Professional Documents
Culture Documents
Bab I
Pendahuluan
Dalam praktek klinis, kedua respon ini (antara iritan dan alergi) mungkin sulit
untuk membedakan. Banyak bahan kimia dapat bertindak baik sebagai iritan
maupun alergen. DKA adalah salah satu masalah dermatologi yang cukup sering,
menjengkelkan dan menghabiskan biaya. Perlu dicatat bahwa 80% dari
dermatitis kontak akibat kerja (Occupational Contact Dermatitis) adalah iritan
dan 20% alergi.
Bab II
Tinjauan Pustaka
DKI merupakan reaksi peradangan lokal non imunologik pada kulit yang
disebabkan oleh kontak dengan faktor eksogen maupun endogen, jadi kerusakan
kulit terjadi langsung tanpa didahului proses sensitisasi.
Epidemiologi
Data National Health Interview Survei selama 12 Bulan menunjukkan prevalensi
dermatitis kontak akibat kerja sebanyak 1.700 per 100.000 pekerja.
Menurut studi lain, kejadian tertinggi dermatitis kontak pada bidang industri
adalah pada bagian sumber daya alam dan pertambangan, manufaktur, dan
bagian pelayanan kesehatan dimana 70-80% dari kasus dermatitis kontak
adalah DKI.
DKI dapat diderita oleh semua orang dari berbagai golongan umur, ras, dan jenis
kelamin. Jumlah penderita dermatitis ini diperkirakan cukup banyak, terutama
yang berhubungan dengan pekerjaan, akan tetapi data epidemiologi penderita
DKI sulit didapat. Hal ini disebabkan oleh banyak penderita dengan kelainan
ringan tidak datang berobat, atau bahkan tidak mengeluh.
Dari data yang didapatkan dari U.S. Bureau of Labour Statistic menunjukkan
bahwa 249.000 kasus penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan yang tidak
fatal pada tahun 2004 untuk kedua jenis kelamin sebesar 15,6% (38.900 kasus)
adalah penyakit kulit yang merupakan penyebab terbesar kedua untuk semua
penyakit akibat kerja (okupasional). Juga berdasarkan survei tahunan dari
institusi yang sama, bahwa angka kejadian untuk penyakit akibat kerja pada
populasi pekerja di Amerika, menunjukkan 90- 95% dari penyakit okupasional
adalah dermatitis kontak, dan 80% dari penyakit didalamnya adalah DKI.
Etiologi
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya
bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk kayu. Kelainan
kulit yang terjadi selain ditentukan oleh ukuran molekul, daya larut, konsentrasi
bahan tersebut, dan vehikulum, juga dipengaruhi oleh faktor lain. Faktor yang
dimaksud yaitu lama kontak, kekerapan (terus-menerus atau berselang), adanya
oklusi menyebabkan kulit lebih permeabel, demikian pula gesekan dan trauma
fisis. Suhu dan kelembaban lingkungan juga ikut berperan.
Dermatitis kontak iritan adalah penyakit multifaktor dimana faktor eksogen
(iritan dan lingkungan) dan faktor endogen sangat berperan.
1. Faktor Endogen, antara lain :
Faktor genetik
Terdapat sebuah hipotesa yang mengungkapkan bahwa individu memiliki
kemampuan mengeluarkan radikal bebas, untuk mengubah level enzim
antioksidan, dan kemampuan untuk membentuk perlindungan heat shock
protein yang kesemuanya dibawah kontrol genetik. Faktor tersebut juga
menentukan keberagaman respon tubuh terhadap bahan-bahan iritan.
Selain itu, predisposisi genetik terhadap kerentanan bahan iritan berbeda
untuk setiap bahan iritan. Diduga bahwa faktor genetik mungkin
mempengaruhi kerentanan terhadap bahan iritan. TNF-α polimorfis telah
dinyatakan sebagai marker untuk kerentanan terhadap dermatitis kontak
iritan.
Jenis Kelamin
Gambaran klinik DKI paling banyak pada tangan, dan wanita dilaporkan
paling banyak dari semua pasien. Dari hubungan antara jenis kelamin
dengan dengan kerentanan kulit, wanita lebih banyak terpajan oleh bahan
iritan, kerja basah dan lebih suka perawatan daripada laki-laki. Tidak ada
Patogenesis
Mekanisme seluler DKI masih belum diketahui. Kelainan kulit timbul akibat
kerusakan sel yang disebabkan oleh bahan iritan melalui kerja kimiawi atau fisis.
Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak
pada lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat air kulit.
Kebanyakan bahan iritan (toksin) merusak membran lemak (lipid membrane)
keratinosit, tetapi sebagian dapat menembus membran sel dan merusak lisosom,
mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase
dan melepaskan asam arakidonat, diasilgliserida, platelet activating factor (PAF),
dan inositida. Asam arakidonat diubah menjadi prostaglandin dan leukotrien.
Prostaglandin dan leukotrien menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan
permeabilitas vaskular sehingga mempermudah transudasi komplemen dan
kinin. Prostaglandin dan leukotrien juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat
untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mas melepaskan histamin,
leukotrien dan prostaglandin lain, dan PAF, sehingga memperkuat perubahan
vascular.
Diasilgliserida dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen dan
sintesis protein, misalnya interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte macrophage
colony stimulant factor (GMCSF). IL-1 mengaktifkan sel T-helper mengeluarkan
IL-2 dan mengekspresi reseptor IL-2, yang menimbulkan stimulasi autokrin dan
proliferasi sel tersebut.
Keratinosit juga membuat molekul permukaan HLA-DR dan adhesi intrasel-1
(ICAM-1). Pada kontak dengan iritan, keratinosit juga melepaskan TNFα, suatu
Maninfestasi klinis
DKI dibagi berdasarkan sifat iritan. Selain itu juga banyak hal yang
mempengaruhi sebagaimana yang disebutkan sebelumnya. Berdasarkan
penyebab tersebut dan pengaruh faktor tersebut, DKI dibagi menjadi beberapa
macam, yaitu :
1. DKI Akut
DKI akut biasanya diakibatkan kecelakan kerja, terjadi ketika kulit
terkena iritasi kuat. Reaksi iritasi mencapai puncaknya dengan cepat,
biasanya dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah paparan,
dan kemudian mulai untuk menyembuhkan. Ini disebut fenomena
decrescendo.
Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk DKI akut. Penyebab
DKI akut adalah iritan kuat misalnya larutan asam sulfat dan asam
hidroklorid atau basa kuat, misalnya natrium dan kalium hidroksida.
Intensitas reaksi sebanding dengan konsentrasi dan lamanya kontak
dengan iritan yang terbatas pada tempat kontak. Gejala DKI akut berupa
kulit yang terasa terbakar, pedih, panas, kelainan yang terlihat berupa
eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir kelainan kulit
berbatas tegas dan pada umumnya asimetris.
Gambar 2. DKI akut akibat perendaman dalam pemutih
2. DKI Lambat
Gambaran klinis dan gejala sama dengan DKI akut, tetapi baru muncul 8
sampai 24 jam atau lebih setelah kontak sehingga menyerupai DKA,
namun gejala yang lebih sering dikeluhkan adalah rasa terbakar
dibandingkan pruritus. Bentuk DKI umumnya terlihat selama uji
diagnostik patch.1,3 Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut
lambat, misalnya podofilin, antralin (dithranol), tretinoin, etilen oksida,
benzalkonium klorida, asam hidrofluorat. Contohnya adalah dermatitis
yang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada malam hari
(dermatitis venenata); penderita baru merasa pedih esok harinya, pada
awalnya terlihat eritema dan sore harinya sudah menjadi vesikel atau
bahkan nekrosis.
3. DKI Kumulatif
Jenis dermatitis kontak ini paling sering terjadi; nama lainnya ialah DKI
kronis. Penyebabnya ialah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah
(faktor fisik misalnya gesekan, trauma mikro, kelembaban rendah, panas
atau dingin, juga bahan misalnya deterjen, sabun, pelarut, tanah bahkan
juga air).
. Gambar 3. DKI bilateral pada kaki dan pergelangan kaki karena alas kaki
yang bersifat oklusif kronis
DKI kumulatif mungkin terjadi akibat gabungan berbagai faktor. Bisa jadi
suatu bahan secara sendiri tidak cukup kuat untuk menyebabkan dermatitis
iritan, tetapi baru dapat terjadi iritan bila bergabung dengan faktor lain. Kelainan
baru terlihat setelah kontak berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa
bertahun-tahun kemudian, sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan
faktor penting
Berbeda dengan DKI akut, batas lesi pada DKI kronis kurang jelas. Gejala
DKI kronis berupa pruritus dan nyeri akibat retakan kulit yang hiperkeratotik.
Tanda-tanda mungkin terlihat yaitu xerosis, eritema dan vesikel, tetapi
likenifikasi dan hiperkeratosis lebih mendominasi.
Bila kontak terus berlangsung, pada akhirnya kulit akan menjadi retak
seperti luka iris (fisura), misalnya pada kulit tumit tukang cuci yang mengalami
kontak terus menerus dengan deterjen. Keluhan penderita umumnya merasa
gatal atau nyeri karena kulit retak (fisura). Ada kalanya kelainan hanya berupa
kulit kering atau skuama tanpa eritemi, sehingga diabaikan oleh penderita.
Setelah dirasakan mengganggu, baru mulai diperhatikan.
DKI kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu
lebih banyak ditemukan di tangan dibandingkan dengan bagian lain tubuh.
Contoh pekerjaan yang beresiko tinggi untuk DKI kumulatif yaitu; tukang
cuci, kuli bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang kebun, penata
rambut.
4. Reaksi Iritan
Gambar 5. ekzema berbentuk 'diskoid' yang mempengaruhi punggung tangan penata rambut.
Faktor iritan, konstitusional dan alergi sering terjadi bersamaan
Gambar 6. Palmaris kering atau dermatitis disepanjang jari. Sering dikaitkan dengan
pekerjaan basah
5. DKI Traumatik
DKI traumatik dapat berkembang setelah trauma kulit akut,
seperti panas atau laserasi, luka atau DKI akut. Pasien harus ditanya
apakah mereka telah membersihkan kulit dengan sabun atau deterjen
yang kuat. Hal ini ditandai dengan lesi ekzema, paling sering terjadi di
tangan. Gejala seperti dermatitis numularis, penyembuhan lambat,
berlangsung selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan, paling
cepat 6 minggu dengan kemerahan, infiltrasi, skala dan fisura di daerah
yang terpapar.
6. DKI Noneritematosa
DKI noneritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, dengan tahap awal
iritasi kulit ditandai perubahan dalam fungsi sawar stratum korneum
tanpa disertai kelainan klinis.
7. DKI Subyektif (DKI sensorik)
Kelainan tidak terlihat, namun penderita merasa seperti tersengat
(pedih) atau terbakar (panas) yang terjadi dalam beberapa menit setelah
kontak dengan bahan kimia tertentu, misalnya asam laktat atau sorbat,
kosmetik atau tabir surya.
8. DKI Gesekan (Friksi DKI)
Terjadi iritasi mekanis yang merupakan hasil dari mikrotrauma atau
gesekan yang berulang. DKI gesekan berkembang dari respon pada
gesekan yang lemah, hal ini juga diketahui mempunyai peran dalam
membantu terjadinya DKA dan DKI.
Respon gesekan menyebabkan terjadinya hiperkeratosis, akantosis dan
likenifikasi, dimana secara klinis dapat berupa eritema, skuama, fisura
dan gatal pada daerah yang terkena gesekan. DKI gesekan bisa hanya
mengenai telapak tangan dan sering kali terlihat menyerupai psoriasis
dengan plakat merah menebal dan bersisik, tetapi tidak gatal. Secara
Histopatologik
Gambaran histopatologik DKI tidak karakteristik. Pada DKI akut (oleh
iritan primer), dalam dermis terjadi vasodilatasi dan sebukan sel
mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis bagian atas. Eksositosis
di epidermis diikuti spongiosis dan edema intrasel, dan akhirnya terjadi
nekrosis epidermal. Pada keadaan berat kerusakan epidermis dapat
menimbulkan vesikel atau bula. Di dalam vesikel atau bula ditemukan
limfosit dan neutrophil.
Diagnosis
Diagnosis DKI didasarkan atas anamnesis yang cermat dan
pengamatan gambaran klinis yang akurat. DKI akut lebih mudah
diketahui karena munculnya lebih cepat sehingga penderita pada
umumnya masih ingat apa yang menjadi penyebabnya. Sebaliknya, DKI
kronis timbulnya lambat serta mempunyai variasi gambaran klinis yang
luas, sehingga ada kalanya sulit dibedakan dengan dermatitis kontak
alergi. Untuk itu diperlukan uji tempel dengan bahan yang dicurigai.
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
Untuk pemeriksaan fisik bisa ditegakkan dengan melihat lesi
berdasarkan Diagnostic Criteria of Irritant Contact Dermatitis.
Pemeriksaan penunjang
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis dermatitis kontak iritan.
Ruam kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan dihilangkan. Terdapat
beberapa tes yang dapat memberikan indikasi dari substansi yang berpotensi
menyebabkan DKI. Tidak ada tes spesifik yang dapat memperlihatkan efek yang

didapatkan dari setiap pasien jika terkena dengan bahan iritan. Dermatitis
kontak iritan dalam beberapa kasus, biasanya merupakan hasil dari efek
berbagai iritan.
Diagnosis banding
DKA berbeda dengan DKI. Pada DKA, terdapat sensitasi dari iritan.
Gambaran lesi secara klinis muncul pada pajanan selanjutnya setelah
interpretasi ulang antigen oleh sel T (memori), dan keluhan utama pada
penderita DKA adalah gatal pada daerah yang terkena pajanan.
(b) kulit kering, bersisik dengan fisura pada dematitis kontak kronik;
(c) DKA dengan bahan nikel pada kancing jeans berbahan metal.
Pada yang akut, lesi dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas
jelas kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis
terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisura,
batasnya tidak jelas. Kelainan ini sulit dibedakan dengan DKI kronis, mungkin
penyebabnya juga campuran.1 Pada patch tes, didapatkan hasil positif untuk
alergen yang telah diujikan,dan sensitifitasnya berkisar antara 70 ± 80%.
(a) (b)
Gambar. (a) likenifikasi pada anak muda dengan dermatitis atopik, tanda pada kulit
yang berlebih-lebihan terlihat pada permukaan lengan ekstensor; (b) dermatitis tangan
kronis yang sangat parah pada orang dewasa dengan dermatitis atopik
Tinea pedis biasanya terjadi di antara jari kaki, tapak kaki, dan bagian pinggir
atau tepi kaki, tetapi tinea pedis juga dapat menyebar pada bagian dorsum dari
kaki. dermatits kontak biasanya terjadi pada dorsum pedis. Jika ragu, dapat
dilakukan pemeriksaan KOH.
(a) (b)
Gambar. (a) tinea pedis menyebar pada bagian dorsum dari kaki; (b) kulit
kering tipe infeksi trikopiton rubrum
Penatalaksaan
Beberapa upaya pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita DKI adalah
sebagai berikut:
Hal penting pengobatan DKI adalah menghindari pajanan bahan iritan,
baik yang bersifat mekanik, fisis maupun kimiawi, serta menyingkirkan
faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan
sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka DKI tersebut akan sembuh
dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup dengan
pelembab untuk memperbaiki kulit yang kering.
Apabila diperlukan, untuk mengatasi peradangan dapat diberikan
kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau untuk kelainan yang
kronis dapat diawali dengan kortikosteroid yang lebih kuat.
Pemakaian alat pelindung diri yang adekuat diperlukan bagi mereka yang
bekerja dengan bahan iritan, sebagai salah satu upaya pencegahan
Prognosis
Prognosis untuk DKI adalah baik jika penyebab iritasi dapat diketahui dan
dieliminasi. Bila bahan iritan penyebab dermatitis tersebut tidak dapat
disingkirkan dengan sempurna, maka prognosisnya kurang baik. Keadaan ini
sering terjadi pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor, juga pada
penderita atopic.
I. Definisi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak
dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergi (National Occupational
Health and Safety Commision, 2006)
II. Epidemiologi
III. Etiologi
IV. Patogenesis
Mekanisme terjadinya kelainan kulit pada dermatitis kontak alergi adalah
mengikuti respons imun yang diperantarai oleh sel (cell-mediated
immune respons) atau reaksi hipersensitivitas tipe IV. Reaksi
Fase Sensitisasi
Sebelum seorang pertama kali menderita dermatitis kontak alergik,
terlebih dahulu mendapatkan perubahan spesifik reaktivitas pada
kulitnya (Djuanda, 2003). Perubahan ini terjadi karena adanya kontak
dengan bahan kimia sederhana yang disebut hapten (alergen yang
memilik berat molekul kecil yang dapat menimbulkan reaksi antibodi
tubuh jika terikat dengan protein untuk membentuk antigen lengkap).
Antigen ini kemudian berpenetrasi ke epidermis dan ditangkap dan
diproses oleh antigen presenting cells (APC), yaitu makrofag, dendrosit,
dan sel langerhans (Hogan, 2009; Crowe, 2009). Selanjutnya antigen ini
dipresentasikan oleh APC ke sel T. Setelah kontak dengan antigen yang
telah diproses ini, sel T menuju ke kelenjar getah bening regional untuk
berdeferensiasi dan berproliferasi membentuk sel T efektor yang
tersensitisasi secara spesifik dan sel memori. Sel-sel ini kemudian
tersebar melalui sirkulasi ke seluruh tubuh, juga sistem limfoid, sehingga
menyebabkan keadaan sensitivitas yang sama di seluruh kulit tubuh. Fase
saat kontak pertama alergen sampai kulit menjadi sensitif disebut fase
induksi atau fase sensitisasi. Fase ini rata-rata berlangsung selama 2-3
minggu (Djuanda, 2003).
Fase Elisitasi
Fase elisitasi atau fase eferen terjadi apabila timbul pajanan kedua dari antigen
yang sama dan sel yang telah tersensitisasi telah tersedia di dalam kompartemen
dermis. Sel Langerhans akan mensekresi IL-1 yang akan merangsang sel T untuk
mensekresi IL-2. Selanjutnya IL-2 akan merangsang INF (interferon) gamma. IL-
1 dan INF gamma akan merangsang keratinosit memproduksi ICAM-1
(intercellular adhesion molecule-1) yang langsung beraksi dengan limfosit T dan
lekosit, serta sekresi eikosanoid. Eikosanoid akan mengaktifkan sel mast dan
makrofag untuk melepaskan histamin sehingga terjadi vasodilatasi dan
permeabilitas yang meningkat. Akibatnya timbul berbagai macam kelainan kulit
seperti eritema, edema dan vesikula yang akan tampak sebagai dermatitis.
Proses peredaan atau penyusutan peradangan terjadi melalui beberapa
mekanisme yaitu proses skuamasi, degradasi antigen oleh enzim dan sel,
kerusakan sel langerhans dan sel keratinosit serta pelepasan prostaglandin E-
1dan 2 (PGE-1,2) oleh sel makrofag akibat stimulasi INF gamma. PGE-1,2
berfungsi menekan produksi IL-2 dan sel T serta mencegah kontak sel T dengan
keratisonit. Selain itu sel mast dan basofil juga ikut berperan dengan
memperlambat puncak degranulasi setelah 48 jam paparan antigen, diduga
histamin berefek merangsang molekul CD8 (+) yang bersifat sitotoksik. Dengan
beberapa mekanisme lain, seperti sel B dan sel T terhadap antigen spesifik, dan
akhirnya menekan atau meredakan peradangan (Trihapsoro, 2003).
V. Gejala Klinis
Penderita pada umumnya mengeluh gatal. Kelainan kulit
bergantung pada keparahan dermatitis. Pada yang akut dimulai dengan
bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel,
vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan
eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama,
papul, likenifikasi dan mungkin juga fisur, batasnya tidak jelas. Kelainan
ini sulit dibedakan dengan dermatitis kontak iritan kronis; mungkin
penyebabnya juga campuran (Djuanda, 2003).
Sifat alergen dapat menentukan gambaran klinisnya. Bahan kimia
karet tertentu (phenyl – isopropyl – p - phenylenediamine) bisa
menyebabkan dermatitis purpura, dan derivatnya dapat megakibatkan
dermatitis granulomatosa. Dermatitis pigmentosa dapat disebabkan oleh
parfum dan kosmetik (Fregert, 1998).
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya.
Berbagai lokasi terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 5.2. Misalnya, di
ketiak oleh deodoran; di pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua
kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan hendaknya dilakukan di tempat
yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat kemungkinan
kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen (Sularsito, 2010).
vesikel atau bula. Ujud kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar
berikut :
a. Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan
karena alergi terhadap nikel menyebabkan eritema. Lesi yang
timbul pada lokasi kontak langsung dengan nikel (lesi eksematosa
dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul,
vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.
c. Pemeriksaan Penunjang
a) Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang
khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis,
dermatitis seboroik, atau psoriasis. Diagnosis banding yang utama ialah
dengan Dermatitis Kontak Iritan (DKI). Dalam keadaan ini pemeriksaan
uji tempel perlu dipertimbangkan untuk menentukan, apakah dermatitis
tersebut karena kontak alergi (Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan
yang secara rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik,
pelembab, bila dipakai untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa
adanya. Bila menggunakan bahan yang secara rutin dipakai dengan air
untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta gigi, harus diencerkan
terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan atau
dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui
bersifat iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras
penyebab alergi. Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang
dicurigai penyebab alergi, maka uji tempel dilakukan dengan potongan
kecil bahan tersebut yang direndam dalam air garam yang tidak dibubuhi
bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit dengan memakai Finn
Chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat bahwa
hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10
orang) untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi (Sularsito,
2010).
Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel
(Sularsito, 2010):
1) Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam
keadaan akut atau berat dapat terjadi reaksi „angry back‟ atau „excited
skin‟ reaksi positif palsu, dapat juga menyebabkan penyakit yang
sedang dideritanya semakin memburuk.
2) Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian
kortikosteroid sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji
tempel dapat dilakukan pada pemakaian prednison kurang dari 20
mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain), sebab dapat
menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin sistemik
tidak mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3) Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan
kedua dilakukan pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.
b) Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan Histopalogi dilakukan dengan cara(Sularsito, 2010).:
1) Untuk pemeriksaan ini dibutuhkan potongan jaringan yang didapat dengan
cara biopsi dengan pisau atau plong/punch.
2) Penyertaan kulit normal pada tumor kulit, penyakit infeksi, kulit normal tidak
perlu diikutsertakan.
3) Sedapat-dapatnya diusahakan agar lesi yang akan dibiopsi adalah lesi primer
yang belum mengalami garukan atau infeksi sekunder.
4) Bila ada infeksi sekunder, sebaiknya diobati lebih dahulu.
5) Pada penyakit yang mempunyai lesi yg beraneka macam/ banyak, lebih baik
biopsi lebih dari satu.
6) Potongan jaringan sebisanya berbentuk elips + diikutsertakan
jaringan subkutis.
7) Jaringan yang telah dipotong dimasukan ke dalam larutan fiksasi, misanya
formalin 10% atau formalin buffer, supaya menjadi keras dan sel-selnya mati.
8) Lalu dikirim ke laboratorium
9) Pewarnaan rutin yang biasa digunakan dalah Hematoksilin - Eosin(HE). Ada
pula yang menggunakanperwarnaan oersein dan Giemsa.
10)Volume cairan fiksasi sebaiknya tidak kurang dari 20 X volume jaringan
11)Agar cairan fiksasi dapat dengan baik masuk ke jaringan hendaknya tebal
jaringan kira-kira 1/2 cm, kalau terlalu tebal dibelah dahulu sebelum
dimasukkan ke dalam cairan fiksasi
Pada dermatitis kontak, limfosit T yang telah tersensitisasi, menginvasi
dermis dan epidermis serta menyebabkan edema dermis atau spongiosis
epidermis. Perubahan-perubahan ini secara histologi tidak spesifik (Sularsito,
2010).
1) Epidermis (Sularsito, 2010):
a) Hiperkeratosis, serum sering terjebak dalam stratum korneum.
b) Hiperplastik, akantosis yang luas.
c) Spongiosis, yang kadang vesikuler. Manifestasi dini ditandai dengan
penonjol dari jembatan antar sel di lapisan spinosus.
d) Kemudian ada epidermotropism dari limfosit yang muncul normal.
2) Dermis (Sularsito, 2010):
a) Limfosit perivesikuler
b) Eosinofil: bervariasi, muncul awal dan karena sebab alergi
c) Edema
VI. Penatalaksanaan
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku – kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek
serta tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan,
dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas
yang bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan,
aksesoris, pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
a. Simptomatis
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 3-
4mg/dosis, sehari 2-3kali untuk dewasadan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali untuk
anak – anak untuk menghilangkan rasa gatal
b. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin atau
eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7 hari
c. Topikal
Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk,
2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena
dermatitis kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika
VII. Prognosis
Prognosis dermatitis kontak alergi umumnya baik, sejauh bahan
kontaknya dapat disingkirkan. Prognosis kurang baik dan menjadi kronis bila
bersamaan dengan dermatitis yang disebabkan oleh faktor
endogen(dermatitis atopik, dermatitis numularisatau psoriasia) (Vorvick,
2011; Sularsito, 2007). Faktor lain yang membuat prognosis kurang baik
adalah pajanan alergen yang tidak mungkin dihindari misalnya berhubungan
dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat di lingkungan
penderita(Djuanda, 2005).
VIII. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi adalah infeksi kulit sekunder oleh bakteri
terutama Staphylococcus aureus, jamur, atau oleh virus misalnya herpes
simpleks. Rasa gatal yang berkepanjangan serta perilaku menggaruk
dapat dapat mendorong kelembaban pada lesi kulit sehingga
menciptakan lingkungan yang ramah bagi bakteri atau jamur. Selain itu
dapat pula menyebabkan eritema multiforme (lecet) dan menyebabkan
kulit berubah warna, tebal dan kasar atau disebut neurodermatitis (lichen
simplex chronicus) (Bourke, et al., 2009)
Bab III
Kesimpulan
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi
yang menempel pada kulit. Biasanya kondisi kulitnya berupa inflamasi yang
ditandai dengan eritematosa dan lesi kulit yang pruritus setelah kontak dengan
zat asing. Kondisi ini dapat dikategorikan sebagai dermatitis kontak iritan (DKI)
atau dermatitis kontak alergi (DKA).
Dermatitis Kontak Iritan :
1. DKI merupakan reaksi peradangan lokal pada kulit terjadi langsung tanpa
didahului proses sensitisasi
2. Penyebabnya berasal dari factor eksogen dan endogen
3. Manifestasi Klinis pada DKI dapat dibagi beberapa kelompok, yaitu : DKI
Akut, DKI Lambat, DKI Kumulatif, dll
4. Untuk menegakkan diagnosis pada DKI diperlukan anamnesis yang baik
dan pemeriksaan fisik. Tidak ada pemeriksaan penunjang yang spesifik
pada penderita DKI
5. Pengobatan pada penderita DKI dapat diberikan secara farmakologi dan
non-farmakologi.
3. Gejala klinis DKA, pasien umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut
dimulai dengan bercak eritematosa yang berbatas jelas kemudian diikuti
edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Pada yang kronis terlihat kulit
kering, berskuama, papul, likenifikasi, dan mungkin fisur, batasnya tidak
jelas.
4. Gold standar pada DKA adalah dengan menggunakan uji tempel. Uji
tempel (patch test) dengan bahan yang dicurigai dan didapatkan hasil
positif.
Daftar Pustaka