You are on page 1of 18

Makalah

Filsafat Mulla Sadra


Jurusan : Tarbiyah
Prodi : MPI
Semester : II (Dua)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI) Dosen : Samsudin Buamona B, S.Fil.I, M.Ag
BABUSSALAM SULA MALUKU UTARA
MK : Filsafat Islam
TAHUN 2023-2024

Di Susun Oleh :
Kelompok VIII
Sarlina Sapsuha
PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Perdebatan di kalangan ahli filsafat
Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistimatika
pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Sebelum abad kesebelas terdapat
empat aliran filsafat yang bersifat mandiri, terpisah satu sama lain dan masing-masing berpijak
pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri. Tapi di awal abad ke sebelas empat aliran tersebut
berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga melahirkan satu aliran dan sistem
filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta’aliyah.
Aliran filsafat yang dikembangkan oleh Mulla Shadra ini, di samping memanfaatkan warisan
pemikiran dan kaidah-kaidah filsafat terdahulu, juga berusaha menjembatani antara pemikiran-
pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama.
2.Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka


dirumuskan pertanyaan sebagai berikut:
Bagaimana biografi dari Mulla Sadra?
Apa karya Mulla Sadra?
Bagaimana filsafat Mulla Sandra?
Bagaimana pengaruh filsafat Mulla Shadra?
PEMBAHASAN
1. Biografi Mulla Shadra (1571-1640 M.)
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang bergelar ‘Shadr
al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mulla Shadra atau Shard al-Muta’alihin, dan dikalangan murid-
murid serta pengikutnya disebut ‘Akhund’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar tahun 979-80 H/ 1571-72 M
dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu keluarga Qawam. Ayahnya adalah
Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah
menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial-politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di
kota asalnya, Syiraz.
Pendidikan formal Mulla Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya untuk mengemban tugas yang
maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para sejarawan membagi
biografi Mulla Shadra ke dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan formalnya berlangsung di
bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia menerima pendidikan
dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur’an di bawah bimbingan Baha‘uddin
al-‘amali (w. 1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar fiqih-baru Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof
peripatetik Mir Fenderski (w. 1050 H/1641 M) Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 41-42
namun gurunya yang utama adalah teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041 H/1631 M).
Damad nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan juga dijuluki Sang Guru Ketiga
(setelah Aristotles dan Al-Farabi) . Tampaknya, ketika Mulla Shadra ini muncul, filsafat yang ada, dan yang
umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para pengikutnya. Pada abad ke 6 H/ke 12
M, Suhrawardi telah melakukan kritik terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Ialah yang meletakkan
dasar-dasar bagai filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat al-Isyraq).
Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Mulla Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan, karena kritik sengit
terhadap pandangan-pandangannya dari Syi’ah dogmatis. Dalam pereode kedua, dia menarik diri dari khalayak
dan melakukan uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama pereode ini,  pengetahuan yang diperolehnya
mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta menemukan tempat dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa
bagian dari Al-Asfar al-Arba’ah disusunnya pada pereode ini. Dalam pereode ketiga, dia kembali mengajar di
Syiraz, dan menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan. Semua karya pentingnya dia
hasilkan dalam pereode ini. Dia tidak berhenti untuk menghidupkan semangat kontemplatifnya dan juga
melakukan praktek asketis -sebagaimana disebutkan dalam karyanya- sehingga beberapa argument filosofisnya
dia peroleh melalui pengalaman-pengalaman visionernya (mukasyafah)
Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra yang khas tumbuh, yang kelihatannya benar-benar berbeda dari
situasi intelektual dan spiritual pada masanya. Kesalehannya terhadap agama dapat ditunjukkan antara lain oleh
kenyataan bahwa ia dikatakan meninggal di Basrah pada 1050 H/1641 M saat pulang menunaikan ibadah haji yang
ketujuh kalinya.
Murtadha Mutahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 14
Murtadha Mutahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 14
2. Karya Mulla Sadra
Mulla Shadra menulis sekitar 50 buku, 32 diantaranya berbentuk risalah. Yang terbesar sekaligus
merupakan magnum opus-nya adalah al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asrar al-Aqliyah al-Arba’ah (Hikmah
Agung tentang Empat Perjalanan Akal). Karya ini pertama kali terbit tahun 1873 M. terdiri dari 4 jilid
besar. Bagian I membahas tentang soal ontologi, baian II menguraikan substansi dan aksidensi, bagian III
menjelaskan tentang Tuhan dan sifat-sifatnya, bagian IV menguraikan manusia dan nasibnya. Karya yang
lain diantaranya, al-Hikmah al-Arsyiyah (tentang Tuhan dan eskatologi), Risalah fi ittihad al-aqil wa al-
Ma’qul (soal epistemologi), Ta’liqat ala Syarh Hikmah al-Isyraq (komentar terhadap filsafat iluminatif),
Ta’liqat ala Ilahiyyat Kitab al-Syifa’I (komentar terhadap kitab Asyifa’ Ibnu Sina),  Risalah al-Mazaj
(tentang psikologi), Mafatih al-Ghaib (tentang doktrin gnostik), hudus Al-‘alam (penciptaan Alam),Kasr
Al-Asnam Al-Jahiliyah Fi Daimni Al-Mutawasifin, kolq al-a’mal, Al-A’mal, Al-Lama’ah Al- masyriqiyyah fi
Al-funun Al-Mantiqiyyah (percikan cahaya illuminasionis dalam seni logika), Al-mabda’ wa Al-Ma’ad
(permulaan dan pengembalian), mofatih Al-Gaib (kunci alam gaib), Kitab Al- masya’ir (kitab penembus
metafisika), Al-Mizaj (tentang prilaku perasaan), mutasyabihat Al-Quran (ayat-ayat mutasyabihat dalam
al-quran), Al-qada wa Al-Qadar fi Af’ali Al-basyar (kada dan kadar dalam perbuatan manusia), Asy-
syawahid Ar-Rububiyah fi Al-Manhij As –Suluqiyah (penyaksian illahi akan jalan kearah kesederhanaan
rohani), sarh-i Safa, Sarh-i Hikmah Al-isra, Attihad Al-‘aqqu’il wa Al-ma’qul, Ittisaf Al-Mahiyyah bil Wujud,
at – tasakhkhus, Sarayan Nur Wujud, limmi’yya Ikhtisas Al-Mintaqah, Khalq Al-A’mal, Zad Al-Musafir,
Isalat –i Ja’l – i wujud, Al – hasriyyah, Al-alfaz Al – Mufradah, Radd-i Subahat-i Iblis, At-Tanqih, At-
Tasawur wa At-Tasdiq, Diwan Sih’r.
3. Filsafat Mulla Sadra
a.Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)
Sesudah Suhrawardi, sejarah tradisi filsafat berlanjut pada arah yang sama, memunculkan prestasi lain yang
juga bersifat fundamental seperti prestasi sebelumnya. Seperti unculnya satu jenis filsafat Eksistensialime Islam,
yang secara resmi di sebut dengan ashalat al- wujud. Pendiri mazhab filsafat ini adalah Shadr al- Dien Syirazi
(Mulla Sadra) yang menyebut metodologi pemikirannya metafilsafat (al- Hikmat al-Muta’aliyah)
Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap wujud kontingen (mumkin al-
wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas (esensi). Dari kedua modus itu, yang
benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi, sedangkan kuaditas (esensi ) tidak lebih dari
“penampakan” (apperiance) belaka.
Para filosof muslim sebelum Mulla Shadra telah membahas persoalan ini. Menurut Ibnu Sina, eksistensi
mendahului esensi . Eksistensi bersifat primer dan merupakan satu-satunya hakikat atau realitas yang dimiliki
Tuhan, sedangkan esensi  dan sifat-sifatnya bersifat skunder. Namun bagi Ibnu Sina, eksistensi dan esensi  ini,
keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan dengan itu, menurut Ibnu Arabi, eksistensi
mendahului esensi . Eksistensi adalah realitas yang sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan.
Sedangkan esensi  tidak lain adalah bentuk-bentuk dalam pengetahuannya .
Mehdi ha’iri yazdi, Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filasafat Islam, terj. Ahsin Muhammad (Bandung : Mizan, 1994), hlm. 51
Murtdha Muntahari, Filsafat Hikmah: Pengantar…, hlm. 80
Husain Nashr, Tiga Pemikir Islam, (Bandung: Risalah, 1986), hlm. 22-25
Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi  lebih fundamental dari esistensi, sebab eksistensi hanya ada dalam pikiran manusia. Yang
merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi  yang bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha
cahaya, Tuhan. Cahaya itu hanya satu sedangkan benda-benda yang beranekaragam adalah gardasi intensitasnya atau
kebenderangannya.
Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi kemudian membalik ajaran tersebut dengan mengambil
pandangan Ibnu Arabi tentang prioritas eksistensi terhadap esensi, namun menolak Ibnu Arabi tetang wahdat al-wujud, ketunggalan
wujud. Bagi Sadra benda-benda disekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai eksistensi sama seperti
eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya
mampun menangkap esensi  atau gagasan umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi  dengan eksistensi. Bagi Shadra,
eksistensi dalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi  adalah gambaran umum tentang realitas atau benda yang ada dalam
pikiran. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak bisa dianggap sebagai cerminan hakikat wujud, karena transformasinya
ke dalam konsep mental yang abstrak pasti mengandung kesalahan.
Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya terhadap wujud, Mulla Shadra telah mempersatukan secara
sempurna kedua aspek kehidupan spiritual yaitu pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung. Bagi mereka yang
sudah terpadu dalam dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung, seperti halya Mulla Sadra, bisa
merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat spiritual pada dasarnya adalah juga kenikmatan dan
kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa dinyatakan bahwa sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengelaman mistis
adalah kebenaran yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang bersifat kognitif. Pengelaman
yang bersifat intuitif sama sekali tidak bertentagan dengan penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih tinggi,
lebih positif dan konstruktif, dibandingkan dengan penalaran formal.
Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan atau dialami secara sekaligus jika seseorang mampu memberikan
pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional terhadap pengalaman-pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas argumen-
argumen rasional yang diberikan, maka kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai pengalaman spiritual,
sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi kualitasnya jika intelek mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua
itu hanya bisa dialami melalui keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu
ketika pikiran telah terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu.
Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 3
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 181-182
Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 182
b.Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)           

Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai
eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra tidak menyimpulkan sebagai wahdat
al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu mempunyai gradasi
yang kontinu. Jelasnya, menurut Sadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak terdapat gradasi “ada-ada
nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari kutub Tiada Mutlak sampai
kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya. Inilah pandangan kesatuan
realitas versi Mulla Shadra yang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”. Menurut Arhamedi Mazhar,
pandangan ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan mistik.
Dalam perspektif al-Hikmah al-Muta’aliyah, wujud merupakan suatu realitas tunggal yang dalam
ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan filsafat peripatetik
yang beranggapan bahwa wujud-wujud di alam secara esensial berbeda satu dengan lainnya dan tidak
memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan kesatuan wujud.
Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud yang individual
(wahdah al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan wujud.
Gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua unsur, yakni kesatuan wujud dan
kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi hanya ditopang oleh satu unsur,
yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya
bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi wujud.
A. Khodhori Sholeh, Wacana Baru Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
c.Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)

Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah sumbangan orsinil Mulla Shadra
terhadap filsafat Islam. ajaran ini merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Sadra bahwa
gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat rendah
menuju eksistensi tingakat tinggi. Mulla Shadra memperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-
prinsip Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam
semesta senantiasa bergerak, tidak pernah terdapat kekonstan sesaat dan keseragaman
bentuk dalam substansi alam. Aksiden-aksiden (yaitu sembilan kategori yang lain), sebagai
fungsi dan substansi, juga berada dalam gerak. Menurut Mulla Shadra, alam sama dengan
gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan pemusnahan yang tidak henti-henti dan
berjalan terus menerus.
Kontribusi Mulla Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al- Jawhariyah) melengkapi
para filosof sebelumnya, diman mereka berepndapat bahwa gerakan hanya terjadi pada
empat kategori aksiden; kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat), posisis (wadh’) dan tempat
(‘ayn). Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat kategori akseden yang
berubah. Karena kalau substansi berubah kita tidak dapat menetapkan judgment
tentangnya. Begitu kita mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain.
Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, (Bandung: Pustaka, 2000), hlm. 15
Mulla Shadra berpendapat bahwa disamping perubahan pada empat kategori aksiden, gerak juga
terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia eksternal perubahan benda material dan
keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda,
kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena eksistensi
aksiden bergantung pada eksistensi substansi, maka perubahan aksiden akan menyebabkan
perubahan pada substansi juga. Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal dari penggerak
pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan berkembang menjadi
sesuatu non-material. Dalam hubungna inilah Mulla Shadra mempertahankan sifat huduts dari dunia
fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi keempat; sebagai
suaut ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang menjadikan akseden dalam bergerak adalah nilai
hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya sebagai tempat kebaruannya.
d.Filsafat Jiwa

Mulla shadra sebagaimana Aristoteles mendefinisikan jiwa sebagai Entelenchy badan. Oleh sebab itu tidak
bersifat abadi dalam arti bermula, jiwa itu tidak dapat dipisahkan dan bebas dari materi . untuk
menyatakan bahwa itu terpisah dan bebas dari materi hanyalah dengan menyakini adanya praeksistensi
jiwa. Pada saat yang bersamaan Mulla shadra menolak pandangan ibn Sina yang menyatakan bahwa jiwa
adalah sebuah konsep Realisional dan bukan merupakan sesuatu yang bersifat substantif. Bila jiwa sejak
lahir berada dalam satu materi, kejiwaannya tidak dapat diartikan sebagai suatu relasi dimana seolah-olah
jiwa memiliki eksistensi bebas, maka tidak mungkin untuk meyatukan jiwa dengan badan.
Sedangkan menurut  Shadra , jiwa itu bersandar pada prinsip dasar yang disebut perubahan subtantif
(istihala jauhariyyah). Pada umumnya, jiwa itu bersifat jasmaniah tetapi akhirnya bersifat spiritual
selamanya (jismaniyat Al- hudus ruhaniyat al-baqa’) artinya manakala jiwa muncul atas landasan materi,
bukanlah berarti jiwa itu bersifat materi secara absolut. Dengan prinsip perubahan subtansif ini, dituntut
adanya tingkatan yang lebih tinggi dari landasan dimana jiwa berada. Oleh sebab itu dalam bentuk
kehidupan yang paling rendah sekalipun, seperti tumbuh-tumbuhan yang bergantung pada materi. Materi
atau tubuh itu hanyalah instrumen dan merupakan langkah pertama untuk perpindahan dari alam materi
menuju alam spiritual. Sadra menegaskan bahwa badan sebagaimana ia akan “dibangkitkan “secara
identik adalah sama dengan badan, pada titik ini sadra menduduki posisi yang sama dengan Al-Ghazali
dan mencela pandangannya tentang kebangkitan badan sebagai varian dari perpindahan jiwa.
e.Filsafat pengetahuan atau Epistimologi
Mulla Sadra menetapkan tiga jalan utama untuk mencapai kebenaran atau pengetahuan : jalan wahyu, jalan
inteleksi (ta’aaqul), dan jalan musyahdah dan mukasyafah (jalan penyucian kalbu dan penyingkaban mata hati)
dengan menggunakan istilah lain. Mulla sadra menyebut jalan tersebut sebagai jalan al-Quran, jalan Al-Burhan,
dan jalan Al-irfan. Istilah husuli (konseptual)tersebut merupakan kunci penting memahami teori pengetahuan
mulla sadra . dalam teori pengetahuannya, Mulla sadra membagi pengetahuan menjadi dua jenis : pengetahuan
husuli atau konseptual dan pengetahuan atau ilmu huduri. Bentuk pengetahuan ini menyatu dalam diri
seseorang yang telah mencapai pengetahuan berperingkat tinggi. Bangunan epistimologi mulla sadra berkaitan
erat dengan idenya tentang wahdah (unity), asalah (principality), tasykik (gradation) dan ide perubahan
substantif. Menurut sadra wujud atau realitas itu hanyalah satu yang membentuk hierarki dari debu hingga
singgasana illahi. Tuhan sendiri adalah wujud mutlak yang menjadi titik wujud permulaan itu, dengan demikian
Tuhan adlah transenden vis-a-vis rantai wujud.
Bagi Shadra filsafat dapat dibedakan menjadi dua bagian utama: (1) bersifat teoritis, yang mengacu pada
pengetahuan tentang segala sesuatu sebagaimana adanya.(2) bersifat praktis, yang mengacu pada pencapaian
kesempurnaan yang cocok bagi jiwa. Mulla sadra memandang adanya titik temu antara filsafat dan agama
sebagai satu bangunan kebenaran ia membuktikannya melalui pelacakan atas jejak-jejak kesejarahan manusia
dan membentangkan seluruh faktanya. Menurut sadra ditiap tempat dalam kurun waktu tertentu selalu ada
sosok yang bertanggung jawab dalam menyebarkan kebijakan (hikmah). Jika dikaitkan dengan teori
pengetahuannya tampak bahwa titik pusat flsafat mulla sadra ialah pengalaman makrifat (al-irfan) tentang wujud
sebagai hakikat atau kenyataan tertinggi. Bagi mulla sadra bukan keberadaan benda itu yang penting, melainkan
penglihatan bathin subjek yang mengamati alam keberadaan atau kewujudan.
f.Filsafat ketuhanan (metafisika)
Gagasan
mulla sadra tentang tuhan berbeda dengan gagasan ketuhanan yang dimiliki oleh Al-Farabi dan ibnu S
ina. Mulla sadra berpendapat bahwa ketidak butuhan dan kesempurnaan esensi tuhan tak cukup den
gan menegaskan kekadiman dan kemanunggalan esensi tuhan dan wujud. Dalam pandangannya  teor
i  bahwa tuhan yang merupakan wujud murni dan basit, bukan dalil atas keniscayaan dan ketidakbutu
han mutlak tuhan. Teori ini tak lain menegaskan bahwa maujud yang terasumsi merupakan maujud h
akiki, bukan maujud majasi
.
Dalam sistem metafisika hikmah Muta’aliyyah  dengan berpijak pada teori kehakikian wujud, wujud
Tuhan ditegaskan sebagai wujud berintensitas tinggi yang tak terbatas, sedangkan makhluk
merupakan suatu wujud yang berintensitas rendah , membutuhkan dan mustahil menjadi sebab
kehadiran bagi dirinya sendiri, karen itu dia harus bergantung pada wujud mutlak. Mulla sadra
beranggapan bahwa Tuhan secara mutlak memiliki kesempurnaan dan zatNya menyatu secara hakiki
dengan sifatNya. Perbedaan tuhan dengan makhluk  tak dipahami sebagai dua realitas yang memiliki
batasan dan garis pemisah. Tapi perbedaan keduanya terletak pada kesempurnaan Tuhan dan
kekurangan Makhluk, kekuatanNya dan kelemahannya. Oleh sebab itu perbedaan antara keduanya
bukan perbedaan yang saling berhadapan, tapi perbedaan yang bersifat “mencakupi “ dan “
meliputi”. Dengan ungkapan lain segala wujud selainNya merupakan suatu rangkaian gradasi dan
manifestasi cahaya Zat dan SifatNya bukan sebagai realitas-realitasyang mandiri dan berpisah secara
hakiki dari WujudNya. Kesatuan wujud dan maujud secara menyeluruh dan hakiki dalam realitas
kemajemukan keduanya. Menurut Mulla sadra, pemahaman Tauhid seperti itu merupakan tingkatan
4. Pengaruh Filsafat Mulla Shadra
Pengaruh mulla shadra pada masanya sangat terbatas dan mahzabnya hanya mempunyai sedikit
pengikut. Ajaran sadra menyebar secara gradual terutama berkat komentar-komentarnya terhadap
karya ibnu sina dan Ashuhawardi yang menarik perhatian para pengikut mazhab Peripatetikme
(logika” aristoteles) dan Illuminasionisme
Tokoh penting pertama mazhab  mulla shadra yang sebenarnya, yang telah mencetak sejumlah murid
yang handal aktif adalah mullah’ali Nuri (wafat 1246) sementara itu Asytiyani memproklamasikan diri
sebagai pengikut terbesar  dan terbaik dikalangan para komentator shadra.
Mulla sadra bukan sekedara filusuf terkenal selama enam abad terakhir. Bagi sebagian orang ia telah
dianggap setara dengan ibnu sina dan Al-Farabi bahkan melampaui keduanya. Meskipun ia menguasai
semua mazhab filsafat pada zamannya (peripatetik, iluminasionisme, teologi islam, dan irfan) ia tak
pernah secara total dipengaruhi dan meretas pada mazhab filsafatnya sendiri, filsafat transenden (al-
hikmah al muta’aliyah). Ia mengkritik semua titik lemah yang disuguhkan oleh filusuf agung
sebelumnya dan mencoba menyajikan sejumlah pemecahan filsufis atas masalah-masalah tersebut.
Hal itu  membuktikan bahwa mulla sadra merupakan seorang filsuf muslim yang cukup produktif ,
kreatif, dan orisinal dengan karyanya yang begitu banyak mencakup berbagai bidang pemikiran islam
yang ditulis, baik dengan bahasa arab maupun dengan bahasa Persia. Dari semua karyanya Al-hikmah
L-muta’aliyah fi asfar Al-Arba’ah merupakan karyanya yang terbesar.
Pengaruh pemikirannya merambah keberbagai belahan dunia islam lainnya, seperti Iran, Irak, India,
dan Pakistan. Al- Maududi menerjemahkan secara khusus kitab Al-Asfar Mulla sadra. Terakhir, pemikir
islam yang konser terhadap filsafat Mulla Shadra adalah Fazlur rahman dengan bukunya The
philosophy of mulla sadra
PENUTUP
Di dalam bangunan Filsafat al-Hikmah al-Muta’āliyyah Shadra, tergambar jelas Mulla Shadrā melakukan
harmonisasi semua elemen filsafat sebelumnya sehingga membentuk warna baru yang masing-masing kesatuan
saling terkait dan mendukung satu sama lain. Kita kemudian dapat menemukan posisi filsafat al-Hikmah al-
Muta’āliyyah yang jelas-jelas memunculkan sebuah warna baru diantara aliran filsafat yang ada.
Karakteristik al-hikmah al-muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi dan harmonisasi dari
ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam, kebenaran-kebenaran yang diperoleh melalui penghayatan
spiritual dan iluminasi intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan pembuktian rasional. Sintesis dan
harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang diperoleh melalui sarana Sufisme atau ’irfan,
Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan
ilmu-ilmu keagamaan dalam arti sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya tidak dapat
dipisahkan dari, dan harus dilihat dalam konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya.
Secara epistemologis, hikmah muta’aliyah didasarkan pada tiga prinsip, yaitu: iluminasi intelektual ( dzawq atau
isyraq ), pembuktian rasional ( ‘aql atau istidlal ), dan agama ( syari’ atau wahyu ). Hikmah Muta’aliyah dalam
meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), al-Quran
dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling tingginya hikmah.
‫وهللا أعلم باالصواب‬
DAFTAR PUSTAKA

Al-Khatib, Muhammad Habib Salman. 2005 Nazhariyat al-Ma’rifat ‘inda Shadr al-Din al-Syiraziy Kufah: Jami’at al-Kufah.
A. Khudhori Sholeh 2004. Wacana Baru Baru Filsafat Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nur, Syaifan. 2001. Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muthahhari, Murtadha. 2002. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Sadra, Bandung: Mizan.
Ha’iri Yazdi, Mehdi 1994. Ilmu Hudluri, prinsip-prinsip Epistimologi dalam Filsafat Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung :
Mizan.
Nashr, Husain. 1986. Tiga Pemikir Islam, Bandung: Risalah.
Rahman, Fazlur. 2000. Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, Bandung: Pustaka
Riadi, Haris Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla Sadra., (www.uinsuska.com. Diakses
pada tanggal 16 April 2015)
Husein Afandi al-Jasr al-Thaablusy, al-Husun al-Hamidiyah, li al-Muhafadzah ‘ala al-Aqaid al-Islamiyah,(ed) Ridlwan
Muhammad Ridlwan, Surabaya : Sa’id Ibn Nabhan Wa Auladuh, t.tj
Yaya Sunarya, 2012. Pengantar Filsafat Islam, Bandung:CV Arrvino Raya.

You might also like