You are on page 1of 44

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN

DENGAN GANGGUAN PENGGUNAAN


ZAT ADIKTIF

Di Sampaikan Oleh :
Ns. SUKISNO Spd, SKep.
PERSPEKTIF TEORI KETERGANTUNGAN
Berbagai teori telah dikembangkan dalam menganalisa proses terjadinya penyalahgunaan
NAPZA. Berikut akan dijelaskan beberapa teori yang terkait dengan praktek keperawatan.

1. Perspektif Teori Kesehatan Masyarakat


Penyalahgunaan dan ketergantungan obat merupakan interaksi dari host, agent, dan
environtment. Host adalah individu dengan berbagai faktor predisposisi yang
dibawa. Agent adalah kesediaan dan kemudahan mendapat NAPZA. Environment adalah
makna, nilai, dan norma masyarakat NAPZA.
HOST + AGENT + ENVIRONTMENT = ADDICTED
Teori ini sering digunakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan
NAPZA.
Contoh : spanduk yang di pajang di tiap RW merupakan penanaman nilai dan
norma masyarakat untuk membenci dan menolak NAPZA.
2. Perspektif Teori Biopsikososial
Penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA terkait erat dengan aspek biologis,
psikologis, dan sosial dari individu. Aspek biologis yang dapat menyebabkan
penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA adalah faktor predisposisi dan
kerusakan biokimia pada otak. Aspek psikologis yang menyebabkan penyalahgunaan
dan ketergantungan NAPZA adalah pengalaman emosional dan masalah psikologis.
Sedangkan aspek sosial yang dapat menjadi penyebab adalah interaksi sosial yang
menciptakan suasana yang kondusif dan memungkinkan penggunaan NAPZA. Dari
ketiga aspek ini maka faktor predisposisi menggunakan NAPZA disertai kondisi
sosial yang mendukung menggunakan akan mengakibatkan penyalahgunaan.

PREDISPOSISI – DRUG USE / EVENT – ENABLING SYSTEM = ADDICTION

Faktor predisposisi dapat berupa genetik, biologi, biokimia, psikologis, dan sosial
budaya. Penggunaan obat (drug use) dibagi dalam pemakaian awal dan pemakaian
progresif.
Faktor yang mempengaruhi pemakaian awal adalah ketersediaan dan kemudahan
mendapatkan NAPZA, pengaruh “peer” dan persepsi terhadap bahaya. Oleh karena itu untuk
mencegah tidak memulai pemakaian adalah:
 Menghindar / menjauhi sumber NAPZA
 Berkelompok dengan teman yang tidak memakai NAPZA
 Mengetahui bahaya NAPZA

Pemakaian yang progresif dibagi dalam dua kelompok usia:


a. Pada remaja dibagi dalam 4 tahap:
# “experimental use” (mencoba)
# “regular use” (memakai secara regular)
# “daily preoccupation” (memakai setiap hari dengan tujuan kenikmatan)
# “harmful dependency” (ketergantungan)
b. Pada orang dewasa dibagi dalam 3 tahap:
# “experimental and social use” (mencoba dan untuk tujuan kegiatan sosialisasi)
# “abuse” (penyalahgunaan)
# “dependency / addiction” (ketergantungan)
PREDISPOSITION
 Genetic
 Bio/biokimia
 Psikologis
 Sosial budaya
PRIMARY PREVENTION
DRUG Initiation
USE
Progression
 Experiment use
 Reguler use
 Daily preoccupation
 Harmful dependency SECONDARY PREVENTION

ENABLING SYSTEM
 Family
 Peer social network
 School
 Job TERTIARY PREVENTION
 community

DISEASE / SUBSTANCE
DEPENDENCE Gambar 1. Model Biopsikososial pada Adiksi
3. Siklus Adiksi
Siklus adiksi merupakan siklus dasar yang dapat ditemukan pada setiap klien yang adiksi.
Siklus yang sama dapat pula ditemukan pada proses penyembuhan. Sikllus adiksi
dikemukakan oleh Keegan (1997) dibagi dalam 4 tahap: a). Tahap awal, b). Tahap adiksi, c)
Tahap pertengahan, d). Tahap akhir.
a. Tahap awal ( the early stage of addiction )
Tahap awal adiksi ditandai dengan memilih bahan kimia ( NAPZA ) sebagai
cara merubah perasaan yang tidak menyenangkan/aman.
Siklus adiksi pada tahap awal, adalah:
 Perasaan tidak aman

 Mental terfokus pada perasaan

 Keinginan bebas dari perasaan tidak aman

 Menggunakan NAPZA untuk bebas dari rasa tidak aman

 Sistem saraf terganggu oleh NAPZA

 Perasaaan tidak aman bertambah

Pada mulanya klien merasa tidak aman dengan sengaja sakit kepala, goncang,
palpitasi, mental tidak tentram, bingung, merasa asing dengan lingkungan, dan
ansietas. Klien sering mengatakan, “saya merasa ngambang”, “tidak ada yang
melindungai saya”. Perasaan tidak aman ini timbul karena karena ketidakmampuan
mengatasi kegagalan dan ketidak mampuan menunda keinginan. Melalui observasi
ditemukan bahwa klien sangat sensitif.
Klien merasa tidak dapat lepas dari perasaan tidak aman, lalu mencoba cara untuk
menghindar bukan menyelesaikan masalah. Keadaan ini membuat klien semakin
sensitif dan mencari-cari cara yang dapat membebaskanya dari perasaan yang tidak
aman/menyenangkan. Pada saat klien mencoba NAPZA, ia merasakan senang,
nyaman, dan bebas dari gejala-gejala yang tidak menyenangkan. NAPZA kemudian
merusak sistem saraf sehingga jika tidak memakai ia kembali merasakan tidak aman
dan nyaman. Pada saat ini siklus pada klien berulang kembali.

b. Tahap adiksi ( the turn toward addiction )


Sekali terjadi hubungan antara perasaan tidak aman/nyaman dengan pemakaian
NAPZA maka upaya penyelesaian masalah (kemampuan koping) beralih ke adiksi.
Dengan menggunakan NAPZA klien merasa bebas dari perasaan tidak nyaman dan
tidak aman.

c. Tahap pertengahan
Pada tahap ini klien segera menggunakan NAPZA jika perasaanya terganggu. Siklus
adiksi pada tahap pertengahan adalah:
 Perasaan tidak aman
 Mengguanakan NAPZA untuk bebas dari perasaan tidak aman
 Sistem saraf terganggu oleh NAPZA
Tahap ini ditandai dengan adanya fakta bahwa perasaan tidak aman dapat teratasi
dengan penggunaan NAPZA. Akibatnya, kebutuhan NAPZA meningkat secara
progresif baik jumlah maupun frekuensi sehingga kerusakan sistem saraf semakin
meningkat.

d. Tahap akhir
Pada tahap ini klien menggunakan NAPZA untuk mengatasi gangguan sistem saraf
yang disebabkan oleh NAPZA. Siklus adiksi pada tahap akhir ini adalah:
 Gangguan sistem saraf
 Menggunakan NAPZA
Pada sisklus ini klien menderita gangguan sistem saraf yang diakibatkan oleh
NAPZA. Setiap saat akan melakukan kegiatan, klien butuh NAPZA. Pada tahap ini
klien menjadi sering lupa ( tetapi tidak pernah lupa menggunakan pil ) selalu
melakukan hal-hal negatif. Gejala yang dirasakan akibat ganggguan sistem saraf
adalah ketidakstabilan, kadang-kadang mengalami halusinasi dan tidak mampu
melakukan pekerjaan yang sederhana.
Dari tahapan yang telah diuraikan di atas maka dapat disimpulkan bahwa upaya yang
perlu dilakukan adalah upaya untuk mengatasi masalah pada tiap tahap, jangan
menunggu sampai klien tiba ditahap akhir.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN PENGGUNA
ZAT ADAKTIF

Berbagai konsep tindakan keperawatan telah dikembangkan oleh para ahli. Adapun tindakan-
tindakan keperawatan tersebut adalah tindakan yang berdasarkan pada masalah bio-psiko-sos-
budaya dan juga penyembuhan yang berdasarkan pada kemampuan memilih cara
penyembuhan. Kemampuan memilih cara penyembuhan ini terkait erat dengan tingkat
pencegahan dan therapiutic community pada diri klien.

1. Tindakan berdasarkan aspek bio-psiko-sos


a. Tindakan Biologis
Masalah pada pemakai NAPZA sering sekali ditemukan adalah datang
kepelayanan kesehatan karena krisis fisiologis seperyti “overdose”,
“withdrawl”, alergi atau “toxicity”. Tindakan biologis dikenal dengan
detoksifikasi yang bertujuan untuk:
 Memberi asuhan yang aman dalam “withdrawl” (proses penghentian) obat bagi klien
pengguan zat adaktif
 Memberi asuhan humanistik dan melindungi martabat klien
 Memberi terapi yang sesuai dengan kepentingan obatnya
Prinsip detoksifikasi untuk tiap zat adiktif perlu ditetapkan sehingga dapat menjadi pedoman
asuhan yang adekuat (bacaan lanjut Allen, K.M, 1996, hlm 159-173). Fokus asuhan
keperawatan adalah pemenuhan kebutuhan dasar.
Setelah detoksifikasi tercapai, maka tindakan biologis lain adalah mempertahankan kondisi
bebas dari zat adiktif. Ada beberapa terapi farmakologis yang dapat membantu mengurangi
keinginan menggunakan zat adiktif dan mempertahankan kondisi bebas dari zat adiktif. Namun
demikian tindakan biologis perlu diintergrasikan dengan tindakan psiko-sosial untuk mencapai
tujuan bebas dari zat adiktif.

b. Tindakan Psikologis
# Mengembangkan motivasi
Bersama klien mengevaluasi pengalaman yang lalu mengidentifikasi aspek
positifnya untuk dipakai magatasi kegagalan.
Contoh: lebih baik membicarakan perilaku klien sampai dapat bertahan 1 bulan
tidak menggunakan zat adiktif daripada membicarakan mengapa setelah 1 bulan
kembali menggunakan zat adiktif.
Keberhasilan cara ini tergantung dari sikap terapis/perawat: menghargai harkat
klien, empati, jujur, menghargai kemampuan klien, menghindari argumentasi.
# Terapi yang berfokus pada penyelesaian masalah (solution-focussed therapy)
Asumsi dasar dari terapi ini adalah setiap orang mempunyai kemampuan dan sumber daya untuk
menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka memerlukan bantuan untuk menemukan
kemampunnya dan kemudian mendapatkan sendiri cara penyelesainnya.
Ada 2 pertanyaan yang berguna dalam melakukan terapi ini :
* Pertanyaan Mujzat ( Miracle question )
Pertanyaan ini bertujuan untuk mengorientasikan klien pada masa depan jika
masalah saat ini telah di selesaikan. Contoh : “seandainya saat anda tidur, ada
mujizat yang membawa anda ke program terapi dan membuat masalah anda
teratasi, apa yang kemudian anda rencanakan saat bangun ?”.
* Pertanyaan berskala
Pertanyaan ini akan membantu klien menetapkan masalah dalam bentuk prioritas,
tingkat kesuksesan, investasi emosi, dan harga diri. Contoh : skala 1-10 untuk
keyakinan tidak memakai zat adiktif hari ini. Angka 1 pada sekala ini adalah klien
merasa tidak percaya diri dan angka 10 adalah bila klien merasa percaya diri.
Dengan cara didorong potensi klien dalam melaksanakan program dan tujuan
terapi.
# Terapi Kognitif
Dalam terapi ini dilakukan identifikasi dan modifikasi pola pikir yang disfungsi,
mengurangi perasaan negatif dan respons maladaptif, Contoh : berikan positive
reinforcement/reward jika klien prilaku adaptif, misalnya: mengikuti program
pengobatan, urin bersih. Buat kontrak tulis tentang target perilaku yang diharapkan
dan konsekuensinya, misalnya targetnya adalah tidak memakai zat adiktif, caranya
katakan pada diri sendiri aspek negatif zat adiktif dan katakan pada diri sendiri
kemampuan yang dimiliki untuk memutus hubungan dengan zat adiktif:
• Saya akan giat bekerja
• Saya mau berhenti, saya akan pandai di sekolah

Cara ini berguna untuk mengembangkan slogan/filosofi hidup. Hasilnya dievaluasi,


jika berhasil berikan positif reinforcement ( oleh orang lain ) dan positive self-
reinforcement ( oleh klien sendiri ) agar percaya diri dan harga diri klien dapat
berkembang.
# Latihan asertif, self-reinforcement, relaksasi
Klien diajak untuk mengidentifikasi masalah dan kebutuhan yang dirasakan. Kemudian
desepakati kegiatan terapi yang diperlukan seperti latihan asertif yang berguna untuk menyatakan
keinginan pada orang lain tenpa kekerasan ( komunikasi terbuka ); self- afirmantions berguna
untuk “telling her/his, self” tentang tekad/slogan/filosofi yang akan berguna untuk memutus
hubungan dengan zat adiktif; relaksasi bertujuan untuk mengatasi ansietas dan stress serta
memberikan kesiapan untuk mengatasi masalah.

# Pencegahan “Relapse” (kambuh)


Perawat bersama klien mengidentifikasi situasi menjadi faktor pengebab “relapse” seperti
berjalan melalui tempat pembelian zat (bandar atau pemakai), bertengkar dengan orang yang
dicintai (orang tua, pacar), menghindari pesta/disko/bioskop, berteman dengan pemakai, atau
situasi lain yang kondusif untuk memakai kembali. Beberapa tindakan yang dilakukan dengan
klien adalah:
◙ Menghindari semua situasi yang dapat memicu untuk memakai NAPZA kembali
◙ Mengembangkan koping yang konstruktif untuk mengatasi paparan situasi. Dapat
dengan role play atau menghadapi situasi “real” didampingi terapis.
◙ Memberi kesadaran bagi klien agar segera kembali ke program terapi saat
“relapse” terjadi.
c. Tindakan Sosial
☻ Konseling keluarga
Keluarga sering frustasi menghadapi klien dan tidak mengerti sifat dan proses
adiksi sehingga seringkali melakukan hal yang tidak terapiutik terhadap klien.
Keluarga sering melindungi klien dari dampak adiksi, meminta anggota keluarga
lain untuk memaafkan klien, menyalahgunakan diri sendiri, menghindari
konfrontasi yang semuanya mengakibatkan klien dapat meneruskan pemakaian
zat adiktif.
Masalah yang dihadapi klien menimbulkan dampak masalah bagi keluarga seperti
rasa tidak aman, malu, rasa bersalah, masalah keuangan, takut, dan merasa
diisolasi. Oleh karena itu perawat perlu mendorong keluarga untuk mengikuti
pendidikan kesehatan tentang proses pengguna dan ketergantungan, gejala putus
zat, gejala “relapse”, tindakan keperawatan, lingkungan terapiutik dan semua hal
yang terkait dengan pencegahan relapse di rumah.
☻ Terapi kelompok
Kelompok terdiri dari 7-10 orang klien yang difasilitasi oleh terapis. Kegiatan
yang dilakukan adalah tiap anggota bebas menyampaikan riwayat sampai
terjadinya adiksi, upaya yang dilakukan untuk berhenti memakai zat adiktif
kesulitan yang dirasakan dalam mengikuti program perawatan. Terapis dan
anggota kelompok memberi umpan balik dengan jujur terhadap upaya yang telah
dilakukan klien, dan dapat pula menambahkan pangalaman masing-masing
terhadap masalah yang sama.
☻ “Self-help group”
Diperkirakan 75 % klien yang sembuh “relapse” dalam waktu setahun ( Stuart dan Laraia,
1998 ). Salah satu cara menanggulangi “relapse” ini adalah melalui self-help group. Self-help
group adalah kelompok yang anggotanya terdiri dari klien yang berkeinginan bebas dari zat
adiktif. Dukungan antar angota kelompok akan memeberi kekuatan dan motivasi untuk bebas dari
zat adiktif. Ada beberapa “self-help group”yang terkenal yaitu AA ( alcoholic anonymous ). WFS
( women for sobriry ), RR (rational recovery). Tiap kelompok mempunyai tujuan dan rencana
kegiatan, umumnya bertujuan bebas zat adiktif sacara total.

2. Kemampuan Memilih Cara Penyembuhan


Dalam merawat klien penyalahgunaan zat, perawat membatu klien memilih cara berpikir dan
berprilaku yang baru. Pengembangan kemampuan memilih yang sehat merupakan kunci
penyembuhan. Klien dalam proses penyembuhan harus belajar keadaan yang beresiko
terjadinya pernyalahgunaan. Klien akan mengenal cara penanganan yang lama dan akan
mengembangkan cara baru yang sehat.
Setiap kali klien berhasil menghadapi stimulus atau situasi yang beresiko maka klien semakin kuat
dalam proses penyembuhan.
a. Pilihan sehat pertama : menggunakan obat/zat bukan pilihan
Untuk dapat memenuhi pilihan ini perlu diikuti dengan pilihan-pilihan, sbb:
■ menghindari orang yang adiksi
■ menjauhi tempat-tempat yang berkaitan dengan adiksi
■ menghentikan sikap yang berhubungan dengan adiksi
■ menghindari setiap hal yang terkait dengan adiksi
b. Pilihan sehat kedua : penegasan ( afirmasi ) hidup.
■ makan jika lapar
■ kontak sistem pendukung jika marah atau kesepian
■ istirahat jika lelah
c. Pilihan sehat ketiga : suara hati yang sehat
Seorang ahli mengidentifikasi bahwa “suara hati yang lahir/kejam” menyerang diri sendiri,
merusak proses pikir. Penyembuhan yang dikembangkan adalah menyerang suara hati yang kejam
dengan memilih suara hati yang sehat yang merupakan sumber kearifan dan panduan hibup.
Tujuan pilihan ini untuk mendapatkan keseimbangan.
d. Pilihan sehat keempat : spektrum pilihan
Kemampuan memilih adalah kebebasan pribadi. Jika saya pilih mau melakukan kegiatan,
artinya saya mau menggunakan tenaga saya untuk kegiatan tersebut. Pada saat yang lain mungkin
saya tidak mau melakukanya, artinya saya tidak ingin menggunakan tenaga saya.
Individu dapat memilih menggunakan tenaganya melalui 3 spektrum yang berbeda yaitu
WILLFULNES ( keinginan yang bulat ), WILL-LESSNES (tidak punya keinginan ),
WILLINGNES ( keinginan yang logis ). Willfullness adalah menggunakan seluruh tenaga
untuk mencapai keinginan. Will-lessness adalah ketidakinginan menggunakan tenaga
karena tidak ada keinginan. Willingnes adalah menggunakan tenagan sesuai dengan keinginan
yang realistis dan logis

a. Willfullness
Willfullnes merupakan perilaku internal dan eksternal pada sertiap aspek
kehidupan. Operasionalisasi perilaku yang spesifik dapat dilihat pada spektrum
willfullness yang terdiri dari aspek spiritual, mental, emosional dan fisik.
(Gambar 3).
b. Will-lessness
Will-lessness merupakankebalikan dari willfullnes. Ilustrasi dari spektrum Will-
lessness dapat dilihat pada gambar 4.

c. Willingness
Keseimbangan antara willfulness dan Will-lessness merupakan dasar kualitas dari pusat
perasaan. Anda merasa mempunyai sumber daya internal yang siap membantu anda. Anda
merasa percaya diri dan dapat aktif secara efektif. Manifestasi willingness dapat dilihat
pada spektrum willingness (Gambar 5)

Spektrum pilihan dapat digunakan untuk melakukan pengkajian terhadap kondisi klien, menyusun
rencana tindakan keperawatan yang bertujuan untuk mengoreksi willfullness dan Will-lessness
menuju pengembangan willingness
Spiritual
Membenarkan diri
Tidak toleransi
Berupaya mengontrol
Orang lain
Dogmatis
Mengingkari spiritual
Mental
Kaku Emosi
Obsesi Tidak dapat mengontrol
Kurang Kreatif perasaan
Willfullness
Berfikir hitam putih Merasa hebat
(Keinginan yang bulat)
Curiga Sangat agresif
Perlu tindakan
Fanatik Selalu marah
Denial Mendominasi

Fisik
Kompulsif
Kekuatan obat
Diit dan puasa yang kaku
Selalu aktif
Berani ambil resiko

• Gambar 3. Spektrum Willfullness (Schaub dan Schaub, 1997)”


Spiritual
Kosong/hampa kurang
hubungan dengan
supranatural
Tidak percaya diri
dan pengalaman
Mental Superfisial spiritual
Tidak dapat memu-
tuskan Emosi
Tidak percaya
Merasa tidak berguna Tidak berdaya
Will-Lessness
Tidak dapat fokus Putus asa
(Tidak Ada Keinginan)
berfikir negatif Rasa bersalah dan malu

Fisik
Tidak bertenaga
Immobilisasi
Isolasi dan menarik diri
Menyerah
Defisit perawatan diri
Hipotensi

Gambar 4. Spektrum Will-lessness (Schaub dan Schaub, 1997)


Spiritual
Terbuka
Gembira
Merasa utuh
Berhubungan dg kearifan
Internal
Mental Merasa hikmat Emosi
Mampu menerima Terbuka
Keragu-raguan Damai
Dapat konsentrasi Percaya
Berhati-hati Willingness Mencintai
Terpercaya (Keinginan yang logis) Caring
Kreatif Menerima diri
Realistis Menghargai
Toleran Berterima kasih
Fisik
Fleksibel
Adaptasi
Seimbang
Relak
Dapat mengelola stress
Ulet

Gambar 5. Spektrum Willingness (Schaub dan Schaub, 1997)


3. Community Therapeutic
Terapeutik komuniti (TK) merupakan modal rehabilitasi sosial klien korban narkotik. Pada
tempat rehabilitasi ini klien dilatih merubah perilaku kearah yang positif sehingga mampu
menyesuaikan dengan kehidupan masyarakat. Hal ini mungkin terjadi karena klien diberi
kesempatan mengungkapkan masalah pribadi dan lingkungan. TK melakukan intervensi untuk
mengatasinya.

Prinsip dasar TK adalah


● Setiap orang dapat berubah, termasuk klien dapat merubah perilaku negatif.
● Seseorang memerlukan bantuan kelompok untuk merubah. Setiap klien
bertanggung jawab merubah dirinya maupun orang lain.
● Tiap orang bertanggung jawab untuk mengelola kegiatan sehari-hari untuk diri
sendiri dan rumah tangga (keluarga).
● Tiga larangan narkotika, hubungan sex, dan tindakan kekerasan.

Beberapa metoda dan kegiatan yang di terapkan pada TK yaitu :


a. Slogan yang berisi norma atau nilai serta harapan ke arah positif.
b. Pertemuan pagi ( morning meeting ) yang dilakukan setiap pagi diikuti oleh seluruh
staf dan klien untuk membahas masalah individu, interaksi antar klien, dan kelompok.
c. “Talking to”, “Pull up”, “Hair cut” adalah metoda yang digunakan untuk saling
memperingatkan dengan cara yang ramah sampai yang keras.
d. “Learning Experience” yaitu pemberian tugas yang bersifat membangun untuk
merubah perilaku negatif.
e. Pertemuan kelompok: static group, encounter group, seminar, family counseling.
f. Pertemuan umum (general meeting)

Tahapan dalam TK dibagi dalam 5 tahap, yaitu:


a. Tahap orientasi (1-3 bulan)
b. Tahap rehabilitasi (3-12 bulan)
c. Tahap persiapan reintegrasi (6-15 bulan)
d. Tahap reintegrasi (12-18 bulan)
e. Tahap pembinaan (6-12 bulan)
Tiap tahap dirancang berbagai kegiatan untuk mengembangkan kemampuan perilaku klien.
4. Berbagai Upaya Prevensi
a. Prevensi priemer
Prevensi primer meliputi promosi kesehatan dan pencegahan penyakit sehingga
biaya dan kehilangan jam kerja dapat dikurangi. Upaya prevensi primer
penyalahgunaan zat adalah sebagai berikut:
☺ Pendidikan kesehatan tentang proses terjadinya adiksi, bahaya adiksi. Selain
materi yang terkait adiksi, perlu pula diberikan pendidikan kesehatan tentang
berbagai alternatif mengatasi masalah dan perasaan hati yang tidak
menyenangkan misalnya cara mencari teman, hubungan keluarga yang sehat,
dukungan sosial, manajemen stress, dll. Pendidikan kesehatan ditunjukan pada
siswa dan mahasiswa, orang tua, pekerja, masyarakat. kegiatan ini dapat
dilakukan oleh “school nurse” (perawat sekolah), “community health nurse”
(perawat komunitas) bekerja sama dengan instansi terkait.
☺ Memperkuat kemampuan interpersonal anak dan remaja melalui berbagai
kegiatan kreatif.
☺ Membantu keluarga dalam menghadapi stress dan meningkatkan peran
orang tua yang optimal.
☺ Menciptakan lingkungan sosial yang kondusif yang mengembangkan nilai
yang menolak penggunaan narkotik dan zat. Berupaya menghapus ketersediaan
dan keterjangkauannya.
☺ Mengembangkan aktifitas masyarakat pada tingkat RW atau kelurahan terkait
berbagai upaya pencegahan.
b. Prevensi skunder
Prevensi skunder bertujuan untuk
☺ Penemuan secara dini melsalui sekrining dengan tujuan pemulihan sesegera
mungkin untuk itu disosialisasikan faktor resiko dan gejala dini penggunaan
narkotik dan penyalah gunaan zat sehingga petugas kesehatan
dan masyarakat dapat menemukan kasus yang masih dini
instrumen pengkajian dikembangkan untuk penemuan kasus ini.
☺ Pemberian pengobatan dan perawatan yang tepat dan cepat dikembangkan
untuk memulihkan klien agar segera kembali melakukan aktifitas sebelum terjadi
masalah lain. Perawat komuitas dapat berperan sebagai advokat “case manager” dan
berkolaborasi dengan instansi terkait.

c. Prevensi Tersier
Prevensi tersier bertujuan untuk memulihkan klien agar dapat hidup secara produktif bersama
keluarga dan masyarakat. kegiatan yang mendominasi adalah perawatan di panti rehabilitasi yang
bertujuan untuk mengembangkan perilaku dan cara penyelesaian masalah yang baru dan sehat.
Hal yang perlu diwaspadai adalah “relapse”, baik faktor penyebab maupun “continuty care”
setelah pulang dari institusi pelayanan.
Oleh karena kegiatan utama pada prevensi tersier adalah:
☺ Menciptakan lingkungan hidup yang mendukung pemulihan
Dalam hal ini peran keluarga dan masyarakat diperlukan. Keluarga membantu klien
melaksanakan berbagai kegiatan dalam rumah tangga, sedang masyarakat membantu
klien meneruskan kegiatan seperti sekolah dan bekerja. Namun ironis sekali kondisi
masyarakat karena mereka yang telah menggunakan narkotik biasanya di PHK dari
tempat kerja dan DO dari sekolah. Untuk itu perlu dipikirkan jalan keluarnya misalnya:
sekolah khusus dan menciptakan lapangan kerja.
☺ Monitoring dan follow up
Perawat kesehatan masyarakat merupakan unsur yang tepat dalam memantau
keberadaan klien setelah kembali ke masyarakat. Khususnya dalam membantu klien,
keluarga, dan masyarakat menciptakan lingkungan yang kondusif agar perilaku baru
yang telah dipelajari dapat diterapkan. Selain itu perawat dapat memantau “relapse”
dan cara mencegahnya, follow up yang agar “continuity care” dapat terealisasi.
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN
PENGGUNAAN ZAT ADIKTIF

A. Pengertian.

1. Zat psiko aktif adalah segolongan zat yg bekerja mempengaruhi otak sehingga
dpt menimbulkan perubahan pada perilaku, perasaan, persepsi, panca indra &
kesadaran seseorang.

2. Zat adiktif adalah suatu bahan atau zat yg bila digunakan dlm jangka waktu
tertentu bisa menimbulkan kecanduan atau sering disebut dg ketergantungan.

3. Gangguan penggunaan zat adiktif adalah suatu penyimpangan perilaku yang


disebabkan oleh penggunaan zat adiktif yg bekerja pada susunan syaraf pusat
yg mempengaruhi tingkah laku, memori, alam perasaan & proses pikir
seseorang, sehingga mengganggu fungsi sosial & pendidikannya.
Apa yg terjadi bila seseorang menggunakan zat psiko aktif :
1. Intoksikasi : dimana terjadi perubahan perilaku, perasaan & pikiran serta
kesadaran akibat menggunakan zat psiko aktif.
2. Toleransi : terjadi peningkatan jumlah zat yg digunakan untuk mendapatkan
efek yg sama.
3. Gejala putus zat : gejala yg timbul, bisa sdh mengalami ketergantungan atau
dosisnya diturunkan / dihentikan.

Rentang Respon
Gangguan Penggunaan Zat Adiktif

Respon Respon
Adaptif Maladaptif

Eksperi Rekrea Situa Penyalah Keter


Mental sional sional gunaan gantungan
 Penggunaan zat secara eksperimental : kondisi penggunaan taraf awal, disebabkan
rasa ingin tahu, ingin mencari pengalaman baru  taraf coba-coba.

 Penggunaan zat secara rekreasional : digunakan pada waktu berkumpul bersama dg


teman sebaya. Mis ; pertemuan ultah, malam minggu untuk rekreasi.

 Penggunaan zat secara situasional :


 Mempunyai tujuan tertentu  individual
 Sudah merupakan kebutuhan diri
 Cara untuk melarikan diri/mengatasi masalah
 Digunakan saat konflik, stress & frustasi

 Penyalahgunaan zat adiktif : sudah bersifat patologis, mulai digunakan secara


rutin, sdh berlangsung lebih kurang satu bulan,
terjadi penyimpangan perilaku.

 Ketergantungan zat adiktif : penggunaan zat cukup berat, ketergantungan


fisik & psikologis adanya toleransi & sindrom
putus zat.
B. Pengkajian.

1. Faktor Predisposisi.

a. Faktor Biologis : c. Faktor sosial kultural :


1). Genetik 1). Masyarakat yg ambivalen ttg penggunaan zat
2). Infeksi pada organ otak 2). Norma kebudayaan
3). Penyakit kronis 3). Lingk tempat tinggal & sekolah
4). Persepsi/penerimaan masy thd penggunaan
b. Faktor Psikologis : zat adiktif
1). Tipe kepribadian tergantung 5). Remaja lari dari rumah
2). Harga diri rendah 6). Remaja dg perilaku penyimpangan seksual
3). Disfungsi klg
4). Remaja yg merasa tdk nyaman
5). Remaja yg mengalami ggn identitas diri
6). Rasa bermusuhan dg ortu
2. Faktor Presipitasi.
Stress  pencetus terjadinya ggn penggunaan zat.

Stressor presipitasi untuk terjadinya penyalahgunaan zat adalah :

a. Pernyataan untuk mandiri & membutuhkan teman sebaya sbg pengakuan.


b. Reaksi sebagai suatu prinsip kesenangan.
c. Kehilangan orang/sesuatu yg berarti
d. Diasingkan oleh lingkungan
e. Kompleksitas & ketegangan dari kehidupan modern :
1). Tersedianya zat adiktif
2). Pengaruh & tekanan dari teman sebaya
3). Mudah nendapatkan & harganya terjangkau
4). “ Pesan dari masy “ zat adiktif dpt menyelesaikan masalah
3. Tingkah laku.
Penyalahgunaan zat  ketergantungan ( fisik, psikologis, toleransi.
a. Tingkah laku klien penggunaan sedatif hepnotik :
1). Menurunnya sifat menahan diri
2). Jalan tdk stabil c. Tingkah laku klien pada
3). Bicara cadel penggunaan alkohol :
4). Sering datang ke dokter untuk minta resep 1). Sikap bermusuhan
5). Gembira, diam  bermusuhan 2). Murung, diam & depresi
6). Ggn daya pertimbangan 3). Kontrol diri menurun
7). Kurang perhatian 4). Suara keras, cadel & kacau
8). Over dosis  kesadaran menurun, koma, mati. 5). Agresif
9). Rasa percaya diri meningkat 6). Minum tdk kenal waktu
7). Partisipasi di lingk kurang
b. Tingkah laku klien pada penggunaan ganja : 8). Daya pertimbangan
1). Kontrol diri menurun/hilang sama sekali menurun
2). Motivasi perubahan diri menurun 9). Koordinasi motorik
3). Euporia ringan terganggu  cenderung
mendapat kecelakaan
10). Over dosis  kesadaran
menurun, koma.
d. Tingkah laku pada penggunaan opioida :
1). Terkantuk-kantuk
2). Bicara cadel
3). Koordinasi motorik terganggu
4). Acuh terhadap lingk f. Tingkah laku klien pada
5). Kurang perhatian penggunaan halusinogen :
6). Perilaku manipulatif 1). Tingkah laku yg tdk dpt diramalkan
7). Kontrol diri kurang 2). Tingkah laku yg merusak diri
sendiri
e. Tingkah laku klien pada 3). Halusinasi, ilusi
penggunaan kokain : 4). Distorsi waktu & jarak
1). Hiperaktif 5). Merasa diri besar
2). Euporia, elasi-agitasi 6). Kewaspadaan meningkat
3). Iritabilitas 7). Depersonalisasi
4). Halusinasi & waham 8). Pengalaman yg gaib
5). Waspada yg berlebihan
6). Tegang
7). Gelisah, insomnia
8). Tampak membesar-besarkan sesuatu
9). Over dosis : kejang, delirium, paranoid.
4. Mekanisme koping.
Mekanisme pertahanan ego yg khusus biasanya digunakan :
- Denial dari masalah
- Proyeksi  lepas tanggung jawab
- Disosiasi

5. Data khusus.
a. Jumlah & kemurnian zat yg digunakan
b. Sering menggunakan
c. Metode penggunaan
d. Dosis terakhir digunakan
e. Cara memperoleh zat adiktif
f. Jika over dosis, berapa beratnya
g. Stressor dlm hidupnya
h. Sistem dukungan
i. Tingkat harga diri klien
j. Tingkah laku manipulatif
C. Masalah keperawatan.

Menurut Nanda adalah sebagai berikut:


1. Gangguan persepsi sensoris 11. Risiko terhadap infeksi
2. Gangguan proses pikir 12. Risiko perilaku kekerasan
3. Tidak efektifnya koping individu 13. Perubahan eliminasi : urine, bab
4. Gangguan konsep diri 14. Kerusakan interaksi sosial
5. Gangguan aktifitas 15. Perubahan pola tidur
6. Koping klg in efektif 16. Gangguan rasa nyaman : nyeri
7. Risiko memburuknya kesadaran 17. Defisit perawatan diri
8. Mekanisme koping distruktif. 18. Ketidakpatuhan
9. Kerusakan komunikasi 19. Ketidakberdayaan
10. Ansietas 20. Risiko terhadap cedera
POHON MASALAH

RESIKO MENCEDERAI
DIRI SENDIRI

Koping individu tidak efektif : Tidak mampu


Masalah utama mengatasi keinginan menggunakan zat

Internal : Eksternal :
 Harga diri rendah  Kerusakan interaksi sosial
 Kurang aktifitas  Koping keluarga tidak efektif
 Distress spirtual  Penatalaksanaan Regimen
 Perubahan pemeliharaan kesehatan terapeutik tidak efektif :
keluarga
Diagnosa Keperawatan :
1. Risiko perilaku kekerasan b/d intoksikasi psikotropik
2. Risiko mencederai diri b/d putus zat
3. Cemas b/d intoksikasi ganja
4. Ggn rasa nyaman : nyeri b/d putus zat opioida
5. Risiko infeksi b/d pola penggunaan opioida
6. Gangguan persepsi sensoris : halusinasi, ilusi b/d putus zat alkohol, psikotropik
7. Ggn pola tidur b/d putus zat alkohol, psikotropik, opioida
D. Perencanaan Tindakan Keperawatan.
1. Tujuan Umum
a). Klien akan mengatasi adiksi dg rasa nyaman
b). Klien terhindar dari cedera diri/perilaku kekerasan
c). Klien menjauhi diri dari Napza yg dpt merubah alam perasaannya
d). Klien termotivasi untuk mengikuti program jangka panjang
e). Klien menggunakan koping yg positif untuk mengatasi masalahnya

2. Tujuan Khusus
a). Klien mengenal kecemasannya & sadar akan perasaannya
b). Sumber koping klien adekuat untuk membantu klien berubah
c). Klien menggunakan sumber koping adaptif
1. Rencana tindakan / pendidikan keswa
Untuk pencegahan penggunaan zat adiktif
Isi Kegiatan Intruksional Evaluasi
 Memperoleh persepsi  Mengadakan group diskusi ttg  Klien belajar menguraikan
yg sama menggunakan penggunaan zat adiktif, secara benar informasi ttg
zat adiktif pengalaman & koreksi penggunaan zat adiktif
 Menyediakan interaksi dg interpretasi yg salah  Klien belajar menguraikan &
teman sebaya yg  Memutar film ttg dampak pd mengidentifikasi dampak fisik
menggunakan zat fisik & psikologis penggunaan & psikologis penggunaan zat
 Mendapatkan zat adiktif adiktif
persetujuan mengenai  Menyediakan bahan bacaan ttg  Belajar membandingkan secara
pemikiran yg hal tsb nyata keuntungan & kerugian
mengganggu untuk  Mengadakan kelompok kecil menggunakan zat adiktif
menggunakan zat diskusi dg teman sebaya yg  Belajar persetujuan scr verbal
sama menyalahgunakan zat yg untuk menolak jika ada
telah lepas, krn pengalaman pemikiran yg mengganggu
yg tdk menyenangkan untuk menggunakan zat adiktif
 Membahas rencana selanjutnya
menolak menggunakan zat bila
ditawarkan teman
2. Mengganti koping respon yg sehat, pengganti tingkah laku penyalahgunaan zat

Prinsip Rasional Tindakan keperawatan

 Perawat & klien bekerja sama  Memotivasi u/ merubah  Bahas dengan klien tingkah
dlm mendefinisikan mas & adalah mengenalkan mas laku penyalahgunaan zat dan
merencanakan untuk tindakan yang membingungkan resikonya.
keperawatan klien.  Bantu klien u/ mengidentifikasi
 Klien harus bertanggung masalah penyalahgunaan zat.
jawab dg tingkah laku.  Dorong klien agar mau
mengikuti u/ berpartisipasi dlm
program terapi.
 Dorong klien agar mau
mengutarakan hal-hal yg
menyebabkan
penyalahgunaan zat.
 Adakan kontrak persetujuan dg
klien.
 Bantu klien mengenal &
menggunakan koping yg sehat.
 Konsisten memberikan
dukungan.
3. Secara berkesinambungan menjaga keamanan & kenyamanan fisik secara
optimal

Prinsip Rasional Tindakan keperawatan

 Detoksikasi dari  Prioritas utama dlm  Berikan : obat sesuai dg


ketergantungan fisik  intervensi kep adalah terapi detok.
bahaya & tdk nyaman menjaga keamanan klien.  Observasi kondisi sindrom
 Perawatan fisik observasi  Sindrom putus zat putus zat & mencatat
tanda vital, kejang, memotivasi klien u/ terus kemungkinannya.
makanan, keseimbangan menggunakan zat adiktif.
cairan.
4. Mencarikan sistem dukungan sosial u/ kepentingan klien.

Prinsip Rasional Tindakan keperawatan

 Dukungan dari individu sbg  Pemakai zat tergantung &  Identifikasi & mengkaji
pengganti ketergantungan mereka diisolasi o/ masy, sistem dukungan sosial.
zat. penggunaan zat
u/  Sediakan dukungan dari
 Konfrontasi & dukungan meningkatkan kepercayaan orang-orang yg berarti.
teman sebaya lebih diterima diri dlm pergaulan.  Berikan pendidikan kpd
dari pada tenaga profesi.  Perilaku penyalahgunaan zat klien & orang yg berarti
diasingkan o/ klg  ttg mas penyalahgunaan
terisolasi. zat adiktif & sumber yg
 Sulit u/ manipulasi orang yg tersedia u/ mengatasi.
sebelumnya menyalahgunakan  Kirim klien pada sumber-
zat. sumber yg tepat &
 Sistem dukungan sosial hrs memberikan dukungan
selalu tersedia sesuai dg waktu sampai klien ikut dlm
& kesediaan klien. program.
5. Meningkatkan pengembangan alternatif metoda pemecahan masalah pada
stress/konflik.
Prinsip Rasional Tindakan keperawatan
 Alternatif pemecahan  Klien akan mengurangi/tdk bagi  Anjurkan klien u/ menggali cara
masalah yg mampu menggunakan zat u/ mengatasi alternatif pemecahan masalah pd
dilakukan klien & cara yg stress dlm hidupnya. stress & situasi yg menyulitkan.
sehat u/ mengatasi  Menyediakan pengetahuan &  Tolong klien u/ mengidentifikasi
stress/konflik yg dialami. praktek proses penyelesaian mas mas, rencana pemecahan,
 Kegiatan yg disiapkan u/ yg tdk mengacau lingk. pelaksanaan & evaluasi proses.
bekal melanjutkan  Mendengarkan klien dg baik &  Bantu klien mengenal &
kehidupan merupakan memberikan umpan balik u/ terus mengekpresikan dg cara yg dpt
dukungan bagi klien agar mengekspresikan perasaan. diterima.
tdk menyalahgunakan zat.  Klien akan membutuhkan  Ikut sertakan klien dlm kelompok
berbagai macam pengalaman teman sebaya.
tergantung kebutuhan secara  Ikut sertakan klien dlm
individual. rehabilitasi, vokasional, Yan Sos
& sumber lain sesuai kebutuhan
individual.
E. Evaluasi.

1. Apakah klien mencapai kebutuhan fisik & harga diri secara alamiah? .
2. Apakah tingkah laku klien merefleksikan pengertian ttg adanya hubungan
antara stress dg kebutuhan u/ menggunakan zat ?
3. Apakah sumber koping klien adekuat ?
4. Apakah klien mengenal kecemasan & sadar akan perasaannya ?
5. Apakah klien menggunakan sumber koping yg adaptif ?
6. Apakah klien mempunyai alternatif u/ mengatasi stress/ kecemasannya ?
7. Apakah klien mampu secara periodik tetap tsdk menggunakan zat adiktif ?

You might also like