You are on page 1of 10

HIPERALDOSTERONISME PRIMER

Hiperaldosteronisme primer adalah salah satu hipertensi sekunder, merupakan sindrom


yang disebabkan oleh hipersekresi aldosteron yang tidak terkendali, umumnya berasal dari
kelenjar korteks adrenal. Hiperaldosteronisme primer secara klinis dikenal dengan triad
terdiri dari hipertensi, hipokalemia dan alkalosis metabolik. Sindrom ini dilaporkan pertama
kali tahun 1955 oleh Jerome W. Conn. Skrining untuk hiperaldosteronisme primer ini
diindikasikan pada pasien dengan hipertensi dengan hipokalemia yang tidak dapat dijelaskan,
hipertensi resisten dan hipertensi grade 2, hipertensi pada juvenile dan atau stroke (< 50
tahun), ditemukan massa adrenal non fungsional insidental (insidentaloma), bukti adanya
kerusakan organ akhir, dan sindrom metabolik.
Telah dilaporkan adanya hubungan antara aldosteronisme primer dan gangguan
metabolisme karbohidrat oleh Conn pada tahun 1965 dan disebutkan bahwa aldosterone-
producing adenoma (APA) menjadi penyebab yang mungkin untuk timbulnya diabetes
melitus oleh American Diabetes Association. Namun, hasil penelitian retrospektif potong
lintang Matrozova dkk (2009) tidak dapat menunjukkan adanya perbedaan signifikan
prevalensi sindrom metabolik antara pasien aldosteronisme primer dan hipertensi esensial.

EPIDEMILOGI
Semakin banyak laporan yang menunjukkan adanya peningkatan insidens
hiperaldosteronisme primer di masyarakat. Saat ini banyak laporan yang menunjukkan
kejadian hiperaldosteronisme primer berkisar antara 5-10%. Hasil ini didapatkan dengan
memeriksa semua pasien hipertensi terhadap kemungkinan hiperaldosteronisme primer. Pada
pasien ini tidak didapatkan hipokalemia. Tetapi peningkatan insidens hiperaldosteronisme
primer yang dilaporkan sebagian besar disebabkan peningkatan insidens kejadian hiperplasia
adrenal. Keadaan ini paling sering terjadi pada wanita usia pertengahan akibat sekresi
aldosteron autonom.
Pasien dengan hiperaldosteronisme primer mengalami hipertensi pada dekade ke-4
sampai 7, kecuali mereka dengan glucocorticoid-remediable aldosteronism (GRA), di mana
hipertensi terjadi sejak lahir atau awal masa kanak-kanak. Predominan pada wanita, kecuali
pada GRA yang dapat mempengaruhi pria dan wanita sama banyak. Prevalensi komplikasi
serebrovaskular awal meningkat pada GRA, terutama kejadian stroke hemoragik yang berasal
dari aneurisma intraserebral yang mengalami ruptur.
ETIOLOGI
Setengah sampai tigaperempat pasien mengalami adenoma adrenal soliter, kecil,
dengan penampang berwarna kuning. Sisanya mengalami hiperplasia adrenokortikal mikro
atau makronoduler. Gambaran patologi disebabkan oleh hipertensi atau hipokalemia.

Ada 6 subtipe hiperaldosteronisme primer, yaitu:


1. Aldosterone-producing adrenal adenomas (APA)
Terjadi pada kira-kira 40% kasus. Hiperaldosteronisme cenderung lebih berat, dengan
hipertensi dan hipokalemia yang lebih jelas.

2. Idiopathic hyperaldosteronism (IHA)


Disebabkan oleh hiperplasia adrenal bilateral, terdapat pada 50-60% kasus. Secara
umum, lebih ringan.

3. Primary adrenal hyperplasia (PAH) unilateral


Mempunyai kemiripan biokimia dengan APA, tetapi menunjukkan bentuk jarang
hiperaldosteronisme.

4. Aldosterone-producing adrenocortical carcinoma


Merupakan penyebab yang jarang dari hiperaldosteronisme primer.

5. Familial hyperaldosteronism
Tipe I atau glucocorticoid-remediable aldosteronism (GRA) diturunkan sebagai trait
dominan autosom yang tergantung dengan ACTH. Kelainan itu terjadi < 3% kasus
hiperaldosteronisme primer. Tipe II juga diturunkan secara dominant autosom, namun tidak
tergantung dengan ACTH.

6. Ectopic aldosterone-producing adenoma/carcinoma


Terjadi pada < 0,1% kasus.
Tabel 1. Demografi dan karakteristik subtipe hiperaldosteronisme primer

PATOFISIOLOGI
Sel kelenjar adrenal yang mengalami hiperplasia atau adenoma menghasilkan hormon
aldosteron secara berlebihan. Peningkatan kadar serum aldosteron akan merangsang
penambahan jumlah saluran natrium yang terbuka pada sel prinsipal membran luminal dari
duktus kolektikus bagian korteks ginjal. Akibat penambahan jumlah ini, reabsorbsi natrium
mengalami peningkatan. Absorbsi natrium juga membawa air sehingga tubuh menjadi
cenderung hipervolemia.
Sejalan dengan ini, lumen duktus kolektikus ini berubah menjadi bermuatan lebih
negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kalium dari sel duktus kolektikus masuk ke dalam
lumen tubuli melalui saluran kalium. Akibat peningkatan ekskresi kalium di urin, terjadi
kadar kalium darah berkurang. Peningkatan ekskresi kalium juga dipicu oleh peningkatan
aliran cairan menuju tubulus distal. Hal ini mengakibatkan tubuh kekurangan kalium dan
timbul gejala seperti lemas.
Hipokalemia yang terjadi akan merangsang peningkatan ekskresi ion H di tubulus
+
proksimal melalui pompa NH3 , sehingga reabsorbsi bikarbonat meningkat di tubulus

proksimal dan kemudian terjadi alkalosis metabolik. Hipokalemia bersama dengan


hiperaldosteron juga akan merangsang pompa H-K-ATPase di tubulus distal yang
mengakibatkan peningkatan ekskresi ion H, selanjutnya akan memelihara keadaan alkalosis
metabolik pada pasien ini.
Kadar renin plasma pada pasien ini sangat rendah. Hipervolemia yang terjadi akibat
reabsorbsi natrium dan air yang meningkat akan menekan produksi renin sehingga kadar
renin plasma tertekan. Hal ini berbeda dengan hiperaldosteronisme sekunder di mana terjadi
peningkatan kadar renin maupun aldosteron darah. Hiperaldosteronisme sekunder didapatkan
pada hipertensi renovaskular atau pemberian diuretik pada pasien hipertensi.
Hipertensi yang terjadi pada pasien ini sebagian besar disebabkan oleh hipervolemia
yang menetap.

GEJALA DAN TANDA


Dapat timbul gejala yang berhubungan dengan hipokalemia, seperti kelemahan otot,
kram. Gejala lain yang tidak spesifik, seperti sakit kepala, kelelahan, palpitasi dan poliuria.
Tidak ada dijumpai tanda spesifik pada pemeriksaan fisik pada hiperaldosteronisme
primer. Kebanyakan pasien mengalami hipertensi, dapat ringan sampai berat, tetapi dapat
juga normal. Edema jarang ditemukan. Tanda-tanda kerusakan organ, seperti retinopati,
proteinuria, dan hipertrofi ventrikel kiri, berhubungan dengan keparahan dan lamanya
hipertensi.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan hipokalemia, alkalosis metabolik, dan
hipernatremia ringan. Hipokalemia dapat spontan atau didapat dari penggunaan diuretik.
Sedikit pasien dengan normokalemia.
DIAGNOSIS
Tindakan diagnosis pada hiperaldosteronisme primer terdiri dari tahap menentukan
adanya hiperaldosteronisme primer dan mengetahui kausanya. Bila dicurigai terdapat
hiperaldosteronisme primer maka dilakukan pemeriksaan plasma aldosterone concentration
(PAC) dan plasma renin activity (PRA) secara bersamaan. Pemeriksaan ini dilakukan pagi
hari dan pasien tidak perlu harus berbaring. Sebelum tes dilakukan, perlu diketahui apakah
pasien sedang mengkonsumsi obat yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan seperti
antagonis aldosteron, yang harus dihentikan 6 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan.
Rasio antara PAC (ng/dl) dengan PRA (ng/ml per jam) yang disebut sebagai
aldosterone renin ratio (ARR) memiliki nilai diagnostik yang bermakna. Nilai ARR > 100
dianggap sebagai nilai diagnostik yang sangat bermakna untuk terdapatnya
hiperaldosteronisme. Perlu diperhatikan pada penghitungan ARR sangat bergantung pada
nilai PRA. Bila menggunakan reagen yang dapat mengukur kadar PRA konsentrasi rendah,
maka ARR akan semakin besar. Karena itu disarankan menggunakan reagen yang dapat
mengukur kadar PRA yang rendah.
Banyak obat-obatan antihipertensi yang dapat mempengaruhi nilai PAC dan PRA. Beta
bloker dapat menurunkan PRA, tidak mempengaruhi PAC, dan meningkatkan ARR. Beta
bloker harus dihentikan sedikitnya 2 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan. Angiotensin-
converting enzyme (ACE) inhibitor dan angiotensin II receptor blocker (ARB) dapat
menaikkan PRA dan menurunkan PAC, sehingga ARR juga turun dan membuat hasil
menjadi negatif palsu. Sebaliknya reseptor α1 bloker doxazosin tidak mempunyai efek pada

sistem renin-angiotensin-aldosteron.
Kombinasi PAC 20 ng/dl (555 pmol/l) dan ARR > 30 memiliki spesifisitas 90% dan
sensitivitas 91% untuk mendeteksi hiperaldosteronisme.
Peningkatan serum aldosteron dan ARR saja tidak berarti didapatkan
hiperaldosteronisme primer. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk menunjukkan adanya sekresi
kelenjar adrenal yang berlebihan. Untuk itu dilakukan tes supresi kelenjar aldosteron dengan
memberikan garam NaCl. Terdapat dua cara melakukan tes supresi yaitu secara oral dan
pemberian NaCl isotonis. Pada tes supresi oral diberikan diet 5 g NaCl per oral dengan
pemberian selama 3 hari. Setelah hari ketiga dilakukan pengumpulan urin selama 24 jam
untuk mengukur kadar natrium, kalium dan aldosteron dalam urin. Kadar natrium dalam urin
harus lebih dari 200 mEq yang menandakan diet tinggi natrium yang diberikan telah cukup
adekuat. Kadar aldosteron urin lebih dari 14 μgr/24 jam atau 39 nmol/24 jam sesuai dengan
hiperaldosteronisme primer. Tes supresi kedua yaitu dengan pemberian 2 liter NaCl isotonis
dalam waktu 4 jam dengan posisi pasien tidur terlentang. Bila kadar aldosteron plasma lebih
Dari 10 ng/dl atau lebih dari 277 pmol/l, sesuai dengan adanya hiperaldosteronisme primer.
Diagnostik lain adalah dengan terdapatnya peningkatan ekskresi kalium dalam urin 24
jam (> 30 mEq/l). Syarat pemeriksaan ini adalah pasien tidak boleh dalam keadaan
hipovolemia atau dalam keadaan diet rendah natrium (kadar natrium urin kurang dari 50 mEq
per 24 jam). Tes captoril juga digunakan sebagai tes skrining.
Pemeriksaan lain pada hiperaldosteronisme primer adalah pemeriksaan analisis gas
darah yang menunjukkan gambaran alkalosis metabolik yang disebabkan peningkatan
reabsorbsi bikarbonat di tubulus proksimal karena peningkatan kadar aldosteron.
Dahulu kecurigaan hiperaldosteronisme primer bila didapatkan pasien hipertensi
dengan hipokalemia atau adanya gejala lemas. Saat ini dengan semakin banyaknya laporan
peningkatan kejadian hiperaldosteronisme maka kriteria pasien yang perlu dilakukan skrining
diperluas. Di lain pihak, tes penyapihan pada semua pasien hipertensi tidak dianjurkan.
Walaupun saat ini dilaporkan adanya peningkatan kejadian hiperaldosteronisme primer di
masyarakat tetapi hasil skrining tersebut menunjukkan peningkatan populasi hiperplasia
adrenal yang cukup diterapi dengan pemberian antagonis aldosteron. Dengan melakukan
skrining hiperaldosteronisme pada semua pasien hipertensi, proporsi adenoma lebih sedikit
(dari 60-70% menjadi 25%) dibandingkan bila dilakukan skrining pada pasien dengan
hipokalemia atau hipertensi resisten.
Pemeriksaan berikutnya adalah untuk menentukan subtipe hiperaldosteronisme primer.
Pemeriksaan pencitraan berupa CT-scan atau MRI dapat membedakannya. Bila didapatkan
ukuran kelenjar > 4 cm, maka kecurigaan adanya karsinoma adrenal perlu dipikirkan. Bila
didapatkan kelenjar adrenal membesar satu sisi maka diagnostik terdapat APA. Bila
didapatkan kedua kelenjar membesar maka penyebab hiperaldosteronisme primer adalah
hiperplasia adrenal. Pada keadaan sulit untuk menentukan apakah terdapat hiperplasia atau
adenoma maka dilakukan pengukuran kadar aldosteron di vena adrenal. Pemeriksaan ini
dilaporkan sulit dilakukan karena itu harus dilakukan oleh ahli yang berpengalaman untuk
pemeriksaan ini. Pasien dalam pemberian infus kontinu ACTH 50 mcg per jam ketika
dilakukan pengambilan sampel darah vena. Juga diperiksa kadar kortisol untuk memastikan
darah berasal dari vena adrenal. Bila didapatkan kadar aldosteron berbeda > 4 kali maka di
sisi tersebut terdapat adenoma, sedangkan pada hiperplasia kelenjar adrenal kadar aldosteron
5
pada dua sisi hampir sama. Nwariaku dkk (2006) melaporkan tes sampel darah vena adrenal
lebih akurat dibandingkan dengan pemeriksaan CT-scan abdomen untuk menentukan APA
pada pasien hiperaldosteronisme primer dan dapat menurunkan angka morbiditas setelah
operasi adrenalektomi laparoskopi. Pemeriksaan lainnya adalah tes stimulasi postural,
sintigrafi adrenal NP59, tes supresi deksametason dan pengukuran 18-OH kortikosteron
plasma dan 18-hidroksikortisol dan 18-oksokortisol urin. GRA dikonfirmasi dengan tes
genetik

Gambar 1. Bagan diagnosis kerja untuk hiperaldosteronisme primer


DIAGNOSIS BANDING
Tabel 2. Diagnosis banding pada hipertensi dan hipokalemia

PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi adalah menormalkan tekanan darah, serum kalium dan kadar serum
aldosteron. Pada hiperplasia kelenjar aldosteron, hal ini dicapai dengan pemberian obat
antagonis aldosteron. Pemberian spironolakton 12,5-25 mg biasanya sudah cukup efektif
mengendalikan tekanan darah dan menormalkan kadar kalium plasma. Sayangnya, obat
spironolakton yang diberikan dalam jangka panjang mempunyai efek samping seperti
impotensi, ginekomastia, gangguan haid dan gangguan traktus gastrointestinal sehingga
pemberian jangka panjang spironolakton mempunyai banyak kendala. Saat ini ada obat baru
eplerenon dengan cara kerja memblok reseptor aldosteron secara selektif, dengan dosis dua
kali 25 mg per hari dengan efek samping yang lebih ringan daripada spironolakton, sehingga
dapat diberikan dalam jangka panjang, walaupun harganya relatif mahal. Selain terapi
farmakologi perlu dikurangi asupan garam dalam makanan, berolahraga secara teratur,
menormalkan berat badan dan menghindari konsumsi alkohol.
Bila pasien tidak toleran dengan spironolakton, dapat diberikan amiloride hingga dosis
15 mg dua kali sehari. Amiloride hanya dipakai untuk menormalkan kadar kalium dan tidak
dapat menurunkan tekanan darah oleh karena itu perlu ditambahkan obat antihipertensi lain.
Perlu diperhatikan bahwa pada terapi ini kadar aldosteron dalam darah tetap tinggi dan dalam
jangka panjang dikhawatirkan hal ini dapat menimbulkan gangguan pada jantung. Efek
samping obat ini antara lain oyong, kelelahan dan impotensi. Obat alternatif lain adalah
triamteren 200-300 mg dosis terbagi dengan efek samping oyong dan mual.
Total adrenalektomi unilateral adalah pilihan terapi pada APA dan PAH.
Adrenalektomi laparoskopi dapat mempersingkat lama rawat inap dan menurunkan kematian
dibandingkan dengan operasi terbuka. Dianjurkan untuk mengontrol tekanan darah dan
memperbaiki hipokalemia dengan spironolakton sebelum operasi. Pada APA, keadaan
hipokalemia diperbaiki secara cepat setelah adrenalektomi. Adrenalektomi pada adenoma
adrenal akan menormalkan kadar aldosteron plasma serta menormalkan tekanan darah tanpa
membutuhkan spironolakton, suplementasi kalium atau obat antihipertensi yang lain. Tetapi
Sawka dkk (2001) mendapatkan pada 40-60% pasien didapatkan tekanan darah tetap tinggi
pasca operasi. Pada kelompok dengan penggunaan obat antihipertensi kurang dari 2 dan tidak
adanya riwayat hipertensi dalam keluarga dilaporkan tekanan darah akan terkendali setelah
operasi adrenalektomi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo, Sarwono, Dkk. 2008. Ilmu Kandungan.Jakarta: P.T Bina Pustaka

2. Price, Sylvia Lorraine M, Wilson. 2006. Patofisiologi Penyakit. Jakarta :EGC.

3. Aru, W. Suddoyo.2007. Ilmu Penyakit Dalam Penerbit Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : EGC.

4. Effendi, Dr. Harjim . 1981 . Fisiologi Sistem Hormonal dan Reproduksi dengan
Patofisiologinya . Bandung : Alumni.

5. S Teverson, John c . dan Pripal Chahal . 1993 . Segi Praktis Endokrinologi . Jakarta :
Bina Rupa Aksara

You might also like