You are on page 1of 8

Seorang pemuda 17 tahun dibawa ke IGD setelah terlibat perkelahian ketika menonton

pertandingan sepakbola. Dokter jaga melakukan primary survey. Pada pemeriksaan


didapatkan:

 Keadaan umum: somnolen, tampak pucat, dan tampak luka-luka di sekujur


tubuh.
 Tanda vital: tekanan darah 90/60 mmHg, nadi 110 kali permenit reguler teraba
kecil dan cepat, laju pernapasan 24 kali permenit, SpO2 97%
 Ekstremitas : Akral dingin (+)
 Kepala leher : oedema regio nasal, nyeri pada regio maksila, mulut tidak bisa
menutup, tampak nafas cuping hidung, dan didapatkan floating jaw.
 Thoraks: tampak luka tusuk pada dinding dada kanan lateral di sela iga 10. Luka
masih mengeluarkan darah, tetapi tidak ada sucking chest wound.
 Abdomen: terdapat nyeri tekan sebelah kanan disertai dengan nyeri lepas. Bising
usus melemah pada perut kanan. Colok dubur didapati ampulla tidak kolaps,
sewaktu sarung tangan dikeluarkan didapati feses dan darah.
Dokter jaga segera melakukan penatalaksanaan awal pada penderita dan memonitoring
keberhasilan penatalaksanaan.
STEP 1
1. Primary Survey
Deteksi cepat dan koreksi segera terhadap kondisi yang mengancam
Tujuan : Untuk mengetahui kondisi pasien yang mengancam jiwa dan kemudian
dilakukan tindakan life saving.
Cara pelaksanaan (harus berurutan dan simultan)
1. Jalan nafas (airway)
Lihat, dengar, raba (Look, Listen, Feel)
Buka jalan nafas, yakinkan adekuat
Bebaskan jalan nafas dengan proteksi tulang cervical dengan menggunakan teknik
Head Tilt/Chin Lift/Jaw Trust, hati-hati pada korban trauma
Cross finger untuk mendeteksi sumbatan pada daerah mulut
Finger sweep untuk membersihkan sumbatan di daerah mulut
Suctioning bila perlu
2. Pernafasan (breathing)
Lihat, dengar, rasakan udara yang keluar dari hidung/mulut, apakah ada pertukaran
hawa panas yang adekuat, frekuensi nafas, kualitas nafas, keteraturan nafas atau tidak
3. Perdarahan (circulation)
Lihat adanya perdarahan eksterna/interna
Hentikan perdarahan eksterna dengan Rest, Ice, Compress, Elevation (istirahatkan
lokasi luka, kompres es, tekan/bebat, tinggikan)
Perhatikan tanda-tanda syok/ gangguan sirkulasi : capillary refill time, nadi, sianosis,
pulsus arteri distal
4. Susunan Saraf Pusat (disability)
cek kesadaran
Adakah cedera kepala?
Adakah cedera leher?
perhatikan cedera pada tulang belakang
5. Kontrol Lingkungan (Exposure/ environmental )
2. Pemeriksaan kesadaran
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat
kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai
respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.

Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata
(Eye), bicara (Verbal) dan gerakan (Motorik). Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam
derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya.

Namun, hasil pemeriksaan GCS pada orang dewasa dan bayi jelas berbeda, karena
perbedaan respon antara orang dewasa dan bayi saat diberi rangsangan.

Pemeriksaan GCS pada orang Dewasa :


Eye (respon membuka mata) :
(4) : spontan
(3) : dengan rangsang suara (suruh pasien membuka mata).
(2) : dengan rangsang nyeri (berikan rangsangan nyeri, misalnya menekan kuku jari)
(1) : tidak ada respon

Verbal (respon verbal) :


(5) : orientasi baik
(4) : bingung, berbicara mengacau (sering bertanya berulang-ulang), disorientasi
tempat dan waktu.
(3) : kata-kata tidak jelas
(2) : suara tanpa arti (mengerang)
(1) : tidak ada respon

Motorik (Gerakan) :
(6) : mengikuti perintah
(5) : melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)
(4) : withdraws (menghindar/menarik extremitas atau tubuh menjauhi stimulus saat
diberi rangsang nyeri)
(3) : flexi abnormal (tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi
saat diberi rangsang nyeri).
(2) : extensi abnormal (tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari
mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri).
(1) : tidak ada respon

Pemeriksaan GCS pada orang Anak/Bayi :


Eye (Respon membuka Mata) :
(4) : spontan
(3) : Patuh pada perintah/suara
(2) : dengan rangsangan nyeri
(1) : tidak ada respon

Verbal (bicara) :
(5) : mengoceh
(4) : menangis lemah
(3) : menangis (karena diberi rangsangan nyeri)
(2) : merintih (karena diberi rangsangan nyeri)
(1) : tidak ada respon

Motorik (gerakan) :
(6) : spontan
(5) : menarik (karena sentuhan)
(4) : menarik (karena rangsangan nyeri)
(3) : fleksi abnormal
(2) : ekstensi abnormal
(1) : tidak ada respon

Hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS disajikan dalam simbol


E…V…M… Selanjutnya nilai-nilai dijumlahkan. Nilai GCS yang tertinggi adalah 15
yaitu E4V5M6 dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1.

Kesimpulan :
1. Composmentis : 15-14
2. Apatis : 13-12
3. Delirium : 11-10
4. Somnolen : 9-7
5. Stupor : 6-4
6. Coma : 3
Oleh karena itu maka tingkat kesadaran ini dibedakan menjadi beberapa tingkat yaitu :

 Composmentis, yaitu kondisi seseorang yang sadar sepenuhnya, baik terhadap


dirinya maupun terhadap lingkungannya dan dapat menjawab pertanyaan yang
ditanyakan pemeriksa dengan baik.
 Apatis, yaitu kondisi seseorang yang tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya.
 Delirium, yaitu kondisi seseorang yang mengalami kekacauan gerakan, siklus
tidur bangun yang terganggu dan tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi
serta meronta-ronta.
 Somnolen yaitu kondisi seseorang yang mengantuk namun masih dapat sadar
bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti akan tertidur kembali.
 Stupor, yaitu kondisi seseorang yang mengantuk yang dalam, namun masih
dapat dibangunkan dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi
tidak terbangun sempurna dan tidak dapat menjawab pertanyaan dengan baik.
 Semi-coma yaitu penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons
terhadap pertanyaan, tidak dapat dibangunkan sama sekali, respons terhadap
rangsang nyeri hanya sedikit, tetapi refleks kornea dan pupil masih baik.
 coma, yaitu penurunan kesadaran yang sangat dalam, memberikan respons
terhadap pertanyaan, tidak ada gerakan, dan tidak ada respons terhadap
rangsang nyeri.
 Untuk mengukur tingkat kesadaran tersebut salah satunya dapat dilakukan
dengan menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale)
3. Somnolen
Tingkat kesadaran secara kualitatif dapat dibagi menjadi kompos mentis, apatis,
somnolen, stupor, dan koma. Somnolen berarti seseorang dalam keadaan mengantuk
dan cenderung tertidur, masih dapat dibangunkan dengan rangsangan dan mampu
memberikan jawaban secara verbal, namun mudah tertidur kembali.
4. Tanda vital:
 tekanan darah 90/60 mmHg,

 nadi 110 kali permenit reguler teraba kecil dan cepat,

 laju pernapasan 24 kali permenit,

 SpO2 97%
Interpretasi saturasi oxygen:
1. 95-100% : dalam batas normal
2. 90-<95% : Hipoksia ringan – sedang
3. 85-<90% : Hipoksia sedang – berat
4. <85% : Hipoksia berat yang mengancam jiwa
5. Ekstremitas
6. Ekstremitas : Akral dingin (+)
Akral adalah ujung dari ekstremitas (tangan dan kaki), artinya akral merupakan ujung
dari jari-jari kaki dan tangan manusia. Istilah akral sering disebut dalam dunia medis
untuk mengetahui bagaimana perfusi(pengangkutan) oksigen ke jaringan-jaringan
perifer (jauh dari sumbu tubuh). Apabila “Akral Dingin” maka jaringan-jaringan perifer
(seperti ujung jari tangan dan kaki) kekurangan oksigen. Kekurangan oksigen pada
bagian akral paling sering disebabkan karena darah yang sampai ke bagian perifer tidak
optimal.
Gangguan kardiovaskuler pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan
dengan tanda-tanda denyut nadi cepat (> 120 x/menit), tekanan darah menurun sampai
tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, akral dingin dan kadang-kadang
sianosis.
7. Kepala leher :

1. Fraktur Le Fort tipe I (Guerin’s)


Fraktur Le Fort I merupakan jenis fraktur yang paling sering terjadi, dan
menyebabkan terpisahnya prosesus alveolaris dan palatum durum. Fraktur ini
menyebabkan rahang atas mengalami pergerakan yang disebut floating jaw.
Hipoestesia nervus infraorbital kemungkinan terjadi akibat dari adanya edema.
2. Fraktur Le Fort tipe II
Fraktur Le Fort tipe II (gambar 2.5) biasa juga disebut dengan fraktur piramidal.
Manifestasi dari fraktur ini ialah edema di kedua periorbital, disertai juga dengan
ekimosis, yang terlihat seperti racoon sign. Biasanya ditemukan juga hipoesthesia
di nervus infraorbital. Kondisi ini dapat terjadi karena trauma langsung atau karena
laju perkembangan dari edema. Maloklusi biasanya tercatat dan tidak jarang
berhubungan dengan open bite. Pada fraktur ini kemungkinan terjadinya deformitas
pada saat palpasi di area infraorbital dan sutura nasofrontal. Keluarnya cairan
cerebrospinal dan epistaksis juga dapat ditemukan pada kasus ini.
3. Fraktur Le Fort III
Fraktur ini disebut juga fraktur tarnsversal. Fraktur Le Fort III (gambar 2.6)
menggambarkan adanya disfungsi kraniofasial. Tanda yang terjadi pada kasus
fraktur ini ialah remuknya wajah serta adanya mobilitas tulang zygomatikomaksila
kompleks, disertai pula dengan keluarnya cairan serebrospinal, edema, dan
ekimosis periorbital.
 oedema regio nasal,
 nyeri pada regio maksila,
 mulut tidak bisa menutup,
 tampak nafas cuping hidung,
Pemeriksaan pernafasan langsung, perlu dilakukan untuk membuktikan apakah
pasien benar-benar bernafas lewat mulut (Moyers, 1969) . Metode yang dapat
digunakan untuk mengetahui adanya pernafasan mulut, yaitu :
o Kontrol Alar musculature (Refleks alanasi)
Pernafasan yang normal lewat hidung menghasilkan refleks otot-otot
cuping hidung (alanasi) yang baik. Saat menarik nafas, secara refleks
cuping hidung bergerak dan lubang hidung melebar (refleks alanasi
positif), sedangkan pada penderita pernafasan mulut, refleks alanasi
negatif (Salzmann, 1957; Moyers, 1969).
o Kaca mulut 2 arah
Fungsi hidung pada penderita pernafasan mulut dapat diketahui dengan
cara menempatkan kaca mulut 2 arah di bagian bibir atas. Bagian bawah
kaca yang berembun, merupakan indikasi bahwa pasien bernafas lewat
mulut (Moyers, 1969).
o (iii) Test Cotton Butterfly
Percobaan untuk mengetahui apakah pada saat pasien menarik nafas,
aliran udara masuk melalui hidung atau tidak. Percobaan ini dilakukan
dengan menggunakan kapas tipis yang bagian tengahnya dipelintir
hingga berbentuk menyerupai kupu-kupu, dan ditempelkan pada
filtrum. Amati masing-masing sayap di depan lubang hidung waktu
pasien menarik nafas. Kapas tidak bergetar menandakan tidak ada aliran
udara pernafasan lewat hidung (pasien bernafas lewat mulut), sedangkan
jika kapas bergetar, berarti pasien bernafas lewat hidung (Moyers,
1969).
 dan didapatkan floating jaw.
Floating jaw adalah suatu gerakan abnormal dari tulang Maxilla yang menandai
adanya fraktur Le Fort I
8. Thoraks: tampak luka tusuk pada dinding dada kanan lateral di sela iga 10. Luka
masih mengeluarkan darah, tetapi tidak ada sucking chest wound.
Sucking chest wound : Luka dada yang menghisap adalah lubang di dada (dari luka
tembak, tikaman atau luka tusukan lainnya) yang membuat jalur baru untuk udara untuk
masuk ke rongga dada. Ketika rongga dada diperluas untuk menarik napas, udara tidak
hanya masuk ke mulut dan hidung seperti biasa, juga masuk ke dalam lubang.
Mengisap luka dada berbahaya karena menyebabkan paru-paru kolaps (pneumotoraks).
Mengobati luka dada yang menghisap membutuhkan dua hal: menjaga udara agar tidak
masuk sementara masih membiarkan udara ekstra keluar.floating jaw
9. Abdomen: terdapat nyeri tekan sebelah kanan disertai dengan nyeri lepas. Bising usus
melemah pada perut kanan.
10. Abdomen:
terdapat nyeri tekan sebelah kanan disertai dengan nyeri lepas. Bising usus melemah
pada perut kanan. Colok dubur didapati ampulla tidak kolaps, sewaktu sarung tangan
dikeluarkan didapati feses dan darah.
- Nyeri tekan (+) Mc. Burney. Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran
kanan bawah atau titik Mc. Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
- Nyeri lepas (+) karena rangsangan peritoneum. Rebound tenderness (nyeri lepas
tekan) adalah nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah saat tekanan secara tiba-
tiba dilepaskan setelah sebelumnya dilakukan penekanan perlahan dan dalam di
titik Mc. Burney.
Auskultasi bising usus termasuk pemeriksaan fisik abdomen standar yang bertujuan
untuk membantu dokter mengetahui kelainan pada usus, termasuk obstruksi usus.
Obstruksi usus adalah kondisi gawat yang memerlukan tatalaksana segera.
Bising usus yang normal memiliki frekuensi 5–34 kali per menit. Terkadang, jarak antar
siklus bising usus mencapai 5–35 menit. Hal ini berarti bahwa pemeriksaan bising usus
yang ideal dilakukan selama >35 menit. Sebab, bising usus mungkin tidak terdengar
selama 35 menit dan hal tersebut belum tentu menandakan kelainan pada abdomen.
Meskipun demikian, pemeriksaan yang ideal tersebut sangat memakan waktu dan tidak
mungkin dilakukan. Biasanya, pemeriksaan bising usus dilakukan 30 detik–7 menit.
Selain itu, tidak semua gerakan peristaltik usus menghasilkan bising usus yang dapat
didengar melalui stetoskop. Oleh karena itu, tidak terdengarnya bising usus bukan
berarti tidak ada gerakan peristaltik.[4,5]

Tidak terdengarnya bising usus berhubungan dengan obstruksi usus, iskemia usus, ileus
paralitik, dan peritonitis. Sementara itu, peningkatan bising usus dapat disebabkan oleh
gastroenteritis, diare, penyakit inflamasi usus (inflammatory bowel disease/IBD),
penggunaan laksatif, perdarahan saluran cerna, dan obstruksi usus. Temuan lain dari
pemeriksaan auskultasi abdomen adalah bruit, hepatic venous hum, dan friction rub.
Bruit menandakan aneurisma aorta atau stenosis arteri renal. Hepatic venous hum dapat
ditemukan pada hipertensi porta, sedangan friction rub berhubungan dengan inflamasi
peritoneal, infark limpa, atau metastasis hepar.

Colok dubur didapati ampulla tidak kolaps, sewaktu sarung tangan dikeluarkan didapati
feses dan darah.
Pemeriksaan colok dubur
- Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease
- Adanya darah : strangulasi (penjeratan/pencekikan), neoplasma
- Feses yang mengeras : skibala
- Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi
- Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi
- Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis

11. Penatalaksanaan Le Fort 1


- Anamnesis : Riwayat trauma, mekanisme trauma, gejala.
- Pemeriksaan fisik : palpasi.
- Pemeriksaan radiologis : Water’s, Panoramic, sub mento-vertex dll, CTscan.
- .
- Perdarahan dan obstruksi jalan nafas perlu tindakan segera, kadang perlu
tracheostomy sebagai pilihan terakhir.
- Anastesi
- Reduksi dan fixasi bila memungkinkan segera dilakukan. Reduksi dan pemasangan
miniplate dan screw pada garis fraktur miniplate dan di fiksasi dengan screw
autodrive dengan ukuran 2,0 x 6 mm.
- Pada fraktur unilateral atau bilateral nondisplaced/displaced minimal cukup :
- intermaxillary fixation selama 4 minggu.
- Fraktur displaced memerlukan reduksi bedah langsung, untuk memperbaiki occlusi
gigi, mempertahankan reduksi.

You might also like