.8 Penatalaksanaan

2.8.1 Medikamentosa

Pemberian antibiotik secara parenteral diberikan secepatnya tanpa

menunggu hasil kultur pus. Antibiotik yang diberikan harus mencakup terhadap

kuman aerob dan anaerob, Gram positif dan Gram negatif. Pilihan antibiotik lini

pertama adalah Clindamycin dengan Aminoglikosida atau penicilli-nase-resistant

penicillin seperti Ticarcillin / Clavulanate, Piperacillin / Tazobactam, dan

Ampicillin/Sulbactam dikombinasikan dengan sefalosporin generasi ketiga dan


Metronidazole. Clindamycin dan Metronidazole tidak boleh digunakan sebagai

terapi tunggal. Terapi antibiotik dapat diberikan selama sekitar 10 hari.11 Untuk

abses retrofaring kronik pasien diberikan terapi antituberkulosis selain dilakukan

tindakan operatif seperti aspirasi atau insisi dan drainase abses.10

2.8.2 Operatif

Tindakan operatif yang dapat dilakukan yaitu aspirasi pus (needle

aspiration) atau insisi drainase. Insisi drainase dapat dilakukan melalui dua

pendekatan:

a) Pendekatan internal atau transoral

Dilakukan untuk abses yang kecil dan terlokalisir. Pasien diletakkan pada

posisi Trendelenburg dimana leher dalam keadaan hiperekstensi dan kepala lebih

rendah dari bahu. Insisi vertikal dilakukan pada daerah yang paling berfluktuasi

dan pus yang keluar harus segera diisap dengan alat penghisap untuk menghindari

aspirasi pus. Insisi diperlebar dengan forsep atau klem arteri untuk memudahkan

evakuasi pus. Kekurangan dari pendekatan ini terkait dengan risiko aspirasi isi

abses. Pendekatan intraoral dapat sulit dilakukan untuk abses yang letaknya

superior atau lateral.11

b) Pendekatan eksternal atau transervikal

Pendekatan eksternal baik secara anterior atau posterior dilakukan untuk

abses yang besar dan meluas ke arah hipofaring. Kelemahan dari teknik ini adalah

waktu pemulihan yang lebih lama dan terdapat kemungkinan komplikasi cidera

terhadap nervus kranialis dan pembuluh darah besar.11

Pendekatan anterior dilakukan dengan membuat insisi secara horizontal

mengikuti garis kulit setingkat krikoid atau pertengahan antara os hyoid dan
klavikula. Kulit dan subkutis dielevasi untuk memperluas pandangan sampai

terlihat m. sternokleidomastoideus. Dilakukan insisi pada batas anterior m.

sternokleidomastoideus. Dengan menggunakan klem arteri bengkok, m.

sternokleidomastoideus dan selubung karotis disisihkan ke arah lateral. Setelah

abses terpapar dengan cunam tumpul, abses dibuka dan pus dikeluarkan. Bila

diperlukan insisi dapat diperluas dan selanjutnya dipasang drain (Penrose drain).

Pendekatan posterior dibuat dengan melakukan insisi pada batas posterior

m. sternokleidomastoideus. Kepala diputar ke arah yang berlawanan dari abses.

Selanjutnya fasia dibelakang m. sternokleidomastoideus diatas abses dipisahkan.

Dengan diseksi tumpul pus dikeluarkan dari belakang selubung karotis.11

Gambar 2.9. Aspirasi abses retrofaring

2.9 Komplikasi

Komplikasi pada abses retrofaring dapat terjadi akibat:7

1) efek desak massa (abses): obstruksi jalan napas;

2) ruptur abses: asfiksia, pneumonia aspirasi, abses paru;

3) penyebaran infeksi ke daerah sekitar:

 inferior: edema laring , mediastinitis, pleuritis, empiema, abses

mediastinum;
 lateral: trombosis vena jugularis, ruptur arteri karotis, abses parafaring;

 posterior : osteomielitis dan erosi kolumna spinalis;

4) proses infeksi: necrotizing fasciitis, sepsis dan kematian.

2.10. Prognosis

Prognosis baik apabila abses retrofaring diidentifikasi dini. Meskipun

demikian tingkat mortalitas mencapai 40-50% apabila timbul komplikasi serius

(misalnya meningitis) meskipun komplikasi jarang terjadi dan secara umum

akibat penyebaran inferior ke arah inferior atau superior. Rekurensi terjadi pada 1-

5% pasien.
BAB III
KESIMPULAN

Abses retrofaring paling sering dijumpai pada anak-anak, terutama

disebabkan oleh infeksi saluran nafas atas yang menjalar ke ruang retrofaring.

Pada orang dewasa biasanya disebabkan oleh trauma, benda asing, atau infeksi

tuberkulosis pada korpus vertebra.

Gejala klinis yang ditimbulkan dapat berupa gejala yang ringan seperti

demam, sulit dan sakit menelan sampai timbul gejala yang berat seperti obstruksi

jalan nafas dan dapat menimbulkan kematian.

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan klinis disertai

aspirasi dan pemeriksaan radiologis. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara

medikamentosa dan operatif bergantung dari luasnya abses. Prognosis bergantung

dari penanganan yang cepat dan tepat sehingga komplikasi yang membahayakan

jiwa tidak terjadi.

You might also like