You are on page 1of 15

BAHAN AJAR

II. SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA


Dosen __Pengampu : A.DAHRI AP,SE, M.SI

.
Sejarah Perekonomian Indonesia Masa Orde Baru Hingga
Reformasi
• Pada masa orde baru yang lahir pada tahun 1966, system ekonomi berubah total, Berbeda dengan
pemerintahan orde lama dalam era Soekarno, paradigma pembangunan ekonomi mengarah pada
penerapan Sistem Ekonomi pasar bebas (demokrasi Ekonomi) dan ploitik ekonomi diarahkan pada
upaya-upaya dan cara-cara menggerakkan kembali roda ekonomi.
• Pemerintahan orde baru menjalin kembali hubungan baik dengan pihak Barat, dan menjauhi
pengaruh ideologi komunis juga kembali menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan
Lembaga-lembaga dunia lainnya, sepaeri Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), yang
putus pada zaman Soekarno.
• Dengan membaiknya kembali hubungan Indonesia dengan kedua lembaga donor internasional
tersebut, Indonesia mendapat pinjaman untuk membiayai defisit anggaran belanja pemerintah, yang
sumber dananya berasal dari pinjaman bilateral dari sejumlah Negara Barat, seperti AS. Inggeris dan
Belanda.

 
Awal masa orde Baru, Presiden Soeharto menggerakkan 3 kebijakan Ekonomi yang
sangat berbeda dengan Pendahulunya (Soekarno) yakni;

1. mengembalikan ekonomi pasar,


2. memperhatikan sektor ekonomi, dan
3. merangkul Barat. melirik Negara-negara barat, termasuk lembaga donor seperti Bank Dunia
dan Dana Moneter Internasional (IMF), dengan tujuan menarik modal mereka. Soeharto
menilai bantuan dari Timur dipandang tidak terlalu bisa membantu Ekonomi Indonesia waktu
itu.
Pemerintahan orde lama meninggalkan berbagai masalah serius bagi pemerintahan Orde Baru,
termasuk kelangkaan bahan pangan dan pasokan bahan baku yang nyaris berhenti, hiperinflasi,
produksi dalam negeri yang nyaris berhenti, kerusakan infrastruktur yang parah, terkurasnya
cadangan devisa, tingginya tunggakan utang luar negeri (ULN), defisi APBN yang sangat besar
dan krisis neraca pembayaran.
a

Pada awal era Soeharto ini, pemerintah mengambil langkah drastis yang bersifat strategis yang menandakan
sedang berlangsungnya suatu perubahan yang cepat dalam sistem ekonomi Indonesia dari sistem ekonomi
komando ke sistem ekonomi pasar, di antaranya adalah dikeluarkannya sejumlah paket kebijakan libaralisasi
dalam perdagangan dan investasi. Paket- paket kebijakan jangka pendek tersebut adalah tindak lanjut dari
diterbitkannya Tap MPRS No.XXIII Tahun 1966 tentang Pembaruan Landasan Kebijakan Ekonomi, Keuangan,
dan Pembangunan, yang bertujuan untuk menstimulasi swasta masuk ke sektor-sektor strategis..
Salah satu paket kebijakan yang sangat penting dalam arti sangat berperan dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi Indonesia selama pemerintahan orde baru adalah UU Penanaman Modal Dalam Negeri pada tahun 1968.
Untuk mendukung pelaksanaan kedua UU tersebut, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan deregulasi dan
kebijakan debirokratisasi untuk urusan-urusan yang berkaitan dengan perekonomian pada umunya dan investasi
pada khususnya (Salim, 2000). Selain itu, pada masa yang sama, perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan
pada masa orde lama dikembalikan ke pemiliknya (Tambunan, 2009; 15)
Menjelang akhir dekade 1960-an, atas kerja sama dengan Bank Dunia, IMF, dan ADB (Bank Pembangunan Asia)
dibentuk suatu kelompok konsorsium yang disebut Inter-Government Grup on Indonesia (IGGI), yang terdiri atas
sejumlah Negara maju, termasuk Jepang dan Belanda, dengan tujuan membiayai pembangunan ekonomi di
Indonesia.
a

Boleh dikatakan bahwa pada saat itu Indonesia sangat beruntung. Dalam waktu yang relatif pendek
setelah melakukan perubahan sistem politiknya secara drastis, dari yang ‘pro’ menjadi ‘anti’ komunis,
Indonesia bisa mendapat bantuan dana dari pihak barat. Pada saat itu memang Indonesia merupakan
satu-satunya Negara yang sangat antikomunis yang dianggap oleh Barat (Khususnya AS) telah berhasil
mengalahkan pemberontakan komunis dan sedang berusaha secara serius melakukan pembangunan
ekonominya. Pada saat itu belum ada krisis ULN dari kelompok NSB, seperti pada dekade 1980-an
sehinga boleh dikatakan bahwa perhatian Bank Dunia pada saat itu dipusatkan sepenuhnya kepada
Indonesia (Tambunan,2009 ; 15).
Pembangunan ekonomi diatur melalui serangkaian Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang
dimulai dengan Repelita I (1969-1974), dengan penekanan utama pada pembangunan sektor pertanian
dan industry-industri yang terkait seperti agroindustri, strategi pembangunan dan kebijakan ekonomi
pada Repelita I terpusatkan pada pembangunan industri-industri yang dapat menghasilkan devisa lewat
ekspor dan substitusi impor, industri- industri yang memproses bahan-bahan baku yang dimiliki
Indonesia, industri-industri yang padat karya, industri-industri yang mendukung pembangunan regional,
dan juga industri-industri dasar seperti pupuk,semen,kimia dasar, bubuk kertas,dan kertas,dan tekstil.
a

Sejak dekade 80-an perekonomian Indonesia mengalami suatu pergeseran kearah


yang lebih liberal dan terdesentralisasi.
Berbarengan dengan berubahnya peran pemerintah pusat dari yang sebelumnya
sebagai agen pembangunan ekonomi di samping agen pembangunan sosial dan
politik ke peran lebih sebagai fasilitator bagi pihak swasta, terutama dari segi
administrasi dan regulator, sedangkan peran swasta meningkat pesat.
Pergeseran ekonomi Indonesia ini didorong oleh sejumlah paket deregulasi
sistem perbankan pada tahun 1983 dan deregulasi perdagangan pada tahun 1984.
Paket-paket deregulasi tersebut sesuai dengan tuntunan dari Negara-negara donor,
Bank Dunia, IMF yang dikenal dengan sebutan “konsensus Washington”.
PRIODE EKONOMI ORDE BARU
Radius Prawiro dalam buku “sejarah” Pembangunan Ekonomi Indonesia”
(Mubyarto, 2000; 281) membagi priode ekonomi Orde Baru menjadi tiga ;
• Priode I, 1966 – 1970 ( 14 tahun), Mencari Stabiltas Pada Titik balik).
• Priode II, 1970 – 1983 ( 13 tahun), Pertumbuhan Di Tengah Krisis Global.
• Priode III, 1983– 1993 (10 tahun), Dekade Deregulasi mengarah kepada
konsensus.
 Dari pembagian diatas, terkesan bahwa “ Sistem” pembangunan ekonomi Indonesia
pada era orde baru cenderung tunduk dan mengikuti apa yang terjadi dan
berkembang pada perekonomian global, mungkin Indonesia terlalu lemah untuk ikut
menentukan kancah perekonomian dunia, juga untuk menetapkan “model
pembangunan” yang sesuai dengan kepribadian sendiri dalam hal ini sesuai dengan
Pancasila dan UUD 1945.
Washington Consensus
Karena ekonomi Indonesia pada masa orde baru semakin tergantung pada modal asing, khusus PMA,dan pinjaman
luar negeri, pemerintah Indonesia tidak ada pilihan lain selain melakukan deregulasi-deregulasi tersebut.
“Washington Consensus” tersebut terdiri atas 12 butir (Mas’oed , 2001):
1. penghapusan kontrol pemerintah atas harga komoditi, factor produksi, dan mata uang;
2. disiplin fiksal untuk mengurangi defisit anggaran belanja pemerintah atau bank sentral ketingkat yang bisa
dibiayai tanpa mengakibatkan inflasi;
3. pengurangan belanja pemerintah dab pengalihan belanja dari bidang-bidang yang tidak terlalu penting atau
ang secara politis sensitif ke pembiayaan infrastruktur, kesehatan primer masyarakat, dan pendidikan;
4. reformasi sistem perpajakan dengan penekanan pada perluasan basis perpajakan, perbaikan administrasi
perpajakan, mempertajam insentif bagi pembayar pajak, pengurangan penghindaran dan manipulasi aturan
pajakdan pengenaan pajak pada asset yang ditaruh di luar negeri;
5. liberalisasi keuangan yang tujuan jangka pendeknya adalah untuk menghapus pemberian tingkat bunga bank
khusus peminjaman istimewa dan mengenakan tingkat bunga nominal yang lebih tinggi dari tingkat inflasi, dan
tujuan jangka panjangnya untuk menciptakan tingkat bunga berdasarkan kekuatan pasar demi memperbaiki
alokasi modal;
6. menetapkan tingkat nilai tukar mata uang yang tunggal dan kompetitif; (Tambunan, 2009, hal 18).
a

7. liberalisasi perdagangan dengan mengganti pembatasan perdagangan luar negeri melalui kuota dengan tarif dan secara
progesif mengurangi tarif sehingga mencapai tingkat yang rendah dan seragam;
8. peningkatan tabungan dalam negeri melalui langkah-langkah yang telah disebut di atas, seperti pengurangan defisit
anggaran belanja pemerintah (disiplin fiskal), reformasi perpajakan, dan lain-lain;
9. peningkatan PMA;
10. privatisasi perusahaan Negara;
11. penghapusan peraturan yang menghalangi masuknya perusahaan baru ke dalam suatu bidang bisnis dan yang membatasi
persaingan; dan
12. property rights, sistem hukum yang berlaku harus bisa menjamin perlindungan hak milik atas tanah, kapital, dan bangunan
(Tambunan, 2009, hal 18).
Namun, tidak semua pihak setuju dengan berkurangnya peran pemerintah atau Negara di dalam ekonomi. Bahkan pada dekade
80- an hingga awal 90-an sempat muncul perdebatan publik antara pihak yang tetap menginginkan pemerintah sebagai pemain
utama sesuai bunyi pasal 33 UUD 1945 (ayat 2 dan 3), dan pihak yang menginginkan kebebasan sistem ekonomi sesuai
penjelasan pasal 33 tersebut.
Mackie dan MacIntyre (1994) melihat ada tiga mahzab politik ekonomi di Indonesia pada masa itu, yakni:
(i) kaum teknorat (ekonom) yang berpaham pasar bebas;
(ii) kaum intervionis yang menginginkan peran besar dari Negara dalam pembangunan;
(iii) dan kaum nasionalis pola lama yang ingin selalu berpegangan teguh pada ideologi bangsa-negara sebagaimana tercantum
dalam pasal 33 UUD 1945.
a

Sistem ekonomi Indonesia cenderung semakin kapitalis atau sistem ekonomi pasar
semakin luas diterapkan sejak era reformasi pada tahun 1998 hingga pada masa
pemerintah SBY dan Pemerintahan Jokowi . Ada dua dorongan utama yang membuat hal
ini terjadi.
Pertama, karena desakan dari IMF sebagai konsekuensi dari bantuan keuangan dari
lembaga moneter dunia tersebut yang diterima oleh pemerintah Indonesia untuk
membiayai proses pemulihan akibat krisis ekonomi 1997/1998. Sudah diketahui secara
umum bahwa setiap Negara yang menerima bantuan IMF harus melakukan apa yang
disebut “penyesuaian struktural” yang terdiri atas sejumlah langkah yang harus ditempuh
oleh Negara-negara penerima bantuan yang menjurus ke liberalisasi perekonomian
mereka. Langkah-langkah yang paling penting dan yang pada umumnya paling
berat untuk dilakukan karena sering menimbulkan dampak negatif jangka pendek
terhadap ekonomi dan gejolak sosial di Negara peminjam adalah ;
a

1. Menghilangkan segala bentuk proteksi, termasuk hambatan- hambatan nontarif, untuk


meningkatkan perdagangan luar negeri dan arus investasi asing;
2. Menghapuskan segala macam subsidi dan menaikkan penerimaan pajak untuk penguatan
fiksal;
3. Menerapakan kebijakan moneter yang sifatnya kontraktif untuk menjaga stabilitas harga
(menekan laju inflasi) dan nilai tukar mata uang nasional;
4. Memprivatisasikan perusahaan-perusahaan milik Negara (BUMN) untuk meningkatkan
efisiensi ekonomi dan sekaligus mengurangi beban keuangan pemerintah (dalam kasus
Indonesia adalah APBN);
5. Meningkatkan ekspor untuk meningkatkan cadangan devisa;
6. Meningkatkan efisiensi birokrasi dan menyederhanakan segala macam peraturan yang ada atau
menghapuskan berbagai peraturan yang terbukti selama itu menimbulkan distorsi pasar untuk
menghilangkan ekonomi biaya tinggi;
7. Mereformasikan sektor keuangan untuk meningkatkan efisiensi di sektor tersebut .
 
Pemerintahan Transisi
 Pada tanggal 14 dan 15 Mei 1997 nilai tukar bath Thailand terhadap Dollar AS mengalami suatu
goncangan hebat, akibat para investor Asing Mengambil Keputusan “JUAL” karena tidak
percaya lagi thd prospek perkonomian Negara tersebut.
 Untuk mempertahankan Nilai tukar Bath agar tidak jatuh terus, Pemerintah Tahiland melakukan
Intervensi dan didukung oleh intervensi yang dilakukan oleh Bank sentral Singapura.
Akantetapi pada hari rabu 2 juli 1997 Bank sentral Thailand terpaksa mengumunkan bahwa
nilai tukar bath dibebaskan dari ikatan dengan dolar AS .dan sepenuhnya berdarkan pasar, dan
meminta bantuan dari IMF.
 Pengumuman itu mendepresiasikan 15% hingga 20 % hingga mencapai nilai terendah, yakni
28,20 Bath per dolar AS.
 Apa yang terjadi di Thailand akhirnya merembet ke Indonesia dan beberapa Negara Asia
lainnya, awal dari Krisi Keuangan di Asia
 Rupiah di Indonesia Indonesia mulai terasa goyang sekitar bulan juli 1997 dari Rp 2.500
menjadi rp 2.650 perdolar AS, sejak saat itu posisi mata uang Indonesia mulai tidak stabil
Krisis Moneter
 Pada bulan juli 1997 BI melakukan 4x Intervensi, akan tetapi pengaruhnya tidak
banyak nilai rupiah dalam dolar AS terus tertekan, dan pada tanggal 13 agustus
1997 rupiah mencapai rekor terendah dalam sejarah mencapai Rp 2.682 per dolar
As sebelum akhirnya ditutup 2.655 per dolar AS.
 Aksi BI pertama-tama memperluas Rentang Intervesi rupiah dari 8% menjadi 12
% , pada akhirnya juga menyerah dengan rentang intervensinya , pada hari yang
sama rupiah anjlok dari ke Rp. 2.755 per dolar AS.
 Pada bulan maret 1998 nilai rupiah mencapai Rp. 10.550 per dolar AS, walaupan
sebelumnya antara bulan januari – Februari 1998menembus Rp 11.000 per dolar
AS. (Tambunan 2006)
 Sekitar sejak September 1997 nilai tukr rupiah terus melemah dan mulai
menggoncang perekonomian Nasional.
Untuk mencegah agar keadaan tidak semakin buruk Pemerintah Orde Baru
mengambil beberapa langkah konkrit diantaranya;
• Menunda proyek proyek senilai 39 Triliun dalam upaya mengimbangi
keterbatasan anggaran Belanja Negara yang sangat dipengaruhi oleh perubahan
nilai rupiah tersebut.
• Pada awalnya pemerintah berupaya mengatasi kkrisis nilai rupiah dengan
kekuatan sendiri namun menyadari bahwa nilai tukar rupia h semakin merosot,
hingga pada oktober 1997 Pemerintah Indonesia akhirnya menyatakan secara
resmi meminta bantuan dari IMF.
• Hal ini juga dilakukan oleh Pemerintah Thailand, Philipina dan korea Selatan
Krisis Rupiah yang menjelma menjadi krisis ekonomi akhirnya memunculkna krisis
politik yang dapat dikatakan terbesar dalam sejarah Indonesia sejak merdeka tahun
1945.
Krisis politik tsb diawali dengan penmbakan oleh tantara terhadap empat mahasiswa
Universitas trisakti, tepatnya 13 mei 1998, kemudian tgl 14 dan 15 mei Kota Jakrta
dilanda kerusuhan yang paling besar dan sadis .
Setelh kedua peristiwa tersebut menjelang minggu minggu terakhir bulan mei 1998
DPR pertama kalinya dalam sejarah Indonesia dikuasai/diduduki oleh ribuan
mahasiswa/siswi dari berbagai perguruan tinggi dijakrta dan luar Jakarta
Tanggal 21 me1 1998, Presiden Soeharto mengundurkan diri dan digantikan oleh
wakilnya Dr. Habibie.
Tanggal 23 mei 1998 Presiden Habibie membentuk Kabinet baru, sebagai awal
terbentuknya Pemerintahan transisi.

You might also like