You are on page 1of 13

- Klanisto 17013010146

- Helena N 17013010282
- Indah C. 17013010287
- Mayla H. 17013010292
- M. Fadel 170130102822
Semenjak terjadinya Perang Dunia ke-II wanita mengambil alih
pekerjaan dan peran yang ditinggalkan laki-laki ke medan
perang.

Menurut seorang feminis Jepang- Chizuko Uneo (1983) ada dua


faktor yang menyebabkan wanita harus keluar rumah, yaitu :
o Faktor penarik (pull factors), yaitu faktor yang menarik wanita
keluar dari rumah tangga dan bekerja di luar rumah
tangganya.
o Faktor pendorong (push factor), yaitu yang pertama makin
banyak waktu luang bagi para wanita yang disebabkan
setelah perang dunia ke II ditemukannya kompor listrik,
kompor gas, kulkas, setrika listrik, mesin cuci dan penyebab
lainnya yaitu rata-rata dalam suatu rumah hanya ada 2-3
anak sehingga para wanita memiliki waktu luang. Yang
kedua para wanita yang membantu penghasilan suami
dengan bekerja untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga.
Yang ketiga rata-rata pada setiap keluarga menengah
memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki maupun
wanita untuk mecapai pendidikan tinggi
Penstereotipan adalah proses menempatkan orang-orang ke
dalam kategori-kategori. Sebagian manajer dalam suatu
perusahaan masih menggangap tetap ada perbedaan gender
dalam ketenagakerjaan, mereka menggangap kinerja wanita
tidak sama dengan kinerja laki-laki,
o Perbedaan yang pertama, menurut undang-undang
ketenagakerjaan, wanita tidak boleh dipekerjakan di hari
pertama dan kedua ketika mendapatkan haid. Dengan
demikian, wanita setiap bulannya hanya bekerja 144 jam
tidak seperti laki-laki yang bekerja 160 jam setiap bulannya.
o Yang kedua, wanita memiliki cuti sebelum dan sesudah
melahirkan
o Yang ketiga wanita cenderung mengalami PMS
(Premenstrual Syndrome) yang menganggu pelaksanaan
fungsi pekerjaan
o Keempat wanita yang memiliki bayi diberlakukan jam kerja
progesif, wanita diperbolehkan masuk kerja terlambat 2 jam,
akan tetapi pulang kerjanyan juga terlambat 2 jam
A
Wirawan (2012) mendefinisikan pelecehan seksual adalah perilaku seksual-
perilaku verbal, perilaku tertulis dan/atau fisik-dari agen yang tidak dikehendaki
oleh target yang bertujuan untuk terjadinya hubungan seksual dengan
menggunakan kekuasaan atau janji-janji.
United Nation Committee on the Elimination of Descrimination Against Women
in its General Recomendation No. 19 mendefinisikan pelecehan seksual
sebagai berikut:
1. Perilaku seksual. Adalah perilaku yang mengarah kepada terjadinya
hubungan seksual yang dilakukan oleh agen dengan target. Perilaku tersebut
dapat dalam bentuk perilaku verbal seperti kata-kata (merayu untuk
melakukan hubungan seksual) dan tertulis. Dalam bentuk perilaku fisik
(mencium, menyentuh, memeluk)
2. Tidak dikehendaki oleh target. Perilaku seksual tersebut tidak dikehendaki
oleh target/target menolak kehendak agen karena dianggap pperilaku
tersebut tidak bermoral.
3. Menggunakan kekuasaan/janji-janji. Agen mempergunakan kekuasaannya
terhadap target agar terjadi hubungan sosial.
Menurut Deidre takeyama dan brian H. Kleiner dalam wirawan (2012)
pelecehan seksual muncul dalam 3 bentuk:
1. Pro quo. Adalah pelecehan seksual yang langsung dikaitkan dengan
pemberian/tidak memberikan keuntungan ekonomi.
2. Hostile Evironment harassment. Yaitu pelecehan seksual yang berdasarkan
pada perilaku tidak rasional.
3. Sexual favoritism. Muncul jika target mendapatkan sesuatu dalam 1. target
menjadi orang favorit agen
Pelecehan seksual tidak hanya terjadi terhadap
wanita, akan tetapi juga terjadi terhadap laki-laki.
Pelecehan seksual merupakan contoh jelas
tantangan yang dihadapi oleh fungsi sumber daya
manusia dalam pasar global. Definisi mengenai
pelecehan seksual berbeda antara satu bangsa
dan budaya dengan bangsa dan budaya lainnya.
Akan tetapi, kita dapat berspekulasi bahwa
teknologi informasi modern memungkinkan orang
untuk mempelajari mengenai bagaimana
pelecehan seksual didefinisikan dan diselesaikan.
Ada 3 kekuatan yang mempengaruhi persepsi mengenai
pelecehan seksual dalam masyarakat bisnis internasional:
Perbedaan antara kepemimpinan laki-laki dan
kepemimpinan wanita
Takut sukses merupakan fenomena yang sering dikaitkan
dengan wanita. Takut sukses adalah fenomena di mana
pikiran, perasaan, dan keyakinan kita hanya bekerja untuk
menghindari kemungkinan gagal dan titik.
Fenomena takut sukses pertama kali dikemukakan oleh
Martina Horner pada tahun 1968 (Zuckerman et al, 1980)
ketika ia menulis disertai program doktornya. Horner
menyatakan takut sukses pada wanita merupakan
kecenderungan takut keluaran sukses sebab sukses
mempunyai konsekuensi negatifnya.
Walaupun perkembangan masyarakat dan hasil penelitian
menunjukan peran wanita yang berkembang dalam
lingkungan persamaan gender, dalam kepemimpinan, wanita
posisinya masih belum mampu menyamai laki-laki.
Kenneth Nowack (2009) melakukan telaah terhadap berbagai
penelitian mengenai perbedaan gender dalam
kepemimpinan, hasilnya :
a. Wanita cenderung lebih banyak memakai kepemimpinan
partisipatif dan transformasional jika dibandingkan dengan
laki-laki
b. Tak ada perbedaan efektivitas kepemimpinan wanita dengan
kepemimpinan laki-laki
c. Hormon oxytocin merupakan kunci kontribusi logika syaraf,
kepercayaan dan kolaborasi lebih besar wanita jika
dibandingkan dengan laki-laki
d. Perbedaan kepemimpinan laki-laki dan perempuan,
transformasional versus transaksional, karena perbedaan
dasar biologikal dimediasi oleh hormon oxytocin
Suatu survei yang dilakukan oleh Pew Research Center (2008) terhadap 2.250
orang responden di Amerika Serikat yang terdiri dari 1.060 laki-laki dan 1.190
wanita. Hasilnya :
Gambar disamping menunjukan
bahwa laki-laki hanya lebih baik
dalam ketegasan, sedangkan
sifat-sifat lainya wanita lebih
baik daripada laki-laki
Gambar tersebut menunjukan perbandingan sifat-sifat
kepemimpinan tertentu antara laki-laki dan wanita.
Wanita lebih baik daripada laki-laki kecuali ketegasan
(decisive)
Komposisi gaya manajemen manajer laki-laki dan perempuan
berbeda
Manajer laki-laki cenderung menggunakan gaya
manajemen pengomando (37,9%), diikuti oleh pemelihara
(24,2%), penggembala (23,4%), dan wirausaha (14,5%).
Manajer perempuan cenderung menggunakan gaya
manajemen penggembala (36,5%), diikuti gaya manajemen
pengomando (20,6%), wirausaha (23,8%), dan pemelihara
(19,1%).

You might also like