You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

Hati merupakan salah satu organ yang paling besar dalam tubuh manusia. Memiliki
fungsi utama yaitu sebagai filter darah. Darah yang beredar di tubuh kita akan dibersihkan
dan disaring dari bahan-bahan beracun yang masuk ke tubuh melalui makanan atau
pernafasan. Ia juga menghasilkan faktor-faktor, protein dan enzim pembekuan darah,
membantu keseimbangan hormon, serta menyimpan vitamin dan mineral. Dalam fungsi
ekskresi maka hati akan mengeluarkan bahan bahan metabolit seperti empedu, bilirubin,
kolesterol dan sebagainya melalui saluran pencernaan, untuk dibuang atau menjadi
metabolit lain. Banyak faal metabolik yang dilakukan oleh jaringan hati, maka ada banyak
pula, lebih dari 100, jenis test yang mengukur reaksi faal hati. Semuanya, disebut sebagai
tes faal hati atau tes fungsi hati.
Tes fungsi hati atau lebih dikenal dengan liver panel atau liver function test adalah
sekelompok tes darah yang mengukur enzim atau protein tertentu di dalam darah anda. Tes
fungsi hati umumnya digunakan untuk membantu mendeteksi, menilai dan memantau
penyakit atau kerusakan hati. Untuk tes ini diperlukan contoh darah yang diambil dari
pembuluh balik (vena) umumnya pada lengan pasien. Dan sebelum tes dilakukan, tidak
diperlukan persiapan khusus, kecuali tes dilakukan bersamaan dengan tes lain yang
mungkin memerlukan persiapan khusus.
Berbagai penyakit & infeksi dapat menyebabkan kerusakan akut maupun kronis pada
hati, menyebabkan peradangan, luka, sumbatan saluran empedu, kelainan pembekuan
darah, dan disfungsi hati. Alkohol, obat-obatan, dan beberapa suplemen herbal, serta racun
juga bisa memberikan ancaman. Jika besarnya kerusakan cukup bermakna, maka akan
menimbulkan gejala-gejala jaundice, urine gelap, tinja berwarna keabuan terang, pruritus,
mual, kelelahan, diare, dan berat badan yang bisa berkurang atau bertambah secara tiba-
tiba. Deteksi dini penting untuk diagnosis lebih awal guna minimalisasi kerusakan dan
menyelamatkan fungsi hati.
Pemeriksaan laboratorium klinik merupakan salah satu faktor penunjang yang sangat
penting dalam membantu diagnosis suatu penyakit. Pelayanan pemeriksaan laboratorium
klinik biasanya dilakukan sesuai dengan permintaan dokter sehubungan dengan gejala
klinis dari penderita. Pemeriksaan terhadap fungsi hati secara umum meliputi Alanine
aminotransferase (ALT), Aspartarte aminotransferase (AST), Alkaline phosphatase (ALP),
Gamma glutamyl transferase (GGT atau Gamma GT), dan Bilirubin, Albumin. Masing-
masing pemeriksaan tersebut menjadi petunjuk untuk mengetahui apakah ada masalah
pada fungsi hati atau tidak.

Pemeriksaan laboratorium dapat digunakan untuk berbagai tujuan :


1. Skrining/uji saring adanya penyakit subklinis
2. Konfirmasi pasti diagnosis
3. Menemukan kemungkinan diagnostik yang dapat menyamarkan gejala klinis
4. Membantu pemantauan pengobatan
5. Menyediakan informasi prognostic atau perjalan penyakit
6. Memantau perkembangan penyakit
7. Mengetahui ada tidaknya kelainan/penyakit yang banyak dijumpai dan potensial
membahayakan
8. Memberi ketenangan baik pada pasien maupun klinisi karena tidak didapati penyakit

.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemeriksaan Hati


Tes fungsi hati atau lebih dikenal dengan liver panel atau liver function test adalah
sekelompok tes darah yang mengukur enzim atau protein tertentu di dalam darah anda. Tes
fungsi hati umumnya digunakan untuk membantu mendeteksi, menilai dan memantau
penyakit atau kerusakan hati. Biasanya jika untuk memantau kondisi hati, tes ini dilakukan
secara berkala. Atau dilakukan juga ketika Anda memiliki risiko perlukaan hati, ketika
Anda memiliki penyakit hati, atau muncul gejala-gejala tertentu seperti jaundice (ikterus).
Untuk tes ini diperlukan contoh darah yang diambil dari pembuluh balik (vena) umumnya
pada lengan pasien. Dan sebelum tes dilakukan, tidak diperlukan persiapan khusus, kecuali
tes dilakukan bersamaan dengan tes lain yang mungkin memerlukan persiapan khusus.
Tabel 1. Jenis Uji Fungsi Hati dan manfaat diagnostiknya. (Sherlock S, 2002) (Dufour
DR,2006)
Jenis UFH Penggunaan

Bilirubin (total, direk, Diagnosis ikterus, menilai beratnya penyakit, penyakit Gilbert,
indirek) hemolisis, diagnosis kolektasis.

Diagnosis dini penyakit hepatoselular (lebih spesifik dibandingkan


ALT
dengan AST), pemantauan

Diagnosis dini penyakit hepatoselular, pemantauan, pada


AST
alkoholisme AST>ALT

Diagnosis kolestasis, infiltrasi hepatik, diagnosis kelainan


ALP
metabolism

GGT Penanda kolestasis biliar, alkoholisme

Albumin Menilai beratnya penyakit dan kronis

Masa protrombin Menilai beratnya penyakit dan beratnya Kolestasis


2.2 Jenis Pemeriksaan Fungsi Hati
2.2.1 Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kuning yang sangat tidak larut dalam air yang berasal
dari pemecahan hem dari pengolahan normal metabolik hemoglobin setelah
pembebasannya dari eritrosit yang menua dan penguraian otot (mioglobin) (Sacher
R.A, 2004).
Bilirubin berasal dari pemecahan heme akibat penghancuran sel darah merah
oleh sel retikuloendotel. Di samping itu sekitar 20% bilirubin berasal dari
perombakan zat-zat lain. Akumulasi bilirubin berlebihandi kulit, sklera, dan
membran mukosa menyebabkan warna kuning yang disebut ikterus. Kadar
bilirubin lebih dari 3 mg/dL biasanya baru dapat menyebabkan ikterus. Ikterus
mengindikasikan gangguan metabolisme bilirubin, gangguan fungsi hati, penyakit
bilier, atau gabungan ketiganya.
Metabolisme bilirubin dimulai oleh penghancuran eritrosit setelah usia 120
hari oleh sistem retikuloendotel menjadi heme dan globin. Globin akan mengalami
degradasi menjadi asam amino dan digunakan sebagai pembentukan protein lain.
Heme akan mengalami oksidasi dengan melepaskan karbonmonoksida dan besi
menjadi biliverdin. Biliverdin reduktase akan mereduksi biliverdin menjadi
bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin indirek). Setelah dilepaskan ke plasma
bilirubin tidak terkonjugasi berikatan dengan albumin kemudian berdifusi ke dalam
sel hati.
Bilirubin tidak terkonjugasi dalam sel hati akan dikonjugasi oleh asam
glukuromat membentuk bilirubin terkonjugasi (bilirubin direk), kemudian
dilepaskan ke saluran empedu dan saluran cerna, di dalam saluran cerna bilirubin
terkonjugasi dihidrolisis oleh bakteri usus β-glucuronidase, sebagian menjadi
urobilinogen yang keluar dalam tinja (sterkobilin) atau diserap kembali oleh
darah lalu dibawa ke hati (siklus enterohepatik). Urobilinogen dapat
larut dalam air, sehingga sebagian dikeluarkan melalui ginjal.
Pemeriksaan bilirubin untuk menilai fungsi eksresi hati di laboraorium terdiri
dari pemeriksaan bilirubin serum total, bilirubin serum direk, dan bilirubin serum
indirek, bilirubin urin dan produk turunannya seperti urobilinogen dan
urobilin di urin, serta sterkobilin dan sterkobilinogen di tinja. Apabila terdapat
gangguan fungsi eksresi bilirubin maka kadar bilirubin serum total meningkat.
Kadar bilirubin serum yang meningkat dapat menyebabkan ikterik.
Penyebab ikterus berdasarkan tempat dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu
prehepatik, hepatik dan pasca hepatik (kolestatik). Peningkatan bilirubin prehepatik
sering disebabkan karena penghancuran sel darah merah berlebihan. Bilirubin tidak
terkonjugasi di darah tinggi sedangkan serum transaminase dan alkalin fosfatase
normal, di urin tidak ditemukan bilirubin. Peningkatan bilirubin akibat kelainan
hepatik berkaitan dengan penurunan kecepatan penyerapan bilirubin oleh sel hati
misalnya pada sindrom Gilbert, gangguan konjugasi bilirubin karena kekurangan
atau tidak ada enzim glukoroniltransferase misalnya karena obat-obatan atau
sindrom Crigler-Najjar. Enzim hati akan meningkat sesuai penyakit yang
mendasarinya, ikterus biasanya berlangsung cepat. Peningkatan bilirubin pasca
hepatik akibat kegagalan sel hati mengeluarkan bilirubin terkonjugasi ke dalam
saluran empedu karena rusaknya sel hati atau terdapat obstruksi saluran empedu di
dalam hati atau di luar hati.
Bilirubin terkonjugasi (bilirubin glukoronida atau hepatobilirubin) masuk ke
saluran empedu dan diekskresikan ke usus. Selanjutnya flora usus akan
mengubahnya menjadi urobilinogen dan dibuang melalui feses serta sebagian kecil
melalui urin. Bilirubin terkonjugasi bereaksi cepat dengan asam sulfanilat yang
terdiazotasi membentuk azobilirubin (reaksi van den Bergh), karena itu sering
dinamakan bilirubin direk atau bilirubin langsung. Peningkatan kadar bilirubin direk
menunjukkan adanya gangguan pada hati (kerusakan sel hati) atau saluran empedu
(batu atau tumor). Bilirubin terkonjugasi tidak dapat keluar dari empedu menuju usus
sehingga akan masuk kembali dan terabsorbsi ke dalam aliran darah.
Bilirubin tak terkonjugasi (hematobilirubin) yang merupakan bilirubin bebas
yang terikat albumin harus lebih dulu dicampur dengan alkohol, kafein atau pelarut
lain sebelum dapat bereaksi, karena itu dinamakan bilirubin indirek atau bilirubin
tidak langsung. Peningkatan kadar bilirubin indirek sering dikaitkan dengan
peningkatan destruksi eritrosit (hemolisis), seperti pada penyakit hemolitik oleh
autoimun, transfusi, atau eritroblastosis fatalis. Peningkatan destruksi eritrosit tidak
diimbangi dengan kecepatan kunjugasi dan ekskresi ke saluran empedu sehingga
terjadi peningkatan kadar bilirubin indirek.
Hati bayi yang baru lahir belum berkembang sempurna sehingga jika kadar
bilirubin yang ditemukan sangat tinggi, bayi akan mengalami kerusakan neurologis
permanen yang lazim disebut kenikterus. Kadar bilirubin (total) pada bayi baru lahir
bisa mencapai 12 mg/dl; kadar yang menimbulkan kepanikan adalah > 15 mg/dl.
Ikterik kerap nampak jika kadar bilirubin mencapai > 3 mg/dl. Kenikterus timbul
karena bilirubin yang berkelebihan larut dalam lipid ganglia basalis.
Dalam uji laboratorium, bilirubin diperiksa sebagai bilirubin total dan bilirubin
direk. Sedangkan bilirubin indirek diperhitungkan dari selisih antara bilirubin total
dan bilirubin direk. Metode pengukuran yang digunakan adalah fotometri atau
spektrofotometri yang mengukur intensitas warna azobilirubin.
Pemeriksaan bilirubin total adalah salah satu pemeriksaan laboratorium untuk
menegakkan diagnosis suatu penyakit hati. Pemeriksaan bilirubin bertujuan untuk
mengetahui kadar penyakit kuning karena gangguan hati. Angka yang tinggi
menggambarkan bahwa pasien mengalami gangguan hati yang biasa ditandai dengan
mata dan kulit berwarna kuning. Pada saat ini banyak test faal hati yang dapat
dilakukan, salah satu test faal hati adalah pemeriksaan kadar bilirubin dalam serum.
Pemeriksaan bilirubin dalam serum dapat menggambarkan faal sekresi hati, dan
dapat memberikan informasi tentang kesanggupan hati mengangkut empedu secara
umum disamping memberikan informasi tentang kesanggupan untuk mengkonjugasi
bilirubin dan diekresikan ke empedu. Pemeriksaan bilirubin direct dan indirect
digunakan untuk menentukan lokasi gangguan aliran darah, apakah berada di lokasi
sebelum, dalam, atau sesudah organ hati. Batas normal bilirubin total: 0,3-1 mg/l.
Bila lebih tinggi dari normal, kemungkinan terjadi penyumbatan atau gangguan
aliran bilirubin. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan bilirubin
dalam urin, jika didapatkan bilirubin maka menunjukkan adanya kelainan hati atau
saluran empedu, biasanya dua tes bilirubin digunakan bersamaan (apalagi pada
jaundice).
Nilai normal :
Bilirubin direct : 0,1-0,5 mg/dt
Bilirubin indirect : 0,3-1,1 mg/dl
Bilirubin Total : 0,3-1,0 mg/dl
Nilai rujukan :
Dewasa : total (0.1 – 1.2 mg/dl), direct (0.1 – 0.3 mg/dl), indirect (0.1 – 1.0 mg/dl).
Anak : total (0.2 – 0.8 mg/dl), indirect (sama dengan dewasa).
Bayi baru lahir : total (1 – 12 mg/dl), indirect (sama dengan dewasa).
Unconjugated bilirubin : tidak dapat larut dalam air
Conjugated bilirubin : dapat larut dalam air

Masalah klinis
Bilirubin Total, Direct
Peningkatan kadar : ikterik obstruktif karena batu atau neoplasma, hepatitis, sirosis
hati, mononucleosis infeksiosa, metastasis (kanker) hati, penyakit Wilson. Pengaruh
obat : antibiotic (amfoterisin B, klindamisin, eritromisin, gentamisin, linkomisin,
oksasilin, tetrasiklin), sulfonamide, obat antituberkulosis ( asam para-aminosalisilat,
isoniazid), alopurinol, diuretic (asetazolamid, asam etakrinat), mitramisin, dekstran,
diazepam (valium), barbiturate, narkotik (kodein, morfin, meperidin), flurazepam,
indometasin, metotreksat, metildopa, papaverin, prokainamid, steroid, kontrasepsi
oral, tolbutamid, vitamin A, C, K.
Penurunan kadar : anemia defisiensi besi. Pengaruh obat : barbiturate, salisilat
(aspirin), penisilin, kafein dalam dosis tinggi.

Bilirubin indirect
Peningkatan kadar : eritroblastosis fetalis, anemia sel sabit, reaksi transfuse, malaria,
anemia pernisiosa, septicemia, anemia hemolitik, talasemia, CHF, sirosis
terdekompensasi, hepatitis. Pengaruh obat : aspirin, rifampin, fenotiazin (lihat
biliribin total, direk).
Penurunan kadar : pengaruh obat (lihat bilirubin total, direk).
Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
 Makan malam yang mengandung tinggi lemak sebelum pemeriksaan dapat
mempengaruhi kadar bilirubin.
 Wortel dan ubi jalar dapat meningkatkan kadar bilirubin.
 Hemolisis pada sampel darah dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan.
 Sampel darah yang terpapar sinar matahari atau terang lampu, kandungan pigmen
empedunya akan menurun.
 Obat-obatan tertentu dapat meningkatkan atau menurunkan kadar bilirubin.
Gambar 4. Peningkatan kadar bilirubin

Gambar 4. Peningkatan kadar bilirubin disertai peningkatan aktivitas enzim


(Modifikasi dari Wallach J, 2007)
2.2.2 ALT (alanine aminotransferase) / SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase)
SGPT atau juga dinamakan ALT (alanin aminotransferase) merupakan enzim
yang banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi
hepatoseluler. Enzim ini dalam jumlah yang kecil dijumpai pada otot jantung, ginjal
dan otot rangka. Pemeriksaan SGPT adalah indikator yang lebih sensitive terhadap
kerusakan hati dibanding SGOT. Hal ini dikarenakan enzim GPT sumber utamanya
di hati, sedangkan enzim GOT banyak terdapat pada jaringan terutama jantung, otot
rangka, ginjal dan otak. Dalam keadaan normal memiliki kadar yang tinggi dalam sel
hepar. Jika terjadi peningkatan yang dominan dari aktivitas enzim ini, maka ada
kemungkinan terjadi suatu proses yang mengganggu sel hepar. Bila hepar mengalami
kerusakan, enzim GPT akan dilepas ke dalam darah sehingga terjadi peningkatan
aktivitas enzim GPT dalam darah. Makin tinggi nilai SGPT maka semakin tinggi
kerusakan hati.
Enzim ini terdapat dalam sitoplasma dan mitokondria sel hati. Bila terjadi
kerusakan hati akan terjadi peningkatan permeabilitas membran sel sehingga
komponen-komponen sitoplasma akan keluar dari sel dan apabila membran
intraseluler seperti mitokondria rusak maka enzim-enzim yang terdapat di dalamnya
akan mengalami peningkatan aktivitas dalam serum. Berdasarkan hal tersebut, maka
peningkatan aktivitas enzim GPT atau ALT dalam serum dapat diukur dan dijadikan
salah satu parameter kerusakan fungsi hati. Enzim Glutamat Piruvat Transaminase
(GPT) atau Alanin Aminotransferase (ALT) hanya terdapat dalam sitoplasma sel hati
sehingga enzim ini lebih sensitif untuk pemeriksaan kerusakan fungsi hati.
Prinsip SGPT adalah Aline aminotransferase (ALT) mengkatalis transiminasi
dari L-alanine dan a-kataglutarate membentuk l-glutamate dan pyruvate, pyruvate
yang terbentuk direkduksi menjadi laktat oleh enzyme laktat dehydrogenase (LDH)
dan nicotinamide adenine dinucleotide (NADH) teroksidasi menjadi NAD+.
Banyaknya NADH yang teroksidasi hasil penurunan serapan (absrbance) berbanding
langsung dengan aktivitas ALT dan diukur secara fotometrik.
Nilai normal SGPT:
Perempuan : < 31 U/L
Laki-laki : < 41 U/L
Kondisi yang meningkatkan kadar SGPT/ALT adalah:
Menurut Riswanto (2009) kodisi yang dapat meningkatkan SGPT dibedakan
menjadi tiga, yaitu :
 Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral akut, nekrosis hati
(toksisitas obat atau kimia)
 Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif,
sumbatan empedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard
(SGOT>SGPT)
 Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis Laennec,
sirosis biliaris.
Faktor yang dapat mempengaruhi temuan laboratorium :
 Pengambilan darah pada area yang terpasang jalur intra-vena dapat menurunkan
kadar
 Trauma pada proses pengambilan sampel akibat tidak sekali tusuk kena dapat
meningkatkan kadar
 Hemolisis sampel
 Obat-obatan dapat meningkatkan kadar : antibiotik (klindamisin, karbenisilin,
eritromisin, gentamisin, linkomisin, mitramisin, spektinomisin, tetrasiklin),
narkotika (meperidin/demerol, morfin, kodein), antihipertensi (metildopa,
guanetidin), preparat digitalis, indometasin (Indosin), salisilat, rifampin,
flurazepam (Dalmane), propanolol (Inderal), kontrasepsi oral (progestin-estrogen),
lead, heparin.
 Aspirin dapat meningkatkan atau menurunkan kadar.

2.2.3 AST (aspartate aminotransferase) / SGOT (serum glutamic oxaloasetic


transaminase)
SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau juga dinamakan
AST (Aspartat Aminotransferase) merupakan enzim yang dijumpai dalam otot
jantung dan hati, sementara dalam konsentrasi sedang dijumpai pada otot rangka,
ginjal dan pankreas. Konsentrasi rendah dijumpai dalam darah, kecuali jika terjadi
cedera seluler, kemudian dalam jumlah banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Pada
infark jantung, SGOT/AST akan meningkat setelah 10 jam dan mencapai puncaknya
24-48 jam setelah terjadinya infark. SGOT/AST akan normal kembali setelah 4-6
hari jika tidak terjadi infark tambahan. Peningkatan SGOT tidak dapat dipakai
sebagai satu-satunya indikator enzimatik untuk adanya infark miokard karena SGOT
meningkat juga pada kondisi-kondisi lain yang perlu ikut dipertimbangkan dalam
diagnosis banding serangan jantung. Kadar SGOT/AST biasanya dibandingkan
dengan kadar enzim jantung lainnya, seperti CK (creatin kinase), LDH ( lactat
dehydrogenase). Pada penyakit hati, kadarnya akan meningkat 10 kali lebih dan akan
tetap demikian dalam waktu yang lama. SGOT/AST serum umumnya diperiksa
secara fotometri atau spektrofotometri, semi otomatis menggunakan fotometer atau
spektrofotometer, atau secara otomatis menggunakan chemistry analyzer. Nilai
rujukan untuk SGOT/AST adalah Laki-laki : 0 - 50 U/L Perempuan : 0 - 35 U/L.
Pemeriksaan SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau
Aspartarte aminotransferase (AST) dan SGPT (Serum Glutamic Piruvic
Transaminase) atau Alanine aminotransferase (ALT) bertujuan untuk mengetahui
inflamasi yang terjadi dalam tubuh. Angka yang tinggi biasanya menjadi indikasi
adanya gangguan hati.
SGOT juga dikenal sebagai Aspartat transaminase (AST) atau aspartat
aminotransferase, serta juga dikenal sebagai Aspat / ASAT / AAT. SGOT
mengkatalisis transfer reversibel dari kelompok α-amino antara aspartat dan
glutamat, sehingga SGOT menjadi enzim penting dalam metabolisme asam amino.
SGOT ditemukan dalam hati, jantung, otot rangka, ginjal, otak, dan sel-sel darah
merah, serta umumnya diukur secara klinis sebagai penanda untuk kesehatan hati.
SGOT berperan sebagai kofaktor untuk mentransfer gugus amino dari aspartat atau
glutamat untuk yang sesuai asam keton. Enzim ini berperan sangat penting pada
proses degradasi dan biosintesis asam amino. Dalam degradasi asam amino, setelah
konversi α-ketoglutarat untuk glutamat, glutamat kemudian mengalami deaminasi
oksidatif untuk membentuk amonium ion yang diekskresikan sebagai urea. Dalam
reaksi balik, aspartat dapat disintesis dari oksaloasetat yang merupakan perantara
kunci dalam siklus asam sitrat (Berg, et al., 2006).
Pada manusia terdapat dua isoenzim SGOT, yaitu GOT 1/Cast merupakan
isoenzim sitosol yang terutama berasal dari sel-sel darah merah dan jantung dan
GOT 2/Mast, isoenzim mitokondria yang hadir terutama di hati. SGOT mirip dengan
SGPT dalam kedua enzim yang berhubungan dengan hati parenkim sel.
Perbedaannya adalah bahwa SGPT ditemukan terutama di hati, dengan jumlah klinis
diabaikan ditemukan di ginjal, jantung, dan otot rangka, sedangkan SGOT ditemukan
dalam hati, jantung (otot jantung), otot rangka, ginjal, otak, dan merah sel-sel darah.
Oleh karena itu, SGPT adalah indikator yang lebih spesifik pada peradangan hati
daripada SGOT. SGOT mungkin meningkat juga dalam penyakit yang
mempengaruhi organ-organ lain, seperti infark miokard, pankreatitis akut, anemia
hemolitik akut, luka bakar parah, penyakit ginjal akut, penyakit muskuloskeletal, dan
trauma. SGOT didefinisikan sebagai penanda biokimia untuk diagnosis infark
miokard akut pada tahun 1954. Namun, penggunaan SGOT untuk diagnosis seperti
sekarang berlebihan dan telah digantikan oleh troponin jantung (Gaze, 2007).
Tingkat SGOT juga dapat meningkat setelah terjadi luka bakar, prosedur
jantung, dan operasi. Namun perlu diperhatikan juga bahwa nilai SGOT dapat
meningkat selama kehamilan dan setelah latihan (Dugdale, 2013). Obat-obat yang
dapat meningkatkan nilai SGOT adalah antibiotik, narkotik, vitamin (asam folat,
piridoksin, vitamin A), antihipertensi (metildopa [Aldoment], guanetidin), teofilin,
golongan digitalis, kortison, flurazepam (Dalmane), indometasin (Indocin), isoniazid
(INH), rifampisin, kontrasepsi oral, salisilat, injeksi intramuskular (IM).
Di antara enzim SGOT dan SGPT, enzim SGPT dianggap lebih spesifik untuk
kerusakan hati karena hadir terutama dalam sitosol hati dan dalam konsentrasi rendah
di tempat lain. Meskipun tingkat SGOT dan SGPT bisa sangat tinggi (melebihi 2.000
U/l dalam kasus cedera dan nekrosis hepatosit yang berhubungan dengan obat-
obatan, racun, iskemia, dan hepatitis), ketinggian kurang dari lima kali batas atas
normal (sekitar 250 U/l ke bawah) jauh lebih umum terjadi. Pasien dengan nilai
SGOT dan SGPT yang normal dapat mempunyai arti bahwa terdapat penyakit hati
yang signifikan dalam pengaturan cedera hepatosit kronis (misalnya, sirosis, hepatitis
C). Konsentrasi SGOT yang rendah terdapat dalam darah, kecuali jika terjadi cedera
selular, kemudian dalam jumlah yang banyak dilepaskan ke dalam sirkulasi. Pada
penyakit hati, kadar SGOT dalam serum akan meningkat sepuluh kali atau lebih dan
tetap demikian dalam jangka waktu yang lama. Pasien dengan penyakit hati
alkoholik mempunyai tingkat-tingkat enzim yang tidak setinggi tingkat-tingkat yang
dicapai dengan virus hepatitis akut dan SGOT cenderung berada di atas SGPT. Pada
penyakit hati alkoholik, SGOT biasanya berada dibawah 300 U/l, dimana SGPT
biasanya di bawah 100 U/l (Kee, 2007).
Kondisi-kondisi yang meningkatkan nilai SGOT
Menurut Riswanto (2009) kodisi yang dapat meningkatkan SGOT dibedakan
menjadi tiga, yaitu :
 Peningkatan tinggi (> 5 kali nilai n ormal) : kerusakan hepatoseluler akut, infark
miokard, kolaps sirkulasi, pankreatitis akut, mononukleosis infeksiosa.
 Peningkatan sedang (3-5 kali nilai normal) : obstruksi saluran empedu, aritmia
jantung, gagal jantung kongestif, tumor hati (metastasis atau primer), distrophia
muscularis.
 Peningkatan ringan (sampai 3 kali normal) : perikarditis, sirosis, infark paru,
delirium tremeus, cerebrovascular accident (CVA).

2.2.4 ALP (alkaline phosphalase)


Fosfatase alkali (alkaline phosphatase, ALP) merupakan enzim yang
diproduksi terutama oleh epitel hati dan osteoblast (sel-sel pembentuk tulang baru);
enzim ini juga berasal dari usus, tubulus proksimalis ginjal, plasenta dan kelenjar
susu yang sedang membuat air susu. Fosfatase alkali disekresi melalui saluran
empedu. Meningkat dalam serum apabila ada hambatan pada saluran empedu
(kolestasis). Tes ALP terutama digunakan untuk mengetahui apakah terdapat
penyakit hati (hepatobiliar) atau tulang.
Pada orang dewasa sebagian besar dari kadar ALP berasal dari hati, sedangkan
pada anak-anak sebagian besar berasal dari tulang. Jika terjadi kerusakan ringan pada
sel hati, mungkin kadar ALP agak naik, tetapi peningkatan yang jelas terlihat pada
penyakit hati akut. Begitu fase akut terlampaui, kadar serum akan segera menurun,
sementara kadar bilirubin tetap meningkat. Peningkatan kadar ALP juga ditemukan
pada beberapa kasus keganasan (tulang, prostat, payudara) dengan metastase dan
kadang-kadang keganasan pada hati atau tulang tanpa matastase (isoenzim Regan).
Kadar ALP dapat mencapai nilai sangat tinggi (hingga 20 x lipat nilai normal)
pada sirosis biliar primer, pada kondisi yang disertai struktur hati yang kacau dan
pada penyakit-penyakit radang, regenerasi, dan obstruksi saluran empedu
intrahepatik. Peningkatan kadar sampai 10 x lipat dapat dijumpai pada obstruksi
saluran empedu ekstrahepatik (misalnya oleh batu) meskipun obstruksi hanya
sebagian. Sedangkan peningkatan sampai 3 x lipat dapat dijumpai pada penyakit hati
oleh alcohol, hepatitis kronik aktif, dan hepatitis oleh virus.
Pada kelainan tulang, kadar ALP meningkat karena peningkatan aktifitas
osteoblastik (pembentukan sel tulang) yang abnormal, misalnya pada penyakit Paget.
Jika ditemukan kadar ALP yang tinggi pada anak, baik sebelum maupun sesudah
pubertas, hal ini adalah normal karena pertumbuhan tulang (fisiologis).
Elektroforesis bisa digunakan untuk membedakan ALP hepar atau tulang. Isoenzim
ALP digunakan untuk membedakan penyakit hati dan tulang; ALP1 menandakan
penyakit hati dan ALP2 menandakan penyakit tulang.
Jika gambaran klinis tisak cukup jelas untuk membedakan ALP hati dari
isoenzim-isoenzim lain, maka dipakai pengukuran enzim-enzim yang tidak
dipengaruhi oleh kehamilan dan pertumbuhan tulang. Enzim-enzim itu adalah :
5’nukleotidase (5’NT), leusine aminopeptidase (LAP) dan gamma-GT. Kadar GGT
dipengaruhi oleh pemakaian alcohol, karena itu GGT sering digunakan untuk menilai
perubahan dalam hati oleh alcohol daripada untuk pengamatan penyakit obstruksi
saluran empedu.
Metode pengukuran kadar ALP umumnya adalah kolorimetri dengan
menggunakan alat (mis. fotometer/spektrofotometer) manual atau dengan analizer
kimia otomatis. Elektroforesis isoenzim ALP dilakukan untuk membedakan ALP
hati dan tulang. Bahan pemeriksaan yang digunakan berupa serum atau plasma
heparin.
Peningkatan kadar ALP dapat terjadi antara lain karena :
 Obat-obatan seperti glukokortikoid dan antikonvulsan.
 Pengaruh usia.Kadar ALP tertinggi terdapat pada bayi yang baru lahir, pada usia
10-11 tahun untuk anak perempuan dan 13-14 tahun untuk anak laki-laki.
 Penyaki-penyakit seperti gangguan hepatobilier, hyperadrenocorticism,
peningkatan aktivitas osteoblas, obstruksi empedu (ikterik), kanker hati, sirosis sel
hati, hepatitis, hiperparatiroidisme, kanker (tulang, payudara, prostat), leukemia,
penyakit Paget, osteitis deforman, penyembuhan fraktur, myeloma multiple,
osteomalasia, kehamilan trimester akhir, arthritis rheumatoid (aktif), dan ulkus.
Penurunan kadar ALP dapat terjadi pada kondisi :
 Hypothyroid
 malnutrisi, defisiensi Vit C
 Hypophosphatemia
 Merupakan indikator yang peka adanya CHOLESTASIS, tetapi tidak spesifik.
Nilai Normal :
Anak : bayi dan anak (usia 0-20 tahun) : 40-115 U/L (usia 13-18 tahun) : 50-230 U/L
Dewasa : 42-136 U/L

2.2.5 GGT (gamma glutamil transferase)


Gamma glutamil transferase (gamma glutamyl transferase, GGT) adalah enzim
yang ditemukan terutama di hati dan ginjal, sementara dalam jumlah yang rendah
ditemukan dalam limpa, kelenjar prostat dan otot jantung. Pada sel hati gamma GT
terdapat di retikulum endoplasmic sedangkan di empedu terdapat di sel epitel.
Gamma-GT merupakan uji yang sensitif untuk mendeteksi beragam jenis penyakit
parenkim hati. Kebanyakan dari penyakit hepatoseluler dan hepatobiliar
meningkatkan GGT dalam serum. Kadarnya dalam serum akan meningkat lebih awal
dan tetap akan meningkat selama kerusakan sel tetap berlangsung. Peningkatan
aktivitas GGT dapat dijumpai pada icterus obstruktif, kolangitis, dan kolestasis.
Kolestasis adalah kegagalan aliran empedu mencapai duodenum.
GGT adalah salah satu enzim mikrosomal yang bertambah banyak pada
pemakai alkohol, barbiturat, fenitoin dan beberapa obat lain tertentu. Alkohol bukan
saja merangsang mikrosoma memproduksi lebih banyak enzim, tetapi juga
menyebabkan kerusakan hati, meskipun status gizi peminum itu baik. Kadar GGT
yang tinggi terjadi setelah 12-24 jam bagi orang yang minum alkohol dalam jumlah
yang banyak, dan mungkin akan tetap meningkat selama 2-3 minggu setelah asupan
alkohol dihentikan. Tes gamma-GT dipandang lebih sensitif daripada tes fosfatase
alkalis (alkaline phosphatase, ALP).
Metode pemeriksaan untuk tes GGT adalah spektrofotometri atau fotometri,
dengan menggunakan spektrofotometer/fotometer atau alat kimia otomatis. Bahan
pemeriksaan yang digunakan berupa serum atau plasma heparin.
GGT dapat dijumpai pada hepatobiliar dan endhotel jaringan. Tidak terdapat di
tulang dan plasenta, Sehingga pada anak yang tumbuh dan kehamilan kadar dalam
darah tidak meningkat.
Nilai normal : 6-24U/L pada pria.
Pada alkoholisme : garam GT lebih peka di banding SGOT/SGPT
2.2.6 Albumin
Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia,
yaitu sekitar 55-60% dan total kadar protein serum normal adalah 3,8-5,0 g/dl. Albumin
terdiri dari rantai tunggal polipeptida dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585
asam amino. Pada molekul albumin terdapat 17 ikatan disulfida yang menghubungkan
asam-asam amino yang mengandung sulfur. Molekul albumin berbentuk elips sehingga
dengan bentuk molekul seperti itu tidak akan meningkatkan viskositas plasma dan larut
sempurna. Kadar albumin serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis, laju degradasi, dan
distribusi antara kompartemen intravaskular dan ekstravaskular. Cadangan total albumin
3,5-5,0 g/kg BB atau 250-300 g pada orang dewasa sehat dengan berat 70 kg, dari jumlah
ini 42% berada di kompartemen plasma dan sisanya di dalam kompartemen ektravaskular
(Evans, 2002). Albumin manusia (human albumin) dibuat dari plasma manusia yang
diendapkan dengan alkohol. Albumin secara luas digunakan untuk penggantian volume
dan mengobati hipoalbuminemia (Uhing, 2004: Boldt, 2010).
Berdasarkan fungsi dan fisiologis, secara umum albumin di dalam tubuh
mempertahankan tekanan onkotik plasma, peranan albumin terhadap tekanan onkotik
plasma rnencapai 80% yaitu 25 mmHg. Albumin mempunyai konsentrasi yang tinggi
dibandingkan dengan protein plasma lainnya, dengan berat molekul 66,4 kDa lebih rendah
dari globulin serum yaitu 147 kDa, tetapi rnasih mempunyai tekanan osmotik yang
bermakna. Efek osmotik ini memberikan 60% tekanan onkotik albumin. Sisanya 40%
berperan dalam usaha untuk mempertahankan intravaskular dan partikel terlarut yang
bermuatan positif (Nicholson dan Wolmaran, 2000; Dubois dan Vincent, 2002).
Sintesis albumin hanya terjadi di hepar. Pada orang sehat kecepatan sintesis
albumin adalah 194 mg/kg/hari (12-25 gram/hari). Pada keadaan normal hanya 20-30%
hepatosit yang memproduksi albumin (Evans, 2002).
Degradasi albumin total pada orang dewasa dengan berat 70 kg adalah sekitar 14
gram/hari atau 5% dan pertukaran protein seluruh tubuh per hari, albumin dipecah di otot
dan kulit sebesar 40-60%, di hati 15%, ginjal sekitar 10%, dan 10% sisanya merembes ke
dalam saluran cerna melalui dinding lambung. Produk degradasi akhir berupa asam amino
bebas. Pada orang sehat kehilangan albumin adalah melalui urin dan biasanya minimal
tidak melebihi dari 10-20 mg/hari karena hampir semua yang melewati membran
glomerolus akan diserap kembali (Evans, 2002).
Pemberian preparat albumin tidak diekskresi oleh ginjal. Pada keadaan sehat
ekskresi albumin melalui ginjal relatif tidak penting. Penyakit ginjal dapat mempengaruhi
degradasi dan sintesis. Pada sindrom nefrotik, albumin plasma dipertahankan dengan
menurunkan degradasi apabila kehilangan albumin 100 mg/kg BB/hari, tetapi bila
kecepatan hilangnya albumin meningkat, sintesis albumin akan meningkat lebih dan 400
mg/kg BB/hari.

2.2.7 Kolinesterase
Cholinesterase test adalah metode yang digunakan untuk melakukan uji keracunan
pada seseorang yang terpapar pestisida golongan organo phosfat (organophosphates
exposed).
Terdapat 2 macam jenis :
1. Acethyl cholin esterase : terdapat pada jaringan syaraf dan sel darah merah
2. Pseodo esterase : terdapat pada darah,liver , usus, pancreas
Merupakan indikator terjadinya penyembuhan dan prognosa viral hepatitis, bila terjadi
sirrhosis hepatic dengan penurunan kadar CHE ( cholinesterase ) memberikan prognosa
yang jelek. Dapat pula digunakan untuk mendeteksi keracunan organophosate pada
pestisida misalnya : malathion
Nilai normal : 4300 – 10.500 U/L.
Prinsip kerja pengujian adalah darah yang mengandung enzyme cholinesterase
membebaskan asam asetat dari acetyl choline sehingga akan merubah pH larutan (mixture)
darah dan indicator.

2.2.8 Masa Protrombin


Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses
pembekuan. Protrombin dikonversi menjadi thrombin oleh tromboplastin yang diperlukan
untuk membentuk bekuan darah.
Uji masa protrombin (prothrombin time, PT) untuk menilai kemampuan faktor
koagulasi jalur ekstrinsik dan jalur bersama, yaitu : faktor I (fibrinogen), faktor II
(prothrombin), faktor V (proakselerin), faktor VII (prokonvertin), dan faktor X (faktor
Stuart). Perubahan faktor V dan VII akan memperpanjang PT selama 2 detik atau 10% dari
nilai normal. Pada penyakit hati PT memanjang karena sel hati tidak dapat mensintesis
protrombin.
Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma yang
telah diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin jaringan dan ion kalsium. Reagen
yang digunakan adalah kalsium tromboplastin, yaitu tromboplastin jaringan dalam larutan
CaCl2. Beberapa jenis tromboplastin yang dapat dipergunakan misalnya :
- Tromboplastin jaringan berasal dari emulsi ekstrak organ otak, paru atau otak dan paru
dari kelinci dalam larutan CaCl2 dengan pengawet sodium azida (mis. Neoplastine CI
plus)
- Tromboplastin jaringan dari plasenta manusia dalam larutan CaCl2 dan pengawet (mis.
Thromborel S).
Hasil memanjang : Penyakit hati (sirosis hati, hepatitis, abses hati, kanker hati, jaundice),
afibrinogenemia, defisiensi faktor koagulasi (II, V, VII, X), disseminated intravascular
coagulation (DIC), fibrinolisis, hemorrhagic disease of the newborn (HDN), gangguan
reabsorbsi usus. Pengaruh obat : treatmen vitamin K antagonis, antibiotic (penisilin,
streptomisin, karbenisilin, kloramfenikol [Chloromycetin], kanamisin [Kantrex], neomisin,
tetrasiklin), antikoagulan oral (warfarin, dikumarol), klorpromazin (Thorazine),
klordiazepoksid (Librium), difenilhidantoin (Dilantin), heparin, metildopa (Aldomet),
mitramisin, reserpin (Serpasil), fenilbutazon (Butazolidin), quinidin, salisilat (aspirin),
sulfonamide.
Hasil memendek: tromboflebitis, infark miokardial, embolisme pulmonal. Pengaruh Obat
: barbiturate, digitalis, diuretic, difenhidramin (Benadryl), kontrasepsi oral, rifampin,
metaproterenol (Alupent, Metaprel).
BAB III
KESIMPULAN/RINGKASAN

3.1 BILIRUBIN
Bilirubin adalah pigmen kuning yang sangat tidak larut dalam air yang berasal dari
pemecahan hem dari pengolahan normal metabolik hemoglobin setelah pembebasannya
dari eritrosit yang menua dan penguraian otot (mioglobin). (Sacher R.A, 2004)

Pemeriksaan bilirubin untuk menilai fungsi eksresi hati di laboraorium terdiri dari
pemeriksaan bilirubin serum total, bilirubin serum direk, dan bilirubin serum indirek,
bilirubin urin dan produk turunannya seperti urobilinogen dan urobilin di urin,
serta sterkobilin dan sterkobilinogen di tinja. Apabila terdapat gangguan fungsi eksresi
bilirubin maka kadar bilirubin serum total meningkat selain itu bertujuan untuk
mengetahui kadar penyakit kuning karena gangguan hati. Angka yang tinggi
menggambarkan bahwa pasien mengalami gangguan hati yang biasa ditandai dengan mata
dan kulit berwarna kuning.
Pemeriksaan bilirubin dalam serum dapat menggambarkan faal sekresi hati, dan
dapat memberikan informasi tentang kesanggupan hati mengangkut empedu secara umum
disamping memberikan informasi tentang kesanggupan untuk mengkonjugasi bilirubin dan
diekresikan ke empedu. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
bilirubin dalam urin, jika didapatkan bilirubin maka menunjukkan adanya kelainan hati
atau saluran empedu, biasanya dua tes bilirubin digunakan bersamaan (apalagi pada
jaundice).
Pemeriksaan bilirubin :
a) Tahap Pra analitik
1. Pada pemeriksaan ini pasien tidak perlu puasa.
2. Serum atau plasma sebaiknya secepatnya dipisahkan dari sel- sel darah.
b) Tahap Analitik
1. Reagen
Reagen yang digunakan sesuai prosedur kerja, sesuai kebutuhan dan dalam
penyimpanan, suhu harus disesuaikan yaitu disimpan pada temperatur 2-80 C.
2. Alat
Alat harus dijaga kebersihannya, keutuhannya dan ketepatannya yang merupakan
persyaratan yang harus dipenuhi agar alat dapat dipakai sesuai dengan fungsinya dan alat
harus dikalibrasi dan dikontrol tiap hari.
3. Metode pemeriksaan
Metode dichloro penyldiazonin
Prinsip : Bilirubin indirek yang terikat oleh albumin dibebaskan dengan adanya
detergen. Bilirubin total akan bereaksi dengan garam 2,5-dichloro penyldiazonin akan
membentuk warna merah.
4. Bahan pemeriksaan
Serum dan Plasma EDTA.
c) Tahap Paska analitik
Pencatatan dan pelaporan hasil pemeriksaan yang telah diperoleh harus dicatat dan
segera dilaporkan. (Santoso,1999).
Batas normal bilirubin total: 0,3-1 mg/l. Bila lebih tinggi dari normal, kemungkinan
terjadi penyumbatan atau gangguan aliran bilirubin.
Nilai normal :
Bilirubin direct : 0,1-0,5 mg/dt
Bilirubin indirect : 0,3-1,1 mg/dl
Bilirubin Total : 0,3-1,0 mg/dl

3.2 ALT (alanine aminotransferase) / SGPT (serum glutamic pyruvic transaminase)


dan AST (aspartate aminotransferase) / SGOT (serum glutamic oxaloasetic
transaminase)
SGPT atau juga dinamakan ALT (alanin aminotransferase) merupakan enzim yang
banyak ditemukan pada sel hati serta efektif untuk mendiagnosis destruksi hepatoseluler.
Prinsip SGPT adalah Aline aminotransferase (ALT) mengkatalis transiminasi dari L-
alanine dan a-kataglutarate membentuk l-glutamate dan pyruvate, pyruvate yang terbentuk
direkduksi menjadi laktat oleh enzyme laktat dehydrogenase (LDH) dan nicotinamide
adenine dinucleotide (NADH) teroksidasi menjadi NAD+. Banyaknya NADH yang
teroksidasi hasil penurunan serapan (absrbance) berbanding langsung dengan aktivitas
ALT dan diukur secara fotometrik.
Bila terjadi kerusakan hati akan terjadi peningkatan permeabilitas membran sel
sehingga komponen-komponen sitoplasma akan keluar dari sel dan apabila membran
intraseluler seperti mitokondria rusak maka enzim-enzim yang terdapat di dalamnya akan
mengalami peningkatan aktivitas dalam serum.
Nilai normal SGPT:
Perempuan : < 31 U/L
Laki-laki : < 41 U/L
Menurut Riswanto (2009) kodisi yang dapat meningkatkan SGPT dibedakan
menjadi tiga, yaitu :
 Peningkatan SGOT/SGPT > 20 kali normal : hepatitis viral akut, nekrosis hati
(toksisitas obat atau kimia)
 Peningkatan 3-10 kali normal : infeksi mononuklear, hepatitis kronis aktif,
sumbatan empedu ekstra hepatik, sindrom Reye, dan infark miokard (SGOT>SGPT)
 Peningkatan 1-3 kali normal : pankreatitis, perlemakan hati, sirosis Laennec, sirosis
biliaris.
SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau juga dinamakan AST
(Aspartat Aminotransferase) merupakan enzim yang dijumpai dalam otot jantung dan hati,
sementara dalam konsentrasi sedang dijumpai pada otot rangka, ginjal dan pankreas.
Pemeriksaan SGOT (Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase) atau Aspartarte
aminotransferase (AST) dan SGPT (Serum Glutamic Piruvic Transaminase) atau Alanine
aminotransferase (ALT) bertujuan untuk mengetahui inflamasi yang terjadi dalam tubuh.
Angka yang tinggi biasanya menjadi indikasi adanya gangguan hati.
SGOT/AST serum umumnya diperiksa secara fotometri atau spektrofotometri, semi
otomatis menggunakan fotometer atau spektrofotometer, atau secara otomatis
menggunakan chemistry analyzer. Nilai rujukan untuk SGOT/AST adalah Laki-laki : 0 -
50 U/L Perempuan : 0 - 35 U/L.
Menurut Riswanto (2009) kodisi yang dapat meningkatkan SGOT dibedakan
menjadi tiga, yaitu :
 Peningkatan tinggi (> 5 kali nilai n ormal) : kerusakan hepatoseluler akut, infark
miokard, kolaps sirkulasi, pankreatitis akut, mononukleosis infeksiosa.
 Peningkatan sedang (3-5 kali nilai normal) : obstruksi saluran empedu, aritmia
jantung, gagal jantung kongestif, tumor hati (metastasis atau primer), distrophia
muscularis.
 Peningkatan ringan (sampai 3 kali normal) : perikarditis, sirosis, infark paru,
delirium tremeus, cerebrovascular accident (CVA).
A. Tahap Pra Analitik
a. Persiapan Pasien
Umumnya untuk pemeriksaan enzim pasien tidak perlu puasa. Namun demikian
perlu diketahui bahwa makan sebelum pemeriksaan dapat mempengaruhi hasil
pemeriksaan, walaupun tidak terlalu besar. Hal ini terutama terlihat pada aktivitas
Fosfatase alakali.
Variasi biologic juga terjadi pada enzim. Aktivitas enzim lebih tinggi pada siang
hari daripada pagi hari. Oleh karana itu pengambilan darah untuk pemeriksaan enzim
sebaiknya dilakukan pada pagi hari, kecuali memang ingin dipantau aktivitas enzim
tertentu seperti LDH dan SGOT pada kasus Penyakit Jantung Koroner.

b. Pengambilan Sampel
Sampel darah harus dicegah terjadi hemolisis karena beberapa pemeriksaan enzim
tidak boleh mengunakan sampel darah hemolisis. Hemolisis berat akan mengakibatkan
terjadi efek pengenceran terhadap zat-zat yang banyak terdapat dalam plasma tetapi kecil
kandungannya dalam eritrosit. Tetapi akibat yang lebih jelas akan terlihat kandungannya
dalam eritrosit.
Enzim yang kandungannya dalam eritrosit lebih tinggi adalah adolase,asam fosfatase,
Laktat dehidroginase dan AST. Aktivitas AST (SGOT) dalam serum meningkat 2% pada
setiap peningkatan 10 mg/dl kandungan Hb dalam serum.
Pembendungan vena yang terlalu lama selain dapat menyebabkan hemolisis juga dapat
meningkatkan aktivitas enzim, sebagai contoh aktivitas AST akan meningkat 9% bila
bendungan vena 3 menit dibandingkan bendungan vena 1 menit.

c. Posisi Pengambilan Darah


Volume darah orang dewasa pada saat berdiri berkurang 600-700 ml dibandingkan
pada saat berbaring. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan protein plasma. Dengan
demikian enzim sebagai protein juga akan meningkat pada saat berdiri daripada berbaring.
Posisi pengambilan darah sebaiknya duduk, kecuali pada kasus penyakit berat sehingga
pasien harus tidur maka pengambilan darah boleh dilakukan pada posisi berbaring.
d. Persiapan Sampel
Serum/plasma sebaiknya secepat mungkin dipisahkan (<2 jam) pada beberapa
keadaan yang memaksa sehingga perlu penundaan pemeriksaan, maka sebaiknya
diperhatikan mengenai stabilitas enzim dan bahan sampel yang disimpan harus serum,
bukan whole blood karena relative lebih stabil dalam suhu dingin.

B. Tahap Analitik
a. Reagen
Perlu diperhatikan pada penggunaan reagen adalah :
1) Fisik kemasan kadaluarsa
2) Suhu penyimpanan
3) Penyimpanan reagen sebelum pemeriksaan (suhu, pelarutan dan stabilitas

b. Alat
Perlu diperhatikan pada penggunaan peralatan
1) Bagian-bagian fotometer dan alat ukur otomatis lainnya berfungsi dengan baik
(kalibrasi alat).
2) Peralatan bantu (pipet, penangas air) juga harus dipantau secara teratur ketepatannya.
3) Alat-alat yang tidak memenuhi standar seperti kuvet pecah, retak, lampu fotometer
suram dan filter yang berjamur serta pengagas air yang tidak teratur temperaturnya
sebaiknya diganti.

c. Metode Pemeriksaan
Beberapa pemeriksaan enzim sudah dilakukan metode pemeriksaannya oleh WHO,
IFCC, seperti SGOT dan SGPT. Namun sebagian lagi masih belum dilakukan. Dalam
memilih metode pemeriksaan hendaknya dipertimbangkan :
1) Reagen yang mudah diperoleh
2) Alat yang tersedia dapat untuk memeriksa dengan metode tersebut.
3) Suhu temperature metode pemeriksaan dipilih sesuai dengan tempat kerja. Suhu
30OC lebih baik daripada suhu 37OC dan lebih baik lagi dari pada suhu 25OC untuk
pemeriksaan yang dilakukan di Negara tropis seperti Indonesia.
4) Metode pemeriksaan yang mudah dan sederhana
5) Kemampuan tenaga pemeriksa.
C. Tahap Pasca Analitik
a. Pencatatan dan Pelaporan
Hasil pemeriksaan yang telah diperoleh harus dicatat dan segera dilaporkan. Makin cepat
hasil pemeriksaan sampai ke tangan dokter makin bermanfaat pemeriksaan tersebut.
b. Hasil Pemeriksaan
Hasil pemeriksaan yang disajikan mencakup
1) Bilangan
Umumnya hasil pemeriksaan ativitas enzim disajikan dalam bilangan tanpa desimal.
2) Satuan
Satuan hasil pemeriksaan aktivitas enzim umumnya disajikan dalam unit/volume satuan.
3) Suhu
Suhu Pemeriksaan harus disajikan karena mempunyai nilai normal yang berbeda

3.3 ALP (Alkaline Phosphalase)


Fosfatase alkali (alkaline phosphatase, ALP) merupakan enzim yang diproduksi
terutama oleh epitel hati dan osteoblast (sel-sel pembentuk tulang baru). Tes ALP terutama
digunakan untuk mengetahui apakah terdapat penyakit hati (hepatobiliar) atau tulang.
Metode pengukuran kadar ALP umumnya adalah kolorimetri dengan menggunakan
alat (mis. fotometer/spektrofotometer) manual atau dengan analizer kimia otomatis.
Elektroforesis isoenzim ALP dilakukan untuk membedakan ALP hati dan tulang. Bahan
pemeriksaan yang digunakan berupa serum atau plasma heparin.
Peningkatan kadar ALP dapat terjadi antara lain karena :
 Obat-obatan seperti glukokortikoid dan antikonvulsan.
 Pengaruh usia.Kadar ALP tertinggi terdapat pada bayi yang baru lahir, pada usia
10-11 tahun untuk anak perempuan dan 13-14 tahun untuk anak laki-laki.
 Penyaki-penyakit seperti gangguan hepatobilier, hyperadrenocorticism,
peningkatan aktivitas osteoblas, obstruksi empedu (ikterik), kanker hati, sirosis sel hati,
hepatitis, hiperparatiroidisme, kanker (tulang, payudara, prostat), leukemia, penyakit Paget,
osteitis deforman, penyembuhan fraktur, myeloma multiple, osteomalasia, kehamilan
trimester akhir, arthritis rheumatoid (aktif), dan ulkus.
Penurunan kadar ALP dapat terjadi pada kondisi :
 Hypothyroid
 malnutrisi, defisiensi Vit C
 Hypophosphatemia
 Merupakan indikator yang peka adanya CHOLESTASIS, tetapi tidak spesifik.
Nilai Normal :
Anak : bayi dan anak (usia 0-20 tahun) : 40-115 U/L (usia 13-18 tahun) : 50-230 U/L
Dewasa : 42-136 U/L

3.4 GGT (gamma glutamil transferase)


Gamma glutamil transferase (gamma glutamyl transferase, GGT) adalah enzim
yang ditemukan terutama di hati dan ginjal, sementara dalam jumlah yang rendah
ditemukan dalam limpa, kelenjar prostat dan otot jantung. Pada sel hati gamma GT
terdapat di retikulum endoplasmic sedangkan di empedu terdapat di sel epitel.
Gamma-GT merupakan uji yang sensitif untuk mendeteksi beragam jenis penyakit
parenkim hati. Kebanyakan dari penyakit hepatoseluler dan hepatobiliar
meningkatkan GGT dalam serum. Kadarnya dalam serum akan meningkat lebih awal
dan tetap akan meningkat selama kerusakan sel tetap berlangsung. Peningkatan
aktivitas GGT dapat dijumpai pada icterus obstruktif, kolangitis, dan kolestasis.
Kolestasis adalah kegagalan aliran empedu mencapai duodenum.
Metode pemeriksaan untuk tes GGT adalah spektrofotometri atau fotometri,
dengan menggunakan spektrofotometer/fotometer atau alat kimia otomatis. Bahan
pemeriksaan yang digunakan berupa serum atau plasma heparin.
GGT dapat dijumpai pada hepatobiliar dan endhotel jaringan. Tidak terdapat di
tulang dan plasenta, Sehingga pada anak yang tumbuh dan kehamilan kadar dalam
darah tidak meningkat.
Nilai normal : 6-24U/L pada pria.
Pada alkoholisme : garam GT lebih peka di banding SGOT/SGPT

3.5 Albumin
Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak dalam tubuh manusia,
yaitu sekitar 55-60% dan total kadar protein serum normal adalah 3,8-5,0 g/dl. Albumin
terdiri dari rantai tunggal polipeptida dengan berat molekul 66,4 kDa dan terdiri dari 585
asam amino. Pada molekul albumin terdapat 17 ikatan disulfida yang menghubungkan
asam-asam amino yang mengandung sulfur. Molekul albumin berbentuk elips sehingga
dengan bentuk molekul seperti itu tidak akan meningkatkan viskositas plasma dan larut
sempurna. Kadar albumin serum ditentukan oleh fungsi laju sintesis, laju degradasi, dan
distribusi antara kompartemen intravaskular dan ekstravaskular. Cadangan total albumin
3,5-5,0 g/kg BB atau 250-300 g pada orang dewasa sehat dengan berat 70 kg, dari jumlah
ini 42% berada di kompartemen plasma dan sisanya di dalam kompartemen ektravaskular
(Evans, 2002). Albumin manusia (human albumin) dibuat dari plasma manusia yang
diendapkan dengan alkohol. Albumin secara luas digunakan untuk penggantian volume
dan mengobati hipoalbuminemia (Uhing, 2004: Boldt, 2010).
Pemberian preparat albumin tidak diekskresi oleh ginjal. Pada keadaan sehat
ekskresi albumin melalui ginjal relatif tidak penting. Penyakit ginjal dapat mempengaruhi
degradasi dan sintesis. Pada sindrom nefrotik, albumin plasma dipertahankan dengan
menurunkan degradasi apabila kehilangan albumin 100 mg/kg BB/hari, tetapi bila
kecepatan hilangnya albumin meningkat, sintesis albumin akan meningkat lebih dan 400
mg/kg BB/hari.

3.6 Kolinesterase
Cholinesterase test adalah metode yang digunakan untuk melakukan uji keracunan
pada seseorang yang terpapar pestisida golongan organo phosfat (organophosphates
exposed).
Terdapat 2 macam jenis :
1. Acethyl cholin esterase : terdapat pada jaringan syaraf dan sel darah merah
2. Pseodo esterase : terdapat pada darah,liver , usus, pancreas
Merupakan indikator terjadinya penyembuhan dan prognosa viral hepatitis, bila terjadi
sirrhosis hepatic dengan penurunan kadar CHE ( cholinesterase ) memberikan prognosa
yang jelek. Dapat pula digunakan untuk mendeteksi keracunan organophosate pada
pestisida misalnya : malathion
Nilai normal : 4300 – 10.500 U/L.
Prinsip kerja pengujian adalah darah yang mengandung enzyme cholinesterase
membebaskan asam asetat dari acetyl choline sehingga akan merubah pH larutan (mixture)
darah dan indicator.
3.7 Masa Protrombin
Protrombin disintesis oleh hati dan merupakan prekursor tidak aktif dalam proses
pembekuan. Protrombin dikonversi menjadi thrombin oleh tromboplastin yang diperlukan
untuk membentuk bekuan darah.
Prinsip pengukuran PT adalah menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma
yang telah diinkubasi ditambahkan campuran tromboplastin jaringan dan ion kalsium.
Reagen yang digunakan adalah kalsium tromboplastin, yaitu tromboplastin jaringan dalam
larutan CaCl2. Beberapa jenis tromboplastin yang dapat dipergunakan misalnya :
- Tromboplastin jaringan berasal dari emulsi ekstrak organ otak, paru atau otak dan paru
dari kelinci dalam larutan CaCl2 dengan pengawet sodium azida (mis. Neoplastine CI
plus)
- Tromboplastin jaringan dari plasenta manusia dalam larutan CaCl2 dan pengawet (mis.
Thromborel S).
Hasil memanjang: Penyakit hati (sirosis hati, hepatitis, abses hati, kanker hati, jaundice),
afibrinogenemia, defisiensi faktor koagulasi (II, V, VII, X), disseminated intravascular
coagulation (DIC), fibrinolisis, hemorrhagic disease of the newborn (HDN), gangguan
reabsorbsi usus. Pengaruh obat : treatmen vitamin K antagonis, antibiotic (penisilin,
streptomisin, karbenisilin, kloramfenikol [Chloromycetin], kanamisin [Kantrex], neomisin,
tetrasiklin), antikoagulan oral (warfarin, dikumarol), klorpromazin (Thorazine),
klordiazepoksid (Librium), difenilhidantoin (Dilantin), heparin, metildopa (Aldomet),
mitramisin, reserpin (Serpasil), fenilbutazon (Butazolidin), quinidin, salisilat (aspirin),
sulfonamide.
Hasil memendek : tromboflebitis, infark miokardial, embolisme pulmonal. Pengaruh Obat
: barbiturate, digitalis, diuretic, difenhidramin (Benadryl), kontrasepsi oral, rifampin,
metaproterenol (Alupent, Metaprel).

You might also like