You are on page 1of 21

Bagian Ilmu Penyakit Mata REFERAT

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

TRAKOMA

Disusun Oleh :

Atika Cahyani Putri NIM. 1710029044


Claudya Rhenta NIM 1710029035
Rosdiana NIM 1710029052
Siti Saleha NIM 1710029039

Pembimbing :
dr. Baswara N.E.W, Sp.M

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Pada Bagian Ilmu Penyakit Mata
Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman
2018
Referat

TRAKOMA

Sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian stase Ilmu Penyakit Mata

Atika Cahyani Putri


Claudya Rhenta
Rosdiana
Siti Saleha

Menyetujui,

dr. Baswara N.E.W, Sp.M

Laboratorium / SMF Ilmu Penyakit Mata


Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
November 2018

2
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
rahmat, hidayat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat
berjudul “Trakoma”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan laporan kasus ini tidak
lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Baswara N.E.W, Sp. M sebagai dosen pembimbing klinik dalam penulisan
referat ini.
2. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK UNMUL khususnya staf pengajar
Lab/SMF Ilmu Penyakit Mata terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan
kepada kami.
3. Kepada pasien-pasien yang telah bersedia kami periksa, terima kasih telah
membantu saya dalam proses pembelajaran di RSUD AWS/FK UNMUL.
4. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Penyakit Mata RSUD AWS/FK
UNMUL dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung
maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
5. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis.
Penulis membuka diri untuk berbagai saran dan kritik yang membangun
guna Akhir kata penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari para pembaca untuk perbaikan kepenulisan di masa mendatang.

Samarinda, November 2018

Penulis

3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ 3
DAFTAR ISI ....................................................................................................... 4
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 5
1.1. Latar Belakang .............................................................................................. 6
1.2. Tujuan ........................................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 16
2.1. Trakoma ......................................................................................................... 16
2.1.1 Anatomi Konjungtiva............................................................................ 16
2.1.2 Definisi Trakoma .................................................................................. 17
2.1.3 Epidemiologi ......................................................................................... 18
2.1.4 Etiologi ................................................................................................. 20
2.1.5 Patofisiologi ......................................................................................... 20
2.1.6 Perjalanan penyakit & Tanda Klinis .................................................... 20
2.1.7 Grading Trakoma .................................................................................. 20
2.1.8 Diagnosa .............................................................................................. 20
2.1.9 Penatalaksanaan ................................................................................... 20
2.1.10Kriteria Kesembuhan .......................................................................... 20
2.1.11 Komplikasi & Sekuele ....................................................................... 20
2.1.12Prognosis ............................................................................................. 20
BAB III PENUTUP ............................................................................................ 39
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 41

4
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Trakoma adalah suatu penyakit tertua yang terkenal di dunia sejak dahulu.
Penyakit ini dikenal sebagai penyebab trikiasis sejak abad ke 27SM dan mengenai
semua ras. Dengan 400 juta penduduk dunia yang terkena, penyakit ini
menjadi salah satu penyakit kronik yang paling banyak dijumpai.
Prevalensi dan berat penyakit yang beragam per regional dapat dijelaskan
dengan dasar variasi hygiene perorangan dan sandart kehidupan masyarakat
dunia, kondisi iklim tempat tinggal, usia saat terkena, serta frekuensi dan
jenis infeksi mata bakterial yang sudah ada. Trakoma yang
membutakan terdapat pada banyak daerah di afrika, beberapa daerah di
asia, diantaranya suku aborigin di Australia, dan di Brasil Utara. Masyarakat
dengan trakoma yang lebih ringan dan tidak dapat membutakan terdapat di
daerah-daerah yang sama, dan beberapa daerah amerika latin serta
kepulauan pasifik (Vaughan & ashbury, 2007).
Cara penularan penyakit ini adalah melalui kontak langsung dengan
sekret penderita trakoma atau melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti
handuk, alat-alat kecantikan dan lain-lain. Periode inkubasi 5-14 hari dengan rata2
sekitar 7 hari. Penularan terjadi terutama antara anak-anak dan wanita yang
merawatnya. Beberapa sumber mengkarakteristikkan siklus penularan ini
digambarkan bahwa trakoma sebagai disease of day nursery. Ep i s o d e
b e r u l a n g d a r i r e i n f e k s i d a l a m k e l u a r g a m e n ye b a b k a n k r o n i k
folikular atau inflamasi konjungtiva berat dan trakoma aktif, yang
menimbulakan scarring konjungtiva tarsal. Scarring pada konjungtiva
tarsal atas, pada sebagian individu, berlanjut menjadi entropion dan
trikhiasis dan (cicatrical trachoma). Hasil akhirnya menimbulkan antra lain
abrasi kornea, ulkus kornea dan opasifikasi, dan akhirnya kebutaan. Pencegahan
trakoma berkaitan dengan kebutaan membutuhkan banyak intervensi.
WHO menerapkan strategi Surgery, Antibiotics, Facial Cleanliness, dan

5
Environmental Improvement (SAFE) untuk mengontrol trakoma (Salomon,
Anthony & Hugh, 2010).

1.2 Tujuan
1. Sebagai salah satu syarat dalam menjalani proses pendidikan di laboratorium
Ilmu Penyakit Mata.
2. Menambah pemahaman mengenai penyakit trakoma dari mekanisme
terjadinya hingga pengobatan.

6
BAB II
ISI

2.1 Trakoma
2.1.1 Anatomi Konjungtivitis
Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis dan transparan
yang membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva
palpebralis) dan permukaan anterior sclera (konjungtiva bulbaris).
Konjungtiva mendapat vaskularisasi dari arteria ciliaris anterior dan
arteria palpebralis, serta diinervasi oleh cabang nervus trigeminus.
(Thyleforts B, Negrel AD, Pararajasegaram R, Dadzie KY. Global
Data on Blindness. Bull World Health Organization, 2005;73:115-121)
Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak
mata dan melekat erat ke tarsus1. Di tepi superior dan inferior tarsus,
konjungtiva melipat ke posterior (pasa formiks superior dan inferior)
dan membungkus jaringan episkera menjadi konjungtiva bulbaris.
Konjungtiva bulbaris melekat longgar ke septum orbital di formiks dan
melipat berkali-kali. Adanya lipatan-lipatan ini memungkinkan bola
mata bergerak dan memperbesar permukaan konjungtiva sekretorik1.
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh
sel Goblet yang berfungsi membasahi bola mata terutama kornea.
Bermacam-macam obat mata dapat diserap melalui konjungtiva4.
Konjungtiva selalu berhubungan dengan dunia luar, tetapi dalam
keadaan normal hampir selalu steril, hal ini aleh karena adanya
mekanisme pertahanan konjungtiva terutama oleh adanya tear film
pada permukaan konjungtiva yang berfungsi melarutkan kotoran
kotoran dan bahan bahan toksis dan kemudian mengalirkannya melalui
saluran lakrimalis kedalam meatus nasi inferior.4(Thyleforts B, Negrel
AD, Pararajasegaram R, Dadzie KY. Global Data on Blindness. Bull
World Health Organization, 2005;73:115-121)

7
Gambar 1. Anatomi konjungtiva (Sumber: Haq dkk)

2.1.2 Definisi Trakoma

Trakoma adalah keradangan konjungtiva yang akut, sub akut atau kronis
yang disebabkan oleh Chlamidia Trachomatis. Infeksi ini menyebar melalui
kontak langsung dengan sekret kotoran mata penderita trakoma atau melalui alat-
alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan dan lain-lain.
Penyakit ini sangat menular dan biasanya menyerang kedua mata. Bila ditangani
secepatnya, trakoma dapat disembuhkan dengan sempurna. Namun bila terlambat
dalam penanganannya, trakoma dapat menyebabkan kebutaan5

2.1.3 Epidemiologi

Insidensi konjungtivitis di Indonesia pada tahun 2007 berkisar antara 2 –


75%. Data perkiraan jumlah penderita penyakit mata di Indonesia adalah 10% dari
seluruh golongan umur penduduk per tahun dan pernah menderita konjungtivitis.
Data lain menunjukkan bahwa dari 10 penyakit mata utama, konjungtivitis
menduduki tempat kedua (9,7%) setelah kelainan refraksi (25,35%).2,3

Secara umum, trakoma diderita oleh sekitar 84 juta orang di 55 negara yang
endemis, dan sekitar 1,3 juta orang diantaranya buta karena penyakit mata ini.
Penyakit ini ditunjukkan pada hasil tertinggi nya yaitu pada usia 3-5 tahun. Infeksi
mata ini banyak ditemukan di daerah Semenanjung Balkan. Ras yang banyak
terkena ditemukan pada ras Yahudi, penduduk asli Australia dan Indian Amerika.
Trakoma yang membutakan terdapat pada banyak daerah Afrika, beberapa daerah

8
Asia, diantara suku Aborigin Australia, dan di Brazil Utara. Trakoma yang lebih
ringan yang tidak membutakan terdapat di daerah yang sama dan di beberapa
daerah Amerika Latin dan Pulau Pasifik. 3

Trias epidemiologi trakoma terbagi menjadi 3 yaitu host, agent dan


environment. Host-nya adalah manusia terutama pada remaja dan anak-anak yang
berumur 3-5 tahun. Agent dari penyakit trakoma ini yaitu Chlamidia trachomatis.
Environment-nya adalah lingkungan sosial dan ekonomi yaitu lingkungan yang
higienenya kurang dan ekonomi bawah lebih rentan terjangkit penyakit mata ini.
Cara penularan dari penyakit ini yaitu melalui :
 Melalui kontak langsung dengan sekret yang keluar dari mata yang terkena
infeksi atau dari discharge nasofaring.
 Sejenis lalat, terutama jenis Musca sorbens di Afrika dan Timur Tengah
dan spesies jenis Hippelates di Amerika bagian selatan
 Alat-alat kebutuhan sehari-hari yang telah terkontaminasi (misalnya handuk
atau saputangan)

Gambar 2. Cara Penularan Trakoma

9
2.1.4 Etiologi

Trakoma disebabkan oleh Chlamidia trachomatis serotipe A, B, Ba, atau C.


Masing- masing serotipe ditemukan di tempat dan komunitas yang berbeda beda.
Chlamidia ini termasuk bakteri gram negatif, Ordo Chlamydiales, family
Chlamydiaceae dan Genus Chlamydia. Spesies C trakomatis menyebabkan
trakoma, sedangkan serotype D-K menyebabkan infeksi kelamin dan
limfogranulomavenerum (serotipe L1-L3). Serotipe D-K biasanya menyebabkan
konjungtivitis folikular kronis yang secara klinis sulit dibedakan dengan trakoma,
termasuk konjungtivitis folikular dengan pannus, dan konjungtiva scar. Namun,
serotipe genital ini tidak memiliki siklus transmisi yang stabil dalam komunitas.
Karena itu, tidak terlibat dalam penyebab kebutaan karena trakoma. 1,4

2.1.5 Patofisiologi

Chlamydia trachomatis memiliki kecendrungan untuk menginfeksi kedua


mata. Pada stadium dini, penyakit ini mirip dengan konjungtivitis pada umumnya,
yaitu mata merah dan didapatkan folikel maupun hipertropi papiler pada tarsus
bagian atas. Hipertropi papiler dan inflamasi konjungtiva mengakibatkan sikatrik
konjungtiva yang dapat menyebabkan penyulit-penyulit yang ringan maupun
berat, pada sikatriks yang berat dapat terjadi “tear deficiency syndrome’ (
Soewono & Oetomo, 2006).

Kelainan di kornea dapat berupa epithelial keratis, subepithelial keratis,


infiltrate disertai neovaskularisasi (pannus) ulkus kornea, sikatrik folikel-folikel di
limbus yang disebut Herbert’s pits. Entropion dan trikiasis, terjadi akibat sikatrik
konjungtiva yang hebat, dimana bulu-bulu mata menggores kornea dan
mengakibatkan ulkus kornea, kadang- kadan perforasi kornea ( Soewono &
Oetomo, 2006).

Infeksi menyebabkan inflamasi, yang predominan limfositik dan infiltrat


monosit dengan plasma sel dan makrofag dalam folikel. Gambaran tipe folikel
dengan pusat germinal dangan pulau- pulau proliferasi sel B yang dikelilingi
sebukan sel T. Infeksi konjungtiva yang rekuren menyebabkan inflamasi yang
lama menyebabkan conjungtival scarring. Scarring diasosiasikan dengan atrofi

10
epitel konjungtiva, hilangnya sel goblet, dan pergantian jaringan normal, longgar
dan stroma vaskular subepitel dengan jaringan ikat kolagen tipe IV dan V.5

2.1.6 Perjalanan Penyakit dan Tanda Klinis

Secara klinis, trakoma dapat dibagi menjadi fase akut dan fase kronis,
tetapi tanda akut dan kronis dapat muncul dalam waktu yang bersamaan dalam
satu individu. Derajat keparahan dari infeksi mata oleh Chlamydia trachomatis
dapat ringan sampai dengan berat. Banyak infeksinya bersifat asimtomatis. Sesuai
dengan masa inkubasinya yaitu 5-10 hari, infeksi konjungtiva menyebabkan
iritasi, mata merah, dan discharge mukopurulen. Keterlibatan kornea pada proses
inflamasi akut dapat menimbulkan nyeri dan fotofobia. Secara umum, gejala lebih
ringan dari tampilan mata.
Tanda awal infeksi yang kurang spesifik adalah vasodilatasi dari
pembuluh darah konjungtiva. Perubahan spesifik terjadi beberapa minggu setelah
infeksi, yaitu dengan munculnya folikel-folikel pada konjungtiva fornics,
konjungtiva tarsal dan limbus. Folikel adalah adalah limfoid germinal dan
ditemukan dibawah lapisan epitel. Folikel terlihat sebagai massa abu-abu atau
creamy dengan diameter 0,2%3,0 mm. Tidaklah normal bila ditemukan satu atau
dua folikel pada mata yang sehat, tertama di canthi lateral atau medial. Karena
lapisan superfisial dari stroma konjungtiva memilikim sedikit jaringan limfoid
sampai kurang lebih 3 bulan setelah lahir, neonatus tidak mampu menahan respon
folijular terhadap infeksi mata oleh Chlamydia. Papil juga dapat terlihat pada fase
ini.
Pada kasus ringan terlihat titik-titik merah kecil dengan mata telanjang.
Dengan bantuan slit lamp, papil terlihat sebagai pembengkakan kecil konjungtiva,
dengan vaskularisasi di tengahnya. Ketika inflamasi bertambah berat, reaksi
papilar pada konjungtiva tarsal diasosiasikan dengan penebalan
konjungtiva, pertambahan vaskularisasi pembuluh tarsal, dan kadang kadang
edema palpebra. Bila kornea terlibat pada proses inflamasi, keratitis punctata
superficialis dapat dideteksi dengan tes flouresensi. Infiltrat superficial atau
pannus (infiltrasi subepitel dari jaringan fibrovaskular ke perifer kornea

11
mengindikasikan inflamasi kornea. Folikel, papil dan tanda kornea lain adalah
tanda dari fase aktif, namun pannus dapat bertahan setelah fase aktif.
Resolusi dari folikel ditandai dengan terjadinya scarring pada subepitel
konjungtiva. Deposisi dari skar biasanya di konjungtiva tarsal atas, malaupun
konjungtiva fornces, konjungtiva bulbi dan daerah atas kornea dapat terkena. Di
daerah endemis trakoma, sikatrik pada daerah tarsal karena episode infeksi
berulang menjadi dapat terlihat secara makroskopis dengan mengeversi palpebra
atas, nampak seperti plester putih dengan latar konjungtiva yang eritematous. Di
limbus, pergantian folikel menjadi scar mengahasilkan formasi depresi
translusen pada corneoscleral junction yang disebut Herbert’s pits.
Bila scar pada konjungtiva tarsal cukup banyak berkumpul, menyebabkan
kelopak mata atas menekuk ke dalam dan menyebabkan bulu mata mengenai bola
mata, hal ini disebut trikiasis. Ketika semua bagian kelopak mengarah ke dalam
disebut entropion. Trikiasis sangat mengiritasi. Penderita kadang mencabut sendiri
bulu mata atau memplester kelopak mata agar mengahadap ke luar.
Selain nyeri, trikiasis juga mencederai kornea, sebagai efek abrasi kornea dapat
terjadi infeksi sekunder oleh jamur atau bakteri. Karena sikatrik bersifat opak
maka penglihatan dapat terganggu bila mengenai daerah sentral kornea.

2.1.7 Grading Trakoma


Pembagian menurut McCallan

12
Pembagian menurut WHO Simplified Trachoma Grading Scheme
1. Trakoma Folikular (TF)

 Trakoma dengan adanya 5 atau lebih folikel dengan diameter 0,5 mm di


daerah sentral konjungtiva tarsal superior. Follikel follikel menonjol bulat
dan tampak lebih pucat dari konjungtiva sekitarnya
 Bentuk ini umumnya ditemukan pada anak-anak, dengan prevalensi
puncak pada 3-5 tahun

2. Trachomatous inflamation intense (TI)

 TI: Terjadi penebalan konjungtiva tarsal akibat proses keradangan.


Konjungtiva tarsal superior tampak lebih merah, kasar dan menebal serta
banyak terdapat follikel.
 Papil terlihat dengan pemeriksaan slit lamp

13
3. Sikatrik Trakoma (TS)

 Ditandai dengan adanya sikatrik yang mudah terlihat pada konjungtiva


tarsal.
 Memiliki resiko trikiasis ke depannya, semakin banyak sikatrik
semakin besar resiko terjadinya trikiasis.

4. Trachomatous Trichiasis (TT)

 Ditandai dengan adanya bulu mata yang mengarah ke bola mata. Minimal
terdapat satu bulu mata yang menggores bola mata.
 Potensial untuk menyebabkan opasitas kornea

5. Corneal opacitiy (CO)

 Ditandai dengan kekeruhan kornea yang terlihat di atas pupil.

14
 Kekeruhan kornea menandakan prevalensi gangguan visus atau kebutaan
akibat trakoma

2.1.8 Diagnosa
Riwayat Penyakit
Trakoma aktif biasanya ditemukan pada anak anak, dan penduduk pada
daerah endemis, hanya menimbulkan sedikit keluhan. Penderita dengan
trikiasis bisa simtomatis. Beratnya keluhan bergantung pada banyaknya bulu mata
yang menyentuh bola mata, ada atau tidaknya abrasi kornea, dan ada
tidaknya blefarospasme.
Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan mata untuk tanda-tanda klinis dari trakoma
meliputi pemeriksaan yang teliti terhadap bulu mata, kornea dan limbus,
kemudian eversi palpebra atas, dan inspeksi konjungtiva tarsal. Binocular Loupes
(x2,5) dan pencahayaan yang cukup dibutuhkan, bila memungkinkan slit lamp
dapat digunakan.
Pemeriksaan laboratorium
Mikroskopis, kultur sel, direct fluorescent antibody, enzyme
immunoassay, serology, PCR, direct hybridization probe test, Ligasse chain
reaction, Strand displacement assay, quantitative PCR.

Penegakkan Diagnosa
Diagnosa trakoma ditegakkan berdasarkan:
A. Gejala Klinik:
Bila terdapat 2 dari 4 gejala klinik yang khas, sebagai berikut:
1. Adanya prefolikel di konjungtiva tarsalis superior
2. Folikel di konjungtiva forniks superior dan limbus kornea 1/3 bagian atas
3. Panus aktif di 1/3 atas limbus kornea
4. Sikatrik berupa garis-garis atau bintang di konjungtiva palpebra / forniks
superior, Herbert’s pit di limbus korne 1/3 bagian atas
B. Kerokan konjungtiva, yang dengan pewarnaan giemsa dapat ditemukan
badan inklusi Halbert staedter Prowaseki. Diagnosa trakoma juga dapat

15
ditegakkan bila terdapat satu gejala klinis yang khas ditambah dengan
kerokan konjungtiva yang menghasilkan badan inklusi.
C. Biakan kerokan konjungtiva dalam yolk sac, menghasilkan badan
inklusi dan badan elementer dengan pewarnaan giemsa.
D. Tes serologis dengan
1. Tes fiksasi komplemen, untuk menunjukkan adanya antibodi terhadap
trakoma, dengan menggunakan antigen yang murni. Melakukannya mudah
tak memerlukan peralatan canggih, cukup mempergunkan antigen yang
stabil, mudah didapat di pasaran. Mempunyai nilai diagnostik yang tinggi.
2. Tes mikro-imunofluoresen, menentukan antibodi antichlamydial yang
spesifik, beserta sifat-sifatnya (IgM, IgA, IgM). Lebih sukar dan
memerlukan peralatan canggih.

2.1.9 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan trakoma menurut WHO adalah dengan menggunakan
strategi SAFE (Surgical care, Antibiotics, Facial cleanliness, Enviromental
improvement).
1. Terapi antibiotik
Dua antibiotik yang direkomendasikan oleh WHO adalah azitromisin oral
dan salep mata tetrasiklin
 Azitromisin lebih baik dari tetrasiklin, namun lebih mahal
 Konsentrasi azitromisin di plasma rendah, namun di jaringan
tinggi. Hal ini menguntungkam untuk mengatasi organisme
intraseluler
 Azitromisin adalah drug of choice dengan alasan mudah diberikan
dengan single dos, pemberian dapat dipantau, sehingga compliance
nya lebih tinggi dari tetrasiklin
 Azitromisin memiliki efikasi yang tinggi, dan efek samping yang
rendah. Efek sampingnya : gangguan GI dan rash
 Dosis azitromisin :
 Dewasa  1gr/oral/hari
 Anak-anak  20 mg/kgBB/oral/hari

16
 Salep tetrasiklin 1% untuk mecegah sisntesis bakteri protein
dengan dinding unit ribosom 30S dan 50S, digunakan bila
azitromisin tidak ada. Efek samping sistemik minimal. Dapat
digunakan untuk kedua mata selama 6 bulan.
2. Tindakan bedah
 Pembedahan kelopak mata, dengan tujuan untuk memperbaiki
trikiasis, yang memiliki risiko tinggi terhadap gangguan visus dan
penglihatan
 Rotasi kelopak mata membatasi perlukaaan kornea. Beberapa
kasus dapat memperbaiki visus, karena merestorasi permukaan
visual dan pegurangan sekresi okular dan blefarospasme
3. Kebersihan wajah
 Studi epidemiologi mnunjukkan bahwa kebersihan wajah pada
anak-anak dapat menurunkan risiko dan keparahan dari trakoma
aktif
4. Peningkatan sanitasi lingkungan
 Penyuluhan peningkatan sanitasi rumah dan sumber air, dan
pembuangan feses manusia dengan baik
 Lalat dapat mentransmisikan trakoma, bertelur di feses manusia
yang terdapat di permukaan tanah6.

2.1.10 Kriteria kesembuhan


Kriteria kesembuhan berdasarkan pemeriksaan mata (inspeksi)
tanpa menggunakan alat bantu, pada pengobatan masal adalah :

 Folikel (-)
 Infiltrat kornea (-)
 Panus aktif (-)
 Hiperemia (-)
 Konjungtiva, ada sikatrik namun tampak licin

Pada kasus individual, kiteria pemyembuhan harus ditambah dengan :


 Pemeriksaan fluoresein, meggunakan slit lamp

17
Tidak ada keratitis epitelial di kornea
 Pemeriksaan mikroskopis dan kerokan konjungtiva
Tidak ada badan inklusi

2.1.11 Komplikasi dan sekuele

Komplikasi yang sering terjadi pada trakoma adalah parut di


konjungtiva, yang dapat merusak kelenjar lakrimal aksesorius dan
menghilangkan duktulus kelenjar lakrimal. Hal ini mengurangi komponen
akueosa dalam film air mata secara drastis dan komponen mukosanya
mungkin akan berkurag karena hilngnya sebagian sel goblet. Luka parut
juga dapat megubah bentuk palpebrae superior berupa membaliknya bulu
mata ke arah dalam (trikiasis) atau seluruh tepi palpebrae (enteropion)
sehingga bulumata terus menerus menggesek kornea. Hal ini sering
mengakibatkan ulcerasi kornea, infeksi bakterial kornea dan parut kornea.
Selain terjadinya parut di konjuntiva, komplikasi yang dapat terjadi adalah
ptosis, obstruksi ductus nasolacrimalis dan dakriosistitis1

2.1.12 Prognosis

Trakoma merupakan penyakit kronik, jika kondisi hygiene yang


baik ( terutama mencuci muka pada anak-anak), penyakit ini sembuh atau
bertambah ringan sehingga sekuele beratdapat dihindari.sekitar 6-9 juta
orang di dunia telah kehilangan peglihatannya karena trakoma.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Trakhoma adalah suatu penyakit mata yang kronis dan diderita dalam
waktu yang lama. Pada kasus-kasus yang ringan dapat sembuh tanpa
meninggalkan cacat (sembuh tanpa bekas). Pada kasus yang berat dapat terjadi
sikatrik ataupun penyulit lain yang dapat mengakibatkan kebutaan.

19
DAFTAR PUSTAKA

Vaughan D, Asbury T. Konjungtiva. Dalam : Oftalmologi Umum. Edisi ke-17.


Jakarta: EGC, 2007 : 97-104.

James B, Chew C, Bron A. Konjungtiva, Sklera, dan Kornea. Dalam :


Oftalmologi. Edisi 9. Jakarta : Erlangga, 2005 : 61-65.

Salomon, Anthony dan Hugh R Taylor. 2010. Trachoma: Treatment and


Medication. Emedicine Ophtalmology.214: 29-38

American Optometric Association. Care of the Patient with Conjunctivitis.


Available at : http://www.aoa.org/documents/CPG-11.pdf, diunduh tanggal 10
November 2018.

Ilyas, Sidarta. Mata Merah Dengan Penglihatan Normal. Dalam : Ilmu Penyakit
Mata, Cetakan ke-4. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2010 : 137-140.

Salomon, Anthony dan Hugh R Taylor. Treatment and Medication Trachoma. In :


eMedicine Ophtalmology. 2010 : 29-38.

Wijaya, Nana. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Abadi Tegal

Soewono W, Oetomo MM. Trakoma. Dalam: Pedoman Diagnosis dan Terapi


Bagian Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-III. Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter
Soetomo Surabaya, 2006.

Thyleforts B, Negrel AD, Pararajasegaram R, Dadzie KY. Global Data on


Blindness. Bull World Health Organization, 2005;73:115-121

20
21

You might also like