You are on page 1of 28

HUKUM PIDANA DAN KRIMINOLOGI

. KELOMPOK 2 : RUDI HARTONO


IRHAMNA
FIQRI IBNU AHMADI
APA ITU HUKUM
PIDANA ?
W.P.J. POMPE :

Hukum pidana adalah semua aturan hukum yang menentukan terhadap tindakan apa yang seharusnya
dijatuhkan pidana dan apa macam pidananya yang bersesuaian.

SATAUCHID KARTANEGARA :

Hukum pidana adalah sejumlah peraturan-peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang
mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh Negara atau kekuasaan
lain yang berwenang untuk menentukan peraturan pidana. Larangan/keharusan yang disertai ancaman
pidana, apabila hal ini dilanggar timbullah hak dari negara untuk melakukan tuntutan, menjalankan pidana,
dan melaksanakan pidana.
Prof. MOELJANTO :

Hukum pidana adalah bagian dari hukum yang mengadakan dasar dan aturan-aturan untuk
menentukan :

 Perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang dengan disertai
ancaman saksi berupa suatu pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut;

 Kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu
dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan;

 Dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang
disangka telah melanggar larangan tersebut.
HUKUM PIDANA DI INDONESIA

Hukum pidana Indonesia tersusun dalam sistem yang terkodifikasi dan sistem di luar kodifikasi. Sistem yang
terkodifikasi adalah apa yang termuat dalm KUHP. Di dalam KUHP tersusun berbagai jenis perbuatan yang
digolongkan sebagai tindak pidana, perbuatan mana dapat dihukum. Namun di luar KUHP, masih terdapat berbagai
pengaturan tentang perbuatan apa saja yang juga dapat dihukum dengan sanksi pidana. Dalam hal ini,Loebby Loqman
membedakan sumber-sumber hukum pidana tertulis di Indonesia adalah :

1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2. Peraturan Perundang-Undangan lain (UU No.5 Tahun 1960, UU No.9 Tahun 1999, UU No. 19 Tahun 2002, dll)

3. Undang-undang yang merubah/ menambah KUHP;

4. Undang-undang Hukum Pidana Khusus;

5. Aturan-aturan pidana di luar Undang-undang Hukum Pidana.


Ruang Lingkup Hukum Pidana :
1. Hukum pidana tertulis ;

2. Hukum pidana sebagai hukum positif;

3. Hukum pidana sebagai bagian dari hukum publik;


4. Hukum pidana objektif dan hukum pidana subjektif;

5. Hukum pidana materil dan hukum pidana formil;

6. Hukum pidana terkodifikasi dan tersebar;

7. Hukum pidana umum dan hukum pidana khusus;

8. Hukum pidana umum (nasional) dan hukum pidana setempat


ASAS – ASAS HUKUM PIDANA
1. Asas yang dirumuskan dalam KUHP atau perundang-undangan :
A. Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut tempat;

B. Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut waktu;

C. Asas berlakunya undang-undang hukum pidana menurut orang, pada

saat terjadinya perbuatan pidana.

2. Asas yang tidak dirumuskan dan menjadi asas hukum pidana yang tidak

tertulis, dan dianut dalam yurisprudensi.


HUBUNGAN HUKUM PIDANA DENGAN KRIMINOLOGI,
DAN VIKTIMOLOGI
Objek ilmu pengetahuan hukum pidana adalah mempelajari asas-asas dan peraturan-peraturan
hukum pidana yang berlaku, menghubungkan asas-asas/peraturan-peraturan yang satu dengan
yang lainnya, mengatur penempatan asas-asas/peraturan-peraturan tersebut dalam suatu
sistematika, dengan demikian dapat dipahami pengertian yang objektif dari peraturan-peraturan
yang berlaku (hukum positif) yang merupakan tujuan dari ilmu pengetahuan huum pidana.
Tujuan dari ilmu hukum pidana :
 Mempelajari dan menjelaskan (interpretasi) hukum (tindak) pidana yang berlaku pda suatu
waktu dan Negara (tempat) tertentu;
 Mempelajari norma-norma dalam hubungannya dengan pemidanaan (konstruksi);
 Menerapkan hukum pidana yang berlaku secara teratur dan berurutan (sistematika);
 Mengolah suatu tindak pidana yang sudah terjadi kemudian dihubungkan dengan penerapan
hukum pidana yang berlaku.
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari sebab-sebab timbulnya suatu kejahatan dan keadaan-keadaan yang pada
umumnya turut mempengaruhinya, mempelajari cara-cara memberantas kejahatan tersebut.

Menurut SUTHERLAND and CRESSEY kriminologi adalah himpunan pengetahuan mengenai kejahatan sebagai gejala masyarakat.
Objek dari kriminologi adalah proses-proses perbuatan perundang-undangan, pelanggaran perundang-undangan dan reaksi dari
pelanggaran tersebut yang saling mempengaruhi secara beruntun.

Definisi kriminologi secara lebih jelas :

1. Krimonologi adalah ilmu pengetahuan yang bertujuan untuk menyelidiki gejala kejahatan seluas-luasnya.
2. Kriminologi Sebagai ilmu yang belum dapat berdiri sendiri, sedangkan masalah manusia menunjukkan bahwa kejahatan merupakan
gejala sosial. Karena kejahatan merupakan masalah manusia, maka kejahatan hanya dapat dilakukan manusia. Agar makna kejahatan
jelas, perlu memahami eksistensi manusia.

3. Kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh penjahat sedangkan pengertian
mengenai gejala kejahatan merupakan ilmu yang mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-keterangan dari kejahatan,
pelaku kejahatan, serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.

4. Kriminologi merupakan keseluruhan keterangan mengenai perbuatan dan sifat dari para penjahat, mulai dari lingkungan mereka sampai
pada perlakuan secara resmi oleh lembaga-lembaga penertib masyarakat dan oleh para anggota masyarakat.

5. Kriminologi sebagai Ilmu pengetahuan tentang perbuatan jahat dan perilaku tercela yang menyangkut orang-orang yang terlibat dalam
perilaku jahat dan perbuatan tercela itu.
Objek kriminologi adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri sebagai gejala
dalam masyarakat (bukan sebagai norma hukum positif semata-mata).

Tugas Kriminologi :

 Untuk mencari dan menentukan sebab-sebab dari kejahatan serta menemukan cara-
cara pemberantasannya.

Tujan Kriminologi :

 Untuk mengamankan masyrakat dari penjahat;


Hubungan Kriminologi dengan Ilmu Hukum Pidana

Roeslan Saleh mengemukakan bahwa pada masa lampau, perbedaan antara Hukum Pidana dengan

Kriminologi sangat besar. Kriminologi bukan merupakan bagian dari ilmu pengetahuan hukum pidana. Hukum

pidana adalah ilmu pengetahaun dogmatis yang berkerja secara deduktif. Sedangkan kriminologi adalah ilmu

pengetahuan yang berorientasi kepada ilmu pengetahuan alam kodrat yang menggunakan metoda empiris-

induktif.

Sesuai perkembangannya, perbedaan ini menjadi tidak begitu tajam, terutama setelah Perand Dunia II, di

mana kriminologi berkembang menjadi ilmu pengetahuan yang lebih banyak membahas tentang tingkah laku

manusia. Dikatakan bahwa kriminologi telah berubah dari ilmu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan

gamma. Begitu pula dengan ilmu pengetahuan hukum pidana, yang mulai banyak memberikan tekanan

kepada arti fungsional dan arti sosial dari kelakukan seseorang, dan kasuistik memainkan peranan yang

besar, di mana sampai batas-batas tertentu, hukum pidana juga menggunakan induksi dan empiri.
Namun demikian, perbedaan antara kedua disiplin ilmu tetap ada. Hukum Pidana masih dipandang sebagai ilmu pengetahuan

normatif yang penyelidikan-penyelidikannya adalah sekitar aturan-aturan hukum dan penerapan dari aturan-aturan hukum itu dalam

rangka pendambaan diri terhadap cita-cita keadilan. Hukum pidana adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji norma-norma atau

aturan-aturan yang seharusnya, lalu dirumuskan dan ditetapkan, dan kemudian diberlakukan. Hukum pidana bersifat umum dan

universal, dan disebut sebagai post factum ‘setelah kejaidan’. Suatu ketetapan dapat dirumuskan jikalau apabila permasalahan

kejahatan telah terjadi di dalam masyarakat, kemudian diberlakukan suatu aturan atau norma yang memberikan batas-batas.

Sementara itu, kriminologi, yang meskipun dalam beberapa hal berpangkal tolak dari konsepsi hukum pidana, lebih banyak

menelusuri dan menyelidiki tentang kondisi-kondisi individual dan kondisi-kondisi sosial dari konflik-konflik, dan akibat-akibat serta

pengaruh-pengaruh dari represi konflik-konflik dan membandingkannya secara kritis efek-efek dari represi yang bersifat

kemasyarakatan disamping juga tindakan-tindakan itu. Berbeda dengan hukum pidana yang bersifat normative, kriminologi lebih

mengkaji tentang kenyataan yang senyata-nyatanya, menafsirkan konteks, yang didapati dari hasil penelitian. Kriminologi bersifat

lebih khusus dan terbatas. Oleh karena itu kriminologi disebut sebagai pre factum ‘sebelum kejadian’, di mana kriminologi lebih

mengkaji sebab musabab dari suatu permasalahan kejahatan.


Meski berbeda, para ahli hukum pidana tetap memerlukan kriminologi sebagai ilmu pengetahuan pembantu. Dengan menyadari sifat
tersendiri dari masing-masing ilmu pengetahuan ini, ilmu pengetahuan hukum pidana dan kriminologi harus bekerja secara berpasangan,
tetapi dengan arahnya yang berlawanan. Di antara kedua disiplin ilmu pengetahuan ini, terdapat pikiran integrasi yang saling memerlukan
antara satu sama lain. Meskipun berbeda, ilmu pengetahuan hukum pidana dan kriminologi tidak dapat dipisahkan.

Hubungan antara ilmu hukum pidana dan kriminologi, dapat dikatakan mempunyai hubungan timbal balik dan bergantungan satu sama

lain(interrelation dan dependence). Ilmu hukum pidana mempelajari akibat hukum daripada perbuatan yang dilarang sebagai kejahatan

(crime) yang dapat disingkat pula dengan nama ”ilmu tentang hukumnya kejahatan”, dengan demikian sebenarnya bagian hukum yang

memuat tentang kejahatan disebut hukum kejahatan, hukum kriminil (criminil law/penal law, misdaads-recht/delicten-recht). Akan tetapi telah

menjadi lazim bagi hukum tentang kejahatan itu dinamakan ”strafecht” yang salinannya ke dalam bahasa Indonesia menjadi  hukum pidana.

Kriminologi adalah ilmu yang mempelajari kejahatan, yang lazimnya mencari sebab-sebabnya sampai timbul kejahatan dan cara menghadapi

kejahatan dan tindakan/reaksi yang diperlukan. Kedua ilmu pengetahuan itu bertemu dalam fokus pada kejahatan, dengan prinsip-prinsip

yang berbeda karena objek dan tujuannya. Ilmu hukum pidana mempunyai objek pada aturan hukum tentang kejahatan dengan akibat hukum

berupa pidana dan tujuanna untuk mendapatkan pengertian dan penggunaan pidana yang sebaik-baiknya guna mencapai keadilan hukum,

sedangkan krimonologi mempunyai objek manusia penjahat di belakang peraturan hukum pidana dan tujuannya memperoleh pengertian

tentang sebab kejahatan untuk memberikan pidana atau tindakan yang tepat agar tidak melakukan lagi kejahatan.
Viktimologi

Viktimologi adalah suatu pengetahuan ilmiah/studi yang mempelajari


viktimisasi (criminal) sebagai suatu permasalahan manusia yang merupakan
suatu kenyataan sosial. Viktimologi berasal dari kata Latin victima yang berarti
korban dan logos yang berarti pengetahuan ilmiah atau studi.

Sedangkan JE.Sahetapy menjelaskan bahwa Viktimilogi merupakan istilah


yang berasal dari bahasa latin “Victima” yang berarti korban dan “logos” yang
berarti ilmu, merupakan suatu bidang ilmu yang mengkaji permasalahan
korban beserta segala aspeknya.
Hubungan Viktimologi dengan Kriminologi

Adanya hubungan antara kriminologi dan viktimologi sudah tidak dapat


diragukan lagi, karena dari satu sisi Kriminologi membahas secara luas
mengenai pelaku dari suatu kejahatan, sedangkan viktimologi disini
merupakan ilmu yang mempelajari tentang korban dari suatu kejahatan. 

Jika ditelaah, dapat dikatakan bahwa viktimologi merupakan bagian


yang hilang dari kriminologi atau dengan kalimat lain, viktimologi akan
membahas bagian-bagian yang tidak tercakup dalam kajian kriminologi.
Banyak dikatakan bahwa viktimologi lahir karena munculnya desakan
perlunya masalah korban dibahas secara tersendiri.
Pendapat mengenai pentingnya dibentuk Viktimilogi secara terpisah dari ilmu
Kriminologi :

1. Mereka yang berpendapat bahwa viktimologi tidak terpisahkan dari kriminologi,


diantaranya adalah Von Hentig, H. Mannheim dan Paul Cornil. Mereka

mengatakan bahwa kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang menganalisis

tentang kejahatan dengan segala aspeknya, termasuk korban. Dengan demikian,

melalui penelitiannya, kriminologi akan dapat membantu menjelaskan peranan

korban dalam kejahatan dan berbagai persoalan yang melingkupinya.


2. Mereka yang menginginkan viktimologi terpisah dari kriminologi, diantaranya adalah Mendelsohn. Ia mengatakan bahwa viktimologi
merupakan suatu cabang ilmu yang mempunyai teori dalam kriminologi, tetapi dalam membahas persoalan korban, viktimologi juga tidak

dapat hanya terfokus pada korban itu sendiri. Khusus mengenai hubungan antara kriminologi dan hukum pidana dikatakan bahwa keduanya

merupakan pasangan atau dwi tunggal yang saling melengkapi karena orang akan mengerti dengan baik tentang penggunaan hukum

terhadap penjahat maupun pengertian mengenai timbulnya kejahatan dan cara-cara pemberantasannya sehingga memudahkan penentuan

adanya kejahatan dan pelaku kejahatannya. Hukum pidana hanya mempelajari delik sebagai suatu pelanggaran hukum, sedangkan untuk

mempelajari bahwa delik merupakan perbuatan manusia sebagai suatu gejala social adalah kriminologi. J.E Sahetapy juga berpendapat

bahwa kriminologi dan viktimologi merupakan sisi dari mata uang yang saling berkaitan. Perhatian akan kejahatan yang ada tidak seharusnya

hanya berputar sekitar munculnya kejahatan akan tetapi juga akibat dari kejahatan, karena dari sini akan terlihat perhatian bergeser tidak

hanya kepada pelaku kejahatan tetapi juga kepada posisi korban dari kejahatan itu. Hal ini juga dibahas oleh pakar hukum lainnya dalam

memperhatikan adanya hubungan ini, atau setidaknya perhatian atas terjadinya kejahatan tidak hanya dari satu sudut pandang, apabila ada

orang menjadi korban kejahatan, jelas terjadi suatu kejahatan, atau ada korban ada kejahatan dan ada kejahatan ada korban. Jadi kalau ingin

menguraikan dan mencegah kejahatanharus memperhatikan dan memahami korban suatu kejahatan, akan tetapi kebiasaan orang hanya

cenderung memperhatikan pihak pelaku kejahatan.


TINDAK PIDANA
 Istilah tindak pidana berasal dari Bahasa Belanda yaitu strafbaarfeit, namun demikian belum ada
konsep yang secara utuh menjelaskan definisi strafbaarfeit. Oleh karenanya masing-masing para
ahli hukum memberikan arti terhadap istilah strafbaarfeit menurut persepsi dan sudut pandang
mereka masing-masing;

 Strafbaarfeit, terdiri dari tiga suku kata yakni, straf yang diterjemahkan sebagai pidana dan hukum,
kata baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan untuk kata feit diterjemahkan dengan
tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan;

 Strafbaarfeit diartikan sebagai sebuah tindak, peristiwa, pelanggaran atau perbuatan yang dapat
atau boleh dipidana atau dikenakan hukuman;

 Wirjono Prodjodikoro, menterjemahkan istilah strafbaarfeit sama dengan tindak pidana yakni suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana;
 Simons, merumuskan bahwa strafbaarfeit itu sebenarnya adalah tindakan, kelakuan (hendeling) yang
menurut rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum, yang
berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. ;

 Mulyatno, berpendapat perbuatan Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang
melanggar larangan tersebut;

 Van Hemel, Strafbaar Feit adalah kelakuan (Menselijke Gedraging) orang yang dirumuskan dalam UU
yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (Staff Waardig) dan dilakukan dengan kesalahan;

 W.P.J.Pompe, Pengertian Strafbaar Feit dibedakan antara definisi yang bersifat teoritis dan yang bersifat Undang-
Undang. Menurut Teori : Strafbaar Feit adalah suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si

pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan

umum. Menurut Undang-Undang / Hukum Positif Strafbaar Feit adalah suatu kejadian (Feit) yang oleh peraturan

perundang-undangan dirumuskan sebagai perbuatan yang dapat dihukum.


UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

W.P.J.Pompe Mulyatno Soedarto Van Hemel


1. Unsur Obyektif : Perbuatan 1. Perbuatan manusia; 1. Perbuatan memenuhi rumusan 1. Perbuatan manusia;
orang, Akibat yang kelihatan 2. Memenuhi rumusan undang-undang dan melawan 2. Memenuhi rumusan
dari perbuatan itu Mungkin hukum;
undang-undang; undang-undang;
ada keadaan tertentu yang 2. Dilakukan dengan orang yang
3. Bersifat Melawan hukum 3. Dilakukan dengan
menyertai perbuatan itu; mampu bertanggung jawab;
2. Unsur Subyektif : Orang yang 3. Kesalahan (Sculd) baik dalam kesalahan;
mampu bertanggung jawab, bentuk kesengajaan (Dolus) 4. Patut dipidana
Adanya kesalahan (Dolus atau maupun kealpaan (Culpa) dan
Culpa). Kesalahan ini dapat tidak ada alasan pemaaf
berhubungan dengan akibat
dari perbuatan atau keadaan
mana perbuatan itu dilakukan.
Kesalahan (schuld)
 Kesalahan dalam hk.pidana berarti menempatkan kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana;
 Kesalahan sebagai unsur dari pertanggung jawaban pidana;
 Kesalahan telah ditegaskan dalam pasal 44 KUHP yang berbunyi : “Tidak ada pemidanaan, tanpa adanya
kesalahan”, “Geen straf zonder schuld”.

 Untuk mengatakan adanya kesalahan pada pelaku harus dicapai dan ditentukan terlebih dahulu beberapa hal
yang menyangkut pelaku : kemampuan bertanggung jawab, hubungan kejiwaan antara pelaku dan akibat yang
ditimbulkan, dolus atau culpa;

 Ciri-ciri kesalahan yang berhubungan dengan hukum positif : pelaku mengetahui/harus dapat mengetahui dari
hakekat dan kelakuannya dan keadaan yang bersamaan dengan kelakuan itu; pelaku mengetahui /patut harus
menduga bahwa kelakuannya bertentangan dengan hukum; bahwa kelakukannya itu dilakukan, bukan karena
sesuatu keadaan jiwa yag tidak normal; kelakuan itu dilakukan, bukan karena pengaruh dari sesuatu keadaan
darurat/paksa.
Kesengajaan (dolus)
 Kesengajaan merupakan bagian dari kesalahan, kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat
terhadap suatu tindakan (terlarang/keharusan) dibandingkan dengan culpa;
 Kesengajaan dari sudut terbentuknya dibedakan menjadi : karena adanya motif dari kelakuannya, adanya kehendak
(keinginan), adanya tindakan;
 Menurut Simons, kesengajaan adalah merupakan kehendak dari pelaku;
 Kesengajaan formal : apabila kehendak itu ditujukan kepada perbuatan; Kesengajaan material : kehendak ditujukan
kepada akibat yang timbul dari perbuatan tersebut;
 Ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat apabila dilakukan dengan sengaja, dibandingkan dengan apabila
dilakukan dengan kealpaan;
 Kesengajaan dalam KUHP : kesengajaan, dengan sengaja, sengaja (opzettelijk) terdapat pada pasal 187, 281, 304,
310, 333, 338, 354, 372 KUHP; Yang diketahuinya (wetende dat) terdapat pada pasal 204, 220, 419 KUHP; Sedang
diketahuinya (waarvan hij weet) terdapat pada pasal 110 (1),(2), 250,275 KUHP; Sudah tahu (wist) pasal 483 (2)
KUHP; Dapat mengetahui (kennis dragende) pasal 164, 464 KUHP; Telah dikenalnya (waarvan hem beken was)
pasal 245, 247 KUHP; Telah diketahuinya (waarvan hij kent) pasal 282 KUHP; Bertentangan dengan
pengetahuannya (tegen beter weten) pasal 311 KUHP; Pengurangan hak secara curang terdapat pada pasal 397
KUHP; Dengan tujuan yang nyata pasal 310 KUHP; atau Dengan kehendak atau maksud ( met het oogemerk).
Kealpaan (culpa)
Ciri-ciri kealpaan dalam hk.pidana :

 Sengaja melakukan suatu tindakan yang ternyata salah, karena menggunakan otak nya
secara salah;

 Pelaku dapat memperkirakan akibat yang akan terjadi, tetapi merasa dapat mencegahnya
 Dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat : kekurangan pemikiran; kekurangan
pengetahuan; kekurangan kebijaksanaan;

 Istilah untuk kealapaan dalam undang-undang : karena salahnya antara lain pasal
188,191, 195, 360 KUHP; karena kealpaan pasal 231, 232 KUHP; Harus dapat menduga
terdapat pada pasal 287, 292, 480 KUHP; Ada alasan kuat baginya untuk menduga pasal
282 (2).
Sistem pemidanaan secara garis besar mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok, yaitu Jenis pidana (strafsoort), lamanya
ancaman pidana (strafmaat), dan pelaksanaan pidana (strafmodus).

A. Jenis pidana (strafsoort)

Jenis pidana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 10 KUHP yang terdiri dari :

Pidana Pokok Pidana Tambahan


1. Pidana Mati; 1. Pencabutan beberapa hak tertentu;

2. Pidana Penjara; 2. Perampasan barang-barang tertentu;


3. Pidana Kurungan;
4. Pidana Denda; 3. Pengumuman putusan hakim
5. Pidana Tutupan
Pertanggungjawaban Pidana/Teorekenbaarheid/Criminal Responsibility

 Menentukan apakah seseorang tersangka/terdakwa dipertanggungjawabkan atas suatu tindak


pidana (crime) yang terjadi atau tidak;
 Apakah terdakwa akan dipidana atau dibebaskan;
 Apabila terdakwa dipidana, harus dinyatakan bahwa tindakan yang dilakukan bersifat melawan
hukum dan terdakwa mampu bertanggungjawab;
 Perbutaan tersebut memperlihatkan kesalahan dari pelaku yang berbentuk kesengajaan dan
kealpaan.
 Tindakan tersebut merupakan tindakan yang tercela, dan tertuduh menyadari tindakan yang
dilakukan tersebut.
 Hubungan pelaku dengan tindakannya ditentukan oleh kemampuan bertanggungjawab dari
pelaku;
 Apabila tindakan yang akan dilakukan oleh pelaku, diketahui ketercelaan dari tindakan tersebut
maka tindakan tersebut merupakan kesengajaan atau kealpaan
Pompe mengatakan : hubungan pelaku dengan tindakannya ditinjau dari sudut
kehendak, kesalahan pelaku adalah merupakan bagian dalam dari kehendak
tersebut, dan bersifat melawan hukum dari suatu tindakan adalah bagian luar
dari kehendak tersebut.
Asas : “Tiada pidana, tanpa kesalahan”

Untuk menentukan pertanggungjawaban suatu tindakan pidana harus dibuktikan


dengan :
1. Subjek harus sesuai dengan perumusan undang-undang;
2. Terdapat suatu kesalahan dari pelaku;
3. Tindakan tersebut bersifat melawan hukum;
4. Tindakan tersebut dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang-undang
5. Tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan-
keadaan lain yang ditentukan dalam undang-undang.
Ketentuan Pertanggungjawaban Pidana dalam Undang-Undang

Pertanggungjawaban pidana dalam KUHP secara umum tersimpulkan dan ditentukan


dalam BAB III buku ke-1, dan tersebar dalam pasal-pasal undnag-undang. Hal ini
disimpulkan dengan menggunakan penafsiran secara argument a contrario.

Seorang pelaku yang telah melakukan suatu tindakan (yang dapat dipidana) mungkin
dipidana (pemidanaan biasa, pidana ringan, atau pidana berat) atau dibebaskan.
Pembebasan ada 2 macam, yaitu pembebasan dari pemidanaan apabila tidak terdapat
kesalahan, dan pembebasan dari segala dakwaan/tuntutan bilamana dakwaan terbukti
akan tetapi bukan merupakan suatu tindak pidana, atau lebih tegas lagi tiada terdapat
unsur bersifat melawan hukum (Pasal 191 KUHAP)
Masalah kemampuan bertanggungjawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi :
“Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena
jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana”. Menurut Moeljatno,
bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak normal dikarenakan
dia masih muda, maka Pasal tersebut tidak dapat dikenakan. Apabila hakim akan menjalankan Pasal
44 KUHP, maka sebelumnya harus memperhatikan apakah telah dipenuhi dua syarat yaitu :

a) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya atau sakit berubah
akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada sejak kelahiran atau karena suatu penyakit
jiwa dan keadaan ini harus terus menerus.

b) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si pelaku melakukan perbuatan
pidana, oleh sebab itu suatu gangguan jiwa yang timbul sesudah peristiwa tersebut, dengan
sendirinya tidak dapat menjadi sebab terdakwa tidak dapat dikenai hukuman.
Kesimpulan :
Pertanggungjawaban pidana mengandung makna bahwa setiap orang yang melakukan

tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang,

maka orang tersebut patut mempertanggungjawabkan perbuatan sesuai dengan

kesalahannya. Dengan kata lain orang yang melakukan perbuatan pidana akan

mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai

kesalahan, seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan

dilihat dari segi masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang

telah dilakukan orang tersebut.

You might also like