You are on page 1of 35

 Reaksi imunitas yang berlebihan, tidak

diinginkan (karena umumnya merusak, tidak


nyaman, bahkan kadang berakibat fatal)
 Reaksi hipersensitivitas ada beberapa tipe :
tipe I, tipe II, tipe III, tipe IV
 Dikenal sebagai reaksi anafilaktik, reaksi
meliputi : reaksi pada kulit (urtikaria dan
eksim), reaksi pada mata (konjuntivitis), reaksi
pada nasofaring (rhinorrhea, rhinitis), jaringan
bronkhopulmonar (asthma) dan saluran
gastrointestinal (gastroenteritis).
 Reaksi ini bervariasi dari yang ringan hingga
berat/fatal. Reakti dapat berlangsung antara
15 - 30 menit sejak terjadi paparan antigen,
namun ada juga yang munculnya lambat
antara10 – 12 jam setelah paparan
antigen/alergen
 Reaksi alergi tipe segera (tipe I) ini
diperantarai oleh Ig E. Ig E memiliki
kemampuan melekat pada basofil/mastosit.
Perlekatan ini menyebabkan reaksi
degranulasi sel mast/basofil dan
menyebabkan pembebasan mediator-
mediator seperti histamin, serotonin, dan
senyawa amin biogenik lain.
 Ikatan fragmen kristal (Fc) IgE dengan sel mast
/basofil memicu degranulasi sel tsb. Reaksi
degranulasi ini terjadi akibat terbukanya kanal
Ca2+ dan masuknya ion tsb ke dalam sel,
peningkatan kadar Ca2+ di dalam sel memicu
pelepasan mediator.
 Sel mast juga dapat distimulasi oleh beberapa hal
seperti latihan/exercise, stres emosional, bahan
kimia (contoh bahan pengembang fotografi,
calcium ionophores, codeine, dll.), namun reaksi
ini tidak disebut hipersensitivitas tipe I
 Beberapa mediator yang dilepas dari sel mast
beserta efeknya .
Mediator* efek
Histamin bronchoconstriction, mucus secretion,
vasodilatation, vascular permeability

Triptase Proteolysis

Kininogenase kinins and vasodilatation, vascular permeability,


edema
ECF-A attract eosinophil and neutrophils
 Mediator yang dibentuk
mediator efek
leukotriene B4 basophil attractant

leukotriene C4, D4 same as histamine but 1000x more potent

prostaglandins D2 edema and pain

PAF platelet aggregation and heparin release:


microthrombi
 Reaksi diperkuat oleh :
 PAF (platelet activation factor) yang akan
menyebabkan agregasi platelet dan
pelepasan histamin, heparin dan amina
vasoactive
 Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis
(ECF-A) dan neutrophil chemotactic factors
yang akan menarik eosinofil dan neutrofil,
yang dilanjutkan dengan pelepasan berbagai
enzim hidrolitik yang menyebabkan nekrosis
 Eosinofil juga dapat mengontrol reaksi lokal
dengan cara melepaskan enzim
arylsulphatase, histaminase, phospholipase-
D dan prostaglandin-E
Tes Diagnostik untuk
hypersensitivitas tipe I
meliputi :
 Tes kulit
 Pengukuran kadar Ig E total dan Ig E spesifik
terhadap alergen yang dicurigai. Ig E total
dan Ig E spesifik ditentukan dengan enzyme
linked immunoassay (ELISA) yang
dimodifikasi.
 Peningkatan kadar IgE menunjukkan adanya
kondisi atopik , meskipun IgE dapat
meningkat pada beberapa penyakit non-
atopik seperti mieloma, infeksi cacing dll.
Treatment simptomatik dapat dilakukan
dengan :
 antihistamin
 Na kromolin yang bekerja menghambat
degranulasi sel mast, dan mungkin juga
menghambat influks Ca++
 Gejala alergi yang lambat muncul, khususnya
bronchokonstriksi yang diperantarai
leukotrien, dapat diterapi dengan pemblok
reseptor leukotriene (Singulair, Accolate) atau
inhibitor jalur siklooksigenase (COX)
(Zileutoin).
 Obat simptomatik, untuk menghilangkan
bronchokonstriksi dengan bronchodilator
(inhalan) seperti turunan isoproterenol
(Terbutaline, Albuterol).
 Theophylline meningkatkan cAMP dengan
menghambat enzim cAMP-phosphodiesterase
dan menghambat pelepasan Ca++ intraseluler
juga dapat digunakan untuk mengurangi
gejala bronchopulmonary.
 Penggunaan antibodi IgG dapat digunakan pada
tipe alergi tertentu, yang dapat memblok
sensitisasi sel mast.

 Hiposensitisasi (immunotherapy atau


desensitisasi) adalah treatment yang sudah
berhasil dilakukan pada beberapa tipe allergi,
khususnya alergi terhadap serangga, bisa
ular/racun lain (venom), pollens (serbuk sari
bunga). Reaksi hiposensitivitas didapat melalui
stimulasi pembentukan IgG (yang dapat
memblock perlekatan Fc IgE pada sel mast)
sehingga terhindar adanya pelepasan mediator.
Ts (Suppressor T cells) yang secara spesifik
menghambat IgE juga bermanfaat untuk terapi
ini.
 Reaksi sitotoksik
 Hipersensitivitas tipe II juga dikenal sebagai
hipersensitivitas sitotoksik dan dapat
mempengaruhi berbagai organ dan jaringan.
 Antigen umumnya adalah senyawa endogen,
meskipun kadang senyawa eksogen juga
dapat menginduksi reaksi alergi tipe II seperti
bahan kimia sebagai hapten (determinan
antigen) yang terikat pada membran sel.
Contoh : Obat yang dapat menginduksi
anemia hemolitik, granulositopenia dan
trombositopenia.
 Reaksi ini memakan waktu beberapa menit
hingga beberapa jam.
 Hipersensitivitas tipe II pada umumnya
diperantarai oleh antibodi jenis IgM atau IgG
dan komplemen . Fagosit dan sel K juga
dapat bertindak sebagai perantara (ADCC).
 Lesi yang mengandung antibodi, berisi
komplemen dan neutrofil.
 Tes diagnostik meliputi deteksi antibodi yang
bersirkulasi terhadap jaringan yang terkena
reaksi dan adanya antibodi dan komplemen di
dalam lesi (dapat diperoleh melalui biopsi)
diamati secara imunofluoresensi.
 Pola Pewarnaan jaringan hasil biopsi umumnya
menunjukkan gambaran yang halus dan linier,
seperti yang teramati pada gambaran nefritis
Goodpasture (dari membran jaringan ginjal dan
paru) (lihat gambar di slide berikut) and
femfifugus (dari protein intersel kulit,
desmosom) (lihat gambar di slide berikut).
pemphipugus

Goodpasture’s
nephritis
 Treatment meliputi pemberian anti-inflamasi
dan senyawa imunosupresif.
 Hipersensitivitas tipe III juga dikenal sebagai
hipersensitivitas imun kompleks.
 Reaksi yang terjadi bersifat umum seperti
demam akibat pemberian serum (serum
sickness) atau reaksi pada organ yang
bersifat individual misal pada kulit (systemic
lupus erythematosus, reaksi Arthus), ginjal
(nefritis lupus), paru (Aspergillosis),
pembuluh darah (poliartritis), persendian
(arthritis rematik) atau organ lain.
 Reaksi ini dapat menjadi mekanisme awal
munculnya patogen yang disebabkan
berbagai mikroorganisme.
 Reaksi ini diperantarai oleh imun kompleks yang
larut. Umumnya kelas IgG, kadang IgM juga bisa.
 Antigen dapat berupa senyawa eksogen (infeksi
bakteri kronik, virus atau parasit), atau senyawa
endogen (autoimunitas non-organ spesifik:
seperti, systemic lupus erythematosus, SLE).
 Antigen terlarut dan tidak melekat pada organ
yang terkena reaksi.
 Komponen primer adalah kompleks imun terlarut
dan komplemen (C3a, C4a dan C5a).
 Kerusakan disebabkan oleh platelet dan neutrofil.
Lesi mengandung neutrofil primer dan tumpukan
imun kompleks dan komplemen. Makrofag
masuk pada tahap berikutnya untuk fungsi
perbaikan/penyembuhan.
 Reaksi Arthus
 Reaksi ini adalah reaksi alergi tipe III lokal.
Reaksi ini merupakan reaksi yang
diperantarai oleh imun kompleks dan
melibatkan adanya timbunan/agregat dari
kompleks antigen-antibodi khususnya yang
berada di dinding pembuluh darah, serosa
(pleura, perikardium, sinovium), dan
glomerulus.
 Reaksi Arthus ditemukan oleh Nicolas
Maurice Arthus pada tahun 1903. Arthus
menyuntikkan secara berulang serum kuda
secara sub kutan ke dalam kelinci. Setelah
diinjeksi, ia menemukan adanya udem dan
serum diabsorbsi secara lambat. Kemudian di
tempat injeksi berkembang menjadi gangren.
Proses
 Reaksi Arthus melibatkan reaksi
pembentukan kompleks in situ dari
antigen/antibodi pada lokasi injeksi
intradermal.
 Jika hewan atau pasien disensitisasi reaksi
Arthus akan terjadi.
 Manifestasi sebagai reaksi vaskulitis lokal
terjadi karena adanya deposisi imun
kompleks di dalam pembuluh darah dermal.
Aktivasi komplemen dan penarikan PMN,
menyebabkan respon inflamasi.
 Reaksi Arthus dapat terjadi setelah vaksinasi
 Reaksi ini jarang terjadi dan dapat terjadi
setelah pemberian vaksin yang mengandung
tetanus toksoid atau difteria toksoid.
 Reaksi Arthus merupakan reaksi vaskulitis
lokal yang dihubungkan dengan deposit imun
kompleks dan aktivasi komplemen. Bentuk
imun kompleks pada konsentrasi tinggi dari
antigen vaksin yang terlokalisir dan yang
bersirkulasi.
 Reaksi ini ditandai dengan nyeri berat,
swelling, induration, udema, pendarahan, dan
nekrosis. Gejala dan tanda terjadi 4-12 jam.
 Vaksin berisi tetanus toksoid sebaiknya tidak
diberikan lagi bagi penderita reaksi Arthus
lebih dari 10 tahun, bahkan untuk
pencegahan tetanus pada penanganan luka.
 Afinitas antibodi dan ukuran dari imun kompleks
penting dalam memicu penyakit dan menentukan
jaringan yang terlibat.
 Diagnosis meliputi pemeriksaan jaringan hasil biopsi
untuk deposit Ig dan komplemen melalui
imunofluoresensi.
 Pewarnaan imunofluoresen pada alergi tipe III
merupakan membentuk hasil/gambaran granular
(berlawanan dengan alergi tipe II seperti pada
sindroma Goodpasture). Adanya imun kompleks
dalam serum dan penurunan kadar komplemen juga
dapat didiagnosa.
 Turbiditas (kekeruhan) yang disebabkan oleh
Polietilen glikol (PEG) (nefelometri), terikat pada
komplemen C1q dan tes sel Raji (Raji cell test) juga
digunakan untuk mendeteksi adanya imun kompleks.
Treatment meliputi pemberian anti-inflamasi.
 Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai
hipersensitivitas yang diperantarai sel atau
hipersensitivitas tipe lambat. Contoh klasik
reaksi ini adalah reaksi tuberkulin (Mantoux)
yang akan memuncak dalam waktu 48 jam
setelah injeksi antigen (PPD atau old
tuberculin). Lesi ditandai dengan induration
dan eritema.

 Reaksi alergi tipe IV melibatkan patogenesis
beberapa penyakit autoimun dan penyakit
infeksi (tuberculosis, leprosy, blastomycosis,
histoplasmosis, toxoplasmosis, leishmaniasis,
dll.) dan granuloma terjadi karena infeksi dan
antigen asing. Bentuk lain alergi tipe lambat
adalah dermatitis kontak (poison ivy, bahan
kimia, logam berat dll) dimana lesi timbul
lebih bersifat papular. Klasifikasi alergi tipe IV
tergantung pada onset dan presentasi klinik
dan histologi
 Mekanisme kerusakan pada alergi ini
melibatkan limfosit T dan monosit dan/atau
makrofag.
 Sel T sitotoksik (Tc) menyebabkan kerusakan
langsung, sedang sel T helper (TH1)
mensekresi sitokin yang mengaktivasi Tc dan
menarik monosit / makrofag, yang
menyebabkan perluasan kerusakan.
 Lesi pada alergi tipe lambat umumnya
mengandung monosit dan sedikit sel T.

You might also like