You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Hidramnion dijumpai pada sekitar 1% dari semua kehamilan. Sebagian

besar penelitian klinis mendefinisikan hidramnion sebagai indeks cairan amnion

yang lebih besar,(Biggio dkk, 1999) di University Alabama melaporkan insiden

1% dari hampir 36.450 kehamilan.

Penelitian lainnya berbasis populasi, tetapi mungkin masih belum

mencerminkan insiden yang sebenarnya kecuali dilakukan ultrasonografi secara

universal. Bagaimanapun, hidramnion yang jelas patologi berkaitan dengan

malformasi janin, terutama susunan saraf pusat atau saluran cerna. Sebagai

contoh, hidramnion terdapat pada sekitar separuh kasus ensefalus dan atresia

esofagus. Secara spesifik, pada hampir separuh kasus sedang dan berat,

ditemukan adanya anomali janin. Namun, hal yang sebaliknya tidak berlaku dan

dalam Spanish Collaboration Study Of Congenital Malformations (ECEMC)

terhadap lebih dari 27000 janin dengan anomali, hanya 3,7% yang mengalami

hidramnion (Martinez-Frias dkk, 1999).

1
B. TUJUAN

TUJUAN UMUM

. a. Memenuhi tugas Mata Kuliah Sistem Reproduksi guna memahami tentang

asuhan keperawatan berkaitan dengan penyakit Hidramnion pada janin.

TUJUAN KHUSUS

a. Mahasiswa mampu memahami dan mengidentifikasi tentang penyakit

Hidramnion dan tanda gejalanya

b. Mahasiswa mampu memahami tentang factor predisposisi dan komplikasi

yang dapat terjadi pada Hidramnion

c. Mahasiswa mampu mengklasifikasikan hidramnion akut dan kronis, sedang

hingga berat.

d. Mahasiswa mampu melakukan asuhan keperawatan pada Hidramnion baik

dalam pengkajian, melakukan pemeriksaan fisik, penunjang, diagnose

keperawatan, implementasi serta evaluasi pada hidramniaon.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Hidramnion adalah suatu keadaan dimana jumlah air ketuban jauh lebih banyak

dari normal, biasanya lebih dari 2 liter. Tapi ada beberapa ahli yang berpendapat sampai

4 atau 5 liter, sedangkan Kustner mendapatkan sampai 15 liter pada kehamilan baru 5

bulan (Mochtar, Rustam, 1998).

B. ETIOLOGI

Mekanisme terjadi hidramnion hanya sedikit yang kita ketahui. Menurut dr.

Hendra Gunawan Wijanarko, Sp.OG dari RSIA Hermina Pasteur, Bandung

(2007) menjelaskan bahwa hidromnion terjadi karena:

a. Produksi air ketuban bertambah yang diduga menghasilkan air ketuban adalah

epitel amnion, tetapi air ketuban juga dapat bertambah karena cairan lain masuk

3
kedalam ruangan amnion, misalnya air kencing anak atau cairan otak pada

anencephalus. (Varney, helen.2001)

b. Ada kelainan pada janin yang menyebabkan cairan ketuban menumpuk, yaitu

hidrocefalus, atresia saluran cerna, kelainan ginjal dan saluran kencing kongenital.

Air ketuban yang telah dibuat dialirkan dan diganti dengan yang baru. Salah satu

jalan pengaliran adalah ditelan oleh janin, diabsorbsi oleh usus dan dialirkan ke

placenta akhirnya masuk kedalam peredaran darah ibu. Jalan ini kurang terbuka

kalau anak tidak menelan seperti pada atresia esophogei, anencephalus atau

tumor-tumor placenta.Pada anencephalus dan spina bifida diduga bahwa

hidramnion terjadi karena transudasi cairan dari selaput otak dan selaput sum-sum

tulang belakang. Selain itu, anak anencephal tidak menelan dan pertukaran air

terganggu karena pusatnya kurang sempurna hingga anak ini kencing berlebihan.

Pada atresia oesophagei hidramnion terjadi karena anak tidak menelan.

c. Ada sumbatan / penyempitan pada janin sehingga dia tidak bisa menelan air

ketuban, alhasil volume ketuban meningkat .

d. Kehamilan kembar, karena adanya dua janin yang menghasilkan air seni. Pada

gemelli mungkin disebabkan karena salah satu janin pada kehamilan satu telur

jantungnya lebih kuat dan oleh karena itu juga menghasilkan banyak air kencing.

Mungkin juga karena luasnya amnion lebih besar pada kehamilan kembar. Pada

hidramnion sering ditemukan placenta besar.

4
e. Ada proses infeksi

f. Ada hambatan pertumbuhan atau kecacatan yang menyangkut sistem syaraf pusat

sehingga fungsi gerakan menelan mengalami k elumpuhan

g. Ibu hamil mengalami diabetes yang tidak terkontrol

h. Ketidak cocokan / inkompatibilitas rhesus (Varney, helen.2001)

5
C. Pathway

Cairan Amnion

Jumlah Cairan ≥2000

Hidramnion Tindakan SC insisi

Luka
Roduksi amnion Pengeluaran amnion
bertambah terganggu

Nyeri Akut Resti infeksi


Masuknya cairan lain Janian susah
menelan amnion
Gangguan pola tidur

Cairan berlebih
Peningkatan tekanan
dalam dan sekitar
uterus
Pembesaran rongga
rahim
Menekan diafragma
ke perut

Peningkatan
Resiko cidera tinggi
pergerakan janin
Dispenea (sesak
napas)

Pertukaran gas Intoleransi aktifitas


terganggu

6
D. TANDA DAN GEJALA

TANDA :

1. Ukuran uterus dan abdomen lebih besar dibanding yang seharusnya

2. Identifikasi janin dan bagian janin melalui pemeriksaan palpasi sulit dilakukan

3. DJJ (detak jantung janin) sulit terdengar

4. Balotemen janin jelas

GEJALA :

a) Sesak nafas

b) rasa tak nyaman di perut karena tekanan pada diafragma

c) Gangguan pencernaan karena konstipasi maupun obstipasi

d) Edema karena tekanan pada pembuluh darah vena karena pembesaran dari uterus.

e) Varises dan hemoroid

f) (Nyeri abdomen)

7
E. PENATALAKSANAAN / TERAPI

Terapi hidromnion dibagi dalam tiga fase:

1. Waktu hamil

a. Hidromnion ringan jarang diberi terapi klinis, cukup diobservasi dan berikan

terapi simptomatis

b. Pada hidromnion yang berat dengan keluhan-keluhan, harus dirawat dirumah sakit

untuk istirahat sempurna.

c. Berikan diet rendah garam.

d. Obat-obatan yang dipakai adalah sedativa dan obat duresisi.

e. Bila sesak hebat sekali disertai sianosis dan perut tengah, lakukan pungsi

abdominal pada bawah umbilikus. Dalam satu hari dikeluarkan 500cc perjam

sampai keluhan berkurang. Jika cairan dikeluarkan dikhawatirkan terjadi his dan

solutio placenta, apalagi bila anak belum viable. Komplikasi pungsi dapat berupa

1) Timbul his

2) Trauma pada janin

3) Terkenanya rongga-rongga dalam perut oleh tusukan

4) Infeksi serta syok

8
Bila sewaktu melakukan aspirasi keluar darah, umpamanya janin mengenai

placenta, maka pungsi harus dihentikan. (Varney, helen.2001)

2. Waktu partus

a. Bila tidak ada hal-hal yang mendesak, maka sikap kita menunggu

b. Bila keluhan hebat, seperti sesak dan sianosis maka lakukan pungsi transvaginal

melalui serviks bila sudah ada pembukaan. Dengan memakai jarum pungsi

tusuklah ketuban pada beberapa tempat, lalu air ketuban akan keluar pelan-pelan

c. Bila sewaktu pemeriksaan dalam, ketuban tiba-tiba pecah, maka untuk

menghalangi air ketuban mengalir keluar dengan deras, masukan tinju kedalam

vagina sebagai tampon beberapa lama supaya air ketuban keluar pelan-pelan.

Maksud semua ini adalah supaya tidak terjadi solutio placenta, syok karena tiba-

tiba perut menjadi kosong atau perdarahan post partum karena atonia uteri.

(Varney, helen.2001)

3. Postpartum

a. Harus hati-hati terjadinya perdarahan post partum, jadi sebaiknya lakukan

pemeriksaan golongan darah, resus, dan transfusi darah serta sediakan obat

uterotonika

b. Untuk berjaga-jaga pasanglah infus untuk pertolongan perdarahan post partum

9
c. Jika perdarahan banyak, dan keadaan ibu setelah partus lemah, maka untuk

menghindari infeksi berikan antibiotika yang cukup. atau dengan metode terbaru

yaitu dengan :

Amniosentesis

Tujuannya adalah untuk meredakan penderitaan ibu, dan cukup efektif untuk

tujuan ini. Namun amniosentesis kadang memicu persalinan walaupun hanya

sebagian kecil cairan yangdikeluarkan. Elliot dan kawan-kawan (1994)

melaporkan hasil-hasil dari 200 amniosentesis pada94 wanita dengan

hidramnion. Kausa umum adalah transfusi antar kembar (38 %), idiopatik (26%),

anomali janin (17 %) dan diabetes (12%).

Cara melakukan amniosentesis adalah dengan:

1. memasukkan sebuah kateter plastik yangmenutupi secara erat sebuah jarum

ukuran 18 melalui dinding abdomen yang telah dianestesilokal ke dalam kantung

amnion.

2. Jarum ditarik dan set infus intravena disambungkan ke kateter.

3. Ujung selang yang berlawanan diturunkan ke dalam sebuah silinder berskala

yang diletakkansetinggi lantai dan kecepatan aliran air ketuban dikendalikan

dengan klem putar sehingga dikeluarkan sekitar 500 ml/jam.

10
4. Setelah sekitar 1500-2000 ml dikeluarkan, ukuran uterus biasanya cukup

berkurang sehingga kateter dapat dikeluarkan.

5. Dengan menggunakan teknik aseptik ketat, tindakan ini dapat diulang sesuai

kebutuhan agar wanita yang bersangkutan merasanyaman.

Elliott dan kawan-kawan (1994) menggunakan penghisap di dinding dan

mengeluarkan1000 ml dalam 20 menit (50 ml/menit). (Varney, helen.2001)

Terapi Indomestasin

Dalam ulasan terhadap beberapa penelitian, Kramer dan kawan-kawan (1994)

menyimpulkan bahwa indometasin mengganggu produksi cairan paru atau

meningkatkan penyerapannya,mengurangi produksi urin janin, dan meningkatkan

perpindahan cairan melalui selaput janin.Dosis yang digunakan oleh sebagian

besar peneliti berkisar dari 1,5 – 3 mg/kg/hari.

Cabrol dankawan-kawan (1987) mengobati 8 wanita dengan hidramnion idiopatik

sejak usia gestasi 24-35minggu dengan indometasin selama 2-11 minggu.

Hidramnion, yang didefinisikan sebagai minimal 1 kantung cairan ukuran 8 cm,

membaik pada semua kasus. Tidak terjadi efek samping serius dan hasil semua

kasus baik. Kirshon dankawan-kawan (1990) mengobati 8 wanita (3 kembar)

dengan hidramnion dari minggu ke 21sampai ke 35. Pada seluruh wanita ini,

dilakukan 2 amniosintesis terapeutik sebelum indometasindiberikan. Dari 11

11
janin, 3 kasus lahir mati berkaitan dengan sindrom transfusi antar kembar dansatu

neonates meninggal pada usia 3 bulan, 7 bayi sisanya normal.

Mamopoulus dan kawan-kawan (1990) mengobati 15 wanita, 11 mengidap

diabetes yangmengalami hidramnion pada gestasi 25 – 32 minggu. Mereka diberi

indometasin dan volumecairan amnion pada semua wanita ini berkurang, dari

rata-rata 10,7 cm pada gestasi 27 minggumenjadi 5,9 cm setelah terapi. Hasil

akhir pada seluruh neonatus baik. Kekhawatiran utama pada penggunaan

indometasin adalah kemungkinan penutupan duktusarteriosus janin. Moise dan

kawan-kawan (1988) melaporkan bahwa 50% dari 14 janin yangibunya mendapat

indometasin mengalami konstriksi duktus seperti dideteksi oleh ultrasonografi

Doppler. Studi – studi yang dijelaskan sebelumnya tidak menemukan adanya

konstriksi menetapdan penyulit ini juga belum pernah dijelaskan dalam studi-

studi yang memberikan indometasinuntuk tokolitik. (Mochtar, Rustam, 1998)

12
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pada pengkajian klien dengan sectio caesaria, data yang dapat ditemukan meliputi
distress janin, kegagalan untuk melanjutkan persalinan, malposisi janin, prolaps
tali pust, abrupsio plasenta dan plasenta previa.
a. Identitas atau biodata klien.
Meliputi, nama, umur, agama, jenis kelamin, alamat, suku bangsa, status
perkawinan, pekerjaan, pendidikan, tanggal masuk rumah sakit nomor register,
dan diagnosa keperawatan.
b. Keluhan utama.
c. Riwayat kesehatan.
1) Riwayat kesehatan dahulu:
Penyakit kronis atau menular dan menurun sepoerti jantung, hipertensi, DM,
TBC, hepatitis, penyakit kelamin atau abortus.
2) Riwayat kesehatan sekarang :
Riwayat pada saat sebelun inpartu di dapatka cairan ketuban yang keluar
pervaginan secara sepontan kemudian tidak di ikuti tanda-tanda persalinan.
3) Riwayat kesehatan keluarga:
4) Adakah penyakit keturunan dalam keluarga seperti jantung, DM, HT, TBC,
penyakit kelamin, abortus, yang mungkin penyakit tersebut diturunkan kepada
klien.
d. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola persepsi dan tata leksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan klien
tentang ketuban pecah dini, dan cara pencegahan, penanganan, dan perawatan
serta kurangnya mrnjaga kebersihan tubuhnya akan menimbulkan masalah dalam
perawatan dirinya.
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme.

13
Pada klien nifas biasanaya terjadi peningkatan nafsu makan karena dari keinginan
untuk menyusui bayinya.
3) Pola aktifitas.
Pada pasien pos partum klien dapat melakukan aktivitas seperti biasanya, terbatas
pada aktifitas ringan, tidak membutuhkan tenaga banyak, cepat lelah, pada klien
nifas didapatkan keterbatasan aktivitas karena mengalami kelemahan dan nyeri.
4) Pola eleminasi.
Pada pasien pos partum sering terjadi adanya perasaan sering /susah kencing
selama masa nifas yang ditimbulkan karena terjadinya odema dari trigono, yang
menimbulkan inveksi dari uretra sehingga sering terjadi konstipasi karena
penderita takut untuk melakukan BAB.
5) Istirahat dan tidur.
Pada klien nifas terjadi perubagan pada pola istirahat dan tidur karena adanya
kehadiran sang bayi dan nyeri epis setelah persalinan.
6) Pola hubungan dan peran.
Peran klien dalam keluarga meliputi hubungan klien dengan keluarga dan orang
lain.
7) Pola penanggulangan stress.
Biasanya klien sering melamun dan merasa cemas.
8) Pola sensori dan kognitif.
Pola sensori klien merasakan nyeri pada prineum akibat luka janhitan dan nyeri
perut akibat involusi uteri, pada pola kognitif klien nifas primipara terjadi
kurangnya pengetahuan merawat bayinya.
9) Pola persepsi dan konsep diri.
Biasanya terjadi kecemasan terhadap keadaan kehamilanya, lebih-lebih menjelang
persalinan dampak psikologis klien terjadi perubahan konsep diri antara lain dan
body image dan ideal diri.
10) Pola reproduksi dan sosial.

14
Terjadi disfungsi seksual yaitu perubahan dalam hubungan seksual atau fungsi
dari seksual yang tidak adekuat karena adanya proses persalinan dan nifas.
e. Pemeriksaan fisik :
1) Kepala.
Bagaimana bentuk kepala, kebersihan kepala, kadang-kadang terdapat adanya
cloasma gravidarum, dan apakah ada benjolan.
2) Leher.
Kadang-kadang ditemukan adanya penbesaran kelenjar tioroid, karena adanya
proses menerang yang salah.
3) Mata.
Terkadang adanya pembengkakan paka kelopak mata, konjungtiva, dan kadang-
kadang keadaan selaput mata pucat (anemia) karena proses persalinan yang
mengalami perdarahan, sklera kunuing.
4) Telinga.
Biasanya bentuk telingga simetris atau tidak, bagaimana kebersihanya, adakah
cairan yang keluar dari telinga.
5) Hidung.
Adanya polip atau tidak dan apabila pada post partum kadang-kadang ditemukan
pernapasan cuping hidung.
6) Dada.
Terdapat adanya pembesaran payu dara, adanya hiper pigmentasi areola mamae
dan papila mamae.
7) Pada klien nifas abdomen kendor kadang-kadang striae masih terasa nyeri.
Fundus uteri 3 jari dibawa pusat.
8) Genitalia.
Pengeluaran darah campur lendir, pengeluaran air ketuban, bila terdapat
pengeluaran mekomium yaitu feses yang dibentuk anak dalam kandungan
menandakan adanya kelainan letak anak.

15
9) Anus.
Kadang-kadang pada klien nifas ada luka pada anus karena rupture.
10) Ekstermitas.
Pemeriksaan odema untuk mrlihat kelainan-kelainan karena membesarnya uterus,
karenan preeklamsia atau karena penyakit jantung atau ginjal.
11) Tanda-tanda vital.
12) Apabila terjadi perdarahan pada pos partum tekanan darah turun, nadi cepat,
pernafasan meningkat, suhu tubuh turun.

2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri
(histamin, prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section
caesarea).
b. Intoleransi aktivitas b/d tindakan anestesi, kelemahan, penurunan sirkulasi.
c. Gangguan Integritas Kulit b.d tindakan pembedahan.
d. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan/luka kering bekas
operasi.
e. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur
pembedahan, penyembuhan dan perawatan post operasi.
f. Defisit perawatan diri b/d kelemahan fisik akibat tindakan anestesi dan
pembedahan.

3. Rencana Keperawatan
a. Nyeri akut berhubungan dengan pelepasan mediator nyeri (histamin,
prostaglandin) akibat trauma jaringan dalam pembedahan (section caesarea).
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
nyeri klien berkurang/terkontrol dengan kriteria hasil :
1) Mengungkapkan nyeri dan tegang di perutnya berkurang.

16
2) Skala nyeri 0-1 (dari 0 – 10).
3) TTV dalam batas normal ; Suhu : 36-37 0 C, TD : 120/80 mmHg, RR :18-
20x/menit, Nadi : 80-100 x/menit.
4) Wajah tidak tampak meringis.
5) Klien tampak rileks, dapat berisitirahat, dan beraktivitas sesuai kemampuan.
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian secara komprehensif tentang nyeri meliputi lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri dan faktor presipitasi.
2) Observasi respon nonverbal dari ketidaknyamanan (misalnya wajah meringis)
terutama ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif.
3) Kaji efek pengalaman nyeri terhadap kualitas hidup (ex: beraktivitas, tidur,
istirahat, rileks, kognisi, perasaan, dan hubungan sosial).
4) Ajarkan menggunakan teknik nonanalgetik (relaksasi, latihan napas dalam,,
sentuhan terapeutik, distraksi).
5) Kontrol faktor-faktor lingkungan yang yang dapat mempengaruhi respon
pasien terhadap ketidaknyamanan (ruangan, suhu, cahaya, dan suara).
6) Kolaborasi untuk penggunaan kontrol analgetik, jika perlu.

b. Intoleransi Aktivitas b.d kelemahan, penurunan sirkulasi.


Tujuan : Kllien dapat melakukan aktivitas tanpa adanya komplikasi.
Kriteria Hasil : klien mampu melakukan aktivitasnya secara mandiri.
Intervensi :
1) Kaji tingkat kemampuan klien untuk beraktivitas.
2) Kaji pengaruh aktivitas terhadap kondisi luka dan kondisi tubuh umum.
3) Bantu klien untuk memenuhi kebutuhan aktivitas sehari-hari.
4) Bantu klien untuk melakukan tindakan sesuai dengan kemampuan /kondisi
klien.
5) Evaluasi perkembangan kemampuan klien melakukan aktivitas.

17
c. Gangguan Integritas Kulit b.d tindakan pembedahan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan 3 x 24 jam diharapkan integritas kulit dan
proteksi jaringan membaik.
Kriteria Hasil : Tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
Intervensi :
1) Berikan perhatian dan perawatan pada kulit.
2) Lakukan latihan gerak secara pasif.
3) Lindungi kulit yang sehat dari kemungkinan maserasi.
4) Jaga kelembaban kulit.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan trauma jaringan/luka bekas
operasi (SC).
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan
klien tidak mengalami infeksi dengan kriteria hasil :
1) Tidak terjadi tanda-tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesea).
2) Suhu dan nadi dalam batas normal (suhu = 36,5 -37,50 C, frekuensi nadi = 60 -
100x/menit).
3) WBC dalam batas normal (4,10-10,9 10^3/uL).
Intervensi :
1) Tinjau ulang kondisi dasar/faktor risiko yang ada sebelumnya. Catat waktu
pecah ketuban.
2) Kaji adanya tanda infeksi (kalor, rubor, dolor, tumor, fungsio laesa).
3) Lakukan perawatan luka dengan teknik aseptic.
4) Inspeksi balutan abdominal terhadap eksudat/rembesan. Lepaskan balutan
sesuai indikasi.
5) Anjurkan klien dan keluarga untuk mencuci tangan sebelum/sesudah
menyentuh luka.

18
6) Pantau peningkatan suhu, nadi, dan pemeriksaan laboratorium jumlah WBC/sel
darah putih.
7) Kolaborasi untuk pemeriksaan Hb dan Ht. Catat perkiraan kehilangan darah
selama prosedur pembedahan.
8) Anjurkan intake nutrisi yang cukup.
9) Kolaborasi penggunaan antibiotik sesuai indikasi.

e. Ansietas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang prosedur


pembedahan, penyembuhan, dan perawatan post operasi.
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3 x 6 jam diharapkan
ansietas klien berkurang dengan kriteria hasil :
1) Klien terlihat lebih tenang dan tidak gelisah.
2) Klien mengungkapkan bahwa ansietasnya berkurang.
Intervensi :
1) Kaji respon psikologis terhadap kejadian dan ketersediaan sistem pendukung.
2) Tetap bersama klien, bersikap tenang dan menunjukkan rasa empati.
3) Observasi respon nonverbal klien (misalnya: gelisah) berkaitan dengan ansietas
yang dirasakan.
4) Dukung dan arahkan kembali mekanisme koping.
5) Berikan informasi yang benar mengenai prosedur pembedahan, penyembuhan,
dan perawatan post operasi.
6) Diskusikan pengalaman/harapan kelahiran anak pada masa lalu.
7) Evaluasi perubahan ansietas yang dialami klien secara verbal

19

You might also like