You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kutubbussittah sebagaimana namanya terdapat enam kitab yang
mempunyai karakteristik tersendiri baik secara penyusunannya maupun
metode yang digunakan, belum tentu suatu hadits yang di anggap sohih
dalam satu kitab hadis, akan dianggap sohih pula dalam kitab lain. Karenanya
kajian yang menyeluruh mengenai karakteristik dan seluk beluk suatu Kitab
Hadis menjadi sangat urgen, terlebih bagi para pengkaji hadis.
Maka dengan maksud tersebut, kitab hadis yang kami fokuskan dalam
kajian ini adalah kitab Sunan Nasa’i karya Abu Adurrahman Ahmad An-
Nasa’i. Kepopuleran, kepandaian, kepiawaian, dan ketekunan beliau dalam
menghimpun hadis serta beberapa penggal kisah beliau dalam menyusun
sebuah kitab yang Munumental, dan mengapa menjadi salah satu sumber
utama rujukan hadis yang diterima luas oleh dunia muslim. Oleh karena itu,
dalam pembahasan ini kami berusaha mengetengahkan sebuah makalah
tentang studi kitab Sunan an-Nasya’i.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah biografi kehidupan, latar belakang dan pendidikan
serta karya-karya Imam al-Nasa’i?
2. Bagaimana model penyusunan, sistematika dan metode yang digunakan
An-Nasa’i dalam Kitab Sunan an-Nasa’i?
3. Bagaimanakah pendapat para ulama tentang kitab hadits imam An-
Nasa’i?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui sejarah biografi kehidupan, latar belakang dan
pendidikan serta karya-karya Imam al-Nasa’i
2. Untuk mengetahu model penyusunan, sistematika dan metode yang
digunakan An-Nasa’i dalam Kitab Sunan an-Nasa’i
3. Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang kitab hadits imam An-
Nasa’i?

BAB II

1
PEMBAHASAN

A. Sejarah Biografi Kehidupan, Latar Belakang Dan Pendidikan Serta


Karya-Karya Imam Al-Nasa’i
a. Riwayat Hidup Imam an-Nasa’i
Nama lengkap dari Imam an-Nasa’I adalah Abu Abdurrahman
Ahmad bin Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Kurasani An-Nasa’i.
Nama imam An-Nasa’i dinisbatkan pada sebuah daerah bernama Nasa’ di
wilayah kurasan yang disebut juga Nasawi yang masih termasuk wilayah
Khurasan.1
Kelahiran An-Nasa’i menurut Adz-Dzahabi, “imam An-Nasa’i
lahir di daerah Nasa’i pada tahun 215 hijriah.2 Beliau adalah ahli hadits
terkemuka abad 4 hijriyah, namanya disejajarkan dengan ahli hadis
terkemuka seperti Tirmidzi, dan ahmad bin Hambal, An Nasa’I wafat
pada hari senin tanggal 13 safar 303 H.3 Kondisi itu karena beberapa
faktor, diantaranya; dia sangat memperhatikan keseimbangan dirinya dari
segi makanan, pakaian, dan kesenangan, minum sari buah yang halal dan
banyak makan ayam.4
An Nasa’i, yang hidup pada 215H/830M-303 H/ 915 M. Sejak usia
kanak-kanak beliau sudah mulai menghafal al-Qur’an dan belajar ilmu
agama di tanah kelahirannya tersebut. Di waktu usia 15 tahun beliau
melakukan pengembaraan mencari hadis Nabi dan berguru kepada
Qutaibah bin Sa’id al-Balkhi selama 1 tahun 2 bulan kemudian beliau
pindah ke Mesir dan lama menetap disana.5
Pada usia 15 tahun, beliau mulai melakukan perjalanan guna
menimba ilmu dan mencari hadits-hadits Nabi ke berbagai tempat seperti
daerah Hijaz, Irak, Syam, Mesir, dan daerah yang lain. Ia juga dikenal
sebagai orang yang sungguh-sungguh dalam beribadah baik pada waktu

1
M. Alfatih Surydilaga (ed), Studi Kitab Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2009), hlm. 131
2
Syaik Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), hlm.
578
3
Departemen Agama, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Depag, 2000), hlm. 832
4
Syaik Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2008), hlm. 353
5
Muhammad Abu Suhu, Al-Hadits Wal Muhadditsun Aw Inayah Al-Ummah Al-Islamiyah
bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1999), hlm. 358

2
malam maupun siang hari, melaksanakan ibadah puasa sunnah dan puasa
daud.6
Hafalan dan kepahaman yang jarang di miliki oleh orang-orang
pada zamannya, sebagaimana beliau memiliki kejelian dan keteliatian
yang sangat mendalam, maka beliau dapat meriwayatkan hadits-hadits
dari ulama-ulama besar, berjumpa dengan para imam huffazh dan yang
lainnya, sehingga beliau dapat menghafal banyak hadits,
mengumpulkannya dan menuliskannya, sampai akhirnya beliau
memperoleh derajat yang pantas dalam disiplin ilmu ini.7
Beliau telah menulis hadits-hadits dla’if, sebagaimana beliaupun
telah menulis hadits-hadits shahih, padahal pekerjaan ini hanya di lakukan
oleh ulama pengkritik hadits, tetapi imam Nasa`i mampu untuk
melakukan pekerjaan ini, bahkan beliau memiliki kekuatan kritik yang
detail dan akurat. sebagaimana yang di gambarkan oleh al Hafizh Abu
Thalib Ahmad bin Sazhr; “siapa yang dapat bersabar sebagaimana
kesabaran An Nasa`i? dia memiliki hadits Ibnu Lahi’ah dengan terperinci,
yaitu dari Qutaibah dari Ibnu Lahi’ah, maka dia tidak meriwayatkan
hadits darinya”. Maksudnya karena kondisi Ibnu Lahi’ah yang dla’if.8
Dengan ini menunjukkan, bahwa tendensi beliau bukan hanya
memperbanyak riwayat hadits semata, akan tetapi beliau berkeinginan
untuk memberikan nasehat dan membersihkan syari’at dari bid’ah dan
hal-hal yang diada-adakan.9
Nasa’i sering ikut bertempur bersama gubernur Mesir. Nasa’i
terkenal keberaniannya dan keteguhan hatinya menegakkan cara berjihad
menurut Sunnah Rasul. Sehingga dia dikenal selalu menjaga jarak dengan
majlis penguasa, meskipun sering ikut berperang bersamanya. Begitulah
seharusnya, disamping mengajarkan ilmu pengetahuan, apabila ada jihad
hendaklah ulama segera memenuhi panggilan itu.10
Salah satu keberhasilan beliau adalah berhasilnya menyusun
sebuah kitab monumental dalam kajian hadis, yakni al-Mujtaba’ yang di

6
M. Alfatih Surydilaga (ed), Studi…., hlm. 134
7
Ibid., hlm. 134
8
Ibid., hlm. 135
9
Ibid., hlm. 136
10
Abu Syuhbah, Kutuubus Sittah, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2000), hlm. 92-93

3
kemudian hari masyhur dengan sebutan Sunan al-Nasa’i.11 Beliau wafat
pada hari senin tanggal 13 bulan Syafar, tahun 303 H (915) di al-Ramlah
dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina.
b. Kapasitas Intelektual Imam an-Nasa’i
Pada awalnya, beliau tumbuh dan berkembang di daerah Nasa’.
Beliau berhasil menghafal al-Qur’an di Madrasah yang ada di desa
kelahirannya. Beliau juga banyak menyerap berbagai disiplin ilmu
keagamaan dari para ulama di daerahnya. Saat remaja, seiring dengan
peningkatan kapasitas intelektualnya, beliaupun mulai gemar melakukan
perjalanan ke berbagai penjuru dunia untuk memburu ilmu-ilmu
keagamaan, terutama disiplin hadits dan ilmu Hadits.
Kemampuan intelektual Imam al-Nasa’i menjadi kian matang dan
berisi dalam masa pengembaraannya. Namun demikian, awal proses
pembelajarannya di daerah Nasa’ tidak bisa dikesampingkan begitu saja,
karena justru di daerah inilah, beliau mengalami proses pembentukan
intelektual, sementara masa pengembaraannya dinilai sebagai proses
pematangan dan perluasan pengetahuan.
Keahlian hadis, Rijal al-Hadis, ‘ilal al-Hadis, theori jarah wa al-
ta’dil dan keahlian fiqh diperoleh sebagai hasil perjalanan studi yang
panjang sejak usia Imam Al-Nasa’i baru menginjak 15 tahun dan
mencakup wilayah Hijaz, Iraq, Siria, dan Mesir dan Al-Jazair.
Kemantapan hadis dimulai saat berguru kepada Qutaidah bin Sa’id (guru
besar hadis Imam Abu Dawud dan Imam al-Turmudzi) saat al-Nasa’i
berusia 15 tahun itu selama lebih dari 2 tahun, Ishaq bin Rahuwaih (guru
besar hadis Imam al-Bukhari dan Imam Muslim), Humaid bin Mas’adah,
Haris bin Miskin (pejabat qadi Mesir bermadzhab Maliki wafat 10
Jumadul ‘ula 237 H), Ali bin Kasiram, Imam al-Darimi (wafat 255 H),
Imam Abu Dawud dan Imam al-Turmduzi. Khusus dengan Imam al-
Darimi terdapat ikatan keilmuan hadis yang kuat karenma sebagian besar
koleksi hadis dalam Sunan al-Mujtaba mendasarkan sumber tahrij pada
Sunan al-Darimi.
Selama karir keulamaan hadis Imam al-Nasa’i telah berhasil
membina kader ulama generasi berikutnya, antara lain : Abu Basyar al-
11
Fatkhur Rahman, Ikhtisar Mustholahul Hadits, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1998), hlm.
334

4
Daulabi (perawi utama Sunan al-Nasa’i), Abu al-Qasim al-Tabrani
(kolektor hadis dengan judul al-Mu’jam), Abu Ja’far al-Thahawi
(pengulas kitab-kitab hadis), Imam Abu ‘Awanah (kolektor Shahih Abu
‘Awanah), Husein bin al-Hadir al-Sayuthi, Muhamad bin Mu’awiyah al-
Andalusi, Abu Bakar al-Suni (perawi Sunan al-Sittah) dan lain-lain.
Keseluruhan kader ulama hadis tersebut berguru kepada Imam al-Nasa’i
ketika menetap di Mesir.
Berdasarkan pengakuan para ulama, kepiawaan al – Nasa’I tampak
dalam berbagai bidang ilmu yang dapat dikelompokkan dalam :
1. Ilmu Hadits. Dalam bidang ilmu ini, kepiawaian An-Nasa’i telah
diakui oleh Bukhari dan orang – orang yang setingkat dengannnya di
kalangan tokoh/pembesar ilmu hadits. dalam bidang ini, ia
mempunyai pengetahuan yang sangat luas sehingga ia dijadikan
sebagai tempat pencari petunjuk.
2. Ilmu Jarh–Ta’dil dan ilmu yang berhubungan dengan rawi. Dalam
bidang ilmu ini, ia dikenal sebagai kritikus yang sangat teliti yang
tiada bandingannya.
3. Ilmu ‘Ilal al–Hadits. Dalam hal ini, An-Nasa’i sangat menguasai
ketiga bidang ilmu yang telah disebutkan di atas, sehingga demikian ,
ia dikatakan juga imam dalam bidang ilmu ilal al–hadits.
4. Ilmu al–Fiqh (pemahaman) hadits. Dalam hal ini, Imam al-Daruquthni
mengatakan bahwa Imam An-Nasa’i adalah syekh mesir yang paling
paham tentang makna suatu hadits pada masanya. Demikian juga al-
Hakim menyatakan bahwa perkataan (pendapat) An-Nasa’i tentang
pemahaman suatu hadits sangat banyak jumlahnya, barang siapa yang
memperhatikan kitab Sunan- nya maka dia akan sangat kagum dengan
pendapat yang beliau kemukakan.12
Adapun di antara nama guru-guru beliau, yang teradapat didalam
kitab sunannya adalah sebagai berikut:
1. Qutaibah bin Sa’id,
2. Ishaq bin Ibrahim,
3. Hisyam bin ‘Ammar,
4. Suwaid bin Nashr,
5. Ahmad bin ‘Abdah Adl Dabbi,
6. Abu Thahir bin as Sarh,
7. Yusuf bin ‘Isa Az Zuhri,
12
Abdurrohman, Studi Kitab Hadits, (Yogyakarta: Teras, 2003), hlm. 124

5
8. Ishaq bin Rahawaih,
9. Al Harits bin Miskin,
10. Ali bin Kasyram,
11. Imam Abu Dawud,
12. Imam Abu Isa at Tirmidzi,
13. dan yang lainnya.13
Sedangkan nama murid-murid yang mendengarkan majlis beliau
dan pelajaran hadits beliau adalah:
1. Abu al Qasim al Thabarani,
2. Ahmad bin Muhammad bin Isma’il An Nahhas an Nahwi,
3. Hamzah bin Muhammad Al Kinani,
4. Hasan bin al-Khadr al-Asuti,
5. Muhammad bin Ahmad bin Al Haddad asy Syafi’i,
6. Al Hasan bin Rasyiq,
7. Muhmmad bin Abdullah bin Hayuyah An Naisaburi,
8. Abu Ja’far al Thahawi,
9. Al Hasan bin al Khadir Al Asyuti,
10. Muhammad bin Muawiyah bin al Ahmar al Andalusi,
11. Abu Basyar ad Dulabi,
12. Abu Bakar Ahmad bin Muhammad as Sunni,
13. dan yang lainnya.14
c. Karya-Karya Imam an-Nasa’i
Imam an-Nasa’i adalah ulama yang sangat produktif baik dalam
bidang ilmu hadis, dan Fiqh. ‘Ajaj al-Khatib menyebutkan dalam bukunya
“Ushul al-Hadis” bahwa imam al-Nasa’i mengarang lebih kurang 15 kitab
dalam bidang ilmu hadis. Beliau adalah pakar ilmu hadis, ilmu jarh wa
ta’dil , ilmu ‘ilalul hadis, serta ilmu fiqh. Diantara karya-karya beliau
yaitu:
1. Al-Sunan al-Kubra
2. Al-Sunan al-Sugra disebut juga kitab al-Mujtaba yang merupakan
ringkasan kitab sunan al-Kubra
3. Musnad ‘Ali bin Abi Thalib,
4. Musnad Hadits Malik,
5. Manasik al-Hajj
6. Kitab al-Jum’ah
7. Igrab Syu’bah ‘Ali Sufyan wa sufyan ‘Ali Syu’bah
8. Khashaish Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah
9. ‘Amalu Al Yaum wa Al Lailah,
10. Fadhailu ash-Shahabah, kitab ini disusun agar tidak disangka
penyebar isu bahwa tidak menyebutkan keutamaan muawwiyah,

13
Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadits, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009),
hlm. 203
14
M. Alfatih Surydilaga (ed), Studi…., hlm. 135

6
sebagaimana dikatakan kepada sahabatnya bahwa iya tidak pernah
meriwayatkan dari Muawwiyah, tapi beliau tidak mencelanya.15
11. Al Kuna,
12. At Tafsir,
13. Adl Dlu’afa wa al Matrukin,
14. Tasmiyatu Fuqaha`i Al Amshar,
15. Tasmiyatu man lam yarwi ‘anhu ghaira rajulin wahid,
16. Dzikru man haddatsa ‘anhu Ibnu Abi Arubah,
17. Asma`u ar ruwah wa at tamyiz bainahum,
18. Al Ikhwah,
19. Al Ighrab,
20. Musnad Manshur bin Zadzan,
21. Al Jarhu wa ta’dil.16
Sebelum disebut dengan Sunan An-Nasa’i, kitab ini lebih dikenal
dengan As-Sunan Al-Kubra. Setelah selesai menulis kitab ini, beliau
kemudian menghadiahkan kitab ini kepada Amir Ramlah (gubernur
Ramlah) sebagai tanda penghomatan. Amir kemudian bertanya kepada An-
Nasa’i, “Apakah kitab ini seluruhnya berisi hadis shahih?” Ia menjawab
dengan kejujuran, Ada yang sahih, Hasan, dan adapula yang hampir serupa
dengannya. Amir berkata kembali, “kalau demikian halnya, pisahkanlah
hadis yang shahih-shahih saja.”
Atas permintaan Amir ini, An-Nasa’i kemudian menyeleksi dengan
ketat semua hadis yang telah tertuang dalam kitab As-Sunan Al-kubra
menjadi kitab As-Sunan Al-Sughra. Kitab ini juga dinamakan Al-Mujtaba.
Pengertian Al-Mujtaba bersinonim dengan Al-Mukhtar (yang terpilih)
karena memang kitab ini berisi hadis-hadis pilihan hasil seleksi dari kitab
As-Sunan Al-Kubra. Karena pada masanya, kitab ini lebih terkenal dengan
sebutan Al-Mujtaba, sehingga nama As-sunan Al-Sughra seperti tenggelam
ditelan keharuman nama Al-Mujtaba. Dari Al-Mujtaba inilah, kemudian
kitab ini kondang dengan sebutan Sunan An-Nasa’i, sebagaimana kita
kenal sekarang. Tampaknya untuk selanjutnya, kitab ini tidak akan
mengalami perubahan nama seperti yang terjadi sebelumnya.17
Kitab al-Sunan ini sederajat dengan kitab sunan Abu Dawud, atau
sekurang-kurangnya mendekati satu tingkatan kualitas yang sama dengan

15
Syaik Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-Tokoh…, hlm. 354
16
M. Alfatih Surydilaga (ed), Studi…., hlm. 140
17
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2009),
hlm. 237

7
Sunan Abu Dawud, dikerenakan An-Nasa’i sangat teliti dalam
meriwayatkan dan menilai suatu hadis. Hanya saja, karena Abu Dawud
lebih banyak perhatiannya kepada matan-matan hadis yang ada
tambahannya, dan lebih terfokus pada hadis-hadis yang banyak diperlukan
oleh para Fuqaha, maka Sunan Abu Dawud lebih diutamakan sedikit dari
Sunan al-Nasa’i. Oleh karenanya, Sunan al-Nasa’I ditempatkan pada
tingkatan kedua setelah Sunan Abu Dawud dalam deretan kitab-kitab hadis
al-Sunan.18
B. Model Penyusunan, Sistematika Dan Metode Yang Digunakan An-Nasa’i
Dalam Kitab Sunan An-Nasa’i
Imam An-Nasa’i merupakan seorang ulama yang sangat ketat
terhadap persyaratan terhadap perawi. Hal ini terbukti dalam menetapkan
kriteria sebuah hadist yang diterima atau tertolak. Dalam hal ini, Al- Hafiz
Abu Ali memberikan komentar bahwa persyaratan yang dibuat oleh Imam
An-Nasa’i bagi para perawi sangat ketat jika dibandingkan dangan
persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Muslim. Demikian pula Al-Hakim
dan Al-Khatib mengatakan komentar yang kurang lebih sama bahwa An-
Nasa’i lebih ketat dibandingkan dengan Imam Muslim. Sehingga ulama
Magrib lebih memilih Imam An-Nasa’i dibandingkan dengan Imam Bukhari.
Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode
sunan. Hal ini terlihat jelas dari penamaan kitabnya, yaitu Sunan An-Nasa’i.
Kata sunan merupakan bentuk jamak dari sunnah yang pengertiannya sama
dengan hadist. Sementara yang dimaksud dengan metode sunan disini adalah
metode penyusunan kitab hadist berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab
al-fiqhiyah) dan hanya mencantumkan hadist-hadist yang bersumber dari
Nabi Muhammad SAW saja. Apabila terdapat hadist selain dari Nabi, maka
jumlahnya relatif sangat sedikit. Berbeda dengan kitab hadist Al-Muwatha’
dan Mushannif yang banyak memuat hadist-hadist mauquf dan maqtu’,
walaupun metode penyusunannya sama dengan Sunan An-Nasa’i. Selain
kitab Sunan An-Nasa’i masih banyak kitab hadist sunan yang populer. Antara
lain kitab Sunan Abu Dawud Al-Sijistani (w. 275 H) dan Sunan Ibnu Majah
Al-Qazwini (w. 275 H).

18
M. Alfatih Surydilaga (ed), Studi…., hlm. 142

8
Berdasarkan penjelasan diatas dapat ditegaskan bahwa kitab Sunan
An-Nasa’i (Kitab Mujtaba) disusun dengan metode yang sangat unik dengan
memadukan antara fiqh dengan kajian sanad. Hadist-hadistnya disusun
berdasarkan bab-bab fiqh sebagaimana yang telah dijelaskan diatas dan untuk
setiap bab diberi judul yang kadang-kadang mencapai keunikan tersendiri.
Jumlah satuan hadis yang ditampung dalam Sunan al-Nasa’i mencapai 5.761
hadis, di dalamnya banyak diketemukan penyajian suatu hadis berulang di
banyak tempat. Sebagai contoh hadis tentang niat termuat sebanyak 16 kali di
tempat yang berserakan.
Adapun sistematika dari kitab Sunan al-Nasa’i adalah sebagai
berikut:19

No Nama Kitab Juz No Nama Kitab Juz


- Al-Muqaddimah I 25 Al-Jihad VI
1 A-Thoharah I 26 Al-Nikah VI
2 Al-Miyah I 27 Al-Tholaq VI
3 Al-Haid wa Al-Istihadlah I 28 Al-Khiyal VI
4 Al-Husl wa Al-Tayamum I 29 Al-Ihsab VI
5 Al-Sholah I 30 Al-Washoya VI
6 Al-Mawaqit I 31 Al-Nahlu VI
7 Al-Adzan II 32 Al-Hibah VI
8 Al-Masajid II 33 Al-Raqabi VI
9 Al-Qiblah II 34 Al-Umara VI
Al-Imamah Al-Aiman wa Al-
10 II 35 VII
Nudzur
11 Al-Iftitah II 36 Al-Mazra’ah VII
12 Al-Tathbiq II 37 Asyratu Al-Nisa VII
13 Al-Sahwu II 38 Tahrimu Al-Dam VII
14 Al-Jum’ah III 39 Qasmu Al-Fai’ VII
Taqsir Al-Sholah fi Al- Al-Baiah
15 III 40 VII
Safar
16 Al-Kusuf III 41 Al-Aqiqah VII
17 Al-Istisqa’ III 42 Al-Fur’u wa Al-Atirah VII
Sholat Al-Khouf Al-Shoidu wa Al-
18 III 43 VII
Dabaih
19 Sholat Idain III 44 Al-Dlahaya VII
20 Qiyamu Al-Lail III 45 Al-Buyu’ VII
21 Al-Janaiz IV 46 Al-Qasamah VIII
22 Al-Siyam IV 47 Qoth’u Al-Sariq VIII
23 Al-Zakah V 48 Al-Aiman wa VIII
19
Ibid., hlm. 144-145

9
Syarai’iha
24 Manasik Al-Haj V 49 Al-Zinah VIII
50 Adabu Al-Qudlat VIII
51 Al-Isti’adah VIII
52 Al-Israbah VIII

Dari sistematika yang dipaparkan di atas, ada beberapa catatan dan


komentar yang dapat diberikan mengenai susunan sistematika kitab al-Sunan
al-Nasa’i di atas yaitu:
1. Dari kitab (bab) pertama sampai dengan ke 21, membahas tentang
masalah thaharah dan salat. Jumlah kitab (bab) yang terbanyak adalah
mengenai shalat.
2. Kitab (bab) puasa didahulukan daripada zakat.
3. Kitab (bab) qism al-fai’ (pembagian rampasan perang) diletakkan jauh
dari kitab jihad.
4. Kitab al-khali juga diletakkan berjauhan dari kitab jihad.
5. Melakukan pemisahan-pemisahan di antara kitab-kitab (bab-bab) al-
ahbass (wakaf), wasiat-wasiat, alnahl (pemberian kepada anak), al-
hibah (pemberian), al-ruqbaa. Sedangkan kitab atau pembahasan
mengenai fara’id tidak ada.
6. Melakukan pemisahan-pemisahan antara kitab al-asyribah (minuman),
al-said (perburuan), al-zaba’ih (sembelihan hewan qurban), al-dahaya
(kurban Idul Adha).
7. Kitab Iman diletakkan di bagian akhir.
8. Yang tidak termasuk hukum hanyalah kitab Iman dan kitab
al-‘isti’azah.20
C. Pendapat Para Ulama Tentang Kitab Hadits Imam An-Nasa’i
An-Nasa’i bersikap ketat (mutasyaddid) dalam menyusun kitab as-
Sunan ini, oleh karena itu sebahagian ulama memposisikan kitab ini setelah
Sohih Bukhori dan Sohih Muslim dengan alasan sunan ini lebih sedikit hadis
dhoifnya, walaupun demikian Ab al-Farj bin al-Jauzi mengritik as-Sunan
bahwa didalamnya ada 10 hadis maudu’. Kritik itu dibela oleh as-suyuti
menurutnya pendapat al-Jauzi itu tidak bisa diterima.
Ibn Hajar mengatakan persayaratan yang yang dibuat an-Nasa’i dalam
Mujtaba lebih ketat persyaratannya setelah Sohih al-Bukhori dan Sohih
Muslim. Dalam hal ini, Al- Hafiz Abu Ali memberikan komentar bahwa
persyaratan yang dibuat oleh Imam An-Nasa’i bagi para perawi sangat ketat
20
Ibid., hlm. 145

10
jika dibandingkan dangan persyaratan yang ditetapkan oleh Imam Muslim.
Al-Hakim Abu Abdurrahman dan Darquthubi mengomentari bahwa kitab
hadis yang dikumpul an-Nasa’i adalah sebagus kitab baik di bidang
penyusunan maupun di bidang pembagiannya dan lebih diutamakan dari
orang lain pada zamannya. Komentar sebagian ulama sesungguhnya kitab an-
Nasa’i semulia-mulianya kitab dalam Islam.
Demikian pula Al-Hakim dan Al-Khatib mengatakan komentar yang
kurang lebih sama bahwa An-Nasa’i lebih ketat dibandingkan dengan Imam
Muslim. Sehingga ulama Magrib lebih memilih Imam An-Nasa’i
dibandingkan dengan Imam Bukhari.21
Kitab Sunan an-Nasa’i tidak luput dari perhatian dan komentar dari
para ulama hadis. Hal ini terbukti dengan banyaknya syarah dan penjelasan
yang diberikan ulama hadis yang datang sesudah beliau. Hal ini membuktikan
bahwa kitab Sunan An-Nasa’i ini mendapat respon positif dan begitu baik di
kalangan ulama hadis, dan tidak pernah ada kitab hadis diberi syarah begitu
banyak oleh ulama hadis seperti yang terjadi pada kitab Sunan An-Nasa’i. Di
antara ulama yang memberikan syarah pada Sunan tersebut adalah:
1. Al-Hafidz Jalaluddin As-Suyuti
Penjelasan syarah ini sangat singkat, bahkan seperti catatan biasa.
Syarah tersebut bernama Zuhar ar-Rubba’ ‘Ala al-Mujtaba’. Terbit di
Janpur pada tahun 1847, di New Delhi pada tahun 1850 dan di Kairo
diterbitkan dalam bentuk dua jilid pada tahun 1312 H. Kitab syarah ini
memberikan penekanan pada aspek nama-nama rawi, penjelasan lafaz,
kata-kata yang agak asing dan aneh, serta menyebutkan sebagian hukum-
hukum dan etika yang tercakup oleh berbagai hadis nabi. Dikatakan bahwa
syarah yang diberikan oleh As-Suyuti ini lebih dekat kepada apa yang
dimaksud oleh al-Suyuti. Meskipun uraian kitab syarah ini sangat singkat
namun sangat berguna.
2. Syaikh al-Allama Abul Hasan Muhammad bin Abdul Hadi al-Hanafi As-
Sindi (w. 1138 H)
Ulama ini lahir di Madinah dan meninggal pada tahun 1138,
terkenal dengan nama panggilan As-Sindi. Kitab syarahnya diberi judul
“Hasyiyah Zahr al-Ruba’ ‘ala al-Mujtaba’. Syarah ini lebih sempurna dari

21
Ibid., hlm. 146-147

11
pada syarah Suyuti, karena di dalamnya terdapat pendapat hukum dari al-
Sindi. Isinya hanya uraian singkat mengenai hal-hal yang sangat
diperlukan oleh para pembaca seperti bahasa, i’rab, hadis garib dan
lainnya. Kitab syarah ini juga diterbitkan di India dan Cairo.
3. Sayyid Ali bin Sulaiman al-Bajma’wi
Syarahnya bernama ‘Urf Zahr al-Ruba’ ‘ala al-Mujtaba’.22

BAB III
KESIMPULAN

Nama lengkap dari Imam an-Nasa’I adalah Abu Abdurrahman Ahmad bin
Syu’aib bin Ali bin Sinan bin Bahr Al-Kurasani An-Nasa’i. Beliu adalah ahli
hadits terkemuka abad 4 hijriyah, namanya disejajarkan dengan ahli hadis
terkemuka seperti Tirmidzi, dan ahmad bin Hambal.
Imam an-Nasa’i adalah ulama yang sangat produktif baik dalam bidang
ilmu hadis, dan Fiqh. Imam An-Nasa’i merupakan seorang ulama yang sangat
ketat terhadap persyaratan terhadap perawi. Hal ini terbukti dalam menetapkan
kriteria sebuah hadist yang diterima atau tertolak.
Metode yang digunakan dalam penyusunan kitab ini adalah metode sunan.
Hal ini terlihat jelas dari penamaan kitabnya, yaitu Sunan An-Nasa’i. Kata sunan
merupakan bentuk jamak dari sunnah yang pengertiannya sama dengan hadist.
Sementara yang dimaksud dengan metode sunan disini adalah metode penyusunan
kitab hadist berdasarkan klasifikasi hukum Islam (abwab al-fiqhiyah) dan hanya
mencantumkan hadist-hadist yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW saja.
Diantara karya-karyanya yang terkenal adalah al-Sunan al-Kubra, al-
Sunan al-Sughra al-Khashais, Fadhail al-Shahabah, dan al-Manasik. An-Nasa’i
bersikap ketat (mutasyaddid) dalam menyusun kitab as-Sunan ini, oleh karena itu
sebahagian ulama memposisikan kitab ini setelah Sohih Bukhori dan Sohih
Muslim dengan alasan sunan ini lebih sedikit hadis dhoifnya.
22
Abu Syuhbah, Kutuubus…, hlm 96

12
Kitab Sunan an-Nasa’i tidak luput dari perhatian dan komentar dari para
ulama hadis. Hal ini terbukti dengan banyaknya syarah dan penjelasan yang
diberikan ulama hadis yang datang sesudah beliau. Hal ini membuktikan bahwa
kitab Sunan An-Nasa’i ini mendapat respon positif dan begitu baik di kalangan
ulama hadis, dan tidak pernah ada kitab hadis diberi syarah begitu banyak oleh
ulama hadis seperti yang terjadi pada kitab Sunan An-Nasa’i.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrohman. 2003. Studi Kitab Hadits. Yogyakarta: Teras.


Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2009. Ilmu Ushul Hadits. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Departemen Agama. 2000. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Depag.
Farid, Syaik Ahmad. 2006. 60 Biografi Ulama Salaf. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Mursi, Syaik Muhammad Sa’id. 2008. Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang
Sejarah. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.
Rahman, Fatkhur, 1998. Ikhtisar Mustholahul Hadits. Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Solahuddin, M. Agus dan Agus Suyadi. 2009. Ulumul Hadits. Bandung: Pustaka
Setia.
Suhu, Muhammad Abu. 1998. Al-Hadits Wal Muhadditsun Aw Inayah Al-Ummah
Al-Islamiyah bi al-Sunnah al-Nabawiyyah, Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi.
Surydilaga, M. Alfatih (ed). 2009. Studi Kitab Hadits.Yogyakarta: Teras.
Syuhbah, Abu. 2000. Kutuubus Sittah. Surabaya: Pustaka Progresif.

13

You might also like