You are on page 1of 24

Pelayanan Farmasi di Apotek

Meta Emilia Surya Dharma


1441012067

Apoteker harus memahami dan


menyadari kemungkinan
terjadinya kesalahan pengobatan
(medication error) dalam proses
pelayanan.
Oleh sebab itu apoteker dalam
menjalankan praktek harus
sesuai standar. Apoteker harus
mampu berkomunikasi dengan
tenaga kesehatan lainnya dalam
menetapkan terapi untuk
mendukung penggunaan obat
yang rasional.

Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan pelayanan


kefarmasian dengan baik, Ditjen Yanfar dan Alkes, Departemen
Kesehatan bekerja sama dengan Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia
(ISFI) menyusun standar pelayanan kefarmasian di apotek.
Tujuan
Standar Pelayanan Kefarmasian di apotek disusun:
1. Sebagai pedoman praktek apoteker dalam menjalankan profesi.
2. Untuk melindungi masyarakat dari pelayanan yang tidak
profesional
3. Melindungi profesi dalam menjalankan praktik kefarmasian

PENGELOLAAN SUMBER DAYA

1. Sumber Daya Manusia


Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku apotek harus
dikelola oleh seorang apoteker yang profesional.
Dalam pengelolaan apotek, apoteker senantiasa harus
memiliki kemampuan menyediakan dan memberikan
pelayanan yang baik, mengambil keputusan yang tepat,
mampu berkomunikasi antar profesi, menempatkan diri
sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner, kemampuan
mengelola SDM secara efektif, selalu belajar sepanjang
karier dan membantu memberi pendidikan dan memberi
peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

2. Sarana dan Prasarana


Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah
dikenali oleh masyarakat. Pada halaman terdapat
papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata
apotek.
Apotek harus dapat dengan mudah diakses oleh
anggota masyarakat.
Masyarakat harus diberi akses secara langsung dan
mudah oleh apoteker untuk memperoleh informasi
dan konseling.
Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya.
Apotek harus bebas dari hewan pengerat, serangga.
Apotek memiliki suplai listrik yang konstan, terutama
untuk lemari pendingin.

3. Sediaan Farmasi dan Perbekalan


Kesehatan lainnya.
Pengelolaan persediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai
ketentuan perundangan yang berlaku
meliputi:
perencanaan, pengadaan, penyimpanan dan
pelayanan. Pengeluaran obat memakai sistim
FIFO (first in first out) dan FEFO (first expire
first out)

1. PELAYANAN RESEP

A. Pengelolaan Resep
Skrining ResepApoteker melakukan skrining resep meliputi :
Persyaratan Administratif :

Nama, SIP dan alamat dokter


Tanggal penulisan resep
Tanda tangan/paraf dokter penulis resep
Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan berat badan pasien
Cara pemakaian yang jelas
Informasi lainnya

Kesesuaian farmasetik : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,


inkompatibilitas, cara dan lama pemberian
Pertimbangan klinis : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain lain). Jika ada keraguan
terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis
resep dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya
bila perlumenggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

2. Penyiapan obat.
Peracikan.Merupakan kegiatan menyiapkan menimbang, mencampur,
mengemas dan memberikan etiket pada wadah.
Etiket harus jelas dan dapat dibaca.
Kemasan Obat yang DiserahkanObat hendaknya dikemas dengan rapi
dalam kemasan yang cocok sehingga terjaga kualitasnya.
Penyerahan Obat.Sebelum obat diserahkan pada pasien harus
dilakukan pemeriksaan akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan
resep. Penyerahan obat dilakukan oleh apoteker disertai pemberian
informasi obat dan konseling kepada pasien.
Informasi Obat.Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas
dan mudah dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana, dan terkini.
Konseling.Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan
farmasi, pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat
memperbaiki kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar
dari bahaya penyalahgunaan atau penggunaan obat yang salah.
Monitoring Penggunaan Obat.Setelah penyerahan obat kepada pasien,
apoteker harus melaksanakan pemantauan penggunaan obat, terutama
untuk pasien tertentu seperti kardiovaskular, diabetes, TBC, asma, dan
penyakit kronis lainnya.
Promosi dan Edukasi.Dalam rangka pemberdayaan masyarakat.

B. Salinan Resep
Salinan resep diatur dalam kepmenkes No. 280 tahun
1981 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pengelolaan
Apotek, disebutkan bahwa salinan resep adalah salinan
yang dibuat oleh apotek, yang selain memuat semua
keterangan yang terdapat dalam resep asli, harus
memuat pula:

Nama dan alamat Apotek


Nama dan nomor Surat Izin Pengelola Apotek
Tanda tangan atau paraf apoteker pengelola apotek
Tanda det atau detur untuk obat yang sudah diserahkan;
tanda nedet atau ne detur untuk obat yang belum
diserahkan
Nomor resep dan tanggal pembuatan

C. Penyimpanan dan pemusnahan resep


Di Apotek, bila obatnya sudah diserahkan kepada
penderita, menurut Peraturan Pemerintah kertas resep
harus disimpan, diatur menurut urutan tanggal dan
nomor urut pembuatan, serta harus disimpan
sekurang-kurangnya selama tiga tahun.
Kegunaan hal akhir ini adalah untuk memungkinkan
penelusuran kembali bila setelah sekian waktu terjadi
suatu akibat dari obat yang diberikan.
Setelah lewat waktu tiga tahun, resep-resep oleh
Apotek boleh dimusnahkan dengan membuat proses
verbal (berita acara) pemusnahan.
(SK Menkes RI no.
280/MenKes/SK/V/1981 mengenai
penyimpanan Resep di Apotek).

2. PELAYANAN OBAT WAJIB APOTEK (OWA)

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor : 347/


MenKes/SK/VII/1990 Tentang Obat Wajib
Apotik, mendefenisikan Obat Wajib Apotek
(OWA) yaitu obat keras yang dapat diserahkan
oleh Apoteker kepada pasien di Apotik tanpa
resep dokter. Yang pada diktum ke dua pada
putusan, dijelaskan bahwa Obat yang
termasuk dalam OBAT WAJIB APOTIK
ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.

Permenkes No. 919 tahun 1993 juga mengatur tentang


kriteria obat yang dapat diserahkan tanpa resep yakni
sebagai berikut:
Tidak dikontaraindikasikan untuk penggunaan pada wanita
hamil, anak dibawa usia 2 tahun dan orang tua diatas 65 tahun
Pengobatan sendiri dengan obat yang dimaksud tidak
memberikan resiko pada kelanjutan penyakit
Penggunaannya tidak memerlukan cara dan alat khusus yang
harus dilakukan oleh tenaga kesehatan
Penggunaan diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya
tinggi di Indonesia
Obat dimaksud memiliki resiko khasiat keamanan yang dapat
dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.

EVALUASI MUTU PELAYANAN


Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi
mutu pelayanan adalah:
Dimensi waktuLama pelayanan diukur dengan
waktu ( yang telah ditetapkan).
Prosedur Tetap ( Protap )Untuk menjamin mutu
pelayanan sesuai standar yang telah ditetapkan.
Tingkat kepuasan konsumen dilakukan dengan
survei berupa angket atau wawancara langsung.

3. PELAYANAN OBAT BEBAS (OB) DAN


OBAT BEBAS TERBATAS (OBT)

Obat Bebas (OB) di defenisikan sebagai obat yang dijual


bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter.
Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas
adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna
hitam.
Obat bebas Terbatas (OBT) didefenisikan sebagai; obat
yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih
dapat dijual atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan
disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada
kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah
lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.

PERAN APOTEKER DALAM PENGGUNAAN


OBAT BEBAS DAN BEBAS TERBATAS
Penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas
dalam pengobatan sendiri (swamedikasi) harus
mengikuti prinsip penggunaan obat secara
umum, yaitu penggunaan obat secara aman dan
rasional.
Swamedikasi yang bertanggung jawab
membutuhkan produk obat yang sudah terbukti
keamanan, khasiat dan kualitasnya, serta
membutuhkan pemilihan obat yang tepat sesuai
dengan indikasi penyakit dan kondisi pasien.

4. PELAYANAN PSIKOTROPIKA

Menurut pasal 14 UU No. 5 tahun 1997 tentang


psikotropika:
Ayat 2 : Penyerahan psikotropika oleh apotek
haya dapat dilakukan kepada:

Apotek lainnya
Rumah sakit
Puskesmas
Balai pengobatan
Dokter
Pengguna/pasien

5. PENGELOLAAN NARKOTIKA
Menurut pasal 39 UU no 22 tahun 1997 tentang
narkotika;
Ayat 2 : Apotek hanya dapat menyerahkan
narkotika kepada :

Rumah sakit
Puskesmas
Apotek lainnya
Balai pengobatan
Dokter
Pasien

Untuk keberhasilan pelaksanaan Standar


Pelayanan Kefarmasian di Apotek diperlukan
komitmen dan kerjasama semua pemangku
kepentingan.
Hal tersebut akan menjadikan Pelayanan
Kefarmasian di Apotek semakin optimal dan
dapat dirasakan manfaatnya oleh pasien dan
masyarakat yang pada akhirnya dapat
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.

You might also like