You are on page 1of 113

ACUTE SPINAL CORD INJURY

Rohman Azzam
Pokok Bahasan
1. Introduction
2. Definisi
3. Review anatomy
4. Etiologi
5. Patofisiologi
6. Klasifikasi
7. Gambaran Klinis
8. Pemeriksaan Diagnostik
9. Penatalaksanaan
10. Nursing care
Pendahuluan
• Fraktur satu/lebih tulang vertebra merupakan cedera serius
• Pasien cedera kepala harus diduga mengalami cedera spinal
• 5–10% klien tidak sadar dari kecelakaan bermotor/jatuh,
mengalami cedera cervical
• L : P= 4:1 mayoritas 15-25th akibat trauma krn benturan kuat
• Pada orang tua: osteoporosis, keganasan
• Umumnya terjadi pada vertebra C5-C7, T12-L1
Pendahuluan
• Sebelum PD II, harapan hidup org dg SCI: hitungan
bulanan – 10 th; saat ini mengalami perbaikan, dapat
hidup lebih lama (hanya 5 th lebih pendek dari pada
org tanpa SCI).
• SCI berpotensi mengganggu “tum-bang”, mengubah
dinamika keluarga, kehilangan ekonomi akibat tdk
dpt bekerja, biaya rehab yg tinggi, dan perlu
perawatan jangka panjang.
• Di Amerika: ±12.000 org mengalami SCI/th,
• Orang hidup dg SCI: 259.000 org
(Lewis et al, 2011, p.p. 1546-1565)
Definisi

Cedera tulang belakang adalah patah tulang


atau dislokasi dari satu atau lebih vertebra yang
menyebabkan kerusakan pada medula spinalis
dan akar sarafnya
Review Anatomi (1)

Fungsi Vertebrae :
• Menyangga berat kepala
& menegakkan tubuh
• Pelindung medula
spinalis
• Tempat keluarnya nervus
spinalis
• Tempat perlekatkan otot-
otot dan ligamen
Review Anatomi (2)
Review Anatomi (3)
Review Anatomi (4)

Front view of cervical vertebrae


1 and 2, the odontoid process
and the spinal cord
Review Anatomi (5)

Side view of cervical vertebrae 1 and 2, the odontoid process and


the spinal cord
Review Anatomi (6)
Review Anatomi (7)
Review Anatomi (8)
Review Anatomi (9)
Review Anatomi (10)
Anatomy of the autonomic
nervous system.
Etiologi
• Accidents (45%)
– Car, van, coach 16.5%
– Motorcycle 20%
– Bicycle 5.5%
– Pedestrian 1.5%
– Helicopter 1.5%
• Industrial Accidents (34%)
• Sport Injury 15%
– Diving 4%
– Rugby 1%
– Horse Riding 3%
– Other 7%
• Assault 6%
– Self Harm 5%
– Assaulted 1%
Patofisiologi (1)

FLEKSI HIPEREKSTENSI TORSI/ROTATION

RUPTUR LIG
KERUSAKAN PMB DRH
 NYERI
SUBLUKSASI / DISLOKASI
 RISK CEDERA
FRAKTUR VERTEBRA
LANJUT

ISKEMIA

NEKROSIS

KERUSAKAN PARENKIM

GGN NEUROLOGIS

KOMPLIT INKOMPLIT
Patofisiologi (2)
GGN NEUROLOGIS

KOMPLIT INKOMPLIT

• Fungsi SENSORIK & MOTORIK Ө • Fungsi SENSORIK & MOTORIK (+)


• ANAL KONTRKSI & SENSASI Ө • ANAL KONTRKSI (+) &/SENSASI (+)

1. CENTRAL CORD SYNDROME


2. ANTERIOR CORD SYNDROME
3. BROWN SEQUARD SYNDROME

FASE AKUT FASE REHAB


 Ineffective POLA NAFAS,
 GGN PRTUKRAN GAS,
 INEFFECTIVE AIRWAY CLEARANCE
 GGN ELIMINASI URIN /BOWEL
 NUTRISI <<
SPINAL SHOCK:  GGNMOBILITAS FISIK,
• HILANG FS MOTORIK ,SENSORIK & REFLEK  DEFISIT PRWT DIRI,
• HILANG VENOUS RETURN & HIPOTENSI  GGN INTGRTS KULIT
Patofisiologi (Secondary Injury Following Traumatic SCI)
(Lewis et al, 2011, p.p. 1547)

HEMORRHAGE

RBC and PLATELET AGGREGATION BREAKDOWN of RBCs NEUTROPHIL

RELEASE of NOREPINEPHRINE, PRODUCTION of LEUCOTRIENES,


HEMOGLOBIN & IRON RELEASE
SEROTONIN, DOPAMINE ACTIVATION of KALIKREIN-KININ
SYSTEM

ARACHIDONIC FREE RADICAL


ACID RELEASE FORMATION

VASOCONTRICTION,
THROMBOSIS FORMATION
VASOSPASM/EDEMA

SECONDARY INJURY
↘ SCBF ↘ SCBF
(SCBF: Spinal Cord Blood Flow)
TISSUE HYPOXIA (RBCs: Red Blood Cells)
Classification of SCI
SCI are classified by:
1. Mechanisme of injury
2. Skeletal and neurologic level of injury
3. Completeness or degree of injury
Mechanisme of Injury
• Flexion
• Hyperextension
• Flexion-rotation
• Extension-rotation
• Compression
• Cedera dpt hanya
menganai tulang saja,
jaringan lunak saja, atau
gabungan
• Lebih sering gabungan
Melibatkan kolumna
anterior dari badan
vertebral
• Akibat kompresi aksial
• Mengenai kolumna
anterior dan tengah
(dinding posterior).
• Fragmen retropulsi akan
menimbulkan stenosis
kanal spinalis
(penyempitan kalan
spinal).
• Cedera ini sangat
tidak stabil
• Semua kolumna
spinal terkena
Skeletal and Neurologic Level of Injury
1. Level skeletal:
– Level vertebra dimana kerusakan lebih pd tulang dan
ligamen vertebra.
2. Level neurologic:
– Segmen bawah dari spinal cord yang fungsi sensori dan
motorik-nya normal pada kedua sisi tubuh.
– Level injury
• Cervical
• Thoracal
• Lumbal
Skeletal and Neurologic Level of Injury
• Cedera cervical dan lumbal lebih sering terjadi
karena level ini lebih fleksibel dan mudah bergerak.
• Cedera pada “cervical cord (medula spinalis di level
cervical) menimbulkan paralisis ke 4 ekstremitas dan
mengakibatkan tetraplegi.
• Cedera di bahwa cervical cord jarang menimbulkan
paralisis komplit.
• Kerusakan “toracic and lumbar cord” mengakibatkan
paraplegi (paralisis dan hilangnya sensasi pd ke 2
kaki)
Completeness or Degree of Injury
Diklasifikasi sbg:
1. Komplit
2. Inkomplit
Completeness or Degree of Injury
• Komplit:
Fungsi motorik dan sensori dibawah level
cedera (lesi) hilang total.
Completeness or Degree of Injury
• Inkomplit:
– Hilangnya satu aktivitas motorik volunter dan sensasi dan
masih ada beberapa tract/jalur yang utuh.
– Tingkat kehilangan sensori dan motorik bervariasi
tergantung pada level lesi dan jalur saraf tertentu yang
rusak dan yang tidak rusak.
– 7 sindrome lesi inkomplit:
1. Central cord syndrome
2. Anterior cord syndrome
3. Brown-Squard syndrome
4. Posterior cord syndrome
5. Cauda equina syndrome
6. Connus medullaris syndrome
Central Cord Syndrome
• Tipe ini lebih sering
terjadi
• Umumnya terjadi
kelemahan
motorik/paralisis
ekstremitas atas dg
ekstremitas bawah
relatif lebih ringan
Anterior Cors Syndrome
• Cedera pd 2/3 anterior
• Cedera pd pyramidal tracts
berakibat hilangnya motor
function dibawah level
cedera
• Jika cedera mengenai
spinothalamic tracts:
kehilangan sensasi touch,
pain, dan temperature.
• Bagian posterior cord tdk
cedera, shg dpt merasakan
vibrasi dan posisi.
Brown-Sequared Syndrome
• Kerusakan pd separuh
dari spinal cord
• Kelemahan motor dan
propriosepsi ipsilateral
dg kehilangan sensasi
nyeri dan suhu
kontralateral, demikian
juga sentuhan ringan
Posterior cord Syndrome
• Lebih jarang terjadi
• Posterior columns
membawa sensasi
vibrasi dan propriocepsi
• Karakteristik syndrome
ini: hilang sensasi
vibrasi dan posisi
• Pemulihan fungsional
baik
Cauda equina syndrome & Connus
medullaris syndrome
• Trauma pada bagian paling bawah dari spinal
cord (conus) dan akar saraf lumbal dan sakral
(cauda equina)
• Cedera ini menyebabkan:
– flaccid paralisis anggota gerak bawah
– arefleksik (flaccid) bladder dan bowel
ASIA Impairment Scale
• Digunakan utk mengklasifikasikan beratnya gangguan
akibat SCI.
• Mengkombinsaikan pengkajian fungsi motorik dan
sensori utk:
– menentukan tingkatan cedera
– menentukan lengkap/tidanya cedera
– mencatat perubahan status neurologi
– mengidentifikasi tujuan fungsional dari rehabilitasi
(Brunner & Suddarth, 2005, p 1928)
Sumber:
Gambaran Klinis
• Nyeri hebat pada leher dan/atau punggung
bertambah bila bergerak
• Cedera jaringan lunak ( haematom, laserasi)
• Deformitas tulang belakang
• Gangguan respirasi akibat kerusakan saraf
phrenic (yg menyebabkan paralisis otot-otot
resp.)
• Kesemutan, baal, kelemahan ekstremitas,
disfungsi bladder/bowel
Spinal shock:
• Plasid paralisis pada semua otot skeletal
• Deep tendon reflexes (DTR), sensasi kulit,
sensasi proprioseptif (posisi), sensasi viseral
dan somatik, dan reflek penis hilang.
• Retensi urin dan fecal
• Anhidrosis (tidak berkeringat)
Neurogenic shock:
• Manifestasi: vasodilatasi, bradikardia, dan hipotensi
• Spinal shock dalam SCI dapat terjadi pada level manapun,
hilangnya pusat kontrol tonus vaskuler perifer (neurogenic
shock) terjadi lebih dramatis pada cedera spinal setinggi
servical, dengan interupsi sistem saraf simpatis.
• Sangat mungkin terjadinya bradikardia dan hipotensi.
• SCI yang lebih rendah dari area midthoracic, pasien akan
mengalami fase shock neurogenic, dengan hilangnya inervasi
simpatis pada pembuluh-pembuluh dibawah level lesi, namun
demikian efek kehilangannya tidaklah sedramatis jika
mengenai area cervical.
Fase pemulihan spinal shock:
Ciri pulih sbb:
• spsame fleksor yg dipicu oleh stimulasi kulit
• reflek pengosongan blader dan bowel
• rigiditas ekstensor atau fleksor
• hiperrefkeltif DTR
• reflek priapsm atau ejakulasi pada pria, yang
dipicu oleh stimulasi kutan
Level cedera spinal
Level cedera Manifestasi
C1-C3 • Hilangnya semua fungsi otot, termasuk otot respirasi akibat
kerusakan saraf phrenic
• Dengan transeksi spinal lengkap pasien akan meninggal,
kemungkinan ditempat kejadian, kecuali bila ventilasi segera
dilakukan.
C4-C5 • Sama seperti di atas, tetapi dengan kemungkinan masih ada fungsi
saraf phrenic. Ini berarti bahwa pasien kemungkinan akan
membutuhkan bantuan ventilasi karena terjadinya kelemahan atau
hilangnya fungsi otot interkosta.
• Pasien akan tetraplegi/quadriplegi
C6-C8 • Quadriplegia akan terjadi, tetapi pasien dapat mempertahankan
fungsi diafragma dan otot asesoris pernapasan dan dapat
melakukan beberapa pergerakan leher, bahu, dada dan bagian atas
lengan.
Phrenic nerve
Level cedera spinal
Level cedera Manifestasi
T1-T3 • Leher, bahu, lengan, tangan, dan respirasi berfungsi
• Akan mengalami kesulitan mempertahankan posisi duduk
T4-T10 • Sama seperti di atasnya, tetapi otot-otot trunk lebih stabil
• Lesi lebih rendah, kemandirian lebih besar
• Pasien akan paraplegia
Catatan:
Pasien dengan lesi pada atau di atas T6
(tetraplegic/quadriplegic/high paraplegic), 80% akan mengalami
episode autonomic disreflexia.
T11-L2 • Akan dapat menggunakan ekstremitas atas, leher dan bahu.
• Otot dada dan trunk stabil, dan beberapa fungsi otot femur bagian
atas.
• Mungkin kehilangan kontrol volunter bowel dan bladder, tetapi
pasien mempunyai reflek pengosongan bowel.
• Laki-laki dapat mengalami kesulitan mencapai dan
mempertahankan ereksi dan penurunan emisi semen.
Level cedera spinal
Level cedera Manifestasi
L3-S1 • Pasien mempunyai fungsi otot pada semua kelompok otot bagian
atas tubuh dan banyak fungsi otot ekstremitas bawah.
• Fungsi volunter bowel dan bladder akan hilang, dan reflek
pengosongan.
• Laki-laki dapat mengalami penurunan atau hilangnya kemampuan
ereksi, dengan penurunan emisi semen.
S2-S4 • Semua kelompok otot berfungsi tetapi beberapa bagian bawah
ekstremitas melemah.
• Dapat mengalami flasiditas bowel dan bladder, demikianpula
hilangnya kemampuan reflek ereksi
Autonomic dysreflexia (AD)
• Respon yang mengancam jiwa dari sistem saraf otonom
terhadap suatu stimulus, yang menimbulkan respon sistem
saraf simpatis yang berlebihan.
• Respon ini dapat terjadi selama fase akut SCI, atau tidak
hilang sampai beberapa tahun setelah injuri.
• AD mengenai individu dengan lesi pada T6 atau diatasnya. Jika
AD tidak diidentifikasi, ditreatmen segera maka dapat
berakibat kejang, perdarahan subarachnoid, cva fatal, dan
infark miokardial.
Autonomic dysreflexia (AD)
Penyebab:
• Rangsangan pada bladder (tersering), seperti
distensi, infeksi, kalkuli, cystoscopy
• Rangsangan bowel seperti fecal impak,
pemeriksaan rektum, insersi supositoria
• Rangsangan kulit seperti pakaian sempit, suhu
ekstrim, dekubitus, atau kerusakan kulit.
Autonomic dysreflexia (AD)
Manifestasi klinik:
• 3 tanda klasik:
– nyeri kepala
– vasodilatasi kutan
– berkeringat (diatas level lesi).
• Hipertensi (>250-300/150 mm Hg)
• Nasal congestion
• Flushed skin (diatas level lesi)
• Penglihatan kabur/buram
• Mual
• Bradikardia
• Nyeri dada
• Dibawah level lesi dapat terjadi pilomotor erection, pucat, menggigil, an
vasokonstriksi.
Pemeriksaan Penunjang

1. X-RAY :
• AP & LAT
• POSISI SWIMMER (FR CERVICAL BAWAH)
• OPEN MOUTH (MELIHAT TULANG ODONTOID)

2. CT SCAN
3. MRI
3 Collum Spine Stability
1. Anterior collum :
ALL dan 2/3 vertebra bodies
anterior,anulus fibrosus dan
intervertebra disk
2. Middle collum :
PLL dan 1/3 vertebra bodies
posterior,anulus fibrosus dan
intervertebra disk
3. Posterior collum : Pedicle, prosesus
transversus, facet joint,lamina dan
prosesus spinosus
Faktor indikasi instability vertebra
• Defisit neurologi progresive
• Kyphosis > 20 derajat
• Korpus vertebra 50% kehilangan tingginya
• Fragmen tulang mendesak canal spinalis
Komplikasi
• Emboli Paru, Pneumonia
• DVT
• Orthostatic hypotensi
• Autonomic dysrefleksia
• Pressure Ulcer
(Brunner & Suddarth, 2005, p 1911)
Penatalaksanaan (1)
1. Lokasi kejadian : immobilisasi, transportasi yg benar
2. Awal :
• Airway management :
 Jaw thrust manuver
 Stabilisasi kepala manual pada posisi netral
 Hindari fleksi/ektensi leher
• Breathing :
 Paralysis diaphragma Lesi C5 keatas
 Berikan 02 100% sebelum intubasi
• Circulation :
 IVFD, Obat vasopressor (neurogenik shock)
• Disability :
 Evaluasi status neurologi
Penatalaksanaan (2)
2. Mencegah kerusakan neurologis > lanjut
• Log rolling
• Proteksi alignment spine
• Therapi : methylprednisolon efektif pada 8 jam cedera. 30 mg/kg
BB IV bolus dalam 15 mnt, dilanjutkan 5.4 mg/kg BB 23-48 jam
3. Diet : tpn
4. Dower kateter.
5. Konservatif : Traksi, Ekternal orthosis (cast, brace)
6. Pembedahan: dekompresi stabilisasi: plate screw
dan/fusion.
Case
• Crew ambulan meluncur ke lokasi karena mendapat informasi
ada korban tabrak lari. Saat crew tiba dilokasi, tampak
seorang laki-laki (21th) terbaring di sisi jalan jalur cepat.
Korban tidak sadarkan diri, tampak jejas di dagu, eksoriasi di
area frontalis, dan edema serta ekimosis di area leher.
Menurut para saksi sekitar 30 menit yang lalu korban
tertabrak mobil minibus. Beberapa saat yang lalu masih
mengerang, namun tidak jelas apa yang diucapkan. Kemudian
oleh para saksi, korban di pindahkan ke tempat yang aman
dengan cara di gotong. Setelah itu korban tidak
memperlihatkan gerakan apapun.
Skull Calipers
Halo Traction
Odontoid screw
(http://www.neurospine.com/
images/odontoid_screw.jpg)

Figure. A 35-year-old female nurse presented


with a posterior facet fracture
requiringposterior C5 decompression. A,
Sagittal CT view showing bone fragment
compressing nerve root. B, and C,
Postoperative AP/lateral radiographs showing
posterior decompression (hemifacetectomy)
and fusion using posterior tension band
technique (Dewar)
(www.simmonsortho.com/literature/
clinicaloutcomescervicalspine)
Application of Cervical Collars

• Stabilize head & neck.


• Insert back part of collar.
• Apply front part of collar.
• Secure collar together.
Lateral & supine

Log rolling
1 2

3 4
1 2

3 4
Nursing CARE
Pengkajian
• Primary survey: ABCDE
• Fungsi neurologi
• Fs sensorik : touch & pin prick, anal sensasi.
• Fs motorik : pergerakan extremitas,anal sensasi &
kontraksi Test reflek : knee, biseps, trisep, ankle, ACR &
BCR
• Level injuri : sensori , motorik level & neurologic level
Rating triage:

Urgent - emergent
Diagnosa
(Brunner & Suddarth’s, 2010)
Diagnosis
Swearingen & Keen. (2001)
• Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan suplai
oksigen karena hipoventilasi sekunder terhadap
paresis atau paralisis otot respirasi (diafragma,
interkosta) yang terjadi pada cedera spinal cervical
atau edema spinal asenden.
• Bersihan jalan napas tidak efektif (aktual/risiko) bd
penurunan atau tida ada reflek batuk sekunder
terhadap cedera spinal setinggi torakal atau cervical
Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan suplai oksigen karena
hipoventilasi sekunder terhadap paresis atau paralisis otot
respirasi (diafragma, interkosta) yang terjadi pada cedera spinal
cervical atau edema spinal asenden
• Tujuan : dalam 24 jam diagnosa ini dan selama di
rumah sakit pasien mengalami pertukaran gas yang
adekuat
• Kriteria Hasil:
– Orientasi terhadap tempat, orang, dan waktu
– PaO2 ≥80 mm Hg
– PaCO2 ≤45 mm Hg
– RR: 12-20x/mnt, kedalaman dan irama normal
– HR 60-100 x/mnt
– BP stabil dan normal
– Capacitas vital ≥ 1 L
– Penurunan motor & sensori tetap pd level spinal cord yang
sama seperti temuan awal
Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan suplai oksigen karena
hipoventilasi sekunder terhadap paresis atau paralisis otot
respirasi (diafragma, interkosta) yang terjadi pada cedera spinal
cervical atau asenden edema spinal

Intervensi :
 Kaji tanda disfungsi respirasi: napas dangkal, cepat; kapasitas vital < 1 L;
perubahan dalam sensori; cemas; gelisah; tacicardia; pucat; tidak dapat
mengeluarkan sekresi
 Monitor hasil ABG; lapor jika tidak normal. Waspadai PaO2 < 60 mm Hg,
PaCO2 > 50 mm Hg, dan penurunan pH. Temuan tersebut
mengindikasikan perlunya bantuan ventilasi, kemungkinan disebabkan
atelektasis, pneumonia, atau respiratory fatigue.
 Monitor capacitas vital tiap 8 jam. Jika < 1L , PaO2/PAO2 rasio ≤ 0.75,
atau sekresi yang kental, maka intubasi diindikasikian.
 Monitor X-ray dada, konsul dr bila tidak normal
Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan suplai oksigen karena
hipoventilasi sekunder terhadap paresis atau paralisis otot
respirasi (diafragma, interkosta) yang terjadi pada cedera spinal
cervical atau asenden edema spinal

 Monitor tanda asending edema spinal: peningkatan


kesulitan menelan sekresi atau batuk, stridor dg retraksi
otot asesoris pernapasan, bradikaridia, fluktuasi BP,
meningkatnya penurunan motorik dan sensorik pada level
lebih tinggi dari temuan awal.
 Sebelum intubasi oral dengan fleksi leher, pastikan x-ray
cervical telah mengkonfirmasi tidak adanya keterlibatan
cervical. Jika pasien memperlihatkan distres pernapasan,
dan keterlibatan cervical tidak dapat dipastikan, jangan
hiperekstensikan leher untuk resusitasi; gunakan intubasi
nasal atau orotracheal dengan imobilisai manual cervical
spine/neck collar
Gangguan pertukaran gas b.d. perubahan suplai oksigen karena
hipoventilasi sekunder terhadap paresis atau paralisis otot
respirasi (diafragma, interkosta) yang terjadi pada cedera spinal
cervical atau asenden edema spinal

 Jika pasien telah diimmobilisasi dengan cara


menggunakan traksi tong atau dengan traksi halo,
monitor status respirasi q1-2h untuk 24-48 jam pertama
dan kemudian q4h jika kondisi pasien stabil. Waspadai
tidak adanya bunyi napas atau bunyi napas tambahan ,
dan inspeksi gerakan dinding dada untuk memastikan
bahwa plester or fiberglass tidak merestriksi pergerakan
diafragma.
 Jika intubasi melalui (ET) tube atau tracheostomi sangat
penting, jelaskan prosedur pada pasien dan orang
terdekat pasien
Bersihan jalan napas tidak efektif (aktual/risiko) bd
penurunan atau tida ada reflek batuk sekunder
terhadap cedera spinal setinggi torakal atau cervical
• Tujuan: dalam 24-48 jam diagnosis ini, pasien akan
memperlihatkan jalan napas yang bersih
• Kriteria hasil: bunyi napas tambahan (-); sesak (-), RR 12-
18x/mnt
• Intervensi:
– Monitor status respirasi pasien, dan sadari indikator ketidakefektipan
bersihan jalan napas: bunyi napas tambahan (crackles, rhonchi),
penurunan atau tidak ada bunyi napas (bronhial, bronchovesikular,
vesikler), peningkatan HR (> 100x/mnt) dan BP (>10 mm Hg dari
normal), penurunan tidal volume (< 75%-85% dari nilai yang
diprediksi), atau capasitas vital (< 1L), pernapasan dangkal dan cepat
(>20 x/mnt), pucat, cianosis, peningkatan gelisah, dan kecemasan.
Bersihan jalan napas tidak efektif (aktual/risiko) bd
penurunan atau tida ada reflek batuk sekunder
terhadap cedera spinal setinggi torakal atau cervical

– Monitor dan laporkan nilai ABGs abnormal (penurunan


PaO2 atau peningkatan PaCo2) dan hasil x-ray dada.
– Suction sekresi sesuai kebutuhan, menurut temuan
auskultasi. Selalu lakukan hiperoksigenasi sebelum suction.
Catatan: waspadai badicardia terkait dengan suctioning
trachea. Beberapa menyakini pemberian atropin sebelum
suctioning.

(ABGs: arterial blood gases)


Bersihan jalan napas tidak efektif (aktual/risiko) bd
penurunan atau tida ada reflek batuk sekunder
terhadap cedera spinal setinggi torakal atau cervical

– Siapkan utk intubasi/tracheostomi dengan


ventilasi mekanik (jika ada indikasi)
– Jika pasien tidak membutuhkan intubasi dengan
ventilasi mekanik, lakukan tindakan berikut ini
untuk meningkatkan bersihan jalan napas:
• Posisikan semi Fowler’s (kecuali jika kontraindikasi, spr
pasien yang dilakukan cervical tong)
Bersihan jalan napas tidak efektif (aktual/risiko) bd
penurunan atau tida ada reflek batuk sekunder
terhadap cedera spinal setinggi torakal atau cervical

– Miring ki/ka tiap 2 jam untuk membantu


mobilisasi sekresi dg log roll.
– Jaga kelembaban ruangan utk membantu
mempermudah pengeluaran sekresi.
– Tingkatkan intake 2-3 L/hari (jika tidak ada
kontraindikasi, utk memelihara hidrasi adekuat)
Risiko aspirasi bd loss gag reflek

• Tujuan : kl tdk akan menunjukan aspirasi


• Kriteria hasil:
•Suara paru bersih
•Tidak ada stridor
•Tidak ada panas
•Sekret min saat suction
•AGD dbn
• Intervensi :
 Pertahankan jln nafas terbuka (jaw thrust)
 Lakukan suction (sesuai indikasi)
 Kaji status resp (sound, rate, rhytm, deep)/1-2 jam
 Deep breathing & cough enhacement/1-2 jam
 Monitor nilai AGD & Pulse Oximetry
 Kolaborasi th/ oxygen dan nebulizer
Risiko cedera lanjutan bd instability
vertebrae column
• Tujuan : Klien tdk menunjukan peningkatan ggn neurologis.
• Kriteria hasil: Tdk mengalami peningkatan defisit neurologis.
• Intervensi :
– Pertahankan leher netral: hard collar, traksi
– Pasang kantong pasir pd masing2 sisi kepala
– Gunakan stryker frame u/ mengangkat pasien
– Pertahankan alignment spine saat alih baring
– Monitor gejala kerusakan neurologis progresif
– Kolaborasi pemberian steroid & anti emetik.
Stryker Frame

E D F

B
G

H
A - CART
E - OVERHEAD BAR
A
B - LOCK PIN
C - LOCKING NUT
D - PIVOT PIN
E - OVERHEAD BAR
F - ANTERIOR FRAME
G - POSTERIOR FRAME
H - UTILITY TRAY
Pediatric Needs
• Children may need
extra padding to
maintain
immobilization.
• Car seats can be used
as immobilization
devices.
Nyeri bd cedera spinal cord
• Tujuan: Klien akan mengalami penurunan nyeri.
• Kriteria hasil:
– Secara verbal menyatakan perasaan nyaman,
– Mampu beristirahat tanpa mengeluh nyeri,
– Mampu berpartisipasi dlm terapis
• Intervensi :
– Pertahankan alignment spine netral
– Nonpharmacologic pain management
• Relaxation
• Distraction
• Guided imagery
– Berikan analgetik sesuai order
Ggn eliminasi urine : retensi bd atonia
bladder / paralisis otot-otot bladder
• Tujuan : klien akan meningkatkan kontrol bladder.
• Kriteria hasil:
– tidak terjadi infeksi bladder
– pengosongan bladder tiap 4 jam
• Intervensi :
– Pasang Dower Cateter ( fase spinal shock)
– Obs indikasi infeksi bladder
– Catat I&O scr akurat
– Tangani kateter scr aseptik
– Anjurkan minum jus cranberry
– Intake cairan minum 3000ml/hari bila tidak ada KI
Question:
How effective is the use of cranberry juice and other cranberry
products in preventing urinary tract infections (UTIs) in
susceptible populations?
Methode:
A systematic review including 10 randomised controlled trials or
quasi-randomised controlled of cranberry products for the
prevention of UTI's involving 1049 participants.
Recomendation:
Cranberry juice may considered as a preventative intervention
for the development of UTIs, especially for older women with
recurrent UTI. (EBP: Grade B)

Carstens, J. (Jun 25, 2009). Urinary tract infection (prevention):


Cranberries. Adelaide: Joanna Briggs Institute

• Buah Cranberry:
• Sumber antioksidan
• Sumber sistem kekebalan tubuh
• Mencegah batu ginjal
• Disinfektan untuk mencegah sistitis krn dpt menghentikan pelekatan bakteri-bakteri
yang ada di sekitar daerah  urethra dan kantong kemih
• Mengandung tinggi Vit C
• Rasa asli buah, perlu + gula
Ggn eliminasi bowel : konstipasi/inkontinensia
bd paralisis
• Tujuan: Klien akan menunjukan penurunan risiko konstipasi/ inkontinensia
•Kriteria hasil:
– Pergerakan bowel tiap 1-2 hari
– Tidak ada tanda fecal impaction & inkontinensia
•Intervensi:
– Obs konstipasi/inkontinensia
– Hindari enema (huknah) krn klien tidak dapat menahan cairan enema
– Buat pola rutin eliminasi bowel : suppositoria, stimulasi digital/evakuasi
– Adekuat intake cairan : 3000ml/hari
– Diet tinggi serat
– Kolaborasi utk pemberian pelunak feces
Ggn mobilitas fisik b/d paralisis

• Tujuan : klien secara maksimal dlm mobilitas


fisik
• KH : tidak ada kontraktur, ankilosis persendian, atropi
otot.
• Intervensi :
– Ubah posisi klien scr teratur
– Posisikan sendi yg tepat, pasang foot board, UE posisikan
menjauh dr tubuh, sendi lutut fleksi 15° bila supin
– Gunakan busa /bantal pd tulang yg menonjol
– Pasive exercises 48-72 jam postinjuri .
Potensial Komplikasi: Tromboplebitis

Hilangnya kontraksi otot & venous return pd LE


berisiko menimbulkan tromboplebitis.
• Tujuan : Klien tdk menunjukan terjadi tromboplebitis.
• KH: edema (-), kemerahan (-), & akral hangat.
• Intervensi :
– Monitor tanda tromboplebitis pd LE
– ROM exercise
– Gunakan stoking antiemboli
– Jelaskan pentingnya aktivitas tiap hari
– Kolaborasi PT & pemeriksaan hemostase
Defisit perawatan diri b/d hilang
fungsi
• Tujuan: klien akan menunjukan kemandirian dlm
bbrp ADL bila memungkinkan
• Intervensi :
– Bantu perawatan diri
– Bantu memaksimalkan kemandirian: exc kekuatan
otot dgn alat2
– Kolaborasi OT
Risti kerusakan integritas kulit b/d immobilisasi
kehilangan reflek protektif
• Tujuan : Klien akan mempunyai kulit yang
utuh.
• KH :
– Iritasi/kekeringan kulit (-)
– Kemerahan paa penonjolan tulang (-)
• Intervensi :
– Kaji kulit & gosok dgn oil tiap 2-4 jam
– Pertahankan intake nutrisi adekuat
– Gunakan bed roto rest/stryker frame/alih baring per 2 jam
– Pertahankan alat tenun tetap kering & tegang
• Studies prove effectiveness of
40° - 62° of rotation. On average,
Kinetic Therapy has been shown
to reduce ICU stay by 24%,
reduce hours intubated by 35%
and reduce the incidence of
nosocomial pneumonia by 50%.

Features include:
• Computerised rotation;
increments of 5° up to 62°
allowing fluids to naturally
gravitate to the dependent
portion of the lung.

• Pressure reduction foam and gel


pack surface; minimises the risk
of skin breakdown.
Risiko perub membran mukosa mulut b/d
status puasa, ketidakmampuan
mengunyah & pernafasan mulut
• Tujuan: Kl akan mempertahankan mukosa
mulut utuh
• KH: membran mukosa mulut pink,lembab
tanpa lesi & perdarahan
• Intervensi :
– Sikat gigi klien 2x sehari dgn sikat gigi kecil
– Bersihkan membran mukosa mulut, lidah & gusi 2x/hr dgn
kasa
Supine (Back) Position Padding
Place pad between leg:
Side Position Padding
Place pillow behind back:
Prone Position Padding
You can safely lie prone for up to eight hours by using
plump, firm pillows and small foam pads.
Spinal Log Roll Guide (1)
• Below is a guide to the procedure of log rolling a trauma
patient with a potential or actual spinal injury. 
• The objective of the log roll procedure is to maintain correct
anatomical alignment in order to prevent the possibility of
further, catastrophic neurologic injury and the prevention of
pressure sores.
• The log rolling procedure is implemented at various stages of
the trauma patient's management including:
– as part of the primary and secondary survey to examine the patient's back
– as part of a bed to bed transfer (such as in radiology) 
– to apply cervical collar care or pressure area care
– to facilitate chest physiotherapy etc.
Spinal Log Roll Guide (2)
• At least four staff members will be required to
assist in the log roll procedure as outlined
below:
– 1 staff member to hold the patient's head
– 2 staff members to support the chest, abdomen
and lower limbs.
– An additional staff member may be also required
when log rolling trauma patients who are obese,
tall, or have lower limb injuries. 
– 1 staff member to perform the required procedure
(ie. assessment of the patient's back)
Log Roll Procedure (1)
The steps in the spinal log roll procedure are as follows:
1. Explain the procedure to the patient regardless of conscious state and
ask the patient to lie still and to refrain from assisting. . Ensure that the
collar is well fitting prior to commencement.
2. If applicable, ensure that devices such as indwelling catheters,
intercostal catheters, ventilator tubing etc. are repositioned to prevent
overextension and possible dislodgement during repositioning.
3. If the patient is intubated or has a tracheostomy tube, airway suctioning
prior to log rolling is suggested, to prevent coughing which may cause
possible anatomical malalignment during the log rolling procedure.
4. The bed must be positioned at a suitable height for the head holder and
assistants.
5. The patient must be supine and anatomically aligned prior to
commencement of log rolling procedure.
Log Roll Procedure (1)
6. The patient’s proximal arm must be adducted slightly to avoid
rolling onto monitoring devices eg. arterial or peripheral
intravenous lines. The patient’s distal arm should be extended in
alignment with the thorax and abdomen (Fig 1), or bent over the
patient’s chest if appropriate ie. if the arm is uninjured. A pillow
should be placed between the patient’s legs.
7. Assistant 1, the assistant supporting the patient’s upper body,
places one hand over the patient’s shoulder to support the
posterior chest area, and the other hand around the patient’s hips
(Fig 1).
8. Assistant 2, the assistant supporting the patient’s abdomen and
lower limbs, overlaps with assistant 1 to place one hand under the
patient’s back, and the other hand over the patient’s thighs (Fig 1).
9. On direction from the head holder, the patient is turned in
anatomical alignment in one smooth action (Fig 2).
10. On completion of the planned activity, the head holder will direct
the assistants to either return the patient to the supine position or
to support the patient in a lateral position with wedge pillows. The
patient must be left in correct anatomical alignment at all times.
Daftar Pustaka
 Ganong, E.W. (2003). Fisiologi kedokteran. (edisi 20). Jakarta: EGC.
 Guyton, C.A. (1995). Fisiologi kedokteran. (edisi 5). Jakarta: EGC.
 http://orthoinfo.org/topic .Diunduh Tgl 6-12-2009
 http://emedicine.medscape.com/article Tgl 6-12-2009
 Lauro, S.H. (1985). Medical rehabilitation. New York: Raven Press.
 MEDLINE plus Medical Encyclopedia: Spine injury
 Nyoman. Askep cedera tulang belakang. Handout pelatihan perawat bedah.
RSUP Fatmawati Jakarta. 2009
 Powell mary,1986. Orthopaedic Nursing and Rehabilitation ninth edition,
Churchill Livingstone London
 Shirley.P.H,1996.Rehabilitation Nursing Process and Application.second
edition,St Louis Missoury
 Swearingen & Keen. (2001). Manual of critical care nursing: Nursing
intervention and collaborative management. St. Louis: Mosby.
 Sylvia A.Price,1995.Patofisiologi edisi A EGC Jakarta
 Vernon.W.Lin. At all,2003.Spinal Cord Medicine Principle and Practice.
Dermos,New York
Kasus
• Tn. C (21th), 6 jam SMR mengalami KLL terjatuh dari sepeda motor. Tidak
sadarkan diri saat kejadian dan selama diperjalanan. Tiba di UGD diantar
oleh warga, mengeluhkan kesemutan di kedua lengan dan rasa berat di
kedua kaki saat berusaha digerakan. Tampak laserasi di sekitar wajah,
edema pipi kiri, edema dan perdarahan ringan di temporal sinistra yang
sudah ditutup dengan kasa. Bengkak disekitar leher, laserasi dan
deformitas di regio bahu kiri. Tidak ditemukan jejas di tempat lain. TD
100/70 mmHg, N: 70x/mnt, RR 10x/mnt, tampak pucat. Hasil rontgen
cervical tampak fraktur di level C3-C4.
• Data lain yang perlu dikaji pada kasus di atas
• Diagnosa keperawatan dan intervensinya

You might also like