You are on page 1of 59

PENYAKIT INFEKSI:

MEKANISME KERUSAKAN JARINGAN


PADA INFEKSI
TINJAUAN UMUM PEYAKIT INFEKSI
Penyakit infeksi masih merupakan penyakit yang
menakutkan karena, oleh karena agen infeksi dapat
menimbulkan / mengakibatkan penyakit pada individu
yang sebelumnya sehat menjadi sakit dalam kurun waktu
yang singkat. Sejarah telah mencatat bahwa penyakit pes
"plaue" telah membunuh 10% dari populasi di London
pada tahun 1665. Di pihak lain beberapa penemuan
mendasar pada beberapa abad yang lalu, seperti oleh
Louis Pasteur (sterilisasi), Edward Jenner (imunisasi),
dan Alexander Fleming (antibiotik), serta pemahaman
kita tentang epidemiologi penyakit infeksi telah
memungkinkan kita mengontrol sejumlah penyakit
infeksi di dunia.
 Namun demikian perjuangan
mengahadapi penyakit infeksi masih terus
berlangsung. Satu-satunya penyakit yang
berhasil dieradikasi di dunia adalah cacar
air (smallpox). Eradikasi sejumlah
penyakit dengan cakupan imunisasi dunia
yang sudah lebih dari 90% seperti
tetanus, campak, pertusis, difteri, dan
poliomyelitis, tampaknya memberikan
harapan yang cerah.
AKIBAT INFEKSI
 Infeksi artinya masuknya dan multiplikasi kuman infeksi
dalam tubuh. Pada infeksi subklinis, tidak tampak gejala
klinis, tetapi tubuh menunjukkan adanya respons imun
terhadap kuman, biasanya melalui pembentukan antibodi.
Dengan demikian biasanya tubuh dapat mengatasi infeksi
dengan cepat [Gambar 13-3]. Infeksi klinis terjadi bila
infeksi tersebut mengakibatkan kerusakan jaringan.
Penyakit infeksi pada umumnya akut, yang berakhir cepat
dengan penyembuhan sempurna atau malah kematian;
kadang-kadang penyakit infeksi ini menjadi kronis. Tujuan
kita dalam mengatasi infeksi adalah mempengaruhi
perjalanan penyakitnya agar berakhir dengan penyembuhan.
Oleh sebab itu diagnosis yang tepat sangat diperlukan untuk
menentukan tindakan medis yang tepat.
 Gejala penyakit infeksi sangat bervariasi
antara individu satu dengan yang lain,
tergantung pada berbagai faktor dalam tubuh
penderita (Tabel 13-4). Umumnya, proses
infeksi terjadi di tempat masuknya agen,
misalnya faringitis streptokokus. Kadang-
kadang kuman dapat masuk aliran limfe atau
pembuluh darah dan menyebar ke seluruh
tubuh. Kemungkinan terjadinya sebaran
infeksi dalam tubuh ini tergantung pada
virulensi kuman dan status imun penderita.
 Penyakit infeksi pada umumnya akan memacu respons imun
tubuh (Gbr. 3). Respons ini bisa berupa imunitas humoral
maupun seluler, dan biasanya menguntungkan sebab dapat
memberikan kekebalan terhadap serangan infeksi yang sama di
kemudian hari. Imunitas terhadap infeksi virus tertentu bisa
seumur hidup, sedang imunitas terhadap bakteri atau jamur
pada umumnya hanya sementara. Namun kadang-kadang
respons imun justru dapat menyebabkan penyakit, walaupun
infeksinya sudah teratasi. Contoh yang paling baik untuk kasus
ini adalah infeksi streptokokus, dimana respons imun
mengakibatkan jejas pada jantung (acute rheumatic fever) dan
glomeruli ginjal (acute poststreptococcus glomerulonephritis).
Kejadian patologis tersebut tidak membutuhkan masuknya
streptokokus ke dalam aliran darah atau ke jaringan. Acute
poststreptococcus glomerulonephritis terjadi karena oleh
penimbunan kompleks imun (antigen streptokokus-antibodi)
pada glomeruli.
Infeksi aliran darah
 Agen infeksi (kuman) dapat masuk aliran darah
maupun limfe dari jaringan yang terinfeksi. Kadang-
kadang tempat masuknya kuman tidak menunjukkan
penyakit; misalnya meningococcal bakteremia,
farings ¾ yang merupakan tempat masuknya kuman
¾ biasanya tampak normal; pada poliomyelitis
(penyakit pada sistem saraf), usus yang merupakan
tempat masuknya kuman sangat jarang menunjukkan
tanda adanya infeksi.

Adanya mikroorganisme dalam
sirkulasi darah (bakteremia, viremia,
parasitemia, fungemia) selalu
memberikan gejala klinis yang
bermakna. Diagnosis bakteremia,
viremia, dan fungemia ditegakkan
melalui kultur darah,
sedang parasitemia biasanya
ditegakkan melalui identifikasi adanya
parasit dalam
sediaan hapus darah, misalnya
malaria.
Dalam praktek sehari-hari, bakteremia yang
ditemukan dalam klinis berada antara dua
ekstrim, yaitu antara bakteremia transient
dan septisemia (bakteremia berat )

A Bakteremia Transien : Pada keadaan ini, jumlah


kuman dalam aliran darah hanya sedikit dan tidak
mengadakan multiplikasi dalam aliran darah, oleh
karena segera dimusnahkan oleh sistem pertahanan
tubuh. Keadaan ini relatif sering ditemukan, misalnya
penderita infeksi gigi dan ginggiva yang
menyebarkan kuman pada waktu mengunyah atau
menggosok gigi tanpa gejala klinis yang berarti
B Pada keadaan tertentu bakteremia transien dapat
menimbulkan penyakit, misalnya: (1) pada inidvidu
yang imunokompromised ¾ yang sistem imumnya
tidak sanggup menetralisir mikroorganisme ¾
sehingga terjadi multiplikasi kuman dan penyebaran
yang hebat; (2) pada penderita penyakit katup jantung
kronis atau pengguna protesa jantung, kuman dapat
tumbuh pada katup yang rusak atau pada katup
prostetik dan bakteremia dapat diperburuk oleh
infective endocarditis; dan (3) pada individu normal,
bilamana mikroorganisme masuk dan menginfeksi
organ dalam tubuh, misalnya pada ensefalitis virus.
Mengapa hanya individu tertentu yang mengalami
infeksi tersebut tidak diketahui jelas
C Bakteremia Berat (Septisemia) : Septisemia
sering disamaartikan dengan bakteremia berat yang
artinya suatu infeksi serius, dimana kuman dalam
jumlah besar dan bertambah terus sampai
melampaui kemampuan sistem pertahanan tubuh,
dan mikroorganisme ini secara aktif memperbanyak
diri dalam sirkulasi darah. Septisemia berhubungan
dengan toksemia (adanya toksin bakteri dalam
sirkulasi darah) dan ditandai dengan panas tinggi,
menggigil, takikardia, dan hipotensi. Keadaan ini
dapat mengakibatkan kematian.

KLASIFIKASI AGEN INFEKSI
Klasifikasi Berdasarkan Struktur

Agen infeksi dapat diklasifikasikan berdasar


tingkat kerumitan strukturnya, dimulai dengan
prion hingga virus, rickettsiae, chlamydiae,
mycoplasma, bacteria, fungi dan protozoa
sampai metazoa (Tabel 13-5). Protozoa dan
metazoa sering secara kolektif disebut sebagai
parasit, walaupun pada hakekatnya kuman
yang lain sebenarnya juga parasit.
 Masing-masing kelompok dapat disubklasifikasikan
lebih lanjut. Misalnya, berdasar tipe asam nukleat
yang ada pada genomenya virus dibagi menjadi virus
RNA dan virus DNA. Bakteri diklasifikasikan
menjadi cocci, batang (bacilli), spirochete, dan
vibrio, atas dasar bentuknya; berdasar pewarnaan
Gram dibedakan gram-negatif dan gram-positif;
sedang berdasarkan kebutuhan oksigen bagi
pertumbuhannya bakteri dibedakan aerob dan
anaerob. Rickettsiae dan chlamydiae adalah bakteri
kecil yang merupakan parasit intrasel obligat. Fungi
dapat berupa yeast (jamur) atau mold (mycelial fungi)
atau berbentuk dimorfik (berbentuk yeast dan mold).
Protozoa dan metazoa diklasifikasikan ke dalam
genera dan spesies tergantung pada kriteria
strukturnya.
Klasifikasi Berdasarkan Patogenitas
 Kemampuan kuman mempertahankan diri dan
berkembang biak dalam jaringan disebut infectivity
(infektifitas), dan kemampuannya menyebabkan
penyakit disebut pathogenicity (patogenitas).
Berdasar patogenitasnya kuman dibedakan yang
patogenitasnya rendah dan tinggi. Kuman yang
patogenitasnya tinggi disebut juga kuman yang
virulen. Pembedaan ini penting, karena kuman yang
virulen dapat menimbulkan penyakit pada manusia
normal sedang kuman yang patogenitasnya rendah
hanya menimbulkan penyakit pada individu yang
immunocompromised (infeksi oportunistik).
Individu ini tidak memiliki ketahanan terhadap
kuman yang bagi individu yang immunocompetent
tidak akan menimbulkan penyakit.

Klasifikasi Berdasarkan Tempat
Multiplikasi
Kemampuan kuman bermultiplikasi di
dalam atau di luar sel dapat digunakan
sebagai dasar klasifikasi (Tabel 13-6).
Hal ini penting untuk memahami respons
tubuh terhadap infeksi, sebab tipe
inflamasi dan respon imun yang
dibangkitkan oleh infeksi terutama
ditentukan oleh tempat multiplikasi
kuman.
A. Organisme Intraseluler Obligat:
Organisme jenis ini dapat tumbuh dan
memperbanyak diri (multiplikasi) hanya di
dalam sel tubuh penderita dan membutuhkan
fasilitas metabolik sel tubuh untuk
pertumbuhannya. Organisme jenis ini
terutama menginfekis sel parenkim. Kultur
organisme ini membutuhkan sistem sel
hidup, misalnya telur embrional (telur akan
menetas), kultur sel, atau binatang
percobaan.
B Organisme Intraseluler Fakultatif: Organisme
jenis ini mampu tumbuh dan memperbanyak diri
secara intra dan ekstra seluler. Pertumbuhan
intraseluler biasanya terjadi dalam makrofag. Pola
multiplikasi organisme tersebut juga bervariasi: ada
yang hampir tidak pernah memperbanyak diri di
luar sel, misalnya Mycobacterium leprae, ada yang
sangat jarang memperbanyak diri di dalam sel,
misal Actinomyces israelii. Kebanyakan organisme
jenis ini dapat tumbuh pada media artifisial, kecuali
M leprae, yang tidak dapat tumbuh dalam media
artifisial atau kultur sel.
C Organisme Ekstraseluler :
Organisme jenis ini memperbanyak diri
di luar sel. Kecuali protozoa dan
metazoa, yang tidak dapat dikultur sama
sekali, organisme ekstraseluler dapat di
kultur dalam media artifisial.
Treponema pallidum, yaitu spirochete
penyebab sifilis, dapat juga dikultur.

PERUBAHAN JARINGAN PADA INFEKSI

 Jaringan yang terinfeksi akan mengalami perubahan


patologis (dan penyakit) akibat kerusakan seluler
yang ditimbulkan oleh agen infeksi tersebut, respon
inflamasi, dan respon imun tubuh (Gambar 13-4).
Tetapi infeksi tidak selalu mengakibatkan penyakit.
Pada infeksi laten, agen penyebab ¾ biasanya virus ¾
dapat tinggal (dormant) dalam sel yang terinfeksi
tanpa menimbulkan kerusakan sel pada sel yang
bersangkutan. Di kemudian hari ¾ bisa beberapa
tahun setelah infeksi primer ¾ timbul penyakit akibat
reaktifasi kuman tersebut.
KERUSAKAN JARINGAN AKIBAT
AGEN INFEKSI
 Kerusakan jaringan yang ditimbulkan langsung
oleh agen infeksi merupakan sebab utama
perubahan patologis. Derajat kerusakan
jaringan tergantung virulensi kuman;
organisme dengan virulensi tinggi, seperti
Yersinia pestis (agen penyebab penyakit
pes/plague) dapat dengan cepat mengakibatkan
nekrosis jaringan yang luas. Mekanisme
kerusakan jaringan bervariasi, tergantung
kuman penyebabnya.
Organisme Intraseluler Obligat
A. Nekrosis Sel:
Infeksi oleh organisme intraseluler obligat mengakibatkan
nekrosis akut bilamana replikasi agen infeksi disertai dengan
gangguan fungsi sel yang letal. Agen patogen yang berbeda
mempunyai afinitas yang berbeda pula terhadap sel
parenkim (ini disebut organotropisme). Bahkan walaupun
terjadi infeksi pada berbagai tipe sel, kerusakan yang berarti
bisa hanya terjadi pada sel-sel tertentu saja: misalnya infeksi
virus polio, tempat utama infeksi dan replikasi virus adalah
mukosa usus, tetapi gambaran klinis didominasi oleh
kerusakan motor neuron pada medulla spinalis dan batang
otak. Manifestasi klinik infeksi virus tergantung jenis virus
yang menyerang. Namun penyakit yang sama dapat
disebabkan oleh kuman yang berbeda yang menimbulkan
nekrosis pada satu tipe sel tertentu. Misalnya, hepatitis akut
dapat disebabkan oleh virus yang berbeda, tetapi
manisfestasi klinisnya sama saja.
B. Pada infeksi intraseluler obligat yang disertai
nekrosis akut, penderita bisa meninggal pada
fase akut (misalnya ensefalitis, miokarditis,
atau nekrosis sel hati yang massif), tetapi
dapat juga sembuh. Penyembuhan terutama
disebabkan oleh respon imun yang efektif
yang menetralkan virus. Kembali ke fungsi
normal dapat tercapai kecuali jika sel yang
nekrosis tidak bisa regenerasi, misalnya pada
ensefalitis, kerusakan neuron akan
menyebabkan defisit neurologis.
C. Infeksi virus (atau respon imun terhadap virus) bisa
menyebabkan nekrosis sel sedikit demi sedikit
tetapi dalam jangka waktu lama, kadang kadang
bertahun-tahun. Infeksi virus persisten ini bisa
terjadi pada hati (hepatitis kronis persisten dan
hepatitis kronik aktif yang biasanya disebabkan
oleh virus hepatitis B dan virus hepatitis C), pada
otak (subacute sclerosing panencephalitis yang
disebabkan oleh virus campak), dan pada limfosit T
(yang disebabkan oleh human immunodeficiency
virus = HIV). Infeksi prion pada otak, seperti
penyakit Creutzfeld-Jacob, terutama ditandai oleh
kerusakan neuron progresif yang lambat.
D. Pembengkakan Sel: Jejas subletal yang
disebabkan oleh agen intraseluler obligat
dapat mengakibatkan berbagai derajat
degenerasi sel, yang paling sering adalah
pembengkakan (swelling). Misalnya
pembengkakan difus pada hepatosit yang
masih hidup pada infeksi virus hepatitis akut.
Rickettsia mempunyai tendensi tumbuh
dalam sel endotelium dan menyebabkan
pembengkakan sel endotelium yang dapat
menimbulkan trombosis.
E. Pembentukan Badan Inklusi (Inclusion Body): Badan inklusi
terbentuk sewaktu virus atau chlamydia berkembangbiak di dalam sel.
Benda ini dapat dilihat dengan mikroskop cahaya dan merupakan
pertanda infeksi intraseluler obligat. Inklusi ini terbentuk dari partikel
virus atau sisa-sisa sintesis asam nukelat virus. Badan inklusi terdapat
dalam nukleus atau sitoplasma dan berguna untuk membantu diagnosis
infeksi virus pada sediaan histologis (Tabel 13-7; Gambar 13-6, 13-7,
dan 13-8). Pada infeksi virus hepatitis B, sitoplasma sel yang terinfeksi
menunjukkan gambaran kaca buram (ground-glass) (Gambar 13-9A)
dan tampak positif dengan pewarnaan orcein (Shikata) (Gambar 13-9B)
dan dengan teknik imunologik menggunakan antibodi anti-hepatitis B.
Teknik pemeriksaan imunologik (pewarnaan imunoperoksidase) untuk
mendeteksi antigen virus dan teknik yang menggunakan pelacak (probe)
DNA atau RNA yang dapat mengenal urutan asam amino spesifik dari
virus, merupakan metode yang lebih sensitif untuk mendeteksi virus di
dalam sel yang terinfeksi. Metode ini digunakan bilamana pemeriksaan
dengan mikroskop cahaya tidak memberikan gambaran yang diagnostik.
F. Pembentukan Sel Raksasa :
Sel raksasa berinti-banyak sering terjadi pada infeksi
virus tertentu. Virus campak membentuk sel raksasa
yang sangat besar (Whartin-Finkeldey giant cell)
yang mengandung 20-100 inti kecil yang berukuran
sama (Gambar 13-11). Sel jenis ini dijumpai pada
setiap jaringan yang terinfeksi virus campak,
biasanya mengenai paru dan jaringan limfoid
apendiks dan tonsil. Infeksi herpes simpleks dan
varicella-zoster mengakibatkan terbentuknya sel
raksasa pada sel epitel skuamous (kulit, mulut,
genital eksterna, dan esofagus). Sel-sel tersebut
mempunyai 3-8 nuklei yang tampak transparan atau
mengandung inklusi Cowdry A (Gambar13-7)
G. Infeksi Virus Laten:

Banyak infeksi virus yang dapat


menyebabkan infeksi laten pada sel,
yang bisa bertahan seumur hidup
penderita. Namun setiap saat bisa terjadi
reaktifasi..
1.` Reaktifasi

 Virus herpes simpleks dan varicella zoster cenderung menjadi


infeksi laten dalam ganglion sensoris yang terinfeksi pada
infeksi primer. Reaktifasi berulang dapat disebabkan oleh
berbagai keadaan (misalnya stress, trauma, infeksi kuman lain,
imunodefisiensi). Virus kemudian akan bermigrasi melalui
saraf ke kulit atau mukos, maka terjadilah nekrosis sel dan
pembentukan vesikel. Reaktifasi virus herpes simpleks tipe 1
akan menyebabkan ulserasi vesikel (cold sore atau febris
blister) yang sangat khas di sekitar bibir. Setelah infeksi primer
varicella pada masa kanak-kanak, virus varicella zoster akan
menjadi dorman pada ganglion dorsalis; jika manifest,
terjadilah herpes zoster.
2.Onkogenesis (pembentukan neoplasma,
termasuk kanker)
Sejumlah virus diduga dapat menyebabkan
neoplasma pada binatang (misalnya virus Rous
sarcoma, mouse mammary tumor virus) dan
pada manusia. Virus Epstein-Barr dilaporkan
sebagai penyebab limfoma Burkitt dan
karsinoma nasofarings; suatu jenis retrovirus ¾
human T cell lymphotropic virus tipe 1 (HTLV-
1) ¾ diduga menyebabkan Japanese T cell
lymphoma.
Organisme Intraseluler Fakultatif
 Organisme intraseluler fakultatif
seperti mikobakteria dan fungi sering menimbulkan kerusakan
jaringan. Mekanisme kerusakan jaringan tersebut masih belum
diketahui. Cord factor (trehalose dimycolate) pada M.
tuberculosis ada kaitannya dengan virulensi kuman. Kerusakan
jaringan pada infeksi organisme intraseluler fakultatif bisa
karena proses inflamasi (pembentukan granuloma), imunologis
(delayed hypersensitivity yang menimbulkan nekrosis
kaseosa), dan respons penyembuhan (fibrosis).
 Agen intraseluler fakultatif,
dalam hal ini M tuberculosis dan fungi dimorfik seperti
Histoplasma dan Coccidiodes, bisa "dorman" di dalam
jaringan dalam jangka waktu lama. Dorman artinya organisme
tersebut tetap hidup dalam sel makrofag dan luput dari
pengawasan sistem imun tubuh. Jika sistem imun tubuh
menurun bisa terjadi reaktifasi, sehingga kuman
berkembangbiak dan timbul penyakit.
Organisme Ekstraseluler
Organisme ekstraseluler seperti bakteri, fungi,
dan protozoa dapat menyebabkan jejas sel
melalui berbagai jalan
A.Pelepasan Enzim yang Bekerja Lokal: Pada
waktu multiplikasi, organisme yang virulen
akan menghasilkan/ mengeluarkan banyak
enzim ke dalam jaringan, sehingga terjadi
kerusakan jaringan. Enzim apa pastinya yang
menyebabkan perubahan patologis, masih
belum dapat diidentifikasi. Namun informasi
yang diperoleh dari percobaan in vitro bisa
digunakan untuk menerangkan proses
terjadinya kerusakan.
 Staphylococcus aureus memproduksi koagulase, yang
mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Produksi
koagulase erat kaitannya dengan virulensi organisme,
dan staphylococci yang tidak mengadung koagulase
(misalnya staphylococci epidermidis) mempunyai
virulensi yang rendah. Secara in vivo, koagulase
diduga menyebabkan bakteri diselimuti oleh lapisan
fibrin, yang meningkatkan ketahanan organisme
terhadap fagositosis. Kemampuan resistensi terhadap
fagositosis bukan saja berkaitan dengan virulensi
kuman, tetapi juga cenderung menyebabkan radang
supuratif serta nekrosis jaringan.
 Streptococcus pyogenes menghasilkan
hyaluronidase, yang menguraikan hyaluronic
acid stroma dan mempermudah penyebaran
infeksi; streptokinase, yang mengaktifkan
plasminogen dan mempromosi pemecahan
fibrin; dan sejumlah hemolysin yang sanggup
melakukan hemolisis eritrosit. Enzim ini
berperan pada terjadinya penyebaran
streptococcus, dan dihasilkannya eksudat encer
yang bercampur darah.
Clostridium perfringens, yang menyebabkan
gas ganggren, menghasilkan banyak enzim,
termasuk diantaranya lecithinase (alpha toxin),
yang menghancurkan membran lipid sel dan
menyebabkan nekrosis; hyaluronidase;
collagenase, yang menghancurkan kolagen;
dan hemolysin. Enzim-enzim ini berperan
penting pada penyebaran necrotizing
inflammation yang merupakan ciri khas gas
ganggren. Produksi gas dalam jaringan
merupakan fermentasi gula pada waktu
pertumbuhan bakteri.
B. Mengakibatkan Vaskulitis Lokal:
Organisme yang virulensinya tinggi, seperti
basil anthrax (Bacillus anthracis),
Aspergillus, dan Mucor, dapat menginfeksi
dan menyebabkan trombosiss lokal pada
pembuluh darah kecil dan menyebabkan
nekrosis kimiawi pada dan di sekitar tempat
infeksi. Terjadinya vaskulitis dapat
disebabkan oleh invasi langsung pad
pembuluh darah oleh organisme atau sebagai
akibat dari toksin (misalnya faktor edema
anthrax).
Produksi Toksin yang Bekerja di Tempat yang Jauh: Sejumlah
bakteri menghasilkan toksin yang masuk dalam sirkulasi
sehingga menimbulkan jejas sel pada tempat yang jauh dari
sumber infeksi.

1. Endotoksin
 Endotoksin adalah komponen lipopolisakarida dinding sel bakteri gram negatif
yang dilepaskan ke dalam sirkulasi darah setelah kematian dan lisis bakteri. Dalam
darah, endotoksin bekerja pada embuluh darah kecil dan menyebabkan vasodilatasi
perifer generalisata (yang dapat mengakibatkan kegagalan sirkulasi dan syok),
kerusakan sel endotelium, dan aktifasi coagulation cascade (sehingga
mengakibatkan disseminated intravascular coagulation). Pengaruhnya pada
pembuluh darah kecil diperantarai oleh TNF (cachectin), yang diproduksi makrofag
yang diinduksi oleh endotoksin. Endotoksin juga mengakibatkan demam melalui
aksi IL-1 yang dihasilkan oleh makrofag teraktifasi dan aktifasi sistem komplemen.
Syok endotoksin (gram-negatif) sering menyertai infeksi saluran kemih atau setelah
pembedahan usus, tetapi keadaan ini bisa juga terjadi pada infeksi bakteri gram-
negatif lainnya. Berbagai dampak bakteremia meningococcal adalah akibat
endoktoksin
2. Eksotoksin-
Eksotoksin adalah substansi (biasanya adalah protein)
yang secara aktif disekresi oleh bakteri yang hidup
dan kadang-kadang berdampak pada tempat yang
jauh dari asal infeksi setelah tersebar melalui aliran
darah. Eksotoksin dapat menyebabkan berbagai
penyakit (Tabel 13-8) yang relatfi spesifik untuk
eksotoksin dan organisme yang terlibat. Eksotoksin
sangat antigenik, sehingga menginduksi pembentukan
antibodi spesifik (antitoksin). Eksotoksin biasanya
tidak stabil dalam keadaan panas dan rusak pada suhu
di atas 60°C. (Sebaliknya endotoksin relatif stabil
terhadap suhu tinggi).
3. Enterotoksin
 Enterotoksin adalah eksotoksin yang bekerja pada sel
mukosa usus. Toksin in dikeluarkan pada waktu
multiplikasi bakteri baik dalam lumen usus (misalnya
Vibrio cholerae) atau di luar tubuh dalam makanan
(misalnya S aureus). Toksin melekat pada reseptor
permukaan pada sel mukosa usus dan menyebabkan
kerusakan struktural (misalnya enterotoksin C
difficile) maupun perubahan fungsional (misalnya
enterotoksin V cholerae; lihat Gambar 40-1)

PERUBAHAN JARINGAN AKIBAT RESPONS TUBUH TERHADAP

INFEKSI
 Sebagaimana dijelaskan sebelumnya (Gambar 13-4), multiplikasi kuman
infeksi di dalam jaringan menimbulkan respons radang dan respons imun
yang bertujuan untuk menginaktifkan atau menetralkan agen tersebut, atau
dengan kata lain melindungi tubuh.
 Respons tubuh inilah yang menyebabkan berbagai gejala klinik, yang bisa
karena infeksi itu sendiri atau akibat kerusakan dan bahkan kematian
jaringan tersebut; misalnya, akumulasi eksudat radang pada perikarditis
akut bisa mengganggu fungsi jantung dan mengakibatkan kematian.
 Bagaimana respons tubuh terhadap infeksi tergantung pada beberapa faktor,
yang terpenting di antaranya adalah tempat kuman infeksi bermutiplikasi di
dalam jaringan (Tabel 13-9). Identifikasi tipe respons seluler terhadap
infeksi bisa menjadi petunjuk kemungkinan organisme penyebabnya ¾
misalnya, neutrofil pada ceiran serebrospinal penderita meningitis
menunjukkan meningitis karena kuman ekstraseluler (biasanya bakteri);
kenaikan jumlah limfosit mengarah pada meningitis virus atau meningitis
tuberkulosis. Perubahan proporsi relatif jenis leukosit darah tepi juga bisa
membantu.
 Jika informasi mengenai respons tubuh digabung dengan pengetahuan
kecenderungan kuman tertentu pada suatu jaringan, maka identitas
kemungkinan penyebab infeksi akan semakin dipersempit.
Radang Akut
Nyeri, merah, hangat, dan
pembengkakan yang berhubungan
dengan infeksi terjadi karena
reaksi radang akut.
Demam
 merupakan respons kompleks yang
diperantarai oleh pirogen eksogen (faktor
yang dikeluarkan kuman) dan pirogen
endogen (misalnya IL-1). Radang akut
yang disebabkan oleh suatu kuman secara
klinik tidak bisa dibedakan yang
disebabkan oleh kuman lain.
Kuman ekstraseluler
 (kebanyakan bakteri) menimbulkan
respon tubuh yang khas, yakni
kenaikan jumlah neutrofil ,Neutrofil
datang karena faktor kemotaktik
yang dikeluarkan di tempat infeksi.
Pada darah tepi terjadi leukositosis
neutrofilik.
Kuman intraseluler fakultatif
 jarang menimbulkan respons radang akut, dan
jika ada (misal pada demam tifoid yang
disebabkan Salmonella typhi) tanda khasnya
adalah infitrat makrofag dengan beberapa
neutrofil( sifatnya dapat dipulas dengan zat
warna). Pada darah tepi penderita demam
tifoid juga terjadi neutropenia ( penurunan
jumlah leukosit neutrofil )
Kuman intraseluler obligat
 (terutama virus dan riketsia) menimbulkan
respons seluler akut yang ditandai oleh adanya
limfosit, sel plasma, dan makrofag dengan
hanya beberapa neutrofil (artinya tidak ada
faktor kemotaktik (untuk neutrofil dan respons
imun lebih menonjol) (Gambar 13-15). Darah
tepi akan menunjukkan kenaikan limfosit
tetapi jumlah neutrofil mungkin justru
menurun.
Radang Supuratif
 Supurasi (pernanahan = pembentukan nanah) yang
menjadi komplikasi radang akut akibat nekrosis
liquifaktif; abses adalah suatu area supurasi yang
berdinding. Supurasi terjadi jika kuman (biasanya
bakteri atau jamur) bermultiplikasi ekstraseluler.
Keadaan ini lebih sering terjadi jika resolusi suatu
radang akut terhambat oleh kelainan anatomik di
jaringan. Obstruksi brokus, saluran kencing, atau
apendiks sering mengakibatkan komplikasi radang
supuratif. Bakteri penyebab pada keadaan ini
beragam; sering terjadi infeksi kombinasi berbagai
kuman anaerob (infeksi polimikrobial
1. Supurasi Akut
Supurasi akut terjadi pada infeksi bakteri
tertentu yang relatif resistan terhadap
fagositosis, misalnya S aureus, basil gram-
negatif berkapsul seperti Klebsiella,
Pseudomonas, dan spesies Escherichia, serta
pneumokokus tipe 3. Ketebalan kalsul
pneumokokus berbanding lurus dengan
resistensi kuman terhadap pemusnahan
fagositik. Pneumokokus tipe 1 dan 2, yang
berkapsul tipis, menyebabkan pneumonia akut
tanpa supurasi; sebaliknya, pneumokokus tipe
3, yang berkapsul mukoid tebal, menimbulkan
pneumonia supuratif.
2. Supurasi Kronis
Supurasi kronis bisa terjadi karena radang akut supuratif
yang persisten (menetap) atau fenomena primer yang
ditimbulkan oleh infeksi bakteri filamentosa (spesies
Actinomyces dan Nocardia) atau jamur miselial
tertentu (misalnya spesies Madurella dan
Streptomyces). Infeksi ini ditandai oleh kerusakan
jaringan yang progresif, fibrosis, dan abses multipel
(Gambar 13-16). Abses ini sering menimbulkan sinus
yang bermuara di kulit dan mengeluarkan nanah yang
mengandung koloni kuman kekuningan (granula
sulfur). Aktinomikosis, disebabkan oleh spesies
Actinomyces, terjadi pada rahang bawah, paru, dan
daerah coecum. Keadaan ini sering disebut dengan
nama umumnya, Misetoma.

Radang kronis

 Keadaan ini paling baik dianggap sebagai bukti


adanya respons imun terhadap jaringan yang
terinfeksi. Antigen pencetus pada umumnya berasal
dari kuman infeksi tetapi bisa juga antigen yang
dikeluarkan oleh jaringan tubuh yang rusak. Radang
kronis bisa mengikuti radang akut (misal pada
supurasi kronis), atau bisa juga terjadi de novo
(langsung) jika infeksi tersebut hanya menimbulkan
sedikit kerusakan jaringan dan tidak memicu reaksi
radang akut (misal pada infeksi virus atau bakteri
intraseluler
Istilah "radang kronis" menunjukkan respons imun
seluler yang bermacam-macam:
 1. Radang kronis granulomatosa:
Granuloma sel epiteloid menunjukkan respons tubuh
terhadap multiplikasi kuman intraseluler fakultatif
dalam sel makrofag. Respons ini diperantarai oleh sel
T dan merupakan hipersensitivitas tipe IV. Limfosit T
yang teraktifasi menghasilkan limfokin yang
mengakibatkan aktifasi dan akumulasi makrofag.
Hipersensitivitas lambat yang terjadi pada respons ini
akan mengakibatkan nekrosis kaseosa. Radang
granulomatosa selalu kronis, dan menimbulkan
nekrosis yang luas. Penyembuhan terjadi dengan
fibrosis dan biasanya terjadi bersamaan dengan
nekrosis.
Kuman yang menimbulkan
granuloma epiteloid
 .l.: (1) mikobakteri (M tuberculosis, M leprae,
mikobakteri atipik); (2) jamur yang tumbuh non-
mycelial (tidak membentuk benang) dalam jaringan
(Coccidiodes immitis [Gambar 13-17],
Histoplasmosis capsulatum, Cryptococcus
neoformans, Blastomyces dermatitides brasiliensis);
(3) spesies Brucella; dan (4) T pallidum, yang
mengakibatkan necrotizing granuloma (gumma) pada
sifilis. T pallidum adalah kuman ekstraseluler yang
merupakan pengecualian. Kuman ini jarang dijumpai
pada granuloma, dan terjadinya granuloma mungkin
karena respons abnormal tubuh terhadap antigen
treponema.
Cara terbaik untuk mengidentifikasi jenis
kuman penyebab radang granulomatosa
adalah
 dengan melakukan kultur. Pemeriksaan
histopatologi juga bisa berguna (Gambar 13-
17), karena kadang-kadang kuman bisa
diidentifikasi dengan pewarnaan khusus untuk
mikobakteri (pewarnaan tahan asam) atau
jamur (pewarnaan methenamine silver).
Walaupun demikian, sering kuman tidak
terlihat pada sediaan histologi, sehingga perlu
dilakukan kultur
2. Radang kronis disertai proliferasi
difus makrofag:
 Pada radang kronis ini terjadi defisiensi cell
mediated immune response, dan tidak ada
limfosit T. Makrofag tidak menggerombol
membentuk granuloma tetapi menyebar dalam
jaringan yang terinfeksi. Sitoplasma makrofag
berbuih, mengandung banyak kuman.
Makrofag ini tidak berubah menjadi sel
epiteloid. Tidak terjadi nekrosis kaseosa,
karena tidak terjadi hipersensitifitas tipe
lambat.
Radang kronis disertai proliferasi difus makrofag ini terjadi
sebagai respons terhadap infeksi kuman intraseluler
akultatif. Organisme tersebut a.l.:

 (1) Mikobakteri (M leprae, M tuberkulosis, dan


mikobakteri atipik) jika penyakit berjangkit pada
penderita defisiensi imun (misal lepra lepromatosa,
tuberkulosis pada orang tua, tuberkulosis pada
penderita AIDS). Jika penyakit yang sama menyerang
penderita yang fungsi limfosit T-nya baik, terjadi
radang granulomatosa. (2) Klebsiella
rhinoscleromatis, yang menyerang kavum nasi
(rinoskleroma) [Gambar 13-18]. (3) Spesies
Leishmania, parasit protozoa yang menyebabkan
infeksi kulit, membran mukosa, dan alar-alat visera.
 Pada penyakit infeksi tersebut,
pertahanan utama terhadap kuman yang
masuk adalah fagositosis non-imun oleh
makrofag. Fagositosis non-imun oleh
makrofag ini relatif tidak efektif untuk
membunuh kuman, yang terus
berkembang biak di dalam sel. Ciri utama
infeksi ini adalah ditemukannya banyak
kuman di dalam makrofag. Proliferasi
makrofag sering menyebabkan
pembesaran jaringan yang terinfeksi.
3. Radang kronis disertai
limfosit dan sel plasma
Radang jenis ini terjadi pada
infeksi kuman intraseluler obligat
(misal virus penyebab hepatitis
virus kronis dan infeksi virus
kronis pada otak). Pada radang ini
terjadi kombinasi respons immun
humoral dan seluler. Nekrosis sel
yang terjadi akan diiring fibrosis.
Kombinasi radang supuratif dan
granulomatosa
Kombinasi radang supuratif
dan granulomatosa sering
terjadi pada infeksi jamur
profunda; mungkin karena
multiplikasi kuman penyebab
baik dalam makrofag maupun
di luar sel.
 Lesi yang lebih jarang tetapi lebih khas yang menunjukkan
kombinasi radang supuratif dan granulomatosa, yakni
granuloma stelat, ditandai oleh adanya neutrofil di tengah
granuloma epiteloid yang ireguler. Granuloma stelat bisa
dijumpai pada penyakit infeksi berikut: (1) limfogranuloma
venereum (LVG), yang disebabkan oleh Chlamydia
trachomatis (tipe L1-L3) dan ditandai oleh tukak genital dan
pembesaran dan peradangan kelenjar limfe regional
(limfadenitis); (2) penyakit cat-scratch, dengan gejala demam
dan pembesaran kelenjar limfe; disebabkan oleh Afipia felis,
suatu bakteri gram negatif yang tercat positif dengan
pewarnaan perak; (3) tularemia (disebabkan oleh Francisella
tularensis); (4) glanders (disebabkan oleh Pseudomonas
mallei); dan (5) melioidosis (disebabkan oleh Pseudomonas
pseudomallei).
 Semua agen infeksi di atas adalah kuman intraselule fakultatif
kecuali Chlamydia trachomatis, yang merupakan kuman
intraseluler obligat. Diagnosis spesifik penyakit infeksi ini bisa
ditegakkan jika ditemukan kuman pada sediaan histologi atau
kultur, atau dengan uji serologis.

You might also like