You are on page 1of 14

Memulai Penelitan

1. Kisah apa yang ingin kamu sampaikan?

• Riset yang baik dimulai dari ketertarikan kita pada suatu


bidang/tema/area
• Semua riset selalu punya tujuan, dan jadikan motivasi memilih
subjek sebagai tujuan
• Semakin jelas tentang apa yang ingin disampaikan, maka semakin
jelas pula arah/orientasi riset ke depan
2. Rumuskan pertanyaan penelitian

• Merumuskan pertanyaan penelitian adalah hal yang paling sulit


• Literatur ilmiah yang luar biasa berangkat dari pertanyaan yang luar
biasa
• Pertanyaan penelitian bisa berangkat dari skeptisisme
• Pertanyaan penelitian bias juga lahir dari teori atau konsep yang
sudah ada
3. Apakah cerita yang ingin disampaikan
signifikan?

• Banyak ide-ide penelitian tidak bisa dikembangkan lebih jauh


karena belum berhasil menampakkan signifikansinya
• Dalam dunia akademik, signifikansi setidak-tidaknya harus
mempunyai dampak panjang (long-term)
• Secara umum, signifikansi setidak-tidaknya memberi manfaat pada
masyarakat
4. Kalau sudah ada yang pernah menceritakan hal yang
kamu ingin sampaikan, apa yang membedakan kalian?

• Sudah banyak ide penelitian yang berhasil menjadi sebuah karya


• Bisakah ide penelitian kita memberikan hal yang “baru”?
• Tinjauan pustaka sangat penting ketika kita sudah punya ide
penelitian, untuk menghindari pengulangan dan plagiarisme
• Sampaikan pujian+kritik terhadap penelitian yang sudah ada
5. Sumber apa yang kamu gunakan atau bagaimana kamu
membaca kembali sumber yang sudah pernah digunakan?

• Ide penelitian boleh sama, tapi seringkali sumber yang digunakan


berbeda
• Ide penelitian dan sumber boleh sama, tapi cara membaca sumber
dan menganalisanya harus berbeda!
• Selalu skeptis bahwa orang tidak bisa “mengekstraksi” sumber-
sumber yang telah mereka gunakan
Bedah abstrak

•Saatnya melihat beberapa


contoh abstrak
Artikel ini membahas kedudukan rempah-rempah sebagai bagian penting dari sejarah
Indonesia dengan mengkajinya dari perspektif sejarah total. Komoditas seperti cengkeh dan
pala yang dihasilkan di Kepulauan Maluku pada masa lalu pernah dihargai tinggi dalam
ekonomi global. Eksplorasi pelayaran dari berbagai penjuru dunia demi mencari rempah-
rempah lantas menciptakan “Jalur Rempah” yang menjadikan nusantara sebagai poros
ekonomi global. Selain berpengaruh besar terhadap berbagai unsur kehidupan dalam
lingkup global, eksplorasi rempah-rempah telah memicu temuan penting dalam bidang ilmu
pengetahuan, mulai dari Itinerario karya kartografi oleh Jan Huygen van Linschoten
hingga Herbarium Amboinense karya botanikal oleh Rumphius. Akan tetapi di balik itu,
rempah-rempah memicu terjadinya praktik eksploitasi alam. Dengan menggunakan
pendekatan sejarah total sebagaimana diterapkan oleh Fernand Braudel, artikel ini
menyajikan hubungan sejarah, politik dagang, budaya, alam, dan ilmu pengetahuan di
balik eksplorasi dan eksploitasi rempah-rempah di Nusantara.
Artikel ini menjelaskan tentang identitas etnis Tionghoa yang ada di Padang pada masa
Pemerintah Hindia Belanda. Mengkonstruksi identitas etnis Tionghoa di Padang
menggunakan metode sejarah melalui studi pustaka dan arsip dengan menelusuri sumber-
sumber berupa buku, arsip Pemerintah Hindia Belanda, dokumen perkumpulan sosial,
budaya, dan pemakaman Heng Beng Tong serta Hok Tek Tong. Data yang diperoleh
kemudian dikritik dan dikronologiskan untuk menghasilkan karya historiografi. Temuan
artikel ini menunjukkan bahwa identitas etnis Tionghoa di Padang masa Pemerintah Hindia
Belanda dipengaruhi oleh penataan masyarakat di daerah koloni oleh pemerintah Hindia
Belanda dengan menerapkan sistem pemukiman (wijkenstelsel), pembagian masyarakat
melalui Indische Staatregeling serta berbagai aturan lainnya. Penerapan sistem tersebut
membentuk identitas etnis Tionghoa di Padang di mana secara politis berada di bawah
kontrol Pemerintah Hindia Belanda, namun secara social dan budaya masih berorientasi
kepada kebudayaan Tionghoa.
Pada masa kolonial, permulaan abad ke-20 mejadi titik awal dari munculnya
jalanjalan pertokoan modern di hampir seluruh kota di Jawa, seperti Groote Postweg
(Jalan Raya Pos, sekarang Jalan Ahmad Yani) di Semarang, Bragaweg (Jalan Braga)
di Bandung, Jalan Pasar Baru di Weltevreden, Jalan Tunjungan di Surabaya, dan
Kayutangan (sekarang Jalan Basuki Rahmat) di Malang. Di Yogyakarta, Malioboro
menjadi jalan pertokoan kolonial paling modern dan paling ramai saat itu. Sejak
berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada 1756 Malioboro telah
memainkan peran yang penting dalam tata kota kraton sebagai rajamarga (jalan
kerajaan) untuk seremonial tertentu dan menjadi bagian integral dalam konsep garis
filosofi kraton yang sarat makna. Tulisan ini akan menguraikan perkembangan
Malioboro tahun 1756-1941 dari sebuah jalan kerajaan hingga menjadi jalan
pertokoan kolonial secara lebih komprehensif.
Artikel ini mendiskusikan penafsiran Alquran tentang kepedulian sosial yang dijadikan basis
praksis ílantropi dan perkumpulan social pada era kolonial. Objek kajiannya adalah Tafsier Soerat
Al-Ma’oen (1930) karya K.H. Abdulchalim. Karangan berbahasa Sunda ini kiranya merupakan
pengembangan dari hasil bacaan Abdulchalim atas tafsir Juz ‘Amma karya Muhammad ‘Abduh.
Abdulchalim berusaha menafsirkan surat tersebut dan menjadikannya sebagai dasar aktiítas
ílantropi yang dijalaninya melalui pendirian lembaga sosial dibanding melakukan kegiatan karitas
yang bersifat sesaat dan konsumtif. Aktiítas sosialnya itu didasarkan pada ajaran fílantropi yang
terkandung dalam surah al-Mā‘ūn, seperti orientasi fílantropi dari individu ke kolektif, keterikatan
salat dengan pemenuhan hak-hak yang lemah, kritik terhadap ketertinggalan kaum Muslim, dan
kekuasaan kolonial atas tanah airnya. Kajian ini menegaskan bahwa penafsiran Abdulchalim tidak
bisa dilepaskan dari situasi social bangsa jajahan berhadapan dengan kebijakan kolonial Belanda
dan persaingan dengan pedagang Cina. Tafsirnya menjadi contoh lain dari pengaruh pembaharuan
di Kairo terhadap aktiís Muslim Asia Tenggara terutama pada era pra-kemerdekaan Indonesia.
Younger sons of the gentry occupied a precarious and unstable position in society. They
were born into wealthy and privileged families yet, within the system of primogeniture,
were required to make their own way in the world. As elite men, their status rested on
independence and patriarchal authority, attaining anything less could be deemed a failure.
This article explores the way that these pressures on younger sons emerged, at a crucial
point in the process of early adulthood, as anxiety on their part and on the part of their
families. Using the correspondence of eleven English gentry families across this period, we
explore the emotion of anxiety in this context: the way that it revealed ‘anxious
masculinities’; the way anxiety was traded within an emotional economy; the uses to which
anxiety was put. We argue that anxiety was an important and formative emotion within the
gentry community and that the expression of anxiety persisted among younger sons and
their guardians across this period. We therefore argue for continuity in the anxieties
experienced within this emotional community.
Tugas minggu depan

•Membuat abstrak
Tema-tema yang dapat dipilih

• Sastra dan sejarah


• Historiografi Indonesia modern (1970-2019)
• Sejarah publik dan ingatan kolektif

You might also like