You are on page 1of 4

Gulai Kam-bhing dan Ibu Rapilus

Karya : Ahmad Tohari

Orang yang gencar memanggil-manggil saya dari warung tenda seberang jalan ternyata Jubedi. Ah,
Jubedi, sudah agak lama saya tidak bertemu. Dia teman lama yang setengah abad lalu duduk
bersama di bangku SMP. Saya menyeberang jalan sambil menyipitkan mata karena matahari di timur
bikin silau. Jabat tangan Jubedi erat dan hangat. Sama dengan saya ternyata rambut Jubedi sudah
memutih. Tetapi tidak seperti saya yang kerempeng, badan Jubedi cukup gemuk, perutnya sedikit
maju. Tak ada keriput di wajahnya.

Jubedi kelihatan segar dan bersemangat. Pada jam sepuluh pagi ini kulit wajahnya tampak berkilat
oleh keringat yang mengandung lemak. Matanya berair dan bibirnya merah. Agaknya Jubedi sedang
menahan rasa pedas. Dia duduk menghadapi sepiring nasi berkuah santan dan semangkuk gulai yang
isinya tinggal setengah. Mangkuk yang satu sudah kosong. Katanya, itu mangkuk gulai kedua yang
dia makan. Tentu pedas karena banyak cabai mengambang di permukaan kuah.

Jubedi tersenyum ketika melihat wajah saya penuh pertanyaan. Saya memang mengerutkan kening.

“Jangan percaya mereka yang sok tahu,” kata Jubedi. “Seumur kita, makan gulai kambing dengan
kuah santan, tidak apa-apa; tidak bikin tensi naik, atau kolesterol naik. Ah apa itu, jangan percaya.
Buktinya saya ini, tetap sehat kan?”

Kemudian tanpa minta persetujuan, Jubedi menyuruh perempuan warung menyajikan hidangan
yang sama buat saya.

“Ya, Bapak, ya, ya.” Perempuan warung bergerak cepat. “Pagi-pagi makan nasi hangat dengan lauk
gulai kam-bhing masih panas, ya, ueeenak!”

Mulut perempuan itu tak henti melontarkan kata “kam-bhing”. Maksudnya, tentu “kambing”. Tapi
amat nyata yang terucap berulang-ulang dari mulutnya adalah “kam-bhing”. Dan mengherankan
juga, meskipun mulutnya terus bersuara, sajian yang dipesan Jubedi buat saya cepat datang. Jubedi
mendorong hidangan itu lebih dekat ke hadapan saya.

“Badanmu kerempeng karena kukira kamu tidak suka makan gulai, …”

“Kam-bhing,” terjang perempuan warung dengan ketangkasan yang mengesankan.

Sebenarnya saya percaya kuah santan tidak baik buat orang seusia saya. Namun untuk
menyenangkan Jubedi, saya akan terima tawarannya. Saya rengkuh piring nasi dan mangkuk gulai itu
lebih dekat. Ada suara berdenting ketika sendok di tangan kanan saya menjentik tubir mangkuk.
Kemudian dengan sendok itu saya mulai menyedu-nyedu gulai. Aroma bumbu rempah mengambang
bersama uap kuah. Ah, tapi terasa ada yang kurang; aroma khas gulai kambing tidak tercium.

Karena disedu maka muncul daging cincang dan potongan tulang dari genangan kuah. Dua di antara
potongan itu saya pastikan sebagai tulang iga. Ya, tulang iga. Saya lama menatapnya dan tiba-tiba
tangan saya menolak begerak. Saya merasa mendadak jadi gamang. Saya yakin tulang iga dalam
kuah gulai itu bukan iga kambing karena tidak pipih.

Saya teringat Ibu Rapilus, guru kami di SMP. Dari dialah saya, dan seharusnya juga Jubedi, tahu iga
binatang pemakan rumput semisal kambing berbentuk pipih. Jadi, itu pasti gulai anjing. Tetapi di
sana Jubedi terus makan gulai itu dengan amat lahap. Sering terdengar suara giginya mengunyah
tulang.

“Itu gulai kam-bhing muda, jadi tulangnya kecil-kecil,” perempuan warung kembali bersuara di
samping saya. Dia terus bicara tapi saya tidak mendengar karena situasi yang sulit tiba-tiba
menjebak; apakah Jubedi sebaiknya saya beri tahu yang sedang dia makan adalah gulai anjing? Kalau
ini saya lakukan, mungkin Jubedi akan muntah sejadi-jadinya. Itu masih lumayan. Tetapi bagaimana
kalau Jubedi kemudian marah kepada perempuan warung, dan mengamuk? Kalau Jubedi marah
warung tenda ini bisa diobrak-abrik. Saya tahu itu wataknya sejak di SMP dulu. Ah, tidak. Saya tidak
mau ada kegaduhan di pinggir jalan yang ramai ini.

Beberapa saat otak saya terasa buntu. Tetapi entahlah, dari kebuntuan itu perlahan-lahan muncul
sebuah sosok. Itu sosok Ibu Rapilus.

“Kamu belum mulai makan juga? Ingin tetap kerempeng?” Jubedi bertanya. Mulutnya masih penuh
nasi kuah gulai.

“Eh Jubedi, kamu masih ingat Ibu Rapilus?” Saya balik bertanya. Mendapat pertanyaan yang
menyimpang, Jubedi terpana sejenak. Tampaknya dia butuh waktu untuk mengalihkan kesadaran.
Tetapi kemudian jawabannya lancar berderai, tak kalah dengan nyinyir si perempuan warung.

“Ibu Rapilus guru Ilmu Hayat kita? Ya, saya tetap ingat meski beliau sudah lama meninggal. O, Ibu
Guru kita yang pintar, saleh pula. Itulah, maka sungguh menyesal dulu saya pernah mengolok-olok
dia. Kamu ingat itu?”

Dengan ketegangan di dalam hati, saya tersenyum. Saya kira semua teman sekelas masih ingat
kekonyolan Jubedi terhadap Ibu Rapilus, dulu. Itu terjadi dalam tanya jawab di kelas antara Ibu
Rapilus dan Jubedi seputar Ilmu Hayat.

“Kamu, Jubedi, tanaman padi termasuk kelompok apa?”

“Gramineae, Bu,” jawab Jubedi dengan sangat tangkas.

“Bagus, kamu pandai. Kalau kelapa?”

“Palmae, Bu.”

“Bagus juga. Lalu, tanaman kentang?

“Solanaceae.”

“Ya, kamu memang hebat. Dan pohon jambu?”

Hening. Jubedi kelihatan gelisah. Garuk-garuk kepala. Tengok kiri-kanan seperti ronggeng monyet
dirubung penonton. Dia makin tidak tenang karena menyadari mata semua murid tertuju
kepadanya. Ibu Rapilus meletakkan jari telunjuk di bibir untuk memberi pertanda, hanya Jubedi yang
sedang ditunggu jawabannya.

“Anu, Bu.” Tiba-tiba Jubedi bisa bersuara. “Pohon jambu termasuk kelompok jambuacea.”

Hening lagi sejenak. Tapi pada detik berikut terdengar tawa meledak. Ibu Rapilus ikut terpingkal-
pingkal. “Oh, kalau jambu masuk kelompok jambuacea, apakah mangga termasuk kelompok
manggaceae?” Kata Ibu Rapilus masih sambil tertawa. “Jubedi, pohon jambu termasuk kelompok
myrtaceae. Jangan lupa lagi, ya?” Ujar Ibu Rapilus. Jubedi mengangguk. Dia hanya bisa cengar-cengir,
kali ini seperti ronggeng monyet ditabuhkan gendang.

Teringat peristiwa lucu yang sudah lama terjadi itu saya dan Jubedi tertawa panjang. Itu membuat
kenangan tentang Ibu Rapilus makin hidup. Sayangnya celoteh perempuan warung terdengar lagi.

Jubedi tampak begitu jinak seperti ular habis menelan seekor tikus besar. Saya kira dia benar-benar
kenyang; sepiring nasi dan dua porsi gulai anjing tentu membuat perutnya penuh. Jubedi kemudian
menyalakan rokok. Dia tampak begitu santai dan setelah beberapa kali isapan rokok Jubedi
menyuruh saya mulai makan.

“Atau, kamu tinggalkan hidangan itu, dan kamu akan tetap kerempeng.”

“Tunggu sebentar, duduk dulu kawan,” perintah saya. Jubedi kelihatan kurang suka namun akhirnya
dia mengalah.
“Jubedi, kamu masih ingat pelajaran Ibu Rapilus tentang ciri-ciri binatang memamah biak, kambing
misalnya?” Tanya saya. Jubedi duduk lagi kemudian menjawab dengan lancar.

“Berkuku belah, tidak bergigi seri di rahang atas, tetrapoda atau berkaki empat, herbivora atau
pemakan tetumbuhan, bentuk tulang iganya pipih.”

Saya tersenyum tetapi berdebar karena Jubedi telah menyebut “iga pipih”.

“Tulang iganya pipih? Jadi, bentuk tulang iga pipih menjadi ciri binatang memamah biak, kambing
misalnya?”

“Ya.” Jawab Jubedi dengan pasti. Saya tegang. Tangan saya gamang. Saya kembali menyedu-nyedu
gulai sehingga potongan tulang-tulang iga dalam gulai itu kelihatan dengan jelas. Oh, mudah-
mudahan mata Jubedi benar-benar melek untuk menyaksikan tulang-tulang iga itu yang sungguh
tidak pipih. Puluhan kata berdesakan di mulut saya. Saya hampir mengucap, “Jubedi, matamu lihat
ini! Bukankah ini bukan iga kambing karena tidak pipih?”

Tetapi, ya Tuhan, Jubedi tidak tanggap. Brengsek. Dia malah mengisap rokoknya lagi dalam-dalam
dan mengembuskan asapnya ke atas, penuh kenikmatan.

“Hai teman,” tegur saya. “Kamu murid Ibu Rapilus yang jempolan. Jadi, kamu tentu masih ingat juga
pelajaran Ibu Rapilus yang lain?”

“Tentang apa?”

“Tentang ciri-ciri binatang buas?”

“Ya, pasti. Ciri-ciri binatang buas, gigi bertaring, pentadactil atau berjari lima, berkuku tajam,
carnivora atau pemakan daging, menyusui juga seperti binatang pemamah biak.”

Jubedi berhenti dan wajahnya kelihatan ragu. Tensi saya terasa naik. Detak jantung tambah cepat.

“Apakah tulang iga binatang buas juga pipih?” tanya saya.

“Tidak. Tulang iga binatang buas tidak pipih,” jawab Jubedi tanpa ragu.

Denyut jantung saya lebih meninggi lagi. Tangan kembali gemetar ketika saya mengulang mengaduk-
aduk potongan tulang iga dalam kuah gulai. Saya sungguh berharap mata Jubedi terfokus ke sendok
di tangan saya; di sana jelas ada tulang iga yang benar-benar tidak pipih. Namun, brengsek!

Untuk kali kedua saya ingin menjelaskan dengan kata-kata bahwa tulang iga yang saya tunjukkan ke
depan mata Jubedi bukan iga kambing. Namun mulut saya masih terkunci. Maka saya diam. O,
memang brengsek! Jubedi malah bersendawa sampai tiga kali, lalu mengulurkan tangan kepada
saya, mau pulang lebih dulu. Dia bilang mau membayar semua, dan berterima kasih karena saya
bersedia menemaninya makan. Pikiran saya kacau sehingga saya tak bisa bicara apa pun ketika
Jubedi mengajak bersalaman.

“Wah, yak opo, Bapak yang satu ini. Bapak belum juga makan gulai kam-bhing?” Cerewet
perempuan warung dari arah belakang. “Mau ditambah bawang goreng biar lebih ueeenak?”

“Tidak usah, terima kasih, Bu. Gulai ini mau saya bawa pulang. Jadi, tolong dikemas pakai kantung
plastik.”

Saya keluar warung makan, berjalan dengan ingatan kepada Ibu Rapilus. O, Ibu, terima kasih. Saya
terus melangkah. Niat saya, bila sudah agak jauh gulai di tangan akan saya buang. Tetapi pikiran saya
berubah ketika teringat di jalan depan rumah saya sering terlihat anjing-anjing kurus berkeliaran.
Gulai ini sebaiknya saya berikan kepada mereka saja. Melihat anjing makan gulai anjing mungkin
menarik juga. Dan Jubedi? Itu urusan nanti. Yang penting pagi ini dia tidak muntah dan tidak
mengobrak-abrik warung tenda itu.
Unsur Intrinsik
a. TEMA : Pendidikan
b. AMANAT : Apabila hendak menyampaikan sesuatu, janganlah berbelit-belit,
karena setiap orang memiliki pemahaman yang berbeda-beda.
c. PENOKOHAN : 1) Tokoh aku : Baik hati, peduli, cerdik.
2) Jubedi : Dermawan, acuh, jenaka, mudah marah.
3) Ibu Rapilus : Ramah,
4) Penjual gulai : Periang, lugu.
d. LATAR : Latar tempat : warung
Latar waktu : pagi hari
Siang hari
e. ALUR : Campuran.
f. Latar belakang Religi : Memakan daging anjing itu diarang dalam ajaran agama.

You might also like