You are on page 1of 6

Peranan Hormon Molting Pada Crustacea

Pertumbuhan dan reproduksi krustasea diatur oleh kombinasi hormon neuropeptida, ecdysteroids
(hormon molting) dan metil farnesoate isoprenoid (MF) (Tang et al. 1999). Molting pada
decapoda crustacea dikendalikan oleh kelenjar kompleks pada tangkai mata (X-organ/sinus),
yang menghasilkan moulting inhibiting hormon (MIH), sebuah neuropeptida yang menghambat
produksi ekdisteroid oleh sepasang Y-organ (Yos) yang terletak di cephalothorax (Mykles et al.
2010).

Y-organ merupakan sumber hormon molting, disekresikan sebagai ecdysone, prekursor, untuk
hemolymph yang akan dikonversi menjadi hormon yang aktif, 20-OH-ecdysone, oleh aktivitas
20-hidroksilase pada epidermis, jaringan serta organ lainnya (Huberman 2000). Pengaruh MIH
di organ Y decapoda crustacea telah banyak diteliti, termasuk pada kepiting pantai Eropa
(Carcinus maenas), kepiting tanah punggung hitam (Gecarcinus lateralis), dan lobster berduri
Afrika Selatan (Jasus lalandii) (Mykles et al. 2010).

Gambar 1. Struktur ecdysteroid crustacea (a) ecdysone, (b) 20-OH-ecdysone, (c) 3-


dehydroecdysone

MIH rekombinan atau sintetis yang diinjeksikan secara in vivo secara signifikan memperpanjang
durasi siklus molting, menurunkan titer hemolymph ekdisteroid, atau keduanya (Chen et al.
2007). Analisis sekuen MIH yang dimurnikan dari berbagai spesies menunjukkan bahwa MIH
ini mencapai panjang 74-78 residu dan memiliki 6 residu sistein yang conserved. Berdasarkan
urutan homologi, MIH dibagi dalam family crustacea hyperglychemic hormone (CHH), yang
juga termasuk CHH (MandongaBoy 2011), vitellogenesis-inhibiting hormone (VIH) atau gonad-
inhibiting hormone (GIH), dan mandibular organ-inhibiting hormone (MOIH), serta anggota
peptide lain yang ditemukan dalam spesies non-crustacea. Karakterisasi molekuler prekursor
MIH menunjukkan bahwa prekursor ini terdiri dari sinyal peptida dan MIH dewasa.
Berdasarkan hal ini dan karakteristik sekuen lainnya, diusulkan bahwa MIH, dengan VIH dan
MOIH, merupakan sub kelompok tipe II, sedangkan CHH, prekursor yang terdiri dari sinyal
peptida, peptida CHH terkait, dan CHH dewasa, membentuk tipe subkelompok (Chen et al.
2007).

Gambar 2. Sekuens asam amino MIH peptida (Huberman, 2000).


1. Crustacea Hyperglychemic Hormone (CHH)

Neuropeptida lain yang terdapat pada tangkai mata yang berhubungan dengan dengan
aktivitas MIH adalah crustacea hyperglycemic hormon (CHH), dinamakan demikian karena
perannya dalam meningkatkan kadar glukosa dalam hemolymph. CHH dapat menghambat
molting sebagai respon terhadap tekanan lingkungan tertentu. CHH/MIH-like peptide tidak sama
seperti yang terdapat pada serangga. Transpor ion oleh CHH-like peptida hanya untuk
transportasi Cl di epitel hindgut (Mykles et al. 2010). Sedangkan pada serangga transpor ion
peptida (ITP) terjadi untuk Cl-, Na+, K+, dan penyerapan cairan serta menghambat sekresi H+
terjadi pada cardiacum corpus (Huberman 2000). Antara CHH dan MIH saling berkaitan dalam
hal pengikatan reseptor independen (Gambar 3.).

Gambar 3. Siklik aksi nukleotida pada Y-organ Decapoda (Yo). Neuropeptida, crustacea
hyperglycemic hormon (CHH), dan molt-inhibiting hormon (MIH) mengikat reseptor
independen pada membran plasma Yo (Mykles et al. 2010)

Reproduksi crustacea diatur oleh rantai kompleks interaksi hormonal dimana yang memainkan
peranan dalam proses ini adalah hormon krustasea hyperglycaemic A dan B (CHH-A dan CHH-
B) dan gonad inhibiting hormone (GIH). Neurohormonnya diproduksi di sel neuroendokrin
yang sama dengan kelenjar kompleks sinus organ X, yang terletak di tangkai mata. CHH-A dan-
B yang terlibat memicu timbulnya vitellogenesis dan CHH-B sendiri, khusus bertanggung jawab
untuk merangsang pematangan oosit sebelum pemijahan, sedangkan GIH mencegah awal
vitellogenesis di ovarium (De Kleijn et al. 1998).

CHH merupakan neuropeptida paling melimpah di sinus gland. Peran sentral mereka
pada pengaturan metabolisme karbohidrat serta berperan dalam metabolisme lemak. Pada
kepiting Chasmagnathus granulata dan C. maenas, dan pada lobster, ablasi tangkai mata
menyebabkan penurunan lipid total hemolymph pada C. granulata, penurunan asam lemak bebas
pada C. maenas. CHH meningkatkan pelepasan in vitro asam lemak (MandongaBoy 2011) bebas
dan fosfolipid dari hepatopankreas O. limosus. Sebuah peran yang lebih kompleks CHH di
kontrol metabolik ini dibuktikan dengan signifikan mengikat organ-organ yang berbeda seperti
hepatopankreas, jantung, epidermis dan Y-organ. Hal ini juga kemungkinan bahwa isomorphs
berbeda dari CHH memiliki fungsi dan reseptor yang berbeda. Dalam otot lobster, menunjukkan
bahwa CHH menghasilkan ketinggian GMP siklik, dengan aktivasi adenilat membran dan bukan
oleh penghambatan fosfodiesterase (Huberman 2000). Adapun urutan sekuen asam amino pada
CHH dapat dilihat pada gambar 4. berikut :
Gambar 4. Amino acid sequences of CHH peptides (Huberman, 2000)

Telah ditunjukkan bahwa CHH memiliki multifungsi. Semua isoform CHH memiliki efek
hyperglycaemic, CHH-B dapat merangsang pertumbuhan oosit dan CHH-A dapat menampilkan
aktivitas molt-inhibiting. Selain itu, efek ablasi tangkai mata dan implantasi ganglia
toraks/abdomen menunjukkan keberadaan suatu hormon vitellogenic-stimulating. mRNA CHH-
A dan-B juga terdapat pada bagian sistem saraf selain ganglia optik, yang menunjukkan bahwa
CHH mungkin memiliki peran tambahan dalam kontrol reproduksi dan molting (De Kleijn et al.
1998).

Crustacea hyperglycaemic hormon (CHHs) dari kelenjar sinus sistem X-organ (SG)
neurosecretory di tangkai mata crustacea terlibat dalam pengaturan glukosa darah dan lipid,
sekresi enzim hepatopancreatic, produksi Y-organ ekdisteroid dan transportasi insang ion.

2. Gonad-Inhibiting Hormone (GIH)

Reproduksi crustacea betina dikendalikan oleh sistem endokrin yang rumit. Kegiatan selular
yang terjadi selama perkembangan ovarium disebut proses vitellogenesis, yang merupakan
proses dimana vitellogenin (Vg), suatu prekursor protein kuning telur, diakumulasikan di dalam
oosit yang sedang berkembang. Vitellogenesis merupakan langkah penting dalam pematangan
ovarium. Vg dapat disintesis di ovarium dan / atau situs nonovarian lain seperti hepatopankreas.
Sintesis Vg dan pematangan ovarium diatur oleh faktor endokrin tangkai mata disebut sebagai
vitellogenesis-inhibiting hormon (VIH) atau gonad-inhibiting hormon (GIH) (Treerattrakool et
al. 2008).

Gonad-inhibiting hormon (GIH), juga disebut vitellogenesis-inhibiting hormon (VIH) penting


dalam menghambat proses vitellogenesis. Bersama-sama dengan hormon molt-inhibiting (MIH),
neurohormon ini termasuk dalam keluarga neuropeptida CHH/MIH/VIH. Semuanya diproduksi
di sel neuroendokrin dari terminalis medula organ X, terlokalisasi dalam tangkai mata crustacea,
dan diangkut ke ujung akson cluster dari sel-sel yang membentuk organ aneurohemal
(MandongaBoy 2011), kelenjar sinus. Detil tentang hibridisasi in situ dan studi
immunocytochemical mengungkapkan bahwa sering terjadi co-localization dari dua
neurohormonnya dalam tangkai mata lobster (De Kleijn et al. 1998).

Dibandingkan dengan CHH dan MIH, hanya sejumlah terbatas GIH telah diketahui. Peptida GIH
yang pertama diisolasi secara in vivo berasal dari lobster Amerika Homarus americanus. Peptida
lain yang mampu untuk menekan ekspresi Vg mRNA dalam fragmen ovarium adalah Pej-SGP-
III Marsupenaeus japonicus. Demikian pula, pendekatan yang sama digunakan untuk pengujian
aktivitas VIH pada lobster Procambarus bouvieri. MIH-B dari udang Metapenaeus ensis,
meskipun mampu memperluas siklus molting, dapat dianggap sebagai kandidat lain untuk GIH
karena tingkat mRNA dari peptida ini menurun tajam selama fase awal pematangan gonad dan
meningkatkan terus-menerus saat proses vitellogenic (MandongaBoy 2011). Encoding cDNA
GIH-like peptida juga ditemukan dalam beberapa spesies lain seperti lobster Norwegia Nephrops
norvegicus dan udang Macrobrachium rosenbergii (Treerattrakool et al. 2008).

Hasil penelitian terhadap beberapa jaringan pada P. monodon menunjukkan bahwa terdapat
persamaan terhadap ekspresi Pem-GIH pada udang jantan dewasa dan betina dewasa serta pada
udang remaja (Gambar 5.)

Gambar 5. Expression of Pem-GIH in different tissues of P. monodon. RT-PCR products were


amplified from the total RNA of eyestalk (ES), brain (B), thoracic nerve (TG), abdominal nerve
cord (Nc), heart (H), hepatopancreas (Hp) and muscle (M) (Treerattrakool et al. 2008).

Adapun sekuen yang diperoleh pada suatu penelitian terhadap P. monodon dapat dilihat pada
gambar 6. berikut.

Gambar 6. Nucleotide and deduced amino acid sequences of Pem-GIH (Treerattrakool et al.
2008)

3. Mandibular Organ-Inhibiting Hormone (MOIH)

Pertumbuhan dan reproduksi crustacea diatur oleh kombinasi hormon neuropeptida,


ecdysteroids (molting hormon) dan metil farnesoate isoprenoid (MF). MF disintesis dan
dikeluarkan dari pasangan organ mandibula, sintesis yang sedang dimodulasi oleh satu atau lebih
neuropeptida diproduksi dan dirilis dari X-organ kelenjar kompleks tangkai mata. Pemurnian
dan penentuan struktur primer dari 78-residu sinus neuropeptida, mandibular organ-inhibiting
hormon (MO-IH-1) dan varian, MO-IH-2, yang menghambat sintesis MF pada decapoda
krustasea C. pagurus. Peptida ini adalah bagian dari molting-inhibiting hormon (MIH) kelompok
dalam crustacea hyperglycaemic hormon (CHH), keluarga neuropeptida. MIH secara negatif
mengatur produksi ekdisteroid dalam Y-organ (Tang et al. 1999).

Hasil penelitian Tang et al. (1999) yang menganalisis distribusi dan ukuran MO-IH pada jaringan
C. pagurus menunjukkan bahwa MO-IH paling banyak ditemukan pada bagian mata dan X-
organ sebanyak 950 pasang basa (bp), seperti yang terlihat pada gambar 7.
Untuk tumbuh dan berkembang, krustasea akan melakukan molting, sehingga cangkang lamanya
terlepas dan digantikan dengan cangkang baru yang akan menutupi seluruh bagian tubuhnya.
Semakin sering krustasea mengalami molting, maka semain cepat pula perkembangannya,
karena bobot badan benih krustasea tersebut akan bertambah setiap kali mengalami molting.
Molting atau proses ‘ganti kulit’ merupakan proses alamiah yang terjadi pada setiap jenis
krustasea. Sebagai hewan dengan eksoskeleton atau kerangka luar, krustasea perlu mengganti
kerangkanya tersebut jika tubuhnya membesar, karena kerangka luar yang mengandung kitin dan
kapur tidak ikut tumbuh seiring pertumbuhan tubuhnya.

Untuk itu hewan jenis krustasea harus keluar dari kerangka lamanya dan membentuk kerangka
baru. Molting merupakan proses yang rumit, dalam perjalanannya proses ini banyak melalui
proses bersifat hormonal. Setidaknya ada dua jenis hormone yang terlibat dalam proses molting
ini, yaitu hormone Ecdysis dan Molt Inhibiting Hormone.
Proses molting pada krustasea terdiri dari 5 tahapan, yaitu fase pre-molt, molt, post molt,
intermolt awal dan intermolt akhir. Fase – fase tersebut antara lain :
1) Fase pre-molt, yakni fase pengumpulan ion kalsium dalam lambung yang berasal dari jaringan
kulit maupun dari lingkungan perairan, akibat dari pengumpulan ion kalsium ini terbentuk kerikil
kapur berwarna putih yang disebut dengan gastrolith
2) Fase molt, yakni fase pelepasan cangkang dan pengangkutan ion kalsium untuk memenuhi
jaringan kulit baik dari luar maupun dari dalam tubuh, sehingga ketika mencapai fase ini,
lingkungan perairan akan menjadi asam (pH rendah) karena pengaruh dari pengangkutan ion
kalsium untuk memenuhi jaringan kulit pada pembentukan eksoskeleton baru
3) Fase post-molt ialah fase dimana gastrolith yang terbentuk dalam lambung diuraikan oleh
asam lambung untuk memenuhi kalsium tubuh karena telah berkurang setelah digunakan untuk
pembentukan eksoskeleton baru. Pada fase ini biasanya hewan krustasea akan kembali memakan
eksoskeleton lama yang telah ditanggalkannya untuk memenuhi kebutuhan kalsium tubuh,
karena penguraian gastrolith tidak cukup
4) Fase intermolt awal ialah fase dimana tubuh krustasea akan mengalami homeostatis kalsium,
yakni proses yang bertujuan untuk menyeimbangkan kandungan ion kalsium tubuh dengan ion
kalsium diperairan. Selain itu, pada fase ini terjadi pula pertumbuhan jaringan somatik antara
periode sesudah ganti kulit (post molt) dan awal antara ganti kulit
5) Fase intermolt akhir ialah fase dimana kondisi tubuh berada dalam keadaan normal, dan ion
kalsium terdapat pada hepatopankreas
Periode antar ganti kulit (intermolt) pada krustasea dapat berlangsung selama kurang dari 24 jam
hingga 2 atau 3 hari. Frekuensi pergantian cangkang akan selalu beriringan dengan pertambahan
umur, pada saat masih kecil, molting terjadi setiap hari, saat juvenil terjadi setiap 10 hari,
sedangkan setelah dewasa terjadi 4 – 5 kali setahun, ketika sudah menjadi induk dan pernah
memijah biasanya melakukan molting 1 – 2 kali setahun.
Lama periode ganti kulit disebabkan oleh faktor dalam termasuk hormon, dan faktor luar seperti
suhu dan ketersediaan pakan. Setiap molting, cherax kehilangan lebih dari 90% kalsium yang
berasal dari eksoskeleton, akibatnya cherax menyerap kalsium dari makanan dan air tempat
tinggalnya.
Udang galah mengalami molting setiap 20 – 40 hari. Frekuensi molting dipengaruhi oleh kondisi
fisik udang, jenis kelamin, kualitas dan kuantitas pakan, dan kualitas air . Selama proses molting,
udang galah cenderung tidak aktif dan akan sering berdiam dalam tempat persembunyiannya
untuk menyusun kontraksi otot, membengkokkan abdomen dan melepaskan kaki renang.
Kulit yang masih baru biasanya masih tipis dan lembek kurang lebih selama 3-6 jam.
Pertumbuhan yang sangat cepat terjadi pada saat kulit baru masih lembek dengan bantuan
penyerapan air yang banyak. Pada saat itu keadaan udang sangat lemah sehingga mudah diserang
udang lainnya dan dapat terjadi kanibalisme jika tidak terdapat suatu pelindung sebagai tempat
berlindung.

Sumber https://www.jatikom.com/2016/12/5-tahap-proses-molting-pada-
krustasea.html#ixzz5JFbCE1fn

You might also like