Professional Documents
Culture Documents
Sebagai lokasi wisata favorit bagi turis Tiongkok, tanjung yang berjarak
sekitar 5 km dari Nusa Dua ini pun berkembang pesat. Menurut I Kadek Duarsa,
Ketua Lembaga Perwakilan Masyarakat Desa Tanjung Benoa, tiga tahun terakhir,
turis Cina makin mendominasi pengunjung di pantai ini.“Sebagian besar datang
dalam rombongan besar,” kata Duarsa. Secara ekonomi, menurut Duarsa, warga
mendapatkan banyak keuntungan. Saat ini ada sekitar 24 pelaku usaha wisata air
(water sport) di Tanjung Benoa. Hampir semua usaha itu milik warga lokal.
“Taraf hidup warga jelas jauh lebih meningkat."
Namun, makin banyak pengunjung juga mendatangkan masalah bagi desa di
ujung tanjung yang menjorok ke utara ini. Tiap hari, lebih dari 1.000 turis
menyerbu desa berpenduduk sekitar 6.000 jiwa ini. Turis membuat pantai terasa
lebih sesak. Begitu pula ratusan perahu kapal cepat yang terus bertambah dan
nyaris tanpa batasan.“Bus-bus besar bikin jalan desa jadi macet. Perilaku turis
Cina yang tidak disiplin dan kotor juga membuat turis dari negara lain terganggu,”
kata Duarsa. Dari pantai di sisi timur Desa Tanjung Benoa pula para turis
melakukan perjalanan ke lokasi lain di seberangnya: Pulau Penyu.
Seperti namanya, pulau ini dulu menjadi rumah bagi penyu-penyu bertelur
dan berkembang biak secara alami. Namun, saat ini, pulau yang oleh warga lokal
disebut sebagai Pulau Pudut itu menjadi tempat bagi aneka satwa liar untuk
dikurung sebagai bagian dari atraksi untuk turis. Tidak hanya penyu, tapi juga
monyet, burung hantu, luwak, ular boa, dan satwa lain.Satwa-satwa liar itu
dikerangkeng sepanjang waktu. Hanya dikeluarkan ketika ada turis mau berfoto
dengan mereka.Hingga akhir Oktober lalu ada enam lokasi pertunjukan satwa liar
di Pulau Penyu dari semula hanya ada dua. Satu tempat pertunjukan memiliki
antara 80-100 ekor satwa dengan 10 jenis satwa. Hampir semua dieksploitasi
seperti dikerangkeng dan dipegang pengunjung sepanjang hari. Mei lalu,
organisasi global penyayang satwa, World Animal Protection (WAP), bahkan
menyebut Bali dan Lombok sebagai dua daerah yang mengeksploitasi satwa-
satwa liar untuk kepentingan pariwisata.
Dari 26 taman satwa dengan 1.500 satwa liar di dalamnya, mereka tidak
memerhatikan kebutuhan dasar peliharaannya seperti dikerangkeng dalam ruang
terbatas, kurang waktu istirahat, hingga interaksi terlalu banyak dengan manusia.
Tempat wisata yang terlalu sesak, kemacetan di banyak tempat, serta eksploitasi
satwa liar di Bali menjadi catatan terhadap kualitas pariwisata di Bali saat
ini.Makin marak turis Cina dengan praktik-praktik ganjil seperti jual beli kepala,
monopoli toko suvenir, dan eksploitasi satwa liar, membuat kualitas pariwisata
Bali kian menurun. “Sangat lebih buruk,” ujar I Nyoman Sukma Arida, doktor
kajian ilmu pariwisata di Universitas Udayana Bali.
Meskipun ia sendiri belum melakukan riset khusus tentang turis Cina,
Sukma mengaku mendapat banyak informasi terkait perilaku buruk turis
Tiongkok di Bali.
Misalnya, sikap mereka yang tak ramah pada warga lokal. “Daya interaksinya
juga rendah,” lanjut doktor alumni Universitas Gadjah Mada Yogyakarta ini.Toh,
ketika serbuan turis Cina lebih banyak dianggap membawa masalah bagi
pariwisata, Bali justru harus menerima begitu saja.Kepala Dinas Pariwisata Bali
Anak Agung Gede Yuniartha, misalnya, secara tersirat menunjukkan
ketidaksukaannya terhadap banjir turis Cina karena sifat dan kelakuan mereka.
“Tapi saya ini, kan, anak buah Menteri (Pariwisata). Beliau menarget 20 juta turis
di Indonesia tahun depan. Akibatnya, ya kami jadi mengejar mass tourism saja,”
katanya.
Indikator menurunnya kualitas pariwisata Bali itu, misalnya, terlihat dari
masa tinggal turis yang kian pendek. Turis Cina rata-rata hanya tinggal lima hari
empat malam di Bali. Padahal, turis-turis dari Eropa atau Amerika bisa tinggal 10-
14 hari atau bahkan sebulan di Bali
Begitu pula dari sisi pengeluaran. Yuniartha melihat makin banyak turis
berbiaya rendah datang ke Bali sehingga pengeluaran mereka juga sedikit.
“Tingkat pengeluaran turis makin rendah karena kualitas tamu yang datang
murahan,” lanjutnya. I Nyoman Darma Putra, pakar kajian pariwisata Bali,
menyatakan hal serupa. Menurutnya, praktik tak wajar oleh turis Cina itu tak
hanya di Bali, tapi juga destinasi utama turisme global seperti Thailand, Paris, dan
Australia.
Secara jumlah, jumlah turis memang meningkat tapi kualitas pariwisata
Bali justru menurun. Hal ini, menurut Darma, bisa dilihat antara lain dari kian
banyak masalah keamanan, sampah, serta kemacetan. “Ini semacam dampak
berkebalikan dari pariwisata. Hal yang wajar sebenarnya, tetapi kalau tidak
dikelola dengan baik, justru akan merusak Bali,” katanya.
Darma mengatakan dampak buruk semacam ini sebenarnya sudah disadari oleh
para pelaku bisnis maupun pengambil kebijakan pariwisata Bali. “Orang sudah
tahu ada masalah, tetapi tidak mau membahas karena solusinya tidak
populer."Solusi tidak populer itu, misalnya, membatasi jumlah turis ke Bali atau
menutup kawasan tertentu yang sudah terlalu dieksploitasi. Darma memberikan
contoh di Thailand yang menutup total Pulau Maya, lokasi yang dipopulerkan
Leonardo diCaprio dalam film The Beach, setelah lingkungan pulau ini rusak
parah akibat kebanjiran turis.
https://tirto.id/masalah-turis-cina-dan-upaya-menghindari-senjakala-pariwisata-
bali-danP