You are on page 1of 35

Ujian Kasus

TINEA CRURIS

Oleh:
Mohammad Syakur Ridho
G4A014102

Penguji:
dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp.KK

SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin


RSUD Prof.DR. Margono Soekarjo
Fakultas Kedokteran
Universitas Jenderal Soedirman

2016
PENDAHULUAN

Dermatofitosis adalah sekelompok penyakit


jamur kulit superfisial yang menyerang jaringan
dengan zat tanduk, misalnya stratum korneum pada
epidermis, rambut, dan kuku, yang disebabkan oleh
jamur golongan dermatofita. Infeksi dermatofitosis
dikenal dengan nama tinea dan dibagi berdasarkan
lokasi.1
Tinea kruris adalah salah satu dermatofitosis
yang ditemukan pada pangkal paha, genital, pubis,
serta perineum dan kulit perianal.2
Epidemiologi
Tinea kruris adalah jenis kedua dari
dermatofitosis yang paling umum di seluruh dunia,
namun lebih sering terjadi pada zona tropis, seperti
Indonesia.2,4,5
Penyakit ini merupakan salah satu bentuk klinis
tersering di Indonesia dan ditemui terutama pada
musim panas dengan tingkat kelembaban tinggi. Tinea
kruris dapat bersifat akut ataupun kronis, dan dapat
diderita seumur hidup.1,3
Faktor Predisposisi2,4

Host
• Kebersihan
• Obesitas
• Penyakit dengan daya tahan tubuh rendah: HIV-Aids, Diabetes Melitus
• Presipitasi berlebih
• Konsumsi obat imunisupresif
• Tertular melalui kontak langsung, baik dengan manusia maupun
binatang, dan dari serpihan jamur pada pakaian, handuk, dan lain-lain

Environment
• Kelembaban
Etiologi 1,2,4

Trichophyton
Trichophyton
mentagrophytes
tonsurans (6%)
(4%)

Trichophyton Epdermophython
rubrum (90%) fluccosum

TINEA
KRURIS
Epidemiologi2,4,5

• Pada dewasa lebih sering


Usia
daripada anak

• Tiga kali lebih sering


dibanding wanita, salah satu
Pria alasannya karena skrotum
menciptakan kondisi yang
hangat dan lembab.
Patofisiologis

Infeksi dermatofita melalui tiga proses, yaitu


perlekatan ke keratinosit, penetrasi melewati dan di
antara sel, dan perkembangan respon pejamu.5
Pertama adalah berhasil melekatnya artrokonidia,
spora aseksual yang dibentuk dari hasil fragmentasi
hifa, ke permukaan jaringan berkeratin setelah
melewati beberapa pertahanan pejamu, antara lain
asam lemak yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea
yang bersifat fungistatik dan kompetisi dengan flora
normal.2 Dalam beberapa jam, secara in vitro 2 jam
setelah terjadinya kontak, pertumbuhan dan invasi
spora mulai berlangsung.2,4
Proses kedua adalah invasi spora ke lapisan yang
lebih dalam. Tahap ini dibantu oleh sekresi proteinase,
lipase dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi
bagi jamur. Trauma dan maserasi juga membantu
penetrasi jamur ke keratinosit. Selain itu, manans,
suatu zat yang terkandung dalam dinding sel
dermatofita ini, dapat menghalangi proliferasi dari
keratinosit dan respon imunitas seluler yang
memperlambat penyembuhan epidermis.2,8
Proses ketiga adalah perkembangan respon
pejamu. Derajat inflamasi di pengaruhi oleh status
imun penderita dan organisme yang terlibat. Reaksi
hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type
Hipersensitivity (DHT) memegang peranan yang
sangat penting dalam melawan dermatofita. Respon
inflamasi dari reaksi hipersensitivitas ini berkaitan
dengan penyembuhan pasien. Respon imunitas seluler
yang rusak akan mengakibatkan proses penyakit yang
kronis dan berulang. Pengaruh adanya atopi dan kadar
IgE yang tinggi juga diduga berpengaruh terhadap
kronisitas.2,3
Terdapat hipotesis menyatakan bahwa antigen
dermatofita diproses oleh sel Langerhans epidermis dan
dipresentasikan dalam limfosit T di nodus limfe. Sel
Langerhans bekerja sebagai Antigen Presenting Cell
(APC) yang mampu melakukan fungsi fagosit,
memproduksi IL-1, mengekspresikan antigen, reseptor
Fe dan reseptor C3. Sel Langerhans berkumpul di dalam
kulit membawa antigen ke dalam pembuluh getah bening
dan mempertemukannya dengan limfosit yang spesifik.
Selain oleh sel Langerhans, peran serupa dilakukan pula
oleh sel endotel pembuluh darah, fibroblast, dan
keratinosit. Limfosit T yang telah aktif ini kemudian
menginfiltrasi tempat infeksi dan melepaskan limfokin.
Limfokin inilah yang mengaktifkan makrofag sehingga
mampu membunuh jamur patogen.5,9
Patofisiologi
GEJALA KLINIS

Efloresensi terdiri atas macam-macam bentuk


(polimorfik), baik primer maupun sekunder.1 Tinea
kruris mempunyai lesi yang khas berupa plak
eritematosa berbatas tegas meluas dari lipat paha
hingga ke paha bagian dalam dan seringkali bilateral.
Skrotum biasanya jarang terlibat.3 Lesi disertai
skuama selapis dengan tepi yang meninggi.2
Apapun penyebab tinea kruris, keluhan gatal
merupakan salah satu gejala umum yang menonjol.
Nyeri juga sering dirasakan pada daerah yang terjadi
maserasi dan infeksi sekunder.2,5 Peradangan di
bagian tepi lesi lebih terlihat dengan bagian tengah
tampak seperti menyembuh (central clearing). Pada
tepi lesi dapat disertai vesikel, pustul, dan papul,
terkadang terlihat erosi disertai keluarnya serum
akibat garukan. Pada lesi kronis dapat ditemukan
adanya likenifikasi disertai skuama dan
hiperpigmentasi
IDENTITAS PASIEN

 Nama : Tn. A
 TTL : Purbalingga, 33 Juni 1961
 Jenis kelamin : Laki-Laki
 Agama : Islam
 Suku bangsa : Jawa
 Status Perkawinan : Menikah
 Pendidikan : SMA
 Pekerjaan : Wiraswasta ( pedagang sembako)
 Alamat : Bobotsari Rt 01/Rw 02
 No. CM : 00949284
ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS)
Tanggal : 12 Mei 2016

 Keluhan utama : Gatal pada daerah selangkangan,


 RPS :
Pasien datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
dengan keluhan gatal pada selangkangan. Keluhan ini
sudah dirasakan sejak 2 bulan yang lalu,gatal di rasakan
terus menerus dan bertambah apabila berkeringat, gatal
di rasakan sampai mengganggu aktivitas. Pasien juga
mengatakan sekitar 1 tahun lalu pernah mengalami
keluhan serupa, sudah berobat ke dokter dan membaik.
Tetapi terkadang keluhan muncul kembali. Pasien tidak
sedang mengkonsumsi obat-obatan.
Pasien mengaku istrinya juga mengalami keluhan
yang serupa.
Riwayat Riwayat
Penyakit Penyakit
Dahulu Riwayat Keluarga Riwayat
penyakit yang
penyakit yang
sama : 1 tahun
sama : Istri
yang lalu

Riwayat Riwayat
hipertensi : hipertensi :
disangkal disangkal

Riwayat Riwayat
kencing manis kencing manis
: disangkal : disangkal

Riwayat alergi Riwayat alergi


makanan, obat, makanan, obat
dan asma : dan asma :
disangkal disangkal
 Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal di lingkungan padat penduduk bersama
istri dan seorang anaknya. Pasien bekerja sebagai
wiraswasta (pedagang sembako). Pasien mengaku
merasa mudah berkeringat saat udara panas dan
beraktivitas terutama didaerah lipatan. Namun pasien
jarang mengganti pakaian jika sudah berkeringat.
Pasien hanya mengganti pakaian ketika selesai mandi
pagi dan malam hari sepulang dari toko. Pasien
terbiasa menggunakan celana yang ketat dan
berwarna gelap jika keluar rumah. Pasien mengaku
mandi dua kali sehari pada pagi dan malam hari
menggunakan sabun batang dan sumber air berasal
dari sumur.
PEMERIKSAAN FISIK

 Status Generalis
 Keadaan umum : Baik

 Kesadaran : Compos Mentis


 Vital Sign :
 TD : 120/80 mmHg
N : 84 x/menit
 RR : 18 x/menit
T : 36.4 0C
 Kepala : Mesocephal
 Mata : Conjunctiva anemis -/- sklera ikterik -/-
 Hidung : Discharge -/-
 Telinga : Discharge -/-
 Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar tyroid
 Thoraks : Simetris ketinggalan gerak (-)
 Cor : tidak tampak ictus cordis, S1>S2 reguler
Murmur (-) Gallop (-)
 Pulmo : SD Ves +/+ Ronki -/- Wheezing -/-
 Abdomen : datar, supel, timpani, BU (+) normal
 Ekstremitas : akral hangat, edema -/- sianosis -/-
 Status Dermatologis
 Lokasi : Intertriginosa / Inguinalis dan
interglutea

 Efloresensi : plakat eritematosa yang di kelilingi


papula eritematosa sebagai tepi yang aktif
berbatas tegas dengan central healing serta
skuama halus di atasnya
Diagnosis Kerja

Tinea
Cruris
Diagnosis Banding

Candidiasis

Psoriasis

Eritrasma
PENYINGKIRAN DIAGNOSIS BANDING

 Pada eritrasma terdapat makula eritematosa tanpa


adanya central healing. Sedangkan pada pasien ini
terdapat central healing. Selain itu pada
pemeriksaan lampu wood didapatkan pendaran
coral red sedangkan pada pasien ini kuning
kehijauan. Serta pada pemeriksaan KOH tidak
ditemukan hifa panjang dan pewarnaan Gram
adanya bakteri Gram positif yakni Corynebacterium
minutissimum. Sedangkan pada pasien ini
ditemukan hifa panjang bersepta pada tes KOH dan
pada pewarnaan Gram tidak ditemukan bakteri.
 Pada psoriasis terdapat makula eritematosa dengan
skuama tebal berlapis seperti mika tanpa adanya
central healing. Sedangkan pada pasien ini terdapat
central healing dan tidak terdapat skuama tebal
berlapis seperti mika maupun auspitz, candle sign.
Serta pada pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa
panjang Sedangkan pada pasien ini ditemukan hifa
panjang bersepta pada tes KOH
 Pada candidiasis terdapat makula eritematosa
dengan lesi satelit tanpa adanya central healing.
Sedangkan pada pasien ini terdapat central healing
dan tidak terdapat lesi satelit. Pada candisiasis untuk
pemeriksaan KOH tidak ditemukan hifa panjang
bersepta namun ditemukan spora, yeast,
pseudohifa. Sedangkan pada pasien ini ditemukan
hifa panjang bersepta pada tes KOH.
TINEA CRURIS ERITRASMA PSORIASIS CANDIDIASIS

ETIOLOGI Jamur Corynebacterium autoimun Candida sp.


dermatofita: minutissimum
Epidermophyton,
Tricophyton,
Microsporum
PREDISPO Higiene buruk, Obesitas, iklim Genetik, Higiene
-SISI iklim tropis/ topis/lembab, imunologik, buruk, iklim
lembab, obesitas/ higiene buruk, pencetus: tropis/
hormonal, peminum alkohol stress, lembab,
penyakit kronis, pengobatan, obesitas/
terapi jangka metabolik hormonal,
panjang penyakit
kronis, terapi
jangka
panjang
GEJALA Gatal yang hebat Gatal disertai rasa Gatal disertai Gatal yang
KLINIS memberat bila panas kulit menebal, memberat bila
berkeringat bersisik,dan berkeringat,
mengelupas. mirip tinea
TINEA ERITRASMA PSORIASIS CANDIDIASIS
CRURIS
LOKASI Inguinalis Axilla, Skalp, ekstremitas Daerah
dextra et inguinal, bagian ekstensor intertriginosa:
sinistra, intergluteal (cubiti posterior axillaris,
axilla dan genu), daerah inframammae,
lumbosakral inguinal
EFLORESEN Makula Plakat Plak eritem Makula plakat
SI eritematosa eritematosa dengan skuama eritem dengan
berbatas tegas dengan tebal berlapis papul di sekitarnya
dengan tepi skuama halus warna perak. sebagai lesi satelit
aktif dan dapat Tanda khas: (hen and chicken)
Kronik: erosif. Auspitz sign,
hiperpigmenta candle sign,
si dengan Fenomena
skuama di Koebner
atasnya
PEMERIKSA Kerokan+ Lampu Wood: Pemeriksaan Kerokan+ KOH
AN KOH 10%: hifa coral red. eosinofil darah 10%:
PENUNJANG panjang Kerokan kulit tepi dan IgE pseudohifa,spora
bersepta. + pewarnaan dan yeast.
Lampu Wood: Gram: bakteri Kultur MSA:
kehijauan. gram + kolonisasi
Kultur MSA:
kolonisasi
jamur.
PEMERIKSAAN ANJURAN

Kultur Media Saboroud Agar: kolonisasi jamur


(Epidermophyton floccosum, Tricophyton rubrum dan
Tricophyton mentagrophytes)
Kerokan kulit pada Lesi dengan KOH 10% :
Di temukan tampak elemen jambur seperti Hifa , spora
dan miselium
Pemeriksaan Lampu Wood : Didapatkan warna
Kehijauan
Pemeriksaan Penunjang

 Kultur media suboroud agar


: Tumbuh koloni jamur
PENATALAKSANAAN

 Farmakologi
a) Sistemik
 Itrakonazol 100 mg selama 15 hari
 Cetirizine 1x10 mg

b) Topikal
 Mikonazol krim 2%

2 kali oles
 Non Farmakologi
a) Pemakaian obat baik topikal maupun oral secara teratur sesuai
anjuran dokter.
b) Meningkatkan kebersihan badan dan menghindari berkeringat
yang berlebihan
c) Menggunakan baju dari bahan yang menyerap keringat (misal:
katun), dan menghindari mengenaan baju dari bahan yang tidak
menyerap keringat (misal: karet, nylon)
d) Tidak bertukar handuk dan dengan orang lain
e) Menghindari kelembapan
f) Memberikan penerangan pada penderita untuk tidak
memanipulasi lesi kulit baik dengan garukan maupun
mengoleskan bahan-bahan iritan/alergen yang akan
menyebabakan infeksi sekunder
PROGNOSIS

Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad functionam : ad bonam
DAFTAR PUSTAKA

 1. Budimulja U. Mikosis. Dalam Sri Luniwih, Menaldi,Hamzah M, dan


Aisah, Kusmarinah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2016. Hal. 89-100
 2. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection. In:
Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Ed: Volume 2. New
York: McGraw-Hill; 2015. p.2277-97
 3. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ Disease of the Skin,
Clinical Dermatology. 11th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2015.
 4. Sobera JO, Elewski BE. 2015. Infections, investations, and bites:
fungal disease. In: Bolognia, Jean L, Jorizzo JL, Rapini RP. eds.
Dermatology. 2nd Ed: Volume 1. Philadelphia: Churchill Livingstone
Elsevier. p.1135-62
 5. Hay JR, Ashbee HR. 2014. Mycology: superficial mycoses. Burns T,
Breathnach S, Cox N, Griffiths C, eds. In: Rook’s Textbook of Dermatology.
8th Ed: Volume 2. Australia: Blackwell Publishing. p 36.20-34
 6. Budimuldja U. Mycotic diseases in Indonesia, with emphasis on
skin fungal infection. Kor J Med Mycol, 4(1); 2014. Hal. 1-5
 7. Konsil Kedokteran Indonesia. Standar Kompetensi Dokter
Indonesia. Edisi Ke-2. Jakarta: Konsil Kedokteran Indonesia; 2012.
 8. Kurniati CRSP. Etiopatogenesis dermatofitosis. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin, 20(3):2013, Hal 243-50
 9. Mulyaningsih S. Tingkat kekambuhan tinea kruris dengan pengobatan
krim ketokonasol 2% sesuai lesi klinis dibandingkan dengan sampai 3
cm di luar batas lesi klinis (Laporan Penelitian). Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro; 2014
 10.Wolff K, Johnson RA. Fungal infection of the skin and hair. In:
Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th Ed.
New York: McGraw Hill; 2015.
 11.Siswati AS, Ervianti E. Tinea korporis dan tinea kruris. Dalam.
Bramono, Kusmarinah, dkk. (Editor). Dermatomikosis Superfisialis.
Edisi ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2013.
Hal. 58-74
 12.Yosella T. Diagnosis and treatment of tinea cruris. J MAJORITY,
4(2): 2015. Hal. 122-28
 13.Kelly BP, Superficial fungal infections. Pediatrics in Review, 33(4):
2014. p.22-37

You might also like