You are on page 1of 54

imunodefisiensi

dindaaniela

MEKANISME IMUNITAS PADA KEADAAN NORMAL

MEKANISME IMUNITAS PADA KEADAAN NORMAL

reseptor Ag-TCR + kompleks antigenmolekul MHC kelas II (SINYAL I)

Sitokin IL-1 yang dihasilkan APC yang tadi teraktivasi (SINYAL II)

Sel Th
aktivasi makrofag , CTL, dan sel limfosit B

ekspresikan reseptor IL-2 dan produksi IL-2 dan sitokin lain

MEKANISME IMUNITAS PADA KEADAAN NORMAL


Awal terjadi respons imunitas sel Th Th diaktivasi 2 sinyal :
Terikatnya reseptor Ag-TCR (T Cell Reseptor) dengan kompleks antigen-molekul MHC kelas II yang dipresentasikan makrofag sebagai APC yang teraktivasi oleh antigen Sitokin IL-1 yang dihasilkan APC yang tadi teraktivasi

MEKANISME IMUNITAS PADA KEADAAN NORMAL


Kedua sinyal tsb rangsang Th ekspresikan reseptor IL2 dan produksi IL-2 dan sitokin lain aktivasi makrofag, CTL, dan sel limfosit B IL-2 autoaktivasi terhadap sel Th semula dan sel Th yang belum produksi IL-2 untuk berproliferasi Aktivasi sel Tc bunuh benada asing/nonself-antigen & dapat dibedakan dengan Th Tc punya molekul CD8 dan akan mengenal antigen asing melalui MHC kelas I;proses teraktivasi = Th

MEKANISME IMUNITAS PADA KEADAAN NORMAL


Sel NK secara nonspesifik hancurkan langsung sel-sel asing, sel tumor, dan sel terinfeksi virus atau juga secara spesifik untuk sel-sel yang dilapisi antibodi dependent cell mediated cytotoxicity (ADCC)

MEKANISME IMUNITAS PADA KEADAAN NORMAL Imunogen yang terikat pada reseptor antigen Limfokin BCDF (B Cell Differentiation Factor) SE LB

BCGF (B Cell Growth Factor)

SEL PLASMA

ANTIBODI

MEKANISME IMUNITAS PADA KEADAAN NORMAL


Aktivasi sel B 3 sinyal :
Imunogen yang terikat pada reseptor antigen Diproduksi Limfosit BCDF (B Cell Differentiation Factor) sel Th yang BCGF (B Cell Growth Factor) terkativasi

Aktivasi sel B sel plasma produksi antibodi

IMUNODEFISIENSI

IMUNODEFISIENSI
Penurunan pada satu atau lebih komponenkomponen sistem imun tubuh. meningkatnya kemampuan terhadap infeksi. merupakan hasil : defek pada limfosit maturation atau aktivasi. defek pada mekanisme effektor pada innate dan adaptive immunity.

PRIMER

Bone marrow pluripotent stem cell

Myeloid stem cell SCID

lymphoid stem cell

Eritrosit Megakaryocytes Nave mature Pre T cell NK cells Eosinophils B cell Basophils XLA (X-linked thymus Granulocytes agammaglobulinemia monocytes ) CGD(chronic DiGeorge Hyper IgM granulomatous disease) syndrome syndrome TLR4 (tool-like receptorSelective IgA Nave mature T cell 4) deficiency All leukocytes: Leukocyte adhesion defect SEKUNDER Antigen-presenting cell: bare lymphocyte syndrome Tuberculosis All cell : NFkB defect HIV Complement: terminal pathway component

PEMBAGIAN IMUNODEFISIENSI
DEFISIENSI IMUN NONSPESIFIK
Defisiensi komplemen
Kongenital Fisiologik Didapat

DEFISIENSI IMUN SPESIFIK


Defisiensi kongenital atau primer Defisiensi fisiologik
Kehamilan Usia lanjut

Defisiensi interferon & lisozim


Defisiensi interferon kongenital Defisiensi interferon & lisozim sekunder

Defisiensi didapat atau sekunder


Malnutrisi Infeksi Obat, trauma, tindakan katetirisasi dan bedah Penyinaran Penyakit berat Kehilangan Ig/leukosit Gamaglobulinemia dengan timoma AIDS

Defisiensi sel NK
Kongenital Didapat

Defisiensi sistem fagosit


Kuantitatif Kualitatif

PEMBAGIAN DEFISIENSI SISTEM IMUN


DEFISIENSI IMUN NONSPESIFIK 1. Defisiensi Komplemen - defisiensi komplemen kongenital - defisiensi komplemen fisiologik - defisiensi komplemen didapat 2. Defisiensi Interferon dan lisozim - defisiensi interferon kongenital - defisiensi interferon dan lisozim yang di dapat

3. Defisiensi Sel NK - defisiensi kongenital - defisiensi didapat

4. Defisiensi Sistem Fagosit - defisiensi kuantitatif - defisiensi kualitatif

DEFISIENSI IMUN NONSPESIFIK


1. DEFISIENSI KOMPLEMEN
Komplemen diperlukan untuk membunuh kuman, opsonisasi, kemotaksis, pencegahan penyakit autoimun, dan eliminasi kompleks antigen antibodi Defisiensi komplemen menimbulkan infeksi bakteri yang rekuren, peningkatan sensitivitas terhadap penyakit autoimun
1.1 DEFISIENSI KOMPLEMEN KONGENITAL Defisiensi inhibitor esterase C1 Berhubungan dengan angioedem herediter., menimbulkan aktivitas C1 yang tidak dapat di kontrol dan produksi kitin yang meningkatkan permeabilitas kapiler. Menimbulkan penyakit serupa LES, mungkin disebabkan kegagalan eliminasi kompleks imun yang dependen Berhubungan dengan infeksi mikroba piogenik. Tidak adanya C3 berarti fragmen C5 tidak diproduksi.

Defisiensi C2 dan C4

Defisiensi C3

1.1 DEFISIENSI KOMPLEMEN KONGENITAL Defisiensi C5 Menimbulkan kerentanan terhadap infeksi bakteri yang berhubungan dengan gangguan kemotaksis

Defisiensi C6, C7, dan C8

Menimbulkan kerentanan terhadap septikemi meningokok dan gonokok oleh karena lisis melalui jalur komplemen adalah mekanisme kontrol utama dalam imunitas terhadap neseria.

1.2 DEFISIENSI KOMPLEMEN FISIOLOGIK

Defisiensi komplemen fisiologik hanya ditemukan pada neonatus yang disebabkan karena kadar C3, C5, dan faktor B yang masih rendah

1.3 DEFISIENSI KOMPLEMEN DIDAPAT


Defisiensi Clq, r, s Ditemukan terutama pada penderita SLE dan sangat rentan terhadap infeksi bakteri. Ditemukan pada beberapa penderita SLE Tidak menunjukkan gejala (seperti ang telah disebutkan di atas). Banyak ditemukan pada penderita SLE. Menunjukkan infeksi bakteri rekuren Menunjukkan kerentanan terhadap infeksi terutama Neiseria Sangat jarang, tidak menunjukkan tanda infeksi rekuren (mungkin karena lisis masih dapat terjadi atas pengaruh C8 tanpa C9 meskipun perlahan)

Defisiensi C4 Defisiensi C2

Defisiensi C3 Defisiensi C5-C8 Defisiensi C9

2.DEFISIENSI INTERFERON (IFN) DAN LISOZIM


2.1 DEFISIENSI IFN KONGENITAL
Menimbulkan infeksi mononukleosis yang fatal

2.2 DEFISIENSI IFN DAN LISOZIM DIDAPAT


Dapat ditemukan pada malnutrisi protein/kalori

3. DEFISIENSI SEL NK 3.1 DEFISIENSI KONGENITAL


Didapati pada penderita osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit. Kadar IgG, IgA, dan kekerapan autoantibodi biasanya meningkat.

3.2 DEFISIENSI DIDAPAT


Dapat terjadi akibat imunosupresi atau radiasi

4. DEFISIENSI SISTEM FAGOSIT


4.1 DEFISIENSI KUANTITATIF
Dapat disebabkan karena penurunan produksi atau peningkatan destruksi. Penurunan produksi dapat disebabkan karena pemberian depresan sumsum tulang, leukemia, kondisi genetik. Peningkatan destruksi dapat disebabkan karena pemberian obat tertentu pada terapi autoimun yang memacu produksi antibodi dan berfungsi sebagai opsonin untuk neutrofil normal

4.2 DEFISIENSI KUALITATIF


Dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan/memakan, dan membunuh mikroba intraselular.

4.2.1 Chronic Granulomatous Disease

Ditemukan defek netrofil, ketidakmampuan membentuk peroksid hidrogen atau metabolit oksigen toksik lainnya.
4.2.2 Defisiensi Glucose-6-phosphate dehydrogenase

Mempunyai gambaran klinik seperti CGD. Diduga akibat defisiensi generasi NADPH. Dalam keadaan normal, fagositosis akan mengaktifkan oksidase NADPH yang diperlukan untuk pembentukan peroksidase yang berguna untuk membunuh kuman intraselular.
4.2.3 Defisiensi Chediak-Higashi Jarang ditemukan. Netrofil mengandung lisosom besar abnormal yang dapat bersatu dengan fagosom tetapi terganggu dalam kemampuan melepas isinya, sehingga proses menelan dan menghancurkan menjadi terlambat. Aktivitas sel NK, enzim lisosom menurun. Konsumsi oksigen dan produksi peroksid hidrogen normal.

4.2.4 Sindrom Job Kemampuan netrofil untuk menelan/memakan tidak menunjukkan kelainan, tetapi kemotaksis terganggu. Kadar IgE serum sangat tinggi dan dapat ditemukan eosinofilia. 4.2.5 Sindrom Leukosit Malas (lazy leucocyte) Jumlah neutrofil menurun, respons kemotaksis dan respons inflamasi juga terganggu. 4.2.6 Defisiensi Adhesi Leukosit Ditemukan gangguan pada penyembuhan luka. Leukosit menunjukkan defek adhesi dengan permukaan endotel dan antar leukosit (agregasi), kemotaksis dan aktifitas fagositosis yang buruk. Efek sitotoksik neutrofil, sel NK, dan sel T juga terganggu.

PEMBAGIAN DEFISIENSI SISTEM IMUN


DEFISIENSI IMUN SPESIFIK 1. Defisiensi imun kongenital atau primer - defisiensi imun primer sel B - defisiensi imun primer sel T - defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat 2. Defisiensi imun fisiologik - kehamilan - usia tahun pertama - usia lanjut 3. Defisiensi didapat atau sekunder - malnutrisi - infeksi - obat, trauma, tindakan katetirisasi dan bedah - penyinaran - penyakit berat - kehilangan Ig / leukosit - stres - Agamaglobulinemia dengan timoma

4. Acquired Immun Deficiency

1. Defisiensi imun kongenital atau primer

1.1 defisiensi imun primer sel B Dapat berupa gangguan perkembangan sel B. Dapat ditemukan seperti tidak adanya semua Ig atau satu kelas atau subkelas Ig.

1.1.1 X-linked hypogamaglobulinemia Hanya terjadi pada bayi laki-laki. Nampak pada usia 5-6 bulan sewaktu IgG asal ibu mulai menghilang. Kerusakan utama adalah oleh karena pre-sel B yang ada dalam kadar normal tidak dapat berkembang menjadi sel B yang matang.

1.1.2 Hipogamaglobulinemia yang sementara Terjadi pada bayi bila sintesis terutama IgG terlambat. Sebabnya tidak jelas, tetapi dapat berhubungan dengan defisiensi sementara dari sel Th. Kadang bayi tidak mampu memproduksi IgG dengan cukup meskipun kadar IgM dan IgA normal. Hal tersebut karena sel T yang belum matang. Pada beberapa bayi juga ditemukan kelebihan sel Ts. 1.1.3 Common Variable Hypogammaglobulinemia Menyerupai Hypogammaglobulinemia Bruton. Bedanya adalah bahwa penderita dengan CVH mengandung sel B tetapi tidak mampu berkembang menjadi sel plasma yang memproduksi Ig.

1.1.4 defisiensi imunoglobulin yang selektif (disgamaglobulinemia) Adalah penurunan kadar satu atau lebih Ig, tetapi dengan kadar Ig yang lain normal atau meningkat.

1.2 Defisiensi Imun Primer Sel T


1.2.1 Aplasi timus kongenital (sindrom DiGeorge) Penderita tidak atau sedikit memiliki sel T dalam darah, kelenjar getah bening dan limpa. Disebabkan oleh defek dalam perkembangan embrio dari lengkung farings ke-3 dan 4, yang terjadi sekitar 12 minggu setelah gestasi. Sindrom DiGeorge tidak diturunkan. Meskipun sel B, sel plasma dan kadar Ig dalam serum normal, banyak penderita sindrom DiGeorge yang tidak mampu membentuk antibodi setelah vaksinasi. 1.2.2 Kandidiasis Mukokutan Kronik Adalah infeksi jamur biasa yang nonpatogenik seperti K.albicans pada kulit dan selaput lendir yang disertai dengan gangguan fungsi sel T yang selektif. Memiliki imunitas selular yang normal terhadap ,mikroorganisme yang lain selain kandida dan imunitas humoralnya normal. Jumlah limfosit total normal, tetapi sel T menunjukkan kemampuan yang kurang untuk memproduksi MIF dalam respons terhadap antigen kandida, meskipun respons terhadap antigen lain normal.

1.3 Defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat


1.3.1 Defisiensi kombinasi sel B dan sel T yang berat atau severe combined immunodeficiency disease (SCID) Rentan terhadap infeksi virus, bakteri, jamur dan protozoa terutama CMV, pneumocytis carini dan Kandida.dapat di tolong dengan transplantasi sumsum tulang. Tidak adanya sel B dan T terlihat dari limfositopenia. Tidak boleh diberikan vaksin hidup karena dapat berakibat fatal. 1.3.2 Sindrom Nezelof Rentan terhadap infeksi rekuren berbagai mikroba. Imunitas sel T menurun, defisiensi sel B variabel dan kadar Ig spesifik dapat rendah, normal, atau meningkat (disgamaglobulinemia). Respon antibodi terhadap antigen spesifik biasanya rendah atau tidak ada.

1.3.3 Wiskott-Aldrich Syndrome Menunjukkan 3 gambaran berupa trombositopenia, eksim, dan infeksi rekuren oleh mikroba dengan kapsul(imunodefisiensi). IgM serum rendah, IgG normal, IgA dan IgE meningkat. Imunitas sel T biasanya baik pada fase dini, tetapi mengurang dengan progres penyakit. 1.3.4 Ataxia telangiektasi
Adalah penyakit autosomal resesif yang mengenai saraf, endokrin, dan sistem vaskular. Klinis ditemukan defisiensi selektif IgA dengan kelainan variabel yang mengenai imunoglobulin lain, ciri klinisnya berupa gerakan otot yang tidak terkoordinasi, dilatasi pembuluh darah kecil, limfopenia dan penurunan IgA, IgE dan kadang IgG

1.3.5Defisiensi Adenosin Deaminase Adenosin deaminase tidak ditemukandalam semua sel. Hal ini berbahaya karena kadar toksik berupa ATP dan deoxy-ATP dalam sel limfoid akan meningkat.

2. Defisiensi imun fisiologik


Keadaan ini mengkin diperlukan untuk kelangsungan hidup fetus yang merupakan allograft dengan antigen peternal. Disebabkan karena terjadi peningkatan aktivitas sel Ts atau oleh efek supresif faktor humoral yang dibentuk trofoblas Meskipun neonatus menunjukkan jumlah sel T yang tinggi, semuanya berupa sel T naif dan tidak memberikan respon yang adekuat terhadap antigen. Bayi prematur lebih mudah terinfeksi karena lebih sedikit menerima imunoglobulin ibu. Lebih rentan terkena infeksi karena terjadi atrofi timus, fungsi timus menurun. Jumlah sel T memori meningkat tetapi semakin sulit berkembang. Menurunnya respons imun akan menurunkan pula respons terhadap vaksinasi.

Usia tahun pertama

Kehamilan

Usia lanjut

3. Defisiensi imun didapat sekunder


3.1 Malnutrisi Malnutrisi dan defisiensi zat besi dapat menimbulkan depresi sistem imun terutama pada imunitas selular.. Defisiensi seng (Zn) dan magnesium menurunkan imunitas selular, terutama sekresi sitokin Th1 yang sering kali terjadi pasca operasi. 3.2 Infeksi Pada beberapa keadaan, infeksi virus dan bakteri dapat menekan sistem imun. Malaria dan rubela kongenital dapat menimbulkan defisiensi antibodi

3.3 Obat, trauma, tindakan kateterisasi dan bedah Imunosupresi merupakan efek samping steroid dan obat sitotoksik sudah sering digunakan pada penyakit autoimun dan pencegahan penolakan transplan. Obat imunosupresi dan antibiotik akan menekan sistem imun. Jumlah neutrofil yang berfungsi sebagai fagosit dapat menurun akibat pemakaian obat kemoterapi, analgesik, antihistamin, antitiroid, antikonvulsi, penenang dan antibiotik.

3.4 Penyinaran Dalam dosis tinggi penyinaran menekan seluruh jaringan limfoid, sedang dalam dosis rendah dapat menekan aktivitas sel Ts secara selektif. 3.5 Penyakit Berat Defisiensi imun didapat bisa terjadi akibat berbagai penyakit yang menyerang jaringan limfoid seperti penyakit Hodgkin, mieloma multiple, leukemia, limfosarkoma. Uremia menekan sistem imun dan menimbulkan defisiensi imun. Gagal ginjal dan Diabetes menimbulkan defek fagosit sekunder yang mekanismenya belum jelas.

3.6 Kehilangan imunoglobulin/leukosit Dapat terjadi karena tubuh kehilangan protein yang berlebihan seperti pada penyakit ginjal dan diare. 3.7 Stres Sistem imun berintegritas dengan stres. Rangsangan stres akut seperti bising, ansietas akut meningkatkan jumlah sel T dalam sirkulasi. Banyak faktor mempengaruhi jumlah sel CD4+ antara lain steroid endogen, mekanismenya belum jelas. Sekresi steroid yang normal dapat mempertahankan tekanan darah. Peningkatan sekresi steroid sebagai respons terhadap berbagai stres fisiologik seperti latihan jasmani yang berat dan lama atau emosi. Sistem imun nonspesifik juga dapat menginduksi sekresi steroid sebagai respons terhadap infeksi. Akibat kadar steroid yang tinggi adalah defisiensi imun.

3.8 Agamaglobulinemia dengan timoma


Agamaglobulinemia dengan timoma disertai dengan menghilangnhya sel b total dari sirkulasi. Eosinopenia atau aplasi sel darah merah dapat pula menyertai agamaglobulinemia.

FAKTOR-FAKTOR YANG DAPAT MENIMBULKAN DEFISIENSI IMUN SEKUNDER


FAKTOR Proses penuaan KOMPONEN YANG KENA Infeksi meningkat, penurunan respons terhadap vaksinasi, penurunan respons sel T dan B serta perubahan dalam kualitas respons Malnutrisi protein-kalori dan kekurangan elemen gizi tertentu (besi, zinc); sebab tersering defisiensi imun sekunder Contohnya: malaria, virus, campak, terutama HIV; mekanismenya melibatkan penurunan fungsi sel T dan APC

Malnutrisi

Mikroba imunosupresif

FAKTOR-FAKTOR YANG DAPAT MENIMBULKAN DEFISIENSI IMUN SEKUNDER


FAKTOR Obat sitotoksik/iradiasi KOMPONEN YANG KENA
Obat yang banyak digunakan terhadap tumor, juga membunuh sel penting dari sistem imun termasuk stem cells, progenitor neutrofil dan limfosit yang cepat membelah dalam organ limfoid

Tumor

Efek direk dari tumor terhadap sistem imun melalui pelepasan molekul imunoregulatori imunosupresif (TNF-)

Trauma

Infeksi meningkat, diduga berhubungan dengan pelepasan molekul imunosupresif seperti glukokortikoid.
Diabetes sering berhubungan dengan infeksi, tetapi mekanisme belum jelas

Penyakit lain seperti diabetes

HIV/AIDS

Struktur HIV Struktur virus HIV-1 terdiri atas 2 untaian RNA yang identik dan berhubungan dengan p17 dan p24 berupa inti polipeptida. Semua komponen diselubungi envelop membran fosfolipid dari sel pejamu. Protein gp120 dan gp41 ditemukan dalam envelop.

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)


Definisi AIDS adalah suatu kumpulan gejala yang disebabkan oleh infeksi HIV(Human Immunodeficiency Virus) yang menyebabkan hilangnya kekebalan tubuh sehingga penderita mudah terjangkit penyakit infeksi.

Pengaruh HIV terhadap sistem imun


HIV : menginfeksi CD4 atau Thelper jumlah dan fungsi menurun hampir keseluruhan respon imunitas tubuh tidak berlangsung normal.
(Th merangsang respon imun selular dan humoral (t.u yg selular) saat ada paparan antigen.)

Abnormalitas pada imunitas selular


Sel Th :
jumlah dan fungsi menurun(AIDS , cd4: 200/ul)

Makrofag :
fungsi fagositosis dan kemotaksis menurun, termasuk kemampuannya menghancurkan organisme intraseluler (mis: candida albican dan Toksoplasma gondii)

Sel Tc :
kmampuannya utk menghancurkan sel yg terinfeksi virus menurun,shgga terjadi reaktivasi virus yg tadinya laten (co: HZ & renitis sitomegalo). Sering terjadi diferensiasi sel ke arah keganasan.

Sel NK :
kmampuan utk menghancurkan sel scara langsung antigen asing & sel yg terinfeksi virus juga menurun.

Abnormalitas pada imunitas humoral


HIV : stimulasi limfosit B scara poliklonal dan non spesifik hippergammaglobulinemia t.u Ig A dan Ig G. Terjadi perubahan dari Ig M mnjadi IgG&IgA. Infeksi bakteri dan parasit intrasel manjadi mslh berat karena respon yg tidak tepat. Respon antibodi paska vaksinasi dengan antigen protein /polisakarida sangat lemah. Fungsi neutrofil terganggu infeksi oleh stafilokokus aureus infeksi kulit dan pneumonia

Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS)


AIDS, acquired immunodeciency syndrome terjadi imunodefisiensi sekunder yang disebabkan oleh infeksi HIV. Kekurangan imunitas tubuh dapat dilihat dari kadar CD4 (kurang dari 200) dalam tubuh.

EPIDEMIOLOGI
Di RSCM hingga tahun 2006 150 pasien (anak < 15 tahun) & 100 anak terpapar HIV tetapi tidak tertulari September 2005 8.165 pasien dewasa (usia subur) Dengan kemampuan reproduksi penderita dewasa, akan lahir anak-anak yang mungkin tertular HIV

EPIDEMIOLOGI DI INDONESIA

FAKTOR RISIKO
Transmisi seksual : homoseksual/heteroseksual dengan orang yang terinfeksi Transmisi darah dan produk darah : transfusi darah yang pengaruhi HIV Transmisi HIV terhadap pekerjaan : pekerja laboratorium Transmisi maternal-infant/infant : secara perinatal Transmisi dengan cairan tubuh lain : gigitan manusia (jarang)

Patogenesis AIDS
Siklus hidup HIV Siklus hidup HIV terdiri dari : 1. Infeksi sel 2. Produksi DNA virus 3. Integrasi ke dalam genom 4. Ekpresi gen virus 5. Produksi partikel virus Virus menginfeksi sel dengan menggunakan gp120 yang terutama mengikat sel CD4+ dan reseptor kemokin (CXCR4 dan CCR5) dari sel manusia. Oleh karena itu virus dapat menginfeksi efisien sel CD4+. Makrofag dan sel dendritik juga dapat diinfeksinya.

Patogenesis AIDS Sel T CD4+ dan sel


dendritik Menuju ke kelenjar getah bening Viremia

Antibodi anti HIV

CTL spesifik HIV

Kontrol parsial infeksi virus Infeksi kronik & mikrobial lainnya Peningkatan replikasi virus Penghancuran jaringan limfoid; deplesi CD4+

GEJALA & TANDA


Gejala mayor :
Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan Diare berkepanjangan yang berlangsung lebih dari satu bulan Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis (saraf) Demensia (penurunan ingatan/memori) /HIV ensefalopati

GEJALA & TANDA


Gejala minor :
Batuk menetap lebih dari satu bulan Dermatitis generalisata yang gatal Adanya penyakit herpes zoster dibeberapa tempat dan atau berulang Kandidiasis orofaringeal - Penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan Limfadenopati generalisata Pembesaran di semua kelenjar limfe Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
Seseorang dikatakan telah menderita AIDS apabila didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor dan menunjukan HIV positif

DIAGNOSIS
Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1. Sistem ini diperbarui pada bulan September tahun 2005. Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah ditangani pada orang sehat. * Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS * Stadium II: termasuk manifestasi membran mukosa kecil dan radang saluran pernafasan atas yang berulang * Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari sebulan, infeksi bakteri parah, dan tuberkulosis. * Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus atau paru-paru, dan sarkoma kaposi. Semua penyakit ini adalah indikator AIDS.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan yang saat ini sering digunakan adalah tes antibodi, tes ini mudah dilaksanakan dan biayanya murah. Bila pada tes antibodi ditemukan hasil yang positif, maka pemeriksaan harus diulang. Bila masih positif dilakukan tes konfirmasi dengan tes Western Blot. Bila Western Blot tidak tersedia, maka hasil dinyatakan positif bila tes antibodi menunjukkan tiga kali hasil yang positif. Sebaliknya, hasil yang negatif dapat berarti seseorang tidak terinfeksi HIV atau masih berada dalam periode jendela.

Penatalaksanaan
Terapi kausal
antiretroviral (ARV) :
inhibitor reverse transcriptase (Zidovudin, retrovir, avirzid, didanosin, stavudin, lamivudin) Inhibitor enzim protease (saquinavir, indinavir, ritonavir)

Terapi suportif Terapi untuk infeksi oportunistik

PROGNOSIS
Waktu median dari infeksi HIV primer 10 tahun Mortalitas : 5 orang/tahun dari 100.000 Kira-kira 60% kematian pasien dengan AIDS hasil infeksi lain (hepatitis virus)

You might also like