You are on page 1of 212

MASYARAKAT KESENIAN DI

INDONESIA
Muhammad Takari Frida Deliana Harahap Fadlin
Torang Naiborhu
Arifni Netriroza Heristina Dewi

Penerbit:
Studia Kultura, Fakultas Sastra,
Universitas Sumatera Utara 2008

1
Cetakan pertama, Juni 2008

MASYARAKAT KESENIAN DI INDONESIA


Oleh: Muhammad Takari, Frida Deliana, Fadlin, Torang Naiborhu,
Arifni Netriroza, dan Heristina Dewi

Hak cipta dilindungi undang-undang All right


reserved
Dilarang memperbanyak buku ini
Sebahagian atau seluruhnya Dalam bentuk
apapun juga Tanpa izin tertulis dari penerbit
Penerbit: Studia Kultura, Fakultas Sastra, Universitas
Sumatera Utara
ISSN1412-8586
Dicetak di Medan, Indonesia

2
berbagai perguruan tinggi di Indonesia lainnya. Tentu saja buku ini bagaikan tak ada gading yang tak
retak. Untuk itu kami mohon kritik dan saran untuk menyempurnakan buku ini di masa-masa yang akan
datang.

Medan,
Juni 2008 Wassalam,
Tim Penulis
Takari, Frida, Fadlin, Torang, Arifni, dan Heristina

iv
Bab I: Konsep tentang Masyarakat, Kesenian, dan Indonesia

BAB I
KONSEP TENTANG
MASYARAKAT, KESENIAN, DAN
Pengantar
1.1
INDONESIA
Pada masa sekarang ini, dengan mudah kita masyarakat Indonesia menonton
pertunjukan-pertunjukan di televisi seperti: ketoprak, wayang kulit, wayang
wong, wayang golek, gondang sabangunan, gerenek Melayu, keroncong, musik
populer, sinetron, film televisi, dan tak lupa kesenian untuk iklan yang
menopang hidupnya media massa televisi, dan lain-lainnya. Begitu juga di
sekitar kita sering dipertunjukkan berbagai tontonan seperti layar tancap,
komedi putar, berbagai hiburan di plaza-plaza, pasar malam, bahkan topeng
monyet, dan lain-lainnya. Pada umumnya rumah-rumah penduduk di Indonesia
juga pada ruang utama dan ruang lainnya digantungi lukisan- lukisan yang
relatif murah sampai jutaan rupiah harganya. Kadang kita tak menyadari bahwa
kegiatan-kegiatan ini menceminkan sejauh mana peringkat peradaban dan jati
diri kita.
Seperti sama-sama diketahui bahwa Indonesia adalah sebuah negara
bangsa, yang
kaya akan warisan seni budaya, dan dapat mendukung sektor pariwisata.
Kegiatan seni ini, dalam sejarah bangsa Indonesia, memliki berbagai fungsi
sosial, temasuk fungsi ekonomis dan kultural. Untuk itu mari kita lihat konsep
mengenai apa itu (a) masyarakat,
(b) kesenian, dan (c) Indonesia, sebagai tiga kata kunci dalam kajian pada
buku ini. Sementara konsep kesenian akan diperluas kepada kebudayaan, wujud
kebudayaan, isi kebudayaan, seni musik, lagu, seni tari, seni teater, dan lainnya.

1
Bab I: Konsep tentang Masyarakat, Kesenian, dan Indonesia
1.2.1 Masyarakat
Seperti tersebut di atas, istilah yang paling lazim dipakai untuk menyebut kesatuan-kesatuan hidup manusia,
baik dalam tulisan ilmlah maupun dalam bahasa sehari-hari adalah masyarakat. Padanannya dalam bahasa Inggris
adalah society yang berasal dari kata Latin socius, yang berarti "kawan.” Istilah masyarakat sendiri berasal dari akar
kata Arab syaraka yang berarti "ikut serta, berpartisipasi.” Masyarakat adalah memang sekumpulan manusia yang
saling "bergaul,” atau dengan istilah ilmiah, saling “berinteraksi.” Satu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana
melalui apa warga-warganya dapat saling berinteraksi. Suatu negara modem misalnya, merupakan kesatuan manusia
dengan berbagai macam prasarana, yang memungkinkan para warga- nya untuk berinteraksi secara intensif.
lkatan apa yang membuat suatu kesatuan manusia itu menjadi suatu masyarakat? Yaitu pola tingkah laku yang
khas mengenai semua faktor kehidupan. Pola itu harus bersifat mantap dan kontinu--harus sudah menjadi adat-istiadat
yang khas. Dengan demikian suatu asrama pelajar, suatu akademi kedinasan, atau suatu sekolah, tidak dapat kita sebut
masyarakat, karena meskipun kesatuan manusia yang terdiri dari murid, guru, pegawai administrasi, serta para
karyawan lain itu terikat dan diatur tingkah-lakunya oleh berbagai norma dan aturan sekolah dan lain-lain. Namin
sistem normanya hanya meliputi beberapa sektor kehidupan yang terbatas saja. Sedangkan sebagai kesatuan
manusia, satu asrama, atau sekolah itu hanya bersifat sementara, artinya tidak kontinu.
Selain ikatan adat-istiadat khas yang meliputi sektor kehidupan serta suatu kontinuitas dalam waktu, suatu
masyarakat manusia harus juga mempunyai ciri lain, yaitu suatu rasa identitas di antara para warga atau anggotanya.
Mereka memang merupakan suatu kesatuan khusus yang berbeda dari kesatuan-kesatuan manusia lainnya. Ciri-ciri
memang dimiliki oleh penghuni suatu asrama atau anggota suatu sekolah, tetapi tidak adanya sistem norma yang
menyeluruh serta tidak adanya kontinuitas, menyebabkan penghuni suatu asrama atau murid suatu sekolah biasanya
tidak disebut masyarakat. Sebaliknya suatu negara, atau suatu kota, maupun desa, misalnya merupakan kesatuan
manusia yang memiliki ciri-ciri: (a) interaksi antara warga-warganya, (b) adat-istiadat, (c) norma-norma, (d) hukum
dan aturan-aturan khas yang mengatur seluruh pola tingkah laku warga negara kota atau desa; (e) kontinuitas dalam
waktu; dan (f) memiliki rasa identitas kuat yang mengikat semua warga. Itulah sebabnya suatu negara atau desa dapat
kita sebut masyarakat dan kita memang sering berbicara tentang masyarakat Indonesia, masyarakat Filipina,
masyarakat Belanda, masyarakat Amerika, masyarakat Jakarta, masyarakat Medan, masyarakat Solo masyarakat
Balige, masyarakat Desa Ciamis, tau masyarakat desa Trunyan. Dari uraian di atas dapat didefinisikan istilah
masyarakat dalam konteks antropologi: masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu
sistem adat-istiadat tertentu yang bersifiat kontinu, dan yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama
(Koentjaraningrat 1990:146-147).
Definisi itu menyerupai suatu definisi yang diajukan oleh J.L. Gillin dan J.P. Gillin dalam buku mereka
Cultural Sociology (1954:139), yang merumuskan bahwa masyarakat atau society adalah: ... the largest grouping in
which common customs, traditions, attitudes and feelings of unity are operative." Unsur grouping dalam definisi itu
menyerupai unsur "kesatuan hidup" dalam definisi kita, unsur common customs,
5
Masyarakat Kesenian di Indonesia
traditions, adalah unsur "adat-istiadat", dan unsur "kontinuitas" dalam definisi kita, serta unsur common attitudes and
feelings of unity adalah sama dengan unsur "identitas bersama.” Suatu tambahan dalam definisi Gillin adalah unsur
the largest, yang "terbesar," yang memang tidak kita muat dalam definisi ini. Walaupun demikian konsep itu dapat
diterapkan pada konsep masyarakat sesuatu bangsa atau negara, seperti misalnya konsep masyarakat Indonesia,
masyarakat Filipina, masyarakat Belanda, masyarakat Amerika, dalam contoh di atas.
Kesatuan wilayah, kesatuan adat-istiadat, rasa identitas komunitas, dan rasa loyalitas terhadap komunitas
sendiri, merupakan ciri-ciri suatu komunitas, dan pangkal dari perasaan seperti patriotisme, nasionalisme, dan
sebagainya, yang biasanya bersangkutan dengan negara. Memang, suatu negara merupakan wujud dari suatu
komunitas yang paling besar. Kecuali negara kesatuan-kesatuan seperti kota, desa, suatu
R.W. atau R.T. juga dapat cocok dengan definisi mengenai komunitas, sebagai suatu kesatuan hidup manusia,
yang menempati suatu wilayah yang nyata, dan yang berinteraksi menurut suatu sistem adat-istiadat, serta yang
terikat oleh suatu rasa identitas komunitas. (Koentjaraningrat 1990).
Kesatuan hidup manusia di suatu negara, desa, atau kota, juga kita sebut "masyarakat." Apakah
dengan demikian konsep masyarakat sama dengan konsep
komunitas? Kedua istilah itu memang bertumpang-tindih, tetapi istilah masyarakat adalah istilah umum bagi
suatu kesatuan hidup manusia. Oleh karena itu bersifat lebih luas dari istilah komunitas. Masyarakat adalah semua
kesatuan hidup manusia yang bersifat man- tap dan yang terikat oleh satuan adat-istiadat dan rasa identitas bersama,
tetapi komunitas bersifat khusus karena ciri tambahan ikatan lokasi dan kesadaran wilayah tadi.
1.3 Kesenian
Dalam mengkaji kesenian, maka tak bisa tidak seorang ilmuwan harus pula
mengkajinya dalam konteks kebudayaan, karena kesenian adalah salah satu unsur dari tujuh unsur kebudayaan
universal. Kesenian sering disinonimkan dengan kebudayaan, padahal kesenian hanyalah bagian dari kebudayaan.
Istilah kesenian sendiri sering dipadankan dengan istilah seni dan seni budaya.

1.3.1 Kesenian dalam Kebudayaan


Dalam ilmu antropologi, konsep tentang kebudayaan itu adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan belajar
(Koentjaraningrat 1990:180). Kata kebudayaan berasal dari bahasa Sanskerta buddayah, yaitu bentuk jamak kata
buddhi yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan
dengan akal. Pendapat lain ada yang mengemukakan bahwa kata budaya sebagai satu perkembangan dari kata
majemuk budi-daya, yang berarti daya dari budi (Zoetmulder 1951). Karena ini mereka membedakan budaya dari
kebudayaan. Budaya adalah daya dari budi yang berupa cipta, karsa, dan rasa (Djojonegoro (1958:24-27). Dalam
ilmu antropologi budaya istilah budaya dan kebudayaan tidak dibedakan. Kata budaya hanyalah “singkatan” dari kata
kebudayaan seperti halnya seni dari kata kesenian.
6
Bab I: Konsep tentang Masyarakat, Kesenian, dan Indonesia
Selain itu terdapat istilah kata yang merupakan padanan kata budaya, dalam bahasa Inggris culture, yang
berasal dari bahasa Latin colere, yang artinya adalah mengolah atau mengerjakan,dalam konteksnya adalah mengolah
tanah atau berani. Kemudian berkembang menjadi culture sebagai segala daya upaya serta tindakan manusia untuk
mengolah tanah dan merubah alam (Koentjaraningrat 1990:182). Ada perbedaan konsep ada kebudayaan dengan
peradaban. Peradaban adalah padanan kata dari civilization (sivilisasi), yang biasanya digunakan untuk menyebut
bagian-bagian dan unsur-unsur kebudayaan yang halus, maju, dan indah—seperti: kesenian, ilmu pengetahuan
(sains), adat sopan-santun pergaulan, kemahiran menulis, organisasi kenegaraan, dan sebagainya. Istilah peradaban
sering dipakai untuk menyebut suatu kebudayaan yang mempunyai sistem teknologi, ilmu pengetahuan, seni
bangunan, seni rupa, dan sistem kenegaraan dan masyarakat kota yang maju dan kompleks (Koentjaraningrat
1990:182).
Kebudayaan memiliki dua dimensi , yaitu wujud dan isi. Wujud kebudayaan ada tiga yaitu: (a) wujud
kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; (b)
wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola manusia dalam masyarakat; dan (c) wujud
kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjaraningrat 1990:187). Isi kebudayaan sering juga
disebut unsur-unsur kebudayaan universal terdiri dari tujuh unsur, yaitu: (1) bahasa, (2) sistem pengetahuan, (3)
organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian hidup, (6) sistem religi, dan
(7) kesenian (Koentjaraningrat 1990:204). Dengan demikian jelas bahwa kesenian adalah salah satu unsur dari tujuh
unsur kebudayaan universal. Kesenian bagaimanapun adalah ekspresi dari kebudayaan masyarakat yang
mendukungnya. Kesenian pula dapat dikelompokkan ke dalam rumpun seni pertunjukan, seni rupa, dan seni media
rekam.

1.3.2 Seni Pertunjukan


Istilah seni pertunjukan atau sering juga disebut seni pertunjukan serta pertunjukan budaya dalam bahasa
Indonesia dan Melayu Malaysia adalah sebagai padanan istilah perfoming art atau cultural perfomance dalam bahasa
Inggeris. Menurut Murgiyanto (1995) kajian-kajian keilmuan mengenai seni terbagi ke dalam rumpun- rumpun seni:
(a) seni pertunjukan, yang di dalamnya terdiri lagi dari percabangan seni musik, tari, dan teater. Bidang kajian disiplin
ini meluaskan diri sampai kepada sirkus, kabaret, olah raga, ritual, upacara, prosesi pemakaman dan lain-lainnya. (b)
Seni visual atau seni rupa yang terdiri dari seni mumi, seni patung, kerajinan atau kriya, lukis, disai grafis, disain
interior, disain eksterior, reklame dan lain-lainnya. (c) Seni media rekam, yang terdiri dari: televisi, radio, komputer,
intemet dan lain-lainnya. Seni sastra umumnya menjadi bahagian kajian dari ilmu sastra atau linguistik, seni
arsitektur atau seni bina menjadi bahagian kajian ilmu teknik. Namun kesemua bidang ini saling memiliki hubungan
teoretis, metodologis dan sejarah dalam ilmu pengetahuan manusia.
Ilmu seni pertunjukan telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang mencoba menerapkan berbagao-bagai kajian
dan metodologi, yang sifatnya integratif dan interdisiplin. Dalam disiplin seni pertunjukan ini, para ilmuwannya selalu
menggunakan pendekatan perbandingan. Bahwa seni pertunjukan dilakukan oleh manusia dalam
Masyarakat Kesenian di Indonesia

kehidupan sehari-hari, yang merangkumi aktivitas-aktivitas seperti olahraga, sulap, perayaan, upacara yang sifatnya
sosial. Begitu pula pelbagai aktivitas yang sifatnya lebih menekankan kepada aspek estetika seperti dalam seni musik,
tari, dan teater.
Seni pertunjukan sebagai sebuah disiplin ilmu coba dikembangkan pelbagai
metode dan teorinya oleh para ilmuwannya. Para ilmuwan seni pertunjukan ini mencoba mengembangkan
sekumpulan konsep dan pendekatan keilmuan yang bersifat saintifik, menjelajahi pelbagai teori dan metodologi
merangkumi disiplin-disiplin antropologi, sosiologi, sejarah, teori sastra, semiotika, analisis struktural, analisis
fungsional, teori feminimisme, etnologi, analisis gerak tari dan teater, psikologi perseptual, estetika dan teori seni
pertunjukan itu sendiri. Dalam rangka memberikan perspektif pertunjukan yang terintegrasi, tari dan musik tidak
hanya dipelajari sebagai pertunjukan yang berdiri sendiri tetapi merupakan bahagian dari teater, upacara dan
kehidupan sosiobudaya manusia.
Seni pertunjukan yang didukung oleh musik, tari, dan teater menjadi satu bahagian dari konsep estetika.
Musik sendiri adalah sebuah aktivitas yang material dasamya adalah bunyi-bunyian yang mengandung nada dan ritem
tertentu. Sementara seni tari menggunakan medium utamanya yaitu gerak-geri tubuh manusia, dan teater melibatkan
pelbagai medium baik bunyi-bunyian, gerak-gerik, alam sekitar maupun bahasa dan sastera. Dengan demikian dalam
seni pertunjukan pendekatan struktural atau teks dan fungsional atau konteks menjadi bahagian yang saling
berintegrasi dan saling mendokong. Dalam seni pertunjukan biasanya satu genre tertentu telah mengandungi musik
atau tari dan teater sekaligus. Namun ada yang mengandung satu bidang saja (Sal Murgiyanto 1995). Demikian
konsep dan definisi tentang seni pertunjukan. Berikutnya kita kaji definisi dan konsep mengenai lagu atau yang juga
sering disebut musik vokal, vokal, atau nyanyian.

1.3.3 Lagu
Menurut Kamus Dewan Edisi Ketiga (2002), lagu itu memiliki pengertian- pengertian seperti yang
dipaparkan berikut ini.

lagu 1. irama suara (dlm bacaan nyanyian, percakapan, dll): ~ bacaan qari dan qariah
pd malam itu merawankan hati pedengar, 2. gubahan musik biasanya dgn seni kata, nyanyian:
memperdengarkan sebuah ~ yg dinyanyikan oleh seorang penyanyi terkenal; ~ suka ramai; 3.
langgam atau corak irama (musik dll): ~ Melayu asli; ~ keroncong; 4. cara, gaya, macam, kaedah,
pakaian ~ ini saya tidak suka memakainya; ` ini (itu) cara ini (itu); ~
kebangsaan lagu rasmi sesebuah negara (diperdengarkan kpd umum dlm upacara
atau peristiwa tertentu; ~ lama perkara lama (yg sudah basi); ~ patriotik lagu yang seni katanya dsb
menunjukkan atau bertemakan kesetiaan atau cinta kpd negara; ~ rakyat lagu yang irama dan seni
katanya telah dinyanyikan turun-temurun. berlagu berirama: suaranya berlagu-lagu;
melagu bemyanyi, menyanyi: kedua-dua anak itu kemudiannya menari dan ~;
melagui memberi berlagu (pantun, sajak, syair, dll);
Bab I: Konsep tentang Masyarakat, Kesenian, dan Indonesia

melagukan menyampaikan lagu, menyanyikan, membaca dgn lagu (Quran, sajak, dll): mereka
bersalung dan bemyanyi ~ pantun dagang dgn sedih;
laguan + nyanyian
pelagu + orang yang menyampaikan lagu (nyanyian dll), penyanyi. (hal. 794).

Menurut kutipan di atas, lagu dalam bahasa Melayu memiliki empat makna yaitu makna suara yang
dikaitkan dengan melodi, juga musik yang menggunakan seni kata. Lagu juga mencakup genre musik vokal seperti
lagu Melayu asli dan keroncong. Dalam konteks Dunia Melayu lebih luas, genre lagu ini sangat banyak contohnya,
seperti dedeng, mulaka nukal, dodoi, sinandung, inang, zapin, ahoi, ketam padi, lerai padi, dan seterusnya.
Pengertian berikutnya lagu adalah gaya atau cara, dengan contoh seperti lagu kebangsaan, lagu lama, lagu patriotik,
lagu rakyat. Sementara itu jika kata lagu dikembangkan menjadi kata kerja seperti berlagu maka maknanya adalah
suara yang berirama dan berlagu-lagu (menggunakan melodi). Kemudian melagu ertinya adalah bemyanyi atau
menyanyi, dan selalu juga dikaitkan dengan aktivitas menari. Kata kerja lainnya melagui artinya memberi berlagu
kepada karya sastera seperti pantun, sajak, syair, nazam, gurindam, seloka dan seterusnya—pengertiannya adalah
memberi melodi pada karya sastra. Melodi itu sendiri artinya adalah rangkaian nada-nada degan ritme- ritme tertentu,
membentuk bangunan (arsitektonik) lagu. Kata laguan bererti juga nyanyian—sedangkan pelagu bemakna orang yang
mempersembahkan lagu. Dengan demikian, mengikut Kamus Dewan ini, lagu terdiri dari aspek tekstual atau seni kata
dan melodi sebagai salah satu unsur musik. Lagu mengandung aspek bahasa, sastra dan seni musik sekali gus.
Sementara menurut Encyclopedia Brittanica (2007), lagu yang dalam bahasa Inggris dapat dipadankan
dengan kata song itu dalam konteks budaya Barat didefinisikan sebagai berikut.

Song, piece of music perfomed by a single voice, with or without instrumental accompaniment.
Works for several voices are called duets, trios, etc.; larger ensembles sing choral music. Speech and
music have been combined from the earliest times; music heightens the effect of words, allowing
them to be rendered with a projection and passion lacking in speech alone. Singing style differs
among cultures, reflecting such variables as social structure, level of literacy, language, and even
sexual mores. Wordy solo songs predominate in technologically advanced, highly centralized
societies, whereas primitive cultures often stress ensemble singing, with less attention to careful
enunciation and a more relaxed vocal quality than is found in, for example, Oriental solo singing.
In Westem music, folk song is customarily distinguished from art song. Folk songs are usually
sung unaccompanied or with simple accompaniment—e.g., by guitar or dulcimer. They are
usually leamed
9
Masyarakat Kesenian di Indonesia

by ear and are infrequently written down; hence they are susceptible to changes of notes and words
through generations of oral transmission. Composers of most folk songs are unknown.
Art songs are intended for perfomance by professional, or at least
carefully taught, singers, generally accompanied by piano or instrumental ensemble. The notes
are written down, and notes and words are thereafter resistant to casual alteration. Popular songs
stand midway between folk and art songs with regard to technical difficulty, sophistication, and
resistance to change (Encyclopedia Brittanica 2007).
Lagu atau nyanyian adalah bentuk musik yang dipersembahkan oleh seorang penyanyi, dengan atau tanpa
iringan alat-alat musik. Karya musik berupa beberapa suara, disebut duet, trio dan seterusnya; dan yang lebih besar
adalah ensambel musik nyanyian khoral (koor). Bahasa dan musik memiliki hubungan (kombinasi) sejak masa awal
sejarah manusia; musik boleh menambah efek kata-kata, memberikannya untuk menggambarkan dengan suatu
rancangan (proyeksi) dan keinginan dari kekurangan yang ada dalam tutur bahasa itu sendiri. Gaya bemyanyi
memiliki perbedaan antara kebudayaan yang satu dengan yang lainnya, yang merefleksikan variabel-variabel ini
sebagai struktur sosial, peringkat sastra, bahasa, dan lebih jauh aspek seksual. Nyanyian- nyanyian yang
dipersembahkan secara solo yang kaya akan kata-kata didominasi oleh kemajuan teknologi, masyarakat yang
tersentralisasi (seperti perkotaan), sedangkan pada masyarakat primitif biasanya lebih menekankan kepada bentuk
ensambel nyanyian, yang kurang memperhatikan pemyataan langsung namun lebih memperhatikan orientasi vokal
yag lebih rileks, misalnya dalam bentuk nyanyian solo atau tunggal.
Di dalam kebudayaan Barat, nyanyian rakyat (folk song) biasanya dibedakan maknanya dengan nyanyian
seni (art song). Folk song biasanya dinyanyikan tanpa diiringi atau diiringi dengan alat musik yang relatif sederhana.
Misalnya oleh alat musik gitar atau dulcimer (zither yang dimainkan dengan cara digaruk oleh paluan kecil). Folk
song ini biasanya diajarkan secara lisan dengan cara langsung medengar dan sedikit yang ditulis dalam bentuk notasi.
Oleh kerananya ada kecenderungan untuk berubahnya nada- nada dan kata-kata dari satu generasi ke generasi
berikutnya dalam transmisi lisan. Para komposer (pencipta lagu) dalam folk song biasanya tidak dikenali.
Di sisi lain, nyanyian seni cenderung dipersembahkan oleh para seniman profesional, dan dengan sungguh-
sungguh diajarkan, adanya para penyanyi profesional, umumnya diiringi oleh piano atau ensambel alat-alat musik.
Lagu ini biasanya ditulis, oleh kerananya notasi melodi dan kata-kata cenderung untuk tidak berubah. Nyanyian-
nyanyian populer, berada dalam posisi antara folk song dan nyanyian seni, yang sangat memperhatian aspek teknikal
yang sulit, canggih, dan tidak mudah untuk berubah.
Folk song biasanya diiringi oleh pelbagai aktivitas seperti upacara religi, menari,
bekerja atau berkumpul. Bentuk folk song lainnya adalah mengisahkan cerita, yang banyak di antaranya
adalah balada dan lirik naratif. Balada Anglo-Amerika biasanya berorientasi untuk disertai dengan aksi seni
pertunjukan, temanya biasanya adalah episod tragis. Seni kata atau lirik nyanyian ini biasanya lebih berorientasi
emosional dan senimental. Ciri lainnya adalah menggunakan melodi yang relatif sederhana, umumnya
10
Bab I: Konsep tentang Masyarakat, Kesenian, dan Indonesia

menggunakan satu atau beberapa nada sahaja setiap suku kata. Bahasa yang digunakan cenderung untuk mengikuti
konvensi-konvensi yang ada dan biasanya repetitif (diulang- ulang). Musik dan kata-katanya sangat mudah untuk
dipahami dan dinikmati.
Nyanyian seni dalam tradisi di Eropa biasaya jarang dihubungkaitkan dengan
aktivitas ekstramusikal. Teksnya cenderung untuk dibuat rumit, melodinya selalu menggunakan wilayah
nada yang relatif lebar dan kompleks, tergantung pendengaran yang berulang-ulang dan meminta pemahaman yang
sungguh-sungguh. Nyanyian seni seperti “musik klasik,” adalah hal yang penting dalam fenomena masyarakat
perbandaran, yang asal-usulnya berasal dari istana-istana abad pertengahan, asrama, kota dan gereja. Nyanyian para
penyanyi jalanan yang disebut trouvères dan troubadours pada abad ke-12 adalah sebagai korpus dan sumber utama
untuk membentuk melodi dan bait-bait nyanyian seni ini; berlaku di seluruh kawasan Eropa. Melodi dan puisi
adalah dua hal penting, yang diorganisasi dengan baik, sebagai hasil dari masyarakat aristokrasi.
Selaras dengan perkembangan musik polifoni di Eropa abad ke-13 dan ke-14, para komposer menggubah
lagu untuk penyanyi solo, dan diiringi oleh melodi yang dimainkan pada alat musik. Teknik membentuk sebuah
melodi imitasi dikembangkan pada abad ke-15 untuk tekstur dalam garis vokal utama yang dinyanyikan dengan
menggunakan suara tenggorokan; diikuti dengan reaksi dalam nyanyian dengan iringan alat musik yang sangat
sederhana dan menggunakan sedikit akord (tiga nada atau lebih dalam prinsip ilmu hamoni untuk mengiringi melodi
utama). Ini menjadi lebih populer abad ke-16, yang kemudian diikuti oleh penggunaan sajak dan teks yang memberi
kesan audio menjadi perhatian utama.
Abad ke-17 musik yang bersifat dramatik menjadi topik tama dalam gaya nyanyian. Saat ini dikembangkan
lagu resitatif dan aria. Lagu resitatif berorientasi teks dan dinyanyikan dalam gaya bebas meter, dan iringan khordal
yang sederhana. Sedangkan lagu aria lebih bersifat mengembangkan virtuoso (teknis bemyanyi) dan elaborasi
melodi, dengan iringan alat musik yang pelbagai. Kemudian aria berkembang menjadi dominan di dalam opera,
kantata, dan oratorio. Abad ke-18 perhatian kepada nyanyian solo hanya mendapat tempat yang kecil dalam dunia
musik Barat, misalnya saja oleh Mozart dan Haydn.
Abad ke-19, Frans Schubert mencipta nyanyian yang memiliki nilai dramatik dan kualitas musikal. Robert
Schumann, Johannes Brahms dan beberapa penulis musik handal masa Romantik belajar kepada Schubert tidak hanya
berbagai melodi strofik tetapi juga iringan musik yang sangat penting. Di dalam nyanyian karya-karya komposer
berkebangsaan Perancis seperti Gabriel Fauré dan Claude Debussy ditemui karakeristik khas seperti perubahan musik,
kaleidoskop hamoni, dan penggunaan pola aksentuasi bahasa. Abad ke-20 para komposer meneruskan dan
mengeksplorasi hubungan lagu dan alat musik iringan dalam rangka memperluas para penyanyi untuk berekspresi dan
menerapkan tekniknya, kadang-kadang vokal penyanyi menirukan bunyi alat-alat musik (Encycloedia Brittanica
2007). Demikian definisi dan konsep lagu, baik dalam etnosains budaya Indonesia ataupun Barat. Selanjutnya dikaji
definisi dan konsep musik.

11
Masyarakat Kesenian di Indonesia
2. Musik
Dalam Kamus Dewan (2002) musik didefinisikan sebagai gubahan bunyi yang menghasilkan bentuk dan
irama yang indah. Seterusnya mengikut Wikipedia Indonesia (2007) musik adalah bunyi yang diterima oleh individu
dan berbeda-beda berdasarkan sejarah, lokasi, budaya dan selera seseorang. Definisi sejati tentang musik juga
bemacam- macam, misalnya bunyi yang dianggap enak oleh pendengamya, segala bunyi yang dihasilkan secara
sengaja oleh seseorang atau kumpulan dan disajikan sebagai musik. Beberapa orang menganggap musik tidak
berwujud sama sekali. Musik menurut Aristoteles mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah,
mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa patriotisme.
Alat musik tradisional contohnya untuk alat musik petik: gitar, kecapi, sasando, banjo, ukulele, mandolin,
harpa, gambus. Alat musik gesek: biola, rebab, cello. Alat musik ketuk: organ, piano, harpsichord. Alat musik tiup:
seruling, terompet, trombon, hamonika, pianika, dan rekorder. Alat musik pukul: tamborin, jidor, rebana, gamelan.
Alat musik modern: gitar listrik, organ, akordeon, drum.
Berikut adalah daftar aliran/genre utama dalam musik. Masing-masing genre
terbagi lagi menjadi beberapa sub-genre. Pengkategorian musik seperti ini, meskipun terkadang merupakan
hal yang subjektif, namun merupakan salah satu ilmu yang dipelajari dan ditetapkan oleh para ahli musik dunia.
Dalam beberapa dekad terakhir, dunia musik mengalami banyak perkembangan. Banyak jenis musik baru yang lahir
dan berkembang. Contohnya musik triphop yang merupakan perpaduan antara beat-beat elektronik dengan musik
pop yang ringan dan enak didengar. Contoh musisi yang mengusung jenis musik ini adalah Frou Frou, Sneaker
Pimps, dan Lamb. Ada juga hip- hop rock yang diusung oleh Linkin Park. Belum lagi dance rock dan neo wave rock
yang kini sedang in. banyak kelompok musik baru yang berkibar dengan jenis musik ini, antara lain Franz Ferdinand,
Bloc Party, The Killers, The Bravery dan masih banyak lagi. Bahkan sekarang banyak pula grup musik yang
mengusung lagu berbahasa daerah di Indonesia dengan irama musik rock, jazz dan blues. Grup musik yang membawa
aliran baru ini di Indonesia sudah cukup banyak salah satunya adalah Funk de Java yang mengusung lagu berbahasa
Jawa dalam musik rock. Demikian sekias mengenai definisi musik. Selanjutnya kita lihat definisi tari atau tarian atau
dalam bahasa Inggersis dance.

3. Tari
Menurut Kamus Dewan Edisi Ketiga (2002:1378), tari itu memiliki pengertian- pengertian seperti yang
diuraikan berikut ini.

tari = tarian gerakan badan serta tagan dan kaki berirama mengikut rentak musik; ~
gambus sj tari yang diiringi oleh gambus dan rebana; ~ inai = ~ piring tari dgn menggunakan piring
dan lilin (oleh gadis-gadis);
~ keris (sewar, sikin) tari dgn memainkan keris (sewar, sikin); ~ kipas tari dgn memainkan
kipas; ~ payung sj tari dgn menggunakan payung;
~ sapu tangan tari dgn melambai-lambaikan sapu tangan; ~ selendang tari dgn memakai
Bab I: Konsep tentang Masyarakat, Kesenian, dan Indonesia
menari, bertari + melakukan tari dgn mengikut musik; kakak Ramlah sedang ~, sedang berlatih ~; ~
di ladang orang perb bersuka-suka memakai harta orang lain dgn tidak mengingat kerugian orang
itu; yang tak pandai, dikatakan lautan nan terjungkat = sebab tiada tahu ~ dikatakan tanah lembab
perb sebab tidak tahu membuat sesuatu pekerjan, dikatakan perkakas yg salah atau tidak cukup;
Menari-nari melompat-lompat (kegirangan dll), mendompak-dompak, bergerak-gerak pantas dan
lancar (spt gerakan penari);
menarikan 1. melakukan sesuatu tari, menari dgn sesuatu tari: maka pendekar pun menghampiri lalu
~ inai serta memukul rebana lagu ceracap ini; 2. menggerak-gerakkan (jari-jari) dgn patas dan
lancar (spt geraan menari): perbuatan ~ jari-jari di atas meja semasa berakap dll; tari-tarian, tari-
menari bemacam-macam tari: pd malam itu telah diadakan suatu majlis ~; tertari-tari menari-nari:
kijang dua ekor itu datang ke hadapan rumahnya berlompat-lompat dan ~; penari orang yang
pandai menari, tukang tari (p. 1378)
anak tari: dia seorang ~ joget.

Menurut kutipan dari Kamus Dewan seperti terurai di atas, pengertian tari dalam konteks bahasa dan budaya
Melayu Indonesia dan Malaysia memiliki pelbagai makna. Yang pertama tari adalah gerakan badan serta tangan dan
kaki berirama mengikuti rentak musik. Dalam pengertian ini tari sangat berhubungkait dengan irama (ritme dan
melodi) musik. Biasanya jika ada aktivitas tari selalu menggunakan musik dalam budaya Melayu. Jarang ditemukan
tari yang berdiri sendiri tanpa diiringi musik. Seterusnya dalam pengertain kedua, nama tari berhubugkait erat dengan
properti utama yang digunakannya, misalnya tari lilin, tari inai, tari keris, tari sapu tangan, tari payung dan
seterusunya. Pengertian lainnya adalah genre, seperti tari serimpi adalah satu genre tari di keraton Yogyakarta dan
Surakarta. Dalam budaya Melayu Semenanjung terdapa juga tari ashek, joget gamelan Terengganu dan lainnya.
Makna konotatif juga dijumpai untuk kata tari ini, seperti kalimat: Menari di ladang orang—ertinya adalah bersuka-
suka memakai harta orang lain dengan tidak mengingat kerugian orang itu. Makna konotatif lainnya adalah tercemin
dalam kalimat: Sebab tiada tahu tari dikatakan tanah lembab. Ertinya perbuatan sebab tidak tahu membuat sesuatu
pekerjaan, dikatakan perkakas yang salah atau tidak cukup, mencari-cari alasan kerana ketidakmampuannya.
Pengertian berikutnya adalah tari sebagai ekspresi emosi, gembira dengan melompat, mendompak dan seterusnya.
Makna lainnya adalah fungsi tari seperti pada acara perhelatan pendekar dengan diiringi tari inai. Kemudian juga
orang yang menari disebut penari. Jadi dari kutipan di atas dapat difahami bahwa tari adalah seni gerak dalam
konteks budaya Melayu, yang memiliki norma-norma dan sistem nilainya sendiri.
Sementara itu dalam Encyclopedia Brittanica yang dimaksud tari adalah sebagai yang dijabarkan berikut ini.

Dance, the movement of the body in a rhythmic way, usually to music and within a
given space, for the purpose of expressing an idea or
13
Masyarakat Kesenian di Indonesia

emotion, releasing energy, or simply taking delight in the movement itself.


Dance is a powerful impulse, but the art of dance is that impulse channeled by skillful perfomers
into something that becomes intensely
expressive and that may delight spectators who feel no wish to dance themselves. These two
concepts of the art of dance—dance as a
powerful impulse and dance as a skillfully choreographed art practiced largely by a professional
few—are the two most important connecting ideas running through any consideration of the subject.
In dance, the connection between the two concepts is stronger than in some other arts, and neither
can exist without the other.
Although the above broad definition covers all foms of the art, philosophers and critics throughout
history have suggested different definitions of dance that have amounted to little more than
descriptions of the kind of dance with which each writer was most familiar. Thus, Aristotle's
statement in the Poetics that dance is rhythmic movement
whose purpose is “to represent men's characters as well as what they do and suffer” refers to the
central role that dance played in classical Greek
theatre, where the chorus through its movements reenacted the themes of the drama during lyric
interludes (Encyclopedia Britanica 2007).

Tari adalah gerakan tubuh mengikut cara-cara ritmik, biasanya menggunakan iringan musik dan tergantung
kepada ruang. Untuk tujuan mengekspresikan sesebuah idea atau emosi, pelepasan/pembebasan energi atau secara
sederhana menerima dengan senang hati gerakan itu sendiri.
Tari merupakan sebuah impuls (dorongan) yang kuat, namun dalam bentuknya yaitu seni tari dorongan itu
diarahkan oleh keahlian penari menjadi sesuatu yang secara
intens ekspresif, dan boleh menyenangkan penonton, yang merasa tidak ingin atau tidak mampu untuk
menari. Ada dua konsep dalam seni tari, yaitu pertama tari sebagai
dorongan yang kuat, dan kedua tari sebagai sebuah seni koreografi yang penuh dengan kemahiran, yang
hanya dapat dipraktikkan secara luas oleh sedikit penari profesional. Keduanya adalah hal yang paling penting dalam
menghubungkan gagasan dengan subjek tari.
Meskipun definisi luas seperti tersebut di atas berlaku pada semua bentuk seni, para filsuf dan ahli kritik,
menerusi sejarah telah mengemukakan berbagai definisi yang berbeza mengenai tari, sama ada dari yang
mendefinisikannya secara luas atau lebih sederhana. Namun definisi tersebut di atas adalah yang paling terkenal di
kalangan para penulis tari. Misalnya Aristoteles dalam tulisannya Poetics, yang menyatakan bahwa tari adalah
gerakan ritmik yang bertujuan “untuk menghadirkan karakter manusia, apa yang
dilakukannya dan apa yang dirasakannya.” Ini merujuk kepada peran utama bahwa tari dipersembahkan
pada teater Greek, yang mana bersama-sama khoir dengan gerakan
Bab I: Konsep tentang Masyarakat, Kesenian, dan Indonesia
hamoni mengkomposisikan keindahan perilaku, yang berlawanan dengan kegemalaian postur tubuh, dan menjadi
bahagian dari postur tubuh itu. Apa yang dikemukakan oleh John Weaver itu tampaknya sangat relevan untuk
mendeskripsikan aspek ekspresi dalam balet, yang mefomalisasikan estetika dan emosi penari. Pada abad ke-19
seorang ahli sejarah tari dari Perancis, Gaston Vuilier, juga menekanan kualitias lemah lembut, hamoni dan
keindahan dalam taria, yang berbeda dengan tari yang “benar” yang secara spontanitas boleh digerakkan oleh setiap
orang.
Seni koreografi pula mungkin belum dikenal pada masa awal tumbuhnya kebudayaan manusia. Orang-orang
saat ini, yang hidup di hutan, masih menari dalam bentuk kasar dan baru merefleksikan ritmik postur. John Martin,
seorang ahli kritik abad ke-20 menatakan bahwa tari memegang peran utama sebagai ekspresi fisik dari emosi
intrinsik manusia. Definisi yang universal mengenai tari haruslah dikembalikan kepada prinsip-prinsip asas tari
sebagai sebuah bentuk seni atau aktivitas yang menggunakan tubuh dan gerak yag boleh dilakukan oleh tubuh
manusia. Tdak sama dengan gerakan yang kita lakukan sehari-hari, gerak tari tidaklah langsung diarahkan untuk
bekerja, berpergian, atau mempertahankan hidup. Walau bagaimanapun, sebahagian besar praktik tari, gerakannya
diperuntukkan sebagai ekspresi, penikmatan estetika dan hiburan.
Salah satu motif tari yang paling asas adalah mengekspresikan dan
mengkomunikasikan emosi. Manusia dan juga beberapa jenis hewan selalu menari dengan cara
menyalurkan perasaan. Motif tari ini bukan saja diperkuat oleh gerakan meloncat, menghentakkan kaki dan
melompat-lompat namun juga didukung oleh emosi yang intens. Tari juga ada yang menggunakan gerak-gerak yang
fomal, seperti tarian perang pada masyarakat tribal atau tarian rakyat untuk festival. Di sini tari membantu untuk
menghasilkan emosi-emosi dan kemudian melepaskannya.
Masyarakat juga menari untuk menikmati pengalaman tubuh dan mengitarai alam sekitar dalam cara yang
khas. Tari juga melibatkan gerakan yang ekstrim, seperti melenturkan atau meregangkan tangan, memalingkan
wajah ke belakang dan berbagai
gerak lainnya. Tari juga melibatkan gerakan yang cenderung diorganisasikan kepada pola-pola ritmik khusus,
seperti melangkah membentuk garis, mengitari lantai, mengikuti
langkah-langkah tertentu, atau membentuk pola aksen reguler atau melakukan penekanan gerak.
Semua karakteristik tari dapat menghasilkan keadaan pikiran dan tubuh yang berbeda yang diperoleh dari
pengalaman seharian. Tari juga selalu dihubugkaitkan dengan energi atau tenaga. Para penari menjadi lebih dapat
mengelola tubuh dan gravitasi. Tari dapat menghsilkan berbagai persepsi mengenai ruang dan waktu terhadap
penari. Waktu ditandai oleh susunan ritmik atau gerakan dan oleh durasi tari, sedangkan ruang diorganisasikan oleh
keseluruhan gerak penari yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain di pentas.
Dalam kebudayan Barat, para penari umumnya bercita-cita dari sekedar penari
amatir (amateur) menjadi penari professional. Atau menurut sejarah awalnya tari dipersembahkan dalam
konteks amatir dan kemudian sesuai perkembangan zaman tari dipersembahkan secara profesional. Tari pada masa
awal bertujuan difungsikan untuk tujuan religi dan dipraktikkan dalam upacara ritual.
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Secara frekuensi, dalam tarian religius, para penari adalah subjek dari latihan fisik yang intensif dan juga
menjadi bahagian dari spiritual itu sendiri. Para penari religius ini mendapat posisi sosial tertentu di dalam sebuah
masyarakat. Di dalam masyarakat Hawaii misalnya penari hula, menjadi bahagian dari upacara yang sifatnya sakral
dan tertutup. Sementara di India para penari religius dipandang sebagai titisan dewa atu perantara dengan para dewa
(Encyclopedia Brittanica 2007).
Tari adalah satu cabang kesenian yang adakalanya berdiri sendiri namun tak jarang pula digunakan dalam
seni teater. Dalam budaya Indonesia dan Malaysia misalnya, berbagai teater mempergunakan seni tari, seperti ada
teater makyong, jikei, mek mulung, mendu, menhora dan lainnya. Tari-tarian dalam teater ini sering disebut sebagai
tarian teater, kerana fungsi utamanya mendukung situasi dan perwatakan dalam sesebuah teater.
Kategori lainnya oleh para pakar tari biasanya dibezakan antara tarian sosial dan tarian rakyat. Perbedaan
kedua-dua kategori tari ini juga adalah berasadkan kepada fungsinya di dalam kebudayaan masyarakat. Tari sosial
adalah tari yang difungsikan untuk komunikasi dan pergaulan sosial, baik untuk masyarakat homogen maupun
masyarakat yang heterogen. Dalam kebudayaan Melayu tari sosial ini contohnya adalah joget, ronggeng,
dondang sayang, ahoi dan lainnya.
Sementara itu yang dimaksud dengan tarian rakyat adalah tari tradisional yang hidup dari zaman ke zaman,
dan difungsikan dalam pelbagai aktivitas rakyat setempat. Dalam kebudayaan Melayu tari rakyat ini contohnya adalah
serampang dua belas, tari gubang, tari senandung, tari jala, tari lukah menari, tari inai, tari keris, dan seterusnya.
Demikian deskripsi singkat mengenai konsep dan definis lagu, musik, dan tari yang penulis gunakan untuk
memperjelas dan mengarahkan konsep mata kuliah ini.

4. Sekilas tentang Indonesia


1. Asal-usul Istilah
Secara harfiah, Indonesia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu dari akar kata Indo yang artinya Hindia dan
nesos yang artinya pulau-pulau. Jadi Indonesia maksudnya adalah pulau-pulau Hindia (jajahan Belanda). Dalam
sejarah ilmu pengetahuan sosial, pencipta awal istilah Indonesia adalah James Richadson Logan tahun 1850, ketika ia
menerbitkan jurnal yang berjudul Journal of the India Archipelago and Eastern Asia, di Pulau Pinang, Malaya. Jurnal
ini terbit dari tahun 1847 sampai 1859. Selain beliau, tercatat juga dalam sejarah, yang menggunakan istilah ini
adalah seorang Inggris yang bernama Sir William Edward Maxwell tahun 1897. Ia adalah seorang ahli hukum,
pegawai pamongpraja, sekretaris jendral Straits Settlements, kemudian menjabat sebagai Gubernur Pantai Emas
(Goudkust). Ia memakai istilah Indonesia dalam bukunya dengan sebutan The Islands of Indonesia.
Yang paling membuat populer istilah Indonesia adalah Prof. Adolf Bastian, seorang pakar etnologi yang
ternama. Dalam bukunya yang bertajuk Indonesian order die Inseln des Malayeschen Archipels (1884-1849), ia
menegaskan arti kepulauan ini. Dalam tulisan ini ia menyatakan bahwa kepulauan Indonesia yang meliputi suatu
daerah yang sangat luas, termasuk Madagaskar di Barat sampai Formosa di Timur, sementara Nusantara adalah
pusatnya, yang keseluruhannya adalah sebagai satu kesatuan wilayah
Bab I: Konsep tentang Masyarakat, Kesenian, dan Indonesia
budaya. Pengertian istilah ini juga digunakan oleh William Marsden (1754-1836), seorang gewestelijk secretaris
Bengkulen. Sementara itu, Gubernur Jenderal Jawa di zaman pendudukan Inggris (1811-1816), Sir Stanford Raffles
(1781-1826) dalam bukunya yang bertajuk The History of Java, menyebut juga istilah Indonesia, dengan pengertian
yang sama. Kesatuan kepulauan itu disebut dan dijelaskan pula oleh John Crawfurd (1783-1868), seorang pembantu
Raffles.
Pada awalnya, istilah Indonesia hanya digunakan sebagai istilah ilmu pengetahuan saja. Namun, ketika
pergerakan nasional muncul di sini, nama ini digunakan secara resmi oleh para pemuda Indonesia untuk mengganti
istilah Nederlandsch-Indië. Organisasi yang pertama kali memakai istilah Indonesia adalah Perhimpunan Indonesia,
yaitu satu perkumpulan mahasiswa di Negeri Belanda.
Di zaman penjajahan Belanda, oleh tokoh-tokoh nasional, telah dicoba mengganti istilah Nederlandsch-
Indië dengan istilah Indonesia--juga Inboorling, Inlander, dan Inheemsche dengan Indonesiër. Namun pemerintah
Belanda tetap dengan pendiriannya, dengan alasan yuridis. Namun setelah Undang-undang Dasar Belanda diubah,
sejak 20 September 1940, istilah Nederlandsch-Indië diubah menjadi Indonesië.
Selain istilah Indonesia, dikenal pula istilah sejenis yang juga merujuk kepada pengertian Indonesia. Istilah
itu adalah Nusantara. Istilah ini awal kali dikemukakan oleh
Patih Gadjah Mada, seorang panglima kerajaan Majapahit di abd ke-12, ketika ia mengucapkan sumpah
palapa. Istilah Nusantara ini mengandung makna kawasan pulau- pualu yang terletak di antara dua samudera dan dua
benua. Berdasarkan sejarah pula, kawasan nusantara pernah diperintah oleh dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan
(Melayu) Sriwisjaya, dan Kerajaan (Jawa) Majapahit.

17
Masyarakat Kesenian di Indonesia

BAB II

KONSEP KEBUDAYAAN
1. Pengantar
NASIONAL INDONESIA
Indonesia adalah sebuah negara bangsa yang sampai saat ini telah berumur enam dekade lebih tiga tahun.
Dalam usianya yang demikian, negara ini mengalami pasang surut dalam perjalanannya. Indonesia pernah mengalami
masa-masa revolusi fisik, ancaman disintegrasi, guncangan ekonomi, otoritarianisme dan sejenisnya. Namun bangsa
Indonesia juga telah melakarkan berbagai prestasi budaya di berbagai bidang yang diakui secara internasional. Bangsa
Indonesia secara historis terbentuk dari eksistensi kebudayaan nenek moyangnya yang dimulai dari era animisme dan
dinamisme sampai abad pertama Masehi, dilanjutkan masa Hindu-Buddha abad pertama hingga tiga belas.
Dilanjutkan masa Islam abad tiga belas hingga kini. Kemudian masa penjajahan kolonialisme bangsa-bangsa Barat
abad ke-16, terutama oleh Belanda, selama tiga setengah abad. Di awal abad ke-20 muncul ide nasionalisme yang
akhirnya menghantarkan bangsa Indonesia merdeka tahun 1945. Kemudian terjadi destabilisasi poltik dari tahun 1945
hingga 1966, namun saat ini telah tersemai dasar-dasar negara Indonesia, yaitu landasan ideologisnya Pancasila, dan
landasan konstitusionalnya Undang-undang Dasar 1945 (UUD 45). Selama kurun waktu kemerdekaan, bangsa
Indonesia mengalami tiga fase pemerintahan, yaitu: Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi. Dalam mengisi
periode-periode sejarah itu, berbagai aspek kebudayaan saling tumpang-tindih perkembangannya.

2. Kebudayaan Nasional
Sebagai sebuah negara bangsa, Indonesia telah meletakkan dasar konstitusionalnya mengenai kebudayaan
nasional, seperti yang termaktub dalam pasal 32 Undang-undang Dasar 1945. Bahkan lambang negara Indonesia,
Garuda Pancasila merentangkan tulisan Bhinneka Tunggal Ika (yang artinya biar berbeda-beda tetapi tetap satu).
Selengkapnya pasal 32 berbunyi: “Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.” Ditambah dengan
penjelasannya: “Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budinya rakyat Indonesia
seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah seluruh
Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya
dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau
memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.”
Dengan demikian jelas bahwa Indonesia memiliki budaya nasional, yang berasal dari budaya etnik, bukan
penjumlahan budaya etnik--sekali gus mengandung budaya asing yang dapat memperkaya budaya nasional.
Beberapa dasawarsa menjelang

24
Bab II: Konsep Kebudayaan Nasional Indonesia
terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para intelektual dan aktivis budaya telah memiliki gagasan tentang
kebudayaan nasional. Dalam konteks ini mereka mengajukan pemikirannya masing-masing sambil berpolemik apa
itu kebudayaan nasional dan ke mana arah tujuannya. Pelbagai tulisan membahas gagasan itu dari berbagai sudut
pandang, yang terbit dalam kurun masa dekade 1930-an.
Sebahagian tulisan ini merupakan hasil daripada Permusyawaratan Perguruan Indonesia di Surakarta (Solo),
pada 8 sampai 10 Jun 1935. Di antara intelektual budaya yang mengemukakan gagasannya adalah: Sutan Takdir
Alisyahbana (STA) pengarang
dan juga mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshogeschool) Jakarta; Sanusi Pane, seorang pengarang;
Soetomo, dokter perubatan dan pengarang; Tjindarbumi, wartawan;
Poerbatjaraka, pakar filologi; Ki Hajar Dewantara, pendiri dan pemimpin perguruan nasional Taman Siswa
(lihat Koentjaraningrat 1995).
Gagasan-gagasan mereka secara garis besar adalah sebagai berikut. Sutan Takdir Alisyahbana berpendirian
bahwa gagasan kebudayaan nasional Indonesia, yang dalam artikel (tajuk tulisan)nya diistilahkan dengan Kebudayaan
Indonesia Raya, sebenarnya baru mulai timbul dan disadari pada awal abad kedua puluh, oleh generasi muda
Indonesia yang berjiwa dan bersemangat keindonesiaan. Menurutnya, sebelum gagasan Indonesia Raya disadari dan
dikembangkan, yang ada hanyalah kebudayaan-kebudayaan suku bangsa di daerah. Ia menganjurkan agar generasi
muda Indonesia tidak terlalu tersangkut dalam kebudayaan pra-Indonesia itu, dan dapat membebaskan diri
daripada
kebudayaan etniknya--agar tidak berjiwa provinsialis, tetapi dengan semangat Indonesia baru. Kebudayaan
Nasional Indonesia merupakan suatu kebudayaan yang dikreasikan,
yang baru sama sekali, dengan mengambil banyak unsur dari kebudayaan yang kini dianggap paling universal,
yaitu budaya Barat. Unsur yang diambil terutama adalah teknologi, orientasi ekonomi, organisasi, dan sains. Begitu
juga orang Indonesia harus mempertajam rasio akalnya dan mengambil dinamika budaya Barat. Pandangan ini
mendapat sanggahan sengit dari beberapa pemikir lainnya.
Sanusi Pane menyatakan bahwa kebudayaan Nasional Indonesia sebagai kebudayaan Timur harus
mementingkan aspek kerohanian, perasaan dan gotong-royong, yang bertentangan dengan kebudayaan Barat yang
terlalu berorientasi kepada materi, intelektualisme dan individualisme. Ia tidak begitu setuju dengan Sutan
Takdir
Alisyahbana yang dianggapnya terlalu berorientasi kepada kebudayaan Barat dan harus membebaskan diri dari
kebudayaan pra-Indonesia, kerana itu bererti pemutusan diri dari
kesinambungan sejarah budayanya dalam rangka memasuki zaman Indonesia baru.
Pemikir lain, Poerbatjaraka menganjurkan agar orang Indonesia banyak mempelajari sejarah kebudayaannya,
agar dapat membangun kebudayaan yang baru. Kebudayaan Indonesia baru itu harus berakar kepada kebudayaan
Indonesia sendiri atau kebudayaan pra-Indonesia. Ki Hajar Dewantara menyatakan bahwa kebudayaan nasional
Indonesia adalah puncak-puncak kebudayaan daerah. Di sisi lain, Soetomo menganjurkan pula agar asas-asas sistem
pendidikan pesantren (di Malaysia pondok, dan khusus di Acheh dayah atau meunasah) dipergunakan sebagai dasar
Masyarakat Kesenian di Indonesia
pendidikan nasional Indonesia didasarkan pada kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan kebudayaannya harus
memiliki inti dan pokok yang bersifat kultur nasional Indonesia, tetapi dengan kulit (peradaban) yang bersifat
kebudayaan Barat.

2.3 Fungsi Kebudayaan Nasional


Sebuah gagasan akan dilanjutkan ke dalam praktik, apabila ia fungsional dalam masyarakat pendukungnya.
Fungsi sebuah gagasan bisa saja relatif sedikit, namun boleh pula menjadi banyak. Demikian pula gagasan kebudayaan
nasional memiliki berbagai fungsi dalam negara Indonesia merdeka. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa
kebudayaan nasional Indonesia memiliki dua fungsi: (i) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang memberi
identitas kepada warga negara Indonesia dan (ii) sebagai suatu sistem gagasan dan pralambang yang dapat
dipergunakan oleh semua warga negara Indonesia yang bhinneka itu, untuk saling berkomunikasi, sehingga
memperkuat solidaritas. Dalam fungsinya yang pertama, kebudayaan nasional Indonesia memiliki tiga syarat: (1)
harus merupakan hasil karya warga negara Indonesia, atau hasil karya orang- orang zaman dahulu yang berasal dari
daerah-daerah yang sekarang merupakan wilayah negara Indonesia; (2) unsur itu harus merupakan hasil karya warga
negara Indonesia yang tema pikirannya atau wujudnya mengandung ciri-ciri khas Indonesia; dan (3) harus sebagai
hasil karya warga negara Indonesia lainnya yang dapat menjadi kebanggaan mereka semua, sehingga mereka mau
mengidentitaskan diri dengan kebudayaan tersebut.
Dalam fungsi kedua, harus ada tiga syarat yaitu dua di antaranya sama dengan syarat nomor satu dan dua
fungsi pertama, syarat nomor tiga yaitu harus sebagai hasil karya dan tingkah laku warga negara Indonesia yang
dapat difahami oleh sebahagian besar orang Indonesia yang berasal dari kebudayaan suku-suku bangsa, umat agama,
dan ciri keturunan ras yang aneka warna, sehingga menjadi gagasan kolektif dan unsur- unsurnya dapat berfungsi
sebagai wahana komunikasi dan sarana untuk menumbuhkan saling pengertian di antara aneka warna orang Indonesia,
dan mempertingi solidaritas bangsa.
Menurut penulis, dalam proses pembentukan budaya nasional Indonesia selain orientasi dan fungsinya, juga
harus diperhatikan keseimbangan etnisitas, keadilan, dan kejujuran dalam mengangkatnya dari lokasi daerah
(etnik) ke tingkat nasional. Sebaiknya proses ini terjadi secara wajar, alamiah dan natural, dan bukan
bersifat pemaksaan pusat terhadap daerah atau sebaliknya. Di samping itu proses itu harus pula menyeimbangkan
antara bhineka dan ikanya budaya Indonesia. Perlu disadari pula bahwa budaya nasional bukan penjumlahan
kuantitatif budaya etnik Indonesia. Budaya nasional terjadi sebagai proses dialogikal antara budaya etnik dan setiap
etnik merasa memilikinya.
Dari uraian-uraian di atas jelas tergambar kepada kita adanya perbedaan pendapat di antara pemikir-pemikir
budaya: (a) ada yang berorientasi kepada budaya Barat yang dinamis dan rasional, (b) adapula yang mengemukakan
perlunya meneruskan budaya lama pra-Indonesia sambil menerima dan mengolah kebudayaan asing yang dapat
memperkuat jatidiri nasional Indonesia. Dalam konstitusi Indonesia, UUD 1945, tampaknya pendapat kedualah yang
tercermin. Namun secara konseptual para pemikir budaya juga memiliki persamaan persepsi yaitu mereka
setuju akan adanya dan
Bab II: Konsep Kebudayaan Nasional Indonesia
terbentuknya kebudayaan nasional Indonesia sejak lahirnya negara Republik Indonesia, yang berasal dari daerah-
daerah di wilayah Indonesia.
Selaras dengan era reformasi, maka berbagai tatanan negara dan masyarakat Indonesia akan berubah bentuk
dan fungsinya, yang tentu sahaja akan berpengaruh kepada kebudayaan nasional. Saat ini Indonesia menerapkan
sistem pemerintahan gabungan antara "unitarianisme dan federalisme" yang dikonsepkan ke dalam otonomi daerah,
begitu juga dengan kedudukan legislatif, eksekutif, dan judikatif yang ditata dan dikaji ulang agar terjalin
keseimbangan kekuasaan. Demikian juga kebudayaan Nasional
Indonesia seharusnya dapat mengekspresikan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam Perundang-undangan
Indonesia kebudayaan nasional adalah puncak-puncak dari
kebudayaan daerah. Kata puncak memiliki nosi parsial, bahwa suatu unsur budaya nasional harus bermutu.
Yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang akan mengukur mutu atau puncak budaya daerah itu, dan bagaimana
parameternya secara akurat. Padahal kalau kita lihat pemikiran di dalam estetika (falsafah keindahan), para filosof
pada umumnya mengesahkan sahaja keindahan itu ditentukan secara parsial oleh masyarakat pendukungnya--kerana
akan ditemui kesulitan dalam menentukan unsur-unsur universal dalam menilai kesenian atau keindahan. Dalam hal
ini, kita akan dihadapkan pada berbagai kendala dalam menentukan "puncak" atau "lembah" kebudayaan daerah.
Mungkin kata yang lebih pas adalah "inti sari" atau “sublimasi” kebudayaan daerah atau sejenisnya.
Dikotomi antara budaya Barat (Oksidental) dan Timur (Oriental) yang begitu dipertajam pada masa polemik
kebudayaan, tampaknya tidak lagi begitu relevan dikembangkan pada masa kini. Permasalahan utama adalah bukan
orang Indonesia
mengambil budaya Barat atau secara kaku meneruskan budaya Timur dengan berbagai kelebihan dan
kekurangannya, tetapi yang penting adalah bagaimana bangsa Indonesia mengolah dan mengelola budaya dunia dalam
konteks memperkuat identiti budaya berdasarkan nilai-nilai universal. Bagaimana pun budaya Barat tidak anti budaya
Timur atau sebaliknya. Bahkan Islam yang dianut sebahagian besar (86 % dari 240 juta) masyarakat Indonesia sendiri
mengajarkan untuk menerima berbagai budaya dunia dalam konteks tauhid kepada Allah. Islam juga telah
menyumbangkan berbagai peradaban modern ke seluruh dunia termasuk Barat. Termasuk Islam adalah sarana
transmisi peradaban Barat yang menetapkan asasnya pada zaman Yunani-Romawi. Demikian juga agama Kristen
Protestan dan Kristen Katolik memiliki konsep inkulturasi yang sebenarnya juga menerima unsur-unsur kebudayaan
etnik seluruh dunia dalam konteks ajaran Gereja.
Dalam kurun waktu lebih dari enam dekade Indonesia merdeka, penerapan kebudayaan nasional terus
berkembang mencari bentuk, namun terbentuk melalui berbagai proses: (a) ada yang terjadi secara wajar menurut
fungsi-fungsi sosial budaya pada masyarakat: (b) ada pula yang berkembang melalui saluran-saluran institusi tertentu
dalam masyarakat: (c) ada yang muncul kerana keinginan elit penguasa; dan (d) ada yang cenderung menafsirkan
bahwa yang dimaksud budaya nasional itu adalah budaya yang dilakukan oleh kumpulan etnik majoriti di Indonesia.
Masyarakat Kesenian di Indonesia
3. Kebudayaan Indonesia dan Kebudayaan di Indonesia
Kebudayaan di Indonesia saat ini secara makro terdiri dari dua kelornpok. Kelompok pertarna adalah
kebudayaan Indonesia dan kelompok kedua Kebudayaan di Indonesia. Kebudayaan Indonesia didefinisikan adalah
kebudayaan hasil produk setelah terjadinya Sumpah Pernuda (1928) atau sesudah Indonesia Merdeka (1945).
Kelompok kedua adalah kebudayaan yang ada di Indonesia. Kebudayaan yang ada di Indonesia ini juga dapat dibagi
dua yaitu kebudayaan etnik, seperti etnik Batak Toba, Karo, Mandailing-Angkola, Pakpak-Dairi, Simalungun, Melayu,
Bali, Aceh, Minangkabau, Sunda, Betawi, Jawa, Bugis, Makasar, sampai ke Papua (Irian Jaya) dan lainnya--serta
kebudayaan asing, seperti Arab, Belanda, Inggris dan lainnya.
Di dalam Pasal 32, UUD 45, dijelaskan bahwa pernerintah Indonesia memajukan kebudayaan nasional
Indonesia. Pengertian kebudayaan nasional Indonesia ini, dijelaskan dalarn Penjelasan Tentang Undang-Undang Dasar
Negara Indonesia yaitu kebudayaan bangsa. Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha
budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan.
di daerah-daerah di seluruh Indonesia, terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus menuju ke arah
kemajuan adab budaya dan persatuan, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat
memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa
Indonesia.
Berdasarkan penjelasan yang diberikan pasal 32 di atas, terdapat perbedaan istilah antara, pasal 32 dengan
penjelasannya. Pada pasal 32 disebut istilah kebudayaan nasional Indonesia, sedangkan pada penjelasan disebut
kebudayaan bangsa. Kebudayaan
bangsa ini dijelaskan adalah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha budi-daya rakyat Indonesia
seluruhnya. Adanya perbedaan istilah ini, dimaknai bahwa pengertian kebudayaan Indonesia, pada saat UUD 45
tersebut disusun dianggap belum ada, yang ada baru kebudayaan bangsa, yaitu kebudayaan lama dan asli (etnik) yang
terdapat di Indonesia, dan ini sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah (etnik) di seluruh Indonesia. Maka
dari penjelasan ini makna sebenarnya kebudayaan Indonesia itu dalam bentuk konkritnya belum jelas, yang ada baru
unsur pendukungnya yaitu kebudayaan etnik dan kebudayaan asing.

4. Wujud Kebudayaan
Menurut E.B. Taylor (Sulaeman 1995) kebudayaan atau yang disebut peradaban, mengandung pengertian yang
luas, meliputi pernahaman perasaan suatu bangsa yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral,
hukum, adat istiadat (kebiasaan), dan pembawaan lainnya yang diperoleh dari anggota masyarakat. Sedangkan
Kroeber dan Kluckhon (Bakker 1984:15-19) menunjukan definisi kebudayaan terdiri atas berbagai pola, bertingkah
laku mantap, pikiran, perasaan dan reaksi yang diperoleh dan terutama diturunkan oleh simbol-simbol yang
menyusun pencapainnya secara tersendiri dari kelompok-kelompok manusia, termasuk di dalamnya perwujudan
benda-benda materi. Pusat esensi kebudayaan terdiri atas tradisi cita-cita atau paharn dan terutama keterikatan
terhadap nilai-nilai. Ketentuan-ketentuan ahli
Bab II: Konsep Kebudayaan Nasional Indonesia
kebudayaan ini sudah bersifat universal, dapat diterima oleh pendapat umum meskipun dalarn praktik, arti kebudayaan
menurut pendapat umum ialah sesuatu yang berharga atau baik.
Di sisi lain, Herkovits mengajukan pengertian kebudayaan sebagai berikut: (1) kebudayaan dapat dipelajari, (2)
berasal atau bersumber dari segi biologis, lingkungan, psikologis, dan komponen sejarah eksistensi manusia, (3)
mempunyai struktur, (4) dapat dipecah-pecah ke dalarn berbagai aspek, (5) bersifat dinamis, (6) mempunyai variabel,
(7) memperlihatkan keteraturan yang dapat dianalisis dengan metode ilmiah, (8) merupakan
alat bagi seseorang (individu) untuk mengatur keadaan totalnya dan menarnbah arti bagi kesan kreatifnya.
Pada umumnya, setiap kebudayaan mempunyai wujud, apakah itudisebut wujud ide atau gagasan, maupun
wujud materi sebagai benda-benda hasil karya. Kebudayaan dalam pengertian luas, pun demikian, tetap mempunyai
wujud Secara umum wujud kebudayaan dapat juga dibagi atas empat yaitu: (a) wujud kebudayaan sebagai suatu ide-
ide, cita-cita, rencana-rencana, gagasan-gagasan, keinginan, kernauan. Ini adalah wujud ideal yang berfungsi
memberi arah pada. tingkah laku manusia di dalam di kehidupannya; (b) wujud kebudayaan sebagai nilai-nilai,
norma-norma, peraturan, pe- doman, cara-cara dan sebagainya. Ini adalah wujud yang berfungsi mengatur,
mengendalikan dan penunjuk arah pada tingkah laku manusia, di dalarn bermasyarakat;
(c) wujud kebudayaan suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia--
wujud ini disebut juga sistern sosial yaitu sistem yang mengatur dan menata aktivitas-aktivitas manusia dalam
berinteraksi dan bergaul; (d) wujud kebudayaan benda-benda hasil karya manusia. Wujud kebudayaan ini merupakan
benda-benda yang dapat diraba, dilihat melalui pancaindra, seperti arca, sarkopagus, gendang nekara, komputer,
mobil, kapal, dan lain-lainnya. Koentjaraningrat (1980) mereduksi keempat wujud budaya itu dalam tiga wujud saja,
yaitu: ide, aktivitas, dan benda-benda.
Dalam konteks pembangunan di Indonesia, kebudayaan mereka ini, dilihat dari
empat wujud kebudayaan di atas adalah seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini.

Tabel 2.1
Wujud Budaya dalam Konteks Pembangunan di Indonesia
Wujud Kebudayaan Kategori
Wujud cita-cita Membangun masyarakat Indoensia
Wujud pedoman Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN)
Wujud aktivitas Pelaksanaan pembangunan
Wujud benda Hasil yang dicapai melalui aktivitas
pembangunan, seperti gedung DPR/MPR, monumen
nasional, gedung perkuliahan, gedung sekolah,

29
Masyarakat Kesenian di Indonesia
dan lain-lain
Seperti sudah diungkapkan bahwa bentuk konkrit kebudayaan Indonesia belum “jelas,” yang ada baru unsur
pendukungnya yaitu kebudayaan etnik dan kebudayaan asing. Kini pendapat di atas, sudah dapat dibantah, walaupun
masih ada yang beranggapan bahwa kebudayaan Indonesia belum ada.
Kelompok yang mengatakan kebudayaan Indonesia belum ada, yang baru kebudayaan etnik; kebudayaan
Indonesia sedang berproses. Kelompok kedua mengatakan kebudayaan Indonesia sudah ada, dan. ada yang sedang
berproses dan mencari. Salah seorang yang mengatakan kebudayaan Indonesia belum ada adalah Sambodja
(2001),
pendapatnya ini disaringnya berdasarkan pendapat-pendapat ahli sebelumnya seperti seperti Goenawan
Mohamad, Hans Baque Jassin, Wiratmo Soekito, Trisno Soemardjo,
Taufiq Ismail, Zaini, Bokor Hutasuhut, Bur Rasuanto, Arief Budiman, D.S. Moe1janto, Ras Siregar, Boen Sri
Oemarjati, dan Gerson Poyk, yang menyimpulkan bahwa kebudayaan Indonesia yang dimaksud adalah kebudayaan
yang berada dalam tahap proses dan senantiasa berjalan.
Sedangkan pendukung kelompok kedua yang mengatakan kebudayaan Indonesia sudah ada antara lain adalah
Sastrosupono. Ia mencontohkan Pancasila, bahasa Indonesia, Undang-undang Dasar 1945, moderenisasi, dan
pembangunan (1982:68-72). Adanya pandangan yang mengatakan kebudayaan Indonesia belum ada, boleh jadi
akibat: (1) tidak jelasnya konsep kebudayaan yang dianut dan pahami, (2) akibat pemahaman mereka
tentang kebudayaan sempit misalnya hanya sebatas seni, apakah itu seni sastra, tari, drama, musik, patung,
lukis, dan sebagainya. Mereka tidak memahami bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi, juga adalah hasil kebudayaan manusia.
Penulis berpendapat bahwa kebudayaan Indonesia itu sudah ada dan memisahkannya dari kebudayaan yang
ada di Indonesia. Kebudayaan di Indonesia adalah kebudayaan etnik dan kebudayaan asing, sedangkan kebudayaan
Indonesia adalah hasil kreasi bangsa Indonesia sejak Sumpah Pemuda atau sejak Indonesia merdeka. Alat
pengindentifikasinya adalah wujud ide dan wujud material.

2.5 Wujud Ide dan Material


Wujud ide ini dipelopori oleh Clifford Geerzt. Ia melihat kebudayaan sebagai keseluruhan pengetahuan yang
dimiliki manusia untuk mengintepretasi dan mewujudkan tindakan-tindakan dalam rangka menghadapi lingkungan
alam dan sosialnya. Geerzt hanya membatasi pengertian kebudayaan kepada keseluruhan pengetahuan yang dimiliki
manusia. Perilaku dan benda-benda tidak lagi dianggap sebagai kebudayaan, melainkan sebagai hal-hal yang diatur
atau ditata oleh kebudayaan. Pengetahuan yang dimiliki manusia pada dasarnya merupakan berbagai model
pengetahuan yang didapati melalui proses belajar dan pengalamannya. Berbagai model pengetahuan ada yang saling
berhubungan, ada yang saling mendukung, tetapi ada juga saling bertentangan. Model- model yang tidak selalu
terintegrasi ini sering digunakan dalarn konteks dan situasi-situasi sosial tertentu sesuai dengan interpretasinya
terhadap situasi yang dihadapinya. Keseluruhan pengetahuan yang bersifat abstrak ini, agar lebih operasional
Bab II: Konsep Kebudayaan Nasional Indonesia
diwujudkan ke dalarn apa yang disebut pranata-pranata sosial yang dikembangkan oleh kelompok masyarakat.

2.6 Kebudayaan Indonesia


Definisi Kebudayaan Indonesia berdasarkan sisi ide dapat dijelaskan sernua pola atau cara berfikir/merasa
bangsa Indonesia dalarn suatu ruangan dan waktu. Pola atau cara berfikir/merasa ini dapat dimulai sesuclah adanya
Sumpah Pernuda (1928) atau sesudah Indonesia Merdeka (1945) hingga saat ini. Pilihan angka tahun ini (1928)
karena, pada masa ini sudah tumbuh keinginan untuk bersatu melalui cara berfikir dan merasa yang seragarn untuk
mencapai cita-cita atau tujuan bersama ke dalarn sebuah negara.. Keinginan ini kernudian diwujudkan pada tahun
1945 saat kemerdekaan Indonesia.
Perkembangan lebih lanjut dari buah kemerdekaan ini dapat dilihat pada pelaksanaan misalnya pendidikan
nasional, ekonomi nasional, politik nasional, kesenian nasional, filsafat nasional, dan lainnya yang termasuk ke dalam
kebudayaan Indonesia. Walaupun dalarn cara berfikir atau merasa antara individu atau antara etnik yang ada di
Indonesia, terdapat perbedaan-perbedaan, semangat persamaan, persatuanlah yang dipelihara dan dikembangkan yang
pada gilirannya akan menjadi pendorong lahir dan berkembangnya kebudayaan Indonesia.

Tabel 2.2
Kebudayaan Indonesia Dalam Pandangan dan Sisi Ide
Uraian Keterangan
Bentuk Konlait Ide, gagasan-gagasan, horma-norma
Pencipta Cendekiawan Indonesia
Lokasi Dalam wilayah Indonesia
Mulai Sejak Indonesia Merdeka (1945) atau boleh juga setelah Sumpah
Petnuda (1928)
Berakhir Hingga Indonesia bubar
Sifatnya Pola pikir dan pola merasa diserap melalui difusi, akulturasi, dan
lainnya
Sumber Inspirasi Kebudayaan etnik dan asing
Kriteria Disepakati bangsa Indonesia sebagai bagian dari budaya Indonesia

Fungsi 1. Alat pemersatu bagi etnik yang berbeda


2.7 Kebudayaan di Indonesia 2. Lambang kebanggan nasional
3. lambang
Kebudayaan di Indonesia dapat didefinisikan identitas nasional.
berdasarkan pandangan ide adalah semua pola pikir dan
perilaku yang berkembang di Indonesia sebelum adanya Sumpah

31
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Pernuda (1928) atau Sebelum Indonesia Merdeka (1945), maupun sesudah Indonesia merdeka, sebagai bagian dari
ciri khas suatu etnik khusus untuk etnik priburni yang ada di Indonesia dan bangsa asing yang ada di Indonesia.
Kebudayaan etnik di Indonesia sangat banyak misalnya ada kebudayaan etnik Aceh, Melayu, Batak (Toba, Karo,
Mandailing, Pakpak, Simalungun), Melayu, Bali, Aceh, Minang, Sunda, Betawi, Jawa, Sulawesi, sampai ke Papua
(Irianjaya) dan lainnya, fungsinya tidak lebih selain untuk memperkaya dan sebagai sumber inspirasi bagi kebudayaan
Indonesia, juga sebagai kebanggaan etnik pendukungnya. Sedangkan kebudayaan bangsa asing ini seperti Arab,
Inggris, Belanda, Cina (dalarn pengertian terbatas) dan lainnya.

8. Wujud Material
Materialisme adalah salah satu paharn yang beranggapan bahwa manusia hidup di dunia adalah hasil
rekayasa materi. Artinya selagi seorang manusia hidup di dunia, dia sebenamya hidup di dunia materi. Dia mau hidup,
harus makan, dia mau menata, sistem nilai dan budayanya harus menggunakan alat (materi). Materialisme
berpandangan kebudayaan adalah hasil dari kumpulan pikiran-pikiran yang dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang
diperlihatkan oleh anggota-anggota dari kelompok sosial masyarakat, yang diwariskan dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Pandangan materialisme ini berkaitan dengan hubungan manusia dengan lingkungannya, oleh Marvin
Harris disebut variabel yang bersifat empiris dan ini diistilahkan dengan tekno-ekonomi dan tekno-lingkungan.
Kebudayaan bukanlah hal-hal yang irasional, yang tidak dapat dimengerti, yang penuh dengan subyektivitas, tetapi
bersifat material, jelas, dan dapat diukur. Dalam kaitan ini, kebudayaan didefinisikan adalah sebagai kumpulan dari
pikiran-pikiran yang dipelajari dan kelakuan-kelakuan yang diperlihatkan oleh anggota-anggota dari kelompok-
kelompok sosial. Semua ini diwariskan dari satu gencrasi ke gencrasi berikutnya. Kebudayaan terlepas dari faktor
hereditas genetika. Berdasarkan pengertian di atas, akan dijelaskan kebudayaan Indonesia dan di Indonesia dari sisi
pandangan materialisme ini.

1. Kebudayaan Indonesia dalam Pandangan Sisi Material


Definisi kebudayaan Indonesia berdasarkan sisi materialisme budaya adalah produk dan suatu bangsa dalam
suatu ruangan dan waktu. Penjabaran hal ini dapat dilihat pada produk suatu bangsa terscbut misalnya arsitekturnya,
sistem politiknya, produksi keseniannya, teknologinya dan lainnya. Maka definisi kebudayaan Indonesia berdasarkan
sisi material adalah semua produk yang dihasilkan bangsa Indonesia baik yang dikembangkan di luar Indonesia,
maupun yang dikembangkan di Indonesia, yang tumbuh dan berkembang sejak Indonesia merdeka (1945) atau
sesudah Sumpah Pemuda (1928) hingga saat ini, apakah itu diserap dari kebudayaan etnik maupun kebudayaan asing,
baik melalui proses difusi, akulturasi yang disepakati menjadi bagian dari tujuan nasional bersama di dalam negara
kesatuan Republik Indonesia.
Walaupun produk dari bangsa itu terdapat perbedaan-perbedaan, justru inilah kreasi bangsa itu. Bila
perbedaan ini, telah mampu melewati batas etniknya, artinya produk budaya dari etnik A, diserap oleh etnik B
menjadi bagian dari kebudayaannya,
Bab II: Konsep Kebudayaan Nasional Indonesia
maka produk budaya seperti inilah yang pada gilirannya akan menjadi kebudayaan Indonesia.

Tabel 2.3
Kebudayaan Indonesia dalam Pandangan dan Sisi Material
Uraian Keterangan
Bentuk Konkrit Produk/Ciptaan
Penciptanya Bangsa Indonesia
Lokasi Dalam/Luar negeri
Mulai Boleh dimulai setelah Sumpah Pernuda (1928) atau sejak Indonesia merdeka (1945)

Berakhir Hingga Indonesia bubar


Sumber Inspirasi Kebudavaan di Indonesia dan Asing

Kriteria Disepakati Bangsa Indonesia sebagai bagian tujuan bersarna yang hendak dicapai

Fungsi 1. Lambang kebanggaan nasional.


2. Lambang identitas nasional
2.8.2 Kebudayaan di 3. Adat
Indonesia pemersatu
dalam Sisi bagi etnik yang berbeda-beda
Materaial
Seperti telah dijelaskan dalarn pada Kebudayaan di Indonesia kebudayaan etnik di Indonesia sangat banyak
misalnya ada kebudayaan etnik Aceh, Melayu, Batak Toba, Karo, Mandailing-Angkola, Pakpak-Dairi, Simalungun,
Melayu, Bali, Aceh, Minang, Sunda, Betawi, Jawa, Sulawesi, sampai ke Papua (Irianjaya) dan lainnya, funggsinya
tidak lebih selain untuk memperkaya, dan sebagai sumber inspirasi bagi kebudayaan Indonesia, juga sebagai
kebanggaan etnik pendukungnya. Sedangkan kebudayaan bangsa asing ini seperti Arab, Inggris, Belanda, Cina (dalam
pengertian terbatas) dan lainnya. Maka kebudayaan di Indonesia adalah kebudayaan etnik, dan kebudayaan asing
dapat didefinisikan berdasarkan sisi material adalah semua produk suatu etnik atau bangsa asing yang dan
berkembang di Indonesia. Produk ini banyak, sesuai dengan jumlah etniknya, semua ini, bila diakui, atau diserap oleh
etnik lain, kemudian dijadikan menjadi bagian dari kebudayaannya, maka produk kebudayaan tersebut dapat
dikategorikan akan menjadi memperkaya kebudayaan Indonesia. Misalnya seni zapin dari Arab yang diserap bangsa
Indonesia, dan menjadi bagian dari budaya Indonesia.

2.9 Penutup
Secara nyata diakui atau tidak, gagasan kolektif yang telah menjadi kebudayaan Indonesia sudah ada. Maka
kebudayaan Indonesia saat ini, (a) ada yang sudah terbentuk, seperti antara lain bentuk Negara Indonesia, Pancasila,
dan UUD 45, sebagai pandangan
Masyarakat Kesenian di Indonesia
hidup dan dasar negara, bahasa Indonesia, produk-produk hukum selama Indonesia merdeka, teknologi yang diambil
dari luar, pendidikan, moderenisasi dalarn segala lapangan, sistem politik, kesenian seperti musik dengan variasinya
yang banyak digandrungi oleh lapisan tertentu, dengan melewati batas agama, suku, daerah, pendidikan dan status
sosial, tanpa mempersoalkan asal-usul musik tersebut, dan sebagainya, (b) ada yang sedang dalam proses
pembentukan, misalnya semangat berdemokrasi. Negara Indonesia dikatakan menganut demokrasi Pancasila, (c) ada
yang sedang dalam proses pencarian, misalnya bagaimana, menata hubungan antar umat beragama, agar tidak mudah
tersinggung bila timbul gesekan antar umat lapisan bawah, bagaimana memandirikan masyarakat Indonesia secara
individu, sehingga tidak mudah diprovokasi dan sebagainya.

Daftar Pustaka untuk Mendalami Kajian


Alfian (ed.).1985. Persepsi Masyarakat Tentang Kebudayaan. Jakarta: Gramedia. Alisjahbana, S Takdir. 1981.
“Pernbangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi,” dalarn Prisma No. 11. Jakarta: LP3ES. Bakker. 1984. Filsafat
Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Yogyakarta-Jakarta: Penerbit
Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
Brahmana, Pertampilan S. 1996. “Materialisme Budaya Sebagai Suatu Pernahaman Perubahan Budaya” (Karya
Tulis). Denpasar: Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Brahmana, Pertampilan S. 1997. “Gagasan Kebudayaan Nasional dalam Masa Kolonial:
dalarn Perkembangan Masyarakat” (Karya Tulis). Denpasar: Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Brahmana, Pertampilan S. 1997. “Awal Pertumbuhan Kebudayaan Nasional Indonesia” (Karya Tulis). Denpasar:
Program Magister Kajian Budaya UNUD.
Dewanto, Nirwan. 1991. “Kebudayaan Indonesia: Pandangan,” dalarn Prisma, 10 Oktober. Jakarta: LP3ES.
Kayam, Umar. 1981. Transformasi Budaya Kita. Yogyakarta: UGM press. Nasikun. 1995. Sistem
Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Poespowardojo, Soerjanto. 1993. Strategi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Filosofis.
Jakarta: PT. Gramedia.
Sastrosupono M, Suprihadi. 1982. Mengharnpiri Kebudayaan. Bandung: Penerbit Alumni.

http://satunet.conVartikel/isi/01/05/13/51525.hbnl
http://satunet.com/artikel/isi/01/05/13/51525.html?page=2

34
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian

BAB III

BERBAGAI TEORI DAN METODE SAINTIFIK


DALAM MENGKAJI KESENIAN
3.1 Pengenalan
Untuk mengkaji kesenian secara ilmiah, maka selalu digunakan berbagai teori dan metode. Kajian-kajian
terhadap seni pertunjukan (pertunjukan budaya) telah lama dilakukan orang, terutama oleh para ahli budaya, kurator
museum, penyebar agama, antropolog, dan lainnya. Namun, dalam dan fokusnya kajian mereka secara keilmuan,
tergantung dari latar belakang pendidikan, pengalaman, sikap, dan tujuan ia mengkaji kesenian. Kajian secara
mendalam melalui pendekatan saintifik (ilmiah) tentang kesenian, khususnya seni pertunjukan baru dimulai akhir abad
ke-19, saat berdirinya etnomusikologi di Dunia Barat/Oksidental, yang kemudian disusul oleh tumbuhnya disiplin
antropologi tari dan antropologi teater. Selain itu, kajian tentang seni rupa juga sudah muncul lebih awal.
Berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, mendirikan berbagai Jurusan/Departemen/ Program Studi yang
mengkaji seni. Di Eropa, Amerika, dan Australia, kajian seni ada di universitas-universitas-seperti: Universitas
Durham di Inggris, Universitas Jaap Kunst di Belanda, Universitas Alberta di Kanada, University Califomia at Los
Angeles (UCLA) di Amerika Serikat, Washington University di Amerika Serikat, Univeristy Hawaii di Amerika
Serikat, Monash University di Australia, The University of Sydney di Australia, dan lain-lainnya. Di kawasan Asia
Tenggara kajian seni ada di The University National Philipine, begitu juga di Universiti Malaya Malaysia, Universiti
Sains Malaysia, dan lain-lainnya.
Di Indonesia, kajian seni dilakukan baik itu di tingkat universitas, sekolah tinggi, maupun sekolah menengah.
Misalnya Program Strata Dua (S-2) dan Strata Tiga (S-3) Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Universitas
Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, S-2 Pengkajian Seni di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta dan
Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Untuk strata satu Jurusan Seni Rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB),
Jurusan/Departemen Etnomusikologi di Universitas Suamtera Utara, Jurusan Sendratasik (Seni Drama, Tari, dan
Musik) di beberapa universitas negeri pengembangan dari Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, misalnya
Universitas Negeri Medan (Unimed), Universitas Negeri Padang (UNP), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY),
Universitas Negri Jakarta (UNJ), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan lainnya. Di Yogyakarta didirikan
Institut Seni Indonesia (ISI) yang keseluruhan fakultasnya mengasuh ilmu-ilmu seni, begitu juga dengan Institut
Kesenian Jakarta (IKJ), Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padangpanjang. Di tingkat sekolah menengah ada

35
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) atau Sekolah Menengah Musik Negeri (SMMN) yang kini digabung
ke dalam rumpun Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Demikian gambaran umum institusi pendidikan yang
mcngasuh kajian seni. Perkembangannya tampaknya tergantung pata tempat masing-masing. Secara umum,
perkembangan pengetahuan dan sains ini selalu berkaitan dengan perkembangan ilmu antropologi--karena mempelajari
seni tujuan akhimya adalah untuk mengetahui tingkah laku manusia yang distudi.

3.2 Seni dalam Kajian Estetika


Dalam sejarah pengetahuan dan sains, studi terhadap unsur-unsur keindahan, dilakukan dalam disiplin yang
disebut estetika (aesthetic) atau dalam bahasa Indonesia lazim disebut filsafat keindahan. 2Dalam peradaban Barat,
estetika dimulai dari sumber-sumber-sumber budaya Yunani dan Romawi. Edward et al. (eds.) membagi sejarah
perkembangan filsafat Barat, termasuk estetika ke dalam periode-periode: (1) Plato, yang pada prinsipnya
memperbincangkan seni dan kerajinan (kriya), imitasi, keindahan, seni dan pengetahuan, dan seni serta moralitas; (2)
Aristoteles, yang memperbincangkan pengetahuan tentang penikmatan seni, imitasi, penikmatan keindahan,
keuniversalan seni, serta katarsis; (3) filosof klasik yang lebih akhir, yang umumnya berminat dalam puisi dan masalah
semantik. Di antaranya Zeno, Cleanthes, dan Chrysippus; (4) Abad Pertengahan yang ditokohi oleh St. Agustinus dan
Thomas Aquinas. Keduanya memisahkan unsur penikmatan dan hasil dari keindahan. (5) Renaisans, yang
berkembang pada abad ke-15 dan 16. Pada saat ini dilakukan revivalisasi filsafat-filsafat Plato, sehingga periode ini
disebut juga dengan Neo-Platonisme; (6) Rasionalisme Cartesian pada Zaman Pencerahan; (7) Empirisisme; (8)
Idealisme Para Filosof Jerman yang ditokohi oleh Immanuel Kant; (9) Romantisisme, yang menekankan kepada unsur
ekspresi emosional; serta (10) Pcrkembangan Kontemporer (Edward et al. 1967: volume I dan 2).
Sebagai sebuah gagasan, ada keterhubungan antara kesenian dan estetika. Berbagai cabang seni dapat juga
ditampilkan seperti dalam seni teater yang mencakup seni: visual, musik, sastra, dan tari. Saling keterhubungan
cabang-cabang seni ini memperlihatkan adanya sumber-sumber yang sama, terutama dalam tahap ide, walaupun
menggunakan media yang berbeda-beda.
Berbagai kesenian merupakan petualangan manusia, dan sebagian besar
karya-karya tentang estetika pada masa kini, dimulai dari perbedaanperbedaan umum di antara. cabang-
cabang seni yang dihasilkan dalam kehidupan kita. Namun demikian,

2
Dalam bahasa Indonesia kata philosophy dalam bahasa Inggeris selalu dipadankan dengan kata filsafat.
Sementara dalam bahasa Melayu Malaysia kata ini lebih sering dipadankan dengan kata falsafah. Ahli filsafat sering
disebut dengan filosof padanan dari kata philosopher dalam bahasa Indonesia, sedangkan dalam bahasa Melayu
Malaysia sering disebut dengan filosof.

36
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
dalam tahapan tertentu berbagai cabang kesenian ini mempunyai satu kesatuan, yang memebentuk identitas
masyarakat pendukungnya.
Studi tentang estetika ini secara eksplisit dikemukakan oleh Adler el al. (eds.)
sebagai berikut:

The discipline called aesthetics may be described broadly as the study of beauty and, to a
lesser extent, its opposite.' the ugly. It may include general or theoretical studies of the arts and of
related types of experiences, such as those of the philosophy of art, arts criticism, and the
psychology and sociology of the arts. The world general is emphasized because a narrowly
specialized study of particular work of art or artist would not ordinarily be regarded as an example
of aesthetics. Aesthetics has often defined more specifically as the science of the beautiful, a
definition implying an organized body of knowledge covering a special field of subject matter.
The arts may be include the visual and theatre arts, music, dance, and literature. In the
ancient world, there was no clear distinction between aesthetic and useful art. Aesthetic as a
philosopher or scientific discipline is not to be confused with art, though it may undertake to study
the arts in a more or less intellectual, logical way. (1986:161).

Estetika adalah disiplin terhadap keindahan atau seni. Bahasan seni dalam estetika mencakup masalah
filosofis (pengetahuan) dan sains sekali gus. Kemudian, secara bertahap berkembanglah berbagai disiplin seni yang
lebih mcngedepankan aspek rasional dan empiris--yang didasari oleh interaksi bangsa-bangsa di dunia ini. Dimulai
oleh disiplin antropologi yang kemudian bersentuhan dengan disiplin seni, seperti yang diuraikan berikut ini.

3.2.1 Antropologi dan Seni


Antropologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari manusia (anthropos), sebagai sebuah disiplin integrasi dari
berbagai ilmu yang masing-masing mempelajari suatu kompleks masalah-masalah khusus mengenai makhIuk
manusia (Iihat Koentjaraningrat 1980:1). Integrasinya ini mengalami proses sejarah yang panjang, dimulai sejak kira-
kira. awal abad ke-19. Antropologi mulai mencapai bentuknya yang konkret setelah lebih dari 60 pakamya dari
berbagai negara Eroamenka bertemu mengadakan simposium tahun 1951. Pendekatan ilmiah antropologi adalah
berdasarkan kepada kajian menyeluruh (universal) terhadap manusia, yang mencakup bermacam jenis manusia,
kebudayaannya, serta semua aspek pengalaman manusia. Pendalaman bidang-bidang antropologi di antaranya adalah
antropologi fisik, antropologi budaya, arkeologi, antropologi linguistik, dan etnologi.

37
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Kesenian sebagai salah satu unsur dan ekspresi budaya, jelas dapat dikaji oleh antropologi budaya. Namun
dalam perkembangan selanjutnya, beberapa disiplin yang objeknya adalah seni berdiri dan tetap memakai berbagai
teori dan metode dalam antropologi, seperti persinggungannya dengan musikologi menghasilkan etnomusikologi,
dengan tari menghasilkan antropologi tari, dengan teater menghasilkan antropologi teater, dan seterusnya. Oleh karena
itu akan dibahas apa itu musikologi secara garis besar saja.
Musikologi lahir di Dunia Barat, yang pada dasamya mempelajari musik seni (art music) Barat seperti karya-
karya Bach, Beethoven, Stravinsky, musik gereja, trobadour, trouvere, dan lainnya. Ilmu ini membuat dikotomi yang
mencolok antara "musik seni" dan "musik primitif' berdasarkan atas ada atau tidaknya budaya tulis dan teori yang
telah
berkembang. Secara keilmuan, musikologi bersifat humanistis dan cenderung mengesampingkan ilmu-ilmu
pengetahuan lain, kecuali yang bersinggungan saja. Secara
mendasar, musikologi bersifat historis budaya Barat dan objek studinya adalah musik sebagaimana adanya.
Berbanding terbalik dengan musikologi, antropologi mempunyai ciri-ciri mempelajari manusia sepanjang
masa; melihat semua aspek budaya manusia dan masyarakat sebagai sekelompok variabel yang berinteraksi.
Antropologi mempunyai orientasi saintifik, yang metodologinya sebagian historis akan tetapi pada dasamya bersifat
saintifik. Tujuan antropologi adalah untuk memahami tingkah laku manusia.
Musikologi dan antropologi bukanlah bentuk studi yang sama. Yang pertama masuk pada studi humaniora,
yang kedua adalah ilmu sosial. Setelah berpadu dalam
disiplin baru etnomusikologi, maka terjadi perkembangan-perkembangan lebih lanjut, disertai ciri khas
setiap kawasan yang mengasuh ilmu ini, walaupun dasar-dasamya
adalah ingin mengetahui manusia, lewat jendela budaya musik secara universal. Dalam perkembangan
selanjutnya, para musikolog yang sadar akan kemitraan dengan budaya di luar Barat, bahkan menjadi etnomusikolog.
Atau ada juga etnomusikolog yang kajiannya adalah musik Eropa, biasanya musik folk atau rakyat.

2. Interaksi
Secara ilmiah, interaksi positif terjadi antara antropologi dengan teater, musik, dan tari. Yang pertama
menghasilkan. disiplin antropologi teater, yang kedua etnomusikologi, dan ketiga etnologi tari, atau disebut juga
antropologi tari dan etnokoreologi. Ketiga disiplin ilmu pengetahuan tersebut lahir di Barat, dan etnomusikologi
muncul paling dahulu, yaitu akhir abad ke-1 9 (1890-an). . Demikian pula di Indonesia, etnomusikologi lebih dahulu
dibuka di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara tahun 1979, yang kemudian diikuti oleh institusi seni lainnya.
Kemudian disusul oleh berdirinya ilmu antropologi tari dan antropologi teater.

3. Etnomusikologi
Berdasarkan sejarah perkembangan disiplinnya, etnomusikologi mengenal dua kelompok definisi. Kelompok
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
musikologi komparatif Barat. Definisi ini dapat dibedakan atas tiga macam. Pertama, definisi yang menekankan pada
jenis musik yang dipelajari yaitu musik dan alat musik dari semua bangsa non-Eropa, termasuk suku yang disebut
primitif, dan bangsa-bangsa Timur yang berbudaya (Kunst 1950). Kedua, definisi yang menekankan musik sebagai
tradisi lisan, yaitu etnomusikologi pada dasamya mewarisi musik pada tradisi lisan (List 1962). Definisi ketiga,
merumuskan etnomusikologi sebagai bidang yang mempelajari musik di luar masyarakat peneliti atau pengamat, yaitu
etnomusikologi mempelajari musik bangsa-bangsa lain (Wachsman 1969).
Selanjutnya definisi kelompok kedua menekankan kepada proses kepada ilmuwan etnomusikologi. Mereka
mendefinisikan etnomusikologi adalah studi tentang
musik di dalam konteks kebudayaan (Merriam 1964). Definisi-definisi yang menekankan pada proses kerja,
memaksa peneliti untuk memusatkan kepada totalitas bukan kepada
seperangkat komponen dari bagian-bagian tertentu, untuk memperlakukan deskripsi sebagai langkah awal
dalmn mengadakan studi, dan untuk membuat konsepsi suara musik tidak terpisah, tetapi merupakan bagian dari
totalitas masyarakat dan budaya.

3.2.4 Antropologi Tari


Antropologi tari adalah sebuah disiplin baru yang sebelumnya dikenal sebagai etnologi tari, atau oleh
sebagian pakar disebut dengan etnokoreologi. Walau istilah etnologi tari baru tersebar luas, tetapi penelitian di bidang
etnologi tari telah berlangsung sejak tahun 1930-an. Jika di bidang etnomusikologi ada tokoh Alan P. Merriam, maka
dalam antropologi tari salah seorang perintisnya adalah Getrude Prokosch Kurath yang kumpulan esainya diterbitkan
tahun 1986 dengan judul Half Century of Dance Research oleh Cross Cultural Dance Research (CCDR, Flagstaff,
Arizona, Amerika Serikat). Ada pula seorang tokoh yang dikenal cukup ahli baik di bidang etnomusikologi maupun
antropologi tari yaitu Curt Sachs.
Kurath menggunakan 20 tahun pertama karimya sebagai penari dan produser pertunjukan budaya, tetapi
kemudian menceburkan dirinya di bidang penelitian etnologi tari. Menurutnya, metode penelitian etnologi tari terdiri
dari tiga tahap: (1) melakukan studi secara aktif dan mendatangi upacara-upacara masyarakat yang diteliti; (2)
mentransfer pola-pola tari ke dalam bentuk tulisan, dengan deskripsi verbal dan layout visual; dan (3)
menginterpretasikan fakta-fakta yang telah diorganisasikan.
Seperti dalam studi etnomusikologi, yang tergantung latar belakang
pendidikannya, dalam kajian tari pun ada peneliti-peneliti yang lebih menekankan salah satu disiplin:
antropologi atau tari. Seperti yang dikemukakan oleh Adrianne Kaeppler, bahwa para ahli etnologi tari biasanya
adalah berlatarbelakang sebagai penari--yang melihat tari terpisah dari konteks budaya masyarakatriya. Mereka selalu
mendeskripsikan tari menurut pandangan mereka sendiri, bukan pandangan masyarakat pelaku tari itu. Mereka
mendeskripsikan secara. struktural bagian-bagian tari itu seperti pola gerak, motif, garis, arah, dan repetisi tari.
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Sebaliknya, para etnolog tari ingin mengetahui lebih dari itu. Antropologi pada abad ke-20 telah berkembang
dari pendekatan deskriptif dan natural ke pendekatan yang menekankan kepada teori. Bagi antropolog, deskripsi tari
dari seluruh dunia ini bukan etnologi, hanya sekedar data, yang lebih jauh harus dianalisis secara. etnografis, sehingga
didapatkan makna-makna kulturalnya, baik dengan memakai teori maupun metode ilmiah.
Menurut Janet Adshead dalam bukunya Dance Analysis: Theory and Practice (London, Dance Book, 1988:6)
penelitian terhadap tari pada perkembangan sekarang ini memerlukan bantuan disiplin lainnya, seperti: antropologi,
sejarah, psikologi, sosiologi, teologi, dan lainnya. Disiplindisiplin ini sangat membantu untuk memahami tari
dalam
konteks yang lebih luas, serta menjelaskan fungsi-ftmgsinya dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.

3.2.5 Kajian Pertunjukan Budaya dan/atau Antropologi Teater


Kajian pertunjukan (performance study) adalah sebuah disiplin (ilmu) yang relatif baru, yang dalam
pendekatan saintifiknya berdasar kepada interdisiplin atau multidisiplin ilmu, yaitu mempertemukan antara lain
antropologi, kajian teater, antropologi tari atau etnologi tari, etnomusikologi, folklor, semiotika, sejarah, linguistik,
koreografi, kritik sastra, dan lainnya. Dua orang tokoh terkemuka pada disiplin ini adalah Victor Tumer (antropolog)
dan Richard Schechner (aktor, sutradara teater, pakar pertunjukan, dan editor majalah The Drama Review).
Sasarana kajian pertunjukan tidak terbatas kepada pertunjukan yang dilakukan di atas panggung, tetapi juga
yang terjadi di luar panggung, seperi olah raga, permainan,
sirkus, kamaval, perjalanan ziarah, nyekar, dan upacara. Dia menulis buku yang terkenal From Ritual to
Theatre: On the Edge of the Bush: Anthropology as Experience, The Anthropology of Performance, dan The
Anthropology of Experience. Buku yang terakhir ini, disuntingnya bersama Victor Tumer dan Edward M. Bruner
tahun 1982 setahun sebelum ia meninggal dunia. Pada karya-karyanya tersebut secara saintifik Schechner dan Tumer
tampaknya menawarkan pentingnya pendekatan pengalaman, pragmatik, praktik, dan pertunjukan dalam mengkaji
kesenian. Tentunya pendekatan ini diperlukan berdasarkan asumsi dasar bahwa pengalaman yang kita alami tidak
hanya dalam bentuk verbal, tetapi juga dalam bentuk imajinasi dan impresi (kesan). Keseluruhan disiplin pertunjukan
budaya di atas umumnya mendasarkan kegiatanya pada pendekatan ilmiah dengan menggunakan teori-teori.

3.3 Pendekatan 11miah dan Teori-teori


I1mu pengetahuan (sains) adalah suatu disiplin yang mempunyai tahap-tahap dan prosedur tertentu, yang
sering disebut dengan pendekatan ilmiah. Di antaranya adalah: rasionalisme, empirisme, determinisme, hipotesis dan
pembuktian, asumsi, pengamatan, penelitian, dan lainnya (Lihat Denzin dan Lincoln 1995).

40
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
Pendekatan saintifik biasanya menggunakan teori tertentu. dalam mengkaji fenomena alam, biologi, sosial,
budaya, dan lain-lainnya. Teori memiliki peran penting dalam pendekatan ilmiah. Dengan teori seorang ilmuwan
dibekali dasar-dasar bagaimana mencari dan mengolah data--sehingga didapatkan kesimpulan yang absah. Teori
menurut Marckward (1990:1302) memiliki tujuh pengertian: (1) sebuah rancangan atau skema pikiran, (2) prinsip
dasar atau penerapan ilmu pengetahuan, (3) abstrak pengetahuan yang antonim dengan praktik, (4) rancangan
hipotesis untuk menangani berbagai fenomena, (5) hipotesis yang mengarahkan seseorang, (6) dalam matematika
adalah teorema yang menghadirkan pandangan sistematik dari beberapa subjek, dan (7) ilmu pengetahuan tentang
komposisi musik. Jadi dengan demikian, teori berada dalam tataran ide orang, yang kebenarannya secara empiris dan
rasional telah diujicoba. Dalam dimensi waktu teori-teori dari semua disiplin ilmu terus berkembang. Teori-teori yang
dipergunakan dalam mengkaji tari, musik, teater/pertunjukan, seni rupa, diambil dari berbagai disiplin atau
dikembangan sendiri secara khas, seperti beberapa contoh yang dikemukakan berikut ini.

3.3.1 Semiotika
Pendekatan seni salah satunya mengambil teori semiotika dalam usaha untuk memahami bagaimana makna
diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni. Dua tokoh perintis
semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Pierce, seorang filosof
dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah
imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai
lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling
berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus
memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita
untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga
kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut
ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika
lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia,
maka disebut dengan simbol.
Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya,
Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan
menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5 berada di
luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mimik, gestur, gerak, make-up, gaya rambut, kostum,
properti, setting, lighting, musik, dan efek suara.
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan-
pertanyaannya menekankan perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian. Pertanyaan ini
menekankan pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun pertanyaan-pertanyaan itu adalah mencakup: (1) diskusi
umum tentang pertunjukan, yang meliputi: (a) unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan, (b) hubungan antara
sistem-sistem pertunjukan, (c) koherensi dan inkoherensi, (d) prinsip-prinsip estetis produksi, (e) kendala-kendala apa
yang dijumpai tentang produksi seni, apakah momennya kuat, lemah, atau membosankan;
(2) skenografi, yang meliputi: (a) bentuk ruang pertunjukan--mencakup: arsitektur, gestural, keindahan,
imitasi tata ruang, (b) hubungan. antara tempat penonton dengan
panggung pertunjukan, (c) sistem pewarnaan dan konotasinya., (d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang
meliputi hubungan antara on-stage dan off-stage dan keterkaitan
antara ruang yang diperlukan dengan gambaran panggung pada teks drama; (3) sistem tata cahaya; (4)
properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain;
(5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum antar pemain; (6)
pertunjukan (a) gaya individu atau konvensional, (b) hubungan antara pemain dan kelompok, (c) hubungan antara.
teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara pemain dan peran, (d) kualitas gestur dan mimik, (e) bagaimana
dialog dikembangkan;
(7) fungsi musik dan efek suara; (8) tahapan pertunjukan: (a) tahap keseluruhan dan (b) tahap-tahap tertentu.
sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum, gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah
tiba-tiba; (9) interpretasi cerita dalam pertunjukan: (a) cerita apa yang akan dipentaskan, (b) jenis dramaturgi apa
yang dipilih,
(c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang dijelaskan,
(d)bagaimana. struktur plot, (e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana pementasannya, (f)
termasuk genre apakah teks dramanya; (10) teks dalam pertunjukan: (a) terjemahan skenario, (b) peran yang
diberikan. teks drama dalam produksi, (c) hubungan antara teks dan imaji; (11) penonton: (a) di mana pertunjukan
dilaksanakan, (b) prakiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan,
(c) bagaimana reaksi penonton, dan (d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna; (12)
bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara: (a) teknis dan (b) imaji apa yang menjadi fokus; (13) apa yang
tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan: (a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah
pertunjukan, (b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna
pertunjukan (dan mengapa), (14) apakah ada masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan serta berbagai komentar
dan saran lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah
pertanyaan dan memperbaiki produksi pertunjukan.
42
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang pakar bahasa dari Swiss--dan Charles
Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat
lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier, yang berhubungan dengan konsep
(signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.
Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian semiotika itu adalah seperti yang dijabarkan berikut ini.

Semiotic also called Semiology, the study of signs and sign- using behaviour. It was
defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of
signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the
English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining
phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the
independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce.
Peirce's seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign
as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to
semiotics was the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which resembles its
referent (such as a road sign for falling rocks); (2) an index, which is associated with its referent (as
smoke is a sign of fire); and (3) a symbol, which is related to its referent only by convention (as with
words or traffic signals). Peirce also demonstrated that a sign can never have a definite meaning, for
the meaning must be continuously qualified.
Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the
concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic
semiotic concept is Saussure's distinction between the two inseparable components of a sign: the
signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is
the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances,
from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is
this underlying langue that most interests semioticians.
This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the
methods of structuralism (q.v.), which seeks to analyze these relations. Saussure's theories are thus also
considered fundamental to structuralism (especially structural linguistics) and to poststructuralism.
Modem semioticians have applied Peirce and Saussure's

43
Masyarakat Kesenian di Indonesia
principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communications,
and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi-
Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva.

Semiotika atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta tanda- tanda yang digunakan dalam
perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotika, yaitu pakar
linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausurre. Menurutnya semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda
dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof
Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotika sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai
contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan
awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles
Sanders Peirce.
Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotika ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan
logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu
sumbangannya yang besar bagi semiotika adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu:
(a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk
jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c)
simbol, yang berkaitan dengan referentnya dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik).
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling
berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat (interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian, berarti kita harus
memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita
untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga
kategori: ikon, indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut
ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika
lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia,
atau harimau melambangkan negara Malaysia, maka disebut dengan simbol atau lambang.
Secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semeion. Panuti Sudjiman dan van Zoest
(1992) menyatakan bahwa semiotika berarti tanda atau isyarat dalam satu sistem lambang yang lebih besar. Manakala
bidang pragmatik mengkaji kesan penggunaan lambang terhadap proses komunikasi. Dengan menggunakan
pendekatan semiotika, seseorang boleh menganalisis makna yang tersurat dan tersirat di balik penggunaan lambang
dalam kehidupan manusia sehari-hari. Semiotika dapat

44
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan lambang, termasuk: penggunaan lambang, isi pesan, dan cara
penyampaiannya (Berlo 1960:54). Dalam semiotika terdapat hubungan tiga segi antara lambang, objek dan makna
(Eco 1979: 15; Littlejohn 1992:64; Manning 1987:26; Barthes 1967:79). Lambang itu mewakili objek yang
dilambangkan. Penerima yang menghubungkan lambang dengan objek dan makna, disebut interpretan, yang berfungsi
sebagai perantara antara lambang dengan objek yang dilambangkan. Oleh karena itu, makna lambang hanya terwujud
dalam pikiran interpretan, selepas saja interpretan menghubungkan lambang dengan objek.
Berdasarkan kepada diagram 3.1 berikut, yaitu segitiga Makna Ogden & Richards (1923) maka dapat
dikaji bahwa tidak ada hubungan secara langsung antara
lambang atau isyarat dengan objek yang menjadi rujukan. Hubungan tak langsung ini digambarkan oleh
garis terputus-putus antara lambang atau isyarat dengan objek. Garis
penghubung antara pemikiran dengan lambang-lambang dan pemikiran dengan objek yang dirujuk adalah
secara terus dan langsung. Hubungan ini menunjukkan bahwa pemikiran seseorang akan menginterpretasi makna
lambang dengan objek atau peristiwa yang dirujuk. Ini bermakna bahwa pikiran seseorang mengkonseptualisasikan
sesuatu objek yang dirujuk berdasarkan rupa bentuk lambang atau isyarat tertentu. Karena itu wujudlah hubungan
secara tidak langsung antara lambang dengan objek walaupun pada kenyataannya hubungan itu tidak mutlak.
Hubungan antara pemikiran, lambang dan objek yang dirujuk itu akan menghasilkan makna (Littlejohn
1992). Oleh karena itu, hubungan lambang dengan
objek bersifat arbitrer (Supardy 1990:29). Pengertian terhadap sesuatu lambang juga berubah-ubah dari masa
ke masa menurut keadaan dan kehendak masyarakat.
Makna digunakan untuk menyampaikan sesuatu pesan. Pemancaran makna dan pesan itu melibatkan semua
bentuk perlakukan dan konteks kewujudannya (Innis 1985:vii) baik dalam bentuk bahasa ataupun perbuatan, atau
kedua-duanya sekaligus (Cherry 1957: 109- 111). Pengirim akan memilih lambang-lambang tertentu dan disusun
secara sistematik untuk mewujudkan makna tertentu (Berlo 1960:269). Oleh karena pengirim bebas memilih
lambang-lambang yang hendak digunakan, maka makna adalah bersifat subjektif. Oleh karena itu, hubungan antara
lambang dengan objek yang dilambangkan adalah berdasarkan imajinasi suatu objek (Littlejohn 1992:64). Pikiran
penerima harus menafsir (Blumer 1962:2; Barthes 1967:44) lambang yang digunakan oleh pengrim pesan.
Penafsiran penerima terhadap makna lambang adalah bergantung kepada situasi
dan juga konteks (Eco 1979:15). Dalam hal ini cara pengirim menggunakan lambang sangat penting untuk
merangsang fikiran penerima bagi mengkonseptualisasikan objek (Elam 1983:1; Anderson 1988:16; Panuti
Sudjiman dan van Zoest 1992:27).
Rangsangan itu juga sangat penting karena lambang mempunyai makna yang versatil yaitu lambang bisa
membawa makna konotatif pada suatu rasa, dan pada masa dan ruang yang lain dapat membawa makna denotatif
bergantung kepada konteksnya. 45
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Diagram 3.1
Segi Tiga Makna dari Ogden dan Richard (1923)
Sumber: Theories of Human Communiction oleh Stephen Littlejohn, 1992:64, juga Zaleha Abu Hasan 1996: 57)

Menurut pendapat Morris (1946), dalam proses perlambangan, lambang mempunyai nilai tertentu seperti
pergantungan (dependence), keterpisahan (detachment), dan keunggulan (dalam Littlejohn 1992:66). Nilai ini
menunjukkan bahwa sistem lambang bersifat mempengaruhi dan dipengaruhi. Ada lambang yang dipengaruhi oleh
lambang lain untuk membolehkannya berfungsi. Lambang yang mempengaruhi dikatakan sebagai lambang yang
dominan atau unggul. Lambang yang dipengaruhi mempunyai nilai pergantungan, karena terpaksa bergantung kepada
lambang lain. Selain itu ada pula lambang yang dapat berdiri sendiri untuk menghasilkan makna. Berdasarkan nilai
dan fungsinya dalam komunikasi, lambang merupakan gambaran perasaan dan perlakuan. Misalnya lambang bisa
bermaksud kumpulan orang, peristiwa luar biasa, pertanda kurang baik atau alamat yang baik (Schramm & Potter
1992: 74).
Echo (1976) memberikan empat cara manusia menggunakan lambang. Pertama, melalui cara pengakuan
yaitu menggunakan konteks untuk menyatakan sesuatu maksud. Kedua menunjukkan peralatan sebenar. Ketiga
melalui replika yaitu menggabungkan lambang bahasa dengan lambang lain. Akhir sekali, keempat melalui ciptaan
sesuatu yang baru seperti lukisan. Cara pertama dan ketiga boleh memandu fikiran penerima untuk menghubungkan
lambang dengan objek yang dirujuk berdasarkan mutu persamaan yang wujud pada cara perlambangan.
Umumnya lambang mempunyai makna. Makna itu merupakan lambangan sesuatu objek yang
dilambangkan. Makna yang ada pada sesuatu lambang tidak mutlak. Untuk memancarkan makna, sesuatu unit
lambang tidak boleh berdiri sendiri. Unit lambang itu harus berada dalam sistem yang merupakan gabungan
pelbagai lambang

46
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
karena biasanya pesan hanya dapat digambarkan melalui kombinasi beberapa lambang yang lebih kompleks (Langer
1942).
Hubungan antara lambang dengan makna dalam sesuatu sistem adalah arbitrer karena lambang tidak
mempunyai makna yang tetap (Berlo 1960:54); Scramm & Porter 1992:79). Suatu lambang boleh berubah makna
berdasarkan situasi dan konteks tanpa menukar lambang dalam sesuatu sistem itu. Yang berubah hanyalah cara
lambang digunakan. Bagaimanapun satu set lambang tidak dapat menyampaikan semua informasi yang diinginkan.
Oleh karena itu, beberapa lambang lain seperti perlakukan akan disatukan untuk menjadi unit yang lebih besar.
Seterusnya unit-unit yang besar ini akan dikombinasikan untuk menjadi sistem yang lebih besar. Setiap set
pengucapan
merupakan kombinasi dari unit-unit lambang (Leach 1976:33). Makna sebenamya yang tersembunyi hanya
dapat dilihat dalam konteks yang menyeluruh. Kombinasi sistem
lambang yang kompleks dan pelbagai ini membolehkan pengirimnya menyampaikan banyak pesan pada
saat-saat tertentu.
Sebagai suatu pendekatan, semiotika melihat sesebuah karya sebagai satu sistem, yang berurusan dengan hal
teknis dan mekanisme penciptaan--di samping mengkhususkan kepada sudut ekspresi dan komunikasi (Mana Sikana
1990:20). Unsur- unsur komunikasi itu mungkin dalam bentuk lisan atau bukan lisan. Gabungan dan pertautan antara
unit-unit kecil itu akan menghasilkan makna dan pesan tertentu.

3.3.1.1 Semiotika dalam Musik


Semiotika dipakai dalam berbagai-bagai disiplin ilmu, demikian juga dalam musikologi. Dalam konteks
tulisan ini, teori semiotika dalam musikologi yang penulis gunakan adalah dari tulisan Martinez yang bertajuk “A
Semiotis Theory of Music: According to a Peircean Rationale.” Ia menyatakan secara tegas aspek komunikasi dalam
musik seperti yang diuraikan berikut ini.
Perkembangan terakhir mengenai terapan teori umum Peirce mengenai tanda (signs) pada musik, seperti
yang dilakukan oleh David Lidov (1986), Robert Hatten (1994) dan William Dougherty (1993 dan 1994),
memperlihatkan bahwa pendekatan ini mencakup baik itu konteks musikal maupun semiotika, yang memusatkan
perhatian pada kekuatan pertanyaan mengenai pentingnya peristiwa yang membangun aspek musikal. Martinez dalam
tulisan ini menghadirkan struktur teori semiotika musik, sebagaimana yang dilakukannya dalam disertasi doktoralnya
yang bertemakan semiotika dalam musik Hindustani, yang diajukannya kepada University of Helsinski tahun 1997.
Peirce dalam kajian-kajian semiotikanya, memasukkan berbagai pemikiran yang
hanya mungkin terwujud dengan mengkaji makna-makna tanda. Musik adalah salah satu bahagian dari
pemikiran manusia, bahwa ide mengenai musik adalah berupa tanda-tanda yang tergantung kepada proses-proses
signifikatif atau semiosis. Sebuah tanda musikal dapat berupa satu sistem, satu komposisi atau pertunjukan, satu
bentuk musikal, satu gaya, seorang komposer, seorang pemusik, alat-alat musik dan seterusnya. Menurut pendapat
Masyarakat Kesenian di Indonesia
interpretan, yang dalam konteks musik tanda-tanda lainnya dibangun oleh pikiran pendengar (penonton), pemusik,
komposer, serta analis dan pengkritik.
Di dalam sistem klasifikasi saintifik yang ditawarkan Peirce, semiotika (atau semeiotik) memiliki tiga cabang,
yaitu: (a) grammar spekulatif, (b) kritik, dan (c) metodeutik (atau retorik spekulatif). Selaras dengan pendapat Nathan
Houser, para ilmuwan yang mengkaji gramar spekulatif biasanya melalui pendekatan tanda-tanda intrinsik yang
sifatnya alamiah dan semiosis. Para ilmuwan ini menjelaskan hubungan- hubungan antara tanda-tanda, korelasi tiap
bahagian dalam semiosis, tanda trikotomi yang diajukan Peirce, dan sepuluh atau yang lebih luas enam puluh enam
klasifikasi tanda. Studi kritik biasanya memusatkan perhatian kepada tanda-tanda dan hubungannya dengan
objek. Lebih khusus lagi adalah kondisi pelbagai referensi tanda dan hubungannya dengan signified
object. Konsekuensinya, studi kritik dalam teori semiotika ini adalah
untuk mendapatkan kebenaran, yang dipandu oleh pemikiran manusia yang logis. Atau melalui tiga jenis
argumentasi yaitu: abduksi, induksi, dan deduksi. Studi metodeutik mengenai tanda-tanda adalah bagaimana melihat
hubungan antara para interpretan. Dalam kaitan ini, semiosis memfokuskan kajian pada tingkatan interpretan, dan
bagaimana interpretan itu sendiri dapat menafsirkan tanda-tanda selama terjadinya proses semiotika (Houser
1990:210-211).
Peirce membagi semiotika yang bersifat formal ke dalam tiga wilayah kajian. Sementara kajian musikal juga
dapat diketahui melalui tiga lapangan yang saling berkaitan, yang memperhatikan aspek: (a) kondisi umum tanda-
tanda, sebagai unsur intrinsik semiosis, atau kajian tanda-tanda dan sistem intemal yang saling berhubungan;
(b) teori kondisi umum kerangkan simbol dan tanda-tanda lain dalam melihat objek, yang
dianggap sebagai hubungan antara tanda-tanda dan objek-objeknya, dan (c) kondisi transmisi makna oleh
tanda-tanda dari satu pikiran ke pikiran lain, atau dari seseorang ke orang lain, yang boleh disebut juga sebagai
hubungan antara tanda-tanda kepada para interpretan, interpreter, dan sistem interpretasi. Dalam tingkatan
mikrokospik, pembagian yang sama juga dilakukan oleh teori semiotikanya Peirce, yaitu: (a) tanda itu sendiri, (b)
tanda dan hubungannya dengan objek-objek yang mungkin, dan (c) tanda yang berhubungan dengan interpretan yang
mungkin.
Sesuai dengan jalan pikiran di atas, Martinez menawarkan tiga lapangan kajian yang saling berhubungan
dalam semiotika musik. Pertama adalah semiotika intrinsik musik, atau studi mengenai tanda-tanda musik itu
sendiri, yang memfokuskan perhatian
kepada bahagian intemal musik. Semiotika intrinsik musik ini terdiri dari aspek-aspek kualitas musikal,
aktualisasi karya-karya musik, dan pengorganisasian dalam musik yang
dipandang sebagai sistem-sistem musikal. Kedua adalah referensi musikal, atau studi tanda-tanda musik dan
hubungannya dengan objek-objek yang mungkin, yang memfokuskan perhatian kepada signifikasi musik dengan
objek-objek klasifikasi yang lebih luas. Ketiga, interpretasi musikal, atau kajian tanda-tanda musikal yang
berhubungan dengan pelbagai interpretannya, yang memfokuskan perhatian kepada aksi tanda-tanda musikal dalam
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
Isu-isu interpretasi musik dapat dibahagi lagi kepada tiga sub kajian, yaitu: (a) persepsi musik, (b) pertunjukan musik,
dan (c) intelektualisasi musik yang merangkumi analisis, kritik, pengajaran, pembuatan teori musik, semiotika musik,
dan komposisi.
Memandang kerangka teoretis tersebut di atas, Martinez mendiskusikan beberapa kemungkinan untuk
menganalisis musik. Lapangan kajian semiotika musik intrinsik, dalam langkah pertama adalah kualitas musikal atau
kualitas tanda. Misalnya berbagai variasi suara vokal manusia dalam berbagai budaya di dunia memperlihatkan
pelbagai kualitas musik. Ada perbedaan antara aktivitas musik pada vokal yang dipersembahkan masyarakat Inuit
dalam konteks permainan bel canto, musik Hindustani yang disebut khayal, nyanyian pada teater no di Jepang, dan
nyanyian para penyanyi griot
Afrika. Setiap aktivitas musik yang dilatarbelakangi budayanya ini memiliki kualitas dan makna-makna
musikal tersendiri. Kualitas ini tidak saja mencakup wama bunyi (timbral),
ritme atau melodi, tetapi juga merangkumi kualitas makna musikal.
Kajian referensi musikal menyangkut aspek hubungan antara tanda dan objek, yang memperjelas kapasiti
representasi musikal, yang dapat ditandai sebagai objek-objek akustik atau bukan akustik. Terdapat beberapa makna
musik. Salah satu yang fundamental adalah bahwa tanda dan objek menghadirkan sebuah keterhubungan identitas,
bahwa tanda musikal adalah mumi sebagai sebuah ikon. Bagaimanapun, musik memiliki kapasistas tanda. Beberapa
ahli estetika musik, seperti Eduard Hanslick (1989:61) dan para komposer seperti Pierre Boulez (1986:32), John Cage
(1961:96), dan Kostelanetz 1988:200), mengemukakan bahwa estetika musik itu sangat bergantung kepada modus
signifikasi. Sehingga ide musik mumi atau musik absolut tak mungkin terwujud dalam membicarakan musik dalam
kebudayaan. Setiap tradisi musik di dunia ini memiliki asas dan konsepsi estetika yang berlainan.
Pentingnya mengkaji berbagai tanda ikonik dalam musik. Peirce membagi tanda-tanda ikonik dalam pelbagai
imej, diagram dan metafor. Imej adalah ikon yang menghadirkan karakter objek. Contoh musikal ikonik adalah mulai
dari suara burung sampai kepada musik sesungguhnya. Dalam analisis semiotika ini, purlu pula bagi para pengkajinya
memperhatikan pada aspek metafor. Musik adalah bidang semiotika yang kompleks, yang dapat dikaji melalui
berbagai titik pandang.

3.3.1.2 Semiotika dalam Seni Pertunjukan


Semiotika juga selalu dipergunakan oleh para ilmuwan seni dan budaya di dalam pengkajian teater atau seni
pertunjukan. Teater itu sendiri merupakan wahana komunikasi yang begitu kompleks, karena ia melibatkan
hubungan antara para pelakon dengan khalayak penonton. Proses menghasilkan makna dalam teater ini tertakluk
sepenuhnya kepada sistem-sistem tertentu yang biasanya akan melibatkan gabungan dari pelbagai lambang lisan
dan lambang bukan lisan. Sistem ini akan memperbolehkan orang ramai menafsirkan fenomena yag terjadi.
Teater merupakan wahana komunikasi yang kompleks karena ia melibatkan hubungan antara para pelakon
dengan khalayak. Proses menghasilkan makna dalam
Masyarakat Kesenian di Indonesia
teater, menurut kepada sistem tertentu yang melibatkan gabungan lambang lisan dan lambang bukan lisan. Sistem itu
penting untuk membolehkan khalayak menginterpretasi fenomena yang dipaparkan.
Oleh karena seni pertunjukan merupakan media yang unidimensional, satu-satu unit lambang itu tidak boleh
berdiri dengan sendirinya untuk menggambarkan sesuatu pesan. Ia harus dilihat sebagai satu gabungan yang
menyeluruh dengan lambang-lambang lain dalam konteks tertentu. Misalnya gerak isyarat, mimik muka, dan bahasa
digabung dan digunakan serentak untuk menampakkan sesuatu makna secara keseluruhan. Satu lagi contoh ialah
penggunaan keris. Bagi masyarakat Melayu, keris bukan saja merupakan senjata untuk mempertahankan diri, tetapi
juga melambangkan kekuatan dan kuasa.
Jikalau diselitkan di pinggang, keris itu boleh ditafsirkan sebagai lambang kegagahan karena gambaran
pakaian seorang wira Melayu dalam masyarakat Melayu tradisional
tidak lengkap jikalau tidak ada keris di pinggang. Pemancaran makna keris itu adalah tertakluk kepada cara ia
digunakan. Kajian yang menggunakan pendekatan semiotika mengupas segala unsur simbolik yang terdapat dalam
sesebuah karya. Dalam hal yang berkaitan dengan keris itu, bukan saja cara pemakaiannya, tetapi rupa bentuknya juga
berkaitan dengan kepercayaan dalam masyarakat Melayu.
Mukarovsky (1975) telah memulakan kajian semiotika dalam teater (Elam 1983). Bagi Mukarovsky
sesebuah teks pertunjukan merupakan lambang makro yang maknanya hanya dapat difahami dalam rentetan
lambang-ambang lain secara keseluruhan. Dalam teater, lambang atau isyarat memberikan makna yang simbolik.
Oleh
karena semua yang terdapat di atas pentas merupakan lambang (Jiri Veltrusky, dipetik dalam Elam 1983:7),
maka segala objek dan perlakuan pelakon di atas pentas harus
mempunyai hubungan dengan objek yang dimaksudkan. Ini bermakna, lambang non- literal harus dapat
berfungsi seperti yang literal supaya khalayak mampu menafsirkan pesan yang disampaikan. Sesuatu objek mungkin
boleh diwakili oleh penggunaan beberapa lambang jika lambang-lambang itu mampu menunjukkan kehadiran objek
tersebut (Brusak dipetik dalam Elam 1983:9). Misalnya, lambang-lambang yang dihasilkan melalui pergerakan
anggota badan boleh menukarkan seorang pelakon atau penari menjadi benda lain seperti seekor burung garuda yang
sedang terbang, sepohon pokok yang bergoyang ataupun seekor gajah yang garang. Disebabkan makna sesuatu
lambang tidak sama bagi semua orang, maka terpulang kepada kreativiti pihak sumber untuk memilih lambang yang
sesuai untuk menonjolkan pesan yang dikehendaki.
Sifat lambang yang arbitrer menyebabkan penggunaannya dalam teater bebas dan tidak terbatas. Sejauh
mana penggunaan lambang-lambang dapat menjelaskan makna sebenar berantung kepada konvensi semantik yang
terdapat dalam lambang-lambang yang
dipilih. Makna lambang-lambang ditentukan oleh cara perlambangan. Jika lambang yang digunakan jelas
hubungannya dengan objek yang diwakilinya, maka jelas makna yang dimaksudkan. Sebaliknya jika hubungan
lambang dengan objek atau rujukan tidak jelas, maka akan menjadi kabur. Dengan itu setiap aspek pertunjukan
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
setting, perlakuan dan pertuturan pelakon saling bergantungan untuk menyumbang kepada pemaparan makna.
Menurut Elam (1983) tidak ada hubungan yang mutlak antara sesuatu lambang dengan apa yang
dilambangkan, karena lambang itu merupakan sesuatu yang dinamik. Pada prinsipnya lambang-lambang yang
digunakan di atas pentas boleh digunakan untuk mewakili fenomena apa saja. Misalnya, adegan yang dramatik tidak
semestinya digambarkan melalui ruang, seni bina ataupun gambar, tetapi boleh ditunjukkan dengan gerak isyarat
(seperti mimos), lisan dan juga kesan bunyi. Makna juga dikaitkan dengan konteks. Sesuatu lambang akan
memberikan makna yang lain dalam konteks yang berbeda. Misalnya gerak tari yang meniru gaya burung
terbang boleh melambangkan
seekor burung. Dalam konteks yang lain gerak itu melambangkan kebebasan. Dalam shamanisme, gerak itu
dikaitkan dengan air dan semangat yang hilang (Danaan 1985:50).
Dengan kata lain, pergerakan yang menggambarkan seekor burung, mempunyai makna berlainan dalam
konteks yang berbeda. Pentas lazimnya merupakan lambang ruang alam. Begitu juga dengan pedang yang selalu
digunakan dalam cerita-cerita klasik Inggeris lazimnya dipergunakan untuk menentang musuh. Pada masa yang lain
boleh digunakan sebagai pengayuh perahu, dengan hanya menukarkan cara memegangnya. Sifat arbitrari lambang
membenarkan pelbagai sistem lambang dikombinasikan untuk memberikan gambaran yang hampir serupa dengan
objek atau pesan yang dimaksud.
Dalam teater, lambang bukan lisan itu terdapat dalam sistem-sistem lambang yang merangkumi ciri-ciri
fisik, mimik muka, gerak-geri, sentuhan, artifak, persekitaran
serta penggunaan ruang dan masa. Semua ciri ini terdapat dalam tarian. Ini menjadikan tarian sebagai
lambang yang penting dalam teater. Selain untuk menarik perhatian
khalayak, tarian juga digunakan untuk menyampaikan pesan, karena tarian merupakan himpunan lambang-
lambang komunikasi yang kompleks (Hanna 1979:26). Menurut pendapat Hanna, semua tarian mempunyai tujuan.
Sekurang-kurangnya tarian berupa hasil pergerakan yang melahirkan gagasan tertentu dengan menggunakan anggota
badan sebagai mediumnya. Bagi Hanna (1979:25-26) tarian itu boleh mengatasi kemampuan media audio-visual
dalam menyampaikan maklumat kepada khalayak.
De Danaan (1985) yang mengkaji tarian Menghadap Rebab mendapati gerak tari dan lirik dalam lagu
tersebut saling melengkapi. Lambang-lambang gerak tari dalam menghadap Rebab menggambarkan “beberapa
perengan” penyataan. Integrasi lirik lagu dan gerak tarinya menghasilkan satu penyataan yang lengkap
karena lirik
menggambarkan pergerakan dan seterusnya pergerakan menampakkan makna pada lirik. Menurut Danaan
(1985) hubungan antara lirik dengan pergerakan dalam tarian
Menghadap Rebab sangat rapat. Sukar bagi seseorang untuk memahami pesan dalam tarian tersebut jika
tidak meneliti gerak tarian dan lirik lagunya.
Tarian dalam teater tidak semestinya diiringi oleh nyanyian atau sebaliknya. Ada kalanya dalam tempat
Masyarakat Kesenian di Indonesia
membawa pesan tertentu sebagai menggantikan perkataan (Russel 1958:21; Wigman 1966:10; Hanna 1979:25; dan
Laban 1988:85).
Semiotika juga sentiasa dipergunakan dalam mengkaji lagu dan tari. Dengan menuruti pendekatan semiotika,
maka dua pakar pertunjukan budaya, Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis dari Perancis, mengaplikasikannya dalam
pertunjukan. Kowzan menawarkan 13 sistem lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan
pemain dan 5 berada di luamya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mimik, gestur, gerak, make-
up, gaya rambut, kostium, properti, setting, lighting, musik dan efek suara.

3.3.1.3 Teori Fungsionalisme


Untuk mengkaji sejauh apa fungsi komunikasi dalam senipertunjukan, serta bagaimana fungsi lagu dan tari
dalam masyarakat Melayu Sumatera Utara, penyelidik menggunakan teori fungsionalisme. Mengiku Lorimer et al.,
teori fungsionalisme
saling ketergantunganadalah salah institusi-institusi
antara satu teori yang dipergunakan pada ilmu sosial, yang
dan kebiasaan-kebiasaan pada menekankan
masyarakat pada
tertentu.
Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial
didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran dan pasar terwujud. Sebagai contoh,
pada masyarakat yang kompleks seperti Amerika Serikat, agama dan keluarga mendukung nilai-nilai yang
difungsikan untuk mendukung kegiatan politik demokrasi dan ekonomi pasar. Dalam masyarakat yang lebih
sederhana, masyarakat tribal, partisipasi dalam upacara keagamaan berfungsi untuk mendukung solidaritas
sosial di antara kelompok-kelompok manusia yang berhubungan kekerabatannya. Meskipun teori ini menjadi dasar
bagi para penulis Eropa bada ke-19, khususnya Emile Durkheim, fungsionalisme secara nyata berkembang sebagai
sebuah teori yang mengagumkan sejak dipergunakan oleh Talcott Parsons dan Robert Merton tahun 1950-an. Teori ini
sangat berpengaruh kepada para pakar sosiologi Anglo-Amerika dalam dekad 1970-an. Bronislaw Malinowski dan A.
R. Radcliffe- Brown, mengembangkan teori ini di bidang antropologi, dengan memusatkan perhatian pada
masayarakat bukan Barat. Sejak dekad 1970-an, teori fungsionalisme dipergunakan pula untuk mengkaji dinamika
konflik sosial (Lorimer et al. 1991-112-113).
Dalam bidang komunikasi, ada beberapa pakar yang mengemukakan pendapatnya mengenai fungsi
komunikasi. Fungsi komunikasi memperlihatkan arus gerakan yang seiring dengan masyarakat atau individu.
Komunikasi berfungsi menurut keperluan pengguna atau individu yang berinteraksi. Lantaran itu fungsi komunikasi
boleh dikaitkan dengan ekspresi (emosi), arahan, rujukan, puitis, fatik dan metalinguitik yang berkaitan dengan bahasa
(Ajid Che Kob 1991:16). Secara umum fungsi komunikasi terdiri dari empat kategori utama yaitu: (1) fungsi
memberitahu, (2) fungsi mendidik, (3) memujuk khalayak mengubah pandangan dan (4) untuk menghibur orang lain.
Fungsi untuk memberi tahu, artinya adalah melalui komunikasi berbagai konsep atau gagasan diberitahukan
kepada orang lain (penerima komunikasi), dan penerima ini

52
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
menerimanya, yang kemudian dampaknya ia tahu tentang gagasan yang dikomunikasikan tersebut. Akhirya isi
komunikasi itu akan dibalas oleh penerima, boleh jadi dalam bentuk perilaku, respons, dan lainnya. Pemberitahuan ini
sangat penting dalam konteks sosial kemasyarakatan. Misalnya orang yang diberitahu bahwa salah seorang warganya
meninggal dunia, melalui saluran komunikasi, seperti dalam bentuk lisan atau bukan lisan seperti bunyi bedug dengan
pukulan dan irama tertentu, atau lambang-lambang, seperti bendera merah atau hijau di depan rumah, dan lainnya.
Akibatnya penerima komunikasi akan menafsir pesan komunikasi dalam bentuk lisan dan bukan lisan tadi, kemudian
datang bertakziah ke tempat warganya yang meninggal dunia.
Fungsi komunikasi lainnya adalah mendidik. Artinya adalah bahwa komunikasi
berperan dalam konteks pendidikan manusia. Komunikasi menjadi saluran ilmu dari seseorang kepada orang
lainnya. Ilmu pengetahuan dipindahkan dari sesorang yang tahu kepada orang yang belum tahu. Berkat terjadinya
komunikasi maka kelestarian kebudayaan akan terus berlanjut antara generasi ke generasi, dan dampak akhimya
masyarakat itu cerdas dan dapat mengelola alam melalui ilmu pengetahuan.
Komunikasi juga berfungsi untuk mengubah pandangan manusia atau memujuk khlayak untuk merubah
pandangannya. Melalui komunikasi, pandangan seseorang atau masyarakat boleh diubah, dari satu pandangan ke
pandangan lain. Apakah pandangan yang lebih baik atau lebih buruk menurut stadar norma-norma sosial. Dalam
konteks bemegara misalnya, pandangan yang tak sesuai dengan ideologi negara akan boleh dipujuk untuk menuruti
ideologi yang selari dengan negara. Dalam konteks ini umumnya suatu kabinet di dalam negara, membentuk
departemen komunikasi, informasi atau penerangan. Matlamat utamanya adalah memujuk masyarakat bangsa itu
untuk menurut ideologi dan program-program pembangunan yang dianut dan dilaksanaka oleh kerajaan.
Fungsi komunikasi lainnya adalah menghibur orang lain. Maksudnya adalah bahwa melalui komunikasi
seorang penyampai atau sumber komunikasi akan menghibur orang lain sebagai penerima komunikasi, yang memang
dalam konteks sosial diperlukan. Fungsi komunikasi sebagai sarana hiburan ini akan dapat membantu seseorang atau
sekumpulan orang terhibur dari beban sosial budaya yang dialaminya. Hiburan ini dapat berupa rasa simpati sumber
kepada penerima. Bentuknya boleh saja seperti ungkapan verbal turut merasakan apa yang dirasakan penerima
komunikasi, atau juga seperti bernyanyi, bermain musik, melucu dan lain-lainnya. Dengan demikian, melalui
komunikasi terjadi hiburan, yang juga melegakan diri dari himpitan dan tekanan sosial.
Teori fungsionalisme dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting
dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski
(1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya seorang
guru besar dalam ilmu sastera Slavik. Jadi tiadalah menghairankan apabila Malinowski memperoleh pendidikan yang
kelak memberikannya suatu karir akademik juga. Tahun 1908 ia lulus dari Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari
Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan
Masyarakat Kesenian di Indonesia
dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada
Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman.
Perhatiannya terhadap folklor menyebabkan ia membaca buku J.G. Frazer, bertajuk The Golden Bough,
mengenai ilmu ghaib, yang menyebabkan ia menjadi tertarik kepada ilmu etnologi. Ia melanjutkan belajar ke London
School of Economics, tetapi karena di Perguruan Tinggi itu tak ada ilmu folklor atau etnologi, maka ia memilih ilmu
yang paling dekat kepada keduanya, yaitu ilmu sosiologi empirikal. Gurunya ahli etnologi, yaitu C.G. Seligman.
Tahun 1916 ia mendapat gelar doktor dalam ilmu itu, dengan menyerahkan dua buah karangan sebagai ganti disertasi,
yaitu The Family among the Australian Aborigines (1913) dan The Native of Mailu (1913). Kemudian ia
berangkat ke Pulau Trobiand di utara Kepulaun Massim, sebelah tenggara Papua Nugini, untuk melakukan
penelitian tahun 1914. Sehabis perang dunia pertama pada tahun 1918,
ia pergi ke Inggeris karena mendapat pekerjaan sebagai asisten ahli di London School of Economics.
Ia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia,
yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functiol theory of culture. Ia kemudian mengambil
keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia ditawari untuk menjadi guru besar antropologi di University
Yale tahun 1942. Sayang tahun itu juga ia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah
ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Caims dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang
dikembangkannya dalam syarahan-syarahannya. Isinya adalah
tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai
kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan
pranata-pranata sosial, menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi (Kaberry
1957:82), yaitu:
(1) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai
pengaruh atau efeknya terhadap adat, perilaku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
(2) Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau usur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai
pengaruh atau efeknya terhadap keperluan suatu adat
atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang
terlibat;
(3) Fungsi sosial dari suau adat atau pranata sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya
terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu.
Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhaap ilmu
psikologi juga tampak ketika ia mengujungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935.
Di sana ia berteu
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yag ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai
proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, asas dari proses belajar adalah tidak lain dari ulangan-ulangan
dari reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga
salah satu keperluan naluri dari organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau leaming theory, ini sangat menrik
perhtian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi asas pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan
berfungsi dari unsur- unsur sebuah kebudayaan.
Seperti telah dihuraikan di atas, saat Malinowski julung kali menulis karangan- karangannya tentang
pelbagai aspek masyarakat orang Trobiand sebagai kebulatan, ia
tidak sengaja mengenalkan pandangan yang baru dalam ilmu antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmu
itu memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang
fungsi dari unsur-usur kebudayaan manusia. Dengan demikian, dengan menggunakan leaming theory sebagai
asa, Malinowski mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit selepas ia meninggal dunia. Bukunya
bertajuk A Scientific Theory of Culture and Other Essays (1944). Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori
tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa
segala kegiatan kebudayaan itu sebenamya bremaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keperluan naluri
makhluk manusia yang berhubungkait dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu usur
kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan keindahan;
ilmu pengetahan juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu. Namun banyak juga kegiatan
kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human
needs itu. Dengan faham ini, kata Malinowski, seseorang penyelidik boleh mengkaji dan menerangkan
banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia.
Menurut penjelasan Ihromi (1987:59-61) Melinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan
fungsionalisme, yang ditulis Malinowski dalam artikel bertajuk “The Group and the Individual in Functional
Analysis”, dalam jumal American Joumal of Sociology, jilid 44 (1939), hal. 938-964. Dalam artikel ini Malinowski
beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat.
Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan menyatakan bahwa setiap pola kelakuan yang telah
menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bahagian dari kebudayaan dalam suatu
masyarakat, yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menurut
Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk
memenuhi beberapa keperluan asas atau beberapa keperluan yang timbul dari keperluan asas yaitu keperluan
sekundari dari para warga suatu masyarakat. Keperluan pokok atau asas adalah seperti makanan, reproduksi
(melahirkan keturunan), merasa enak badan (bodily comfort), keamanan, kesantaian, gerak dan pertumbuhan.
Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi keinginan-keinginan asas itu. Untuk memenuhi keinginan asas ini,
muncul keinginan jenis kedua (derived needs), keinginan sekundari yang juga harus
Masyarakat Kesenian di Indonesia
dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur kebudayaan yang memenuhi keinginan akan makanan menimbulkan
keinginan sekundari yaitu keinginan untuk kerja sama dalam mengumpulkan makanan atau yang untuk diproduksi.
Untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan menjamin
kelangsungan kewajiban kerjasama itu. Sehingga menurut pandangan Malinowski mengenai kebudayaan, semua unsur
kebudayaan akhimya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi keinginan asas para warga masyarakat.
Malinowski percaya bahwa pendekatan fungsional mempunyai sebuah nilai praktikal yang penting. Pengertian
nili praktikal ini dapat dimanfaatkan oleh mereka yang bergaul dengan masyarakat primitif. Ia menjelaskan
sebagai berikut: “nilai yang
praktis dari teori fungsionalisme ini adalah bahwa teori ini mengajar kita tentang kepentingan relatif dari
berbagai kebiasaan yang beraneka ragam; bagaimana kebiasaan-
kebiasaan itu tergantung satu dengan yang lainnya, bagaimana harus dihadapi oleh para penyiar agama, oleh
penguasa kolonial dan oleh mereka yang secara ekonomi mengekploitasi perdagangan dan tenaga orang-orang
masyarakat primitif.” (Malinowski 1927:40-41).3
Selain Malinowski pakar teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi lainnya adalah Arthur Reginald
Radcliffe-Brown. Seperti Malinowski, ia mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep
fungsionalisme. Namun berbeda dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial,
bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justeru timbul untuk
mempertahankan strukur sosial masyarakat. Struktur sosial sesebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan
dari hubungan-hubungan sosial yang ada (Radcliffe-Brown 1952).
Sebuah contoh nyata pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah kajiannya
mengenai cara penanggulangan ketegangan sosial yang terjadi di antara orang-orang yang terikat karena faktor
perkahwinan, yang terdapat dalam pelbagai masyarakat yang berbeda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan
antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkawinan, misalnya orang beripar atau
berbesanan. Ia menjelasnkan bahwa masyarakat boleh melakukan satu dari dua cara sebagai berikut: pertama dibuat
peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan betemu muka antara orang yang mempunyai hubungan ipar
atau mertua

3
Keberatan utama terhadap teori fungsionalismenya Malinowski adalah bahwa teori ini tidak dapat memberi penjelasan
mengenai adanya aneka ragam kebudayaan manusia. Keinginan- keinginan yang diidentifikasikannya, sedikit banyak bersifat
universal, seperti keinginan akan makanan yang semua masyarakat harus memikirkannya kalau ingin hidup terus. Jadi teori
fungsionalisme memang dapat menerangkan kepada kita bahwa semua masyarakat menginginkan pengurusan soal mendapatkan
makanan, namun teori ini tak dapat menjelaskan kepada kita mengapa setiap mesyarakat berbeda pengurusannya mengenai
pengadaan makanan mereka. Dengan kata lain teori fungsionalisme tidak menerangkan mengapa pola-pola kebudayaan tertentu
timbul untuk memenuhi suatu keinginan manusia, yang sebenamya boleh saja dipeuhi dengan cara yang lain yang boleh dipilih dari
sejumlah altematif dan mungkin cara itu lebih mudah.
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
seperti halnya pada suku Indian Navajo di Amerika Serikat, yang melarang seorang menantu laki-laki bertemu muka
dengan mertua perempuannya. Kemudian, yang kedua, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti
yang terdapat pada orang- orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu mertua. Dengan
begitu, konflik antara anggota keluarga dapat dihindarkan dan norma budaya, yaitu aturan ketat pada orang Navaho
dan lelucon pada orang kulit putih Amerika, berfungsi dalam menjaga solidaritas sosial masyarakatnya.
Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsionalisme struktural adalah sulitnya menentukan apakah
suatu kebiasaan tertentu pada kenyataannya berfungsi dalam erti membantu pemeliharaan sistem sosial
masyarakat. Dalam biologi, bagaimana
sumbangan dari suatu organ terhadap kesihatan tubuh manusia atau kehidupan hewan dapat dinilai dengan
mencuba menghilangkan organ tersebut misalnya. Namun kita tidak
boleh meniadakan sesuatu unsur kebudayaan masyarakat untuk melihat apakah unsur itu memberi jasa dalam
pemeliharaan struktur masyarakatnya. Mungkin saja suatu kebiasaan tertentu tidak akan ada kaitan apa pun dengan
pemeliharaan struktur masyarakat atau mungkin bahkan merugikan. Kita tak boleh mengadakan asumsi, bahwa semua
kebiasaan dalam sesebuah masyarakat memang berfungsi hanya dengan melihat kenyataan bahwa masyarakat pada
masa itu ada dan beraktivitas. Seandainya pun kita berhasil menilai apakah sebuah kebiasaan tertentu berfungsi, namun
orientasi teoretikal ini tak kan berhasil memberikan penjelasan mengapa suatu masyarakat memilih cara pemenuhan
keperluan struktural sosial yang tertentu sifatnya. Tentu saja sesebuah masalah tertentu
tidak semestinya dipechkan menurut cara tertentu namun masih diperlukan penjelasan mengapa dipilih satu
cara dari sekian cara atau altematif yang ada.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, khususnya yang mengkaji fungsi komunikasi dalam lagu dan tari
Melayu Sumatera Utara, maka teori fungsionalisme dipergunakan untuk mengkaji bagaimana fungsi komunikasi
memenuhi keinginan masyarakat Melayu akan komunikasi antara sesama mereka. Komunikasi ini berasas dari teori
fungsionalisme Malinowski dan Radcliffe-Brown. Menurut Malinowski komunikasi melalui lagu dan tari Melayu
Sumatera Utara wujud karena komunikasi diinginkan oleh masyarakatnya, untuk menyampaikan berbagai keperluan
sosial, seperti pendidikan, tukar-menukar informasi, memberikan hiburan, mengubah pandangan, integrasi
masyarakat dan lainnya. Sementara kalau menurut teori fungsional dan struktural Radcliffe-Brown komunikasi
dalam lagu dan tari Melayu Sumatera Utara
berfungsi untuk menjaga turai atau struktur sosial, karena dalam lagu dan tari terkandung ajaran-ajaran dan
norma-norma sosial adat Melayu yang dipegang kukuh oleh orang Melayu dari generasi ke generasi. Struktur
sosial masyarakat Melayu ini termasuk di
dalamnya aspek hubungan bangsawan dan rakyat kebanyakan, antara yang tua dan muda, begitu juga
pertuturan seperti ayah, emak, oyang, piut; urutan generasi seperti ulong, andak, ngah, icik, uncu dan seterusnya.
57
Masyarakat Kesenian di Indonesia
4. Teori Evolusi
Selain itu dalam seni dipergunakan pula teori evolusi. Pada dasamya. teori evolusi menyatakan bahwa unsur
kebudayaan berkembang sejalan dengan perkembangan ruang dan waktu, dari yang berbentuk sederhana menjadi
lebih. kompleks. Teori ini dalam kesenian banyak digunakan untuk mengkaji sejarah seni. Misalnya seperti yang
dilakukan oleh Wan Abdul Kadir dari Malaysia dalam tulisannya. yang bedudul Budaya Popular dalam Masyarakat
Melayu Bandaran (1988), yang mengkaji perkembangan kebudayaan Melayu dari masa kerajaan Melayu Melaka
sampai akhir Perang Dunia Kedua--yaitu. terdiri dari masa Kerajaan Melayu Melaka 1400-an berkembang ke masa
pendudukan Pulau Pinang oleh Inggris tahun 1786, pembukaan Singapura 1819, Pemerintahan Kolonial sampai 1874,
1880-an pertumbuhan teater bangsawan, 1908 film, 1914 piringan hitam, 1930 film Melayu, dan 1930-an radio. Wan
Abdul Kadir melihat perkembangan budaya masyarakat Melayu dari yang sederhana ke yang lebih kompleks dalam
batasan waktu tahun 1400-an sampai pertengahan abad ke-20 dan berdasarkan penemuan teknologi baru.

5. Teori Difusi
Teori difusi juga dipergunakan dalam mengkaji seni. Pada prinsipnya, teori ini mengemukakan bahwa suatu
kebudayaan dapat menyebar ke kebudayaan lain melalui kontak budaya. Karena teori ini berpijak pada alasan adanya
suatu sumber budaya, maka ia sering ~isebut juga dengan teori monogenesis (lahir dari suatau kebudayaan).
Lawannya adalah teori poligenesis, yang menyatakan bahwa beberapa kebudayaan mungkin saja memiliki persamaan-
persamaan baik ide, aktivitas, maupun benda. Tetapi sejumlah persamaan itu bukanlah menjadi alasan adanya satu
sumber kebudayaan. Bisa saja persamaan itu muncul secara kebetulan, karena ada unsur universal dalam diri
manusia. Misalnya bentuk dayung perahu hampir sama di mana-mana di dunia ini. Namun itu tidak berarti bahwa
ada satu sumber budaya pembentuk dayung perahu. Teori ini banyak dipergunakan oleh para pengkaji seni yang
mencoba mencari adanya sebuah sumber budaya. Dalam kajian seni, misalnya sebagian besar peneliti percaya bahwa
zapin berasal dari Yaman. Hal ini didukung oleh fakta-fakta sejarah dan persebaran kesenian ini ke berbagai kawasan
di Nusantara.

6. Teori Siklus Kuint dan Lainnya


Dalam mengkaji timbulnya tangga nada di dunia ini, para etnomusikolog telah mencapai tahap generalisasi,
dengan menggunakan teori siklus kuint (overblown fifth). Dari bahan-bahan sejarah di China ditemui bahwa untuk
membentuk sebuah tangga nada, seorang rajanya bemama Huang Ti memerintahkan memotong bambu dalam
ukuran-ukuran tertentu berdasarkan siklus interval kuint dengan rasio matematis 3/4 dan 2/3. Di Yunani-Romawi,
India, serta Timur Tengah, tangga nada diturunkan dari alat-alat musik bersenar dengan membagi rasio panjangnya
senar. Sehingga didapati tangga nada
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
heptatonik (7 nada) yang dibagi ke dalam dua tetrakord (kumpulan empat nada tangga nada). Tangga nada jenis ini
dianalisis dalam teori devisif.
Para pengkaji seni yang meminati upacara-upacara terutama kematian, selalu menggunakan teori rites de
passages yang ditawarkan oleh antropolog Van Gennep. Bahwa sebuah kematian manusia adalah dalam kondisi
transisi dari suatu dunia ke dunia lain.
Para etnomusikolog juga dalam mengkaji struktur musik sering menggunakan teori kantometrik, yaitu sebuah
teori "general" untuk melihat bagaimana struktur umum budaya musik yang diteliti melalui 37 jenis parameter dimensi
ruang dan waktu dalam musik. Selain itu juga dipergunakan teori weighted scale, yang melihat unsur-unsur
pembentuk ,melodi, seperti: tangga nada, wilayah nada, jumlah nada , interval, kontur, formula, dan lainnya.
Para etnolog tari, dalam mcngkaji struktur tari juga selalu menggunakan teori koreometrik, yang sama
dasamya dengan kantometrik namun dipergunakan untuk mengkaji struktur tari. Unsur-unsur tari yang dibahas di
antaranya: waktu, ruang, dan tenaga.
Selain dari teori-teori ilmu sosial dan humaniora dalam kajian seni tak kalah pentingnya juga dipergunakan
teori-teori dalam ilmu eksakta. Misalnya untuk mendeskripsikan pengecoran dalam pembuatan alat-alat musik,.
dipergunakan teori reduksi oksidasi (redoks) dan sejenisnya dari ilmu kimia. Atau untuk menguji aspek akustik dan
timber bunyi alat-alat musik, biasanya dipergunakan disiplin fisika
gelombang. Salah satu karya monumental di bidang akustik musik adalah karya John Backus yang berjudul
The Acoustical Foundation ofMusic (1977).
Teori-teori yang dipergunakan dalam mengkaji seni akan terus berkembang, scsuai dengan perkembangan
pcradaban manusia di muka bumi ini. Dengan demikian, seniman dan ilmuwan seni terus ditantang untuk
mengabdikan dirinya untuk kesejahteraan umat manusia secara umum atau secara khusus kelompoknya.
Temyata ilmu-ilmu pertunjukan budaya umumnya cenderung untuk memakai pendekatan multidisiplin atau
interdisiplin. Orang-orang seni juga terbatas pengetahuannya berdasarkan latar belakang dan minat kajiannya. Untuk
itu diperlukan pemahaman lebih luas tentang teori dan metodemetode ilmu-ilmu sosial, humaniora, dan eksakta,
terutama yang dapat mengambangkan ilmu-ilmu seni pertunjukan budaya. Abad ke-21 adalah abad persaingan dan
kemitraan sekaligus. Hanya mereka yang mampu
mengkaji, mengarahkan, menerapkan kebudayaan dilandasi jiwa religiositas yang akan. mampu menjawab
tantangan jaman dan menjadi masyarakat madani. Untuk itu marilah
kita terus belajar sesuai dengan ilmu yang kita miliki, sambil mempelajari ilmu-ilmu lain--tidak tedebak dalam
cabang ilmu secara sentris. Insya Allah.

3.4 Metodologi
Masalah metodologi penelitian dalam ilmu pengetahuan seni, adalah tidak jauh berbeda dengan metodologi
penelitian bidang-bidang sains lainnya—meskipun dalam
Masyarakat Kesenian di Indonesia
aplikasinya selalu merujuk kepada konteks, latar belakang masalah, dan tujuan penelitian. Sebelum seorang penyelidik
bidang-bidang seni tertentu melakukan aktivitinya, sebaiknya ia mengenal dengan baik sains yang melingkupi kajian
seni. Begitu juga dengan berbagai pendekatan, dan konsep-konsep peristilahan yang lazim digunakan dalam
konteks kajian seni. Ilmu pengetahuan yang membidangi kajian seni dalam sejarah perkembangan sains juga relatif
baru, meskipun seni itu sendiri sama tuanya dengan eksistensi manusia. Di antara sains seni itu adalah:
etnomusikologi, antropologi teater, etnokoreologi, kajian seni pertunjukan, musikologi, media rakam dan seni rupa
(tampak).

Metodologi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek: teoretikal,
konseptual, metode dan teknikal, terutama yang umum dipergunakan dalam sains-sains kesenian. Konsep metodologi
seperti itu, selari pula dengan pendapat Gorys Keraf sebagai berikut.

Yang dimaksud dengan metodologi di sini adalah kerangka teoretis yang dipergunakan oleh
penulis untuk menganalisa, mengerjakan, atau mengatasi masalah yang dihadapi itu. Kerangka
teoretis atau kerangka ilmiah merupakan metode-metode ilmiah yang akan diterapkan dalam
pelaksanaan tugas itu. Melalui metode-metode yang digunakan, penerima usul dapat menilai apakah
dapat diharapkan hasil yang memuaskan atau tidak pada tempat, dan kondisi tertentu.

Di lain pihak penerima usul akan mendiskusikan semua tawaran yang masuk pertama-tama
dengan menilai kerangka teoretis yang disarankan untuk digunakan. Semakin komprehensif
metodologi yang diusulkan untuk mengerjakan masalah yang dihadapi itu, semakin akan meyakinkan
penerima usul. Masalah biaya dan sebagainya dapat dimasukkan dalam pertimbangan kedua (Keraf
1984:310-311).

Jadi metodologi berhubungkait dengan masala teori yang digunakan untuk mengkaji permasalahan
penelitian. Berbeda dengan metode yang maknanya sealu dikaitkan dengan masalah-masalah teknikal. Adapun
metodologi penelitian yang digunakan dalam meneliti fungsi dan bentuk komunikasi lagu dan tari Melayu Sumatera
Utara, adalah seperti yang diperturunkan berikut ini.

1. Penelitian Lapangan
Penelitian lapangan yang dimaksud di sini adalah kegiatan yang dilakukan penyelidik, yang berkaitan dengan
pengumpulan data di lapangan, yang terdiri dari pengamatan, wawancara (temu bual) dan perakaman.
(1)Pengamatan yang dilakukan adalah secara langsung, yaitu melihat langsung pertunjukan lagu dan tari
Melyu Sumatera Utara. Tujuan observasi ini adalah untuk
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
memperoleh informasi tentang kelakuan manusia seperti yang terjadi dalam kenyataan. Dengan pengamatan dapat kita
peroleh gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sosial. Berasaskan jenisnya, maka observasi yang selalu
digunakan dalam penelitian seni adalah partisipasi pengamat sebagai pertisipan (insider) yaitu sebagai anggota
masyarakat yang ditelitinya walau harus tetap menjaga jarak. Menurut S. Nasution (1989:123) keuntungan cara ini
adalah penyelidik merupakan bagian yang menyatu dari keadaan yang dipelajarinya, sehingga kehadirannya tidak
mempengaruhi keadaan itu dalam kewajarannya.
(2) Wawancara. Untuk memperoleh data-data yang tidak dapat dilakukan melalui pengamatan tersebut
(seperti konsep-konsep etnosainsnya tentang estetika),
penyelidik seni biasanya melakukan wawancara. Dalam kaitan ini yang dilakukan adalah wawancara
yang sifatnya terfokus yaitu terdiri dari pertanyaan yang tidak
mempunyai struktur tertentu, tetapi selalu terpusat kepada satu pokok yang tertentu (Koentjaraningrat
1980:139). S. Nasution membagi jenis wawancara sebagai berikut. Berdasarkan fungsinya: (a) diagnostik, (b)
terapeutik dan (c) penelitian. Berdasarkan jumlah respondennya: (a) individual dan (b) kelompok. Berdasarkan
lamanya wawancara: (a) singkat dan (b) panjang. Berdasarkan penanya dan responden: (a) terbuka, tak berstruktur,
bebas, non-direktif atau client centered dan (b) tertutup, berstruktur (S. Nasution 1989:135).

3.4.2 Metode Transkripsi


Dalam sains-sains seni, transkripsi dan analisis merupakan bagian dari kerja laboratorium (makmal).
Meskipun demikian, pentraskripsian bunyi musik atau gerak tari dapat dilakukan di lapangan pada saat melakukan
penelitian. Namun, dalam konteks pertunjukan, transkripsi secara langsung tentu lebih sulit dilakukan--
terutama karena terbatasnya waktu yang dipergunakan untuk mentranskripsi, sehingga akan menghasilkan transkripsi
yang sulit dipertanggungjawabkan ketepatannya. Oleh itu, penyelidik sebaiknya mencatat hal-hal yang dapat
mendukung transkripsi di makmal nantinya, pada saat rekaman langsung di lapangan. Seperti mencatat nama, posisi,
dan teknik pemain, seperti: teknik memukul gendang, improvisasi, cara masuk, cara membentuk tekstur, daerah
tumpuan pukulan onomatopeik gendang, tenaga, gerak, pola lantai, improvisasi dan sejenisnya.
Transkripsi merupakan pencatatan (notasi) bunyi musik atau gerak-geri tari yang dihasilkan seseorang atau
sekelompok pemusik atau penari, ke dalam bentuk lambang-lambang atau gambaran tertentu. Pada asasnya, secara
kasar bentuk-bentuk notasi musik dapat dikelompokkan kepada dua jenis: (1) notasi tablatura dan (2) notasi grafik.
Notasi tablatura merupakan cara pencatatan bunyi musik atau gerak tari yang diwujudkan ke dalam bentuk simbol,
dengan tidak mewujudkan lintasan gerakan naik turunnya frekuensi nada. Contoh notasi ini adalah nota angka Barat,
yang pada awalnya diperkenalkan oleh Guido de Arrezo dan Cheve tahun 1850. Contoh lain adalah nota dalam
musikologi Jepang, untuk nada-nada G, A, C, D, E, dan G', ditulis dengan

61
Masyarakat Kesenian di Indonesia

simbol ( ). Juga dalam musik Jawa dikenal sistem notasi kepatihan dan sari
swara yang mempergunakan angka-angka Arabik. Nota grafik merupakan sistem pencatatan bunyi musik yang
diwujudkan ke dalam bentuk simbol dengan menuruti lintasan gerak naik turunnya frekuensi nada atau lintasan
melodi (melodic line). Contoh notasi seperti ini adalah notasi balok (noten balk) Barat. Disadari bahwa selain
kelebihannya, notasi balok juga mempunyai kekurangan- kekurangan (Nettl 1946:33).
Menurut Nettl, kenyataan menunjukkan bahwa beberapa ritme dan tangga nada dari tradisi non-Barat tidak
selalu cocok dengan sistem notasi Barat--sehingga agak menyulitkan untuk memproduksi ulang kembali ke dalam
notasi konvensional. Beberapa pentranskripsi menambah simbol-simbol khusus dari notasi konvensional
tersebut, dengan simbol yang diinginkan, sesuai dengan suara yang dihasilkan. Misalnya interval yang lebih
besar dari setengah langkah ditambahi tanda "tambah" atau yang
lebih kecil ditambahi tanda "kurang" di atas notnya (Nettl 1946:31).
Untuk mendapatkan hasil transkripsi yang akurat dan objektif, dapat dipergunakan berbagai-bagai mesin
yang dapat mengukur nada dan mentranskripsi musik, seperti monokord--yaitu sebuah senar yang diregangkan
di atas sebuah vibrator yang mempunyai skala. Monokord ini mula-mula diperkenalkan oleh Jaap Kunst, yang
selanjutnya dijadikan dasar cara bekerjanya osiloskop dan komputer, alat yang lebih peka mentranskripsi bunyi
musik.
Dalam menotasikan gerak tari, umumnya penyelidik mempergunakan notasi Laban. Menurut
Hutchinson tujuan notasi Laban adalah: (1) sebagai makna
komunikasi intemasional, (2) ekuivalen terhadap notasi musik, (3) preservasi koreografi, (4) membantu
teknologi filem, (5) peralatan pendidikan gerak, (6) untuk
mengembangkan konsep-konsep gerak, (7) latihan dalam mengamati gerak, (8) peralatan untuk meneliti
gerak, (9) pengembangan profesi baru dan (10) pendirian perpustakaan tari (Hutchinson
1990: 6-10).
Selanjutnya dalam kaitannya mengkaji tari, menurut Soedarsono tampaknya orang merasa perlu
menggunakan notasi tari setelah disadari betapa pentingnya sarana dan wahana ini bagi preservasi bentuk tari. Notasi
ini diharapkan dapat menolong mengungkapkan kembali tari-tari pada masa lampau (Soedarsono 1986:34).

Assuming that we include dance as a proper subject for anthropological investigation then we
must insist that dance study conform the same standards and procedures that anthropologists use in
studying other aspects of human kind. Structure views dance from the pesrpective of form, function
from the perspective of context and contribution to context. ... Europeans emphasized form and the
Americans function. The desirability of marrying structure and function (Royce1980:37).
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
Diasumsikan bahwa kita memasukkan tari sebagai suatu subjek studi yang pantas untuk penelitian pakar
antropologi. Sementara itu kita harus menegaskan bahwa studi tari menyesuaikan diri dengan beberapa
penggunaan prosedur dan standar yang dilakukan para pakar antropologi dalam melakukan studi aspek-aspek
manusia lainnya. Struktur melihat tari dari perspektif bentuk, fungsi dari perspektif konteks dan sumbangan terhadap
konteks. Orang-orang Eropa lebih menekankan studi terhadap bentuk dan orang-orang Amerika lebih menekankan
studi terhadap fungsi, yang diinginkan adalah mengawinkan antara struktur dan fungsi.

3.4.3 Metode Penelitian


Menurut Merriam dalam etnomusikologi, dikenal istilah teknik lapangan dan metode lapangan. Teknik
mengandung arti pengumpulan data-data secara rinci di lapangan. Metod lapangan sebaliknya mempunyai cakupan
yang lebih luas, meliputi dasar-dasar teoretis yang menjadi acuan bagi teknik penelitian lapangan. Teknik
menunjukkan pemecahan masalah pengumpulan data hari demi hari, sedangkan metode mencakup teknik-teknik dan
juga berbagai-bagai pemecahan masalah sebagai bingkai kerja dalam penelitian lapangan (Merriam 1964:39-40).
Selain itu dalam penelitian seni dikenal metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif pada
hakekatnya bertujuan untuk mencari makna-makna yang terkadung dari kegiatan atau artifak tertentu. Selanjutnya
peneltian kuantitatif biasanya bertujuan untuk mengukur fenomena yang ada berdasarkan rentangan-rentangan
kuantitas tertentu. Sejauh pengamatan penulis, kajian seni lebih banyak didekati oleh metode kualitatif, walaupun
demikian bukan berarti metode kuantitatif tidak diperlukan dalam mengkaji seni. Yang perlu difahami adalah kedua
metode digunakan cocok untuk membahas permasalahan apa. Misalnya untuk mengkaji seberapa banyak degradasi
jumlah ronggeng Melayu di Sumatera Utara, tentu metode yang cocok adalah metode kuantitatif. Sebaliknya untuk
mengetahui sejauh mana makna semiotis yang ingin dikomunikasikan seniman dalam pertunjukan guro-guro aron,
tentulah lebih cocok didekati dengan metode kualitatif. Dalam konteks penelitian tertentu, bahkan kedua-dua
metode diperlukan.
Denzin dan Lincoln menyatakan secara eksplisit tentang penelitian kualitatif berdasarkan sejarah
perkembangan ilmu pengetahuan, terutama dalam aliran Chicago, di bidang disiplin antropologi sebagai berikut.

QUALITATIVE [sic.] research has a long and distinguished history in human disiplines. In
sociology the work of the "Chicago school" in the 1920s and 1930s established the importance of
qualitative research for the study of human group life. In anthropology, during the same period,
... charted the outlines of the field work method, where in the observer went to a foreign setting
to studycustoms and habits of another society and culture. ...Qualitative research is a field of inquiry
in its own right. It crosscuts disiplines, fields, and subject matter. A complex,

63
Masyarakat Kesenian di Indonesia
interconnected, family of terms, concepts, and assumtions surround the term qualitative research
(Denzin dan Lincoln 1995:1).

Lebih jauh Nelson mentrakrifkan menegnai apa itu penelitian kualitatif itu menurut keberadaannya dalam dunia ilmu
pengetahuan adalah seperti yang diperturunkan berikut ini.

Qualitative research is an interdisiplinary, transdisi-plinary, and sometimes counterdisiplinary field. It


crosscuts the humanities and the social and physical sciences. Qualitative research is many things at
the same time. It is multiparadigmatic in focus. Its practitioners are sensitive to the value of the
multimethod approach. They are commited to the naturalistic perspective, and to the interpretive
understanding of human experience. At the same time, the field is inherently political and shaped by
multiple ethical and political positions (Nelson dan Grossberg 1992:4).

Dari kedua kutipan di atas secara garis besar dapat dinyatakan bahwa penelitian kualitatif umumnya
ditujukan untuk mempelajari kehidupan kumpulan manusia. Biasanya manusia di luar kumpulan penyelidik.
Penelitian ini melibatkan berbagai-bagai jenis disiplin, sama ada dari ilmu kemanusiaan, sosial ataupun ilmu alam.
Para penyelidiknya percaya kepada perspektif naturalistik, serta menginterpretasi untuk mengetahui pengalaman
manusia, yang oleh karena itu biasanya inheren dan dibentuk oleh berbagai-bagai nilai etika posisi politik. Namun
demikian, penelitian seni dengan metode kualitatif juga selalu melibatkan data-data yang bersifat kuantitatif. dengan
melihat kepada pemyataan S. Nasution bahwa setiap penelitian (kualitatif dan kuantitatif) harus direncanakan. Untuk
itu diperlukan desain penelitian. Desain penelitian merupakan rencana tentang cara pengumpulan dan menganalisis
data agar dapat dilaksanakan secara ekonomis serta serasi dengan tujuan penelitian itu. Dalam desain antara lain
harus dipikirkan: (a) populasi sasaran, (b) metode sampling, (c) besar sampling, (d) prosedur pengumpulan data, (e)
cara-cara menganalisis data setelah terkumpul, (f) perlu tidaknya menggunakan statistik, (g) cara mengambil
kesimpulan dan sebagainya (Nasution 1982:31).
Dengan demikian, untuk mengkaji seni secara ilmiah, diperlukan teori-teori dari berbagai bidang disiplin
ilmu, baik ilmu humaniora, sosial, maupun eksakta. Sejalan dengan perkembangan zaman, sudah selayaknya teori-
teori yang dipergunakan dalam rangka mengkaji seni terus dikembangkan baik secara intensif maupun secara
ekstensif. Sesuai dengan filsafat ilmu-ilmu seni, bahwa tujuan akhir mengkaji seni adalah mengapa manusia pelaku
dan pendukung seni itu menghasilkan kesenian yang sedemikian rupa. Kajian kesenian bukan hanya sampai pada
bagaimana struktur seni itu dihasilkan manusia.

64
Bab III: Berbagai Teori dan Metode Saintifik dalam Mengkaji Kesenian
Daftar Pustaka untuk Memperdalam Kajian
Adler, Mortimer J. et al. (eds.) Encyclopaedia Britannica (Vol. XII).(Chicago: Helen Hemingway Benton).
Adshead, Janet 1988 Dance Analysis: Theoy and Practice.London: Dance Book.
Aston, Elaine dan George Savona 1991 Theatre as Sign-System:A Semiotics of Text and Performance. London dan
New York.- Routledge. (Dalam buku ini termuat analisis semiotis teater olch Tadeus Kowzan dan Patrice
pavis).
Backus, John 1977 The Acoustical Foundation of Music. New York: W.W. Norton Company.
Denzin, Norman K. dan Yvonna S. Lincoln (eds.) 1995 Handbook of Qualitative Research. Thousand Oaks, London,
dan New Delhi: Sage Publications.
Edwards, Paul et at. (eds.) 1967 The Encyclopedia ofPhilosophy (vol. I dan 2), New York
dan London: Collier Macmillan Publisher.
Kadir, Wan Abdul 1988 Budaya Popular dalam Masyarakat Melayu Banduran. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa
dan Pustaka.
Koentjaraningrat, 1980. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: Ul Press.
Kunst, Jaap, 1959. Ethnomusicology (edisi ke-3). The Hague: Martinus Nijhoff.
Kurath, Getrude Prokosch, 1986. Century of Dance Research. Arizona: Cross Cultural Dance Research.
List, George 1962, "Ethnomusicology in Higher Education." Music-Joumal. 20:20. Wachsman, K.P. 1967,
"Music." Joumal of the Folklore Institute. 6:164-191.
Marckward, Albert H. et al. (eds.)Webster Comprehensive Dictionary (Vol. 2). Chicago: Ferguson.
Merriam, Alan P. 1966, The Anthropology of Music. Chicago: North Westem University Press.
Murgiyanto, Sal. 1995, "Cakrawala Pertunjukan Budaya, Mengkaji Batas dan Arti Pertunjukan." Seni Pertunjukan
Indonesia, JumalMasyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Sadie, Stanley (ed.). 1980, The New Grove Dictionary Music and Musicians. London: Macmillan.
Schechner, Richard. 1980, The End ofHumanism: Writing on Performance. New York: PAJ Publication.
Suriasumantri, Yuyun S. 1983, Rmu dalam Perspektif. Jakarta: Yayasan Obor dan Leknas Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
Tumer, Victor. 1980, From Ritual to Theater: The Human Seriousness of Play. New
York: PAJ Publication.
Tumer Victor dan Edward M. Bruner (eds.)The Anthropology of Performance.
Urbana dan Chicago: University Illinois.

65
Masyarakat Kesenian di Indonesia

BAB IV
GAMBARAN UMUM SUKU-SUKU BANGSA DI
INDONESIA DALAM KONTEKS RAS DAN
WILAYAH BUDAYA AUSTRONESIA
4.1 Pengenalan
Tentu anda pernah mendengarkan lagu Rhoma Irama yang menceritakan tentang keberadaan penduduk
Indonesia, yang beraneka suku bangsa serta begitu besar jumlahnya. Lagu karya beliau ini, secara komunikasi, ingin
menyampaikan pesan pentingnya nasionlaisme kita sebagai satu bangsa. Kenyataan bahwa mengurus bangsa yang
besar dengan segala macam masalah besar bukan hal yang mudah. Lagu ini diciptakan pada dasawarsa 1980-an.

Seratus tiga puluh lima juta penduduk Indonesia, Terdiri dari banyak
suku bangsa itulah Indonesia, Ada Jawa, ada Batak, ada Sunda dan ada lagi
yang lainnya

Cuplikan lagu yang digubah Rhoma Irama tersebut menggambarkan bagaimana Indonesia ini dihuni oleh
berbagai macam kelompok etnik atau lazim disebut suku bangsa, atau kadang suku saja. Selain itu banyak juga lagu-
lagu nasional Indonesia menggambarkanakan keanekaagaman suku bangsa dan kekayaan serta keindahan alamnya.
Misalnya lagu kebangsaan Indonesia Raya, teksnya menggambarkan semangat nasionalisme bangsa Indonesia untuk
kejayaan Indonesia. Kemudian lagu Rayuan Pulau Kelapa menggambarkan betapa indah dan makmurnya negeri ini.
Semua ini menggambarkan betapa mereka memiliki jiwa persatuan dan kesatuan untuk membangun Indoensia yang
sejahtera berdasarkan keadilan.
Sementara itu, penyebutan suku-suku bangsa di Indonesia ini ada yang umum saja misalnya suku bangsa
Batak, suku bangsa Aceh, suku bangsa Kalimantan, dan seterusnya. Namun di sisi lain, suku-suku bangsa ini bisa juga
disebut lebih khusus lagi. Contohnya suku bangsa Aceh terdiri lagi dari suku-suku bangsa: Alas, Gayo, Simeuleu,
Aceh Rayeuk, Tamiang, Aneuk Jamee, dan seterusnya. Suku bangsa Batak terdiri dari: Karo, Pakpak-Dairi,
Simalungun, Batak Toba, Mandailing, Angkola, dan seterusnya. Selain itu ada pula suku-suku bangsa ini yang
setelahberinteraksi selama ratusan tahun membentuk kebudayaan dan kelompok etnik atau suku bangsa sendiri,
misalnya etnik Pesisir di Sumatera Utara yang secara keturunan atau garis darah adalah nenek moyangnya berasal
dari suku bangsa Batak Toba, Angkola, Mandailing, dan Minangkabau. Mereka menggunakan adat sumando, namun
berasaskan sistem garis keturunan dari pihak ayah (patrilineal). Bahasa yang digunakan adalah dekat dengan
66
Bab IV. Gambaran Umum Suku-suku Bangsa di Indonesia

bahasa Minangkabau. Adat yang dibunakan berdasar kepada konsep adat bersendikan syarak, dan syarak
bersendikan kitabullah. Artinya adat berdaarkan kepada agama Islam.
Pengelompokkan suku bangsa atau etnik ini juga sifatnya adalah lentur dan relatif. Misalnya saja, orang-
orang suku bangsa apa pun dari Indonesia, seperti Bugis,
Makasar, Bawean, Sunda, Minangkabau, Aceh, ketika hijrah ke Malaysia mereka kemudian disebut
sebagai suku bangsa atau bangsa Melayu. Dalam hal ini suku bangsa
Melayu dapat disetarakan dengan suku bangsa China dan India yang juga bermukim dan menjadi warga
negara Malaysia. Apalagi istilah Melayu ini sering juga digunakan sebagai mengidentifikasikan mereka secara ras
dan kebudayaan yang dipergunakan. Namun demikian, secara keilmuan marilah kita lihat bagaimana ilmuwan
antropologi budaya memandang ras, suku bangsa, wilayah budaya, dan sejenisnya dalam konteks Indonesia dan
4.2 Ras
sekitarnya.
Dalam ilmu antropologi, ras (race) mendapat perhatian dari para ahlinya. Yang
dimaksud dengan ras adalah ciri-ciri umum fisik manusia. Misalnya ras Kaukasoid, bermata biru, berkulit putih,
ukuran badan yang relatif besar, dan seterusnya. Ras Mongoloid, berkulit sampai sawo matang, ukuran badannya
relatif sedang, berambut hitam lurus, bundaran biji mata hitam, dan seterusnya.
Berasaskan kajian-kajian para pakar ilmu antropologi, ras di dunia ini dibagi ke dalam 10 kelompok. (1)
Yang pertama adalah ras Kaukasoid, terdiri dari: Indo-Iranian, Mediteranian, Dinarian, Alpin, Nordik, Baltik, Uralik,
dan Armenik. (2) Kedua adalah ras Mongoloid yang terdiri dari: Mongoloid Tenggara (Malayan Mongoloid),
Mongoloid Siberia Selatan, Mongoloid Asia Timur (Classic Mongoloid), Mongoloid Asia Utara, Mongoloid Kutub
(Arctic Mongoloid, atau disebut juga Classic Mongoloid, bersama dengan Mongoloid Asia Timur minus orang
Tionghoa), dan Mongoloid Amerika. (3) selanjutnya ras Negroid yang terdiri atas: Negroid Umum, Nilote, dan Negrito
(di Afrika, Andaman, dan Filipina). (4) Ras Australoid yang terdiri dari: Australoid Khusus dan Weddoid. (5) Kelima
adalah ras Polynesia. (6) Keenam adalah Ras Melanesia. (7) Yang ketujuh adalah Ras Mikronesia. (8) Kedelapan ras
Ainu yang ada di Jepang. (9) Kesembilan adalah ras Dravida di India Selatan, dan (10) adalah ras Bushmen.
Dalam konteks Indonesia atau Asia Tenggara pada umumnya, masyarakatnya memiliki ras Mongoloid
Melayu. Namun seiring datangnya migrasi dari China ke wilayah ini ada juga mereka yang memiliki ras Mongoloid
Asia Utara dan Timur. Sementara untuk wilayah budaya Papua mereka memiliki ras Melanesoid. Kadang orang-
orang Indonesia secara umum disebut rasnya ras Melayu Tua dan Melayu Muda. Di mana istilah ini merujuk keada
gelombang migrasi mereka dari daratan Asia Tenggara ke Indonesia. Ras Melayu Tua migrasi lebih dahulu, baru
disusul oleh ras Melayu Muda.
Dalam penelitian-penelitian kebudayaan, terjadi penggunaan istilah-istilah yang agak
berbeda antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmulainnya. Misalnya dalam ilmu linguistik kelompok ras
Mongoloid Melayu dan kelompok as Polinesia sering disatukan, karena secara linguistik mereka memiliki hubungan-
hubungan baik dari kosa kata struktur gramatik, semantik, sintaksis dan lainnya. Sehingga mereka disebut keluarga
ras Melayu-
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Polinesia. Dalam ilmu arkeologi pula kelompok ras Mongoloid Melayu dan ras Polinesia, sering disebut dengan
kelompok ras Melayu-Austronesia, karena adanya berbagai alur budaya yang sama dalam artifak-artifak yang mereka
tinggalkan.

Peta 1.
Persebaran Rumpun Bahasa-bahasa Austronesia

Tabel 4.1 Sepuluh Ras


1. Kaukasoid Dunia
1. Indo-Iranian 3. Negroid
2. Mediteranian 1. Negroid Umum
3. Dinarian 2. Nilote
4. Alpin 3. Negrito (Aftrika, Andaman, Filipina)
5. Nordik 4. Australoid
6. Baltik 1. Australoid Khusus
7. Uralik
2. Mongoloid 2. Weddoid
2.1 Mongoloid
8. Armenik Tenggara (Malayan 5. Polinesia
Mongoloid) 6. Melanesia
2. Mongoloid Siberia Selatan 7. Mokronesia
3. Mongoloid Asia Timur Mongoloid) (Classic
8. Ainu
4. Mongoloid Asia Utara 9. Dravidia
5. Mongoloid Kutub (Arctic Mongoloid, sering disebut 10. Bushmen
Classic Mongoloid Asia Timur minus Tionghoa)
6. Mongoloid Amerika

68
Bab IV. Gambaran Umum Suku-suku Bangsa di Indonesia
4.3 Wilayah Budaya Melayu
Secara antropologis masyarakat ras Mongoloid Melayu Asia Tenggara memiliki sebuah wilayah budaya yang
lazim disebut sebagai wilayah budaya Melayu (Malay culture area). Wilayah budaya ini, pada masa sekarang terdiri
dari pecahan-pecahan negara bangsa: Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Thailand, Vietnam, dan
Filipina. Kesatuan budaya ini telah berlaku dalam arti yang sangat luas ditinjau dari ilmu antropologi. Keadaan itu
kekal hingga sekarang, walau telah berpecah ke dalam berbagai negara bangsa, berbatasan, dan memiliki kedaulatan
nasional sendiri. Kesatuan wilayah budaya ini diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan seluruh bangsa di
dunia.
Penelitian bentuk-bentuk kebudayaan (cultural formations) oleh ahli-ahli antraopologi, di wailayah
geopolitik Asia Tenggara termasuk Taiwan adalah merupakan satu kesatuan yang dikenal sebagai wilayah kebudayaan
Melayu. Hal itu mengingatkan kita kepada kesatuan dan keutuhan wilayah budaya sejak ribuan tahun hingga kini,
sebelum dipecahkan oleh negara-negara bangsa. Orang Yunani yang mewakili sudut pandang orang Eropa kuno sejak
zaman Claudius Ptolomeus menulis kitab Geografica pada tahun 165 di Iskandariah, yang melihat kawasan ini
senagai the golden chersonese (semenanjug atau kepulauan emas). Pengetahuan tentang sumber emas di wilayah ini ,
diperoleh dari India oleh para ahli dan ilmuwan Yunani kuno.
Sementara itu, bagi ilmuwan dan agamawan India yang banyak mempengaruhi kawasan Melayu ini, dari
awal sudah mengenal wilayah kita ini sebagai suvarnabhumi (tanah emas) atau juga javadwipa (pulau Jawa) dan
svarnadvipa (pulau Sumatera). Kedatangan para pedagang Arab mengenal kesatuan wilayah ini sebagai Jawi, yang
pastinya berlandaskan tanah Jawa. Ilmuwan-ilmuwan China pula mengenal kawasan ini sebagai Nan Yang (Laut
Selatan) yang dihuni oleh manusia berkulit hitam atau k’un lun. Di zaman pengembaraan bangsa Eropa ke timur pada
abad keenam belas mereka menemukan kesatuan wilayahini sebagai kepulauan Melayu (Malay Archipelago). Sejak
akhir-akhir ini masyarakat Asia Tenggara sendiri menyebut wilayahnya sebagai Alam Melayu, Dunia Melayu atau
Nusantara (dengan mengingat cita-cita imperialisme Patih Gadjah Mada) akan kesatuan wilayah taklukan Majapahit.
Bukan sekedar persepsi luaran bangsa-bangsa dunia kuno melihat kesatuan wilayah ini, bahkan pelbagai
bahan budaya dari sejak zaman prasejarah neolitik telah memperlihatkan kesatuan wilayah berbudaya sama. Sekurang-
kurangnya antropologi ragawi (fisik) telah menggolongkan wilayah kelautan Asia Tenggara, khususnya wilayah
Melayu sebagai sebahagian dari lanskap buatan manusia Mongoloid Melayu. Secara khusus pula, para ahli linguistik
sejarawi menggolongkan manusia Austronesia (Melayu- Polinesia) sebagai pembawa peradaban pertanian ke kawasan
ini melalui migrasi utara- selatan. Hall misalnya memberikan beberapa ciri persamaan bagi manusia Austronesia yang
menghuni wilayah dari taiwan hingga seluruh Nusantara (termasuk Malaysia, Indonesia, Thailand, serta Vietnam).
Bellwood pula menganggap kelompok Austronesia juga yang menaklukkan Lautan Pasifik serta pulau Madagaskar.
Pastilah kebijaksanaan dan jenius lokal manusia Austronesia ini telah membangun sebuah peradaban
(sivilisasi) dengan memberi nama dan jati diri mereka

69
Masyarakat Kesenian di Indonesia
kepada seluruh wilayah kelautan Asi tenggara sehingga menjadi satu wilayah budaya yang sama lamanya sebelum
muncul pengaruh luar dari India, China atau Barat (Arab, Parsi, dan Eropa). Hall meletakkan ciri seperti shamanisme,
animisme, batik, gamelan, perahu, dan kerajinan logam seperti persenjataan sebagai ciri menyatukan seluruh wilayah
Nusantara. Bellwood dan W.G. Solheim melihat segala bentuk kapak batu zaman neolitikum dan tembikar. Jadi lama
sebelum terciptanya negara bangsa kesan daripenjajahan dan kolonialisme Eropa ke Dunia Melayu, seluruh wilayah ini
adalah satu wilayah yang didiami dan dibangun identitas kebudayaan dan kemanusiaannya bersama oleh orang-orang
Austronesia atau Melayu-Polinesia.
Dari kesatuan budaya ini lahir kesatuan kenegaraan yang muncul sejak abad kedua Masehi, hasil dari
perkembangan pedesaan dan penempatan di muara-muara serta kuala sungai yang kemudian menerima sekian banyak
pengaruh budaya luar, terutama India, hingga membangun negara adalah petanda kepada wujudnya peradaban tinggi
yang memerlukan organisasi besar dan luas bagi penguasaan total dan tuntas terhadap alam yang ditempatinya.
Kesatuan ini diperteguh pula oleh kesamaan akar bahasa yang terdiri dari banyak jenis dalam satu rumpun besar yang
dikenal sebagai rumpun Austronesia atau Melayu-Polinesia. Pada masa sekarang wilayah budaya Melayu yang luas ini
didukung oleh sub-sub suku bangsa yang tergabung dalam ras Melayu-Polinesia. Untuk itu perlu dikaji sejauh apa
keberadaan suku bangsa (kelompok etnik) yang ada di Alam Melayu ini.

4.2 Konsep Suku Bangsa atau Kelompok Etnik


Dalam buku-buku antropologi (misalnya Narroll 1964), kelompok etnik atau suku bangsa didefinisikan
sebagai populasi yang: (1) secara bilogis mampu berkembang biak dan bertahan; (2) mempunyai nilai-nilai budaya
yang sama dan sadar akan rasa kebersamaan dalam sebuah bentuk budaya; (3) membentuk jaringan komunikasi dan
interaksi sendiri; dan (4) menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan
dari kelompok populasi lain.
Dalam konteks menganalisis kelompok etnik ini adalah pentingnya asumsi bahwa mempertahankan batas
etnik tidaklah penting, karena hal ini akan terjadi dengan
sendirinya, akibat adanya faktor-faktor isolasi seperti: perbedaan ras, budaya, sosial,dan bahasa. Asumsiini
juga membatasi pemahaman berbagai faktor yang membentuk keragaman budaya. Ini mengakibatkan seorang ahli
antropologi berkesmpuln bahwa setiap kelompok etnik mengembangkan budaya dan bentuk sosialnya dalam kondisi
terisolasi. Ini terbentuk karena faktor ekologi setempat yang menyebabkan berkembangnya kondisi adaptasi dan
daya cipta dalam kelompok tersebut. Kondisi seperti ini telah menhasilkan suku bangsa dan bangsa yang berbeda-
beda di dunia. Tiap bangsa memiliki budaya dan masyarakat pendukung tersendiri.
Setiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai satu komunitas desa,
kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain,
bisa menampilkan suatu corak khas yang terutama terlihat oleh orang luar yang bukan warga masyarakat
bersangkutan. Seorang warga dari suatu kebudayaan yang telah hidup
dari hari ke hari di dalam lingkungan kebudayaannya biasanya tidak melihat lagi corak khas itu. Sebaliknya,
terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat corak khasnya,
Bab IV. Gambaran Umum Suku-suku Bangsa di Indonesia

terutama mengenai unsur-unsur yang berbeda mencolok dengan kebudayaan miliknya sendiri.
Corak khas sebuah kebudayaan dapat tampil karena kebudayaan itu menghasilkan
satu unsur kecil berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk yang khusus. Atau karena di antara pranata-
pranatanya ada suatu pola sosial yang khusus. Dapat juga karena warganya menganut suatu tema budaya yang khas.
Sebaliknya, corak khas dapat disebabkan karena adanya kompleks unsur-unsur yang lebih besar. Berdasarkan atas
corak khususnya tadi, suatu kebudayaan dapat dibedakan dari kebudayaan yang lain.
Pokok perhatian dari suatu deskripsi etnografi adalah kebudayaan-kebudayaan dengan corak khas seperti itu.
Istilah etnografi untuk suatu kebudayaan dengan corak khas
adalah "suku bangsa,” atau dalam bahasa Inggris ethnic group (kelompok etnik). Koentjaraningrat (1990)
menganjurkan untuk memakai istilah “suku bangsa" saja, karena istilah kelompok di dalam hal ini kurang cocok. Sifat
kesatuan dari suatu suku bangsa bukan sifat kesatuan "kelompok," melainkan sifat kesatuan "golongan."
Konsep yang tercakup dalam istilah "suku bangsa" adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran
dan identitas akan "kesatuan kebudayaan", sedangkan kesadaran dan identitas tadi seringkali (tetapi tidak selalu)
dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga. Dengan demikian "kesatuan kebudayaan" bukan suatu hal yang ditentukan oleh
orang luar, misalnya oleh seorang ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau lainnya, dengan metode-metode analisis
ilmiah, tetapi oleh warga kebudayaan itu sendiri. Dengan dernikian, misalnya kebudayaan Minangkabau merupakan
suatu kesatuan, bukan karena ada peneliti-peneliti yang secara etnografi telah menentukan bahwa kebudayaan
Minangkabau itu suatu kebudayaan tersendiri yang berbeda dari kebudayaan Jawa, Makasar, atau Bali--tetapi karena
orang-orang Minangkabau sendiri sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman budaya, yaitu budaya Minangkabau
yang mempunyai kepribadian dan jati diri khusus. Berbeda dengan budaya-budaya etnik lainnya dalam wilayah
Indonesia. Apalagi bahasa Minangkabau berbeda dengan bahasa Jawa atau Bali, maka akan lebih mempertinggi
kesadaran akan kepribadian khusus tadi.
Dalam kenyataan, konsep "suku bangsa" lebih kompleks daripada apa yang terurai di atas. Ini disebabkan
karena dalarn kenyataan, batas kesatuan manusia yang merasakan diri terikat oleh keseragaman kebudayaan itu, dapat
meluas atau menyempit, tergantung pada keadaan. Misalnya, penduduk natif Sumatera Utara yang terdiri dari orang
Karo, Simalungun, Toba, Pakpak-Dairi, Nias, Melayu, Pesisir, Lubu, Siladang, dan lainnya. Kepribadian khas dari
setiap suku bangsa ini dikuatkan olehbahasa-bahasa suku bangsa yang khusus. Walaupun demikian, kalau orang
Sumatera Utara berada di Jakarta, yang menyebabkan mereka harus berhadapan dengan kelompok lain dalam konteks
kekejaman perjuangan hidup di skota besar, maka mereka akan merasa bersatu sebagai Putra Sumatera Utara (atau
yang dikonsepkan sebagai anak Medan), dan tidak sebagai orang Karo, Simalungun, Toba, Pakpak-Dairi, Nias,
Melayu, Pesisir, Lubu, dan Siladang.

71
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa biasanya merupakan isi dari sebuah karangan etnografi.4
Namun karena ada suku bangsa yang besar sekali, yang terdiri dari berjutajuta penduduk (seperti suku bangsa Jawa),
maka ahli antropologi yang mengarang sebuah etnografi sudah tentu tak dapat mencakup keseluruhan hal etnografis
suku bangsa besar itu dalam deskripsinya. Maka biasanya ia hanya melukiskan sebagian dari kebudayaan suku bangsa
itu. Etnografi tentang kebudayaan Jawa misalnya hanya akan terbatas kepada kebudayaan Jawa dalarn suatu desa atau
beberapa desa tertentu. Atau kebudayaan Jawa dalarn suatu daerah dialek dan sosiolek Jawa yang tertentu (Pesisiran,
Kasultanan, atau Kasunanan), kebudayaan Jawa dalam suatu kabupaten tertentu, kebudayaan Jawa di pegunungan
atau kebudayaan Jawa di pantai, atau kebudayaan Jawa dalam suatu lapisan sosial tertentu.
Selain mengenai besar-kecilnya jumlah penduduk dalarn kesatuan masyarakat suku bangsa, seorang ilmuwan
antropologi tentu juga menghadapi soal perbedaan asas dan kompleksitas dari unsur kebudayaan yang menjadi pokok
penelitian atau pokok deskripsi etnografinya. Dalarn kaitan ini, para ilmuwan antropologi, sebaiknya membedakan
kesatuan masyarakat suku-suku bangsa di dunia berdasarkan kepada kriteria mata pencaharian dan sistem ekonomi,
yang mencakup enarn macarn: (1) masyarakat pemburu dan peramu, atau hunting and gathering societies; (2)
masyarakat peternak atau pastoral societies; (3) masyarakat peladang atau societies of shifting cultivators; (4)
masyarakat nelayan, atau fishing communities, (5) masyarakat petani pedesaan, atau peasant communities; dan (6)
masyarakat perkotaan yang kompleks, atau complex urban societies.
Pembatasan deskripsi tentang suatu kebudayaan suku bangsa dalam sebuah karya etnografi, memerlukan metode
dalam menentukan asas-asas pembatasan. Selain itu dibicarakan bagaimana unsur-unsur dalam kebudayaan sesuatu
suku bangsa yang menunjukkan persamaan dengan unsur-unsur sejenis dalam kebudayaan suku-suku bangsa lain.
Untuk itu dilakukan perbandingan satu dengan lain. Untuk itu perlu suatu

Etnografi berasal dari istilah ethnic yang arti harfiahnya suku bangsa dan graphein yang artinya
4

mengambarkan atau mendeskripsikan. Etnografi adalah jenis karya antropologis khusus dan penting yang
mengandung bahan-bahan kajian pokok daripengolahan dan analisis terhadap kebdayaan satu suku bangsa atau
kelompok etnik. Oleh karena di dunia ini ada suku-suku bangsa yang jumlahnya relatif kecil, dengan hanya beberapa
ratus ribu warga, dan ada pula kelompok etnik yang berjumlahrelatif besar, berjuta-juta jiwa, maka seorang antropolog
yang membuat karya etnografi tidak dapat mengkaji keseluruhan aspek budaya suku bangsa yang besar ini. Oleh karena itu,
untuk mengkaji budaya Melayu misalnya, yang mencakup berbagai negara bangsa, maka seorang antropolog boleh saja memilih
etnografi masyarakat Melayu Desa Batang Kuis, atau lebih besar sedikit masyarakat Melayu Kabupaten Serdang Bedagai, atau
masyarakat Melayu Labuhan Batu, dan seterusnya. Ada pula istilah yang mirip dengan etnografi, yaitu etnologi. Arti etnologi
berbeda denganetnografi. Istilah etnologi adalah dipergunakan sebelum munculnya istilah antropologi. Etnologi adalah ilmu yang
mempelajari manusia dan kebudayaannya di seluruh dunia, sama maknanya dengan antropologi, yang lebih lazim dipakai belakang
hari oleh para ilmuwannya atau dalam konteks sejarah ilmu pengetahuan manusia.

72
Bab IV. Gambaran Umum Suku-suku Bangsa di Indonesia

konsep yang mencakup persamaan unsur-unsur kebudayaan antara suku-suku bangsa menjadi kesatuan-kesatuan yang
lebih besar lagi. Konsep itu adalah konsep "daerah kebudayaan" atau culture area.

4.4 Konsep Daerah Kebudayaan


Sebuah "daerah kebudayaan" atau culture area merupakan penggabungan atau penggolongan (yang dilakukan
oleh ahli-ahli antropologi) dari suku-suku bangsa yang dalam masing-masing kebudayaannya yang beraneka warna.
Namun mempunyai beberapa unsur dan ciri mencolok yang serupa. Suatu sistem penggolongan daerah kebudayaan
sebenarnya adalah suatu sistem klasifikasi yang mengkelaskan beraneka warna suku bangsa yang tersebar di suatu
daerah atau benua besar, ke dalam golongan-golongan berdasarkan atas beberapa persarnaan unsur dalam
kebudayaannya. Hal ini untuk memudahkan gambaran menyeluruh dalarn rangka penelitian analisis atau penelitian
komparatif terhadap suku-suku bangsa di daerah atau benua tertentu.
Saran-saran pertama untuk perkembangan sistem culture area berasal dari seorang pelopor ilmu antropologi
Amerika, Frans Boas. Namun demikian, para pengarang
tentang kebudayaan masyarakat suku-suku bangsa Indian pribumi Benua Amerika abad ke-19 telah
mempergunakan sistem klasifikasi berdasarkan daerah-daerah geografi di
Benua Amerika yang menunjukkan banyak persamaan dengan sistem klasifikasi culture area di Amerika Utara
yang kita kenal sekarang. Walaupun benih-benih untuk sistern klasifikasi culture area itu sudah lama ada pada para
pengarang etnografi di Amerika Serikat, tetapi murid Boas, bernama C. Wissler, adalah yang membuat konsep itu
populer, terutama karena bukunya The American Indian (1920). Dalam karya ini Wissler membicarakan berbagai
kebudayaan suku bangsa Indian Amerika Utara dalam sembilan buah culture area.
Suatu daerah kebudayaan terbentuk berdasarkan atas persamaan dengan sejumlah ciri mencolok dalam
kebudayaan-kebudayaan yang membentuknya. Ciri-ciri yang
menjadi alasan untuk klasifikasi itu tidak hanya berwujud unsur kebudayaan fisik saja, seperti alat-alat
berburu, alat-alat bertani, alat-alat transpor, senjata, bentuk-bentuk
ornamen perhiasan, bentuk-bentuk dan gaya pakaian, bentuk-bentuk tempat kediaman, alat-alat musik, propeti
tari dan teater, dan sebagainya, tetapi juga unsur-unsur kebudayaan yang lebih abstrak dari sistem sosial atau sistem
budaya, seperti unsur-unsur organisasi kemasyarakatan, sistem perekonomian, upacara-upacara keagamaan, cara
berpikir, filsafat, adat-istiadat, dan lainnya. Ciri-ciri mencolok yang sama dalam berbagai kebudayaan menjadi alasan
untuk klasifikasi. Biasanya hanya beberapa kebudayaan di pusat dari suatu culture area itu menunjukkan persamaan-
persamaan besar dari unsur-unsur alasan tadi. Semakin kita menjauh dari pusat, makin berkurang pula jumlah unsur-
unsur yang sama, dan akhirnya persamaan itu tidak ada lagi, sehingga pengkaji masuk ke dalarn culture area tetangga.
Dengan demikian, garis-garis yang membatasi dua
culture area itu tidak pernah terang, karena pada daerah perbatasan itu unsur-unsur dari kedua culture area itu
selalu tampak tercampur.
Sifat kurang eksak dari metode klasifikasi culture area tadi telah menimbulkan banyak kritik dari kalangan
Masyarakat Kesenian di Indonesia
ini memang telah lama dirasakan oleh para sarjana, dan suatu verifikasi yang lebih mendalam rupa-rupanya tidak akan
mempertajam batas-batas dari culture area, tetapi malah akan mengaburkannya. Walau demikian, metode klasifikasi
diterapkan oleh para sarjana lain terhadap tempat-tempat lain di muka bumi, dan masih banyak dipakai sampai
sekarang karena pernbagian ke dalarn culture area itu memudahkan gambaran keseluruhan dalam hal menghadapi
suatu daerah luas dengan banyak aneka warna ke- budayaan di dalamnya. Daerah kebudayaan ini boleh saja luas atau
boleh juga lebih sempit. Contoh daerah kebudayaan Alam Melayu, mencakup Taiwan, Malaysia, Indonesia,
Thailand, Vietnam, Kamboja, Filipina, Madagaskar, dan Polinesia. Daerah kebudayaan Dunia Melayu ini boleh
diperkecil lagi menjadi daerah kebudayaan Kalimantan, daerah kebudayaan Pattani dan Kelantan, daerah kebudayaan
Minangkabau (Sumatera dan Negeri Sembilan), dan seterusnya. Kemudian perlu dideskripsikan tentang keberadaan
suku bangsa di Indonesia.

4.5 Berbagai Suku Bangsa (Etnik) di Indonesia


Menurut Koentjaraningrat (1990:300) seorang ilmuwan antropologi Indonesia sudah tentu tidak dapat
mengikuti syarat-syarat kenvensional yang lazim diterima dalam disiplin ini. Seorang ilmuwan antropologi Indonesia
wajib mengenal bentuk-bentuk masyarakat dan kebudayaan di wilayah Indonesia, di mana ia berada dan sebagai
warganya. Wilayah Indonesia ini meliputi Papua. Mengapa demikan? Dalam ilmu antropologi Papua wilayah
Indonesia dan Papua Niugini digolongkan menjadi satu dengan kebudayaan-kebudayaan penduduk Melanesia.
Dipelajari secara mendalam oleh para ahli antropologi dengan kekhususan atau kejuruan Melanesia atau Oseania.
Selain memfokuskan kajian terhadap wilayah Indonesia, seorang ilmuwan antropologi Indonesia wajib pula
mengetahui dengan mendalam menegnai berbagai masyarakat dan kebudayaan di wilayah negara tetangga, yaitu:
Malaysia, Singapura, Brunai Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, dan kawasan Asia Tenggara lainnya.
Sampai sekarang ini, klasifikasi terhadap aneka warna suku bangsa di wilayah Indonesia, masihberdasarkan
kepada sistem lingkaran-lingkaran hukum adat yang awalnya disusun oleh seorang ilmuwan pakar hukum adat
Belanda Van Vollenhoven. Menurutnya lingkaran hukum adat di Indonesia terdiri dari 19 kawasan, seperti pada Peta
2 dan keterangannya berikut ini.
Dari peta 2 dapat terlihat bahwa, setiap pulau besar di Indonesia, terdiri dari berbagai lingakaran hukum adat
sekali gus suku bangsa, yang didukung oleh pulau-pulau kecil di sekitarnya. Di pulau Sumatera dan pulau-pulau kecil
di sekitarnya, terdapat suku bangsa: Aceh, Gayo-Alas-Batak, Nias dan Batu, Minangkabau, Mentawai, Enggano,
Melayu, serta Bangka dan Biliton. Di pulau Jawa dan pulau-pulau sekitarnya terdapat suku bangsa Jawa (Tengah,
Timur, Surakarta, Yogyakarta), dan Jawa Barat. Sementara Kalimantan hanya terdiri dari suku bangsa Kalimantan saja.
Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya terdiri dari: Sangir-Talaud, Gorontalo, Toraja, Sulawesi Selatan, Ternate, Ambon
Maluku, dan Kepulauan barat Daya. Kemudian disusul oleh suku bangsa dalam lingkaran hukum adat Bali dan
Lombok. Papua yang begitu besar pun hanya terdrii dari satu lingkaran hukum adat atau suku bangsa Papua (Irian).
Kemudian Nusa Timur
Bab IV. Gambaran Umum Suku-suku Bangsa di Indonesia

didiami suku bangsa Timor yang sama etnisitasnya dengan orang di negara Timor Loro Sae sekarang ini.
Mengenai lokasi suku-suku bangsa di Indonesia yang masih berdasar kepada peta bahasa karya J. Esser,
mesti diperhatikan bahwa terutama utuk daerah-daerah seperti
Kalimantan, Sulawesi, dan Indonesia Timur, bahkan untuk beberapa bagian Sumatera, masih menyisakan
berbagai keragu-raguan. Biasanya dalam konteks penelitian
antropologi tentang lokasi suku bangsa di Indonesia selalu terjadi perbedaan pendapat antara para ahlinya.
Demikian sekilas tentang keberadaan suku bangsa di Indonesia, yang mendukung keberadaan kesenian-kesenian yang
begitu kaya dan eksotik dari Sabang sampai ke Merauke.

Peta 2.
Lingkaran-lingkaran Hukum Adat di Indonesia

sumber: Koentjaraningrat (1990:303)


Keterangan Peta 2
1. Aceh 11. Sulawesi Selatan dan
2. Gayo-Alas 12. Ternate
Batak
2a. Nias dan Batu 13. Ambon Maluku
3.Minangkabau 3a. 13a. Kepulauan Baratdaya
Mentawai 14. Irian (Papua)
4.Sumatera Selatan 4a. 15. Timor
Enggano 16. Bali dan Lombok
5. Melayu 17.Jawa Tengah dan Timur

75
Masyarakat Kesenian di Indonesia
6. Bangka dan Biliton 18.Surakarta dan Yogyakarta
19. Jawa Barat
7. Kalimantan 8a.
Sangir-Talaud
9. Gorontalo
10. Toraja
Daftar Pustaka untuk Memperdalam Kajian
Barth, Fredrik, 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya: Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan. (Penerjemah
Nining E. Soesilo). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, UI-Press.
Barth, Fredrik, 1964. “Ethnic Processes on the Pathan-Baluch Boundary, “ dalam G. Redard (ed.), Indo Iranica.
Wiesbaden.
Cooper, J.M. , 1925. “Culture Diffussion and Culture Areas in Southern South America.”
Congress International des Americanists ke-21.
Herskovits, J.M., 1925. “A Preliminary Consideration of the Culture Areas of Africa.”
American Anthropologist, XXVI.
Koentjaraningrat, 1969. Atlas Etnografi Sedunia. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. Koentjaraningrat, 1970.
Keseragaman dan Aneka Warna Masyarakat Irian Barat.
Jakarta: Seri Monografi, LIPI Nomor 1/4.
Kroeber, A.L., 1947. “Culture Grouping in Asia.” Southwestern Journal of Anthropology, III.
Le Bar, F.M. (editor) , 1972. Ethnic Groups of Insular Southeast Asia. New Haven, Human Relations Area Files. Jilid
I : Indonesia, Andaman Islands, Madagascar; Jilid II : Philippines.

Mandelbaum, D.G. 1955. “The study of Complex Civilizations.” Yearbook of Anthropo- logy. W.L. Thomas editor,
Chicago, Wenner Gren Foundation for Anthropological Research.
Tolstov S.P. (ed.), 1954-57. Narody Mira. Izdatel’svto. Akademii Nauli SSSR. Jilid I – VIII.
Ter Haar, B., 1948. Adat Law in Indonesia. New Yor: Institute of Pacific Relations. Vayda, A.P., 1968. People and
Cultures of the Pacific: An Anthropological Reader. New
York: The Natural History ress.

76
Bab IV. Gambaran Umum Suku-suku Bangsa di Indonesia

Peta 3.
Suku-suku Bangsa di Sumatera dan Semenanjung Malaysia

sumber: Koentjaraningrat (1990:312)

77
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Keterangan Peta 3.
Ln
igkung an No Suku Bangsa Keterangan Ln
igkungan Hukum No Suku Bangsa Keterangan
Hukum Adat Pt Adat Pt

Aceh- 1 Rang Aceh -------- Aceh 15 Orang Simeuleu --------


Gayo-
Alas

Batak 2 Orang Gayo -------- Aceh 16 Orang Sichole --------


“ 3 Orang Batak -------- Mealyu 17 Orang Kedah Neg Malysia
“ 3a Orang Karo -------- “ 18 Orang Perak “
“ 3b Orang Pakpak-Dairi -------- “ 19 Orang Pattani Neg Thailand

“ 3c Orang Simalungun -------- “ 20 Orang Kelantan Neg Malaysia

“ 3d Orang Toba -------- “ 21 Orang Terengganu “

“ 3e Orang Angkola -------- “ 22 Orang Pahang “


“ 3f Orang mandailing -------- “ 23 Orang Selangor “

Mea
lyu 4 Orang Medan -------- “ 24 Orang Johor “
Minangka 5 Mn
iangkabau -------- “ 25 Keo
lmpok-keo
lmpok “
bau

“ 5a Orang Padang -------- “ Orang Melayu dan “


“ 5b Orang Rejang “ Hulu-hulu Sungai “
“ 5c Orang Neg Sembilan Neg Malaysiia “ 25a Orang Ulu Hulu Muara

Mea
lyu 6 Orang Riau -------- “ Sipongi
Sumater a -------- 25b Orang Lubu --------

Selatan 7 Orang Jambi -------- -------- 25c Orang Sakai Rokan Siak
“ 8 Orang Palembang -------- Huu
l

“ 8a Orang Palembang -------- -------- 25d Orang Mamak Indragiri Hulu


Kota

“ 8b Penduduk Musi Hulu -------- -------- 25e Orang Kubu Musi Hulu

“ 8c Orang Komering -------- -------- 25f Orang Abung Wai Abung Hulu

“ 8 Orang Bengkulu -------- -------- 26 Orang Akit Orang Negrito

“ 10 Orang Lampung Mea


lyu 27 Orang Laut --------

“ 1 Orang Jawa Orang “ 27a Orang Utan Hilir Siak Kampar


transmigras i

78
“ 12 Orang Enggano -------- “ 27b Orang Benua Kepulauan Riau
Bab IV. Gambaran Umum Suku-suku Bangsa di Indonesia
Peta 4.
Suku-suku Bangsa di Jawa dan Kalimantan

sumber: Koentjaraningrat (1990:314)

Keterangan Peta 4
Peta penduduk Kalimantan sebenarnya hanya terutama memuat golongan- golongan bahasa saja. Karena
kelompok-kelompok penduduk yang khusus belum diteliti persebaranna secara tepat. Buku-buku yang mencoba
membuat peta menyeluruh tentang Kalimantan dengan memuat suku-suku bangsa khusus sudah dianggap usang. Lagi
pula buku-buku itu mengandung berbagai kontradiksi. Demikian pula suku-suku bangsa Kalimantan yang dimuat
dalam Adatrechtbundels, III (1917) dan yang berdasarkan peta- peta atau uraian-uraian dalam buku-bukutua tadi
membutuhkan
Lingkungan Hukum revisi.
No Pt Suku Bangsa Keterangan Lingkungan Hukum No Pt Suku Bangsa Keterangan
Adat Adat
Jawa Barat 31 Orang Jakarta -------- Kalimantan 49 Orang Basep Kelompok Pengembara

“ 32 Orang Banten -------- 50 Orang Kenya --------


“ 33 Orang Badui -------- 51 Orang Bahau --------
“ 34 Orang Sunda -------- 52 Orang Kayan Kelompok Pengembara

79
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Jawa Tengah Timur 35 Orang Jawa -------- 53 Orang Ukit --------

“ 36 Orang Madura -------- 54 Orang Iban --------


Bali Lombok 37 Orang Bali -------- 55 Orang Ulu Aer --------
“ 38 Orang Sasak -------- 56 Melanau Kelompok Pengembara

Jawa Tengah Timur 39 Orang Bawean -------- 57 Orang Busang --------


Kalimantan
“ 40 Orang Tambus -------- 58 Orang Mbaluh --------
Melayu 41 Orang Pontianak -------- 59 Orang Sekadau --------

Kalimantan 42 Orang Kota -------- 60 Orang Klemantan Kalimantan


Waringin
“ 43 Orang banjarmasin -------- 61 Orang Ot Danum Kalimantan

“ 44 Orang Samarinda -------- 62 Orang Punan Kelompok Pengembara

“ 45 Orang Tarakan -------- 63 Orang Lawasang --------


Peta 5.
“ 46 Orang Suku
Murut Bangsa di Sulawesi,
-------- Nusa Tenggara Timur, dan
64 Maluku
Orang Maanyan Kalimantan
“ 47 Orang Dusun -------- 65 Orang Ngaju Kalimantan
“ 48 Orang Bulungin --------

80
Bab IV. Gambaran Umum Suku-suku Bangsa di Indonesia

Peta 6.
Suku-suku Bangsa di Papua dan Papua Nugini

81
Masyarakat Kesenian di Indonesia

82
Bab IV. Gambaran Umum Suku-suku Bangsa di Indonesia
Keterangan Peta 6

83
Masyarakat Kesenian di Indonesia

BAB V MASYARAKAT
DAN KESENIAN NANGGROE
5.1 Pengantar
ACEH DARUSSALAM
Pada masa akhir ini, manusia di seluruh dunia dihadapkan dengan berbagai peristiwa dan masalah, baik
dalam skala regional maupun global. Tantangan itu berdensitas adat, terlebih-lebih setelah selesainya era perang
dingin antara blok sosialis- komunis dengan liberalis. Tantangan itu berupa ideologis, ekonomi, politik budaya dan
lainnya. Globalisasi adalah sebuah istilah yang populer dan banyak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh
masyarakat di Nusantara sampai sekarang ini. Istilah ini maknanya adalah merujuk kepada adanya pengaruh dari luar
Indonesia yang bersifat global terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Nusantara. Walaupun pengaruh dari
masyarakat lain selalu ada dan tidak pernah behenti sejak dulu, namun sekaranglah masanya istilah globalisasi
menemukan bentuknya yang istimewa dan khas, karena besarnya dampak yang ditimbulkan. Proses saling
mempengaruhi adalah gejala yang wajar dalam interaksi antar masyarakat manusia di dunia ini. Melalui interaksi
dengan berbagai masyarakat lain, masyarakat Nusantara telah menalami proses saling mempengaruhi dan
dipengaruhi.
Secara prinsipil kalau kita memiliki identitas budaya yang kuat, pengaruh dunia luar adalah seauatu yang
wajar dan tidak perlu ditakutkan. Pengaruh ini tentu saja mempunyai dua sisi, yaitu positif dan negatif. Misalnya
adalah bagaimana kita dapat mengelola berbaai pengaruh untuk ke arah polarisasi yangbaik, yang dipandu oleh wahyu
dan akl sekali gus. Pengaruh yang dihasilkan oleh globalisasi meliputi segala aspek kehidupan masyarakat. Salah
satunya adalah kebudayaan masyarakat Nusantara.
Globalisasi sebagai sebuah gejala tersebarnya nlai-nilai dan budaya tertentu ke seluruh dunia (sehingga
menjadi budaya dunia atau world culture telah terlihat sejak lama. Embrio dari persebaran budaya dunia ini dapat
ditelusuri dari perjalanan penjelajah Eropa Barat ke berbagai tempat di dunia ini.
Perjalanan mereka diikuti oleh perjalanan besar-besaran bangsa Eropa Barat ke Asia, Afrika, Amerika, dan
Australia. Mereka tidak saja sebagi turis dan pengembara, tetapi orang-orang yang mencari daerah-daerah baru
yang akan memberikan sumber-
sumber kekayaan yang baru pula. Perjalanan tersebut diakhiri dengan menjajah (menduduki) wilayah
tersebut. Dengan demikian berarti terjadi kontek budaya yang amat
kompleks, yang membawa dampak besar. Tidak saja bagi bangsa-bangsa yang didatangi, tetapi juga bangsa
pendatang.
Namun demikian, sebelum penjajahan bangsa-bangsa Eropa Barat tersebut, telah terjadi proses persebaran
budaya dalam skala kecil. Budaya India dan China tersebur di Asia, sedangkan budaya Mesir dan Romawi memperluas
pengaruhnya di wilayah-wilayah sekitar Laut Tengah. Persebaran budaya tersebut dapat dikatakan berskala kecil
karena
Bab V. Aceh

pengaruh India, China, Mesir, ataupun Romawi hanyalah mencakup bagian-bagian tertentu saja dari dunia, sehingga
tidak dapat disebut sebagai globalisasi.
Interasi bangsa-bangsa Barat dengan bangsa-bansga Asia, Afrika, Amerika, dan Australia menunjukkan
dominasi budaya Barat. Bangsa-bangsa yang merupakan penduduk asli keempat benua tersebut telah berusaha untuk
menyerap nilai-nilai budaya Barat dengan cara bersikap dan bertingkah laku seperti orang Barat. Hal ini membawa
konsekuensi bahwa mereka meninggalkan sebagian, kalupun tidak sebahagian besar,
budaya asli mereka. Akibatnya adalah bangsa-bangsa di dunia semakin mirip satu sama lainnya. Proses
seperti ini sebenarnya kalau kita melihat teori biologi adalah hubungan
antara dominan dan resesif, yaitu yan resesif akan ditelan yang dominan. Proses seperti ini sama dengan
hukum rimba, kembali ke zaman-zaman manusia tanpa peradaban. Yang diinginkan adalah globalisasi yang berjalan
dengan saling pengertian akan anekaragam tetapi dalm bingkai kemitraan, bukan bingkai saling menguasai.
Globalisasi secara intensif terjadi di awal bad kedua puluh dengan berkebangnya teknologi komunikasi.
Kontak budaya tidak perlu melalui kontak fisik, karena kontak melalui medai telah dimungkinkan. Karena kontak ini
tidak bersifat fisik dan individual, maka ia bersifat massif, yang melibatkan sejumlah besar orang. Berjuta-juta warga
masyarakat terlibat dalam proses komunikasi global tersebut pada satu ketika dan dalam
waktu yang bersamaan, yang berarti berjuta-juta pula menerima informasi, dan terkena dampak komunikasi
tersebut. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila globalisasi
berjalan dengan cepat dan massal, sejalan dengan berkembangnya teknologi komunikasi modern, melalui
radio, mesin cetak, televisi, satelit televisi, dan kemudian internet.
Kemajuan teknologi komunikasi telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hipang dan tak berguna. John
aisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari
fenomena globalisasi. Naisbitt lebih lanjut mengemukakan bahwa pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu
semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak global. Hal ini
dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang bersifat etnik, ang hanya dimilik oleh kelompok
atau masyarakat itu sendiri sebagai modal pengembangan ke dunia internasional. Dengan demikian, berpikir lokal,
bertindak global, dapat diletakkan pada masalah-masalah kesenian di Nanggroe Aceh Darussalam.

5.2 Nanggroe Aceh Darussalam


Sejarah terbentuknya Provinsi Aceh (kini Nanggroe Aceh Darussalam) dapat djelaskan bahwa pada akhir
tahun 1949 dengan Peraturan Wakil Perdana Menteri Pengganti Peraturan Pemerinah No. 8/Des/Wk.PM/1949 tanggal
17 Desember 1949 Keresidenan Aceh dikeluarkan dari Provinsi Sumatera Utara dan dibentuk menjadi provinsi
tersendiri (Provinsi Aceh yang pertama). Wilayahnya meliputi Keresidenan Aceh dahulu ditambah dengan
sebahagian Kabupaten Langkat yang terletak di luar daeah negara bagianSumatera Timur waktu itu.
Provinsi Acehini merupakan bagian dari Negara Republik Indonesia yang pada
waktu itu merupakan salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai gubernur Aceh
diangkat Teungku Muhammad Daud Beureuh, yang sebelumnya
Masyarakat Kesenian di Indonesia
adalah Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo. Dengan terbentuknya Provinsi Aceh ini, maka disusunlah
Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum yang bertingkat dan demokratis, sesuai dengan
Peraturan Daerah No. 3 tahun 1946. Segala sesuatu yang berkenaan dengan keadaan susunan pemerintahan dan
perwakilan provinsi dan kabupaten-kabupaten disesuaikan menurut Undang-undang No. 22 tahun 1948. Kemudian
dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950 dan
pernyataan bersama tangal 20 Juli 1950, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1950 yang menetapkan
bahwa daerah Republik Indonesia serikat sudah membentuk negara kesatuan yang terbagi atas 10 provinsi
administratif, di antaranya terdapat Provinsi Sumatera Utara yangeliputi daerah- daerah Keresidenan Aceh, Sumatera
Timur, dan Tapanuli dahulu. Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 5 tahun 1950
dikeluarkan oleh Pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia, dibentuklah Provinsi Sumatera Utara yang otonom
yang mulaiberlaku pada tanggal 15 Agustus 1950. Jadi sejak saat itu Aceh menjadi suatu Keresidenan Administratif
yang dikepalai oleh seorang Residen.
Disebabkan oelhe peleburan Provinsi Aceh dengan Sumatera Utara bertentangan dengan keinginan rakyat
Aceh dan sesuai dengan perubahan kebijakan pemerintah pusat, melalui Undang-undang No. 24 tahun 1956,
dibentuklah Provinsi Otonom Aceh yang kedua, yang kewilayahannya meliputi daeah bekas Keresidenan Aceh
dahulu, terlepas dari Provnsi Sumatera Utara. Provinsi Aceh ini pembentukannya didasarkan pada ndang- undang No.
22 tahun 1948, dan dengan keluarnya Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 disesuaikan menjadi Daerah Swantara
Tingkat I aceh. Berhubungan dengan pembentukan Provinsi Aceh yang baru, maka tanggal 27 Januari 1957,
bertempat di Pendopo Residen Aceh dilantiklah Gubernur Provinsi Aceh, yaitu Ali Hasymi. Bersamaan itu pula
dilakukan serah terima pemerintahan dari Gubernur Sumatera Utara, Sutan Kumala Pontas kepada Ali hasymi.
Sealnjutnya sesuai dengan tuntutan rakyat Aceh dalam rangka keamanan, pada pertangahn tahun 1959 melalui
Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/missi/1959 tertanggal 26 Mei 1959 ditetapkan bahwa Daerah
Swantara Tingkat I Aceh menjadi Daerah Istimewa Aceh, yang bermakna diakui hak otonomi seluas-luasnya, terutama
di bidang keagamaan, adat, danpendidikan. Kemudian melalui Perpres No. 6 Tahun 1960 dan Undang-undang No.
18 tahun 1965 sifat keistimewaan Aceh ditambah lagi yaitu diberi kedudukan hukum yang lebih kuat. Sampai
akhirnya terjadi reformasi sosiopolitik di Indonesia tahun 1998, yang berdampak kepada situasi di Aceh. Akhirnya
pemerintah Republik Indonesia menjadikan Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Kalipertama
pula syariat Islam diterapkan di daerahini, sebagai salah satu contoh di Indonesia. Bagaimanapun kesadaran tentang
syariat ini begitu tinggi dalam budaya Aceh, yang dipercayai sebagai sebuah solusi krisis sosiobudaya.
Nanggroe Aceh Darussalam adalah salah satu provinsi yang mendapat status otonomi istimewa. Daerah ini
terletak di bagian paling utara Pulau Sumatera. Di daerah ini pada abad kesebelas terdapat dua kerajaan Islam tertua
di Nusantara iaitu Samudera Pasai dan Perlak. Daripada daerah ini berlangsung penyebaran agama Islam ke
seluruh wilayah Nusantara. Pada saat Sultan Ali Mughayatsyah memerintah Aceh,

86
Bab V. Aceh

tahun 1514-1530, Kerajaan Aceh mencakup wilayah: Pasee, Perlak Aru, Pidie, dan Lamno (Pemerintah Daerah
Istimewa Aceh 1972:5).
Kerajaan Aceh memiliki tentara yang kuat, maka tak heran daerah Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara
sampai Melaka pernah menjadi daerah taklukannya pada abad keenam belas. Diperkirakan sebagian orang Aceh
sudah migrasi ke Sumatera Timur sejak adanya kontak antara kedua daerah ini, baik melalui penaklukan,
perdagangan, dan penyebaran agama Islam. Ulama dari Sumatera Utara yang terkenal
menjadi bagian dari ulama Kerajaan Aceh adalah Hamzah Fansuri yang berasal dari Pantai Barus
Sumatera Utara.

5.3 Masyarakat Aceh


Secara umum, masyarakat Aceh terdiri atas kelompok-kelompok etnik (suku bangsa), yaitu: (1) Aceh
Rayeuk, (2) Gayo, (3) Alas, (4) Tamiang, (5) Kluet, (6) Aneuk Jamee, dan (7) Semeulue. Keenam kelompok etnik
ini masing-masing mendiami daerah yang mereka anggap sebagai tanah leluhurnya. Daerah kebudayaan mereka ini
adalah: (1) Aceh rayeuk memiliki wilaah budaya di Utara Aceh, dengan pusatnya di Banda Aceh atau Kutaraja, (2)
etnik Alas berdiam di Kabupaten Aceh Tenggara dan sekitarnya, (3) etnik Gayo mendiami Kabupaten Aceh Tengah
dan sekitarnya, (4) etnik Kluet mendiami Kabupaten Aceh Selatan dan sekitarnya, (5) etnik Aneuk Jamee
mendiami Kabupaten Aceh Barat dan sekitarnya, (6) etnik Semeulue mendiami Kabupaten Aceh Utara dan
Kepulauan Semeulue dan sekitarnya, serta (7) etnik Tamiang mendiami Kabupaten Aceh Timur dan sekitarnya.
Etnik Tamiang secara budaya mempergunakan beberapa unsur kebudayaan etnik Melayu Sumatera Utara, dan bahasa
mereka adalah bahasa Melayu (wawancara dengan Prof. Dr. Tan Sri Kra Ali Hasymi, 1995).
Ditinjau daripada sudut geografisnya, etnik Tamiang, Kluet, Aneuk Jamee, dan Semeulue tinggal di daerah
pesisir pantai, sedangkan suku Gayo dan Alas mendiami daerah pedalaman Aceh. Letak geografis ini mempengaruhi
juga tingkat interaksi dengan berbagai budaya. Mereka yang tinggal di pesisir pantai cenderung lebih banyak
menerima unsur-unsur budaya lainnya, dibanding mereka yang tinggal di daerah pedalaman Aceh. Masing-masing
etnik ini mempunyai ciri khas budayanya.
Asal-usul orang Aceh menurut Dada Meuraxa yang termasuk rumpun bangsa
Melayu, terdiri dari suku-suku Mante, Lanun, Sakai, Jakun, Senoi, Semang, dan lainnya, yang berasal
daripada Tanah Semenanjung Malaysia. Ditinjau secara etologis mempunyai hubungan dengan bangsa-bangsa yang
pernah hidup di Babilonia yang disebut Phunisia, dan daerah antara sungai Indus dan Gangga yang disebut
Dravida (Dada Meuraxa 1974:12).
Hubungan antara Aceh dengan Dunia Melayu juga terjalin dengan akrab. Sultan pertama Negeri Deli, iaitu
Gocah Pahlawan, adalah kepercayaan Sultan Aceh, untuk memerintah Deli. Menurut sumber-sumber Deli Gocah
Pahlawan berasal dariIndia (Pelzer 1978:3).
Penguasaan wilayah jalur pantai yang terletak antara Kuala belawan dan Kuala Percut sebagai jalur yang
potensial bagi sumber ekonomi Deli oleh Gocah Pahlawan,
Masyarakat Kesenian di Indonesia

menyebabkan posisi Deli semakin menonjol. Selain itu, kekuasaan Gocah Pahlawan selaku wakil resmi Aceh didukung
oleh kekuatan (tentara) Aceh (Ratna 1990:49).5

4. Kesenian
1. Musik
Alat-alat musik tradisional Aceh, berdasarkan sistem klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel adalah sebagai
berikut. Kelompok kordofon adalah arbab yaitu sebuah spike fiddle, lute berleher panjang, yang memaminkannya
digesek. Terbuat dari tempurung kelapa, kulit kambing, kayu, dan senar dari ijuk. Fungsi utamanya adalah membawakan
melodi. Alat musik lainnya dari Aceh adalah biola Aceh, yang umum dijumpai di daerah Pidie. Alat musik ini berasal
dari Eropa. Istilah Aceh dalam musik ini, lebih menitikberatkan pada gaya musikal yang dihasilkannya. Alat musik ini
tergolong dalam klasifikasi bowed short neck lute, lute berleher pendek yang memainkannya digesek. Dalam
ensambelnya biasanya disertai sebuah gendang rapai.
Kelompok aerofon adalah bangsi Alas, yaitu jenis alat musik aerofon rekorder, yang terbuat dari bahan
bambu, dengan panjang sekitar 40 cm. Berasal dari daerah pegunungan Alas. Lagu-lagu yang biasa disajikan pada
bangsi ini adalah: Lagu Canang Ngaro, Canang Ngarak, Canang Patam-patam, Canang Jingjingtor, dan Lagu
Tangis Dillo. Alat musik lainnya dalam keluarga aerofon adalah bebelen. Alat musik ini termasuk ke dalam
klasifikasi aerofon reed tunggal, lima lobang nada, dan ujungnya memiliki bell. Alat musik Aceh lainnya adalah
bensi. Alat musik ini tebuat dari bambu, termasuk kelas rekorder, dengan enam lobang nada. Kemudian alat musik
aerofon tradisional Aceh lainnya disebut dengan bereguh. Alat musik ini terbuat dari tanduk kerbau, yang dijumpai
di daerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan lainnya. Termasuk ke dalam aereofon trumpet. Fungsi utamanya adalah
untuk komunikasi antar warga masyarakat di hutan. Alat musik lainnya adalah buloh meurindu, yaitu alat musik
aerofon lidah tunggal, yang terbuat dari bambu. Alat musik lainnya adalah lole yaitu aerofon lidah ganda yang
terbuat dari batang padi. Alat musik lainnya adalah Seurune
Kalee, sebuah serunai (shawm) yang sangat terkenal di daerah Aceh.
Kelompok alat-alat musik idiofon, adalah canang kayu, yaitu termasuk ke dalam klasifikasi alat musik xilofon
dari Aceh. Bentuk lainnya adalah canang trieng yaitu canang yang terbuat dari bambu. Kemudian alat musik lainnya
celempong, yaitu alat musik xilofon yang terbuat dari tujuh bilahan kayu tampu dan kayu senguyung. Lagu- lagu yang
biasa disajikan oleh alat musik ini adalah Cico Mandi, Kuda Lodeng, Buka Pintu, Nyengok Bubu, dan Cik Siti.
Celempong juga digunakan mengiringi tari Inai. Alat

Dalam konteks kesenian Melayu di Sumatera Utara, masyarakat Acheh juga banyak yang terlibat menjadi
5

seniman-seniman Melayu di kawasan ini. Mereka ada pula yang menjadi guru tari dan muzik. Atau bahkan sebagai
ketua kelompok kesenian Melayu di kawasan Sumatera Utara. Misalnya saja Manchu, Hj. Jose Rizal Firdaus dan lain-
lainnya. Selain itu kesenian Melayu ini didukung pula oleh etnik Melayu Minangkabau yang ada di Sumatera Utara.
Bab V. Aceh
musik lainnya adalah doal, yaitu sebuah gong kecil terbuat dari kuningan, berasal dari Aceh Singkil. Alat musik
berikutnya adalah genggong termasuk dalam klasifikasi jew’s harp. Kemudian alat musik lainnya adalah kekepak, yaitu
alat musik jenis slit gong (seperti kentongan). Alat musik berikutnya adalah ketuk, yaitu alat musik idiofon yang
terbuat dari dua ruas bambu, satu ruas untuk resonator, dan satu ruas yang dibagi dalam dua kerat untuk dipukul. Alat
musik jenis gong disebut dengan memong, yang biasanya digunakan untuk berkomunikasi, misalnya dipukul malam
hari, esok masyarakat bergotong royong. Alat musik berikutnya adalah canang, yaitu 5 gong kecil yang setiap
instrumen ini dimainkan dengan cara dipegang dan dipukul dengan pemukul, terutama oleh pihak perempuan.
Kecapi yaitu termasuk ke dalam alat musik idiokord yang terbuat dari bambu. Kecapi Oloh adalah alat musik tuber
zither yang terbuat dari bambu.
Kelompok alat musik mebranofon di antaranya adalah yang disebut dengan gegedem, yaitu alat musik
gendang satu sisi dari daerah Gayo. Alat musik lainnya adalah gendang Singkil, gendang barel dua sisi. Alat musik
berikutnya adalah geundrang, yaitu termasuk dalam klasifikasi alat musik gendang barel dua sisi dipukul dengan satu
stuk. Alatmusik lainnya adalah gendrang kaoy, alat musik gendang barel dua sisi. . Repana adalah alat musik perkusi
yang berasal dari Aceh Tengah, biasanya digunakan untuk mengiringi Tari Guwel. Alat musik lainnya adalah tambo,
gendang silindris satu sisi, selalu dijumpai di meunasah sebagai alat komunikasi.
Lagu-lagu Aceh yang terkenal adalah: Bungong Jeumpa, Bungong Keumang,
Bungong Seulanga (ciptaan A. Manua dan Anzib), Bungong Sie Yung-Yung, Cut Nyak Dhien karya T. Djohan
dan Anzieb, Dibabah Pinto, lagu populer tradisional, Doda Idi (lagu yang lazim disenandungkan oleh ibu-ibu agar
anaknya tidur), Jak Kutimang (ciptaan Anzib), Lagu Mars Iskandar Muda, Meusaree-saree, Resam Berume
(Kebiasaan Bersawah), dan lain-lain.
Dalail adalah genre musik vokal Aceh yang isi teksnya adalah ajaran-ajaran Islam. Dendang Sayang adalah
genre kesenian tradisional Aceh di daerah Tamiang, Aceh Timur, yang berbentuk ensambel, yang terdiri dari alat-alat
musik: biola, gendang, dan gong. Dipergunakan dalam berbagai aktivitas rakyat Aceh seperti upacara perkawinan,
sunat Rasul, dan lainnya.
Rebani adalah salah satu genre musik vokal diiringi gendang rebana berbentuk bingkai (frame), yang
tumbuh di Aceh Timur. Syaer adalah genre musik vokal yang
temanya adalah ajaran-ajaran Islam, terdapat di kawasan Aceh Tengah.

5.4.2 Tari
Masyarakat Aceh memiliki warisan budaya yang sangat menarik, yang pada umumnya berakar dari nilai-nilai
ajaran Islam. Ini semua bisa dilihat dari berbagai aktivitas masyarakat dalam bidang seni budaya. Misalnya pada tari-
tarian, upacara- upacar adat, tata krama pergaulan sosial, hasil kerajinan. Kesemuanya kental dengan nuansa ajaran
Islam. Aceh mengalami perkembangan kebudayaan sejak zaman dahulu kala. Ini terbukti di Aceh terdapat berbagai
macam kebudayaan daerah, seperti di Pasai, Pidie, Gayo, Alas, Lahop, Tamiang, Singkil, Tapaktuan, Meulaboh,
Simeuleu, dan lainnya.
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Masyarakat Aceh sejak dahulu hidup di bidang pertanian, perkebunan, minyak dan gas, dan lainnya. Daerah
Aceh Utara memiliki keseniannya sendiri dan begitu berkembang, seperti seni tari, drama, sastra, ukiran, pahat, dan
lainnya. Tari-tarian daerah Aceh biasanya diiringi dengan vokal, dilakukan pada malam hari, setelah musim panen di
sawah selesai. Di antara kesenian-kesenian Aceh itu adalah: seudati atau shaman, rapai Pasai, rapai dabus, rapai
lahee, rapai grimpheng, rapai pulot, alue tunjang, poh kipah, biola Aceh, meurukon, dan sandiwara Aceh. Pada masa
kini berkembang tari kreasi baru, yang berbasis dari tari-tarian tradisional. Di antara contoh tari kreasi baru adalah Tari
Ranup Lampuan, Rampoe Aceh, Pemulia Jame, Tarek Pukat, Limong Sikarang, Ramphak Dua, dan lainnya.
Tari Sudati. Seudati berasal dari kata yahadatin, yang mengandung makna pernyataan atau penyerahan diri
memasuki agama Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Tari Seudati dipertunjukkan oleh 8 orang laki-
laki dan 2 orang aneuk syeh (syahie) yang bertugas mengiringi tarian dengan syair dan lagu. Seluruh gerakan Tari
Seudati berada di bawah pimpinan seorang syeh sudati. Musik dalam Tari Seudati hanya berbetuk bunyi yang
ditimbulkan oleh hentakan kaki dan kritipan tangan penari serta tepukan dada, yang diselingi dengan irama syair
lagu dari aneuk syeh. Di dalam Tari Seudati jelas tergambar semangat perjuangan, kepahlawanan, sikap
kebersamaan, dan persatuan. Gerakannya lincah dan dinamis. Pada saat ini Tari Sudati selain berfungsi sebagai
hiburan rakyat juga merupakan simbol kekayaan seni budaya Aceh, sekali gus sebagai penyampai pesan=pesan
komunikasi pembangunan. Tarian ini juga sering dipertandingkan sampai semalam suntuk, yang juga dikenali sebagai
Tari Seudati Tunang.
Tari Poh Kipah. Tari ini merupakan seni tradisional Aceh yang menunjukkan gerakan-gerakan memukul
kipas dengan ritme yang unik dan mengagumkan. Kipas yang digunakan dalam tarian ini dijalin khusus. Terbuat dari
pelepah pinang yang terdiri dari tiga sampai empat lapis, yang menimbulkan bunyi nyaring saat dihentakkan
penarinya. Disertai dengan berbagai ritme tepukan tangan. Tari Poh Kipah ini mengandung pesan- pesan keagamaan
dan pembangunan. Lazim disajikan pada saat memperingati kelahiran Rasulullah Muhammad pada Maulid Nabi, dan
hari besar Islam lainnya.
Biola Aceh. Kesenian biola ini telah cukup lama berkembang di Aceh Utara, terutama setelah
berkembangnya Tari Seudati. Kesenian biola Aceh ini menjadi salah
satu seni hiburan rakyat yang sangat diminati. Kesenian ini dipertunjukkan oleh tiga orang pria—masing-
masing satu orang bertindak sebagai pemain bila yang disebut syeh, yang juga merangkap sebagai penyanyi. Dua
orang lagi bertindak sebagai penari dan pelawak. Keduanya bertindak sebagai linto baro, yaitu sebagai suami dan
isterinya, yang melakukan gerak tari dan banyolan. Ciri khas genre kesenian ini adalah biola dan tarian, dialog, dan
berbalas pantun dengan tema ungkapan-ungkapan yang lucu, menggelikan, dan penuh rasa humor, serta warna-warni
pakaian, sehingga membuat pertunjukan kesenian ini mengasyikkan penontonnya.
Rapai Pasai. Genre kesenian ini adalah sebuah pertunjukan yang
mengutamakan nyanyian syair yang temanya adalah keagamaan Islam dan memiliki fungsi ritual.
Komposisinya rapai kecil di depan dan rapai ukuran besar digantung di
Bab V. Aceh

belakang pemain. Rapai-rapai kecil sebagai pendukung. Seluruh pemainnya berbaris membentuk garis lengkung
dengan pakaian yang khas tradisi Aceh. Pertunjukan ini dipimpin oleh seorang khalifah dengan penyajian syair yang
sinkron dengan irama gendangnya.
Rapai Daboih. Dalam penyajian Rapai Daboih ini titik utamanya adalah pada kemahiran spiritual dalam
menggunakan senjata tajam yang ditusuk-tusukkan ke tubuh pemain tetapi atas ijin Tuhan mereka kebal. Rapai
Daboih ini selalu dipertandingkan
(urouh). Setiap kelompok biasanya terdiri dari satu kuru minimal 12 rapai dan pemainnya dan maksimal
6 kuru (60 pemain rapai). Pihak-pihak yang bertanding
membentuk lingkaran dan di antara kedua pihak dibuat tanda batas. Di tengah-tengah pemain ada seorang
khalifah yang mengangkat tangan tinggi-tinggi, dan kemudian terdengarlah teriakan melengking yang diikuti suara
pukulan gendang rapai, yang dilanjutkan dengan zikee (salam selamat datang). Pada saat-saat pukulan rapai dimulai
cepat, tampilan para pemain debus dengan kemahiran dan keberanian yang cukup tinggo dalam menggunakan senjata
tajam dan membakar diri dengan api yang membuat setiap penonton menahan nafas. Apabila ada pemain debus yang
mengalami cedera atau luka dalam atraksi tersebut, karena kesalahan dalam memukul rapai, atau pihak lain yang
ingin mencoba ilmunya, khalifah akan segera turun tangan, dengan hanya menyapu
bagian yang terluka dengan tangannya. Biasanya darah akan segera berhenti mengalir, luka itu pun akan
lenyap seketika. Pertunjukan bercanda dengan maut ini biasanya
berlangsung sampai menjelang subuh jika dilakukan pada malam hari.
Rapai Lagge. Kesenian tradisional Aceh ini berasal dari daerah Kandang, Kecamatan Muara Dua, dan Paya
Bakong, Kecamatan Mantangkuli yang biasanya ditampilkan pada upacara-upacara adat, upacara resmi pemerintahan,
serta hari-hari besar agama Islam. Fungsinya adalah hiburan rakyat yang bersifat sosial. Pertunjukan rapai ini
dipimpin oleh syeh. Para pemain terdiri dari 12 orang pemain rapai, denganpakaian khas yang berwarna menyala.
Syair yang dibawakan menyerupai syair Seudati yang bertujuan untuk membangkitkan semangat patriotisme,
persatuan, gotong-royong, serta diiringi pantun jenaka dan terkadang pantun romantis, namun tetap tak dilupakan
dasarnya agama Islam.
Bungong Seulanga adalah lagu daerah Aceh yang bersifat kreasi baru. Lagu ini populer di tengah
masyarakat Aceh, dan diajarkan di sekolah-sekolah. Lagu ini ciptaan
A. Manua dan Anzib. Bungong Seulanga yang artinya bunga kenanga, dalam budaya Aceh digemari oleh
para ibu dan gadis. Ada pula lagu yang bertajuk Bungong Sie Yungyung, yang kemudian dijadikan tajuk lagu dan
tarian. Lagu ini diciptakan oleh A. Manua tahun 1960-an. Demikian sekilas masyarakat dan seni di Nanggroe Aceh
Darussalam.

Daftar Pustaka untuk Memperdalam Kajian


Ardy, Mursalan. 1975. Peranan Adat-Agama Mewarnai Tari Tradisional Banda Aceh.
Banda Aceh: (t.p.). 91
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Barth, Fredrik, 1988. Kelompok Etnik dan Batasannya: Tatanan Sosial dari Perbedaan Kebudayaan. (Penerjemah
Nining E. Soesilo). Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, UI-Press.
Barth, Fredrik, 1964. “Ethnic Processes on the Pathan-Baluch Boundary, “ dalam G. Redard (ed.), Indo Iranica.
Wiesbaden.
Daudy, Abd Rahim, 1987. “Sejarah Tanah dan Suku Gayo,” Renggali. Jakarta. Djohan, Teuku, 1972. Lagu-
lagu Daeah Aceh. Banda Aceh: PGSLP.
Hayat, Abdul dkk. 1987. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Pusat Penelitian
Sejarah dan Budaya, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah.
Husein, Muhammad, 1970. Adat Atjeh. Banda Atjeh: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa
Atjeh.
Meuraxa, Dada, 1978. Sejarah Kebudayaan Sumatera. Medan: Hasmar.
Melalatoa, M.J., 1971. Kebudayaan Gajo. Djakarta: Koordinator Asisten Kabupaten Atjeh Tengah.
Naisbit, John, 1988. Global Paradox. London.
Ratna, 1990. Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XIX. Tesis S-2.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Talsya, T. Alibansyah, 1977. Aceh yang Kaya Budaya. Anda Aceh: Pustaka Meutia. Zainuddin, H.M. 1965.
Bungong Rampoe. Medan: Pustaka Iskandar Muda.

92
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara

BAB VI

MASYARAKAT DAN
4.1 Pengantar
KESENIAN SUMATERA
UTARA
Berbicara tentang Sumatera Utara, tak bisa dilepaskan dari komposisi penduduk dan budaya yang sangat
heterogen. Begitu juga dengan agama yang ada mencerminkan kenekaragaman dan saling toleransi. Sejak berabad-
abad keberagaman ini dijadikan potensi untuk membangun secara bersama, walau juga terjadi gesekan sosial dan friksi
tetapi tidak sampai meluas. Sumatera Utara mencermikan peradaban Nusantara yang beranekaragam namun tetap
memiliki rasa integritas dan kebersamaan.

6.2 Sumatera Utara


Dalam bahagian ini, penulis mendeskripsikan secara umum geografi dan etnografi masyarakat Sumatera
Utara,6 yang biasanya dalam konteks pemerintahan Republik Indonesia dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) delapan
etnik setempat yang terdiri dari: Melayu, Karo, Simalungun, Pakpak-Dairi-Dairi, Batak Toba, Mandailing- Angkola,
Pesisir, dan Nias; (2) etnik pendatang dari Nusantara: Minangkabau, Aceh,

6
Pada masa penjajahan Belanda, di Sumatera Utara terdapat dua provinsi (afdeeling), yaitu Sumatera Timur dan
Tapanuli. Ada perbezaan pengertian antara Sumatera Utara dengan Sumatera Timur. Wilayah Sumatera Timur (Oostkust van
Sumatra dalam Bahasa Belanda atau East Coast of Sumatra dalam Bahasa Inggeris) mencakup Provinsi Sumatera Utara
sekarang di luar Tapanuli, ditambah daerah Bengkalis Provinsi Riau--secara budaya termasuk pula Tamiang Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Lebih jauh lihat Blink, Sumatra's Oostkust: In Here Opkomst en Ontwikkelings Als Economisch Gewest,
(s'Gravenhage: Mouton & Co., 1918), pp. 1 dan 9. Kini Sumatera Utara adalah salah satu dari 33 Provinsi di Indonesia, yang
terdiri dari 26 Kabupaten dan Kota, yaitu: (1) Kabupaten Asahan, (2) Kabupaten Batubara, (3) Kabupaten Dairi,
(4) Kabupaten Deli Serdang, (5) Kabupaten Humbang Hasundutan, (6) Kabupaten Karo, (7) Kabupaten Labuhan Batu,
(8) Kabupaten Langkat, (9) Kabupaten Mandailing Natal, (10) Kabupaten Nias, (11) Kabupaten Nias Selatan, (12) Kabupaten
Pakpak-Dairi Bharat, (13) Kabupaten Samosir, (14) Kabupaten Serdang Bezagai, (15) Kabupaten Simalungun, (16) Kabupaten
Tapanuli Selatan, (17) Kabupaten Tapanuli Tengah, (18) Kabupaten Tapanuli Utara,
(19) Kabupaten Toba Samosir, (20) Kota Binjai, (21) Kota Medan, (22) Kota Padang Sidempuan,
(23) Kota Pematangsiantar, (24) Kota Sibolga, (25) Kota Tanjung Balai dan (26) Kota Tebing Tinggi.

93
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Banjar, Jawa; serta (3) etnik pendatang dari luar negeri: Tionghoa, Tamil, Benggali, dan Eropa.
Pada masa sekarang sebagian besar masyarakat Sumatera Utara, menerima cara pembagian kelompok-
kelompok etnik setempat ke dalam delapan kategori, seperti yang ditawarkan oleh pemerintah Indonesia. Keberadaan
etnik setempat dijelaskan oleh Goldsworthy sebagai berikut.

The three major [North] Sumatran ethnic groups are the Batak, coastal Malay and
Niasan ... North Sumatrans often divide the indigenous (that is, non-immigrant) population of the
province into nine more narrowly defined ethnic groups (suku-suku). ... The broad Batak ethnic group
is ussually divided into six main communities - Pakpak- Dairi Dairi, Toba, Angkola-Sipirok,
Mandailing, Karo and Simalungun. All six groups have a broadly similar social organisation
(patrilineal, exogamus dans) and related languages, but important social, religious and linguistic
differences also divide them. The sharpest linguistic division is between the Karo/Pakpak-Dairi Dairi
groups in the north and west and the Toba/Mandailing/ Angkola-Sipirok groups in the south. The
Simalungun group falls between the two extreme points of contrast (Goldsworthy 1979:6).

Tiga kelompok etnik besar Sumatera Utara adalah Batak, Melayu Pesisir, dan Nias. Orang-orang Sumatera
Utara biasanya dibagi ke dalam sembilan populasi setempat (yaitu mereka yang bukan imigran), yang biasa disebut
dengan suku-suku. Kelompok etnik Batak yang lebih luas, biasanya dibagi pada lima komunitas utama, yaitu:
Pakpak-Dairi-Dairi, Batak Toba, Angkola-Sipirok, Mandailing, Karo, dan Simalungun. Keenam komunitas utama ini
mempunyai organisasi sosial yang sama, yaitu berdasar pada sistem patrilineal dan klen yang eksogamus.7
Mereka mempunyai sistem sosial, religi, dan linguistik yang berbeda. Perbedaan linguistik paling jelas adalah antara
kelompok Karo dan Pakpak-Dairi-Dairi di utara dan barat--dengan kelompok Toba, Mandailing, Angkola, dan Sipirok
di Selatan. Simalungun berada di antara dua sistem linguistik ini.
Sumatera adalah salah satu pulau besar di Indonesia yang terdiri dari sekitar
3.000 pulau-pulau. Pulau Sumatera ini mencakup wilayah sebesar 473.606 km (Fisher 1977:455-457). Pulau
ini mempunyai panjang lebih dari 1.920 km yang membentang dari barat laut ke tenggara, dan mempunyai lebar
maksimum sebesar 384 km. Sumatera adalah pulau di sebelah barat Indonesia, yang terentang dari 6º LU
sampai 6º LS

Yang dimaksud klen eksogamus adalah sistem kemasyarakatan dalam sebuah suku, yang norma pemilihan
4

pasangan hidupnya berasal dari kelompok luar tertentu. Lihat Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1993:400). Dalam
konteks masyarakat Batak, klen yang sama dilarang kawin.

94
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
secara latitudinal dan 95º sampai 110º BT secara longitudinal (Whitington 1963:203). Sumatera juga dikelilingi
oleh pulau-pulau di sekitarnya, baik yang berdekatan dengan pantai barat ataupun timurnya. Pulau-pulau ini secara
administratif ikut ke dalam pemerintahan daerah di Sumatera. Struktur geologis Pulau Sumatera didominasi oleh
rangkaian Pegunungan Bukit Barisan. Rangkaian pegunungan ini sampai ke wilayah Selat Sunda. Sumatera dibagi
menjadi lima Provinsi atau Daerah Tingkat I. Sumatera adalah kawasan yang sangat cocok untuk bidang pertanian dan
perikanan (Whitington 1963:539). Sebahagian besar penduduk Sumatera tergolong ke dalam ras proto-Mongoloid
(Fisher 1977:456), dan berbahasa sama dengan kelompok bahasa Austronesia atau Melayu-Polinesia (Howell
1973:80-81).
Pada masa lampau, beberapa sistem klasifikasi regional dipergunakan untuk membagi wilayah secara etnik.
Provinsi Sumatera Utara misalnya pada zaman Belanda terdiri dari dua wilayah yaitu Sumatera Timur dan Tapanuli.
Namun Sumatera Timur mencakup daerah Aceh Timur (Whitington 1963:203). Dalam konteks perdagangan dunia,
Sumatera Timur sangat terkenal, mempunyai pertumbuhan ekonomi yang pesat. Sumatera Timur mempunyai beberapa
perkebunan, menghasilkan minyak bumi, dan menjadi daerah sumber devisa yang penting di Indonesia. Perdagangan
dan perikanan menjadi bidang ekonomi yang sangat penting di Pesisir Timur Sumatera Utara ini Daerah Sumatera
Timur ini awalnya dihuni oleh tiga etnik setempat, yaitu: Melayu, Karo, dan Simalungun.
Sumatera sendiri dihuni oleh beberapa kelompok etnik setempat, yaitu: Aceh, Alas dan Gayo, Batak,
Melayu, Minangkabau, Rejang, Lampung, Kubu, Nias, Mentawai, dan Enggano. Di Pesisir Timur Sumatera Utara,
yang pada masa kesultanan lazim disebut Sumatera Timur, etnik Melayu mendiami wilayah yang meliputi empat
Kabupaten, yaitu: Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Asahan, dan Labuhan Batu. Pada masa-masa pemerintahan
sistem kesultanan, etnik Melayu di Sumatera Timur ini berada dalam tiga kesultanan besar, yaitu: Langkat, Deli, dan
Serdang, dan ditambah sultan- sultan yang secara geografis dan politis lebih kecil, yaitu: Asahan, Bilah, Kotapinang,
Panai, dan Kualuh.
Wilayah Sumatera Timur terbentang dari perbatasan Aceh sampai kerajaan Siak
mempunyai batas-batas geografis sebagai berikut: (1) sebelah utara dan barat berbatasan dengan wilayah
Aceh; (2) sebelah timur berbatasan dengan Selat Melaka;
(3) sebelah selatan dan tenggara berbatasan dengan daerah Riau; dan (4) sebelah barat berbatasan dengan
daerah Tapanuli (Volker 1928:192-193). Luasnya 94.583 km2 atau sekitar 20 % dari luas pulau Sumatera (Pelzer
1985:31).

4. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara


1. Masyarakat dan Kesenian Karo
Kabupaten Karo memiliki ketinggian 140 sampai 1400 meter dari permukaan
laut. Iklimnya berkisar antara 16 sampai 27 Celsius, serta mempunyai curah hujan rata- rata 1000 mm sampai 1400
mm per tahun. Ibukota Kabupaten Karo adalah Kabanjahe, yang berjarak 76 kilometer dari Kota Medan (Pemerintah
Kabupaten Karo 1997).
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Etnik Karo mempunyai sistem kemasyarakatan yang disebut merga silima. Sistem ini adalah
pengelompokkan masyarakat ke dalam lima merga (klen) besar: (1) Ginting, (2) Sembiring, (3) Karo-karo, (4)
Sembiring, dan (5) Tarigan. Setiap merga ini terbagi lagi ke dalam merga-merga kecil.

Istilah merga berasal dari kata meherga, yang artinya adalah mahal atau berharga. Istilah ini melekat pada
lelaki yang berstatus sebagai penerus keturunan dan mewarisi nama merga. Bagi perempuan istilah yang dipergunakan
adalah beru, yang berasal dari kata mberu yang artinya adalah cantik. Selain itu, masyarakat Karo mengenal istilah
rakut sitelu, yaitu pengelompokkan tiga struktur sosial: (1) kalimbubu (fihak pemberi isteri); (2) anak beru (fihak
penerima isteri, dan (3) senina yaitu orang satu merga.
Pada masa sekarang, masyarakat Karo beragama Kristen Protestan, Katolik,
Islam, Hindu dan sebahagiannya Pemena, yaitu religi pra_Kristen dan Islam. Nilai-nilai religi Pemena ini
sebahagian ditransformasikan hingga kini. Para penganut religi Pemena mempercayai adanya pencipta alam semesta
yang disebut Dibata Kaci-kaci. Mereka juga mempercayai adanya tiga alam: (1) Banua Datas alam bagian atas
yang dikuasai oleh Dibata Datas yang bernama Guru Batara Datas; (2) Banua Tengah yang dikuasai oleh Dibata
Tengah yang bernama Tuan Paduka ni Aji, dan (3) Banua Tero yang dikuasai Dibata Teroh yang bernama Tuan Banua
Koling.
Menurut konsep religi Pemena, alam sebagai tempat kehidupan manusia terbagi atas delapan arah sesuai
dengan arah mata angin. Arah ini adalah: (1) purba (timur), (2)
aguni (tenggara), deksina (selatan), nariiti (barat daya), pusima (barat), mangadia (barat laut), batara (utara),
dan irisan (timur).
Masyarakat Karo juga cukup memberikan perhatian kepada kesenian. Misalnya dalam bidang kerajinan
adalah gundala-gundala, yaitu topeng yang menyerupai orang, tungkat (tongkat), dan alat-alat musik tradisional Karo,
yang terus lestari hingga sekarang. Djaga Depari adalah seorang komponis nasional yang berasal dari daerah Karo.
Lagu- lagu terkenal di Sumatera Utara, yang diciptakannya antara lain: Piso Surit, Famili Teksi dan Erkata Bedil.
Masyarakat Karo juga mempunyai seni suara yang disebut rende (arti harfiahnya berbyabyi). Lagu yang dinyanyikan
disebut enden/ende.
Di dalam budaya masyarakat Karo, sebutan untuk para pemusik adalah sierjabaten, yang secara denotatif
artinya adalah yang memiliki tugas. Sierjabaten terdiri dari pemain sarune, gendang singanaki, gendang
singindungi, penganak, dan gung.
Setiap pemain alat musik dalam etnosains tradisional Karo mereka memiliki nama masing-masing, yaitu:
pemain sarune disebut panarune, pemain gendang (singanaki dan
singindungi) disebut penggual, dan pemain penganak disebut simalu penganak, dan pemain gung disebut
simalu gung, serta pemain mangkuk michiho disebut simalu mangkuk michiho.
Adapun alat-alat musik ini dideskripsikan sebagi berikut. (A) Sarune, alat musik ini adalah sebagai pembawa
melodi dalam ensambel gendang lima sidalanen atau ensambel gendang sarune. Alat musik ini dapat
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
aerofon reed ganda berbentuk konis. Sarune ini terbuat dari bahan kayu mahoni (Swetenia mahagoni) atau yang
sejenisnya. Sarune ini secara taksonornis (struktural) terdiri dari: (a) anak-anak sartme, terbuat dari daun kelapa dan
embulu-embulu (pipa kecil) diameter 1 mm dan panjang 3-4 mm. Daun kelapa dipilih yang sudah tua dan kering.
Daun dibentuk triangel sebanyak dua lembar. Salah satu sudut dari kedua lembaran daun yang dibentuk diikatkan
pada embulu-embulu, dengan posisi kedua sudut daun tersebut; (b) tongkeh sarune, baggian ini berguna untuk
menghubungkan anak-anak sarune. Biasanya dibuat dari timah, panjangnya sarna dengan jarak antara satu lobarg
nada dengan nada yang lain pada lobang sartme; (c) ampang-ampang sarune, bagian ini ditempatkan pada embulu-
embulu sarune yang berguna untuk penampang bibir pada saat meniup sarune. Bentuknya melingkar dengan dimneter
3 cm dan ketebalan 2 mm. Dibuat dari bahan tulang (hewan), tempurung, atau perak; (d) batang sarune, bagian ini
adalah tempat lobang nada sartme, bentuknya konis baik bagian dalarn maupun luar. Sartme mempunyai delapan
buah lobang nada. Tujuh di sisi atas dan satu di belakang. Jarak lobang I ke lempengan adalah 4,6 cm dan jarak
lobang VII ke ujung sarune 5,6 cm. Jarak- antara tiap-tiap lobang nada adalah 2 cm, dan jarak lubang bagian belakang
ke lempengan 5,6 cm; (e) gundal sarune, letaknya pada bagian bawah batang sarune. Gundal sarune terbuat dari
bahan yang sarna dengan batang sarune. Bentak bagian dalamnya barel, sedangkan bentuk bagian luarnya. konis.
Ukuran panjang gundal sarune tergantung panjang balang sarune yaitu 5/9 cm.
(B)Gendang, alat musik gendang adalah berfungsi membawa ritme variasi. Alat ini dapat diklasifikasikan ke
dalarn kelompok membranofon konis ganda yang dipukul dengan dua stik. Dalam budaya musik Karo gendang ini
terdiri dari dua jenis yaitu gendang singanaki (anak) dan gen,ang singindungi (induk). Gendang singanaki
ditambahi bagian gerantung. Bagian-bagian gendang anak dan induk adalah sama, yang berbeda adalah ukuran dan
fungsi estetis akustiknya. Bagian-bagian gendang itu adalah: (aj tutupgendang, yaitu bagian ujung konis atus. Tutup
gendang ini terbuat dari kulit napuh (kancil). Kulit napuh ini dipasang ke bingkai bibir penampang gendang.
Bingkainya terbuat dari bambu, (b) Tali gendang lazim disebut dengan larik gendang, terbuat dari kulit lembu atau
napuh. Kayu gendang yang telah dilubangi yang disebut badan gendang terbuat dari kayu nangka (Artocarpus integra
sp). Salah satu sampel contoh ukuran untuk bagian atas gendang anak adalah 5 cm, diameter bagian bawah 4 cm dan
keseluruhan 44 cm. Ukuran gendang kecil yang dilekatkan pada gendang anak, diameter bagian atas 4 cm, diameter
bagian bawah 3 cm, dan panjang keseluruban 11,5 cm. Alat pukulnya (stik) terbuat dari kayu jeruk purut. Alat
pukul gendang keduanya sama besar dan bentuknya. Panjangnya 14 cm dan penarn.pang relatif 2 cm. Untuk
gendang indung, diameter bagian atas 5,5 cm, bagian bawah 4,5 cm, panjang keseluruhan 45,5 cm. Bahan. alat
pukulnya juga terbuat dari kayu jeruk purut. Ukuran alat pukul ini berbeda yaitu yang kanan penampanguya lebih
besar dari yang kiri, yaitu 2 cm untuk kanan dan 0,6 cm untuk ki ri. Panjang keduanya sama 14 cm.
(C)Gung dan penganak, yaitu pengatur ritme musik tradisional Karo. Gung ini diklasifikasikan ke dalarn
kategori idiofon yang terbuat dari logam yang cara memainkannya digantung. Gung terbuat dari tembaga, berbentuk
bundar mempunyai

97
Masyarakat Kesenian di Indonesia
pencu. Gung dalarn. musik tradisional Karo terbagi dua yaitu gung penganak dan gung. Salah satu contoh ukuran
gvng penganak diameternya 15,6 cm dengan pencu 4 cm dan ketebalan sisi lingkarannya 2,8 cm. Pemukulnya terbuat
dari kayu dan dilapisi dengan karet. Gung mempunyai diameter 64 un dengan pencu berdiameter 15 cm dan tebal sisi
lingkarannya 10 cm. Pemukulnya terbuat dari kayu dan dilapisi karet. (D) Mangkuk michiho, yaitu mangkuk yang
diisi air, yang fungsinya secara musikal adalah untuk membawa ritme ostinato (konstan).
Istilah landek dalam bahasa Karo adalah memiliki denotasi yang hampir sama dengan tari dalam bahasa
Indonesia. Menurut masyarakat Karo, masing-masing gerakan tari (landek) selalu berhubungan dengan perlambangan
tertentu. Masing-masing perlambangan tersebut selalu menggambarkan sifat manusia maupun hubungan seseorang
dengan orang lain di dalarn kehidupan sosialnya. Menurut Bujur Sitepu secara garis besar tari Karo dibagi ke dalam
tiga jenis, yaitu: (1) tari religius, (2) tari adat, dan (3) tari muda-mudi. Di antara tari religius adalah: tari guru, mulih-
mulih, tari tungkat, tari peselukken, dan tari tembut-tembut. Tari-tarian tersebut biasanya dibawakan oleh golongan
dukun atau guru. Tarian adat biasanya dilakukan pada upacara adat, dimana pihak-pihak yang menari adalah golongan
keluarga dekat, antara lain anak beru, kalimbubu, dan senina. Jadi tujuan tari ini adalah sebagai suatu adat dengan
penuh penghormatan. Pada tarian muda-mudi norma ritual dan religi tak begitu mengikat. Hanya usaha untuk
menunjukkan kelincahan dan keindahan menari. Tari ini lebih menekankan fungsi hiburannya, oleh karena itu sering
dilakukan bersama-sama dengan perkolong- kolong dengan membentuk pasangan menari.
Dalam setiap aktivitas tari di Karo, baik tari religius, adat, maupun muda-mudi, terdapat tiga aspek pokok
berkaitan dengan gerak tari. Ketiga aspek ini dapat dikategorikan sebagai unsur pembentuk tari Karo, yaitu gerak:
endek (turun dan naik); jole (yaitu goyangan badan); dan lempir tan (yaitu lentik jari). Sedangkan geseran kaki,
gerak pinggang, dan main mata biasanya tidak banyak dieksplorasi dan diperkenankan menurut norma adat istiadat
Karo, karena dipandang tidak sopan. Namun belakang ini, dalam budaya kontemporer Karo, terutama setelah
populernya lagu-lagu Karo yang baru, maka terciptalah beberapa tari baru dengan peraturan tertentu seperti Piso Surit,
Tari Terang Bulan, Tari Mbuah Page, dan lain-lain. Dengan demikian terjadi juga perubahan- perubahan norma
dalam budaya Karo dalam konteks global.
Di antara makna-makna perlambangan dalam tari Karo adalah sebagai berikut.
(1) Gerak tangan kiri naik, gerak tangan kanan ke bawah, melambangkan tengah rukur, maknanya adalah
menimbang-nimbang sebelum berbuat. (2) Gerakan tangan kanan ke atas, gerakan tangan kiri ke bawah
melambangkan sisampat-sampaten, maknanya adalah saling tolong-menolong dan saling membantu. (3) Gerakan
tangan kiri ke kanan ke depan melambangkan ise pe la banci ndeher adi langa sioraten, artinya siapa pun tak boleh
mendekat jika belum tahu hubungan kekerabatan, ataupun tak kenal maka tak sayang. (4) Gerakan tangan memutar
dan mengepal melambangkan perarihen enteguh, yaitu. mengutarnakan persatuan, kesatuan, dan musyawarah untuk
mencapai mufakat. (5) Gerakan tangan ke atas, melarnbangkan ise pe la banci ndeher, siapa pun tak bisa mendekat
dan berbuat secara sembarangan. (6) gerak tangan sampai ke kepala dan

98
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
membentuk posisi seperti burung merak, melambangkan beren rukur, yang maknanya adalah menimbang sebelum
mernutuskan, pikir dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. (7) Gerak tangan kanan dan kiri sampai di bahu
melambangkan beban simberat ras simenahang ras ibaba, artinya mampu berbuat harus mampu pula menanggung
akibatnya, atau berarti juga sebagai rasa sepenanggungan. (8) Gerakan tangan di pinggang melambangkan penuh
tanggung jawab. (9) Gerakan tangan kiri dan tangan kanan ke tengah posisi badan berdiri melambangkan ise pe reh
adi enggo ertutur ialo-alo alu mehuli, maknanya tanpa memandang bulu siapa pun manusianya apabila sudah
berkenalan akan diterima dengan segala senang hati.
Salah satu teater tradisional di Sumatera Utara yang cukup, terkenal dalarn konteks pariwisata adalah tembut-
tembut dari budaya Karo. Di Simalungun terdapat teater Toping-toping atau Huda-huda. Sementara dalam
kebudayaan Melayu contohnya adalah bangsawan, tonil, dan sandiwara. Pada masyarakat Toba adalah Opera Batak.
Tembut-tembut di daerah Karo yang terkenal sampai sekarang adalah yang ada di daerah Seberaya sehingga sering
disebut tembut-tembut Seberaya. Tema ceritanya adalah hiburan bagi raja yang ditinggal mati anaknya.
Bilakah terciptanya tembut-tembut Seberaya tidak dapat dipastikan secara tepat.
Narnun menurut penjelasan para infonnan, dapat diperkirakan berdasarkan tahun serta penyajiannya di
Batavia Fair yaitu tahun 1920. Berdasarkan tahun di atas, para informan memperkirakan terciptanya tembut-tembut
adalah sekitar tahun 1915. Awalnya berfungsi hiburan. Dalam arti digunakan untuk menyenangkan hati masyarakat
yang menontonnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyajiannya digunakan dalam konteks upacara ndilo
wari udan (upacara. memanggil hujan). Kapan mulai pemakaian tembut-tembut dalarn konteks ndilo wari udan pun
tidak diketahui secara pasti. Tembut-tembut Seberaya terdiri dari dua jerris karakter (perwajahan) yaitu karakter
manusia dan karakter hewan. Karakter manusia terdiri dari empat tokoh (peran) yaitu: satu bapa (ayah), satu nande
(ibu), satu anak dilaki (putra), dan satu. anak diberu (putri). Karakter binatang hanya mempunyai satu tokoh (peran)
yaitu si gurda-gurdi (burung enggang).
Jalannya pertunjukan tembut-tembut adalah dimulai dengan membawa tembut-tembut serta kelengkapannya
ke tempat penyajian. Di tempat penyajian, masing-masing pemain memakai tembut-tembut dan pakainnya sesuai
dengan perannya masing-masing. Selepas itu, pemimpin penyajian menyuruh pemain musik supaya memainkan
gendang dengan ucapan: "Palu gendang ena" artinya "Mainkan musiknya." Pemain musik memainkan gendang dan
pernain tembut-tembut mulai menari. Posisi pernain tembut-ternbut menari pada mulanya sejajar membelakangi
pernain musik. Posisi ini dipertahankan hingga pemusik memainkan dua buah lagu yaitu lagu Perang Empal Kali
dan lagu Simalungen Rayat.
Pada lagu ketiga, yaitu. lagu Kuda-kuda posisi penari i-milai berubah, pola tarinya tidak mempunyai struktur
yang baku dilakukan secara improvisasi. Penari yang memainkan karakter burung enggang selalu seolah-olah ingin
mematuk tokoh (peran) anak diberu (anak perempuan). Penari yang berkarakter ayah berusaha menghalangi
gangguan burung enggang tersebut. Bila pemain yang berkarakter ayah gagal menghalanginya maka pemain yang
berkarakter anak laki-laki datang membantu.
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Demikian lakon pemain penari dapat dilihat pada waktu pertunjukan diiringi dengan lagu Kuda-kuda dan lagu
Tembutta, tetapi gerakan tari yang diiringi lagu Tembutta lebih cepat karena meter lagu Tembutta lebih cepat
dibandingkan meter lagu Kuda-kuda.

6.4.2 Masyarakat dan Kesenian Pakpak-Dairi


Pak-pak-Dairi adalah sebuah daerah yang dihuni orang-orang suku Pakpak-Dairi dan Dairi. Walaupun
pada prinsipnya secara kebahasaan keduanya memiliki bahasa yang sama, yaitu bahasa Pakpak-Dairi, namun orang
Dairi tak mau disebut Pakpak karena memeliki konotasi “terkebelakang” aspek sosial budaya kehidupan. Orang
Pakpak tak mau disebut Dairi karena berkonotasi asal-usulnya dari daerah Toba.
Etnik Pakpak-Dairi-Dairi bertempat tinggal di sebahagian besar kawasan Kabupaten Dairi dan PakpakBharat,
yang sebahagian besar terdiri dari daratan tinggi dan bukit-bukit yang ditumbuhi pohon-pohon yang membentuk
hutan tropis. Posisi
koordinatnya terletak di antara 98 sampai 99 20’ Bujur Timur dan 20 sampai 30 15’ Lintang Utara.
Kabupaten Dairi terletak di sebelah Barat Laut Provinsi Sumatera Utara, dengan batas-batas wilayah: sebelah Utara
Kabupaten Aceh Tenggara dan Kabupaten Karo; sebelah Selatan Kabupaten Tapanuli Selatan; sebelah Barat
Kabupaten Aceh Selatan; dan sebelah Timur Kabupaten Simalungun dan Kabupaten Tapanuli Utara.
Sebelum masuknya ajaran Islam dan Kristen ke wilayah Pakpak-Dairi, pada kebudayaan masyarakat Pakpak-
Dairi terdapat beberapa bentuk kepercayaan yang berdasar kepada adanya kekuatan ghaib pada tempat-tempat
tertentu, benda-benda alam, dan alam semesta memiliki kekuatan ghaib dengan adanya dewa-dewa dan roh-roh nenek
moyang. Konsep kepercayaan akan adanya alam ghaib terbagi atas tiga bagian, yaitu: Batara Guru (Dewa Pencipta),
Tunggul ni Kuta (Dewa Penjaga Kampung), dan Berraspati ni Tanoh (Dewa yang Menguasai Tanah). Ketiga wujud
kekuatan alam ini disebut dengan Tri Tunggal Penguasa Alam. Mereka sebagai penganut kepercayaan kepada
kekuatan ghaib juga mempercayai adanya Sinaga Ale (Dewa Penguasa Air), Jandi ni Mora (Dewa Penjaga Udara)
dan Mbarla (makhluk ghaib yang menguasai ikan dalam air).
Pada tahun 1908 perkembangan agama Islam memasuki Pakpak-Dairi yang dibawa oleh Tuan Pakih Brutu
dari daerah Aceh. Pada mulanya penyebaran agama Islam selalu memberikan rangsangan di hadapan orang banyak
dengan menunjukkan kekuatan ghaib, seperti menggerakkan batu, kayu, besi, yang diletakkan di atas tanah.
Selanjutnya penyebaran agama Kristen ke wilayah Pakpak-Dairi-Dairi diawali dengan terbukanya jalan bagi
pedagang-pedagang dari Tapanuli Utara yang berdagang ulos ke daerah Simsim. Hal ini terjadi setelah tertembaknya
Sisingamangaraja XII oleh tentara Belanda pada tahun 1907 di Pea Raja Kelasen. Di antara etnik Pakpak-Dairi
terdapat 53 merga. Setiap merga mempunyai kuta (kampung) sendiri. Merga pertama yang mendirikan sebuah kuta
disebut dengan merga tano (marga tanah). Sehingga dapat disebutkan bahwa bentuk fisik sebuah merga ialah kuta.
Ada beberapa pendapat tentang asal-usul etnik Pakpak-Dairi. Berdasar cerita
rakyat, daerah Pakpak-Dairi telah ada penduduknya sebelum ada pendatang dari daerah lain. Penduduknya
disebut orang: Simbelo, Simbacang, Siratak, dan Perube Haji. Namun
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
keturunan mereka ini tidak diketahui lagi secara garis lurus, mungkin mereka telah berasimilasi dengan pendatang-
pendatang yang belakangan datang ke daerah ini dan prosesnya dalam waktu yang lama, sehingga sebutan istilah itu
tidak terdengar lagi. Ada lagi cerita yang menurut orang-orang tua di Kecamatan Sumbul, kampung Sikabong-
kabong daerah Pegagan yang menyatakan bahwa asal-usul orang Pakpak-Dairi ini mula- mula adalah manusia yang
bernama Simargarakgak kemudian keturunannya berturut- turut: Simargarikgik, Sikatikuru, Simonggar-ronggar,
Sirimmumpur, Silimumbik, Similangilang dan Purba Haji. Kemudian Purba Haji menurunkan merga-merga: Sambo,
Pardosi dan Saran.
Selain itu ada pendapat yang menyatakan bahwa di daerah Pakpak-Dairi banyak bukit yang ditumbuhi pohon-
pohon besar yang dipakpahi (dibabat) agar bersih dan rata. Orang yang memakpakhi ialah orang yang berasal dari
Silalahi Nabolak. Maka mereka yang disebut dengan Pakpak itu adalah mereka yang menggunduli bukit-bukit
tersebut. Di antara marga Ujung, Bako, Angkat dan Bintang yang menamakan dirinya suku Pakpak asli, bahwa
mereka adalah keturunan dari merga Naibaho dengan induk merga Siraja Oloan. Ada juga yang menyatakan bahwa
nenek moyang suku Pakpak-Dairi berasal dari India. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya persamaan salah satu
jenis ulos (kain) yang ada pada masyarakat Pakpak-Dairi, serupa dengan pakaian orang India yang disebut baju
martonjong.
Kedudukan seorang Pakpak-Dairi diatur berdasarkan sistem kekerabatan sosial. Terdiri dari: (1) puang yaitu
kelompok pemberi isteri; (2) berru yaitu kelompok penerima isteri; dan (3) dengan sibeltek, yaitu kelompok garis
keturunan satu merga. Sistem kekerabatan ini akan tercermin dalam menjalani aspek kehidupan bermasyarakat, sama
ada dalam upacara adat maupun ritual.
Selain hubungan sosial berasaskan ketiga golongan fungsional di atas, terdapat juga sistem kekerabatan yang
disebut sulang silima (pembagian yang lima). Realisasi dari pembagian sulang silima ini adalah pembagian jukut
(daging-daging tertentu dari seekor haiwan seperti kerbau atau lembu yang disembelih dalam konteks upacara adat).
Pembagian daging ini disesuaikan dengan hubungan kekerabatannya dengan fihak
kesukuten, yaiatu yang melaksanakan upacara. Puang mendapat bagian daging yang
paling baik seperti dada atau paha, dengan sibeltek mendapat daging yang kualitasnya di bawah fihak puang
misalnya bagian badan, dan berru mendapat bagian daging yang kualitasnya paling tidak baik, seperti kaki, leher,
sayap atau yang lainnya. Kepala untuk ketua suku atau pimpinan adat. Sisanya untuk para petugas pembagi sulang ini.
Menurut Colleman (1983:56) sebelum masa kolonialisme Belanda, kelompok etnik Pakpak-Dairi dibagi ke
dalam lima golongan (puak), yaitu: (1) Pakpak Boang yang bermastautin di Lipat Kajang dan Singkel, yang sekarang
merupakan wilayah Naggroe Aceh Darussalam bagian selatan; (2) Pakpak Kelasen yang meliputi daerah Parlilitan,
Pakkat dan Manduamas, yang saat ini menjadi bagian wilayah Tapanuli Bahagian Utara dan Tapanuli Tengah; (3)
Pakpak Kepas yang terdiri dari daerah Sidikalang, Parongil, dan
Banturaja, serta (4) Pakpak Simsim berada di Sukarame, Kerajaan, dan Salak. Selanjutnya kita lihat kesenian
masyarakat Pakpak-Dairi.
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Masyarakat Pakpak-Dairi memberi nama ende-ende terhadap sernua jenis musik vokalnya. Untuk bedakan
antara jenis nyanyian, di belakang kata ende-ende dilanjutkan dengan nama nyanyiannya. Misainya, ende-ende anak
melumang, yaitu nyanyian ratapan seorang anak ketika terkenang pada salah satu atau kedua orang tuanya yang sudah
meninggal; ende-ende merkemenjen yaitu nyanyian mengambil kemenyan; ende-ende memuro yaitu nyanyian sambil
kerja menjaga padi dan tanam-tanaman di ladang, dan lainnya. Selengkapnya nyanyian itu adalah sebagai berikut.
(a)Ende-ende merkemenjen atau disebut juga odong-odong adalah salah satu jenis nyanyian Pakpak-Dairi
yang disajikan pada waktu mengambil kemenyan di hutan.
(b)Ende-ende tangis milangi, adalah kategori nyanyian ratapan yang disajikan dengan gaya menangis.
Disebut tangis milangi karena hal-hal mengharukan yang terdapat di dalam hati penyajinya akan ditutur dengan gaya
menangis. Terdiri lagi dari: (b.1) tangis si jahe, ialah jenis nyanyian yang disajikan oleh gadis menjelang
pernikahannya. Teksnya berisi tentang ungkapan kesedihan karena harus berpisah dengan anggota keluarganya. (b.2)
tangis anak melumang, adalah nyanyian tangis yang disajikan oleh pria maupun wanita dari sernua tingkat usia. Isi
teksnya adallah berupa ungkapan kesedihan ketika terkenang kepada orang tua yang telah meninggal dunia.
(b.3) tangis mate, ialah
nyanyian ratapan (lament) kaurn wanita, ketika salah seorang anggota keluarga meninggal dunia. Disajikan, pada saat
si mati tersebut masih berada dihadapan orang yang menangisi
sebelum dikeburnikan. Syairnya berisi hal-hal atau perilaku yang paling berkesan dad simati semasa hidupnya,
kebaikan dan kelebihan-kelebihannya serta kernungkinan kesukaran hidup yang akan dihadapi keluarga sepeninggal
orang yang meninggal tersebut. (c) Ende-ende mandedah ialah nyanyian untuk anak yang digunakan oleh si
pendedah (pengasuh) untuk menidurkan atau mengajak si anak bermain. Jenisnya terdiri dari, orih-orih, oah-oah, dan
cido-cido. (c.1) Orih-orih ialah nyanyian untuk menidurkan anak yang disajikan oleh si pendedah (pengasuh, orang
tua atau kakak) baik pria maupun wanita. Si anak digendong sarnbil di orihorihken (bernyanyi sambil
meninabobokkan si anak dalam gendongan) dengan nyanyian yang liriknya berisi tentang nasehat, harapan, cita-cita,
maupun sebagai curahan kasih sayang terhadap si anak. (c.2) Oah-oah sering
juga disebut kodeng-kodeng adalah jenis nyanyian yang teksturnya sama dengan
orih-orih. Yang membedakannya ialah cara dalam meninabobokkan si anak. Jika orih-orih disajikan sambil
menggendong si anak, maka oah-oah atau kodeng-kodeng disajikan sambii mengayun-ayun si anak pada ayunan yang
digantungkan pada sebatang kayu di rumah maupun di pantar (gubuk, dangau) yang terdapat di ladang atau di sawah.
(c.3) Cido-cido adalah nyanyian untuk mengajak si anak bermain. Tujuannya ialah untuk menghibur dengan membuat
gerakan-gerakan yang lucu sehingga si anak menjadi tertawa dan merasa terhibur. Gerakan-gerakan tersebut biasanya
selalu ditampilkan pada setiap akhir frase lagu. Si anak digoyang-goyang, diangkat tinggi-tinggi, dicolek ataupun
disenyumi yang menimbulkan rasa senang, geli atau lucu sehingga si anak menjadi tertawa. Teks lagu yang disajikan
umumnya berisi tentang nasehat, petuah-petuah, maupun harapan agar ketika si anak menjadi orang yang berguna
dan berbakti pada keluarga. (d) Nangan ialah nyanyian yang disajikan pada waktu mersukut-sukuten (dongeng atau
ceritera rakyat). Setiap ucapan dari tokoh-tokoh yang terdapat pada ceritera
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
tersebut akan disampaikan dengan gaya bernyanyi. Ucapan tokoh-tokoh ceritera yang dinyanyikan itu disebut dengan
nangen, sedangkan rangkaian ceriteranya disebut sukut-sukuten. (e) Ende-ende mardembas ialah bentuk nyanyian
permainan di kalangan anak-anak usia sekolah. Dipertunjukkan pada malam hari di halaman rumah saat terang bulan
purnama. Mereka menari membentuk lingkaran, membuat lompatan-lompatan kecil secara bersama-sama berpegangan
tangan, sambil melantunkan lagu-lagu secara chorus (koor) maupun solo chorus (nyanyiin solo yang disambut oleh
koor). Pada malam hari dimana kelompok perempuan dewasa sedang menumbuk padi maka biasanya pada saat itulah
anak-anak melakukan kegiatannya dengan mardembas. Isi teks lagunya adalah menggambarkan keindahan alam serta
kesuburan tanah Dairi yang digarap dengan bentuk repetifif (diulang-ulang) dimana teks selalu berubah-ubah (strofik)
sesuai pesan yang disampaikannya.
Masyarakat Pakpak-Dairi membagi alat musiknya secara etnosains berdasarkan bentuk penyajian dan cara
memainkannya. Berdasarkan bentuk penyajiannya alat-alat musik tersebut masih dibagi lagi atas dua kelompok: (1)
gotci dan (2) oning-oning. Sedangkan bedasarkan cara memainkannya instrumen musik tersebut terdiri atas tiga
kelompok, yaitu: (1) sipaluun, 2) sisempulen, dan (3) sipiltiken. Gotci ialah instrumen musik yang disajikan dalam
bentuk seperangkatan (ensambel) terdiri dari: genderang si sibah, genderang si lima, gendang si dua-dua, gerantung,
mbotul, gung, dan kalondang. Instrumen yang termasuk ke dalam kelompok gotci adalah sebagai berikut, dimainkan
bersama-sama dengan gung sada rabaan (seperangkatan gong) yang terdiri dad empat buah gong, yaitu secara
berurutan dari gong terbesar hingga terkecil: (1) panggora (penyeru), (2) poi (yang menyahuti), (3) tapudep (pemberi
semangat), dan (4) pongpong (yang menetapkan). Instrumen lain yang dipakai ialah sarune (double reed oboe) dan
cilat-cilat (simbal). Pada saat sekarang, kedua instrumen ini hanya dipakai sewaktu-waktu saja, artinya, boleh dipakai
dan boleh juga tidak dipakai. Dalam penyajiannya, ansambel gendang ini hanyalah dipakai pada jenis upacara sukacita
saja (kerja mbaik) pada tingkatan upacara yang terbesar dan tertinggi secara adat (males bulung simbernaik) dan
harus menyembelih kerbau sebagai qurban pada upacara dimaksud.
Genderang sisibah ialah seperangkat gendang konis satu sisi yang jumlahnya sembilan. Dalam konteks
pertunjukan tradisional adat ensambel ini disebut Si Raja Gumeruguh, sesuai suara yang dihasilkannya bergemuruh.
Gendang satu disebut Si Raja Gumeruguh pola ritemnya menginang-inangi atau menginduk; gendang dua Si Raja
Dumeredeng atau Si Raja Menjujuri dengan pola ritmik menjujuri atau mendonggil- donggili (mengagungkan,
menghantarkan), gendang ketiga sampai ketujuh, disebut Si Raja Menak-menak menghasilkan pola ritmik benna
kayu pembawa melodi (menenangkan), gendang kedelapan Si Raja Kumerincing menghasilkan pola ritme menetehi
(menyeimbangkan), dan gendang kesembilan Si Raja Mengampuh menghasilkan pola ritmik menganak-anaki atau
tabil sondat (menghalang-halangi).
Genderang si lima ialah seperangkatan gendang (membranofon) satu sisi berbentuk konis yang terdiri dari
lima buah gendang konis satu sisi. Kelima buah gendang ini adalah berasal dari genderang si sibah dengan hanya
menggunakan gendang pada
bilangan ganjil saja diurut dari gendang terbesar, yaitu gendang 1, 3, 5, 7, 9. Nama lain
Masyarakat Kesenian di Indonesia
dari ensembel ini ialah Si Raja Kumerincing (bergemerincing, meramaikan). Adapun nama-nama gendang
berdasarkan urutan dari gendang terbesar hingga terkecil ialah: Si Raja Gumeruhguh dengan pola ritmis menginang-
inangi (induk yang bergemuruh); Si Raja Dumerendeng dengan pola ritmis menjujuri atau mendonggil-donggili
(menghantarkan atau meneruskan); Si Raja Menak-menak dengan pola ritmis mendua-duai (menenteramkan);
Gendang VII, Si Raja Kumerincing dengan pola ritmis mendua-duai (meramaikan); dan Si Raja Mengampuh
memainkan pola ritmis menganaki (menyahuti, mengikuti).
Ensambel Gendang Sidua-dua terdiri dari sepasang gendang dua sisi berbentuk barel. Kedua gendang
tersebut terdiri dari gendang inangna (gendang induk, gendang ibu) yaitu gendang terbesar, dan gendang anakna
(gendang anak, jantan) yaitu gendang terkecil. Perangkat lain dari ensembel gendang sidua-dua ini ialah empat buah
gong (Pakpak-Dairi: gung sada rabaan), dan sepasang cila-tcilat (simbal). Dalam penyajiannya, ensambel gendang
ini secara umum dipakai untuk upacara ritual, seperti mengusir roh pengganggu di hutan sebelum diusahai menjadi
lahan pertanian (mendegger uruk), dan hiburan saja, seperti upacara penobatan raja, atau untuk mengiringi tarian
pencak (moncak).
Gerantung ialah nama yang diberikan kepada instrumen musik sejenis gong ceper (gong tanpa pencu, flat
gongs idiophones) yang terdiri dari 4 atau 5 buah gerantung.
Secara ensembel, instrumen ini dimainkan bersama-sama dengan gung sada rabaan. Ansambel ini biasanya
dipakai pada saat peresmian bale (balai desa), bages jojong (rumah adat) dan pada peresmian perkawinan raja atau
turunannya. Pada upacara perkawinan ini, selain dipertunjukkan, instrumen ini juga digunakan sebagai landasan
berpijak bagi kedua mempelai pada saat akan memasuki rumah adat. Menurut pandangan masyarakat Pakpak-Dairi
instrumen ini adalah simhol kekayaan, kemakmuran (beak), kebangsawanan, yang hanya dimiliki oleh orang tertentu
saja.
Mbotul ialah seperangkatan alat musik gong berpencu yang terdid dari 5, 7, atau 9 buah gong. Disusun di
atas sebuah rak secara berbaris, seperti kenong pada tradisi
gamelan Jawa. Dalam pertunjukannya instrumen ini berperan melodis, dan secara ensambel selalu
dimainkan bersama-sama dengan gung sada rabaan. Tidak banyak yang
dapat diceriterakan tentang instrumen ini, walaupun masih digunakan hingga tahun 1950-an pada upacara
adat Pakpak-Dairi.
Gung dalam tradisi Pakpak-Dairi selalu terdiri dari empat buah yang tidak dapat berdiri secara sendiri-
sendiri, artinya dalam penggunaannya harus sekaligus empat buah. Oleh karena itulah gong ini disebut sada rabaan
(empat buah dimainkan secara bersama-sama (Pakpak-Dairi: rebak, rabaan).
Kalondang (xylophones) ialah alat musik yang terbuat dari -bilahan kayu berjumlah sembilan bilah.
Dimainkan secara bersamasama dengan pongpong (gong kecil), cilat-cilat (simbal), dan Jobat (bamboos recorder).
Biasanya digunakan sebagai pengiring tarian (tatak) hiburan, terutama oleh anak-anak usia sekolah,
dengan
membawakan melodi lagu-lagu tertentu yang sifatnya gembira, seperti, ende-ende muat kopi (nyanyian
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
d1l yang menggambarkan kegembiraan pada saat memetik kopi dan mengambil rebung untuk rorohen (sayur).
Oning-oning adalah sebutan untuk alat-alat musik tradisionaI Pakpak-Dairi yang dalam penyajiannya
dimainkan secara tunggal (solo). Jika satu instrumen dapat dimainkan secara ansambel maupun solo maka
pengelompokan atas instrumen itu harus
dikategorikan berdasarkan saat penggunaannya, sehingga dengan demikian akan terdapat instrumen yang
dalam penggunaannya dapat dikategorikan kepada gotci atau pun
oning-oning. Penggunaan instrumen jehis oning-oning ini pada umumnya adalah sebagai ungkapan
perasaan/pelipur lara pemainnya, melalui melodi lagu yang dihasilkan. Beberapa instrumen yang termasuk kelompok
oning-oning ini ialah: kecapi (lute two strings), lobat (recorder), sordam (end blown flute), sarune (oboe), keffuk (slit
bamboos gong), genggong (jews harp), saga-saga (jews harp), dan dideng (bamboos idio-cordo).

6.4.3 Masyarakat dan Kesenian Simalungun


Etnik Simalungun termasuk salah satu dari lima kelompok etnik dalam kesatuan masyarakat Batak.
Berdasarkan sistem pemerintahan dan wilayah negara Republik Indonesia, masyarakat Simalungun ini bertempat
tinggal di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan letak geografinya, Simalungun ini
membentang
antara 02 36’ sampai 3 18’ Lintang Utara dan 98 32’ sampai 99 35 ‘ Bujur Timur. Luas keseluruhan
daerah Simalungun adalah 4,386.69 kilometer² atau 16.12% dari keseluruhan luas Provinsi Sumatera Utara
(Pemerintah Kabupaten Simalungun 2008).
Di bahagian barat dan selatan Kabupaten Simalungun, terdapat deretan gunung- gunung Bukit Barisan,
namun tidak dijumpai gunung-gunung berapi. Sebagian besar kawasan Kabupaten Simalungun ini berada di kawasan
dataran tinggi di Bukit Barisan, sehingga hawanya sejuk. Masyarakat Simalungun memanfaatkan kesuburan tanah ini
dengan bertani: padi, jagung, ennas, sayur-mayur—serta tanaman-tanaman untuk perkebunan seperti teh, kelapa sawit,
karet, cokelat dan lain-lainnya.
Menurut J. Damanik dalam bukunya yang bertajuk Jalannya Hukum Adat Simalungun bahwa istilah
simalungun berasal dari pokok kata lungun yang artinya sunyi atau sepi. Ditambah awalan kata ma menjadi
malungun yang berarti suatu keadaan yang
sunyi. Kemudian ditambah lagi awalan kata si yaitu sebuah sebutan untuk menamakan suatu tempat. Jadi
simalungun berarti suatu nama bagi areal tanah yang disebut sunyi dan
belum dikenal orang.
Pada masa-masa awal terbentuknya kebudayaan masyarakat Simalungun, masih relatif jarang penghuninya.
Kini telah berubah seiring dengan perkembangan zaman, dengan dibukanya perkebunan-perkebunan sawit, coklat dan
getah. Masyarakat Jawa datang ke daerah ini sejak abad ke-19, yang umumnya sebagai buruh di perkebunan-
perkebunan Belanda. Setelah habis masa kerja di perkebunan, mereka membuka perkampungan sendiri. Kini menjadi
Daerah Kabupaten Simalungun, yang umumnya dihuni oleh etnik Simalungun dan Jawa.
Masyarakat Kesenian di Indonesia
karena daerah Simalungun ini terletak di Timur Danau Toba (M.D. Purba 1977:21). Setelah masa pemerintahan
Kerajaan Nagur berakhir, maka digantikan oleh Kerajaan Silou (1290-1350).
Sebelum tahun 1500, wilayah Simalungun terlepas dari Kerajaan Silou, sehingga masing-masing wilayah
memegang kekuasaan masing-masing. Tahun 1500-1906 di Simalungun berdiri empat kerajaan yang disebut Raja
Maroppat. Kerajaan ini terdiri dari:
(1) Kerajaan Dolok Silou dan (2) Kerajaan Panei masing-masing dengan rajanya
bermarga Prba; (3) Kerajaan Siantar yang rajanya bermarga Damanik; dan (4) Kerajaan Tanah Jawa yang
rajanya bermarga Sinaga. Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, Simalungun menjadi
Daerah Tingkat II Simalungun dan Kotamadya Pematang Siantar, kemudian sesuai dengan semangat reformasi sejak
2000 yang lalu berubah menjadi Kabupaten Simalungun dan Kota Siantar.
Pada awalnya, etnik Simalungun menganut suatu religi yang disebut dengan Sipajuh Begu-begu atau
Parbegu. Sipajuh Begu-begu adalah orang yang menyembah dan memuja roh-roh nenek moyangnya. Secara
etimologis, sipajuh artinya menyembah atau menghormati—par artinya memiliki atau orang yang mengerjakan
sesuatu. Selanjutnya begu dapat diartikan sebagai roh orang yang telah meinggal dunia. Selain itu boleh pula berarti
harimau. Sipajuh Begu-begu berarti menyembah begu-bgu. Parbegu
berarti seseorang yang memiliki begu atau seseorang yang mengerjakan penyembahan
kepada begu. Kini istilah ini selalu juga dikaitkan dengan begu ganjang, yang dapat diertikan sebagi roh-roh
yang dapat disuruh untuk mencelakai orang lain, yang digambarkan sebagai roh yang panjang dan besar. Namun
pengertian secara antropologis, bukanlah memberikan penilaian negatif kepada religi ini, tetapi adalah sebagai suatu
religi yang dianut oleh sebuah kelompok etnik di dalam kebudayaannya. Pada masa kin hanya sebahagian kecil saja
dari etnik Simalungun yang masih menganut religi ini. Sebagian besar telah menganut agama Kristen (terutama
Protestan) dan Islam. Sebelum masuknya agama Kristen dan Islam, orang-orang Simalungun dapat dikelompokkan ke
dalam orang-orang yang religinya bersifat animisme. Orang-orang Simalungun yang beragama Kristen Protestan
terintegrasi ke dalam persekutuan iman gereja yang disebut Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS).
Religi “asli” orang-orang Simalungun, mengajarkan penganutnya untuk mempercayai kekuatan di jagad raya
ini berupa roh-roh yang dapat mengatur keberadaan hidup manusia. Untuk mendapatkan tingkat hidup yang baik,
maka mereka harus mengadakan hubungan baik dengan roh-roh ini. Salah stunya mengadakan upacara- upacara.
Roh-roh ini menurut mereka terdiri dari berbagai jenis, yaitu: tondui, begu, simagot, dan sahala. Tondui adalah roh
seseorang, yang juga menjadi bagi diri orang yang memilikinya. Begu adalah roh seseorang yang telah meninggal
dunia dan mengembara di alam semesta ini dan mau mengganggu kehidupan manusia. Manakala simagot adalah roh
manusia yang telah meninggal dunia, kemudian hidup di alam semesta, dan dapat membantu berbagai kepentingan
keturunannya jika dipuja dan dihormati secara baik. Sahala adalah roh atau semangat yang dimiliki manusia selama
masih hidup.
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
Sistem kekerabatan etnik Simalungun berdasarkan kepada sistem keturunan patrilineal. Kelompok
kekerabatan terkecil disebut satangga, yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya. Anggota kerabat satu ayah
disebut sabapa, satu kakek disebut saompung. Dalam masyarakat Simalungun dikenal istilah tolu sahundulan lima
saodoran (“kedudukan yang tiga barisan yang lima”), terdiri dari: tondong (pihak pemberi isteri), sanina (pihak satu
marga) dan anak boru (pihak pengambil isteri). Ditambah dua kelompok lagi yaitu tondong ni tondong (tondong dari
pihak pemberi isteri) dan boru ni boru (boru dari pengambil isteri). Pada setiap upacara adat dan pelaksanaan horja
(pesta), semua unsur kekerabatan tersebut selalu berperan. Mereka akan tampil dengan mewujudkan sifat tolong-
menolongnya. Pihak yang menyumbang uang atau beras adalah tondong, sedangkan yang menyumbangkan tenaga
adalah pihak boru.
Menurut S.D. Purba (1994:146) di dalam rangka menjaga kesejahteraan pemeluknya dengan roh-roh nenek
moyangnya dan roh-roh lainnya, maka diadakan ritus- ritus, yang diadakan oleh pemeluk religi asli Simalungun
adalah sebagai berikt. (1) Manumbah, yaitu sebuah ritus di dalam rangka mendekatkan diri dengan Tuhan, melalui
pemujaan dengan memberikan sesajian, dan adakalanya diiringi dengan ensambel musik tradisional Simalungun yang
disebut dengan gonrang bolon (secara harfiah berarti gondang yang besar) dan gonrang sidua-dua. (2) Maranggir,
yaitu suatu ritus di dalam rangka membersihkan diri (manguras badan) dari perguatan-perbuatan yang tidak baik
maupun membersihkan diri dari dari gangguan roh-roh jahat. Ritus ini dilakukan di sungai atau di pancuran dengan
memandikan dan mencuci rambut dengan menggunakan jeruk purut. (3) Manabari atau manulak bala yaitu suatu ritus
yang bertujuan untuk mengusir gangguan roh-roh jahat yang ada atau penyakit (baik psikis atau fisik). (4)
Masrahbahbah, yaitu sebuah ritus yang bertujuan untuk menunda kematian seseorang yang secar afisik menandakan
hendak meninggal dunia. (5) Mandingguri atau mangiliki, yaitu sebuah ritus yang dilakukan terhadap seseorang yang
meninggal dunia pada usia lanjut dan telah dikaruniai anak dan cucu-cucu (sayur matua) dengan menampilkan tari
topeng dengan maskotnya burung enggang (toping-toping atau huda-huda). (6) Mandilo tondui, yaitu stau ritus untuk
memanggil roh yang pergi (sementara) dari diri seseorang.
(7) Robu-robu, yaitu ritus yang dilakukan sekali setahun menjelang turun ke sawah atau ke ladang, agar
mendapat berkah dan keselamatan di dalam mengerjakan sawah atau ladang. (8) Rondang bintang, yaitu ritus yang
diadakan setelah usai panen sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan.
Orang-orang Simalungun secara tradisi menyebut musik vokalnya (nyanyian) dengan doding. Aktivitas
menyanyikan doding ini disebut dengan mandoding. Selain istilah doding, di dlam genre musik vokal Simalungun
dikenal pula istilah ilah dan inggou, yang juga mempunyai makna nyanyian. Perbedaan antara ketiganya adalah
hanya dikenal antara khusus untuk suatu nyanyian yang dilagukan secara bersama-sama maupun untuk menyatakan
nama sebuah musik vokal. Penggolongan nyanyian yang dilakukan masyarakat, biasanya berdasarkan fungsinya
di dalam masyarakat, yaitu
sebagai berikut. (1) Nyanyian untuk anak-anak. Etnik Simalungun mempunyai dua jenis nyanyian yang
diperuntukkan kepada anak-anak oleh orang tua atau kakaknya yang
disebut dengan urdo-urdo atau tihtah. Urdo-urdo adalah suatu jenis nyanyian untuk
Masyarakat Kesenian di Indonesia
menidurkan anak, sedangkan tihtah adalah nyanyian anak bermain. Jika seorang anak telah lahir, maka yang
bertanggung jawab mengurus anak ini adalah ibunya, walaupun sebenarnya di rumah tinggal mereka ada nenek si
bayi, kakak si bayi, atau juga ayah si bayi. Biasanya, menurut adat-istiadat Simalungun, pada masa bayi ini saudara
perempuan dari ayah si bayi yang disebut amboru, datang untuk menjaga si bayi. Secara budaya amboru akan
mengurus si bayi yang berjenis kelamin perempuan, karena menurut adat Simalungun, bayi tersebut kelak diharapkan
akan menjadi menantunya kelak, walaupun jodoh ada di dalam kekuasaan Tuhan, tetapi mereka boleh
merencanakannya. Di Simalungun, dari satu desa ke desa lainnya terdapat berbagai nyanyian permainan anak.
Nyanyian ini contohnya adalah marsapsap sere, tapi garo-garo, dan marsiarangoi. Nyanyian ini biasanya dinyanyikan
oleh anak-anak. Nyanyian marsiarangoi pada masa sekarang terdapat di Desa Dolok Meriah. Nyanyian ini
mengisahkan kerinduan binatang hutan yang disebut imbou (siamang) terhadap temannya yang lain yang berada jauh
di seberang gunung.
Berdasarkan fungsi sosialnya, seorang yang menjaga anak (bayi) disebut dengan istilah parorot. Ia wajib
menjaga, mengawasi, dan memelihara si bayi (Saragih 1989:197). Secara musikal, orang yang menjaga bayi ini
sambil bernyanyi dengan tujuan agar si bayi tersebut perlahan-lahan tidur mendengar nyanyiannya, yang disebut
dengan pangurdo. Pangurdo ini tidak langsung menidurkan si anak yang diasuhnya. Biasanya diajak dulu bermain-
main sambil menyanyikan lagu bermain anak yang menjadi satu rangkain dengan lagu urdo-urdo itu sendiri. Biasanya
di dalam kebudayaan Simalungun, sambil menimang-nimang anak dengan cara memegang kedua ketiaknya,
kemudian mengangkat-angkatnya sambil menyanyikan lagu menimang (tihtah) yang disebut Tihtolol. Lagu ini
disajikan dalam suasana gembira, berulang-ulang disertai dengan kata- kata yang mangandung kasih sayang dan
harapan serta gerakan pengurdo meninang- nimang si anak. Dengan nyanyian ini, maka anak merasa gembira.
Biasanya ia turut menghentak-hentakkan kakinya ke lantai. Sesuadah anak itu kecapaian ia tertidur. Namun ada anak
yang kemudian menangis, sehingga parorot mengurdo-urdo yang biasanya lagunya berjudul Urma Lo Manuk.
(2) Kategori berikutnya adalah nyanyian kerja. Taralamsyah Saragih (1964:291- 292) menyebutkan bahwa
nyanyian ungut-ungut bisanya dilagukan sambil melakukan pekerjaan menenun atau menganyam tikar, yang
disebutnya dengan nyanyian untuk mengisi keasyikan bekerja. Menurut S.D. Purba (1994:149), yang disebut suatu
nyanyian kerja tidak hanya sekedar mengisi keasyikan bekerja saja., tetapi suatu nyanyian yang dapat membangkitkan
semangat bekerja. Dengan kata lain, nyanyian kerja adalah suatu nyanyian yang mempunyai irama dan kata-kata yang
bersifat menggugah semangat, sehingga dapat menimbulkan gairah untuk bekerja. Bahkan suatu pekerjaan tidak dapat
dilakukan jika tidak diiringi nyanyian kerja ini. Orang Simalungun sedikitnya mengenal dua buah nyanyian kerja,
yaitu orlei dan lailullah. Nyanyian orlei digunakan untuk membangkitkan semangat menarik kayu dari hutan yang
disebut manogu losung yang
dijadikan lesung (lumpang). Nyanyian lailullah digunakan untuk membangkitkan gairah bekerja menginjak
padi agar terlepas dari tangkainya. Di dalam acara manogu losung, penduduk desa secara bergotong-royong sekitar
40 orang atau lebih secara bergantian
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
menarik kayu yang relatif besar ukurannya. Seorang ibu tua yang berfungsi sebagai pemimpin bernyanyi secara solo,
kemudian diikuti oleh penarik kayu yang memberi semangat dan satu kesatuan dalam menarik kayu. Nyanyian ini
berisi pujaan kepada dewa kayu yang disebut Puang Boru Manik dan melalui bujuk rayu penyanyi dengan menyebut-
nyebut Puang Boru Manik, secara perlahan-lahan kayu dapat tergeser, ditarik terus hingga sampai di desa. Selanjutnya
nyanyian Lailullah adalah nyanyian yang disajikan ketika pemuda-pemudi desa sedang mengirik padi yang disebut
dengan kegiatan mardogei. Mereka bersama-sama melagukannya untuk membangkitkan semangat bekerja. Dengan
menyanyikan lagu ini, tanpa terasa pekerjaan mardogei dapat diselesaikan.
(3)Jenis nyanyian lainnya adalah nyanyian keluh kesah. Sudah menjadi kebiasaan orang Simalungun
mengungkapkan keluh kesahnya melalui nyanyian. Nyanyian keluh kesah ini contohnya adalah: taur-taur simbadar,
simanggei, taur-taur sibuat gulum, tangis huda-huda, dan tangis-tangis boru laho. Seorang pemuda menyampaikan
keluh kesahnya melalui taur-taur simbadar, begitu pula seorang gadis menyampaikan isi hatinya melalui simanggei.
Biasanya seorang pemuda duduk di balai pada malam hari meniup suling atau tulila dengan melodi taur-taur
simbadar, kemudian dilanjutkan dengan melagukannya. Melodi taur-taur yang disajikan berestetika penuh
kelembutan sehingga orang yang mendengarkannya merasa terharu, apalagi diikuti pula dengan teksnya, maka orang
yang mendengarkannya merasa tergugah untuk berbuat sesuatu. Jika nyanyian itu ditujukan kepada kekasihnya, maka
kekasihnya akan menyambutnya dengan nyanyian simanggei, yang juga mengungkapkan keluh-kesahnya menjawab
pertanyaan si pemuda tadi. Penyajian nyanyian keluh kesah ini dapat juga dilakukan seorang ibu tua ketika menangisi
suami atau handai tolannya yang meninggal dunia. Begitu juga nyanyian keluh-kesah disampaikan oleh mempelai
wanita ketika ia akan meninggalkan orang tuanya (S.D. Purba 1994:150).
(4)Jenis nyanyian Simalungunlainnya adalah nyanyian hiburan. Nyanyian ini adalah sebuah nyanyian yang
fungsi utamanya adalah untuk menghibur (enjoyment). Di samping fungsi utamanya sebagai hiburan, nyanyian ini
juga mengandung fungsi-fungsi lain, seperti: pujian, sindiran, atau lainnya. Yang termasuk ke dalam nyanian hiburan
dalam kebudayaan Simalungun adalah nyanyian yang disebut ilah dan doding. Ilah adalah suatu nyanyian yang
dilagukan oleh pemuda-pemudi secara bersama-sama, pemuda saja, atau pemudi saja, sambil menari dan bertepuk
tangan, berkeliling membentuk lingkaran. Nyanyian ini bisa saja tercipta secara spontan sambil menari dan
menyanyikannya. Biasanya karena sifatnya yang kontemporer ini, setiap desa di Simalungun mempunyai jenis ilah
tersendiri.
(5)Jenis nyanyian lainnya adalah nyanyian mantera. Mantera yang disajikan oleh seroang datu, ada yang
dapat dikelompokkan ke dalam nyanyian, yang menurut masyarakatnya apabila disajikan dengan menggunakan
melodi-melodi (unsur musik) Simalungun. Sedang jika diucapkan seperti berbicara sehari-hari ia murni sebagai
mantera, tidak dikaitkan dengan unsur musikal. Mantera yang dinyanyikan ini sering disertai unsur-unsur musikal
pada saat-saat upacara tertentu. Istilahnya dalam bahasa Simalungun, adalah manalunda. Sedangkan yang disajikan
dalam gaya berbicara, tanpa dianggap mempunyai unsurmusikal disebut dengan tabas.

109
Masyarakat Kesenian di Indonesia
(6) Jenis lainnya adalah nyanyian cerita, yang berbentuk cerita prosa rakyat, yang terdiri dari mite, legenda,
dan dongeng. Seorang datu menyampaikan legenda terjadinya pengobatan, maka penyampainnya selalu dinyanyikan.
Begitu juga orang- orang tua ingin menyampaikan sesuatu legenda atau dongeng, selalu dinyanyikan.
Kemudian kita kaji musik instrumental. Di dalam kebudayaan Simalungun
dikenal istilah yang hampir sama dengan kebudayaan Batak Toba untuk menyebut ensambel musik
instrumentalnya, yaitu gonrang. Di dalam menyajikan gonrang ini pada umumnya mempergunakan dua jenis
ensambel, yaitu gonrang bolon atau gonrang sipitu- pitu dan gonrang dua. Gonrang bolon terdiri dari tujuh buah
gendang yang berbentuk konis, yang ditempatkan pada sebuah rak dengan susunan vertikal sekitar 80º, dengan
ukuran dari yang besar hingga yang kecil sekitar 120 sentimeter sampai 60 sentimeter. Ketujuh gonrang ini biasanya
dimainkan oleh dua orang pemain, satu orang memainkan enam gonrang dan gonrang yang paling besar diaminkan
oleh satu orang pemainnya. Selain ketujuh gonrang tersebut ensambel ini ditambah oleh alat-alat musik seperti sarune
bolon (aerofon lidah ganda), tiga buah gong (suspended gong), dan si tala sayak (simbal). Menurut legenda yang
dipercayai oleh masyarakatnya, ketujuh gonrang ini adalah penjelmaan tujuh orang putri dari langit (kayangan) yang
diutus ke dunia untuk mengawasi kesenian dan upacara-upacara yang diinginkan oleh para dewa. Fungsinya
biasanya untuk upacara-upacara ritual, perkawinan, gereja, dan lain-lain. Gonrang ini pada saat permainannya
biasanya yang paling kecil tidak dimainkan, ditutupi oleh kain putih, sebagai simbol untuk dimainkan oleh dewa yang
turun pada upacara ini.
Kemudian ensambel gonrang dua terdiri dari dua buah gonrang yang berbentuk konis semi barel. Umumnya
dimainkan masing-masing oleh seorang pemain, dengan menggunakan telapak tangan untuk sisi kiri dan stik untuk
sisi kanan. Biasanya dimainkan dalam posisi duduk. Alat-alat musik lainnya biasanya sama dengan yang
dipergunakan dalam ensambel gonrang bolon. Perbedaannya secaar ensambel, biasanya gonrang bolon dianggap
mempunyai gengsi yang lebih besar untuk disajikan dalam suatu upacara. Sarune membawa melodi atau juga
digantikan fungsi musikalnya oleh alat musik tulila (sejenis rekorder). Gonrang ini juga dilaras, sekali gus membawa
ritmis dan melodis. Kemudian dua gong digantung pada sebuah gantungan dari papan dan kayu, yang fungsinya
membawa siklus kolotomik dan fungtuasi musik. Disertai satu buah gong yang dipegang dengan talinya dan dipukul
menyela antara dua gong yang digantung ini.
Selain alat-alat musik yang disajikan di dalam ensambel, dalam kebudayaan Simalungun juga dikenal
beberapa jenis alat musik lain, yang biasanya dibawakan secara solo ataupun ensambel di luar kedua jenis tadi.
Misalnya tengtung atau jabjaulul yang terbuat dari sepotong bambu yang badannya sendiri dibuat sebagai senar
(idikord). Kemudian genggong atau saga-saga (alat musik jews harp). Sarune yang terbuat dari daun kelapa dan
dianyam sedemikian rupa yang disebut ole-ole, dan lainnya. Di dalam kebudayaan Simalungun, repertoar musik lazim
disebut dengan gual, yang mengandung makna suatu sajian beberapa musik vokal dan instrumental yang menjadi satu
rangkaian. Contoh-contoh judul gual adalah: Haro-haro, Hurma Dayok, Hurna Manuk, Sakkiting, Rambing-rambing,
dan lainnya.
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
Pada masa jayanya kerajaan Simalungun, akhir abad kesembilan belas, terdapat tujuh kerajaan yang
memimpin daerahnya masing-masing, dan mempunyai wilayah sendiri. Gonrang sidua-dua dan gonrang sipitu-pitu
tumbuh subur di kerajaan ini. Sedangkan nyanyian rakyat Simalungun tidak ditemukan dibicarakan secara khusus,
tetapi hanya hidup di tengah-tengah kehidupan rakyat sehari-hari dan dikembangkan secara pribadi saja. Setelah
datangnya kolonial Belanda mulai ada pembinaan terhadap lagu-lagurakyat ini. Salah satu contoh misalnya dilakukan
oleh Raja Dolok Silau guna melatih pemuda-pemuda desa, kemudian dipertunjukkan kepada tamu-tamu kerajaan.
Kemudian tahun 1936 diadakan perekaman nyanyian-nyanyian ini ke dalam piringan hitam. Menurut S.D. Purba
setelah sebahagian besar orang Simalungun memeluk agama Kristen, maka dalam ibadahnya menggunakan nyanyian-
nyanyian yang dibawa oleh para misionaris yang berasal dari nyanyian Eropa. Mereka tergabung ke dalam Gereja
Kristen Protestan Simalungun (GKPS). Hal ini seiring dengan model tata ibadah yang disusun oleh Nommensen
dengan latar belakang kurang pengetahuan tentang kebudayaan Batak yang disebarkan oleh mereka kepada kaum
Kristen Bumiputera (Hutauruk 1993:51). Seiring meluasnya agaam risten ke daerah Simalungun, dengan sendirinya
nyanyian gereja berkembang di desa-desa Simalungun. Mereka sebagai guru ataupun sebagai misionaris mengajarkan
nyanyian secara lisan yang disebut martakap babah. Secara berantai para pengetua gereja bernyanyi dan mengajarkan
nyanyian kepada anggota jemaat secara rutin dilakukan pada setiap hari ibadah. Kemudian tahu 1967 dilakukan
penyempurnaan penotasian nyanyian GKPS dan penambahan lagu-lagu menjadi 310 dari 199 buah asalnya, yang
diambil dari nyanyian rakyat Simalungun yang disebut dengan na maringgou Simalungun asli. Ini merupakan
transformasi bagi perkembangan gereja. Seorang pendeta GKPS mengatakan perlu adanya inkulturasi melalui
pengekspresian iman Kristen dengan kebudayaan setempat, seperti melalui bahasa, tarian, musik, dan falsafah
kebudayaan setempat (Jaka 1993:34). Demikian sekilas seni musik dalam kebudayan Simalungun.

6.4.4 Masyarakat dan Kesenian Batak Toba


Sebagai satu kesatuan etnik, orang-orang Batak Toba mendiami suatu daerah kebudayaan (culture area) yang
disebut dengan Batak Toba. Mereka disebut orang Toba. Menurut Vergouwen, masyarakat Batak Toba mengenal
beberapa kesatuan tempat yaitu:
(1) kampung, lapangan empat persegi dengan halaman yang bagus dan kosong di tengah- tengahnya, (2)
huta, “republik” kecil yang diperintah seorang raja, (3) onan, daerah pasar, sebagai satu kesatuan ekonomi, (4)
homban (mata air), (5) huta parserahan, kampung induk dan lain-lain (Vergouwen 1964:119-141). Pada masa kini,
wilayah kebudayaan etnik Batak Toba adalah daerah yang sebagian besar termasuk Kabupaten Tapanuli Utara,
Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, dan Kabupaten Samosir, yang mengitari Danau Toba.
Letaknya di sebelah tenggara Kota Medan.
Luas daerah kebudayaan Batak Toba adalah 10.605 km². Umumnya tanah
kawasan ini terletak pada ketinggian 70-2.300 meter di atas permukaan laut. Posisinya adalah berada pada 2º-
3º Lintang Utara dan 98º-99,5º Bujur Timur (Pemerintah Provinsi Sumatera Utara 1982:35). Kawasan di seluruh
wilayah Toba dapat dikelompokkan pada
Masyarakat Kesenian di Indonesia
dua daerah yang luas, yaitu antara kawasan yang terdapat di Pulau Samosir dan di luarnya. Kawasan yang terletak di
Pulau Samosir adalah: Pangururan sebagai kota terbesar di kawasan itu, ditambah Simbolon, Nainggolan, Palipi,
Mogang, Rianiate, Pintubatu, Pintusona, Hutanamora, Ambarita, Ronggurnihuta, Simanindo, Ajibata, Lontung, Urat,
Tomok dan lain-lain (ibid.). Kawasan di luar Pulau Samosir yang terletak di pinggiran Danau Toba adalah: Porsea,
Balige, Muara, Bakkara, Tipang, Janjiraja, Holubung, Sabulan, Tamba, Sihotang, Janjimartahan, Harianboho, Boho,
Limbong, Tanoponggol, Tulas, Sagala, Silalahi dan lain-lain. Kawasan lain yang termasuk lingkup daerah Toba,
termasuk yang terletak di sekitar Balige dan Porsea, antara lain: Janjimatogu, Rautbosi, Siraiturut, Lumbanjulu,
Narumonda, Dair, Siahaan, Janjimaria, Silaen, Tambunan, Sonakmalela, Hinalang, Soposurung, Sitorang, Sigumpar,
Laguboti, Lumban Nabolon, Dolok Nauli, Sipintupintu dan lain-lain (ibid.). Kawasan di daerah Hullang, antara lain:
Dolok Sanggul, Lintongnihuta, Pollung, Hutapaung, Parlilitan dan lain-lain. Dari Parlilitan menuju Sidikalang,
terdapat kampung: Pakkat, Simallupak, ele, Hariarapintu, Laekole, terus ke Parbuluan, Bangun, Simpangtolu dan
Sidikalang. Kawasan di lembah Silindung dan Humbang, antara lain: Tarutung, Sipahutar, Siborongborong,
Pagarbatu, Simarpinggan, Sipoholon, Silindung, Hutabarat, Lumbansiagian,Simorangkir, Lobuhole, Hutapea dan lain-
lain. Kawasan di daerah Pangaribuan dan sekitarnya, antara lain: Hutagurgur, Sipahutar, Onan Tukka, Siabal-abal,
Peahuta, Sibikke, Pangaribuan, Gultom, Pansur Natolu, Aek Nauli, Panjaitan, Sigotom, Sormin, Dolok Sitarindah dan
lain-lain. Kawasan di Pahae Julu antara lain: Siamsom, Pearaja, Siparpar, Sibatu-batu, Pantis, Siantalobung, Aek
Sitapian, Hutabuntul, Golat, Pasarsirongit, Simataniari, Hutajulu, Onan Hasang, Lumbangraga, Simanampang,
Sigompulon, Simangonding, Sibaganding, Lobupining, Lobunte, Sialang, Parikmatia dan lain-lain. Kawasan di Pahae
Jae, antara lain: Pangaloan, Srulla, Janji Angkola, Janjimaria, Siunggas, Simangambun dan lain-lain (ibid.).
Masyarakat batak Toba, baik secara peribadi maupun berkelompok mengakui adanya kuasa di luar kuasa
manusia. Dalam menghormati kuasa tersebut mereka mempunyai cara penyembahan yang berbeda sesuai dengan
kesanggupan memahami makna kuasa tersebut. Motif setiap penghormatan ditujukan untuk mendapat perlindungan
agar terhindar dari bahaya, sama ada bahaya alam, penyakit menular mahupun serangan binatang buas. Demikian pula
untuk maksud mendapat restu, baik dalam perkawinan maupun usaha mencari rezeki dilaksanakan menerusi
pemujaan.
Ben M. Pasaribu mengatakan tentang konsep menyatunya antara agama dan adat pada masyarakat Batak
Toba sebagai berikut.

... dalam masyarakat Batak Toba, yang mayoritas beragama Kristen dan Katolik, terdapat
beberapa organisasi agamaniah yang berdasar kepada sistem kepercayaan Batak asli, yang
dijalankan menurut persepsi dari pendiri-pendiri oraganisasi-organisasi tersebut dan beberapa
persentuhan dengan agama wahyu.
Hubungan antara organisasi agamaniah yang tradisi dengan
organisasi gereja Kristen merupakan suatu hubungan yang bervariasi
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
sekali, tergantung kepada perkembangan situasi masa yang mempengaruhi persepsi Kristen terhadap
unsur kebudayaan tersebut. ... Sehingga selain gereja Kristen Protestan yang menghadirkan acara
margondang dalam beberapa peristiwa gereja, gereja Katolik juga mengadakan suatu misa yang
didasari oleh beberapa sekwen-sekwen dalam acara margondang dari organisasi agamaniah tersebut.
Misalnya, Gondang Elek-elek sebagai kyre, daupa sebagai evangelium, Gondang Santi sebagai
offertorium, Tortor Ulubalang sebagai agnus dei, Gondang Puji-Pujian sebagai sanctus dan
sebagainya (Ben M. Pasaribu 1986:53-54).

Religi selain agama Kristen dan Islam, dan masih ada pengikutnya sampai kini, yang dianut oleh sebilangan
masyarakat Batak Toba adalah Parmalim, Parbaringin, dan Parhudamdam. Religi-religi ini sering pula disebut agama
Si Raja Batak, karena religi ini diyakini oleh sebahagian besar orang Batak Toba, dianut oleh Raja Si
Singamangaraja
XII. Mengikut Batara Sangti didirikannya religi-religi tersebut adalah sengaja diperintahkan oleh Si
Singamangaraja XII, sebagai gerakan keagamaan dan politik, yaitu
Parmalim; dan sebagai gerakan ekstrimis berani amti, yaitu Parhudamdam (Batara Sangti 1977:79). Selepas
perang Lumban Gorat balige pada tahun 1883, seorang keperayaan
Raja Si Singamangaraja XII yang bernama Guru Somalaing Pardede, ditugaskan memperkuat pertahanan di
wilayah Habinsaran, terutama untuk membendung pengaruh agama Kristen dan membentuk sebuah agama baru yang
disebut Parmalim (Batara Sangti 1977:79).
Menurut Horsting, Parmalim adalah ajaran agama yang di dalamnya terdapat unsur-unsur ajaran Kristen dan
Islam, dan tidak meninggalkan kepercayaan Batak Toba Tua. Unsur-unsur kedua agama tersebut dapat dilihat dari
kegiatan-kegiatan para penganutnya seperti di Barus Hulu, Humbang Barat, Tanggabatu (Tampahan), Sigaol (Uluan),
Simalungun dan Serdang Hulu dan Dairi. Di Tanah Karo dinamakan Silimin
(Sangti 1977:60). Namun setelah tersebarnya gama Kristen dengan pesat sejak tahun 1862 di Tanah Batak,
penganut agama tersebut di atas semakin berkurang. Pada masa
kini, umumnya masyarakat Batak Toba menganut agama Protestan, Katolik, dan Islam.
Penyebaran agama Kristen, awalnya dimulai oleh Pendeta Burton dan Ward dari Gereja Baptis Inggeris tahun
1824. Kedua pendeta ini mencoba memperkenalkan Injil di kawasan Silindung (sekitar Tarutung sekarang). Kehadiran
mereka tidak diterima oleh masyarakat Batak Toba. Kemudian tahun 1834 Kongsi Zending Boston Amerika Serikat,
mengirimkan dua orang pendeta, yaitu Munson dan Lymann. Kedua misionaris ini dibunuh oleh penduduk di bawah
pimpinan Raja Panggalamei, di Lobupining, sekitar Tarutung, pada bulan Juli 1834. Tahun 1849, Kongsi Bibel
Nederland mengirim ahli bahasa Dr. H.N. van der Tuuk untuk menyelidiki budaya Batak. Ia menyusun Kamus Batak-
Belanda, dan menyalin sebahagian isi Alkitab ke bahasa Batak. Tujuan utama Kongsi Bibel Nederland ini adalah
merintis penginjilan ke Tanah Batak melalui budaya. Tahun 1859, Jemaat Ermelo Belanda dipimpin oleh Ds. Witeveen
mengirim pendeta muda G. Van Asselt ke Tapanuli Selatan. Ia tinggal di Sipirok sambil bekerja di
Masyarakat Kesenian di Indonesia
perkebunan Belanda. Kemudian disusul oleh para pendeta dari Rheinische Mission Gesellschaft (RMG), pada masa
sekarang menjadi Verenigte Evangelische Mission (VEM), dipimpin Dr. Fabri. Penginjilan sampai saat ini berjalan
lambat. Kemudian tahun 1862 datanglah pendeta RMG, yang kemudian diterima oleh masyarakat Batak Toba, yaitu
Dr. Ingwer Ludwig Nommensen. Di bawah pimpinannya misi penginjilan terjadi dengan pesat. Sampai dekade-dekade
awal abad kedua puluh, sebagian besar etnik Batak Toba telah menganut agama Kristen Protestan. Berdasarkan rapat
pendeta pada 3 Februari 1903, penginjilan diperluas ke daerah Simalungun dan Karo, dan ternyata berhasil dengan
baik (Nestor Rico Tambunan 1996:58-60).
Salah satu ciri masyarakat Batak Toba di samping mempunyai nama diri selalu mengikutsertakan marga,
sistem garis keturunan yang diambil dari ayah atau bersifat patrilineal. Orang-orang yang mempunyai satu marga
dianggap keturunan satu kakek. Keturunan dari satu leluhur menurut garis pihak ayah selagi masih menyatu, berdiam
di satu kawasan membentuk sebuah ikatan bernama marga. Mereka saling mengenal dan erat bergaul, yang satu
memperlakukan yang lain sebagai saudara kandung.
Salah satu ciri khas masyarakat Batak Toba, di samping nama diri selalu mengikutsertakan marga. Dalam hal
ini marga adalah nama garis keturunan yang diambil dari pihak ayah atau bersifat patrilineal. Orang-orang yang
mempunya sebuah marga
dianggap keturunan satu nenek moyang. Sejalan dengan itu, Napitupulu (1964:8)
menerangkan bahwa turunan dari satu leluhur menurut garis keturunan pihak ayah selagi masih kompak,
berdiam di satu tempat membentuk sebuah ikatan bernama marga. Mereka saling mengenal dan erat bergaul, yang
satu memperlakukan yang lain sebagai saudara kandung.
Bila diperhatikan lebih dalam, khususnya terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba, merupakan satu
yang sangat rumit, karena erat sekali hubungannya antara mitos dan sejarah penyebaran masyarakat Batak Toba itu
sendiri. Berdasarkan mitos dan sejarah, dapat dikatakan bahwa menurut persepsi mereka pada umumnya setiap
individu dalam masyarakat Batak Toba merupakan keturunan Si Raja Batak, seperti tercermin dalam tulisan
Napitupulu (1964:84).

Dewa Mulajadi Na Bolon mengirim putrinya Si Boru Deak Parujar turun ke bumi. Ia kawin
dengan Dewa Odap-odap dan melahirkan anak kembar manusia, satu lelaki Si Raja Ihat Manisia dan
satu perempuan Si BoruIhat Manisia. Mereka berdua, walau bersaudara, kawin dan lahirlah beberap
anaknya. Salah seorangputeranya bernama Si Raja Batak, yang menjadileluhur seluruh suku Batak.
Kampungkediamannya bernama Sianjur Mula-mula dekat kaki gunung Pusuk Buhit dis belah Barat
Pulau Samosir. Setelah Si Raja Batak meninggal, arwahnya menetap di atas Gunung Pusuk Buhit.
Si Raja Batak mempunyai dua putra, yang sulung bernama
Guru Tatea Bulan dan adiknya Raja Isumbaon. Si Guru yaitu Tatea Bulan ahli dalam ilmu
sihir dan Sang Raja, adiknya ahli dalam ilmu hukum adat. Guru Tatea Bulan mempunyai lima
putra dan empat putri.
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
Kelima puteranya adalah: (1) Raja Biak-biak (Raja Uti), (2) Tuan Saribu Raja, (3) Limbong Mulana,
(4) Sagala Raja, dan (5) Silau raja (Malau Raja). Nama dari keempat puterinya, sebagai berikut: (1) Si
Boru Paromas (Si Boru Anting-anting Sabungan), (2) Si Boru Parema, (3) Si Boru Bindinglaut, dan
(4) Nan Tinjo. Raja Isumbaon mempunyai tiga orang putra, yaitu: (1) Sorimangaraja, (2) Raja Asiasi,
(3) Sangkar Somalidang (Langka Somalidang).

Bila diperhatikan lebih jauh, khusus tentang terjadinya marga dalam masyarakat Batak Toba merupakan hal
yang rumit, karena erat sekali hubungannya dengan mite8 dan sejarah penyebaran masyarakat Batak Toba. Pada
umumnya setiap individu dalam masyarakat Batak Toba mempercayai dirinya sebagai keturunan Si Raja Batak, yang
kalau diurutkan juga sebagai keturunan dari Debata Mula Jadi na Bolon, yaitu dewa yang mempunyai kekuasaan paling
tinggi dalam sisetm religi Batak Toba.
Memperhatikan peranan marga pada masyarakat Batak Toba merupakan satu hal yang sangat penting.
Sedemikian pentingnya, sehingga dalam kehidupan sehari-hari terutama pada saat perkenalan terlebih dahulu
menyebutkan marga. Sejauh ini tidak ada
orang Batak Toba tanpa marga. Melalui marga orang-orang Batak Toba boleh mengadakan partuturan
(mencari hubungan kekerabatan) yang merupakan salah satu
aspek mendasar dalam dalihan na tolu, yang selalu diterjemahkan sebagai tungku nan tiga, yaitu sebuah
ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekerabatan pada masyarakat Batak Toba. Dalihan na tolu berarti
tungku yang terdiri dari tiga buah batu, yang digunakan untuk memasak. Konsep tersebut diterapkan pada sistem
kekerabatan pada masyarakat Batak Toba yang terdiri dari tiga unsur, yaitu: (1) dongan sabutuha (teman semarga); (2)
hula-hula (keluarga dari pihak istri); (3) boru (keluarga dari pihak menantu laki-laki). Pedoman bersikap antara ketiga
kelompok kekerabatan itu tergambara dalam konsep: (1) molo naeng ho sangap, manat mardongan tubu, artinya
jika kamu ingin menjadi orang terhormat, hati-hatilah dan cermat dalam bergaul dengan

8Mite adalah bagian dari folklor (cerita rakyat). Dari semua bentuk atau genre folklor, yang paling banyak diteliti para ahli

folklor adalah cerita prosa rakyat. Mengikut William R. Bascom, cerita prosa rakyat dapat dapat dibagi ke dalam tiga golongan
besar, yaitu: (1) mite (myth),
(2) legenda (legend) dan (3) dongeng (folktale). Mite adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta
dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau
di dunia yang bukan seperti kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Legenda adalah prosa rakyat yang mempunyai ciri-
ciri yang mirip dengan mite, yaitu dianggap pernah benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci— namun legenda ditokohi oleh
manusia, meski kadangkala memiliki sifat-sifat luar biasa, dan sering
juga dibantu makhluk-makhluk ajaib. Tempat terjadinya adalah di duania seperti yang kita kenal sekarang, waktu terjadinya
belumbegitu lama. Dongeng adalah prosa rakyat yang tidak dianggap benar-benar terjadi oleh yang empunya cerita, tidak terikat oleh
waktu dan ruang. Lihat William R. Bascom (1965). Parafrase pengertian tiga bentuk cerita rakyat ini lihat Djames Danandjaja
(1984:50-51).
Masyarakat Kesenian di Indonesia
dongan sabutuha (teman semarga); (2) molo naeng ho gabe, somba ma ho marhula-hula, artinya jika ingin keturunan
banyak hormatilah hula-hula dan (3) molo naeng namora, elek ma ho marboru, artinya kalau ingin kaya, baik-
baiklah kepada boru.
Adapun jenis sastra Batak Toba di antaranya adalah sebagai berikut. (1) Tonggo- tonggo, yaitu sejenis doa
yang diucapka oleh datu atau imam agama Batak Kuno. (2)
Andung-andung, yaitu sejenis karya sastra lisan berupa curahan perasaan sewaktu meratapi jenazah orang
yang dikasihi. Biasanya menggunakan ungkapan-ungkapan
tertentu yang tidak lazim dalam kehidupan sehari-hari, yaitu cenderung menggunakan bahasa yang “halus.”
(3) Huling-hulingan atau hutinsa, yaitu teka-teki tradisional Batak Toba, jikalau hutinsa ini memerlukan jawaban
berupa cerita, maka dinamakan torhanan.
(4) Turi-turian, yaitu jenis sastra lisan yang mengandung arti historis atau mitologis, seperti cerita dongeng
tentang binatang, cerita-cerita leluhur yang sering dikisahkan berupa mitos, misalnya mitos terjadinya manusia
Batak, Danau Toba, dan lain-lain. (5) Umpama, yaitu jenis sastra lisan tradisional Batal Toba yang temanya tentang
keteladanan, kebijaksanaan, hukum-hukum adat, dan dialog-dialog resmi dalam upacara adat. (6) Umpasa, yaitu satu
bentukpenyajian sastra yang dari bentuknya agak sulit dibedakan dari umpama, tetapi intinya umpasa lebih
menekankan tema religius, dalam arti lebihmenekankan hal-hal yang bersifat rahmat, karunia Tuhan, dan
sejenisnya. (7)
Tudoson adalah bentuk penyajian sastra lisan yang berupa perbandingan. Berbagai
pemisahan alam dijasikan suatu bandingan terhadap kehidupan manusia untuk menyatakan perasaan hati
atau keadaan sesuatu.
Kebudayaan musik dalam masyarakat Batak Toba disebut dengan gondang. Berbicara mengenai seni musik
(gondang) yang terdapat dalam masyarakat Batak Toba, dapat digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu musik vokal
(ende) dan musik instrumentalia (gondang). Musik vokal Batak Toba mempunyai latar belakang yang erat
hubungannya dengan pandangan hidup, pergaulan, maupun kegiatan atau kehidupan sehari-hari masyarakat ini.
Musik vokal etnik Batak Toba secara umum diidentifikasikan sebagai ende, yang
secara taksonomis dibagi berdasarkan fungsi dan tujuan lagu yang dilihat melalui isi liriknya. Adapun jenis-
jenis ende itu adalah sebagai berikut. (1) Ende mandideng, adalah nyanyian yang berfungsi untuk menidurkan anak.
(2) Ende Sipaingot yaitu musik vokal yang teksnya mengandung isi pesan kepada putrinya yang akan melangsungkan
pernikahan. Ende ini dinyanyikan pada waktu menjelang dilangsungkannya pernikahan tersebut. (3) Ende tumba,
yaitu musik vokal yang khusus dinyanyikan sebagai pengiring tarian hiburan (tumba). Dinyanyikan sekaligus ditarikan
sambil melompat-lompat dan berpegangan tangan membentuk lingkaran. Biasanya ende tumba ini dilakukan oleh para
remaja di halaman rumah pada malam terang bulan. (4) Ende sibaran, adalah musik vokal sebagai cetusan
penderitaan yang berkepanjangan, yang menimpa seseorang ataupun sebuah keluarga. Ende ini biasanya dinyanyikan
oleh orang-orang tersebut di tempat yang sunyi. (5) Ende pasu-pasuan, yaitu musik vokal yang berkenaan dengan
pemberkatan, berisi lirik-lirik tentang kekuasaan yang abadi dari Yang Maha Kuasa. Biasanya dinyanyikan oleh
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
Liriknya berupa rangkaian pantun, dengan rima a-a-b-b yang memiliki jumlah suku kata yang relatif sama. Biasanya
ende ini dinyanyikan oleh kumpulan anak-anak yang dipimpin oleh seorang yang lebih dewasa atau orang tua. (8)
Ende andung, adalah musik vokal yang bercerita tentang riwayat hidup seseorang yang telah meninggal pada saat
dimakamkan. Dalam ende andung ini melodi lagunya datang secara spontan sehingga penyanyia biasanya adalah
keluarga yang meninggal haruslah sebagai penyanyi yang cepat tanggap dan terampil dalam sastra serta menguasai
bebrapa melodi lagu yang penting untuk jenis nyanyian ini. Klasifikasi lainnya musik vokal berdasarkan fungsinya
adalah sebagai berikut: (a) ende namarhadodoan, yaitu musik vokal yang dinyanyikan untuk acara-acara
marhadodoan (resmi), (b) ende siriakon, yaitu musik vokal yang dinyanyikan oleh masyarakat Batak Toba dalam
kegiatan sehari-hari, (c) ende sibaran yaitu musik vokal yang dinyanyikan dalam kaitannya dengan berbaai peristiwa
kesedihan atau dukacita.
Dalam kebudayaan musik tradisi Batak Toba, terdapat dua jenis musik yang disebut gondang sabangunan
dan gondang hasapi. Kedua jenis musik tersebut dipergunakan dalam setiap aktivitas kehidupan sosial masyarakat
dalam konteks yang bersifat religi, adat, maupun hiburan. Banyak istilah yang dipergunakan oleh para ahli
kebudayaan ataupun istilah dari masyarakat Batak Toba itu sendiri, terhadap Gondang Sabangunan, seperti: ogung,
ogung sabangunan, gondang, porhas na ualu (perkakas yang delapan), dan lain sebagainya. Gondang sabangunan
terdiri dari beberapa jenis instrumen tradisional Batak Toba, yaitu: lima buah taganing, satu buah gordang, satu
buah sarune bolon, empat buah gong (oloan, ihutan, panggora, dan doal), dan hesek.
Gondang sabangunan biasanya digunakan pada upacara yang berkaitan dengan adat dan religi. Kegiatan
dalam menggunakan gondang sabangunan pada upacara adat disebut margondang. Kegiatan ini dilakukan hampir
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat Batak Toba. Kegiatan margondang menurut tradisi asli masyarakat
Batak Toba seperti yang ditulis Panggabean (1991:59-67), yaitu: (1) margondang pesta, adalah seluruh upacara yang
menggambarkan suasana kegembiraan hati, karena memperoleh atau mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan telah
lama dinantikan. Beberapa upacara yang termasuk ke dalam aktivitas ini, antara lain: Anak Tubu, Gondang Tunggal,
Mangompoi Jabu, Manampe Goar, Mamestahom Huta, Partangiangan, dan Harajaon.
(2) Margondang Sibaran, adalah upacara yang mengekspresikan suasana kesedihan, misalnya uapacara
Margondang Angka Na Dangol, Papurpur Sapata, dan Mangondasi.
(3) Margondang memele, adalah upacara yang mempunyai hubungan dengan kepercayaan asli, misalnya upacara
Mamele Pangulubalang, Mamiahi Hoda, Horbo Santi, Horja Turun, Mamele Sombaon, Mangongkal Holi, dan
sebagainya.
Selanjutnya adalah ensambel gondang hasapi. Menurut informasi yang diberikan Marsius Sitohang,
gondang hasapi lazim disebut dengan uning-uningan. Alat- alat musik gondang hasapi terdiri dari: dua buah hasapi
(hasapi ende dan hasapi doal), satu buah garantung (xilofon), satu buah sarune etek (shawm), sulim (side blown
flute),
tulila (side blown flute), sordam (end blown flute), tanggetang, gardap, dan hesek. Gondang hasapi juga
digunakan di dalam upacara yang berkaitan dengan religi, adat, dan
Masyarakat Kesenian di Indonesia
pertunjukannya, termasuk untuk mengiringi tarombo dalam nyanyian. Selanjutnya kita lihat Opera Batak.
Opera Batak pertama kali dimulai dengan kelompok Tilhang Opera Batak yang dibentuk tahun 1928,
pernimpinnya adalah Tilhang Gultom. Disebabkan oleh situasi politik Opera Batak pernah terhenti aktivitasnya
tahun 1931, surat izin pertunjukan
dicabut oleh pernerintah kolonial Belanda. Kemudian diganti namanya dan berjanji kepada pihak kolonial
akan mengganti sernua dialog dan setiap bagian pertunjukan yang
dianggap menyudutkan Belanda. Surat izin kemudian kembali dan nama kelompok ini berganti menjadi
Tilhang Batak India Toneel (1931). Pada saat penjajahan Jepang, Opera Batak sebagai sarana propaganda. Pada tahun
1943 berubah lagi menjadi Sandiwara Asia Timur Raya. Pada Perang Dunia II aktivitas Opera Batak terhenti
beberapa. tahun (1943-1945).
Setelah kemerdekaan Indonesia Opera Batak lebih menghadirkan ekspresi lokal kulturalnya di dalam konteks
kesadaran yang besar dari keberadaan etnik Batak Toba di tengah bangsa Indonesia yang majemuk. Setahun kemudian
berganti nama menjadi Tilhang Toneel Gezelschapf', kemudian berubah lagi menjadi RIA TOP (Tilhang Opera
Batak). Tahun 1951 dengan nama kesatuan kebudayaan Batak, anggota-anggota
kelompok Opera Batak menyatakan keberadaannya dari kelima kelompok etnis batak (Toba, Karo,
Simalungun, Pakpak-Dairi, dan Angkola-Mandailing). Mereka ingin
memanfaatkan media kultural baru dari opera untuk mempengaruhi solidaritas kedaerahan.
Tahun 1952 nama opera itu berubah lagi menjadi Panca Ragam Tilhang, yang merefleksikan kelima sub
etnis Batak. Kemudian pada tahun 1956 berubah lagi menjadi Serindo (Seni Ragam Indonesia). Mereka mencoba
untuk menenjukkan keberadaan Batak Toba sebagai bagian dari kebudayaan nasional Indonesia. Dalam pertunjukan
mereka mencoba untuk memasukkan berbagai kultur etnis lainnya selain menampilkan kelima etnis Batak.
Malangnya , tahun 1975 opera ini pecah. Alasannya sederhana yaitu adanya keinginan untuk mengembangkan corak
kesenian opera ini yang dianggap lebih sesuai
dengan keinginan masing-masing. Secara umum yang menyebabkan perpecahan adalah perbedaan masalah
prinsip dalam hal ekonomi serta perselisihan pendapat dalam masalah
kepemimpinan. Ada 35 kelompok yang muncul akibat perpecahan tersebut.
Opera Batak ini merupakan teater keliling yang dilakukan berpindah-pindah dan satu tempat ke tempat
lamnya. Di tempat persinggahan perhmjukan biasanya mereka menghabiskan waktu 1 minggu sampai 3 bulan dan
melakukan pertunjukan pentas hampir setiap malam. Pertunjukan Opera Batak dilaksanakan di panggung terbuka
dengan mernberikan sekat sebagai dinding pentas dan dibangun pentas yang merapat ke dinding. Di depan pentas
(disusun bangku yang terbuat dari papan atau balok dan kaki penyangganya tertanarn di tanah, tetapi kadang-kadang
pertunjukan Opera Batak dilaksanakan tanpa bangku . Tempat pertunjukan dikelilingi oleh sekat penutup terbuat dari
seng. Pentas hanya diterangi oleh beberapa buah lampu stromking. Penonton setelah mernbeli karcis diperbolehkan
masuk dan mengambil tempat duduk sesukanya. Biasanya duduk di rumput atau di tanah-tanah kering di depan
pentas.
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
6.4.5 Mandailing-Angkola
Wilayah budaya Mandailing-Angkola pada masa kini berada di sebagaian besar Kabupaten Tapanuli Selatan
dan Kabupaten Mandailing Natal. Mandailing secara tradisional terdiri dari dua wilayah, yaitu Mandailing Godang
(Mandailing Besar) yang terletak di bagian Utara dan mandailing Julu (Mandailing Hulu) yang terletak di bagian
sebelah selatannya. Angkola terletak di bagian utara Kabupaten Tapanuli Selatan ini. Mandailing Godang meliputi
wilayah Kecamatan Siabu dan Kecamatan Panyabungan, yang merupakan dataran rendah yang penuh dengan lahan
persawahan, sedangkan Mandailing Julu meliputi wilayah Kecamatan Kotanopan, Muara Sipongi, dan Batang
Natal, yang merupakan kawasan pegunungan dan hanya sedikit memiliki kawasan dataran rendah. Kini wilayah
budaya Mandailing-Angkola ini mencakup Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal (Madina).
Di Kecamatan Panyabungan terdapat suku bangsa Siladang dan Lubu yang sudah sejak lama mendiami
daerah ini. Akan tetapi suku ini mempunyai adat-istiadat dan kebudayaan yang berbeda dengan suku bangsa
Mandailing. Di Kecamatan Muarasipongi terdapat suku bangsa Ulu yang mempunyai adat-istiadat dan kebudayaan
yang berbeda juga dengan suku Mandailing.
Suku bangsa Mandailing digolongkan ke dalam kelompok Proto Melayu (Melayu Tua) yang mempunyai
persamaan ciri fisik dengan etnik: Toba, Simalungun,
Pakpak-Dairi-Dairi, dan Karo. Kelompok Proto Melayu ini berasal dari Tiongkok Selatan dan pindah ke
wilayah Indonesia, yang diperkirakan berlangsung pada abad kedelapan atau kedau belas sebelum Masehi. Dengan
melihat ciri-ciri khas bentuk fisik dan temperamennya, maka nenek moyang etnik Mandailing-Angkola termasuk
rumpun Proto Melayu (H.M.D. Harahap 1986:12). Sampai pada penjajahan Belanda, penduduk wilayah Mandailing-
Angkola umumnya dihuni etnik Mandailing-Angkola saja. Namun setelah kemerdekaan, banyak orang Toba yang
merantau dan menetap di daerah ini, yang sampai sekarang bertambah terus jumlahnya. Selain orang Toba, terdapat
juga orang Minangkabau yang datang dari Sumatera Barat dan umumnya bekerja sebagai pedagang.
Etnik Mandailing-Angkola menganut garis keturunan patrialineal,
mempunyai sistem kemasyarakatan yang disebut dalian na tolu ("tiga tumpuan"). Sistem kekerabatan ini
terdiri dari tiga unsur fungsional yang masing-masing unsur tersebut mempunyai rasa ketergantungan antara satu
dengan lainnya yang berupa ikatan darah (genealogis) dan ikatan perkawinan. Ketiga kelompok tersebut adalah: (1)
mora, (2) kahanggi, dan (3) anak boru. Mora adalah kelompok kerabat yang memberi anak perempuan atau pihak
pemberi isteri. Kahanggi yaitu kelompok keluarga yang mempunyai satu garis keturunan yang sama atau disebut juga
keluarga semarga. Anak boru yang merupakan pihak penerima anak perempuan atau kerabat suami (H.M.D. Harahap
1986:12).
Selain itu ada sistem sosial berdasarkan garis keturunan yang disebut marga. Setiap anggota masyarakat
yang mempunyai marga, biasanya menempatkan nama
marga di belakang namanya. Orang-orang Mandailing dan Angkola yang semarga
disebut markahanggi. Di dalam masyarakat Mandailing dan Angkola, terdapat
Masyarakat Kesenian di Indonesia
sejumlah marga, yang di antaranya adalah: Lubis, Nasution, Rangkuti, Batubara, Daulae, Pulungan, Parinduri,
Matondang, Siregar, Hasibuan, dan lainnya. Di antara marga-marga ini sampai sekarang marga Lubis dan Nasution
merupakan marga yang paling banyak jumlah warganya di Mandailing. Sedangkan di wilayah Angkola Siregar adalah
marga terbesarnya.
Sebelum masuknya agama Islam ke Mandailing dan Angkola, penduduknya menganut kepercayaan yang
disebut Pelebegu, yaitu kepercayaan yang intinya
memuja roh nenek moyang. Untuk berhubungan dengan roh nenek moyang, dilakukan upacara ritual yang
dipimpin oleh seorang ahli keagamaan yang disebut sibaso. Namun setelah masuknya agama Islam, sekitar
tahun 1820, kepercayaan Pelebegu ini tidak lagi dianut oleh masyarakatnya. Agama Islam yang masuk ke
Mandailing dan Angkola dibawa oleh kaum Paderi dari daerah Minangkabau.
Bagi masyarakat Mandailing dan Angkola pada masa pra-Islam, musik merupakan bagian yang tak dapat
dipisahkan dari kegiatan religi dan upacara-upacara adat, baik yang bersifat suka cita (siriaon) maupun duka cita
(siluluton). Ensambel musik tradisional mereka dikenal dalam tiga klasifikasi: (1) gondang dua, (2) gondang lima,
dan (3) gordang sambilan.
Gondang adalah salah satu jenis musik yang terdapat di daerah Angkola yang dipakai dalam pelaksanaan
upacara adat na godang (tingkatan upacara adat yang paling
besar). Kata gondang mempunyai tiga macam pengetian. Pertama, gondang berarti alat musik yaitu gendang
yang terdiri dari gondang inang atau gondang siayakkon dan gondang pangayakon. Kedua, gondang bisa berarti lagu,
misalnya lagu untuk suhut sihabolonan maka disebut dengan gondang suhut sihabolonan, lagu untuk mora disebut
dengan gondang mora. Ketiga, gondang dapat juga berarti ensambel musik, yakni alat- alat musik yang tergabung
dalam satu unit. Sehingga jika orang mengatakan main gondang, yang dimaksud bukan hanya memainkan
instrument gendang, tetapi memain kan satu ansambel musik yang terdiri dari 2 buah gondang (gondang inang dan
gondang pangayakon), 2 buah ogung, 1 buah suling, 1 buah doal, sepasang tali sasayat (simbal), 7
buah salempong, dan onang-onang (nyanyian), juga tortor. Gondang menurut tradisi hanya dapat
ditampilkan dalam konteks upacara adat nagodang dalam suasana siriyaon
(suka cita) saja, oleh karena itu pula disebut dengan gondang maradat.
Selain gondang (musik instrumen) yang ditampilkan secara ensambel ada juga jenis-jenis instrument yang
dimainkan secara tunggal oleh perorangan sebagai hiburan pribadi, dan tentu saja musik ini tidak masuk ke dalam
penampilan dalam konteks adat. Oleh karena itu, musik ini biasanya ditampilkan di luar perkampungan yakni saat di
sawah atau saat menggembalakan ternak atau boleh juga dalam perkampungan pada saat malam hari. Alat musik
terebut antara lain adalah sebagai berikut. (1) Ole-ole atau uyup-uyup, adalah alat musik aerofon yang bahannya
terbuat dari batang padi. Cara memainkannya adalah dengan ditiup dan dimainkan biasanya di sawah atau di ladang
sebagai hiburan. (2) Nung-neng adalah idiophone yang bahannya terbuat dari bambu. Cara memainkanmua adalah
dengan memukul badan bambu tersebut. Fungsinya adalah untuk belajar bermain gondang dan hiburan, biasanya
dimainkan pada malam had oleh pemuda-pemudi di halaman bagas godang. (3) Suling, adalah aerofon yang
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
terbuat dari bambu. Cara memainkannya adalah dengan ditiup, biasanya dimainkan di luar kampung atau pada
malam hari di halaman bagas godang. (4) Tulila, adalah aerofon yang bahannya terbuat dari bambu, bentuk atau besar
badannya lebih kecil dari bentuk suling. Cara memainkannya adalah dengan cara ditiup. Fungsinya sebagi hiburan
pada saat melepas lelah.
Dalam bahasa Mandailing-Angkola nyanyian disebut juga dengan endo,
sedangkan bemyanyi disebut dengan marende. Ende dalam musik Angkola terbagi lagi atas beberapa jenis menurut
fungsi -dan penggunaannya, antara lain adalah: (1) Onang-onang, secara harafiah onang-onang tidak dapat diartikan,
tetapi menurut beberapa sumber kata onang berasal dari kata inang yang artinya "ibu." Dari informasi yang diperoleh
dari beberapa informan kata onang tersebut adalah berawal dari ungkapan rasa kekecewaan seseorang anak yang
sedang merantau jauh terhadap kehidupan yang belum membawa keberuntungan. Karena ada rasa kecewa timbul rasa
rindu terhadap orang yang dikasihinya yaitu ibunya juga kekasih hatinya. Sehingga untuk melepaskan rasa rindu dan
kekecewaannya tersebut munoul kata onang-onang dalam bentuk nyanyian. Dengan demikian pada awalnya Onang-
onang adalah nyanyian yang fungsinya sebagai ungkapan kekecewaan dan pelepas rindu kepada orang yang
dikasihinya. (2) Turke-turke adalah nyanyin rakyat (lullaby song) masyarakat Angkola yang dinyanykan oleh orang
tua (ayah atau ibu) untuk si buah hati (anak) 6 sampai 10 bulan. Turke-turke dinyanyikan sebagai ungkapan perasaan
suka cita orang tua terhadap kesehatan dan perturnbuhan sang anak yang semakin bijak. (3) Ungut-ungut, nyanyian
rakyat yang mengisahkan suasana kampung Sipirok atau Bunga Bondar. Dinyanyikan oleh seorang pria sebagai
ungkapan keluh kesahnya karena akan pergi merantau jauh dari kampung halaman untuk mencari pekerjaan yang
lebih layak derni masa depan. Berpisah dengan sang kekasih menyebabkan munculnya perasaan sedih dan terharu;
namun tetap berharap dan berpesan kiranya sang kekasih tetap setia menunggu kepulangannya dengan keberhasilan.
(4) Ile Onang Baya, nyanyian pelepas rindu dimana bila kita mendengarnya akan terobati rasa rindu kepada orang
yang kita cintai dan sayangi. Nyanyian ini dinyanyikan oleh pemuda/i untuk mengungkapkan perasaan hatinya.
Biasanya nyanyian ini dinyanyikan oleh seseorang di tempat tertentu (tidak di tempat umum). Masih banyak lagi
musik vokal Angkola-mandailing lainnya.
Bondong adalah sejenis kesenian rakyat masyarakat Angkola-Mandailing dalarn bentuk teater dan digunakan
dalam upacara adat khususnya di kalangan muda-mudi. Perkenalan , senda gurau, ajuk mengajuk hati, sampai kepada
memadu kasih dilaksanakan dengan bondong. kesenian bondong ini biasanya dilaksanakan pada malam hari setelah
berakhimya acara perkawinan oleh anak muda dan gadis dengan bimbingan penetua adat. Tetapi dapat juga
dilaksanakan pada siang hari tergantung persiapan . Tempat pertunjukan kesenian bondong di dalmn ruangan rumah
yang lebih dahulu dipersiapkan khusus dengan beberapa hiasan terutama alat yang bernama bondong, serta tempat
duduk para pernain di atas tikar dan perlengkapan laiiya yang diperlukan. Dengan demikian kesenian bondong belum
dilaksanakan di atas pentas yang dibuat secara khusus .
Kesenian bondong disajikan dengan cara yang sederhana, biasanya ditampilkan
bersamaan dengan upacara pernikahan dalam, bentuk dialog yang dirangkaikan dengan
Masyarakat Kesenian di Indonesia
berbagai pantun . Para pemain bermain secara spontan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jadi karena naskah
cerita tidak ada maka dialog tersusun dalam bentuk pantun yang timbul secara spontan dan alamiah. Urutan adegannya
adalah diawali dengan keberangkatan sekumpulan anak muda dari sebuah rumah ke rumah lain tempat anak gadis
berada. Diperdengarkan lagu Sitogol secara bersahut-sahutan di antara anak gadis dan anak muda yang sedang
menunggu di halaman. Lagu tersebut diiringi bunyi-bunyian seperti tiupan suling atau tiupan ole (sejenis inshument
terbuat dari batang padi) kadang-kadang diiringi musik pengiring seperangkat gondang dengan lagu Onang-onang. Isi
lagu umumnya berkeinginan untuk saling berkenalan dan memadu hati. Sampai di tempat calon pengantin wanita
muda-mudi atau naposo bulung mengadakan acara khusus untuk perkenalan di dalam sebuah rumah dengan kegiatan
berbicara dan berbalas pantun dan diawasi seorang ibu dan seorang bapak sekaligus menjadi pengarah acara. Dialog
pertama dimulai oleh pria isinya mohon persetujuan anak gadis untuk memasuki ruangan yang disampatkan dalam
bentuk pantun. Sampai pertunjukan berakhir.

6.4.6 Pesisir
Di Sumatera Utara terdapat sebuah kelompok etnik yang keberadaannya secara budaya sangat unik.
Masyarakat ini berasaskan keturunannya berasal dari etnik Batak Toba, Mandailing-Angkola, dan Minangkabau.
Secara umum, mereka mempunyai kebudayaan yang “dekat” dengan budaya Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara.
Menurut Radjoki Nainggolan, ketua Yayasan Lembaga Adat Budaya Tapanuli Tengah dan Sibolga, bahwa
keberadaan etnik Pesisir telah membentuk budayanya sendiri sesuai dengan kehidupan di kawasan pantai. Sebahagian
besar mata pencahariannya adalah sebagai nelayan. Masyarakat Pesisir ini dapat dikategorikan sebagai kelompok
etnik tersendiri (Radjoki Nainggolan 1977:11).
Kelompok etnik ini jarang dikenal sebagai sebuah kelompok independen di Sumatera Utara oleh para sarjana
Barat. Sebagai contoh Langenberg pada tahun 1977 hanya mendaftarkan tujuh kelompok etnik di dataran
Sumatera Utara (tidak termasuk
Nias), yaitu: Batak Toba, Mandailing, Angkola-Sipirok, Karo, Pakpak-Dairi-Dairi, Simalungun dan Melayu
(Langenberg 1977:74-110). Bagaimanapun, masyarakat yang
mendiami daerah Pesisir Barat Sumatera Utara ini, secara etnik berbeda dengan etnik tetangganya Toba dan
Mandailing-Angkola. Mereka mempergunakan bahasa yang berbeda, mempraktikkan agama yang berbeda dengan
Batak Toba, yaitu mereka beragama Islam, dan mempunyai sistem sosial serta kebudayaan musik yang berbeda,
yang disebut sikambang. Secara etnik mereka lebih dekat berhubungan dengan masyarakat Pasisieh di Pesisir Barat
Sumatera Barat (Minangkabau) dan masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara. Ketiga kelompok masyarakat
ini, secara luas dapat dikategorikan sebagai masyarakat Melayu Pesisir Sumatera, dan berhubungan dengan berbagai
kelompok masyarakat Melayu yang dijumpai di seluruh kepulauan Indonesia (Goldsworthy 1979:6).
Mendefinisikan masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara dan hubungannya dengan masyarakat
berbahasa Melayu di Sumatera Utara relatif lebih mudah, dibandingkan dengan mendefinisikan masyarakat Pesisir
Barat Sumatera Utara
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
ini. Masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara menganggap kelompok etniknya sebagai bagian dari Dunia
Melayu yang lebih luas, apakah itu disebut Melayu, Pesisir, atau Melayu Pesisir. Mereka menganggap bahwa
masyarakat Pesisir Barat Sumatera Utara ini juga sebagai Melayu.
Masalah utama dengan penggunaan kata Melayu dan Melayu Pesisir adalah
dalam kenyataannya mempunyai rentang makna yang luas. Konteks penggunaannya mempunyai makna
berbeda antara orang-orang di Nusantara ini dengan para sarjana atau orang Eropah. Dalam bahasa Inggris, kata
Malay langsung diambil dari bahasa Melayu Indonesia atau Malaysia, yaitu dari kata Melayu. Kata ini diartikan oleh
orang-orang Eropa sebagai suatu masyarakat yang berada di Sumatera, sebagaimana yang mereka kenal istilah
ini dari I-Tsing, seorang pendeta Budha ternama yang berkunjung ke Sumatera, tahun 671, 685 dan 689 Masehi
(Goldsworthy 1979:16).
Dalam pandangan masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, mereka merasa istilah Melayu sebagai
indentitas etnik yang kuat bersama-sama dengan masyarakat Melayu Riau dan Malaysia, yang membedakan mereka
dengan masyarakat Batak di kawasan ini. Sebaliknya, masyarakat Pesisir Barat Sumatera Utara biasanya
mendefinisikan identitasnya secara sederhana sebagai suku Pesisir, yang tidak sama dengan Melayu yang ada di
Malaysia atau Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara—dan tidak pula sebagai orang Batak atau Minangkabau.
Kata Pesisir juga mempunyai pengertian yang berbeda antara masyarakat Pesisir Barat Sumatera Utara
dengan masyarakat Pesisir Barat Sumatera Barat, walau berasal dari kata dasar yang sama Pesisir dan Pasisieh. Bagi
masyarakat Pesisir Barat Sumatera Utara, mereka memandang Pesisir sebagai sebuah kelompok etnik, yang tingal di
sekitar Pantai Barat Sumatera Utara, tidak sampai ke Sumatera Barat, dan bukan sebagai bagian dari masyarakat
Minangkabau. Masyarakat Pesisir Barat Sumatera Barat menganggap mereka sebagai bagian dari kelompok etnik
Minangkabau, sebagai mitra bagi orang-orang Minangkabau di daerah darek (daratan tinggi). Perbedaan ini ditambah
pula oleh kenyataan bahwa pada masa kini, mereka berada dalam dua wilayah provinsi yang berbeda.
Perbedaan lainnya antara masyarakat pesisir Barat Sumatera Utara dengan
Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara adalah kontaknya dengan Batak dan Minangkabau. Masyarakat Pesisir
Barat Sumatera Utara menganggap dirinya lebih dekat hubungannya dengan masyarakat Minangkabau dan Batak
dibandingkan masyarakat Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara. Sebahagian masyarakat Batak [terutama Toba,
ditambah Mandailing-Angkola] dan Minangkabau tinggal di Pesisir Barat Sumatera Utara. Masyarakat Minangkabau
memiliki populasi 17% dari seluruh masyarakat yang ada di Sibolga pada tahun 1930 (Castles 1972:233). Dalam
interaksinya, kelompok-kelompok ini memberikan pengaruh kepada masyarakat Pesisir Barat Sumatera Utara.
Sampai sekarang, sebahagian masyarakat Pesisir mempunyai marga terutama dari Tapanuli Bahagian Utara, tetapi
bukan yang utama dalam sistem kekerabatannya. Mereka menjadi muslim, dan mengadopsi dialek Pesisir dan
meninggalkan atribut budaya Bataknya.
Sebahagain warga masyarakat Pesisir Barat Sumatera Utara ini ada pula yang
mengklaim dirinya sebagai keturunan Minangkabau. Beberapa aspek sistem pernikahan
Masyarakat Kesenian di Indonesia
dan kekerabatan kedua kelompok masyarakat ini memiliki persamaan-persamaan. Meskipun sampai sekarang belum
dilakukan kajian mendalam tentang dialek masyarakat Pesisir Barat Sumatera Utara ini, dalam kenyataannya bahasa
mereka mempunyai hubungan dengan bahasa Minangkabau. Tradisi musik masyarakat Pesisir Barat Sumatera Utara
dan Minangkabau juga memiliki berbagai kesamaan. Kedua kelompok masyarakat ini mempunyai tarian yang pola
lantainya lingkaran disebut rondai, rand,i atau rande. Genre musikal talibun dan kaba adalah umum di kedua daerah
ini, serta penggunaan biola dalam ensambel musiknya.
Dengan demikian, kebudayaan masyarakat Pesisir Barat Sumatera Utara ini, merupakan melting pot (creole)
antara keturunan beberapa kelopok etnik, seperti: Minangkabau, Batak Toba, Mandailing-Angkola, dan Melayu. Dalam
masa yang panjang terus berinteraksi dan membentuk sebuah kebudayaan, yang kemudian mengidentitaskan
kebudayaannya sendiri sebagi kebudayaan etnik Pesisir. Pada masa kini, dalam konteks pembangunan di Indonesia,
masyarakat Pesisir ini, biasanya dikategorikan pula sebagai sebuah kelompok etnik.
Budaya etnik Pesisir Barat Sumatera Utara dengan etnik Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara, memiliki
berbagai persamaan-persamaan, seperti: bahasa, adat-istiadat,
teknologi, kesenian dan lainnya. Ronggeng Melayu Sumatera Utara sendiri secara fungsional dan struktural
mempunyai persamaan dengan seni gamat dan tari Kaparinyo
yang ada di dalam kebudayaan masyarakat Pesisir Barat Sumatera Utara. Lagu-lagu seperti Bunga Tanjung,
Endong-endong ada di dua kebudayaan ini. Begitu juga rentak tari dan lagu kapri, lagu dua, serampang dua
belas/gelombang dua belas, tari piring, tari kipas, ada dalam kedua kebudayaan ini. Dalam konteks ronggeng Melayu
Sumatera Utara, masyarakat Pesisir Barat Sumatera Utara juga menganggap seni ini sebagai bagian dari
kebudayaannya.9
Tari Sikambang merupakan gerakan bela diri sesuai dengan hakekat didirikannya Sikambang tersebut.
Fungsi Sikambang adalah untuk menunjukkan penampilan agar tak seorang pun berani membuat kekacauan dalam
keramaian yang
diadakan masyarakat tersebut. Manfaat lain dari Sikambang ini adalah untuk mempersatukan seluruh warga
kampung pada dulunya dalam memupuk persatuan dan
kesatuan masyarakat, dalam memupuk rasa kegotongroyongan.
Tari Odok berasal dari akar kata odok, yang artinya adalah yang artinya secara harfiah adalh meliuk, bagaikan
memanggil. Jadi pemberian nama tari odok ini sesuai dengan gerakan si penari. Pada saat-saat tertentu si penari
meliukkan tangannya sebagai

Dalam konteks kebudayaan sering juga terjadi kerja sama antara etnik Melayu dengan Pesisir Barat Sumatera Utara ini,
9

misalnya dalam seminar, pekan budaya, pertunjukan kesenian, yang membabitkan dua kelompok ini. Etnik Melayu memiliki
lembaga adat Majelis Adat dan Budaya Melayu Indonesia (MABMI) Sumatera Utara yang pada masa sekarang diketuai oleh
Gubernur Sumatera Utara, Haji Syamsul Arifin, S.E. Sementara etnik Pesisir Barat Sumatera Utara mempunyai lembaga adat yang
disebut Yayasan Lembaga Adat Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga (YALAPTATSI) yang diketuai oleh Radjoki Nainggolan, S.E.,
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
pertanda acara sikambang akan dimulai. Panggilan ditujukan untuk para penonton. Selain itu, jika sikambang telah
dimulai juga menandakan bagi masyarakat bahwa pengantin telah bersanding di pelaminan. Sehingga seruan betapa
asyik dan indah serta mesranya dua mempelai itu, dengan penampilan dan gaya baru atas hiasan-hisan sesuai dengan
daerah pesisir Tapanuli Tengah. Mengodok atau miukuk ditujukan pada gadis- gadis kampung. Untuk
mengundangperhatian para gadis, di mana penari adalah seorang pemuda, maka dipertunjukkan segala kebolehannya.
Dengan tujuan adat yaitu menjaga kemurnian gadis dan mengatasi pergaulan bebas, pemuda dan pemudi sesuai
dengan ajaran agama Islam dan karena kuatnya adat ini sehingga masa penjajahan Jepang pun di Indonesia
mangaluah tidak diperbolehkan. Mangaluah adalah perkawinan tanpa restu dari orang tua,akan dapat menyebabkan
pertumpahan darah antara pihak pemuda dan pemudi. Tari odok hanya boleh ditampilkan pada saat pesta di kalangan
keluarga raja. Sedangkan masa sejak terbentuknya kerajaan pertama di pesisir Tapanuli tidak ada perbedaan raja
dengan rakyatnya sama halnya seperti sekarang ini.
Kemudian dijumpai tari kapri. Kata kapri adalah suatu kata yang terdapat dalam syair lagu dalam tari
tersebut. Nama lain dari tari kapri adalah tari bungkus karena penari meemgang satu helai sapu tangan. Jumlah penari
dalam tari kapri adalah sebanyak dua orang, yang masing-masing memegang satu helai sapu tangan. Sapu tangan
yang berbentuk empat segi, kedau ujungnya dipegang oleh kedua tangan yang diapit atas kerja sama jari-jari tangan
penari. Setelah kedua penari berdiri dengan sejajar, maka kedua tangan telah memegang sapu tangan tadi diangkat
sejajar atau setinggi dada. Gerakan tari dengan langkah tiga dan diiringi dengan irama gendang menggunakan
pukulan irama satu.
Tari Pulau Pinang adalah satu tari dalam kebudayaan Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga. Pulau Pinang
adalah satu kata yang dapata didengar pada lirik lagunya, pada salah satu putaran Tari Sikambang. Dalam syair ini
digambarkan bagaimana keindahan Pulau Pinang, serta banyak fungsinya pohon dan buahpinang. Tari Pulau Pinang
ini sering juga disebut sebagai Tari Payung karena menggunakan properti payung. Penarinya dua pasangpenari pria
dan wanita, penari pria memegang payung dan penari wanita memegang selendang.
Tari Sempayan adalah salah satu jenis tari dalam kebudayaan Pesisir Tapanuli Tengah dan Sibolga.
Sempayang artinya adalah alat jemuran pakaian. Penari tarian ini melambai-lambaikan sapu tangan seperti pakaian
ditiup angin saat dijemur.
Tari Bangun-bangun adalh tari yang menggambarkan seorang ayah dan ibu, yang mengasihi dan menimang
ank kesayangannya. Dahulu kala penari membuat tiruan bentuk bayi dari selendang dan kemudian ditimang-timang.
Tari Bangun-bangun ini diiringi musik sikambang dengan ritme pukulan dua, dan biasa ditampilkan untuk
memeriahkan perhelatan pernikahan di depan dua mempelai.
Tari Piring ditampilkan oleh seorang pria yang ememgang dua piring oleh tangan kanan dan kiri, di mana
jari telunjuk dipakaikan cincin agar piring dapat
dibunyikan dengan diketuk dengan cincin saat menari. Penari melakukan gerakan langkah tiga dan diiringi
ensambel musik sikambang.
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Tari Barondei adalah tari yang merupakan stilisasi dari gerak-gerak silai Tari ini disebut juga dengan Tari
Bungo Limou, yaitu sebuah bunga kehormatan masyarakat Pesisir, yang ditata sedemikian rupa terbuat dari pucuk
kelapa yang dianyam dan diletakkan di atas dulang atau dupa besar dan di dalamnya diisi dengan limou. Tari
Barondei ini adalah tari terakhir dalam rangkain pertunjukan tari-tarian sikambang.

6.4.7 Nias
Masyarakat Nias memiliki kepercayaan suku yang disebut Sanomba Adu. Sanomba berarti menyembah, dan
Adu adalah patung ukiran yang terbuat dari kayu atau batu sebagai media tempat roh bersemayam. Adu untuk dewa-
dewa ditempatkan di osali boronadu, yaitu bangunan sebagai tempat ibadah religi Sanomba Adu. Mereka
mempercayai dewa-dewa, di antaranya: Luo Walangi sebagai dewa pencipta alam semesta; Lature Sobawi Sihono
dewa pemilik dan penguasa babi; Uwu Gere dewa pelindung dan penguasa para ere (pemimpin religi Sanomba Adu);
Uwu Wakhe dewa penguasa tanam-tanaman; Gozo Tuha Zangarofa dewa penguasa air dan lainnya.
Kemudian datanglah agama Kristen ke Nias. Misionaris yang pertama kali datang ke Nias adalah
Denninger tahun 1865, tepatnya di kota Gunung Sitoli.
Sebelumnya ia sudah bergaul dan belajar bahasa Nias dari orang-orang Nias yang bermukim di Padang.
Orang Nias yang berjumlah sekitar 3000 jiwa di Padang ini,
merupakan pendatang. Dari merekalah Denninger mempelajari kebiasaan-kebiasaan, adat-istiadat, dan
kebudayaan Nias, hingga ia tertarik untuk datang ke Nias mengajarkan agama Kristen, yang kemudian ternyata
berhasil dengan baik. Misi Kristen kemudian diteruskan oleh Thomas yang datang tahun 1873. Masa penting dalam
pengembangan agama Kristen adalah antara tahun 1915-1930, masa ini disebut sebagai masa pertobatan total
(fangesa dodo sebua). Pada masa ini pula terjadi perubahan-perubahan sikap. Patung-patung mulai dibakar dan
dihancurkan. Poligami, sangsi-sangsi hukum adat dengan hukuman badan, penyembahan patung, penyembuhan
penyakit menerusi fo’ere (dukun) dan sejenisnya sudah makin berkurang. Hingga kini sebagian besar etnik Nias
beragama Kristen (S. Zebua 1984:62).
Masyarakat Nias mengenal derajat sosial berasaskan kepimpinan dan tingkat-
tingkat kehidupan, yang disebut bosi. Sistem pembagian tingkatan hidup manusia ini dijiwai oleh religi Nias
pra-Kristen yang disebut Sanomba Adu.
Sistem pemerintahan tradisi pada masyarakat Nias Utara, didasarkan atas pembahagian jabatan sebagai
berikut: (1) tuhenori, tuhe berarti tunggul dan nori atau ori artinya kumpulan dari beberapa banua (desa), tuhenori
dipilih antara pimpinan banua (salawa); (2) salawa artinya yang tinggi. Salawa ini memimpin satu wilayah yang
disebut banua. Jabatan salawa mempunyai pengertian: fa’atulo (adil), fa’atua-tua (bijaksana), fa’abolo (kuat jasmani
dan rohani), fokho (kaya atau memiliki banyak harta dan benda) dan salawa sofu (berwibawa); (3) satua mbanua,
yaitu penasihat salawa yang terdiri dari tiga orang pemegang jabatan: tambalina (wakil atau orang kedua), fahandrona
(orang ketiga), dan sidaofa (orang keempat) (S. Zebua 1984:62-64).
Semua jabatan pemerintahan tersebut diduduki oleh golongan bangsawan yang
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
pemerintahan desa ini selalu mendapat perlakukan yang istimewa. Orang lain tidak dapat berbicara dengan tidak
sopan, selalu dihormati, selalu dijemput dan hadir dalam pesta adat, seperti perkahwinan, kematian dan lainnya.
Mereka memutuskan hal-hal penting dalam pemerintahan desanya (W. Gulö 1983).
Sistem penggolongan derajat manusia berasaskan tingkat-tingkat kehidupan,
dimuali dari janin sampai kehidupan akhirat. Pengertian bosi ini mencakup dua belas tingkat kehidupan.
Dalam konteks ini, bosi nantinya mengarahkan manusia untuk berusaha mencapai tingkat tertinggi, agar setelah ia
mati, akan memperoleh kebahagiaan di dalam teteholi ana’a (sorga). Adapun pembagian bosi itu adalah:
fangaruwusi (memperlihatkan kandungan); tumbu (lahir); famatoro doi (memberi nama); famoto (sirkumsisi); falowa
(kahwin); famadadao omo (membangun rumah); fa’aniha banua (memasuki persekutuan desa); famaoli (menjadi
anggota adat); fangai toi (mengambil gelar); fa’amokho (kekayaan); mame’e go banua (menjamu orang se desa) dan
mame’e go nori (menjamu orang satuori, beberapa desa (Dasa Manao et al. 1998:195-196).
Salah satu jenis kesenian masyarakat Nias adalah seni musik. Adapun di antara alat-alat musik Nias adalah
sebagai berikut. (a) Gonda alat musik membranofon yang dipukul dengan alat pemukul dari rotan. Alat pemukul ini
disebut famo gonda. Alat musik ini selalu digunakan dalam pesta pernikahan dan juga dipakai sebagai alat musik
mengiringi tarian atau lagu. (b) Gong adalah alat musik jenis gong berpencu, terdiri dari dua gong yaitu garamba dan
faritia. Garamba lebih besar dari faritia. Fungsi sosialnya adalah untuk memberi berita yang terjadi di Medan perang,
misalnya ada yang meninggal. (c) Tamburu, adalah gendang di Nias, ukurannya lebih kecil dari gonda dan bagian
luarnya tidak diikat oleh rotan tetapi luarnya dipakukan saja. Tamburu dipukul untuk menyambut atau mengiringi
prosesi pengantin, lagu, dan tarian. (d) Doli-doli adalah xilofon kayu laore berupa bilahan-bilahan yang diletakkan di
atas kaki pemainnya dan dipukul dengan pemukul dari kayu. Alat musik ini kadang disebut juga dengan gambang.
(e) Suling sebagai alat musik tiup, terbuat dari bambu lewuo mbanua. (f) Ndruri adalah termasuk alat musik jew’s
harp, memiliki satu lidah yang disebut lela.
Kemudian tari-tarian di Nias di antaranya adalah: (a) Tari Maena, yaitu tari yang biasa dipertunjukkan dalam
acara pesta pernikahan, dan juga dilakukan untuk menyambut tetamu kehormatan. Tari maena biasanya dilakukan di
lapangan terbuka, sejumlah orang bisa saja ikut karena gerakannya tidak sulit untuk diikuti. Variasi gerakan yang
umum dilakukan yaitu kaki membentuk segitiga (tolu sagi) dan gerakan kaki membentuk segi empat (ofa sagi)
dengan kedua lengan diayunkan ke depan dan ke belakang. (b) Tari Moyo adalah tarian yang menirukan gerakan
burung elang yang sedang terbang. Ditarikan biasanya oleh wanita. Tari ini difungsikan untuk acar terpenting,
misalnya penobatan seseorang menjadi bangsawan. (c) Tari Faluaya dan Maluaya. Maluaya merupakan tari persatuan
sebagai tanda solidaritas sosial dalam rangka menaklukan musuh. Aksinya menggambarkan sekelompok tentara yang
sedang berperang. Properti tarinya adalah pedang (balatu), tombak (toho), dan tameng (baluse). (d) Tari Hombo Batu
atau Lompat Batu merupakan tari yang berunsur olah raga latihan perang melompati batu sebagai simbol budaya
megalitikum. Demikian sekilas musik dan tari di Nias, Sumatera Utara.

127
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Daftar Pustaka untuk mendalami Kajian


Bangun, Tridah, j 992, Manusia Batak Karo. Jakarta: Inti Indramayu.
--------------- 1990, Penelitian dan Pencalatan Adat-istiadat Karo. Jakarta: Yayasan Merga Silima.
Berutu, Lister dan Nurbani Padang (ed.). 1998. Tradisi dan Perubahan. Konteks Masyarakat Pakpak-Dairi. Medan:
Monora.
Coleman, R. Griffin. 1983. "The Village As a Category of Pakpak-Dairi Batak Descent", dalam Rita and Richard
Smith Kipp (ed.). Beyond Samosir., Resent Studies of the Batak People of Sumatera. Athens Ohio: Ohio
University Press.
Deliana, Frida, 1987, "Gondang Angkola Sipirok Dalam Konteks Upacara Adat Perkawinan"; Skripsi S1 Jurusan
Etnomusikologi Fakultas sastra USU Medan.
Hutasuhut, Manulang.BGD, 1981; Ende Ungut-Ungut Tungkat Namaroban Lilu; Padang Sidempuan, n.p.
Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific: The Near East and Asia. New Jersey: Englewood Diffs.
Merriam, Alan P., 1992, The Anthropology of Music, Evanston: North Western University Press.
Moore, Lynette M. 1985. "Songs of the Pakpak-Dairi of North Sumatra". For the degree
of Doctor of Philosophy Department of Music Monash University.
Myers, Helen. 1992. Ethnomusicology an Introduction. New York: The Macmillan Press. Naiborhu, Torang. 1992.
"Odong-odong Nyanyian Ratapan Rimba Pakpak-Dairi-Dairi:
Analisis Tekstual dan Musikologis. Lembaga Penelitian USU.
Naiborhu, Torang. 2002. "Ende-ende Merkemenjen: Nyanyian Ratap Penyadap Kemenyan di Hutan Rimba Pakpak-
Dairi-Dairi Sumatera Utara. Analisis Semiotik Teks, dan Konteks. Tesis S2 Pengkajian Seni Pertunjukan
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Nurkariana, 1992, "Studi Deskriptif tentang Aspek Musik Vokal pada Upacara Nendong di Desa Kineppen. "
Medan: Skripsi Sa~ana Etnomusikologi FS USU.
Pernerintah Daerah Sumatera Utara. 1976. Sumatera Utara Membangun. Medan: Pemda
Sumatera Utara.
Perkasa Alam, Tinggibarani, Ch, St. dkk., 1977. Buku Pela'aran Adat Tapanuli Selatan.
Padang Sidempuan,:n.p.
Putro, Brahma, 1999, Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Ulih Saber.
Raddiffe-Brown, A.R., 1992, Strudure and 1;'unction in Primitive Society, Glencoe: Free Press).
Sitepu, Anton, 1992, "Deskriptif Musik Vokal Katoneng-katoneng dalam Konteks Kerja Mengket Rumah pada
Masyarakat Karo. " Medan: Skripsi Sa~ana Enomusikologi FS USU.
Steward, Julian H., 1976, Theory of Culture Change: the Methodology of Multilinear Evolution, Urbana, Chichago,
London: University of Illinois Press.
Tarigan, Henry Guntur, 1990, Percikan Budaya Karo. Jakartw. Yayasan Merga Silima.
Bab VI. Masyarakat dan Kesenian Sumatera Utara
Tarigan, Kumalo, 1992, Aspek Metafora don Onomalopea dalam Tradisi Budaya Musik Karo. Medan: Fakultas Sastra
USU.
Rangkuti, Nursyafiah, 1983; Bahasa Daerah Angkola & Mandailing, Medan: n.p. Sitepu, Bujur, 1992, Adat-
Istiadat Karo. Jakata: Balai Pustaka.
Sukapiring, Peraturen dan Amhar Kudadiri. 1990. "Pelajaran Bahasa Pakpak-Dairi/Dairi".
Hasil Penelitian Fakultas Sastra USU.
Sumaryo, 1975; Musik Tradisional Indonesia. Jakarta: Lembaga Pendidikan Tinggi Kesenian Jakarta.
Siahaan, N.,1964; Seiarah Kebudayaan Batak, Medan: CV Napitupulu & Sons. Siregar, Parningotan, 1993;
Alkot Aek Alkotan Do Mudar, Bungabondar: Laporan
Penelitian.

129
Masyarakat Kesenian di Indonesia
BAB VII

KESENIAN DALAM KONTEKS BUDAYA


MASYARAKAT MINANGKABAU
4.1 Pengantar
Dalam konteks negara bangsa Indonesia, banyak tokoh nasional yang berasal dari kawasan ini. Di antaranya
adalah Mohammad Hatta, Sutan Syahrir, Haji Agus Salim, Muhammad Natsir, Haji Abdul malik Karim Amarullah
(HAMKA), dan lain- lainnya. Mereka begitu menonjol dalam pergerakan nasional Indonesia. Begitu juga selain
mereka ini sebagai tokoh nasional, umumnya mereka juga tokoh-tokoh Islam yang menonjol. Di era-era selepas Orde
Lama juga muncul beberapa tokoh dari Minangkabau ini, misalnya Haji Tarmizi Taher, Azwar Anas, Amin Rais
walaupun besar di Jawa tetapi adalah keturunan Minangkabau, Faisal Basri, dan lainnya.
Selain dari tokoh-tokoh pergerakan nasional, secara kultural etnik Minangkabau juga memiliki kemampuan
manajerial di bidang ekonomi. Mereka banyak berkecimpung di bidang ini. Bahkan secara budaya, etnik
Minangkabau memiliki potensi kuat untuk bekerja sebagai pedagang atau peniaga.
Orang-orang Minangkabau atau lazim disebut urang awak ini, memiliki budaya merantau, bahkan secara
budaya mereka memiliki tiga kawasan budaya yaitu darek (darat) dan pasisie (pesisir) yang memang sebagai
kawasan asal kebudayaan mereka. Kawasan ini disebut juga Ranah Minang. Di sisi lain mereka juga memandang
wilayah baru sebagai daerah perantauannya yang disebut tanah rantau, yang meliputi kawasan-
kawasan Sumatera dan Semenanjung Malaysia. Ini membuktikan bahwa konsep tentang wilayah budaya
Minangkabau mengalami perluasan dan pengembangan, bahkan melintasi
geografi negara. Di samping itu orang-orang Minangkabau ini sering pula menganggap dan dipandang
sebagai orang Melayu pula, dengan sebutan yang lazim yaitu suku Melayu Minangkabau. Namun dalm tulisan ini,
orang Minangkabau ini akan dikaji secara tersendiri tidak diintegrasikan ke dalam kebudayaan Melayu secara umum.
Hal yang menarik lainnya, bahwa sebahagian besar masyarakat di dunia ini, menarik garis keturunannya
adalah dari pihak ayah (patrialineal) , atau dari pihak ayah dan ibu sekali gus (parental). Bagi masyarakat
Minangkabau
7.2 mereka menarik garis keturunan dari pihak ibu atau emak (matrilineal). Ini menjadi identitas yang unik
Minangkabau
untuk dikaji dan dibahas.
Istilah Mari kita
Minangkabau lihat struktur
berasal dari duamasyarakat
akar katadan kesenian
yaitu, Minangkabau.
minang yang artinya
menang—dan kabau yang artinya kerbau. Istilah menang dan kerbau ini tak lepas dari sejarah ketika orang-orang
Minangkabau memenangkan pertandingan laga kerbau dengan tentara Majapahit di abad ke-12. Pada saat itu kerbau-
kerbau dari kerajaan Majapahit dikalahkan oleh kerbau-kerbau dari Minangkabau, yaitu kerbau Minangkabau adalah

130
Bab VI. Minangkabau
berupa anak kerbau yang sedang menyusu, namun dipuasakan selama beberapa hari, yang tanduknya dilapisi logam.
Akhirnya anak-anak kerbau ini menanduk kerbau-kerbau Majapahit, untuk menyusu, tetapi akhirnya kerbau-kerbau
Majapahit terluka dan kalah dalam pertarungan yang sedikit berunsur kecerdikan ini. Sejak itulah diperkirakan
digunakan istilah Minangkabau, yang populer sampai saat ini. Istilah Minangkabau ini sendiri akhirnya memberikan
makna sebagai sebuah kelompok etnik (suku bangsa) dan kebudayaan yang ada di pulau Sumatera, yang pada masa
sekarang ini, berpusat di Sumatera Barat.

7.2.1 Wilayah Budaya


Menurut Adam, daerah suku bangsa Minangkabau ditandai dengan masyarakatnya yang menganut adat-
stiadat Minangkabau, yang umumnya bermukim di Pulau Sumatera bagian tengah, meliputi Provinsi Sumatera Barat
(tidak termasuk Mentawai), sebagian hulu sungai Rokan, Kampar, dan Kuantan di Provinsi Riau, batang Tebo, dan
Muara Bungo di Provinsi Jambi serta hulu Sungai Merangin dan Muko-muko di Provinsi Bengkulu (Boestanoel
Arifin Adam 1970).
Penghulu mengatakan bahwa daerah Minangkabau terdiri dari: (1) darek, (2)
pasisie, dan (3) rantau. Secara tradisonal, masyarakat Minangkabau mempunyai dua wilayah pemerintahan
adat. Pembagian ini disesuaikan dengan kondisi masa Kerajaan Pagaruyung masih berdiri, yaitu: luhak dan rantau.
Daerah darek dikenal sebagai luhak nan tigo yang terdiri dari: (1) Luhak Tanah Data, (2) Luhak Agam, dan (3)
Luhak Limo Puluah Koto. Ada keterkaitan erat antara luhak dan rantau (Penghulu 1978:12).
Berdasarkan mitologi yang terdapat dalam tambo Minangkabau, pada mulanya luhak hidup secara
berkelompok pada daerah-daerah kecil yang bersifat kesatuan teritorial, bernama nagari. Nagari-nagari inilah yang
merupakan daerah asal penduduk rantau. Setiap nagari sekurang-kurangnya ditempati oleh empat suku (klen)
yang terdiri dari: Bodi, Chaniago, Koto, dan Piliang.
Orang-orang Minangkabau mempunyai mitos yang menceritakan bahwa mereka berasal daripada puncak
Gunung Merapi, seperti yang dikemukakan Junus:

Umumnya orang Minangkabau mencoba menghubungkan keturunan mereka dengan suatu tempat,
yaitu Periangan Padang Panjang. Mereka beranggapan bahwa nenek moyang mereka berpindah dari
tempat itu dan kemudian menyebar ke daerah penyeberangan yang ada sekarang. Hal ini mungkin
dapat dihubungkan dengan dongeng tentang nenek moyang orang Minangkabau yang berasal dari
gunung Merapi ketika gunung itu masih kecil (Umar Junus 1971:241).

Adat istiadat Minangkabau, sebagaimana pula Melayu, terdiri dari empat klasifikasi: (1) adat nan sabana
adat, (2) adat nan diadatkan, (3) adat nan taradat, dan
(4) adat istiadat. Konsep adat mereka, sebagai landasan tertinggi adalah syariat Islam,
seperti konsep: adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, syarak mangato, adat mamakai (Penghulu
Masyarakat Kesenian di Indonesia
7.2.2 Agama
Agama Islam masuk ke Minangkabau diperkirakan secara historis terjadi pada abad ke-13, dan kemudian
terjadi sinkretisasi dengan kepercayaan yang sedang berjalan saat itu, yaitu kepercayaan animisme dan dinamisme.
Kedua kepercayaan itu di Minangkabau masih terlihat di mana-mana, seperti dalam seni pertunjukan bakaba, randai,
basijobang, talempong unggan, tari piriang, dan lain-lainnya. Juga akan kita lihat sebelum acara pertunjukan
dimulai, seperangkat musik talempong diasapi dengan kemenyan dengan tujuan supaya dalam pertunjukan tidak
mengalami gangguan.
Masuknya agama Islam di Minangkabau diperkirakan dibawa oleh para pedagang dari Arab dan juga
sebahaginnya masuk dari wilayah Aceh. Pada mulanya hubungan antara penduduk setempat dengan para pedagang
Arab ini merupakan hubungan biasa. Akan tetapi kemudian hubungan itu berkembang berdasar sistem religi yang
bersifat Islami. Penyiaran dan perkembangan agama Islam melalui pedagang, dapat dipahami dari penggunaan kata
lebai untuk sebutan bagi seorang guru agama Islam. Kata tersebut berasal dari bahasa Tamil illepa yang artinya
adalah saudagar. Sumber lain memberikan petunjuk bahwa mula-mula agama Islam tersebut diajarkan oleh para
saudagar yang berdagang lada di pesisir Barat Minangkabau (Syarifuddin 1984:134-135).
Dari kawasan pesisir timur Minangkabau berkembang pula ajaran agama Islam
dan meluas sampai ke darek (luhak nan tigo) pada abad ke-14. Ajaran ini dibawa oleh Syekh Lebai Panjang
Janggut yang berasal dari Siak Sri Indrapura bersama para muridnya. Oleh karena penyebar dari pesisir barat dan
timur, maka kemudian muncullah pepatah adat yang menyatakan bahwa syarak mandaki, adat manurun. Artinya
agama Islam mula-mula berkembang di pasisie dan kemudian meluas ke darek. Oleh karena darek mempunyai
tempat yang lebih tinggi dari pesisir, maka digambarkan dengan kata syarak mandaki, sedangkan adat berasal dari
darek, kemudian berkembang ke pesisir, oleh karenanya diibaratkan dengan kata adat manurun. Secara kuantitatif
Islam berkembang secara merata di seluruh pelosok Minangkabau. Akan tetapi secara kualitatif adama Islam belum
dijalankan secara penuh oleh para pengikutnya. Keadaan ini dikemukakan oleh Koentjaraningrat sebagai berikut.

Kalau ada orang Minangkabau yang tidak menganut agama Islam, maka hal itu adalah suatu
keganjilan yang mengherankan, walaupun kebanyakan dari orang Minangkabau mungkin menganut
agama itu secara nominal saja, tanpa melakukan ibadahnya. Mereka boleh dikatakan tidak mengenal
unsur-unsur kepercayaan lain kecuali apa yang diajarkan Islam, mereka hanya percaya kepada Tuhan
sebagaimana yang diajarkan Islam. Dalam keadaan yang luar biasa banyak juga yang percaya kepada
hantu- hantu yang mendatangkan bencana dan penyakit kepada manusia (Koentjaraningrat 1982:254).

Dengan masuknya agama Islam ke Minangkabau terjadi sinkretisasi antara kepercayaan lama dengan agama
Islam. Sesuai dengan falsafah adat Minangkabau alam takambang jadi guru, maka etnik Minangkabau selalu selektif
terhadap kebudayaan yang datang. Selanjutnya sesuai dengan perkembangan zaman, di Minangkabau muncul

132
Bab VI. Minangkabau
erakan pemurnian (puritanisasi) agama Islam selepas beberapa alim-ulama meniba ilmu di Arab Saudi, terutama
yang beraliran Wahabiah. Gerakan ini adalah ingin menghapuskan bid’ah, khurafat, dan takhayul yang berkembang
di dalam masyarakat Minangkabau. Mereka yang melakukan puritanisasi agama Islam ini disebut kaum Paderi.
Akhirnya terjadilah pertarungan dengan kaum adat, yang akhirnya diterimalah agama Islam dalam konteks adat, yaitu
adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah, syarak mangato, adat mamakai. Pada masa sekarang ini
masyarakat muslim Minangkabai mayoritas bermazhab Sunni, dengan organisasi keagamaannya Muhammadiyah,
serta banyak yang ikut dalam partai politik yang berbasis Muhammadiyah atau kaum modernis, seperti Partai Amanat
Nasional dan Partai Keadilan Sejahtera.

7.2.3 Struktur Sosial


Ciri khas budaya Minangkabau adalah sistem sosial kemasyarakatan yang berdasar pada garis
keturunan ibu (matrilineal). Inilah yang biasanya dianggap sebagai salah satu unsur yang memberi identitas kepada
kebudayaan Minangkabau terutama yang dipopulerkan oleh roman-roman Balai Pustaka, pada periode pertama
abad kedua puluh.
Kelompok masyarakat terkecil di Minangkabau menurut sistem garis keturunan ibu adalah kaum (sesuku).
Setiap suku dipimpin oleh seorang kepala kaum yang disebut datuak (penghulu). Kaum merupakan kumpulan dari
beberapa paruik (perut), dan paruik merupakan gabungan dari keluarga dalam sistem matrilineal. Sebuah paruik (setali
darah) terdiri dari nenek, ibu, dan saudara-saudaranya (laki-laki dan perempuan), dan anak-anak dari saudara ibu
yang perempuan. Sebuah paruik dipimpin oleh seorang tungganai. Salah seorang tungganai dipilih secara
musyawarah untuk dituakan dan diangkat menjadi pemangku adat yaitu sebagai datuak (penghulu). Saudara laki-laki
ibu disebut dengan tungganai dalam paruik yang bersangkutan, dan semua saudara laki-laki dari ibu disebut mamak
oleh anak-anak dalam paruik, dan disebut kemenakan oleh saudara laki-laki ibu. Penghulu dalam sistem pemerintahan
nagari berperan untuk “mengisi adat.” Dalam hal ini seorang penghulu hanya berkuasa untuk menjaga dan
memelihara hubungan keluarga dalam satu organisasi kemasyarakatan.
Selain itu, di dalam sistem matrilineal yang garis keturunannya ditarik berdasarkan pada ibu, ibu memiliki
“kekuasaan” khusus dalam sistem sosial masyarakat Minangkabau. Ibu yang disebut bunda kanduang memiliki
keistimewaan yang dikategorikan ke dalam lima pokok, yaitu: (1) keturunan ditarik dari garis ibu; (2) umah tempat
kediaman; (3) sumber ekonomi diutamakan untuk perempuan; (4) yang menyimpan hasil ekonomi adalah
perempuan; dan (5) wanita mempunyai hak suara dalam musyawarah (Penghulu 1988:77-81). Kelima kategori
tersebut menunjukkan bahwa di Minangkabau telah ada emansipasi wanita, dan wanita ditempatkan pada kedudukan
yang sewajarnya, sehingga wanitalah yang berkuasa dalam rumah tangga. Dalam hal ini tungganai, mamak-mamak,
dan sumando (suami dari isteri) tidak boleh ikut campur dalam rumah ustri dan anak-anaknya. Kadang-kadang bila
anak kandungnya sendiri akan dikawinkan oleh mamak tungganai, penghulu, dan sumando atau ayah dari si anak
hanya diberi tahu saja dan tidak berhak membantah. Dengan demikian, tanggung

133
Masyarakat Kesenian di Indonesia
jawab suami terhadap istri dan anak menurut pokok adat Minangkabau tidak begitu besar. Hal ini dikarenakan oleh
interaksi dengan dunia luar belum ada sehingga kemungkinan untuk mengubah struktur sosial yang sudah ada sedikit
sekali.
Selain itu, dalam sistem matrilineal Minangkabau ayah dipandang dan diperlakukan sebagai tamu dalam
keluarga istri dan anaknya, yang tujuan utamanya untuk
memberikan keturunan terhadap keluarga istri. Dia disebut sumando atau urang sumando, karena
didatangkan atau berasal dari keluarga suku lain. Tampaknya yang syah adalah
dalam garis keturunan atau keluarga persukuan ibunya. Dalam keluarga tersebut ia berfungsi sebagai anggota
laki-laki yang berpern sebagai mamak dari anak saudara- saudara perempuannya. Secara tradisional, tanggung
jawabnya berada dalam keluarga itu. Ia menjadi wali serta pelindung harat benda milik persukuan tersebut. Akan
tetapi ia harus menahan diri untuk tidak menikmati hasil sawah ladang persukuannya, karena yang berhak untuk
semua itu adalah saudara perempuannya. Selain tidak berhak memperoleh hasil harta persukuan, ia juga tidak diberi
atau mendapat tempat tinggal di rumah ibunya, sebab semua bilik atau kamar hanya diperuntukkan bagi anggota
keluarga perempuan untuk menerima suami mereka di malam hari (Mochtar Naim 1984:24).
Meskipun ada tempat atau kamar di rumah ibunya yang memungkinkan untuk ditempati, namun itu “tabu”
untuk dilakukan. Masyarakat lain akan memandangnya
sebagai orang yang tidak mempunyai rasa malu, karena serumah dengan sumando atau suami adik atau
kakak perempuannya. Apabila untuk membawa istri dan anaknya bertempat tinggal di sana, sama sekali tidak
mungkin dilakukan, sebab hal yang demikian juga aib atau tabu bagi keluarga istri. Keluarga istri akan merasa malu
dan hina jika saudara atau kemenakannya bertempat tinggal di rumah persukuan lain, walau rumah tersebut milik
keluarga persukuan suaminya.
Dampak negatif dari sistem matrilineal di atas antara lain, suami di rumah isteri dan keluarga isterinya seperti
orang yang dimanjakan. Apabila suami merasa kurang mendapatkan pelayanan dari istri dan keluarga istrinya, sering
dengan mudah suami meninggalkan atau menceraikan istrinya. Lebih-lebih lagi pada waktu itu undang-undang
perkawinan dan perceraian dari pemerintah yang ada di luar Minangkabau seperti sekarang belum ada.
Untuk menghindari perceraian semacam itu, maka banyak di antara
istri yang kemudian berusaha memberikan layanan kepada suaminya secara berlebihan, agar suami tidak
meninggalkannya. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila seorang istri di Minangkabau memberi belanja atau
uang belanja untuk suami yang sesungguhnya dipandang tidak pantas oleh masyarakat di luar Minangkabau, maupun
oleh masyarakat Minangkabau sendiri.
Perubahan peranan ayah terhadap istri bisa terjadi karena berbagai faktor, di antaranya keinginan merantau
dari orang Minangkabau dan masuknya Islam ke Minangkabau. Hal ini membawa perubahan-perubahan pada cara
berpikir ayah dalam hal tanggung jawab hidup berkeluarga dengan istri dan anaknya. Dalam perantaunyya ia
melihat struktur sosial yang berbeda antara masyarakat kampung yang ditinggalkannya dengan masyarakat
daerah rantau yang ditemuinya. Dia melihat betapa akrabnya
Bab VI. Minangkabau
rumah untuk istri dan anaknya di kampung halaman. Rumah yang didirikan itu, walaupun masih di tanah kaum,
naum menjadi hak tinggalnya bersama istri dan anaknya. Meskipun demikian secara kultural mereka masih terikat
dalam satu keturunan dari rumah gadang itu. Dengan demikian jelas bahwa dalam struktur sosial Minangkabau,
peranan kaum laki-laki juga sangat besar dalam keluarga ibunya sebagai pimpinan suku atau kaum, setidak-tidaknya
sebagai tungganai rumah gadang (pimpinan keluarga rumah gadang).
Berdasarkan budaya merantau, orang Minangkabau banyak yang merantau ke Tanah Deli (Sumatera Utara).
Orang Minangkabau sering melakukan merantau, iaitu bermigrasi ke rantau. Istilah rantau dapat diartikan
sebagai dataran rendah atau daerah aliran sungai (Mochtar Naim 1984:2), sebagai tempat orang Minangkabau
mencari nafkah dengan meningalkan kampng halaman yang terletak di dataran tinggi. Akan tetapi, kini istilah rantau
tidak hanya terbatas kepada daerah rendah atau daerah aliran sungai, melainkan juga sudah berkonotasi dengan daerah
luar kampung halaman mereka. Kebiasaan merantau ini sangat besar pengaruh dan peranannya daripada segi sosial
dan ekonomi masyarakat Minangkabau.
Unsur-unsur pokok yang dikandung kata merantau adalah meninggalkan kampung halaman, dengan
kemauan sendiri, dalam jangka waktu yang lama atau tidak
lama, untuk mencari tingkat ekonomi yang lebih baik, menuntut ilmu, atau memperluas pengalaman.
Pada saatnya mereka pulang. Merantau adalah bagian dari budaya Minangkabau. Orang yang merantau bukan
meninggalkan susunan sosial, tetapi untuk memperkuatnya. Bermukim di rantau hanya salah satu cara untuk
mencari tujuan. Para migran di rantau diharapkan menemukan identitas sendiri, dalam menghadapi berbagai
kebudayaan dan susunan sosial lain. Para perantau daripada Minangkabau biasanya lebih menyadari akan
pentingnya kerukunan, senasib, dan sepenanggungan, dibanding mereka yang berada di kampung halaman (Mochtar
Naim 1984:3).
Migrasi orang Minangkabau ke Sumatera Timur, baru mulai pada akhir abad
kesembilan belas, ketika perkebunan-perkebunan besar asing mulai dibuka (Mochtar Naim 1984:97).
Kebanyakan mereka bukan bekerja sebagai buruh perkebunan, melainkan menjajakan barang dagangannya dari
perkebunan yang satu ke perkebunan yang lain, atau menetap di kota-kota di Sumatera Timur untuk berdagang.
Sesudah Revolusi Kemerdekaan berakhir, arus migrasi orang Minangkabau bertambah dalam jumlah yang lebih besar
dibandingkan dengan sebelumnya. Terutama sewaktu berlangsungnya pemberontakan PRRI (Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia) terjadi arus migrasi yang paling besar (Mochtar Naim 1984:97).
Jika kita lihat jenis pekerjaan perantau Minangkabau, yang dominan adalah pedagang eceran sampai grosir,
usaha penjahitan, rumah makan Minangkabau/Melayu, menjajakan sate Padang, industri kerajinan pakaian jadi;
yang bersaing dengan orang Tionghoa atau menggantikan posisi orang Tionghoa yang sudah naik tingkat
ekonominya. Selain pekerjaan-pekerjaan itu, usaha percetakan, usaha penerbitan, tokoh buku, toko alat tulis, dan
bidang kewartawanan ditangani oleh orang Minangkabau dalam persentasi yang lebih tinggi, terutama sebelum
perang kemerdekaan. Pejabat tinggi, guru-guru sekolah, dan dosen, serta mahasiswa di Sumatera Utara banyak
dari
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Sumatera Barat. Oleh karena perkembangan pendidikan di Sumatera Barat mendahului daerah Sumatera Timur di
bawah pemerintahan Hindia-Belanda, maka para migran Sumatera Barat diterima di instansi-instansi pemerintah
atau usaha-usaha swasta sebagai pegawai, guru, juru tulis, ahli mesin, dan sebagainya.
Dalam pergerakan Nasional, orang Minangkabau memainkan peranan penting
di rantau. Hal ini dikeranakan mereka tinggi kesadarannya atas agama Islam dan giat menggabungkan diri ke
dalam organisasi sosial dan partai politik yang progresif, terutama di Muhammadiyah dan Masyumi.
Para perantau Minangkabau di Sumatera Timur berkelompok pula menurut tempat asalnya seperti
sekampung, seluhak seperti wilayah Pariaman, Maninjau, Batu Sangkar, Pasaman, dan lain-lain demi menanggulangi
masalah yang bersangkutan dengan kerukunan dan adat mereka.
Orang-orang Minangkabau dan Melayu sejak awalnya juga sadar tentang persamaan-persamaan budaya
mereka. Daerah Negeri Sembilan di Semenanjung Malaysia termasuk ke dalam daerah rantau Minangkabau.
Mantan Yang Dipertuan Agong Malaysia, Tengku Za'farsyah, adalah keturunan Minangkabau. Tidak jarang
pula orang Minangkabau menyebutkan dirinya sebagai Melayu Minangkabau. Diperkirakan orang-orang
Melayu Deli, Serdang, dan Langkat berasal dari pembauran
etnik Minangkabau serta Johor (Ratna 1990:45).
Bukti lain adanya hubungan antara Minangkabau dengan Melayu Sumatera Utara ini dapat dilihat daripada
dialek yang dipergunakan oleh masyarakat Melayu di Asahan Sumatera Utara mirip dengan bahasa Minangkabau.
Selain itu nama-nama tempat di Asahan ada yang sama dengan nama-nama tempat di Minangkabau, seperti Lima
Laras, Pesisir,
Dalamdankonteks
Kota Lima
seni Puluh.
ikut serta ronggeng ada beberapa etnik Minangkabau yang atau
menjadi seniman ronggeng terkenal pengelolanya. Miss Ribut adalah salah seorang
Minangkabau dan Mandailing. Para seniman dan
keturunan
intelektual tari tradisi dan garapan baru Melayu Sumatera Timur banyak juga yang berasal daripada etnik
Minangkabau, seperti Dra. Delinar Adlin, Syainul Irwan, S.H., Yusnizar Heniwaty, SST., Arifni Netriroza, SST., dan
lainnya. Bahkan seorang pengusaha Minangkabau di Medan, yang mengelola hotel Garuda Plaza di Jalan Si
Singamangaraja, memasukkan musik ronggeng sebagai salah satu acara hiburannya. Lagu daripada Minangkabau
yang populer bagi masyarakat Sumatera Utara, yang dipergunakan pada seni ronggeng Melayu adalah lagu Haji
Lahore dan Babendi- bendi.

7.3 Seni Pertunjukan


Segala bentuk kesenian di Minangkabau, khususnya yang berbentuk seni pertunjukan seperti musik, tari, dan
teater dikategorikan ke dalam istilah pamainan anak nagari (permainan rakyat). Permainan rakyat itu bersifat
demokratis, artinya milik bersama (Navis 1986:124). Apapaun bentuknya permainan rakyat itu sifatnya terbuka
dan dipertunjukkan sebagai hiburan masyarakat Minangkabau dan yang lebih luas dari itu. Secara umum permainan
anak negeri, dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu: (a) bunyi-bunyian dan (b) pamainan (permainan). Konsep
bunyi-bunyian diartikan sebagai
Bab VI. Minangkabau
musik (vokal dan instrumental), antara lain: talempong, dendang, rabab, saluang, sampelong, salawat, indang,
basijobang, dikia, dan randai.

Peta 7.1
Wilayah Budaya Minangkabau: Darek, Pasisise, dan Rantau

Adapun konsep pamainan diartikan sebagai bentuk kesenian yang lebih menekankan aspek permainannya
seperti kelincahan dan ketangkasan pada gerak. Dalam hal ini musik hanya sebagai pengiring atau pelengkap saja.
Aspek utamanya adalah aspek lain dari pertunjukan itu misalnya isi dari cerita yang disajikan, unsur keindahan, unsur
kerasukan dan kesurupan (poesessed dan trance), magis, dan sebagainya. Contohnya antara lain yang terdapat pada
kesenian randai, dabus, pencak silat, dan lain-lainnya.
Semua bentuk kesenian di atas termasuk adat istiadat bagi masyarakat Minangkabau. Dikatakan demikian
karena semuanya itu merupakan hiburan anak nagari
(masyarakat) yang telah dibiasakan dan disepakati oleh ninik mamak dan penghulu
sebagai pimpinan adat. Kesenian itu adalah milik rakyat dan dipertunjukkan untuk rakyat. Tidak ada di
Minangkabau jenis kesenian yang khusus dipersembahkan kepada satu lapisan masyarakat tertentu, dan tidak ada pula
bentuk kesenian yang menjadi milik pribadi atau milik kelompok dalam masyarakat Minangkabau, semua adalah
milik bersama.
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Kesenian talempong merupakan kesenian adat yang sifatnya tidak mengikat. Dikatakan kesenian adat, karena
pertumbuhannya sama dengan pertumbuhan adat Minangkabau, dan sama asalnya dengan adat, dan dipergunakan
dalam setiap upacara adat. Dapat dikatakan bahwa talempong merupakan suatu budaya, yaitu suatu budaya kesenian
yang termasuk ke dalam kultur peradatan. Dikatakan tidak mengikat, karena kesenian talempong dalam adat
Minangkabau bukan merupakan suatu yang wajib, dalam arti tidak harus ada. Kesenian dalam adat Minangkabau
hanya bersifat pelengkap, yang digunakan untuk memeriahkan upacara-upacara yang berhubungan dengan adat dan
agama Islam.
Kesenian merupakan perhiasan nagari di Minangkabau yang diterima sebagai warisan budaya nenek moyang
dari zaman dahulu sampai sekarang. Ia sebagai perhiasan nagari yang akan dipakai sepanjang masa, yang harus dapat
menyesuaikan diri dengan zaman yang dilaluinya, dan dapat menerima unsur budaya asing asal tidak bertentangan
dengan adat dan syarak (Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu 1988: 197).
Sifat keterbukaan orang Minangkabau terhadap masuknya budaya luar tidak meruntuhkan budaya yang
sudah ada, bahkan akan memperkaya kebudayaan itu sendiri.
Bagi mereka tidak dipersoalkan dari mana budaya itu datang, yang utama adalah tidak bertentangan dengan
adat dan kebiasaan di Minangkabau, maka budaya itu mereka
tradisikan sebagai milik mereka sendiri. Hal ini dapat kita lihat pada musik talempong kreasi baru dengan
sistem nada diatonik yang sekarang sudah menjadi musik tradisional Minangkabau. Sampai sekarang talempong
berkembang baik dalam Kota Padang atau di luarnya.
Adapun alat-alat musik yang terdapat di wilayah budaya Minangkabau ini, menurut sistem klasifikasi
tradisionalnya adalah sebagai berikut. Kelompok alat musik pertama yaitu alat musik Minangkabau asli, terdiri dari
alat-alat musik yang dipukul (dipukua) adalah: talempong, celempong, celenang, canang, conang, mongan,
mongmong, mongmongan (gong chimes). Kemudian ada talempong kayu, aguang, oguang, tawak, ogung jana, gung,
dan gandang tigo. Kemudian gandang, gondang, gandang duo, gandang katindik. Ada pula adok, alu
bakatentong, katuek-katuek, dan
lasuang. Alat musik yang termasuk dalam klasifikasi nan dipupuik (ditiup) adalah:
singkadu (cingkadu), saluang, bansi, sampelong, sarune, sarune batang padi, sadam, pupuik gadang, pupuik
baranak, pupuik tandak, pupuik daun galundi. Kemudian alat-alat musik dalam klasifikasi nan dipatiek (dipetik) yaitu
kucapi. Selanjutnya klasifikasi alat- alat musik nan ditarek (ditarik) yaitu: genggong (jews harp) dan kucapi bambu.
Alat musik nan digesek yaitu rabab. Alat musik nan dipusiang (yang dipusing) yaitu gasiang. Kelompok kedua
adalah alat-alat musik yang berasal dari kebudayaan Islam, terdiri dari nan dipukua adalah: tabuah, rabano, indang
atau rapai, dulang atau talam (untuk salawek dulang), dol (gendang dua sisi), dan tasa (drum berbentuk ketel).
Kelompok alat musik Islam nan dipatiek (dipetik) adalah: gambus (lute petik). Kelompok yang ketiga adalah alat-alat
musik dari kebudayaan Barat, yang terdiri dari nan dipukua (yang dipukul) yaitu: bongo, nan dipupuik saksofon, nan
digesek rabab pasisie dan biola, nan dipatiek gitar dan ukulele, dan lain-lain.
Musik vokal di Minangkabau terdiri dari: (a) dendang ratok (nyanyian ratapan), yaitu nyanyian-nyanyian
yang dilagukan dengan disertai ratapan. Baratok atau meratap
Bab VI. Minangkabau
awalnya dipraktikkan oleh masyarakat Islam Syi’ah, yaitu meratapi kematian Hasan dan Husein cucunda Nabi
Muhammad ketika terbunuh oleh tentara Yazid di Padang Karbala;
(b) dendang kaba adalah dendang yang digunakan untuk menceritakan genre cerita rakyat Minangkabau yang disebut
kaba, awalnya berkembang di pesisir Barat Minangkabau, dengan cerita pertama dan utama bertajuk Anggun nan
Tongga Magek Jabang. Contoh
cerita lain dari kaba adalah: Gadang Batipuah, Dayang Daini, Raimah Jaho, Aliyok (Talipuak Latua), Si Jobang, dan
lainnya. (c) Dendang gembira (dendang tari) adalah
dendang-dendang yang umum dipertunjukkan oleh masyarakat Minangkabau, yang mengekspresikan kegembiraan
dan lebih banyak digunakan mengiringi tarian. Contohnya di Luhak Lima Puluah Koto adalah: Situjuah dan
Indang Sari Lamak; di Luhak Agam adalah: Sibungsu Babilang Malam, Dendang Talu, Sikuabang Cari,
Simarantang; di Luhak Tana Data adalah: Ini Din Tak Din Din, Sikanduang Iyo, Din Din, dan lain-lain. (d) Salawaik
talam atau salawaik dulang, yaitu nyanyian salawat (pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad), muncul dikenalkan
oleh Syekh Burhanuddin penyebar agama Islam di Minangkabau. Lagu-lagunya berbahasa Arab dan Minang. Genre
ini ditandai dengan penggunaan alat musik berupa talam atau dulang. Bentuk penyajiannya adalah antifonal, dua
grup saling bersahut-sahutan. (e) Baindang atau
berindang adalah jenis nyanyain tradisional Minangkabau berupa pantun yang
dinyanyikan oleh dua penyanyi yang saling bersahut-sahutan, dengan ciri utamanya mengunakan alat musik indang.
Kemudian dari aspek musik etnik Minangkabau yang paling terkenal dan menjadi ciri khas yang kuat adalah genre
musik talempong. Alat musik talempong adalah berupa gong kecil yang berpencu terbuat dari tembaga atau
kuningan. Alat musik ini cara memainkannya ada yang dipegang (pacik), ada juga yang disusun di atas rak (rea).

Daftar Pustaka untuk Memperdalam kajian


A.A. Navis, 1986. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau. Jakarta: Grafiti Press.
Amir Syarifuddin, 1984. Pelaksanan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau. Jakarta:
Gunung Agung.
Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, 1988a. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syarak di Minangkabau. Bandung:
Remadja Karya.
Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, 1988b. Pegangan Penghulu Bundo Kanduang dan Pidato Alua Pasambahan
Adat Minangkabau. Jakarta: Remaja Karya.
Koentjaraningrat, 1982. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan. Mariaty Mochtar, 1973. Dendang
Minang di Tengah-tengah Masyarakat Minangkabau.
Padang Panjang: Skripsi Sarjana Muda ASKI Padang Panjang.
Mochtar Naim, 1984. Merantau Pola Migrasi suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Syeilendra, 1997. Musik Talempong Fungsinya pada Industri pariwisata di Kotamadya Padang, Sumaetra Barat.
Yogyakarta: Tesis S-2 Universitas Gadjah Mada. 139
Masyarakat Kesenian di Indonesia

BAB VII

MASYARAKAT DAN KESENIAN


8.1 Pengantar
Kalimantan atau yang lazim disebutKALIMANTA N pulau terbesar
dengan Borneo adalah sebuah di Nusantara selain pulau
Papua. Istilah Kalimantan adalah berasal dari bahasa Melayu Banjar yaitu dari dua suku kata kali yang artinya sungai
dan mantan atau penganten yang artinya adalah mempelai. Jadi secara harfiah Kalimantan artinya sungai tempat
berlayarnya sepasang pengantin. Makna ini memberikan pengertian bahwa sungai merupakan urat nadi utama di pulau
besar ini dalam rangka kegiatan ekonomi dan transportasi.
Secara umum, kalau kita membicarakan Kalimantan, tentu yang terbayang dalam benak kita adalah suku
bangsa yang mendiaminya adalah orang Melayu dan Dayak. Ini adalah pandangan umum kita secara sekilas saja.
Namun jika diperhatikan lebih rinci, orang Melayu pun terdiri lagi dari beberapa puaknya seperti Banjar, Kutai,
Mahakam, dan seterusnya. Begitu juga dengan Dayak yang terdiri dari ratusan suku lagi seperti: Suku Kenyah, Suku
Modang, Suku Muruts, Suku Badat, Suku Barai, Suku Bangau, Suku Bukat, Suku Galik, Suku Gun, Suku Jangkang,
Suku Kalis, Suku Kayan, Suku Kayanan, Suku Kede, Suku Keramai, Suku Klemantan, Suku Pos, Suku Punti, Suku
Randuk, Suku Ribun, Suku Cempedek, Suku Dalam, Suku Darok, Suku Kopak, Suku Koyon, Suku Lara, Suku
Senunang, dan masih banyak lagi yang lainnya. Di samping itu, sesuai dengan peredaran masa, maka etnik-etnik
pendatang juga memperlihatkan geliat eksistensinya. Suku-suku seperti Jawa, Bugis, Makassar, Madura, Tionghoa,
telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kebudayaan di Kalimantan ini. Bagaimana struktur masyarakat dan
kesenian di Kalimantan, mari kita lihat sesuai dengan uraian berikut ini.

8.2 Kalimantan Barat


Dalam konteks pemerintahan di Kalimantan Barat, maka tanggal penting adalah 1 Januari 1957 (hari jadi),
ibukotanya Pontianak, luas keseluruhan adalah 146.807 km², jumlah penduduk adalah 4.073.304 jiwa (berdasarkan
sensus 2004), jumlah kabupaten 10, jumlah pemerintahan kota 2, jumlah kecamatan 136, dan jumlah kelurahan/desa
1445. Suku-suku bangsa di Kalimantan Barat adalah: Suku Melayu , Suku Dayak, Suku Tionghoa, Suku Jawa, Suku
Madura, Suku Bugis. Adapun agama yang dianut penduduknya adalah: Agama Islam (57,6%), Katolik (24,1%),
Protestan (10%), Buddha (6,4%), Hindu (0,2%), lain-lain (1,7%). Bahasa yang digunakan Bahasa Indonesia, Bahasa
Melayu, Bahasa Dayak, dan Bahasa Tionghoa. Zona waktunya adalah Waktu Indonesai Babian Barat. Lagu daerah Cik
Cik Periok (www.kalbar.go.id).
Kalimantan Barat adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan, dan beribukotakan
Pontianak. Secara geografis, Provinsi Kalimantan Barat terletak di antara 108º BT hingga 114º BT, dan antara 2º6' LU
hingga 3º5' LS. Luas wilayah Provinsi Kalimantan Barat adalah 146.807 km² (7,53% luas Indonesia).

140
Bab VIII. Kalimantan
Merupakan provinsi terluas keempat setelah Papua, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Daerah Kalimantan
Barat termasuk salah satu daerah yang dapat dijuluki propinsi "Seribu Sungai". Julukan ini selaras dengan kondisi
geografis yang mempunyai ratusan sungai besar dan kecil yang diantaranya dapat dan sering dilayari. Beberapa
sungai besar sampai saat ini masih merupakan urat nadi dan jalur utama untuk angkutan daerah pedalaman, walaupun
prasarana jalan darat telah dapat menjangkau sebagian besar kecamatan. Walaupun sebagian kecil wilayah Kalbar
merupakan perairan laut, akan tetapi Kalbar memiliki puluhan pulau besar dan kecil (sebagian tidak berpenghuni)
yang tersebar sepanjang Selat Karimata dan Laut Natuna yang berbatasan dengan wilayah Provinsi Riau. Jumlah
penduduk di Provinsi Kalimantan Barat menurut sensus tahun 2000 berjumlah 4.073.430 jiwa (1,85% penduduk
Indonesia).
Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda berdasarkan Keputusan Gubemur Jenderal yang dimuat dalam
STB 1938 No. 352, antara lain mengatur dan menetapkan bahwa ibukota wilayah administratif Gouvemement Bomeo
berkedudukan di Banjarmasin dibagi atas 2 Residentir, salah satu diantaranya adalah Residentie Waterafdeling Van
Bomeo dengan ibukota Pontianak yang dipimpin oleh seorang Residen.Pada tanggal 1 Januari 1957 Kalimantan Barat
resmi menjadi provinsi yang berdiri sendiri di Pulau Kalimantan, berdasarkan Undang-undang Nomor 25 tahun 1956
tanggal 7 Desember 1956. Undang-undang tersebut juga menjadi dasar pembentukan dua provinsi lainnya di pulau
terbesar di Nusantara itu. Kedua provinsi itu adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Iklim di kalimantan barat beriklim tropik basah, curah hujan merata sepanjang tahun dengan puncak hujan
terjadi pada bulan Januari dan Oktober suhu udara rata-rata antara 26,0 s/d 27,0.kelembapan rata-tara antara 80% s/d
90%. Daerah Kalimantan Barat dihuni oleh aneka ragam suku bangsa. Suku bangsa mayoritasnya yaitu
Dayak,Melayu dan Tionghoa, yang jumlahnya melebihi 90% penduduk Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat juga
suku-suku bangsa lain, antara lain Bugis, Jawa, Madura, Minangkabau, Sunda, Batak, dan lain-lain yang jumlahnya
dibawah 10%.
Suku Dayak terdiri dari lima rumpun yaitu: (1) Rumpun Iban, (2) Rumpun
Darat, (3) Rumpun Ot Danum, (4) Rumpun Punan, (5) Rumpun Apo Kayan. Suku-suku ini terdiri atas:
Suku Iban, Suku Bidayuh, Suku Seberuang, Suku Mualang, Suku Kanayatan, Suku Mali, Suku Sekujam, Suku
Sekubang, Suku Kantuk, Suku Ketungau, Suku Desa, Suku Hovongan, Suku Uheng Kereho, Suku Babak, Suku
Badat, Suku Barai, Suku Bangau, Suku Bukat, Suku Galik, Suku Gun, Suku Jangkang, Suku Kalis, Suku Kayan,
Suku Kayanan, Suku Kede, Suku Keramai, Suku Klemantan, Suku Pos, Suku Punti, Suku Randuk, Suku Ribun, Suku
Cempedek, Suku Dalam, Suku Darok, Suku Kopak, Suku Koyon, Suku Lara, Suku Senunang, Suku Sisang, Suku
Sintang, Suku Suhaid, Suku Sungkung, Suku Limbai, Suku Maloh, Suku Mayau, Suku Mentebak, Suku Menyangka,
Suku Sanggau, Suku Sani, Suku Sekajang, Suku Selayang, Suku Selimpat, Suku Dusun, Suku Embaloh, Suku
Empayuh , Suku Engkarong, Suku Ensanang, Suku Menyanya, Suku Merau, Suku Muara, Suku Muduh, Suku Muluk,
Suku Ngabang, Suku Ngalampan, Suku Ngamukit, Suku Nganayat, Suku Panu Suku Pengkedang, Suku Pompang,
Suku Senangkan, Suku Suruh, Suku Tabuas, Suku Taman, dan Suku Tingui.
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Masyarakat Melayu lokal/Senganan dan suku lainnya terdiri dari: Suku Melayu, Suku Sambas, Suku Banjar, Suku
Pesaguan, Suku Bugis, Suku Jawa, Suku Madura, Suku Minang Suku Batak, dan lain-lain. Selain itu masyarakat
keturunan Tionghoa, terdiri dari suku: Hakka, Tiochiu, dan lain-lain
Bahasa Indonesia merupakan bahasa yang secara umum dipakai oleh masyarakat di Kalimantan Barat.
Selain itu, terdapat pula bahasa-bahasa daerah yang juga banyak
dipakai seperti Bahasa Melayu, beragam jenis Bahasa Dayak, Menurut penelitian Institut Dayakologi terdapat
188 dialek yang dituturkan oleh suku Dayak dan Bahasa Tionghoa seperti Tiochiu dan Khek/Hakka.Bahasa Melayu di
kalbar terdiri atas beberapa jenis, antara lain Bahasa Melayu Pontianak, Bahasa Melayu Sanggau, dan Bahasa Melayu
Sambas. Bahasa Melayu Pontianak sendiri memiliki logat yang hampir mirip dengan bahas Melayu Malaysia dan
Melayu Riau.
Pendidikan di Kalimantan Barat, Perguruan Tinggi /Universitas di Kalimantan Barat adalah Universitas
Tanjungpura, STAIN Pontianak, Universitas Pancabakti , Politeknik Negeri Pontianak, Universitas Muhammadiyah,
Politeknik Kesehatan , ASMI Pontianak, ABA Pontianak, STIE Pontianak, Akademi Sekretari dan Manajemen
Widya
Dharma, Politeknik Tonggak Equator (POLTEQ), Universitas Kapuas Sintang, STIH Singkawang, STMIK
Pontianak, Akademi Manajemen Informatika dan Komputer Widya
Dharma, Akademi Bahasa Asing Widya Dharma, Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Widya Dharma, Unit
Program Belajar Jarak Jauh Universitas Terbuka, dan lain-lain.
Kabupaten di Provinsi Kalimantan Barat adalah sebagaiberikut: (1) Kabupaten Sambas ibukotanya Sambas,
(2) Kabupaten Pontianak ibukotanya Mempawah, (3) Kabupaten Sanggau ibukotanya Batang Tarang, (4) Kabupaten
Ketapang ibukotanya Ketapang, (5) Kabupaten Sintang ibukotanya Sintang, (6) Kabupaten Kapuas Hulu ibukotanya
Putussibau, (7) Kabupaten Bengkayang ibukotanya Bengkayang, (8) Kabupaten Landak ibukotanya Ngabang, (9)
Kabupaten Melawi ibukotanya Nanga Pinoh,
(10) Kabupaten Sekadau ibukotanya Sekadau, (11) Kabupaten Kayong Utara ibukotanya Sukadana, (12)
Kabupaten Kubu Raya ibukotanya Sungai Raya, (13) Kota Pontianak, dan
(14) Kota Singkawang. Kalimantan Barat memiliki potensi pertanian dan perkebunan
yang cukup melimpah. Hasil pertanian Kalimantan Barat diantaranya adalah padi, jagung, kedelai, dan
lain-lain. Sedangkan hasil perkebunan diantaranya adalah karet, kelapa sawit, kelapa, lidah buaya, dan lain-lain.

8.3 Kalimantan Selatan


Tanggal penting7 Desember 1956 (hari jadi), ibu kota Banjarmasin, luas keseluruhan 36.985 km², jumah
penduduk3.054.129 (2002), angka kematian anak: 67/1.000 kelahiran. Provinsi Kalimantan Selatan terdiri dari: 11
Kabupaten, 2 buah Kota, 11 Kecamatan, 1.833 kelurahan/desa. Suku-suku setempat yang terdapat di Provinsi
Kalimantan Selatan adalah suku: Banjar, Bukit, Bakumpai, Dusun Deyah, dan Maanyan. Masyarakat di Kalimanya
Selatan menganut Agama Islam (96,80%), Protestan (28,51%), Katolik (18,12%), Hindu (9,51%), dan Buddha
(17,59%). Bahasa resmi adalah bahasa Indonesia, dan terdapat pula bahasa etnik setempat yaitu Bahasa Banjar ,
Bab VIII. Kalimantan

Provinsi Kalimantan Selatan adalah Waktu Indonesia Bagian Tengah (WITA). Lagu Daerahnya bertajuk Saputangan
Babuncu Ampat.
Kalimantan Selatan adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibu
kotanya adalah Banjarmasin. Provinsi ini mempunyai 11
kabupaten dan 2 kota. DPRD Kalsel dengan surat keputusan no.2 tahun 1989 tanggal 31 Mei 1989
menetapkan 14 Agustus 1950 sebagai Hari Jadi Provinsi Kalimantan Selatan.
Tanggal 14 Agustus 1950 melalui Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 1950, merupakan tanggal dibentuknya
sepuluh provinsi, setelah pembubaran RIS, salah satunya provinsi Kalimantan dengan gubemur Dokter Moerjani.
Sejarah. Tahun 8000 SM: Migrasi I, Manusia ras Austrolomelanesia mendiami gua-gua di pegunungan
Meratus. Ras ini melanjutkan migrasi ke pulau Papua dan Australia. Fosilnya ditemukan di Gua Babi di Gunung Batu
Buli, Desa Randu, Muara Uya, Tabalong. 2500 SM : Migrasi II yaitu bangsa Melayu Proto dari pulau Formosa ke
pulau Bomeo yang menjadi nenek moyang suku Dayak (rumpun Ot Danum). 1500 SM : Migrasi bangsa Melayu
Deutero ke pulau Bomeo. 400: Migrasi orang India (Tamil) menyebarkan agama Hindu ke Kalimantan, bersamaan
dengan migrasi orang Sumatera
yang membawa bahasa Melayu dan mulai tumbuhnya Bahasa Banjar Hulu. 520: Munculnya Kerajaan
Tanjungpuri di Tanjung, Tabalong yang didirikan suku Melayu.
600: Suku Dayak Maanyan melakukan migrasi ke pulau Bangka selanjutnya ke Madagaskar. 1200: Ampu
Jatmika mendirikan pemukiman dan Candi Laras dengan pondasi tiang pancang ulin yang disebut kalang-sunduk di
wilayah rawa daerah aliran sungai Tapin dan menobatkan dirinya sebagai raja Kerajaan Negara Dipa. 1200: Ampu
Jatmika menaklukan penduduk asli wilayah Banua Lima yaitu lima daerah aliran sungai (DAS) yaitu Batang Alai,
Tabalong, Balangan, Pitap, dan Amandit serta daerah perbukitan (Bukit), selanjutnya mendirikan Candi Agung di
Amuntai Tengah, Hulu Sungai Utara. 1360: Lambung Mangkurat, Patih Kerajaan Negara Dipa berangkat ke
Majapahit untuk melamar Raden Putra, sebagai calon suami Putri Junjung Buih. 1362:
Wilayah Barito, Tabalong dan Sawuku menjadi daerah taklukan Kerajaan Majapahit. Hancumya Kerajaan
Nan Sarunai, kerajaan Suku Dayak Maanyan karena serangan
Majapahit. Pangeran Suryanata dari Majapahit berhasil menjadi raja Negara Dipa. 1400: Masa Kerajaan
Negara Daha, Raden Sekarsungsang menjadi Raja pertama. 1526: Banjarmasih, pemukiman Olohmasih, dipimpin
Patih Masih. 1526-1550: Masa pemerintahan Pangeran Samudera (Raja I) di Kerajaan Banjar. Setelah mendapat
dukungan Kesultanan Demak untuk lepas dari Kerajaan Negara Daha.
24 September 1526/6 Zulhijjah 932 H: Pangeran Samudera memeluk Islam dan bergelar Sultan Suriansyah.
1550-1570: Masa pemerintahan Sultan Rahmatullah (Raja II) di Banjarmasin 1570-1620 : Masa pemerintahan Sultan
Hidayatullah (Raja III) di Banjarmasin. 1520-1620: Masa pemerintahan Sultan Musta'inbillah (Raja IV) di
Banjarmasin hingga 1612. 1596: Belanda merampas 2 jung lada dari Banjarmasin yang
berdagang di Kesultanan Banten. 7 Juli 1607: Ekspedisi Belanda dipimpin Koopman Gillis Michaelszoon
tiba di Banjarmasin. 1612: Belanda menembak hancur Banjar Lama
Masyarakat Kesenian di Indonesia
1787 : Pangeran Amir (kakek Antasari) ditangkap Belanda, selanjutnya diasingkan ke Srilangka, setelah mengadakan
perlawanan terhadap Belanda dengan 3000 pengikutnya. 15 Muharam 1251 H/1825: Undang Undang Sultan Adam
(UUSA 1825). 1859: Sultan Tamjidillah yang disetujui Belanda sebagai raja Banjar, diturunkan dari tahta dan
diasingkan ke Bogor. 11 November 1858: Pertama kali meletusnya Perang Banjar, dipimpin Pangeran Antasari. 28
April 1859 : Pasukan Antasari menyerang tambang batubara milik Belanda di Pengaron, Banjar. 17 Agustus 1860:
Pangeran Antasari mendirikan Benteng Tabalong. 4 Mei 1861 : Pertempuran Paringin antara pasukan Antasari
melawan Belanda. 14 Maret 1862 (13 Ramadhan 1278 H) : Pangeran Antasari ditabalkan sebagai Panembahan. 1899 :
Residen C.A Kroesen memimpin Zuider en Ooster Afdeeling van Bomeo. Tanggal 24 Januari 1905 : Sultan
Muhammad Seman, putra Pangeran Antasari gugur melawan Belanda. 1915: Sarekat Islam mendirikan Madrasah
Darussalam di Martapura. Tahun 1919: Banjarmasin mendapat otonom pemerintahan menjadi Gemeente
Bandjermasin. Tahun 1923: National Bomeo Congres ke-1. 29-31 Maret 1924: National Bomeo Congres ke-2, dihadiri
wakil-wakil Perserikatan Dayak dan Sarekat Islam lokal. 5 Maret 1930 : Keluamya ketetapan no. 253 dan 254 tentang
berdirinya cabang Muhammadiyah di Banjarmasin dan Alabio. Tahun 1938: Wester afdeeling van Bomeo, Zuider en
Ooster Afdeeling van Bomeo menjadi sebuah propinsi di Hindia Belanda. Gemeente Bandjermasin ditingkatkan
menjadi Stads Gemeente Bandjermasin. Tanggal 5 Desember 1941: Jepang membom Lapangan Terbang Ulin.
Kemudian tanggal 21 Januari 1942: Jepang menembak jatuh pesawat Catalina-Belanda di sungai Barito perairan
Alalak, Barito Kuala. Tanggal 8 Februari 1942: Jepang memasuki Muara Uya, Tabalong, Gubemur Haga mengungsi
ke Kuala Kapuas menuju Puruk Cahu, Murung Raya. Tanggal 10 Februari 1942 : Tentara Jepang memasuki
Banjarmasin, sejak
6 Februari 1942 pemerintahan kota sudah vacum. Bulan Februari 1942: Dengan persetujuan walikota Banjarmasin H.
Mulder dibentuk Pimpinan Pemerintahan Civil (PPC) diketuai Mr. Rusbandi, sebagai pemerintahan sementara.
Tanggal 12 Februari 1942 : Tentara Jepang mengeluarkan maklumat kota Bajarmasin dan daerahnya diserahkan
kepada PPC (Pimpinan Pemerintahan Civil). Tanggal 5 Maret 1942 : A.A Hamidhan menerbitkan surat kabar
Kalimantan Raya. Tanggal 18 Maret 1942 : Kiai Pangeran Musa Ardi Kesuma ditunjuk Jepang sebagai Ridzie,
penguasa penuh dan tertinggi pemerintah sipil meliputi wilayah Banjarmasin, Hulu Sungai dan Kapuas-Barito
(Dayak Besar). Tanggal 17 April 1945: Rakyat Banjarmasin mulai diwajibkan memberi hormat dengan
membungkukkan badan kepada setiap tentara Jepang baik yang naik sepeda, mobil dan sebagainya. Tanggal 6 Mei
1945: Pembentukan TRI pasukan MN 1001, MKTI (MN=Muhammad Noor).
Tanggal 18 Agustus 1945 : Pemerintahan Sukamo-Hatta menunjuk Ir. H. Pangeran Muhammad Noor sebagai
gubemur Kalimantan 23 Agustus 1945 : Berdirinya organisasi kelaskaran GEMIRI (Gerakan Rakyat Mempertahankan
Republik Indonesia) di Kandangan, Hulu Sungai Selatan. Bulan Agustus 1945: Berdirinya organisasi kelaskaran
Badan Pemberontak Rakyat Kalimantan di Kandangan, Hulu Sungai Selatan. Tanggal 23 September 1945 : Berdirinya
organisasi kelaskaran Pasukan Berani Mati di Alabio, Hulu Sungai Utara. Bulan November 1945 : Berdirinya
organisasi kelaskaran Laskar
Bab VIII. Kalimantan
Syaifullah di Haruyan, Hulu Sungai Tengah. Tanggal 20 November 1945 : Berdirinya organisasi kelaskaran
GERPINDOM (Gerakan Rakyat Pengajar/Pembela Indonesia Merdeka) di Amuntai, Hulu Sungai Utara. Tahun 1945
berdiri organisasi kelaskaran GERPINDOM (Gerakan Pemuda Indonesia Merdeka) di Birayang, Hulu Sungai Tengah,
Barisan Pelopor Pemberontakan (BPPKL) di Martapura, Banjar dan Banteng Bomeo di Rantau, Tapin serta Laskar
Hizbullah di Martapura, Pelaihari, Rantau dan Hulu Sungai. Tanggal 7 Desember 1945 : Pertempuran Marabahan di
Barito Kuala. Tangal 21 Desember 1948 Pertempuran Hawang, Hulu Sungai Tengah. Tanggal 2 Januari 1949
Pertempuran di Negara di Hulu Sungai Selatan (Palagan Nagara). Tanggal 6 Februari : Pertempuran Pagatan di Tanah
Bumbu. Tanggal 17 Mei 1949 : Proklamasi Gubemur Tentara ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan oleh Letkol.
Hasan Basry (Pahlawan Nasional).. Tanggal 3 Juni 1949 : Pertempuran Serangan Umum Kota Tanjung di Tabalong.
Tanggal 15 April 1949 : Pertempuran Batakan di Tanah Laut. Tanggal 8 Agustus 1949 : Pertempuran Garis
Demarkasi di Karang Jawa, Kandangan, Hulu Sungai Selatan. Tanggal 9 November 1949: Pertempuran di
Banjarmasin. Tangal 23 September 1953 : Wafatnya Ratu Zaleha, putri Sultan Muhammad Seman, sebelumnya
diasingkan di Cianjur. Tanggal 7 Desember 1956 : Terbentuknya provinsi Kalsel yaitu gabungan dari Kotawaringin,
Dayak Besar, Daerah Banjar dan Federasi Kalimantan Tenggara. Belakangan Pasir (bagian Federasi Kalimantan
Tenggara) bergabung ke provinsi Kalimantan Timur. Tanggal 23 Mei 1957: Wilayah Kotawaringin dan Dayak Besar
membentuk provinsi Kalimantan Tengah. Tanggal 10 November 1991: Peresmian Museum Wasaka oleh Gubemur
Kalsel Ir. H. Muhammad Said. Tanggal 23 Mei 1997 : Peristiwa Jumat Kelabu di Banjarmasin, kampanye pemilu yang
berakhir kerusuhan bemuansa SARA (partai). Tahun 2005: Terpilihnya H. Rudi Arifin sebagai gubemur untuk masa
jabatan 2005-2009
Flora Resmi: Kasturi (Mangifera casturi). Fauna Resmi: Bekantan (Nasalis larvatus). Sumber daya alamnya
Kehutanan: Hutan Tetap (139.315 ha), Hutan Produksi (1.325.024 ha), Hutan Lindung (139.315 ha), Hutan Konvensi
(348.919 ha) Perkebunan: Perkebunan Negara (229.541 ha) Bahan Galian: batu bara, minyak, pasir kwarsa, biji besi,
dan lain-lain.
Suku Bangsa, Kelompok etnik di Kalimantan Selatan menurut Museum Lambung Mangkurat, antara lain:
Orang Banjar Kuala, Banjarmasin sampai Martapura, Orang Banjar Batang Banyu, Margasari sampai Kelua. Orang
Banjar Pahuluan, Tanjung sampai Pelaihari (luar Martapura). Suku Barangas di Berangas, Ujung Panti, Lupak, Aluh
Aluh. Suku Bakumpai di Bakumpai, Marabahan, Kuripan, dan Tabukan. Suku Maanyan: Dayak Warukin, Pasar Panas,
Dayak Balangan, dan Dayak Samihim. Suku Abal di Kampung Agung sampai Haruai. Suku Dusun Deyah di Muara
Uya, Gunung Riut, Upau. Suku Lawangan di , Muara Uya Utara. Suku Bukit di Awayan(Dayak Pitap), Haruyan,
Hantakan, Loksado, Piani. Paramasan, Bajuin, Riam Adungan, Sampanahan, Hampang. Orang Madura Madurejo di
Pengaron, Mangkauk. Orang Jawa Tamban di Purwosari. Orang China Parit di Pelaihari. Suku Bajau di Kotabaru,
Tanjung Batu. Orang Bugis Pagatan di Pagatan. Suku Mandar di pulau Laut dan pulau Sebuku (Sumber : Peta alam
dan foto kelompok etnik Kalimantan Selatan, Museum Lambung Mangkurat).

145
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Delapan etnik terbanyak di Kal-Sel menurut sensus 2000 (Dalam sensus belum disebutkan beberapa suku
kecil yang merupakan penduduk asli): (a) Suku Banjar:
2.271.586 jiwa; (b) Suku Jawa: 391.030 jiwa; (c) Suku Bugis: 73.037 jiwa; (d) Suku Madura: 36.334 jiwa;
(e) Suku Bukit: 35.838 jiwa; (f) Suku Mandar: 29.322 jiwa; (g) Suku Bakumpai: 20.609 jiwa; (h) Suku Sunda:
18.519 jiwa; (i) suku-suku lainnya :
99.165 jiwa. Total penduduk Propinsi Kalsel tahun 2000: 2.975.440 jiwa (Badan Pusat
Statistik, Sensus Penduduk Tahun 2000).
Etnik Banjar mempunyai daerah budaya yang mencakup pesisir barat dan selatan pulau Kalimantan. Mereka
sering juga diidentifikasikan sebagai Melayu Banjar. Etnik Banjar mempercayai asal-usulnya berasaskan mite. Mite ini
dianggap suci dan tidak boleh diceritakan kepada orang lain diluar etnik Banjar, kecuali dengan meminta izin dari
para leluhur mereka, dengan cara menyediakan sesajian dan menadakan komunikasi langsung dengan roh-roh nenek
moyang melalui dukun (wawancara dengan Elba Frida 1997).
Pada zaman dahulu kala sebelum adanya manusia di Kalimantan, terdapat seorang puteri cantik jelita yang
bemama Junjung Buih, yang tidak diketahui dari mana
asalnya. Dipercayai muncul dari lautan dan menelusuri sungai-sungai di sebelah selatan Kalimantan, dan
akhimya sampai ke Martapura, sebagai wilayah kekuasaannya. Puteri
ini memiliki empat pengawal yang membuatkan istana, yang bahannya dari bambu. Namun bambu yang
diinginkan itu dikawal oleh raksasa yang bemama Buto. Di rumpun bambu ini terdapat juga benda-benda lain, iaitu:
(1) kunyit putih, (2) kencur putih,(3) buah melinjo, (4) rumpun Lukmanulhakim jantan dan betina, (5) besi kuning,
dan (6) rantai babi. Dalam perang, Buto dapat dikalahkan oleh keempat pengawal puteri.
Setelah istana dibangun puteri belum mau masuk ke dalam istana, sebelum diberi jodoh. Keempat pengawal
pergi ke Tanah jawa dan menemukan jodoh puteri iaitu Pangeran Suryanata. Upacara dilakukan sangat meriah. Kedua
pengantin diarak di sepanjang sungai dengan mengendarai sampan berbentuk naga (indaruk). Dari kegiatan
inilah asal-usul nama Kalimantan, iaitu kali yang bererti sungai dan manten yang bererti pengantin, sungai
tempat beraraknya sepasang pengantin. Sepasang pengantin inilah
yang dipercayai masyarakat banjar sebagai neenk moyangnya (temubual dengan Elba Frida).
Asal-usul etnik Banjar berkaitan dengan istilah Banjarmasin, yang awalnya adalah sebuah kampung di
muara sungai Kuin, salah satu cabang sungai Barito. Berada di antara pulau Kembang dan pula Alalak. Sebelum
berdirinya Kerajaan Banjarmasin, di Kuin terdapat sebuah bandar yang dipimpin oleh Patih Masih, bahagian
daripada Kerajaan Hindu Daha, di tepi sungai Negara dan Barito. Bandar ini disebut Bandar Masih, yang ertinya
bandar ola masih atau bandamya orang Melayu. Dalam cerita rakyat Banjar, patih tersebut yang menyelamatkan
Pangeran Samudera, pewaris takhta Kerajaan Daha. Kemudian bandar Masih dikenal dengan sebutan Banjarmasin.
Dalam
perkembangan selanjutnya untuk menyebutkan identiti sebuahnegeri, bahasa dan etnik (temubual dengan
Ahmad Setia 1997).
Bab VIII. Kalimantan

Kalimantan pulau terbesar di Nusantara, namun saat itu tanah gambut di pulau ini belum dapat diolah dengan teknologi
canggih. Pada tahun 1859 terjadi perang Banjar, kerana Belanda mencuba menguasai tanah Kerajaan banjar, yang
menyebabkan banyak orang Banjar migrasi ke Sumatera Timur.
Pada mulanya orang-orang Banjar datang dari daerah Kalimantan Selatan, sekitar Martapura dan barito,
diperkirakan pada abad kesembilan belas. Mereka
menyusuri Sungai Barito lalau mengharungi Selat Melaka ke arah barat, lalu sampai ke Sumatera Timur. Di
tempat baru ini, mereka membuat perkampungan etnik Banjar, seperti: Desa Sei Ular, Desa Kebun Kelapa, Pantai
Labu dan lain-lainnya (temubual dengan Anjang Nurdin Paitan 1989).
Biasanya orang Banjar berkecenderungan untuk bermastautin di pedesaan dan bermatapencaharian sebagai
petani penanam padi, getah, dan kelapa, dengan membuka perkebunan kecil. Etnik Banjar mempunyai kemampuan
membuka lahan pertanian di hutan dan menggali saluran-saluran irigasi pertanian. Pada tahun 1903 Sultan Serdang
membuka projek persawahan dekat Kota Perbaungan yang disebut bendang. Untuk mengolah sawah ini, didatangkan
ribuan orang Banjar dari Kalimantan selatan yang ahli
bersawah. Disertai dengan kepala kelompoknya yang bemama Haji Mas Demang. Akhimya mereka
menentap di Sumatera Utara sampai sekarang ini (temubual dengan
Tengku Luckman Sinar 2008).
Di antara orang-orang Banjar ini sudah banyak pula yang mengaku dirinya sebagai bahagian dari etnik
Melayu Pesisir Timur Sumatera Utara. Hal ini disebabkan oleh sebahagian besar mereka menganut agama Islam yang
diserap ke dalam adat istiadat mereka, dan budayanya dianggap sebagai bagian dari budaya Melayu.
Dalam perkembangan berikutnya, etnik Banjar ini juga berinteraksi dengan berbagai etnik di Sumatera Utara,
sama ada melal;ui perkahwinan, atau peminjaman unsur-unsur budaya, termasuk kesenian. Bahkan dalam upacara
perkahwinan mengadopsi alat-alat muzik Melayu, seperti: gendang ronggeng, biola, serunai, tawak-
tawak atau gong dan lainnya. Alat-alat muzik jawa juga mereka pergunakan, iaitu: gendang barel dua sisi
yang disebut babun (di Jawa batangan) dan saron.10
Namun demikian, mereka juga mempunyai sumbangan besar dalam memajukan kebudayaan di Sumatera
Utara. Di antara gadis-gadis etnik Banjar di Sumatera Utara ada pula yang menjadi ronggeng Melayu. Bahkan ada dua
ronggeng yang terkenal dan menjadi “primadona” di Sumatera Utara. Yang pertama adalah Galuh Gamid atau Galuh
Hamid serta Galuh Dinar. Istilah Galuh adalah berasal dari baahsa Banjar yang ertinya sebutan untuk gadis. Ada masa
kini, Ahmad Setia, seorang pemain akordeon gaya muzik Melayu yang terkenal di Sumatera Utara, adalah keturunan
Banjar. Ia menghafal sebagian besar lagu-lagu Melayu lama. Ia juga seorang pemain akordion yang dipandang paling
“handal” dalam mengiringi tari Serampang Dua Belas.
Bahasa Daerah, Bahasa Melayu Lokal: Bahasa Banjar (Dialek Banjar Hulu, Dialek banjar Kuala, Bahasa
Barangas). Bahasa Melayu Bukit (Bahasa Barito, Barito barat, dan

10
Berasaskan pengamatan dalam sebuah perkawinan adat Banjar di Desa Sungai lar, 12 Mei 1996, dan
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Barito barat bagian selatan ); Bahasa Bakumpai, Barito timur, Barito timur bagian utara, Bahasa Lawangan-Pasir,
Barito timur bagian Tengah-Selatan (Bagian Tengah: Bahasa Dusun Deyah, Bagian Selatan: Bahasa Maanyan).
Daftar Kabupaten dan Kota: (1) Kabupaten Tanah Laut ibukotanya Pelaihari;
(2) Kabupaten Kotabaru ibukotanya Kotabaru; (3) Kabupaten Banjar ibukotanya Martapura; (4) Kabupaten Barito
ibukotanya Kuala Marabahan; (5) Kabupaten Tapin ibukotanya Rantau; (6) Kabupaten Hulu Sungai Selatan
ibukotanya Kandangan; (7) Kabupaten Hulu Sungai Tengah ibukotanya Barabai; (8) Kabupaten Hulu Sungai Utara
ibukotanya Amuntai; (9) Kabupaten Tabalong ibukotanya Tanjung; (10) Kabupaten Tanah Bumbu ibukotanya
Batulicin; (11) Kabupaten Balangan ibukotanya Paringin; (12) Kota Banjarmasin; dan (13) Kota Banjarbaru.
Gedung Sultan Suriansyah tempat pementasan budaya Kalimantan Selatan. Seni Musik Tradisional: Gamelan
Banjar ; Musik Panting (suku Banjar); Musik Kangkurung (suku Dayak Bukit); Musik Bumbung, Musik Kintung,
Musik Kangkanong, Musik Salung, Musik Suling, Musik Bambang, dan Musik Masukkiri (suku Bugis). Teater
tradisional dan wayang: Mamanda (teater tradisional suku Banjar), Lamut (suku Banjar), Madihin (suku Banjar),
Wayang Kulit Banjar (suku Banjar), Wayang Gung (wayang orang suku Banjar), Balian (suku Dayak Bukit). Tarian
di Kalimantan Selatan adalah sebagai berikut. Tarian suku Banjar: Baksa Kambang, Radap Rahayu, Kuda Gepang ,
dan Tarian suku Banjar lainnya. Tarian suku Dayak Bukit: Tari Tandik Balian, Tari Babangsai (tarian ritual, penari
wanita), Tari Kanjar (tarian ritual, penari pria). Lagu Daerah suku Banjar: Ampar-Ampar Pisang, Sapu Tangan
Babuncu Ampat, Paris Barantai, dan Lagu daerah Banjar lainnya.

8.4 Kalimantan Tengah


Tanggal penting 23 Mei 1957 (hari jadi), ibu kotaPalangka Raya, l uas157.983
km² , pantai 750 km. Penduduk2.004.110 (2006), kepadatan 12/km², kabupaten 13, kota 1, kkecamatan 88,
kelurahan/desa 1.136. Suku-suku bangsa yang ada di Kalimantan Tengah adalah: Suku Dayak (Ngaju, Bakumpai,
Maanyan, Lawangan, Siang, Murung, Dusun, Bawo, Dayak Sampit, Ot Danum, Dayak Kotawaringin, Taboyan), Suku
Melayu Banjar, Suku Jawa, Suku Madura, dan Suku Bugis. Agama yang dianut penduduk Kalimantan Tengah adalah
agamaIslam (69,67%), Protestan (16,41%), Hindu (10,69), Katolik (3,11%), dan Budha (0,12%). Bahasa yang
digunakan adalah Bahasa Dayak dan Bahasa Indonesia (Melayu). Zona waktunya adalah Waktu Indonesia Bagian
Barat. Lagu daerah adalah Kalayar, Naluya, Palu Cempang Pupoi, Tumpi Wayu, Saluang, Kitik- Kitik, dan Manasai
Kalimantan Tengah adalah salah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pulau Kalimantan. Ibukotanya
adalah Palangka Raya. Provinsi ini mempunyai 13 kabupaten dan 1 pemerintahan kota. Bagian Utara terdiri
Pegunungan Muller Swachner dan perbukitan, bagian Selatan dataran rendah, rawa, paya-paya. Berbatasan dengan
tiga Provinsi Indonesia yaitu Kalimantan Timur, Selatan dan Barat serta Laut Jawa. Iklim tropis lembab, dilintasi
garis ekuator. Banyak belum diketahui, dengan ragam wilayah pantai, gunung / bukit, dataran rendah dan paya,
segala macam vegetasi tropis

148
Bab VIII. Kalimantan

mendominasi alam daerah ini. Orang utan merupakan hewan endemik yang masih banyak di Kalteng khususnya di
wilayah Taman Nasional tanjung Puting yang mencapai
300.000 Ha di Kabupaten Kotawaringin Barat dan Seruyan. Terdapat beruang, landak, owa-owa, beruk, kera,
bekantan, trenggiling, buaya, kukang, paus air tawar (tampahas),
arwana, manjuhan, biota laut, penyu, bulus, burung rangkong, betet / beo dan lain-lain bervariasi tinggi. Hutan
mendominasi wilayah 80 %. Hutan primer tersisa sekitar 25 %
dari luas wilayah. Lahan yang luas saat ini mulai didominasi kebun Kelapa Sawit mencapai 700.000 Ha (2007).
Perkebunan karet dan rotan rakyat masih tersebar hampir diseluruh daerah, terutama di Kab Kapuas, Katingan, Pulang
Pisau, Gunung Mas dan Kotawaringin Timur. Banyak ragam potensi sumber alam, antara lain yang sudah diusahakan
batubara, emas, zirkon, besi. Terdapat pula tembaga, kaolin, batu permata dan lain-lain.
Sebutan umum suku Dayak yang ada di Kalteng adalah suku Dayak Ngaju (dominan), suku lainnya yang
tinggal di pesisir adalah Banjar Melayu Pantai merupakan 25 % populasi. Di samping itu ada pula suku Jawa, Madura,
Bugis dan lain-lain. Suku Dayak di Kalteng antara lain: Suku Dayak Ot Danum, Suku Dayak Ngaju, Suku Dayak
Bakumpai, Suku Dayak Maanyan, Suku Dayak Dusun, Suku Dayak Lawangan, Suku Dayak Siang
Murung, Suku Dayak Punan, Suku Dayak Sampit, Suku Dayak
Kotawaringin Barat, Suku Dayak Katingan, Suku Dayak Bawo, Suku Dayak Taboyan, dan Suku Dayak
Mangkatip
Busana Adat Kotawarigin Barat yang merupakan unsur budaya Melayu di
Kalteng
dipengaruhi Busana pengantin Banjar Baamar Galung Pancar Matahari. Seperti pada umumnya bagian
negara Indonesia yang merdeka lainnya, masyarakat Kalimantan Tengah menggunakan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pengantar. Sebagian besar masyarakat Kalimantan
Tengah (sekitar 60%) terutama di daerah perkotaan telah mengenal dan menggunakan bahasa Indonesia dalam
berkomunikasi, terutama sebagai bahasa pengantar di pemerintahan dan pendidikan. Pelajaran Bahasa Indonesia telah
diajarkan kepada para siswa sejak bangku sekolah dasar. Bahasa Sehari-hari Keberagaman etnis dan suku bangsa
menyebabkan Bahasa Indonesia dipengaruhi berbagai dialek. Namun kebanyakan bahasa daerah ini hanya
digunakan dalam lingkungan keluarga dan tempat tinggal, tidak digunakan secara resmi sebagai bahasa
pengantar di pemerintahan maupun pendidikan. Sebagian besar penduduk Kalimantan Tengah terdiri dari suku
bangsa Dayak. Suku bangsa dayak sendiri terdiri atas beberapa sub-suku bangsa. Bahasa Dayak Ngaju adalah
bahasa dayak yang paling luas digunakan di Kalimantan Tengah,terutama di daerah sungai Kahayan dan
Kapuas,bahasa Dayak Ngaju juga terbagi lagi dalam berbagai dialek seperti bahasa Dayak Katingan dan Rungan.
Selain itu Bahasa Ma'anyan dan Ot 'Danum juga banyak digunakan. Bahasa Ma'anyan banyak digunakan digunakan
di daerah aliran sungai Barito dan sekitamya. Sedangkan bahasa Ot'Danum banyak digunakan oleh suku dayak
Ot'danum di hulu sungai Kahayan dan kapuas. Kelompok masyarakat pendatang juga memberikan keragaman
bahasa bagi masyarakat Kalimantan Tengah. Bahasa yang cukup sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari
adalah bahasa Banjar karena memiliki kedekatan geografis dengan
Masyarakat Kesenian di Indonesia
daerah Kalimantan Selatan yang mayoritas dihuni oleh suku/orang Banjar, dan cukup banyak orang Banjar yang
merantau ke Kalimantan Tengah. Bahasa lainnya adalah bahasa Jawa, bahasa Bugis, bahasa Batak, dan sebagainya
yang dibawa pendatang. Menurut Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalteng, bahasa daerah (lokal) terdapat pada 11
DAS meliputi 9 bahasa dominan dan 13 bahasa minoritas yaitu: Bahasa Dominan: Bahasa Melayu, Bahasa Banjar,
Bahasa Ngaju, Bahasa Manyan, Bahasa Ot Danum, Bahasa Katingan, Bahasa Bakumpai, Bahasa Tamuan, Bahasa
Sampit. Bahasa Kelompok Minoritas: Bahasa Mentaya, Bahasa Pembuang, Bahasa Dusun Kalahien, Bahasa Balai,
Bahasa Bulik, Bahasa Mendawai, Bahasa Dusun Bayan, Bahasa Dusun Tawoyan, Bahasa Dusun Lawangan, Bahasa
Dayak Barean, Bahasa Dayak Bara Injey, Bahasa Kadoreh, dan Bahasa Waringin.
Seperti daerah lain di Indonesia,di Prov. Kalimantan Tengah terdapat berbagai jenis agama dan kepercayaan
yang menyebar dan diseluruh daerah Kalimantan Tengah, antara lain : 1. Islam 2. Kristen Prostestan 3. katolik 4.
Hindu Bali 5. Budha 6. Hindu Kaharingan. Kaharingan adalah kepercayaan Penduduk asli kalimantan tengah yang
hanya terdapat didaerah kalimantan sehingga untuk dapat diakui sebagai agama maka digabungkan dalan agama
hindu. Penganut Agama Hindu Kaharingan tersebar didaerah Kalimantan Tengah dan banyak terdapat dibagian hulu
sungai, antara lain hulu sungai kahayan, sungai katingan, dan hulu sungai lainnya
Perguruan Tinggi yang ada di Kalimantan Tengah di antaranya adalah: Universitas Negeri terbesar di
Kalimantan tengah adalah Universitas Palangka Raya. Kabupaten dan Kota: (1) Kabupaten Kotawaringin Barat
ibukotanya Pangkalan Bun; (2) Kabupaten Kotawaringin Timur ibukotanya Sampit; (3) Kabupaten Kapuas ibukotanya
Kuala Kapuas; (4) Kabupaten Barito Selatan ibukotanya Buntok; (5) Kabupaten Barito Utara ibukotanya Muara
Teweh; (6) Kabupaten Katingan ibukotanya Kasongan; (7) Kabupaten Seruyan ibukotanya Kuala Pembuang; (8)
Kabupaten Sukamara ibukotanya Sukamara; (9) Kabupaten Lamandau ibukotanya Nanga Bulik; (10) Kabupaten
Gunung Mas ibukotanya Kuala Kurun; (11) Kabupaten Pulang Pisau ibukotanya Pulang Pisau;
(12) Kabupaten Murung Raya ibukotanya Purukcahu; (13) Kabupaten Barito Timur
ibukotanya Tamiang; dan (14)Kota Palangka Raya.
Sebagian Besar Penduduk di Wilayah Katingan Khususnya Kecamatan Katingan Tengah bermata pencaharian
sebagai petani dan Penambang. hasil tambang utama yang dihasilkan adalah emas dan puya (pasir zirkon) yang
berwama merah. Masyarakat dalam melakukan penambangan masih bersifat tradisional sehingga hasil yang diperoleh
tidak optimal. Bandar udara Hasan sampit telah bisa melayani penerbangan dari dan ke Surabaya dan jakarta direct,
menggunakan pesawat jet berbadan lebar jenis 737. penerbangan ini dilayani oleh 3 maskapai, yaitu: merpati
nusantara airlines,
trigana air service dan kartika airlines.
Memiliki berbagai macam seni musik dan instrumen musik salah satunya instrumen musik kecapi atau
kacapi berbentuk seperti dayung berdawai 2 dan 3, terbuat dari bahan kayu ringan (kayu jalutung atau hanjalutung)
serta bemada minor, Kacapi biasa untuk mengiringi seni vokal salah satunya seni vokal seperti pantun yang disebut
Karungut dan seni tari Manganjan,juga biasa digunakan oleh umat Kaharingan sebagai
Bab VIII. Kalimantan

alat musik dalam upacara-upacaranya. Permainan Kacapi biasa disebut Mangacaping dan lebih dinamis dalam
permainannya. Kacapi berbeda dengan instrumen musik petik sejenis dari Propinsi Kalimantan lain. Terdapat tari hugo
dan huda, Tari Putri Malawen, Tari Tuntung Tulus dari Barito Timur Wadian
8.5 Kalimantan Timur
Lambang Kalimantan Timur Ruhui Rahayu (Bahasa Banjar: "semoga Tuhan
memberkati"). Peta lokasi Kalimantan Timur Koordinat113°44' - 119°00' BT, 4°24' LU - 2°25' LS. Dasar hukumUU
No. 25 Tahun 1956, tanggal penting 1 Januari 1957, ibu kota Samarinda Luas 245.237,80[1] km², jumlah enduduk
2.750.369[1] jiwa (2004), kepadatan penduduk 11,22 jiwa/km², jumlah kabupaten 10, pemerintahan kota 4, k
ecamatan122, kelurahan/desa 191/ 1.347. Suku-suku bangsa yang mendiami Kalimantan Timur adalah sebagai
berikut: Suku Jawa (29,55%), Bugis (18,26%), Banjar (13,94%), Dayak (9,91%) dan Kutai (9,21%) dan suku lainnya
19,13%. Agama yan dianut penduduk alimantan Timur adalah: Agama Islam (85,2%), Kristen (Protestan & Katolik)
(13,9%), Hindu (0,19%), dan Budha (0,62%) (data tahun 2000). Bahasa yang dipakai penduduknya adalah Bahasa
Indonesia, Banjar, Dayak, dan Kutai. Zona waktu adalah Wilayah Indonesia Bagian Tengah (WITA) dengan
(UTC+8). Lagu daerah Kalimantan Timur Indung-Indung, Buah Bolok, dan Lamin Talunsur.
Kalimantan Timur adalah salah satu daerah yang berstatus provinsi di Indonesia. Provinsi ini merupakan
salah satu dari empat provinsi di Kalimantan. Kalimantan Timur merupakan provinsi terluas kedua di Indonesia,
dengan luas wilayah 245.237,80 km2 atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11% dari total luas
wilayah Indonesia. Propinsi ini berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Sabah dan Serawak,
Malaysia
Sebelum kedatangan Belanda Sebelum kedatangan Belanda terdapat beberapa kerajaan yang berada di
Kalimantan Timur, diantaranya adalah Kerajaan Kutai
(beragama Hindu), Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura, Kesultanan Pasir, Kesultanan Bulungan.
Propinsi Kalimantan Timur selain sebagai kesatuan administrasi,
juga sebagai kesatuan ekologis dan historis. Kalimantan Timur sebagai wilayah administrasi dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1956 dengan Gubemumya yang pertama adalah APT Pranoto.
Sebelumnya Kalimantan Timur merupakan salah satu karesidenan dari Provinsi Kalimantan. Sesuai dengan aspirasi
rakyat, sejak tahun 1956 wilayahnya dimekarkan menjadi tiga Provinsi, yaitu Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan
dan Kalimantan Barat. Pembentukan provinsi Kalimantan Timur Daerah-daerah Tingkat II di dalam wilayah
Kalimantan Timur, dibentuk berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 1959, Tentang Pembentukan Daerah Tingkat
II di Kalimantan (Lembaran Negara Tahun 1955 No.9). Lembaran Negara No.72 Tahun 1959 terdiri atas: Kotamadya
Samarinda, dengan Kota Samarinda sebagai ibukotanya dan
sekaligus sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Timur. Kotamadya Balikpapan, dengan kota Balikpapan
sebagai ibukotanya dan merupakan pintu gerbang Kalimantan Timur. Kabupaten Kutai, dengan ibukotanya
Tenggarong Kabupaten Paser, dengan ibukotanya
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Tanah Grogot. Kabupaten Berau, dengan ibukotanya Tanjung Redeb. Kabupaten Bulungan, dengan ibukotanya
Tanjung Selor.
Dalam Perkembangan lebih lanjut sesuai dengan ketentuan didalam UU No. 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah, maka dibentuk 2 Kota Administratif
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1981 dan Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1989 yakni: Kota
Administratif Bontang (berada di Kabupaten Kutai) Kota
Administratif Tarakan (berada di Kabupaten Bulungan). Selanjutnya sebagai perpanjangan tangan dari Gubemur
Kepala Dearah Tingkat I Kalimantan Timur dalam mengelola Administrasi Pemerintahan dan Pembangunan di daerah
ini, dibentuk 2 (dua) Pembantu Gubemur yang bertugas Mengkoordinir Wilayah Utara dan Wilayah Selatan.
Pembantu Gubemur Wilayah Utara, berkedudukan di Kota Tarakan yang dalam hal ini merupakan perpanjangan
tangan Gubemur untuk Wilayah Kabupaten Berau, Bulungan dan Kota Administratif Tarakan. Pembantu Gubemur
Wilayah Selatan, berkedudukan di Kota Balikpapan yang dalam hal ini merupakan perpanjangan tangan Gubemur
untuk Kotamadya Balikpapan, Kabupaten Kutai, Kabupaten Paser dan Kota Administratif Bontang. Kemudian
institusi dua Pembantu Gubemur Kalimantan Timur Wilayah Selatan
dan Utara tersebut telah ditiadakan sejak tahun 1999. Kebijakan penghapusan Institusi ini semata-mata untuk
memenuhi ketentuan Undang-undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Selanjutnya berdasarkan
Undang-Undang No. 47 Tahun 1999
tentang pembentukan Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan
Kota Bontang, maka Propinsi Kalimantan Timur menjadi 12 wilayah administrasi pemerintahan daerah yaitu 8
Kabupaten dan 4 Kota. Pada tanggal 17 Juli 2007, DPR RI sepakat menyetujui berdirinya Tana Tidung sebagai
kabupaten baru di Kalimantan Timur, maka jumlah keseluruhan kabupaten/kota di Kalimantan Timur menjadi 14.
Ibukota provinsi ditempatkan di Samarinda, dengan alamat kantor gubemur: Jl. Gadjah Mada No. 2, Samarinda.
Kabupaten dan Kota: (1) Kabupaten Paser ibukotanya Tanah Grogot; (2)
Kabupaten Kutai Kartanegara Tenggarong; (3) Kabupaten Berau ibukotanya Tanjungredep; (4) Kabupaten
Bulungan ibukotanya Tanjungselor; (5) Kabupaten Nunukan ibukotanya Nunukan; (6) Kabupaten Malinau
ibukotanya Malinau; (7) Kabupaten Kutai Barat ibukotany Sendawar; (8) Kabupaten Kutai Timur ibukotanya
Sangatta; (9) Kabupaten Penajam Paser Utara ibukotanya Penajam; (10) Kabupaten Tana Tidung ibukotanya Tideng
Pale; (11) Kota Balikpapan; (12) Kota Samarinda; (13) Kota Tarakan; dan (14) Kota Bontang.
Kalimantan Timur merupakan propinsi terluas di Indonesia, dengan luas wilayah kurang lebih 245.237,80
km² atau sekitar satu setengah kali Pulau Jawa dan Madura atau 11% dari total luas wilayah Indonesia. Propinsi ini
berbatasan langsung dengan negara tetangga, yaitu Negara Bagian Sabah dan Serawak, Malaysia Timur. Di
kalimantan timur kira-kira tumbuh sekitar 1000-189.000 jenis tumbuhan antara lain anggrek hitam yang harga per
bunganya dapat mencapai 100.000-500.000. Masalah sumber daya alam di sini terutama adalah penebangan hutan
ilegal yang memusnahkan hutan hujan, selain itu Taman Nasional Kutai yang berada di Kabupaten Kutai Timur ini
juga dirambah hutannya. Kurang dari setengah hutan hujan yang masih tersisa, seperti Taman Nasional
Bab VIII. Kalimantan
Kayan Mentarang di bagian utara provinsi ini. Pemerintah lokal masih berusaha untuk menghentikan kebiasaan yang
merusak ini. Hasil utama provinsi ini adalah hasil tambang seperti minyak, gas alam, dan batu bara. Sektor lain
yangkini sedang berkembang adalah agrikultur, pariwisata, dan industri pengolahan. Beberapa daerah seperti
Balikpapan dan Bontang mulai mengembangkan kawasan industri berbagai bidang demi mempercepat pertumbuhan
perekonomian. Sementara kabupaten-kabupaten di Kaltim kini mulai membuka wilayahnya untuk dibuat perkebunan
seperti kelapa sawit, dan lain-lain. Kalimantan Timur memiliki beberapa tujuan pariwisata yang menarik seperti
kepulauan Derawan di Berau, Taman Nasional Kayan Mentarang dan Pantai Batu Lamampu di Nunukan, petemakan
buaya di Balikpapan, petemakan rusa di Penajam, Kampung Dayak Pampang di Samarinda, Pantai Amal di Kota
Tarakan, Pulau Kumala di Tenggarong, dan lain-lain. Tetapi ada kendala dalam menuju tempat-tempat di atas yaitu
transportasi. Banyak bagian di provinsi ini masih tidak memiliki jalan aspal, jadi banyak orang berpergian dengan
perahu dan pesawat terbang dan tak heran jika di Kalimantan Timur memiliki banyak bandara perintis. Selain itu, akan
ada rencana pembuatan Highway Balikpapan-Samarinda-Bontang-Sangata demi memperlancar perekonomian.
Kalimantan Timur memiliki beberapa macam suku bangsa. selama ini yang dikenal oleh masyarakat luas,
padahal selain dayak ada 1 suku yang juga memegang peranan penting di Kaltim yaitu suku Kutai. Suku Kutai
merupakan suku Melayu asli Kalimantan Timur, yang awalnya mendiami wilayah pesisir Kalimantan Timur. Lalu
dalam perkembangannya berdiri dua kerajaan Kutai, kerajaan Kutai Martadipura yang berdiri lebih dulu dengan
rajanya Mulawarman, lalu berdiri pula belakangan kerajaan Kutai Kartanegara yang kemudian menaklukan Kerajaan
Kutai Martadipura, dan lalu berubah nama menjadi kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura.
Bahasa daerah di Kalimantan Timur Bahasa-bahasa daerah di Kaltim merupakan bahasa Austronesia dari
rumpun Malayu-Polinesia, diantaranya adalah Bahasa Tidung, Bahasa Banjar, Bahasa Berau, dan Bahasa Kutai.
Bahasa lainnya adalah Bahasa Lundayeh. Lagu Daerah: Burung Enggang (bahasa Kutai); Meharit (Bahasa Kutai);
Sabar'ai-sabar'ai (Bahasa Banjar); Anjat Manik (Bahasa Berau Benua); Bebilin (Bahasa Tidung); Andang Sigurandang
(Bahasa Tidung); Bedone (Bahasa Dayak Benuaq); Ayen Sae (Bahasa Dayak); Sorangan (Bahasa Banjar); Lamin
Talunsur (Bahasa Kutai); Buah Bolok (Bahasa Kutai); Aku Menyanyi (Bahasa Kutai); Sungai Kandilo (Bahasa Pasir);
Rambai Manguning (Bahasa Banjar); Ading Manis (Bahasa Banjar); Indung-Indung (Bahasa Melayu Berau); Basar
Niat (Bahasa Melayu Berau); Berampukan (Bahasa Kutai); Undur Hudang (Bahasa Kutai); Kada Guna Marista
(Bahasa Banjar); Tajong Samarinda; Citra Niaga; Taman Anggrek Kersik Luwai; Ne Poq Batang; Banuangku;
Kekayaan Alam Etam; Mambari Maras; Kambang Goyang; Apandang Jakku; Keledung; Ketuyak; Jalung; Antu;
Mena Wang Langit; Tung Tit; To Kejaa; Ting Ting Nging; Endut-Endut; Enjung-Enjung; Julun Lajun; Sungai
Mahakam; Samarinda Kota Tepian; Jagung Tepian; Kandania; Sarang Kupu; Adui Indung, dan lan-lain. Seni Suara di
Kalimantan Timur di antaranya adalah: Bedeguuq (Dayak Benuaq); Berijooq (Dayak Benuaq); Ninga (Dayak
Benuaq). Seni Berpantun: Perentangin (Dayak Benuaq); Ngelengot (Dayak Benuaq); Ngakey (Dayak Benuaq),
dan Ngeloak (Dayak Benuaq).

153
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Adapun tarian di kawasan ini adalah: Tarian Bedewa dari suku Tidung (Kabupaten Nunukan); Tarian Iluk Bebalon dari
suku Tidung (Kota Tarakan); Tarian Besyitan dari suku Tidung (Kabupaten Malinau); Tarian Kedandiu dari suku
Tidung (Kabupaten Bulungan); Tarian Gantar dari Suku Dayak Benuaq; Tarian Ngeleway dari Suku Dayak Benuaq;
Tarian Ngerangkaw dari Suku Dayak Benuaq; Tarian Kencet dari Suku Dayak Kenyah; Tarian Datun dari Suku Dayak
Kenyah ;Tarian Hudoq dari Suku Dayak Bahau.
Upacara penyembuhan penyakit: Beliatn Bawo (suku Dayak Benuaq); Beliatn Sentiyu (suku Dayak Benuaq);
Beliatn Kenyong (Suku Dayak Benuaq); Beliatn Luangan (suku Dayak Benuaq); dan Beliatn Bejamu (suku Dayak
Benuaq). Upacara tolak bala, hajatan, atau selamatan: Nuak (dari Suku Dayak Benuaq); Bekelew (suku Dayak
Benuaq); Nalitn Tautn (suku Dayak Benuaq); Paper Maper (suku Dayak Benuaq); Besamat (suku Dayak Benuaq);
Pakatn Nyahuq (suku Dayak Benuaq). Upacara Adat Kematian: Kwangkey/Kuangkay (suku Dayak Benuaq);
Kenyeuw (suku Dayak Benuaq); dan Parepm Api/Tooq (suku Dayak Benuaq).

6. Contoh-contoh Kesenian
1. Musik Tradisional Suku Dayak Tunjung
Suku Tunjung adalah salah satu suku Dayak yang ada di Kalimantan Timur. Suku Tunjung yang ada di
Kalimantan Timur, dijumpai di daerah Kabupaten Kutai (Sungai Mahakam), di Kecamatan-kecamatan: Kota Bangun,
Melak, Kembang Janggut, Muara Pahu, dan lain-lain. Kalau kita melihat bentuk seni dari suku ini, tentunya kita
akan melihat pula bentuk musik yang merupakan pengiring tarian yang disajikan. Akan tetapi musik ini tidak hanya
sebagai pengiring jenis tari-tarian, melainkan juga sering dipergunakan dalam upacara-upacara adat serta keagamaan.
Pola, bentuk, dan ciri khas dari suku tersebut tidak terlepas dari persentuhan dengan alam sekitamya dan menjadi
milik kolektif, oleh karena mereka pulalah yang bersama-sama menciptakannya.
Kalau kita melihat dan komposisi musik yang mereka gunakan, kita dapat
menduga bahwa kesenian dari suku ini belum begitu maju jika dibandingkan dengan budaya modern Barat.
Hal ini dapat kita lihat dari alat-alat musik yang mereka pergunakan, yang umumnya masih sangat sederhana. Alat-
alat musik tersebut adalah klentangan, gong kecil, gong besar, gendang (gemer atau pompong). Jenis-jenis ini
mereka gunakan bersama-sama, yang di antara alat musik yang satu dan yang lain terdapat fungsi saling
mendukung, sehingga menghasilkan pola bentuk kesenian musik yang mereka ciptakan.
Suku Dayak Tunjung memiliki alat-alat musik, seperti yang diuraikan berikut ini. (a) Klentangan
merupakan sebuah instrumen yang terdiri dari enam buah gong kecil, yang tersusun menurut nada-nada tertentu pada
suatu standar atau rancak. Klentangan ini terbuat dari logam. Awalnya pada masa mereka belum mengenal logam,
klentangan ini masih terbuat dari kayu dengan nama glunikng. Suara glunikng ini tidak sekeras atau senyaring suara
klentangan yang yang terbuat dari logam. Hal ini dapat kita maklumi karena suara logam pasti lebih nyaring dari
kayu. Kemudian fase selanjutnya setelah mereka menemukan logam tersebut mereka membuatnya dari logam.
Dengan adanya
Bab VIII. Kalimantan

perubahan serta perkembangan masyarakat yang menyesuaikan diri dengan zaman, terdapat pengaruh terhadap corak
dan bentuk kesenian mereka.
Klentengan terbuat dari jenis perunggu yang bentuknya mirip dengan bonang, akan tetapi mempunyai
bentuk tersendiri dengan suara yang khas menunjuk kepada
ciri-ciri khusus dari klentengan tersebut. Kalau kita menyelidiki pembuatannya, diperkirakan bahwa
klentengan dibuat di daerah Tunjung. Tidak ditemukan tempat dapur
besi atau pandai besi untuk pembuatan alat tersebut, kecuali untuk membuat senjata seperti mandau dan
tombak. Jadi ada kemungkinan alat musik tersebut dibuat dari luar, dengan melihat bentuknya yang sangat mirip
dengan bonang dari Jawa. Alasan lain yang mendukung bahwa alat musik ini dibuat di luar daerah ini adalah bahan-
bahan untuk pembuatan klentengan, yaitu sejenis pemggu, sangat sulit ditemukan di daerah ini. Kemudian
kemungkinan pengolahan dan Jawa yaitu, pada saat Kerajaan Kutai berkuasa dan mengadakan hubungan dengan salah
satu kerajaan Jawa (Majapahit), hal itu berpengaruh terhadap masyarakat yang ada dibawah kekuasaan Kerajaan
Kutai.
Jenis musik klentengan adalah jenis musik/instrumen yang dipukul. Jadi tidak berbeda dengan cara-cara
musik tabuh yang ada di daerah lain seperti Jawa (gamelan),
kulintang Manado, dan sebagainya. Alat pemukulnya dibuat dari sejenis kayu(tanpa dibalut), akan tetapi
dipilih kayu yang agak lembut tapi keras. Hal ini dimaksud agar
nada-nada klentengan ini tidak akan berubah akibat pukulan-pukulan yang dilakukan. Klentengan inilah yang
hingga pada saat ini dipergunakan mereka, baik dalam mengiringi tari-tarian maupun dalam upacara-upacara adat
serta agama. Sedangkanglunikng dan serunai tidak kita jumpai lagi, walaupun kemungkinan alat musik ini masih ada.
Dan lagi klentengan. ini dianggap mereka sebagai benda pusaka yang merupakan peninggalan nenek moyang mereka
turun-temurun. Hal mi dapat dimengerti, karena kemungkinan untuk membuat klentengan yang baru dengan bahan
yang sama seperti klentengan yang ada, tidak akan diperoleh/didapat dan pembuat klentengan sampai sekarang ini
belum diketahui. Jadi wajarlah kalau mereka menganggap bahwa klentengan merupakan pusaka peninggalan nenek
moyang mereka.
(b) Tarasi, yaitu Gong kecil ini, untuk masyarakat suku Tunjung mempunyai
istilah tertentu, yaitu wraW. Taraai, yaitu sejenis gong kecil (bentuk seperti klentangan), yang jumlahnya hanya satu(I
nada), dan biasanya digantung pada tempat yang sudah diolah/disediakan(standar). Biasanya alat ini hanya
dipergunakan pada saat upacara naik ayun, yaitu dengan. memukul. taraai tersebut terus-menerus disertai dengan
pantun-pantun di dalam bahasa mereka, yang berhubungan dengan upacara tersebut. Alat pemukulnya/penabuhnya
dibuat dan kayu yang agak lunak.
(c)Genikng adalah istilah untuk gong besar bagi masyarakat suku Tunjung di Kalimantan Timur. Genikng ini
terdiri dari dua macam, yaitu yang besar dengan garis tengah kira-kira 55 cm , dan yang kecil dengan garis tengah
kira-kira 45 cm. Kedua gong ini biasanya digantung pada standamya seperti halnya gong di Jawa, dan standar ini
juga
Masyarakat Kesenian di Indonesia
dipergunakan untuk membantu klentengan dalam mengiringi lagu-1agu untuk tari-tarian. Taraai dan genikng ini
terbuat dari bahan perunggu. Cara membuatnya belum dapat diketahui dengan pasti, diperkirakan datangnya juga dari
luar, seperti halnya klentangan. glunikng dan serunai tidak kita jumpai lagi, walaupun kemungkinan alat musik ini
masih ada. Dan lagi klentengan. ini dianggap mereka sebagai benda pusaka yang merupakan peninggalan nenek
moyang mereka turun-temurun. Hal mi dapat dimengerti, karena kemungkinan untuk membuat klentengan yang
baru dengan bahan yang sama seperti klentengan yang ada, tidak akan diperoleh/didapat dan pembuat klentengan
sampai sekarang ini belum diketahui. Jadi wajarlah kalau mereka menganggap bahwa klentengan merupakan pusaka
peninggalan nenek moyang mereka.
Gendang, bagi suku Tunjung, gendang memegang peranan pula, baik dalam. upacara keagamaan maupun
dalam, acara keramaian untuk membantu musik dalam mengiringi taritarian. Gendang ini dibagi dalam beberapa jenis,
yaitu: (a) prahi, yaitu gendang yang panjangnya sekitar 2,15 meter; (b) gimar, yaitu gendang yang panjangnya sekitar
60 cm.; (c) tuukng tuat (tuukng--gendang; tuat=duduk); (d) pempong, yaitu gendang kecil sepanjang 30 cm. Prahi
dibuat dari batang pohon kayu yang tentunya- diambil dari pohon yang lurus. Biasanya dipergunakan untuk
tanda/isyarat dan untuk upacara mengobati orang sakit. Sedangkan gimar juga dibuat dari bahan kayu yang
pembuatannya hampir sama dengan yang ada di daerah-daerah lain. Alat ini dipergunakan untuk membantu
klentengan dalam mengmngi musik. Tuukng tuat maksudnya gendang yang duduk; jach apabila, dipakm tidak seperti
gimar yang harus direbahkan. Bentuk tuukng tuat ini, tidak seperti gimar, akan tetapi ukurannya kurang lebih sebesar
gimar dan agak miring. Alat ini juga biasanya dipergunakan untuk upacara pengobatan orang sakit, ataupun
mengtringi musilc tari-tarian. Alat musik ini digunakan dengan rotan seperti halnya orang memukul tambur atau
gendrang. Pampong merupakan gendang yang berukuran sepanjang 50 cm., yang bentuknya seperti gimar tetapi
ukurannya lebih kecil. Fungsinya sama seperti gimar yaitu untuk mengiringi musik. Alat ini juga dipergunakan
dengan cara memukulnya dengan kayu yang sudah dipersiapkan. Jadi seperti yang sudah dijelaskan alat-alat ini satu
sama lain saling membantu dan saling menunjang sehingga tercipta suatu pola bentuk musik yang berciri khas suku
Tunjung ini.
Selain bentuk-bentuk instrumen yang disebut di atas, suku ini juga mempunyai instrumen tiup yang mereka
sebut dengan sukkng (seruling) yang dibuat dari bambu. Bentuk suliikng inipun bermacam jenisnya, antara lain
serupaai, suliikng dewa, kelalii, dan tompong. Serupaaj merupakan sejenis seruling yang bentuknya seperti palu, yang
terbuat dari bambu. Panjangnya kira-kira 45 cmbergaris tengah 1,5 cm dengan fungsi empat lubang (3 di atas, I di
bawah), dan mempunyai lidah(seperti harmonika) sebagai sumber bunyi, jika ditiup pada bagian tersebut. Cara
memainkan serupaai ini hainpir sama dengan harmonika(tiup-sedot) dengan menutup/membuka lubang yang ada
dengan jari tangan kanan dan tangan kiri.
Sufiikng dewa bentuknya sama seperti bentuk sufing daerah lain. Panjangnya kirakira 65 cm dengan garis
tengah seldtar 1,5 cm. Alat musik ini mempunyai enam
lubang dan lubang tempat memup diben ban ban yang terbuat dan rotan(sama seperti suling Sunda dan
Jawa). Alat musik ini dipergunakan untuk mengiringi tari belian dan
Bab VIII. Kalimantan
juga untuk mengisi waktu-waktu senggang. Cara memainkannyi sama seperti memainkan suling daerah lain. Kelalii
juga merupakan sejenis suling yang betuknya sama seperti suling-suling daerah lain. Suling ini mempunyai empat
lubang(3 di atas dan satu di bawah), yang panjangnya sekitar 55 cm dengan garis tengah 1,5 cm. Bagian yang akan
ditiup diberi lingkaran tabung yang terbuat dari potongan bambu yang agak besar dari bambunya. Alat musik ini
digunakan untuk upacara-upacara selamatan, syukuran setelah panen, dan terhadap temak. Cara memainkannya sama
seperti mentainkan suling biasa.
Tompong juga merupakan sejenis alat musik tiup yang bentuknya hampir sama dengan kelalii. Suling ini
mempunyai panjang kira-kira 20 cm, dengan garis tengah 2,5 cm. Tompong ini mempunyai 5 lubang(empat di atas
dan satu di bawah) dengan nada- nada C-E-F-G. Cara memainkannya juga sama seperti suling biasa. Alat mugik ini
dipergunakan hanya untuk mengisi waktu-waktu senggang. Dewasa int suling-suling im sudah sangat jarang sekali
dipergunakan dalam pertunjukan-pertunjukan. Tetapi untuk upacara-upacara pengobatan masih sering dipergunakan.
Oleh sebab itu alat-alat musik ini semakin tidak populer di kalangan masyarakat suku Tunjung.

2. Seni Tari Suku Dayak Kenyah


(1)Tari Gong atau Kancet Pepatai. Tarian ini merupakan gabungan tariperang dari tari gong kancet ledo,
yangberasal dari kebudayaan suku Dayak Kenyah. Tarian ini mengisahkan seorang putri yang sedang bergembira ria
di dalam sebuah taman beserta beberapa orang inang pengasuhnya. Kemudian datanglah dua orang pemuda yang
ingin menggodanya dan ingin mempersuntingnya. Kedua pemuda tersebut melakukan pertarungan hidupdan mati.
Namun sebelum pertarungan ini selesai sang putri dan para pengasuhnya telah menghilang dari taman. Akhirnya
setelah pertarungan selesai, kedua pemuda mencari sang putri yang telah hilang. Gerak tari yang digunakan adalah
sebagai berikut. (a) Gerak 1. Gerak ini disebut juga gerak gong, yang ditarikan khusus untuk satu orang penari
wanita. Langkah pertama dari penari gong ini ialah jalan di tempat. Kemudian jalan perlahan dengan mengikuti irarna
atau matra alat musik sampre. Dimulai dengan kaki kanan maju kedepan, kemudian kaki kiri kemuka, secara
berganti-ganti.,satnpai mendekati gong yang di letakkan di tengah tengah arena/pentas.
(b) Gerak 2. Penari sudah ada di dekat gong yang di letakkan ditengah-tengah pentas. Gerak selanjutnya berputar di
tempat berhadapan dengan gong yang di letakkan. Kemudian berjalan memutari gong dengan langkah seperti pada
geraka pertama, dengan memutar sampai kedudukan semula. (c) Gerak 3. Pada gerak ketiga ini, penari siap-siap
untuk naik keatas gong secara perlahan. Gerak pertama pada kaki di mulai dengan kaki kiri naik keatas gong,
Kemudian kaki kanan. Dan kini seluruh badan sudah ada diatas gong. Gerak selanjutnya adalah menari diatas gong,
dengan posisi badan setengah berdiri. Dan selanjutnya terus menari sambil perlahan-lahan memutar badan di atas
gong, kemudian setelah memutar, kembali keposisi semifla dan langsung duduk berjongkok di atas gong. Kemudian
berdiri secara perlahan -lahan sambil menari. Gerak selanjutnya berupa entak-antakan kaki kanan, dengan kedua
tangan terus menari. Akhimya turun dari gong tersebut.
Masyarakat Kesenian di Indonesia
Gerak Tangan. Waktu kaki kanan jalan ke depan, tangan kirl kemuka dengan memutar mutadwn bulu burung
enggang yang di pegang. Dan tangan kanan ada di belakang, sedangkan bahu penari di tonjolkan ke depan sedikit,
apabila tiap kaki akan maju ke depan. Istilah Koncet Papatai maknanya adalah penan sewaktu penari gong naik di
atas gong. Dua orang penari kancet papatai keluar dari pentas, menuju ke arah penari gong. Dengan gerak kaki (1x 1)
dan mengikuti matra bunyi sampe (perlahan-lahan). Untuk lebih serasi atau gerak kancet papatai ini kelhatan
be~alan, geraknya lebih banyak memakal improvisasi, guna lebih mernantapkan gerak penari pria. Pandangan Mata.
Sewaktu kaki jalan ke depan, gerak mata atau pandangan mata berganti ganti melihat ke bawah dan keatas, dengan
diik-uti angguk-anggukan secara gerak yang meyakinkan.Kemudian kedua penari pria maju kedepan. menuju arah
panari gong. Apabila penari gong sudah turun dari gong, maka kedua penari perang siap siap untuk bertempur.
Dengan mernegang sebilah mandau di tangan kanan, tangan kirinya memegang telabang / perisai. Gerak Kaki Gerak
pertama tari kancet papatai di mulai dengan kaki kanan, disusul kaki kiri. Gerak be~alan penari pria secara patah patah
dengan mengikuti irama sampe. Gaya tari pria ini, kakukaku, kemudian lemas. Setelah kedua penari ini berhadap-
hadapan, mereka siap-siapuntuk bertempur atau berperang. Putar ditempat dengan mengikuti irarna sampe. Kemudian
loncat langsung bertempur. GerakTangan. Apabila kaki kanan maju, tangan kanan yang mernegang mandau ada di
belakang dan diputar-putarkan, apabila kaki kiri maju, tangan kanan yang mernegang mandau ada di depan. Tangan
kiri yang memegang telabang harus setiap saat melindungi dirinya.
(2) Tari Burung Enggang Terbang. Tari ini adalah sebuah tarian tradisional yang berasal dari suku Dayak
kenyah. Tarian ini menggambarkan kehidupan sehari hari burung enggang. Menurut kepercayaan suku Dayak
Kenyah, nenek moyang mereka pada zaman dahulu berasal dari langit dan turun ke dunia dengan menyerupai burung
enggang. Oleh karena itulah enggang ini menyerupai jenis burung yang paling dimuliakan oleh suku Kenyah ini.
Bulu-bulu burung enggang ini selalu mernegang peranan penting pada setiap upacara dan tarian adat dan bentuk
bentuk berung enggang itu juga banyak terdapat pada ukiran ukiran suku Dayak Kenyah. Ragam 1. Di dalam ragam
pertarna ini dilakukan gerak, dengan jalan ke depan sambil membuat setengah putaran dengan hitungan (1 kali 8).
Ragam 2. Dalam ragam ini, dilakukan putaran di tempat, yaitu kearah kiri dengan berbalas-balasan masing -masing
dengan hitungan (1 kali 8). Ragam 3. Dalam ragam ini, dilakukan putaran di tempat, mulai dengan kaki kiri, kedua
tangan dilambaikan dengan berbalas-balasan, dan kaki kanan dihentak hentakkan (1 kali 8). Ragam 4. Melakukan
putaran dengan cepat kearah kiri, dan kedua tangan direntangkan dengan berbalasan (1 kali 8). Ragam 5. Tumit
dihentak-hentakkan dan badan direndahkan, tangan direntangkan sambil dilambai-lambaikan, sambil melakukan jalan
atau langkah ke depan.
(c) Tari Leleng, mengisahkan seorang putri yang akan di kawinkan oleh ibunya dengan seorang pemuda.
Tetapi kernudian sang putri yang bernama Utan Along tidak mencintai pemuda tersebut, dia lari seorang diri ke dalam
hutan. Berhari hari kerjaa Utan Along menangis, karena telah meninggalkan orang-orang yang disayanginya serta
teman temannya yang setia. Dengan susah payah teman-temannya mencari ke dalan hutan dan

158
Bab VIII. Kalimantan
akhimya berternu. Dengan berbagai cara, di bujuknya Utan Along pulang ke kampung, dan Utan Along dengan
gembira pulang bersama sama dengan teman temannya. Tarian im berasal dari budaya suku Dayak Kenyah. Tarian
leleng ini mempunyai empat ragam. Ragam 1. Pada ragam pertama tarian leleng Ini, penari jalan ke depan dengan
kaki kanan dihentak-hentakkan, dengan hitungan (l kali 8). Ragam 2. Gerakan selanj utnya bcrputar ke kiri dengan
hitungan (1 kali 8). Ragam 3. Penari membengkokkan kaki dengan kedua tangan di pinggang. Ragwn 4. Kaki kanan
dan kaki kiri disilangkan berganti-ganti.
(d)Tari Hudoq. Tarian Hudoq khusus ditarikan oleh wanita, berasal dari suku Dayak Kenyah dan Tari Hudoq
yang ditarikan oleh pria, berasal dari suku Dayak Bahau. Tarian ini khusus ditarikan sebagai pengusir setan, hantu, dan
hewan-hewan perusak tanaman. Tari Hudoq ini biasanya, dilakukan dengan memakai topeng hudoq yang
bermotifkan ukiran Kenyah dan Bahau. Tarian ini tidak memakai ragam-ragam. Penari bebas bergerak dengan
memperhatikan keadaan pentas/arena tempat menari. Gerak kaki dalarn Tari Hudoq ini, harus mengikuti irama gong.
Caranya kaki kanan dihentak-hentakkan, kemudian diikuti kaki kiri yang juga dihentak-hentakkan. Dilakukan sampai
ke tengah arena pertunjukan. Gerak tangan, sewaktu kaki dihentak-hentakkan, kedua tangan dipukul-pukulkan ke
samping paha. Tangan kanan dan tangan kiri memukul paha kaki kiri. Bunyi pukulan kedua tangan tersebut harus
mengiringi atau meningkahi bunyi gong. Gerak Tari Hudog, mulai jalan kedepan dimulai dengan kaki kanan dan
diselingi hentak-hentakkan berganti ganti dengan kaki kiri, maju terus ke depan , hitungan ( 1 kali 4). Kedua tangan
diPukul-pukulkan pada kedua paha kaki. Badan harus bergoyang dengan diiringi katupan-katupan dari mulut topeng
hudoq.
(e)Tari Pecuk-pecuk Kina, artinya bertahap tahap. Tarian ini menggambarkan tahap-tahap perpindahan suku
Dayak Kenyah, yang Pindah dari Apo Kayan di Bulongan ke daerah Long Segar di Kabupaten Kutai, yang katanya
memakan waktu kurang lebih delapan belas tahun. Untuk mengenangkan peristiwa itu, diciptakan lambang gerak yang
dituangkan mereka menjadi suatu bentuk tarian, yaitu Tari Pecuk-pecuk Kina. Ragam Tari Pecuk-pecuk Kina.
Gerak 1. Langkah pertama penari, di mulai dengan kaki kanan secara perlahan lahan maju ke depan, dengan
mempergunakan hitungan (1 kali 5). Kemudian mundur ke belakang mulai dengan kaki kiri, hitungan (1 kali 5).
Gerak 2. Maju cepat di mulai dengan kaki kanan dengan hitungan (1 kali 4). Kemudian jalan di tempat secara cepat
di mulai kaki kanan kemudian tutup kaki kanan dengan hitungan (1 kali 5). Gerak 3. Gerak selanjutnya dalam ragam
ini adalah duduk berjongkok secara perlahan-lahan, dengan kaki kanan ditaruhkan di depan kaki kiri, kemudian berdiri
secara perlahan. Gerak selanjutnya mengulang gerak pertama tersebut di atas.
(f)Tari Datun. Tari ini berasal dari suku Dayak Kenyah dan merupakan tarian memadu janji antara pria dan
wanita suku Dayak Kenyah. Tarian gembira ria ini biasannya di tarikan pada upcara-upacara perimmnan pada suku
Kenyah. Gerak 1. Penari keluar dari beberapa orang wanita, langkah (1 kali 4), seperti gerak pada tari leleng.
Geraknya, kaki kiri maju menutup kesamping kaki kanan, sampai membentuk lingkaran. Gerak 2. Penari pria Tari
Datun ini keluar, menuju lingkaran penari wanitanya. Apabila kaki kanan maju ke depan, tangan kanan juga ke depan
dengan menonjolkan pundak atau bahu melebihi kaki kanan, dengan dibarengi hentakan-hentakan yang ditimbulkan
dengan
Masyarakat Kesenian di Indonesia
kaki kanan. Bunyi im menambah kemantapan gerak pria tari datun. Gerak 3. Gerak ketiga tari datun ini, penari pria
mengelilingi penari wanitanya secara berpasangan. Gerak kaki penari pria ; kaki kanan maju ke depan dengan
hentakan-hentakan. Kemudian mundur lagi, maju lagi, begitu seterusnya dengan tak lepas dari pasangannya masing-
masing. Gerak penari wawta, waktu duduk dengan telapak kaki di bawah. Kedua tangan dt letakkan dipundak ang di
gerakkan 2 kali berturut-turut. b-gerak selanjutnya ialah sujud dengan menggerakkan tangan 2 kali berturut-turut.
Begitu seterusnya.
Pakaian tari atau peralatan yang dipergunakan oleh suku Dayak Kenyah terdiri dari pakaian lengkap penari
pria untuk Tari Perang disebut bluko: sejenis topi terbuat dari anyaman rotan yang dihiasi: a. Manik-manik yang
dibentuk dengan ukiran yang halus. b. Bulu-bulu yang berwama. Biasanya bulu harimau atau bulu-bulu kambing. c.
Bulu burung tebun atau bulu burung enggang, yang ditancapkan pada topi. d. Tulang- tulang yang diukir. Sigep,
sejenis anting -anting terbuat dari kepata burung enggang atau burung tebun yang di ukir sangat halus. Ueo Kini
sejenis anting-anting dibuat dari kuningan atau logarn lain, yang diukir sangat halus. Besunung, Sejenis baju dibuat
dari kulit harimau atau kulit kambing yang dihiasi dengan. bulu ekor dan bulu sayap burung enggang dan burung
temanggang dan dibelah menjadi dua. Juga dihiai dengan manik-manik dan kancing yang terbuat dari batu putih.
Seleng, gelang yang dibuat dari banir kayu banggris diraut bulat, lalu direndam dalam lumpur selama beberapa
hatisupaya menjadi hitam dan berkilat. Abet pakaian terbuat dari kulit kayu, yang disebut kumut, biasa dipergunakan
sebagai cawat dengan warna dasar hitam. Sekarang sudah dibuat dan kain yang dihiasi ukiran atau rambu-rambu.
Tabit, sebagai alas pantat agar tidak kotor bila duduk di tanah atau di hutan. Tabit ini terbuat dari anyaman rotan atau
kulit binatang (kulit kijang , rusa, harimau, beruang). Tabit ini diikat di pinggang dan pinggirannya diberi ukiran.
Belat, ijuk difilitkan di sebelah bawah lutut Yang jumlahnya kurang lebih 25 anyaman. Topeng, pakaian sehari-hari
suku ini untuk bedalan di hutan, agar tidak kena jatuhan dahan atau ranting.
Pakaian Lengkap Panari Wanita Suku Kenyah. (a) Jena dan tangep, tangep atau taket loong ialah topi
pakaian sehari-hari dan pakaian orang tua -tua. Jena ialah topi Yyng sebelah atasnya tak tertutup dan terbuat dari
anyaman rotan atau pandan. Untuk orang muda pakaian itu di beri hiasan manik ketip-ketipan mata logam jwnan
dahulu. (b) Belaong dan Saban, anting-anting untuk pemberat telinga supaya panjang. Belaong terbuat dari logam
berbentuk lingkaran yang banyak jumlahnya. Menurut mereka apabila seorang gadis tidak memekai belaong, gadis itu
tidak cantik. Sabau, terbuat dari manik dari gigi harimau diletakkan pada bagian atas telinga. Anting-anting ini dipakai
oleh pria dan wanita. Tetapi sekarang mereka sudah memakai hiasan dari emas dan kaum prianya, sudah tak ada yang
melubangi telinganya lagi. (c) Oleng dan Sapai. Oleng adalah kalung terbuat dari manik manik kecil dan buahnya
terdiri dari manik besar, yang biasa di kalungkan pada leher, baik pria maupun wanitanya. Sapai adalah baju beludru
hitam berpotong tak berlengan (you can see). Berhiasan mata uang ketip-ketipan zaman dahulu, dan diberi rurnbai-
rumbai atau manik-manik yang berbentuk ukiran pada bagian depan sampai kebelakang baju tersebut. (d) Kuwao atau
Ta’a. Pakaian seperti kain sarung hitam. Dihiasi dengan mata uang logam, dan rumbai-rumbai ukiran-ukiran
manik yang
Bab VIII. Kalimantan
beraneka warna. Bila diukir berbentuk kepala burung enggang, khusus dipakai gadis paren (bangsawan). Sedangkan
pakaian gadis biasa (gadis panyen), ukiran kepala burung itu tidak diberi mata, sedangkan pakaian sehari-hari tidak
memakai ukiran. (e) Leku Sulak, gelang dari tulang ikan laut, yang dipakai oleh gadis atau oleh kaum pria. Kalau
gelang tersebut dari gading gajah yang dipotong-potong dan disusun bertingkat menurut besamya, itu dipakai pada
waktu upacara, adat (leku-kesun). (f) Anggo, cincin perak yang diukir untuk pakaian sehari-hari. (g) Kilip, hiasan jari
pada waktu manari yang berupa bulu burung enggang yang diikat rapi dan mekar.
Peralatan yang dipergunakan penari perang terdiri dari: (a) Bajeng, adalah keselurahan perlengkapan tari
perang untuk pria; yakni mandau yang lengkap dengan sarung dan perlatannya. (b) Suwa, sarung mandau yang diikat
dengan rotan halus. (c) Sarung pisau (elang): terbuat dari kelopak enau atau kulit elang; pisau raut yang bertangkai
panjang. (d) Pete, alat pengikat mandau pada pinggang (ikat pinggang) yang dihiasi dengan ukiran-ukiran atau diberi
manik-manik halus berenteng-enteng. (e) Kelembit (telabang), dipergunakan sebagai penangkis senjata musuh, dapat
pula disebut perisai. Perisai ini dibuat dari kayu ringan dan kuat, dengan hiasan ukiran -ukiran kepala dan kaki atau
muka manusia. Khusus pakaian Tari Hudoq terbuat dari daun-daun pisang yang dirobek-robek hingga merupakan
rumbai-rumbai, kemudian diikat diseluruh badan. Bagian kepala penari hudoq ini memakai topeng yang bermacarn-
macam bentuknya, ada yang berbentuk kepala babi, muka manusia yang bentuknya jelek, dan sebagainya.
Alat-alat musik yang mengiringi tari-tarian itu antara lain: (1) Tari Gong dan Kancet Papatai
(a) sampe, (b) gendang, dan (c) gong. (2) Tari Leleng: (a) sampe (b) gendang, dan (c) gong. (3) Tari
Enggang Terbang: (a) sampe, (b) g endang, dan (c) gong. (4) Tari Hudoq hanya diiringi oleh gong. (5) Tari Pecuk-
pecuk: (a) sampe, (b) gendang, dan (c) gong. (6) Tani Datun: (a) sampe, (b) gendang, dan (c) gong.
Tarian suku Kenyah mempunyai sifat-sifat dan jenis yang disebut dengan nama
tari tradisional dan tergabung didalamnya: adat istiadat, gembira ria, adat kebiasan dan sebagainya. Umumnya
tarian suku Dayak Kenyah ini bersifat primitif yang sangat realistis, dan bersumber pada keadaan hidup sehari-hari.
Masalah ragam atau gerak dalam tarian suku Dayak Kenyah ini tidak terlalu banyak, tetapi ragarn-ragarn itu diulang-
ulang secara berganti-ganti. Yang membedakan tari Kenyah dengan Tunjung ialah alat musiknya--yang mengiringi
tarian Kenyah umumnya adalah sampe, dan alat musik yang mengiringi tari Tunjung adalah kelentangan. Jadi yang
membedakan tari dayak Kenyah dengan Dayak Tunjung dan Dayak Benuaq, adalah alat musik yang mengiringinya.
Pakaian bagian atas umumnya berlengan pendek yang disebut sapai, dan bagian bawahnya disebut kuao atau ta'a.
Sedangkan untuk tari Hudoq, pakaiannya tidak sukar dicari, karena pakaiannya dibuat dari daun pisang. Umumnya
peralatan yang dipergunakan penan wanita ialah bulu-bulu burung enggang, sedang untuk penari prianya, alat yang
dipergunakan adalah mandau dan telabang.

161
Masyarakat Kesenian di Indonesia
8.6.3 Kesenian Suku Kutai
Tari-tarian yang berasal darl suku Kutai yang ada di daerah Kabupaten Kutai, umumnya terdinidari duajenis
tarian, yakni: (A) Seni tari rakyat. Seni tai rakyat ini merupakan suatu spontanitas dan kreasi dari imajinasi serta
keinginan atau aspirasi rakyat yang diungkapkan menjadi suatu ekspresi artistik dan ekspresi emosi atas dasar
kemasyarakatan. Dalarn jenis tarian ini tergabung tarian-tarian dari suku yang mendiami daerah pesisir pantai
Kalimantan Timur. (B) Seni tari klasik. Tari klasik adalah suatu bentuk tari bermutu tinggi, yang dibentuk dalam pola
dan gerak-gerik tertentu, berkernbang dai masa ke masa, serta mernpunyai aspek filosofi yang dalarn, simbolik,
religi, dan tradisi yang tetap. Dalarn jenis tarian-tarian klasik ini tergabung tarian-tarian yang berasal dari keraton
Kutai.
Dalam tarian Kutai yang berjenis seni tari rakyat ini umumnya terdapat sendi agama Islam, yang dahulunya
dibawa oleh para penyebar agama Islam dari Tanah Arab. Kemudian berubahlah namanya menjadi nama tarian yang
disebut tarian jepen. 2. Kemudian jenis kedua tarian-tarian suku Kutai ini disebut seni tari klasik. Gerak-gerak kaki
maupun gerak-gerak tangan tari klasik ini umumnya hampir menyerupai gerak tarian-tarian yang ada di Jawa, karena
dahulu kala Kerajaan Kutai memang ada hubungannya dengan kerajaan yang ada di Jawa. Oleh sebab itulah tari jenis
klasik ini hampir serupa dengan gerak tai yang ada di Jawa.
Jenis tari rakyat ini pada zaman dulu merupakan suatu tari pergaulan muda-mudi, misalnya untuk memadu janji,
berkasih-kasihan, dan sebagainya. Pada masa sekarang ini tarian seni rakyat umumnya dipergunakan dalam acara
penyambutan tamu-tamu daerah, upacara perkawinan, dan untuk mengisi acara dalam hari besar. Jenis kedua tarian
suku Kutai ini sebagai seni tari klasik, pada zaman dahulu disajikan pada pengangkutan untuk penobatan raja-raja
Kerajaan Kutai di Tenggarong. Pada waktu sekarang tarian-tarian klasik ini dilakukan dalam acara penyambutan
tamu-tamu yang datang ke daerahnya atau dalam peningatan hari ulang tahun kota Tenggarong.
Adapun jenis tarian suku Kutai yang bersifat dari rakyat itu, terdiri dari: (1) Tari Jepen, tarian ini di Kalimantan
Timur banyak sekali persamaannya dengan tarian jepen
dari Malaysia, Sumatera Timur, dan Kalimantan Selatan. Tarian ini dikembangkan oleh suku Kutai dan suku
Banjar yang mendiami daerah pesisir Kalimantan Timur, dan fungsi utamanya adalah sebagai tarian pergaulan. Adapun
ragam-ragamnya adalah sebagai berikut. (a) Ragam I disebut jalan biasa. Dalam ragam pertama, langkah kaki harus
dimulal dengan kaki kiri, kanan, kiri lagi, dan tutup kaki kanan dengan hitungan 1 kali 3. Ragam 2 Berbalasan. Dalam
ragam dua, dilakukan putaran di tempat dengan berbalas-balasan, yang dimulai dengan balik kanan, kemudian balas
balik kini, dan terakhir balik kanan, dengan hitungan keseluruhan 1 kali 3. Ragam 3, jalan serong. Dalam
melakukan gerak ragam tiga ini, mulai putar di tempat secara balas-balasan dulu (sama seperti ragam dua), kemudian
setelah melakukan gerak kedua, lalu jalan serong
yang dimulal kaki kiri, kemudian serong kanan, dan serong kiri lagi, hitungan keseluruhan 1 kali 3.
(2) Jepen Tungku, tarian ini adalah sebuah tarian rakyat yang berasal dan daerah pesisir Kalimantan Timur.
Tarian ini Ichusus ditarikan oleh tiga pasangan muda-mudi,
Bab VIII. Kalimantan
dan biasanya ditarikan pada selamatan perkawinan. Adapun ragam tarinya adalah ragam I jalan Biasa Dalam ragam
ini , langkah gerak kaki harus dimulai kaki kiri, sesudah itu kaki kanan, kaki kiri lagi, kemudian tutup kaki kanan
dengan hitungan 1 kali 3. Ragam 2 berbalasan, putar di tempat secara berbalas-balasan, dimulai putar kanan,
kemudian balas balik kiri, dan sesudah itu putar kanan. Kesemua langkah itu mempergunakan hitungan 1 kali 3.
Ragam 3 loncat setengah, dalam melakukan ragam tiga ini, mulai putar di tempat dulu secara berbalas-balasan mulai
dengan kaki kanan, kiri, kanan, dan tutup kiri. Kemudian putar langkah dan loncat, dengan dimulai kaki kiri yang
diangkat, lalu angkat kaki kanan dan ditutup dengan kaki kiri, hitungan keseluruhan adalah 1 kali 3. Ragam 4 jalan
selait, sebelum melakukan gerak kaki selait, putar di tempat secara berbalas-balasan, sama seperti ragam 2 dengan
mempergunakan hitungan 1 kali 3. Kemudian jalan dengan memutar langkah kaki kiri dan kaki kiri direntangkan satu
kali, kemudian tutup lagi. Seterusnya jalan dengan dimulai kaki kanan, dan yang kiri langkah ke belakang (selait),
kemudian kaki kiri langkah ke muka diikuti kaki kin ke belakang, kesemuanya menggunakan hitungan 1 kali 3.
Ragam 5 loncat keliling Dalarn ragam lima ini, atau ragam yang terakhir Jepen Tungku ini, lakukan putar di tempat
dulu secara berbalas-balasan sama seperti ragam 2. Kemudian putar langkah dan kaki kiri diangkat secara berganti-
ganti dengan kaki kanan melakukan Ioncat keliling membentuk putaran bulat, dengan meloncat kembali ke asal
semula, dengan hitungan 1 kali 9, langsung duduk pada hitungan ke-9. Lagu atau nyanyian untuk tari Jepen Tengku
ini adalah lagu daerah Kalimantan yang bertajuk Mebalas Budi.
(3) Tari Jepen Sibadil, tarian ini merupakan tarian muda-mudi yang memadu janji yang biasanya dilakukan
pada upacara-upacara perkawinan. Adapu ragam-ragam tarian ini adalah sebagai berikut. (a) Ragam I, rentang, putar,
jalan biasa, sewaktu memulai ragam ini, kaki kanan direntangkan di samping kanan, kemudian kaki kanan tutup
kembali, dan sesudah itu kaki kanan mundur selangkah ke belakang, diikuti kaki kiri mundur ke belakang menutup
kaki kanan, hitungan 1 kali 3. Kemudian putar badan dengan hitungan (l kali 8), sesudah itu jalan blasa dengan
hitungan 1 kali 3. (b) Ragam 2 putar kiri, sebelum melakukan putar kiri, kaki kanan direntangkan dan kemudian
putar kiri, hitungan 1 kali 3, dilanjutkan dengan jalan biasa dengan hitungan 1 kali 3. (c) Ragam 3 berbalasan,
putar di tempat mulai dengan balik kanan, lalu dibalas dengan balik kiri, sesudah itu putar kiri hitungan 1 kali 3,
kemudian jalan biasa dengan hitungan 1 kali 3. (d) Ragam 4 rentang/putar, ragam empat ini sama dengan ragam
satu, yaitu rentangkan dulu kaki kanan dan tutup lagi, kemudian kaki kanan mundur diikuti kaki kiri, dilakukan
sampai tiga kali berturut-turut, dengan hitungan 1 kali 4. Kemudian putar badan dengan hitungan 1 kali 8. (e)
Ragam 5 langkah ganda, sebelum melakukan langkah ganda ini, dilakukan dulu gerak seperti ragam satu, yaitu
kaki kiri direntangkan ke samping kanan, tutup lagi kaki kanan itu, kemudian kaki kanan mundur lagi dengan diikuti
kaki kiri menutup kaki kanan, dengan hitungan 1 kali 4. Lakukan gerak ini sampai tiga kali. Gerak selanjutnya ialah
putar langkah dimulai kaki kanan yang menggeser kaki kiri dengan hitungan 1 kali 4. Sesudah langkah kaki ditambah
dua langkah ke belakang, kemudian gerak kaki langkah ganda, yang gerak kakinya adalah kaki kanan dengan
langkah ganda, kemudian diikuti kaki kiri maju. Sesudah kaki kiri lagi yang mundur ke

163
Masyarakat Kesenian di Indonesia
belakang dengan langkah ganda, langkah diikuti dengan kaki kanan, sampai dua kali dengan hitungan 1 kali 4.
Kemudian langkah ganda berbalik sambil menundukkan badan dengan melangkah ke depan. Geraknya dimulai
dengan kaki kanan dan badan mulai berbalik, kemudian langkah kaki kiri mundur ke belakang setelah berbalik tadi.
Lakukan sampai dua kali dengan hitungan 1 kali 4. Ulangi gerak maju tadi satu setengah kali, langsung jalan.
(4) Jenis tarian suku Kutai yang bersifat tari klasik yakni Tari Kanjar dan Ganjur. Tarian ini khusus
ditarikan pada waktu-waktu tertentu, pada suatu upacara Erau di keraton Kutai. Pada masa dulu upacara Erau ini
diadakan setahun sekali untuk menghormati masa penobatan seorang raja. Sejak tahun 1972 sampai sekarang upacara
Erau ini diadakan pada hari ulang tahun Kota Tenggarong, biasanya pada bulan September, yang berlangsung selama
tujuh hari tujuh malam. Pada saat inilah Tari Kanjar dan Ganjur ditarikan. (4A) Tari Kanjar, (a) di dalam ragam
pertama si penari melakukan gerak di tempat dengan hitungan satu kali satu. Kemudian putar badan ke kiri yang
dimulai dengan kaki kiri di tempat, kemudian kaki kanan di tempat, dengan posisi badan miring; sesudah itu putar
jalan kaki kiri ke muka, selanjutnya kaki kanan di tempat, kemudian kaki kiri balik di tempat dan sesudah itu kaki
kanan jalan putar lagi, kemudian dilakukan sampai batas pentas yang ditentukan semula. (b) Pada ragam kedua,
kembali dilakukan jalan pulang masuk kembali dengan gerak seperti semula yaitu kanjar. (4B) Ganjur, (a) ragam I
gerak mula-mula ialah kaki kanan diangkat dengan suatu cara dan pada waktu gong berbunyi, kaki sudah di atas
dengan ujung kaki di bawah, tumit di atas, kemudian kaki kanan diturunkan. Kaki kiri menggeser sedikit-sedikit,
kemudian setelah gong kecil berbunyi, kaki kiri tadi diletakkan di muka kaki kanan dengan tumit di atas, kemudian
setelah gong berbunyi, baru tumit kaki ditunmkan, dengan posisi badan miring, hitungan 1 kali 4. Gerak tangan,
keadaan tangan pada ragam tiga penari pria atau wanita tidak membawa apa-apa. Gerak tangan pada waktu kaki
kanan diangkat, tangan kiri ada di sekitar paha kiri, sedang tangan kanan adadi atas sekitar dada. Kemudian kaki kiri
bergeser, tangan kiri ada di belakang pinggang dan tanan kanan sekitar tinggi dagu. Tangan kiri dilambaikan setengah,
dan tangan kanan digenggam dan diturunkan sedikit, hampir dekat leher, disertai goyangan bahu, dan berbarengan
dengan berbunyinya gong besar. (b) Ragam 2 jalan ke depan yang dimulai kaki kanan dengan hitungan 1 kali 3.
Kemudian hadap kiri dengan tumit di atas berjingkat, diturunkan setelah gong besar berbunyi. Keadaan tangan pada
saat ini direntangkan pada saat kaki berjingkat, yang kemudian diturunkan setelah gong besar berbunyi. Kemudian
jalan lagi ke depan dimulai dengan kaki kanan, dengan hitungan 1 kali 3. Sesudah itu balik kiri dengan tumit kaki di
atas, dan diturunkan setelah gong besar berbunyi. Jalan lagi ke depan dimulai dengan kaki kanan ( 1 kali 3). Kemudian
putar kiri kedua tumit berjingkat, dan tangan direntangkan, dan diturunkan setelah gong besar berbunyi. Kemudian
jalan ke depan, dimulal dengan kaki kanan (hitungan 1 kali 3), balik kanan, tangan direntangkan, dan diturunkan
setelah gong besar berbunyi. (c) Ragam 3, pada ragarn ini penari pria mencabut tongkatnya yang terselip di pinggang.
Penari wanita mencabut kipas yang terselip di depan dan dipegang tangan kanan. Kaki kanan diangkat ke depan
dengan turnit di atas sewaktu gong kecil berbunyi, kemudian diturunkan. Kaki kiri digeserkan sedikit-sedikit,
sesudah gong kecil

164
Bab VIII. Kalimantan
berbunyi, kemudian diturunkan. Kemudian kaki kiri yang bergeser itudiletakkan di muka kaki kanan dengan tumit di
atas, dalam posisi badan miring. Kemudian diturunkan apabila gong besar berbunyi, dengan hitungan 1 kali 4. (d)
Ragam 4, gerak kaki sama seperti gerak ragarn satu (Ganjur). Hadap kanan: penari pria, kedua tangan memegang
kedua ujung tongkat. Caranya kaki kanan diangkat setelah gong kecil berbunyi. Sesudah ltu kaki kiri menggeser
sedikit-sedikit, kemudian meletakkan di muka kaki kanan dengan posisi badan miring. Kedua tangan yang memegang
ujung tongkat, diletakkan di sekitar perut, kemudian ujung tongkat yang dipegang tangan kanan diangkat secara
perlahan-lahan sampai di sekitar dagu, apabila berbunyi gong besar. Untuk penari wanita, sewaktu hadap kanan,
tangan kanan yang memegang kipas, diletakkan di atas sekitar bahu, tangan kiri ada di bawah, setelah gong besar
berbunyi, yang diikuti dengan anggukan dagu dan pandangan mata yang tertuju. Properti kipas yang dipegang tangan
kanan, diturunkan hampir ke dagu, sedang tangan kiri sewaktu gong besar berbunyi, diputar-putarkan ke belakang.
(Dilakukan sampai empat kali yaitu hadap kanan, hadap kiri, hadap kanan lagi dan hadap kiri lagi). (e) Ragam 5,
hadap kanan: kaki kanan diangkat, kaki kiri bergeser sedikit-sedikit, waktu akan hadap kanan possisi miring. Tangan
kiri sudah ada di sekitar kaki kiri, tangan kanan yang memegang tongkat setinggi dagu, diturunkan pelan-pelan dan
apabila gong kecil berbunyi, ujung tongkat sudah ada di bawah, kemudian naik perlahan-lahan sampai ujung tongkat
setinggi dagu, kemudian turun sedikit saja apabila gong besar berbunyi, dengan diikuti anggukan dagu dan
pandangan mata yang tertuju pada tongkat. Untukpenari wanita: hadap kanan, kipas yang dipegang tangan kanan
setinggi dagu, kemudian turun sedikit sampai sekitar mulut, apabila gong besar berbunyl, diikuti pandangan mata dan
dagu tertuju kepada kipas. Tangan kiri dilambaikan ke belakang berbarengan dengan bunyi gong besar. Alat-alat
musik yang digunakan pada tarian jepen adalah: gambus, ketipung, gendang. Alat-alat yang digunakan pada tarian
Kanjar dan Ganjar adalah: bonang, kenoong, saron, gambang, gendang, gong besar, gong keeil.
Bahwa tarian jepen ini merupakan tarian muda-mudi pada masa dulu dan sekarang berubah menjadi suatu tarian
yang sering dipertunjukkan pada acara peringatan, upacara perkawinan, dan sebagainya. Tari Kanjar dan Ganjur
adalah tanan yang pada mulanya hanya dipergunakan apabila ada pengangkatan raja pada masa kerajaan Kutai.
Sekarang tarian ini dijadikan pengisi acara-acara pada penyambutan tamu daerah yang datang ke daerahnya, dan juga
dipergunakan untuk mengisi acara-acara pada hari ulang tahun kota Tenggarong.

Daftar Pusataka untuk Memperdalam Kajian


Boeken, 1968. Steen Drukkerij van het H.L. Smits. S'Gravenhage. Broersma, R., 1927.
Handel en Bedrijf in Zuiz Oost Bomeo, S'Gravenhage, G. Naeff. Bondan, A.H.K. ,1953.
Suluh Sedjarah Kalimantan, Padjar, Banjarmasin.
de Bruyn, W.K.H.F.;, 1923. Bijdrage tot de kennis van de Afdeeling Hoeloe Soengai, (Zuider a Ooster Afdeeling
van Bomeo).
Eisenberger, J., 1936. Kroniek de Zuider en Ooster Afdeeling van Bomeo, Bandjermasin, Drukkerij Lim Hwat Sing.

165
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Heekeren, C. van., 1969. Helen, Hazen en Honden Zuid Bomeo 1942, Den Haag, 1969. Ras, J.J., 1910. Hikajat
Bandjar, A study in Malay Histiography, N.V. de Ned.
Riwut, Tjilik, 1970. Kalimantan Memamnggil, Penerbit Endang, Djakarta.
Saleh, Idwar, 1986. Sejarah daerah Tematis Zaman Kebangkitan Nasional (1900-1942) di Kalimantan Selatan,
Depdikbud, Jakarta.

Situs internet "http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Barat" "


http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Timur"
http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2006/bulan/06/tgl/19/time/231458/ idnews/619475/idkanal/10
"http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah" "
http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Selatan" Situs web resmi:
www.kaltimprov.go.id
Situs web resmi: www.kalsel.go.id "
http://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Selatan"
http://www.bappeda-kaltim.com/geografi.php
http://www.indonesia.go.id/index.php/content/view/341/869/
http://kaltim.bps.go.id/
Situs web resmi: [www.kalteng.go.id]

166
Bab IX. Sunda

BAB IX

MASYARAKAT DAN KESENIAN


9.1 Pengantar
SUNDA
Kalau kita membicarakan kebudayaan Sunda, yang terbayang bagi kita adalah kesenian-kesenian yang
berasal dari daerah ini, terutama yang sering dipertunjukkan di media massa seperti televisi. Di antara kesenian
tersebut adalah yang paling populer wayang golek, dengan dalangnya yang terkenal Asep Sunarya, dengan tokoh
wayangnya yang legendaris Si Cepot. Selain itu, seni pertunjukan lainnya yang terkenal adalah para kelompok
pelawak seperti D’Bodors dengan Kang Ibingnya, dengan pemeran Si Kabayan, dan lain-lainnya. Semakin kita
simak mendalam masyarakat Sunda ini menyumbangkan berbagai kesenian yang sifatnya nasional. Rhoma Irama
sendiri sebagai seorang tokoh pembaharu dan pengenal musik dangdut dalam taraf nasional dan internasional adalah
seorang Sunda (Tasikmalaya), begitu juga dengan Evi Tamala, dan lain-lainnya. Sekarang mari kita lihat masyarakat
dan kesenian Sunda.

9.2 Geografi
Berdasarkan kajian geomorfologi, daerah Sunda pada masa kini mencakup sebagaian besar Provinsi Jawa
Barat, yang secara budaya dibagi ke dalam empat wilayah:
(1) Jakarta, (2) Bogor, (3) Bandung dan (4) Pegunungan. Daerah Bandung merupakan bentangan gunung
berapi yang diapit oleh daerah Bogor dan Pegunungan. Daerah Bandung sebahagian dilapisi oleh endapan aluvial dan
vulkanik muda (kuarter), tetapi di beberapa tempat adalah campuran daripada endapan tertier dan kuarter (Ekajati
1984:11).
Secara geografis, Jawa Barat tempat kebudayaan Sunda lahir, tumbuh, dan
berkembang, terletak pada posisi antara 5 50’ dengan 7 50’ Lintang Selatan dan antara 1004 48’ dengan 108
48’ Bujur Timur, luas wilayahnya 46.890 km. Wilayah Jawa Barat merupakan salah satu wilayah Indonesia yang
secara geografis umumnya berbentuk kepulauan. Kepulauan ini biasa disebut dengan Kepulauan Nusantara, yang
dipakai sejak abad ke-14 Masehi, zaman Majapahit.
Istilah Sunda dan Jawa barat dewasa ini telah memasuki kehidupan masyarakat Indonesia yangmenunjuk
kepada pengertian kebudayaan, etnik, geografis, wilayah administratif pemerintahan, dan sosial. Di sampingitu, dua
istilah telah memasuki pula dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial dan humaniora yang membahas
tentang Indonesia.
Menurut R.W. van Bemmelen, Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan
untuk menamai sebuah dataran tinggi bagian barat laut India Timur, sedangkan dataran bagian tenggara
dinamai Sahul. Dataran Sunda dikelilingi oleh rangakian Gunung Sunda yang melingkar (circum Sunda Mountain
System) yang panjangnya sekitar 7.000 km. Dataran Sunda itu terdiri dari dua bagian utama, yaitu bagian utara yang
meliputi Kepulauan Filipina dan pulau-pulau karang sepanjang Lautan Pasifik bagian barat serta
Masyarakat Kesenian di Indonesia

bagian selatan yang terbentang dari timur ke barat mulai Maluku bagian selatan hingga embah Brahmaputra di Assam,
India.
Menurut data sejarah, istilah Sunda menunjukkan pengertian wilayah di bagian barat Pulau Jawa dengan
segala aktivitas kehidupan manusia di dalamnya. Istilah ini munculpertama kali abad ke-11 Masehi. Istilah tersebut
tercatat dalam prasasti yang ditemukan di Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Istilah Sunda sebagainama kerajaan atau
paling tidak sebagai nama wilayah atau tempat, tercatat pula dalam prasasti lain dan dalam empat buah naskah
berbahasa Sunda kuno yang dibuat akhir abad ke-15 atau awal abad ke-16 Masehi. Prasasti itu disebut Prasasti
Kabatentenan yang ditemukan di Bekasi.
Di dalam prasasti itu dikemukakan bahwa adanya tempat (dayeuhan) yang bernama Sunda Sembawa, di
samping tempat lain yang bernama Jayagiri. Kedua tempat ini berada
di Kerajaan Sunda.

3. Religi
Agama yang dianut sebahagian besar orang Sunda adalah Islam. Selain penganut agama Islam, terdapat
juga penganut agama Hindu, Budha, dan Kristen. Walaupun semua orang Sunda sudah beraama, tetapi masih banyak
dari mereka yang pergi ke makam-makam suci, sebagai tanda kaul untuk emnyamaikan permohonan dan minta doa
restu sebelum mengadakan usaha, pesta, atau perwalatan. Penduduk di pedesaan, selain taat menjalankan ajaran
agama Islam, juga melakukan berbagaiupacara yang tidak terdapat dalam ajaran Islam.
Dalam kebudayaan masyarakat Sunda, tahap kehidupan seseorang ditandai
dengan berbagai selamatan dan upacara. Selamatan diadakan mulai dari acara melamar, perkawinan,
memasuki rumah baru, masa kelahiran, turun tanah, memotong rambut, tumbuh gigi pertama, sunatan, waktu sakit
sampai pada waktu meinggal dunia. Dilihat dari susut pelaksanaan kehidupan beragama, upacara selamatan
merupakan acara yang terpenting. Berkenaan dengan upacara itu, ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan.
Pertama aspek waktu. Di Priangan biasanya dilakukan pada hari Kamis sore, malam Jumat. Kedua, aspek orang yang
diundang. Biasanya yang diundang adalah kaum tetangga. Mereka diundang secara lisan. Anggota keluarga kerabat
laki-laki si pengundang mendatangi rumah tetangga yang diundang. Si pengundang memakai sarung dan kopiah.
Selamatan biasanya berlangsung kalau ada orang yang dapat menyampaikan doa. Untuk keperluan ini biasanya
diapanggil seorang modin desa atau seorang guru ngaji yang dianggap mengetahui tata cara menyampaikan doa.
Upacara dimulai dengan mengucap Al-Fatihah dan diakhiri dengan Al-Fatihah juga. Isi doa menurut maksud
diadakannya selamatan itu. Hidangan selamatan tak jauh berbeda dengan upacara yang sama. Biasanya berupa
tumpengan, yaitu gundukan nasi seperti bentuk gunung yang diletakkan di atas baki yang terbuat dari bambu dan
kayu. Dalam selamatan orang tidak banyak bicara dan waktu makannya tidak lama. Selesai makan, para undangan
segera pulang.

4. Sistem Kekerabatan
Dalam perkembangan lain, istilah Sunda digunakan pula dalam konotasi manusia atau kelompok
Bab IX. Sunda
adalah orang yang mengaku dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda. Di dalam definisi itu tercakup
pula kriteria berdasarkan keturunan atau hubungan darah dan berdasarkan sosial budaya sekali gus. Menurut kriteria
pertama, seorang atau sekelompok orang bisa disebut orang Sunda jika kedua orang tuanya, baik dari pihak ayah
atau ibu atau keduanya orang Sunda, di mana pun ia dilahirkan dan dibesarkan. Berdasarkan kriteria kedua, orang
Sunda adalah orang atau sekelompok orang yang dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya Sunda dan dalam
hidupnya menggunakan dan menghayati kebudayaan Sunda. Bisa saja seseorang atau sekelompok orang yangorang
tua atau leluhurnya orang Sunda menjadi bukan Sunda,karena ia tidak mengenal dan tidak menggunakan nilai-nilai
Sunda daalm kehidupan. Sebaliknya jika seseorang menggunakan nilai-nilai dan norma-norma Sunda sedangkan ia
bukan keturunan Sunda, ia dapat dikatakan sebagai orang Sunda.
Dalam sistem tatapolitis pada sebuah desa, orang Sunda mengenal unsur-unsur sebagai berikut: (1) satu
orang juru tulis yang bertuga mengurus administrasi pemerintahan berupa pemeliharaan berbagai arsip, daftar hak
milik rakyat, pengurusan pajak, dan lainna; (2) tiga orang kokolot, yang merupakan penghubung rakyat dan pamong
desa, ia bertugas menyampaikan berbagai perintah atau pemberitahuan pamong desa kepada warga dan
menyampaikan pengaduan rakyat kepada pamong desa; (3) satu orang kulisi yaitu petugas yang bertanggung jawab di
bidang keamanan desa, ia bekerjasama dengan hansip; (4) satu orang ulu-ulu yaitu petugas yang mengatur
pembagian air dan pemeliharaan selokan; (5) satu orang amil yaitu orang yang bertugas mengurus masalah kematian,
nikah, talak, rujuk, pembacaan doa dalam selamatan, dan yang berkaitan dengan ritual agama Islam lainnya; (6) tiga
orang pembina desa, yang terdiri atas satuorang dari kepolisian dan dua orang tentara angkatan darat.
Masyarakat Sunda memiliki sistem kekrabatan yang sampai kini masih dapat dikaji keberadaannya, termasuk
mereka yang berada di Sumatera Utara. Pasangan suami- isteri membentuk keluarga kecil yang disebut rumah tangga.
Pada mulanya hanya terdiri atas sepasang suami-isteri. Kemudian, dengan lahirnya anak-anak dari sepasang suami-
isteri, maka anggota keluarga menjadi lebih lengkap. Ayah berperan sebagai kepala rumah tangga, ibu berperan
sebagai pengurus rumah tangga.
Hubungan kekerabatan dalam masyarakat Sunda berdasar kepada silsilah keturunan, sampai tujuh generasi:
(1) anak, (2) incu, (3) buyut, (4) bao, (5)
janggawareng, (6) udeg-udeg, dan (7) gantung siwur. Umumnya, keturunan hanya eksi sampai peringkat
buyut.
Dalam kebudayaan masyarakat Sunda, isteri disebut oleh suaminya pamajikan, dan sebaliknya suami disebut
isterinya dengan salaki. Orang tua isteri ataupun suami disebut mitoha (mertua) oleh pasangan suami isteri tersebut.
Orang tua isteri dan suami terhadap pasangan suami isteri, yang bukan anak kandungnya disebut minantu. Orang tua
isteri dan rang tua suami saling menyebut besan. Seorang ayah oleh anak-anaknya biasa dipanggil abah. Ibu dipanggil
ema oleh anak-anaknya. Adik-adik ayah dan ibu yang laki-laki biasa disebut dengan emang oleh anak-anak dari
pasangan suami isteri. Sedangkan adik-adik perempuan daripada ibu atau abah biasanya disebut bibi. Kakak- kakak
ayah dan ibu, sama ada lelaki maupun perempuan biasa dipanggil ua oleh anak-
Masyarakat Kesenian di Indonesia

anak darai pasangan suami isteri. masyarakat Itulah sekilas keberadaan sistem kekerabatan
Sunda. Masyarakat Sunda yang ada di Sumatera Utara, merupakan masyarakat pendatang yang migrasu bersama
dengan masyarakat Jawa, sejak abad kesembilan belas. Awalnya mereka adalah menjadi buruh-buruh di perkebunan-
perkebunan Belanda. Sebahagian daripada mereka selepas habis masa kontraknya ada yang membentuk pemukiman
baru di Sumatera Utara, dan hidup secara segregatif, dalam kebudayaan masyarakat Sumatera Utara yang heterogen.
Secara antropologi budaya dapat dikatakan sebagai suku bangsa Sunda adalah
orang-orang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Sunda serta dialek dalam kehidupan sehari-
sehari, berasal serta bertempat tinggal didaerah jawa Barat. Diluar jawa Barat terdapat pula karnpung-karnpung yang
menggunakan bahasa Sunda seperti di kabupaten Brebes, Tegal, dan Banyumas di Jawa Tengah dan di daerah
transmigrasi di Lampung dan Sumatera Selatan. Jika diteliti di jawa Barat sendiri tidak seluruh masyarakat
menggunakan bahasa Sunda, misalnya di Pantai Utara dan daerah Banten digunakan bahasa Jawa di samping bahasa
Sunda. Di Cirebon bahasa Sunda lebih banyak dipergunakan orang.
Sistem kekerabatan sudah dipengaruhi oleh adat yang diteruskan secara turun- temurun dan juga berlandas
pada agama Islam. Karena agama Islam telah lama dipeluk oleh orang Sunda, maka sulit kiranya memisahkan mana
adat dan mana agama, dan biasanya kedua unsur itu terjalin erat menjadi adat kebiasaan dan kebudayaan orang
Sunda. Perkawinan di Tanah Sunda misalnya dilakukan secara adat ataupun secara agama Islam. Ketika upacara akad
nikah atau ijab kabul dilakukan, tampak sekali bahwa di dalarn upacara-upacara terpenting ini terdapat unsur agama
dan adat.
Dalam menentukan jodoh, masyarakat Sunda tidak terikat oleh sistem tertentu, tetapi perkawinan dalam
keluarga batih dilarang. Di dalam, masyarakat Sunda ada kecenderungan untuk memilih menantu berasal dari kalangan
keluarga sendiri. Untuk menentukan seorang yang akan di ambil sebagai calon menantu, terlebih dahulu diadakan
penyelidikan dari kedua belah pihak Penyelidikan itu biasanya dilakukan secara rapi, bahkan sering secara tertutup,
hal ini dimaksudkan untuk memperoleh menantu yang baik. Barometer menantu yang baik sangat relatif.
Adapun mencari menantu dapat dilakukan oleh pihak kelaurga laki-laki ataupun
oleh keluarga perempuan. Cara mencarinya mula-mula tidak serius, tetapi sambil bergurau antara orang tua
kedua belah pihak. Tempat pernbicaraannya pun tidak menentu, tergantung di mana mereka dapat sering bertemu, di
pasar, di ladang di dalmn perjalanan dan lain sebagainya.
Apabila anak gadis itu belum bertunangan dan orang tuanya setuju atas usulan pihak orang tua pemuda,
maka pembicaraan itu dinamakan neundeun ornong, artinya menyepakati perkataan. Antara neundeun omong sampai
nyeureuhan atau melarnar terjadilah amat-mengamati, selidik-menyelidiki secara baik. Setelah dilakukan pelamaran,
maka dilakukan persiapan-persiapan untuk melakukan upacara pernikahan. Setelah tersida keperluan itu,
maka orang tua laki-laki mengirirnkan kabar pada orang tua si gadis

170
Bab IX. Sunda

hari dan jam yang sudah ditetapkan untuk diadakan seserahan anak laki-laki yang akan menjadi mempelai itu. Perihal
waktu perkawinan sudah mereka bicarakan. Biasanya penyerahan anak laki-laki dilakukan tiga hari sebelum
dilakukan upacara pernikahan. Setelah anak laki-laki di serahkan pada prinsipnya segala sesuatu telah manjadi
tanggung jawab orng tua perernpuan. Upacara pernikahan dilakukan secara sederhana menurut agama, tetapi upacara
nyawer dan buka pintu adalah yang paling menarik sernua orang gembira dan mengikuti dialog yang dilakukan
dengan bahasa puisi dan lagu.
Dalam masyarakat Sunda, bentuk keluarga yang terpenting adalah keluarga batih. Keluarga. batih terdiri
dari suarni, istri dan anak yang di dapat dari perkawinan atau adopsi. Adat sesudah nikah di Jawa Barat pada
prinsipnya adalah neolokal. Hubungan sosial diantara keluarga batih arnat erat keluarga batih merupakan tempat yang
paling aman bagi anggota masyarakat. Di dalam rumah tangga keluarga batih sering juga terdapat keluarga lain
seperti ibu mertua atau kemenakan pihak laki-laki atau perempuan. Ada kalanya bentuk keluarga menjadi lebih besar
karena, pihak laki-laki kawin lagi dan melakukan poligami.

9.5 Kesenian
Dalarn hubungannya dengan kehalusan bahasa sering dikernukakan, bahwa bahasa Sunda yang murni dan
halus di daerah Priyangan, seperti di Kabupaten Ciamis, Tasikmalaya, Garut, Bandung, Sumedang, Sukabunii, dan
Cianjur. Sampai sekarang dialek Cianjur masih dipandang sebagai bahasa Sunda yang terhalus. Bahasa Sunda yang
dianggap agak kurang halus adalah bahasa Sunda di dekat pantai utara, misalnya terdapat di Banten selatan adalah
bahasa Sunda kuno.
Bentuk sastra Sunda yang tertua adalah cerita-cerita pantun, yaitu cerita
pahlawan nenek moyang Sunda dalmn bentuk puisi diselang-selingi oleh prosa berirama seperti bentuk
pelipur lara. Tukang-tukang pantun ini mendongengkan cerita-cerita pantunnya dengan iringan bunyi kecapi. Cerita-
cerita itu mengetengahkan pahlawan-pahlawan dan raja-raja pada zaman Sunda kuno, misalnya zaman Galuh dan
Pajajaran, dan selalu menyebut nama raja Sunda yang terkenal ialah Prabu Siliwangi. Bagi orang Sunda cerita-cerita
pantun itu menduduki tempat yang khas dalam hatinya. Permainan pantun dapat menggugah perasaan kebesaran orang
Sunda, yang melihat cerita sejarah di masa lampau semakin jauh semakin terang, semakin lama semakin terkenang.
Seni bangunan dapat dilihat dari bangunan rumah adat Sunda, contohnya bangunan Kekeratonan Kasepuhan
Cirebon, yang memiliki empat ruangan: (a) jinem atau pendopo, tempat duduk para punggawa atau penjaga
keselamatan sultan; (b) pringgondani, tempat sultan memberi perintah kepada para adipati; (c) prabayasa, yaitu
tempat sultan menerima tetamu istimewa; (d) panembahan, yaitu ruang kerja dan istirahat sultan. Untuk rumah
penduduk, bangunan disesuaikan dengan keadaan tanah yang biasanya tidak rata. Banyak rumah dibangun di atas
tiang-tiang yang tidak begitu tinggi. Di bawah rumah seringkali dibuat kolam ikan. Ini disebabkan karena tanah di
Jawa Barat relatif banyak mengandung air.
Seni tari yang sangat populer dalam kebudayaan masyarakat Sunda adalah
jaipongan. Jaipongan adalah paduan antara tari ketuk tilu dengan tari gendang pencak.
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Para penonton diajak menari bersama-sama dengan ronggeng. Tari jaipongan mulai populer di paruh kedua bada ke-
20 dan merupakan sebuah daya tarik untuk para wisatawan yang datang ke daerah Parahiangan. Tari-tari Sunda
lainnya adalah: Tari Topeng Kuncaran, yaitu tari yang mengisahkan dendam kesumat seorang raja karena cintanya
ditolak. Berikutnya adalah Tari Kupu-kupu yang merupakan imitasi alam yaitu kupu-kupu yang serba indah, menarik,
dan memukau yang melihatnya. Seterusnya adalah Tari Rumlang yaitu tari topeng khas dari Cirebon, dan lain-lain.
Alat musik dari kawasan Sunda ini di antaranya adalah angklung, calung, kacapi, suling, dan degung.
Angklung dan calung terbuat dari bambu. Angklung
dimainkan dengan cara digoyangkan. Calung memainkannya dengan cara dipukul. Alat- alat musik Sunda
digunakan untuk mengiringi lagu-lagu vokal daerah Sunda seperti
tembang dan kawih. Tembang adalah lagu yang berbentuk bebas dan diiringi angklung
dan calung. Seni suara Sunda lainnya adalah sintren dan cincang keling.
Wayang dan wawacan. Wayang dalarn masyarakat Sunda adalah wayang golek bukan wayang kulit.
Wawacan adalah cerita yang berbentuk puisi biasanya dinyanyikan ketika membacanya seperti wawacan Rengganis
dan Purnama Alam. Wayang dan Wawacan dalam kesusastraan Sunda terdapat bermacam-macarn cerita rakyat,
seperti Sangkuriang yaitu cerita tentang terjadinya gunung Tangkuban Perahu dan Danau Purba di dataran tinggi
Bandung. Satu macam cerita rakyat di Sunda adalah cerita Si Kabayan, suatu contoh sastra yang dilukiskan sebagai
seorang yang malas dan bodoh, akan tetapi tampak pula kecerdikannya.
Musik tradisional Sunda yang paling dikenal adalah gamelan seperti halnya di
Jawa Tengah. Gamelan ini terdiri dari alat-alat musik seperti saron, gender, bonang, goong, rebab, kacapi,
dan lainnya. Dalam satu set biasanya terdiri dari dua ensambel, yang berlaras slendro dan pelog. Selain itu di Sunda
juga dijumpai ensambel gamelan degung yang merupakan percampuran antara gamelan laras slendro dan pelog.
Gamelan degung termasuk ke dalam rumpun gamelan, yang dimainkan secara ensambel. Terdiri dari empat
sampai tujuh instrumen, sebelum seni degung mengalami perkembangan, instrumen yang digunakan hanya berjumlah
empat buah yaitu bonang, saron, jengglong, dan goong. Kemudian sekitar tahun 1950-an, gamelan degung
mengalami perkembangan dengan salah satunya adalah dengan menambah jumlah instrumennya dengan kendang,
suling, dan saron peking. Menurut bentuknya, selain jenis
kendang dan suling, instrumen-instrumen dalam gamelan degung dapat digolongkan ke dalam dua jenis
yaitu bentukpencu dan bilahan. Instrumen yang berbentuk pencu adalah
bonang, jengglong, dan goong. Sedangkan yang berbentuk bilahan adalah saron dan saron panerus. Jumlah
pencu pada bonang terdiri dari 14 sampai 16 pencu yang tersusun dari nada paling rendah (da) sejauh tiga gembyang
(oktaf). Deretan pencu tersebut disusun di atas penyangga yang disebut rancak yang terbagi menjadi dua bagian,
rancak sebelah kanan diisi dengan deretan pencu bernada tinggi yang dimulai dari nada tertinggi da sampai nada na
gembyang tengah dan rancak sebelah kiri diisi dengan deretan pencu yang bernada rendah dimulai dari nada ti
gembyang tengah sampai nada la gembyang bawah.
Genre kesenian lain yang ada di kebudayaan Sunda adalah dungkol, satu kesenian rakyat yang berkembang
sejak dasawarsa 1940-an. Seni ini berupa permainan
Bab IX. Sunda

untuk hiburan rakyat pedesaan di Sunda saat bulan purnama, yang dilakukan di halaman rumah. Alat musik yang
digunakan adalah bedug dan kohkol (kentongan), ditambah dengan kendang batangan (kendang besar), dua kulanter
(gendang ketipung), satu kempul, satu gong besar, ditambah alat kosrek (tabung bambu yang memainkannya
digaruk). Adapula genre lainnya yaitu musik calung, yang merupakan ensambel alat musik yang terbuat dari bambu.
Calung ini terdiri dari calung rantay, calung gamelan, dan calung jinjing. Demikian sekilas seni musik atau karawitan
Sunda.

Daftar Pustaka untuk Memperdalam Kajian


Ekajati, Edi S., 1995. Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah. Jakarta: Pustaka Jaya.
Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, dan TeknikPenelitian Kebudayaan. Jakarta: Wedatama Widya.
Hadi, Y. Sumandiyo, 1999. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Lembaga Penelitian Institut Seni Indonesia dan
Yayasan untuk Indonesia.
Herdini, Heri, 1992. Tabuhan Bonang pada Ensambel Degung: Tinjauan Musikologis Lagu-lagu Klasik. Skripsi
Sarjana. Medan : Etnomusikologi USU.
Hermawan, Deni, 1990. Tabuhan Kacapi Tembang Sunda Cianjuran: Tinjauan Musikologis terhadap Teknik dan
Gaya Tabuhan Permainan Uking Sukri. Skripsi Sarjana. Medan: Etnomusikologi USU.
Mustapa, R.H. Hasan. 1996. Adat-Istiadat Sunda. Bandung: Alumni.
Mansyur, M. Kholil, t.t.., Sosiologi Masyarakat Kota dan Desa. Surabaa: Usaha Nasional. Soeganda, R. Akip
Prawira, 1982. Upacara Adat di PaSundan. Bandung: Sumur
Bandung.
Soepandi, Atik, 1988. Kamus Karawitan Sunda. Bandung: Pustaka Buana.
Sumarsono, Tatang, 1995. Maher Basa Sunda (Pangdeuldeul Pangajaran Basa Sunda).
Bandung: Geger Sunten.
Surjadi, 1985. Masyarakat Sunda: Budaya dan Problema. Bandung: Penerbit Alumni. Wibisana, Wahyu. 1986. Arti
Perlambangan dan Fungsi Tata Rias Pengantin dalam
Menanamkan Nilai-nilai Budaya daerah Jawa Barat. Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan
Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Zanten, William van, 1987. Sundanese Music in Cianjuran Style. Amsterdam: Foris Publication.

173
Masyarakat Kesenian di Indonesia

BAB X

MASYARAKAT DAN KESENIAN JAWA


1. Pengantar
Bagi kita bangsa Indonesia, menyadari bahwa suku Jawa adalah suku yang mayoritas jumlahnya di
Indonesia, walau asal mereka adalah dari Pulau Jawa yang relatif lebih kecil dibanding pulau-pulau besar lainnya.
Selain itu, dalam sejarah di Nusantara, orang-orang Jawa ini pernah menjadi penguasa Nusantara terutama di era
Majapahit. Mereka menguasai kawasan-kawasan di seluruh Indonesia sampai ke Dataran Asia Tenggara. Saat itu
yang terjadi memang adalah ambisi perluasan teritorial demi sebuah kerajaan besar.
Selepas Indonesia merdeka pun kekuasaan politik tetap dipegang oleh orang-
orang Jawa. Presiden Republik Indonesia pun sebagian besar dipegang oleh etnik Jawa sejak kita merdeka.
Namun wakil presidennya telah diisi oleh berbagai kelompok etnik yang ada di Indonesia. Orang-orang Jawa juga
terkenal dengan pola adaptasinya yang lentur dengan berbagai kelompok etnik di Indonesia. Karena mereka memiliki
jumlah yang besar dan pulau Jawa tak lagi mampu menampung kehidupan mereka, sebahagian orang-orang Jawa ini
merantau atau bermigrasi ke berbagai tempat di Nusantara, seperti ke Kalimantan, Sumatera (terutama Sumatera
Utara), bahkan sampai ke Semenanjung Malaya, dan yang jauh sampai ke Afrika Selatan, Suriname, dan berbagai
tempat lainnya di dunia. Mereka juga membawa kesenian dan sistem budanyanya di tempat perantauan dan juga
beradaptasi dengan budaya setempat. Mari kita lihat masyarakat dan kesenian suku Jawa ini.

2. Msyarakat Jawa
Daerah kebudayaan Jawa dapat dikatakan sangat luas, yang meliputi bagian tengah dan timur Pulau Jawa.
Walaupun demikian ada daerah-daerah yang secara kolektif sering disebut daerah Kejawen. Sebelum ada perubahan
status wilayah seperti sekarang ini daerah itu meliputi Banyumas Kedu, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, dan
Kediri. Daerah di tuar tersebut dinamakan daerah pesisir dan ujung timur.
Kebudayaan Jawa semula berpusat di Surakarta, tetapi dengan terjadinya perjanjian Giyanti 1755 pusat
kebudayaan Jawa juga terdapat di Yogyakarta. Di berbagai daerah tempat kediaman orang Jawa terdapat variasi
dan perbedaan-perbedaan yang
bersifat lokal dalam beberapa unsur kebudayaan, seperti perbedaan mengenai berbagai istilah teknis, dialek,
bahasa, dan lain sebagainya. Namun kalau diteliti lebih jauh hal-hal
itu masih merupakan suatu pola atau satu sistem daalm satu kebudayaan Jawa.
Agama yang dianut mayoritas, penduduknya adalah agama Islam, kemudian agama Kristen Katolik,
Protestan, Hindu, dan Budha. Orang santri adalah mereka yang secara patuh dan teratur menjalankan ajaran-ajaran
Islam. Sedangkan orang Islam Kejawen biasanya tidak menjalankan shalat, puasa, dan tidak bercita-cita naik haji,
Bab X. Jawa
kepercayaan adanya suatu kekuatan yang melebihi segala kekuatan di mana saja yang pernah mereka kenal, yakni
kesakten, kemudian arwah atau roh le1uhur dan mahluk-mahluk halus seperti memedi, lelembut, tuyul, demit, jin, dan
lain sebagainya. Mahluk-mahluk tersebut bertempat tinggal di sekitar kediaman mereka. Menurut kepercayaan
masing-masing mahluk-mahluk tersebut dapat mendatangkan kebahagiaan, ketentraman, dan keselamatan--tetapi juga
dapat menimbulkan gangguan pemikiran, kesehatan bahkan dapat menyebabkan kematian. Bila seseorang ingin hidup
tanpa menderita ganguan, ia harus berbuat sesuatu untuk mernpengaruhi alarn sernesta dengan berprihatin, berpuasa,
berpantang melakukan perbuatan serta makan-makanan tertentu, berselarnatan, dan bersaji. Kedua cara terakhir ini
kerap kali dijalankan oleh masyarakat Jawa di desa-desa pada waktu tertentu dalam peristiwa kehidupan sehari-hari.
Orang Jawa meskipun pada umumnya diketahui sebagai penghuni daerah agraris, merek sejak zaman
dahulu melakukan perpindahan dalam berbagai bentuk seperti perdagangan, pendudukan kerajaan-kerajaan Jawa,
migrasi secara spontan, dan sebagainya. Sebagai pedagang, umpamanya, mereka terkenal bergerak antar pulau-pulau
di Nusantara, terutama membawa beras dan tekstil (Sartono Kartodirdjo 1988:10). Kerajaan-kerajaan yang muncul di
pulau Sumatera di antaranya banyak yang silsilah raja-raja atau golongan bangsawannya merupakan keturunan
orang-orang Jawa atau yang menjalin hubungan perkawinan dengan pihak Kerajaan Jawa. Begitu juga Kerajaan
Malaka. Kampung Jawa di sana-sisni dibangun sejak zaman dahulu, seperti di Daerah Deli terdapat pemukiman
orang Jawa kira-kira 500 orang yang disebut Kota Jawa (Luckman Sinar 1985:6), dan daerah Asahan sekitar Pasir
Putih dikatakan sebagai pemukiman orang Jawa beberapa abad sebelum kunjungan John Anderson (Anderson
1971:136).
Di Semenanjung Malaya juga terdapat sejumlah migran orang Jawa yang kini sudah turun-temurun dan
menetap di situ. Di samping itu, perpindahan orang Jawa secara besar-besaran dan mencolok dalam sejarah Indonesia
adalah yang didatangkan oleh pihak perkebunan sebagai tenaga kerja di Sumatera Timur. Sejak tahun 1880, dengan
menggantikan kuli orang Tionghoa mereka mulai dibawa ke Sumatera Timur dan setelah tahun 1910 kedatangan
mereka bertambah banyak. Mereka awalnya terikat dengan sebuah kontrak dengan disertai peraturan-peraturan
tentang hukuman atas mereka yang disebut Penale Sanctie. Namun demikian, sejak tahun 1911 dengan tiba- tiba
kontrak kerja tersebut didasarkan pada kontrak yang merugikan para buruh (Reid 1987:82-83).
Pada masa kini, perpindahan orang Jawa dilaksanakan dalam rangka kebijakan transmigrasi yang
disponsori oleh pemerintah. Trasmigrasi ini dilakukan karena alasan pemerataan penduduk dan padatnya
penduduk di pulau Jawa, kekurangan lahan pertanian, dan kemiskinan di pedesaan Jawa pada umumnya. Orang
Jawa pada hakekatnya mempunyai watak yang senantiasa berusaha menyesuaikan diri dengan orang di
lingkungannya, dan mementingkan keharmonisan. Meskipun orang- orang Jawa yang lahir di Sumatera sering
disebut Pujakesuma, watak dan kebiasaan yang berdasarkan budaya mereka sendiri tetap disampaikan daripada
orang tuanya. Mereka mengatasi ego dan nafsu demi ketenangan hidup dan kebijaksanaan, dan sukarela bekerja
untuk umum dengan cara gotong-royong. Para migran orang Jawa

175
Masyarakat Kesenian di Indonesia

yang umumnya terdiri dari petani kecil hidup sederhana, dan menerima kesengsaraan dengan menganggap hidupnya
memang begitu. Namun tak lupa mempertahankan nama dan harga dirinya (Sadarmo dan R. Suyono 1985:2).
Orang-orang Jawa memiliki sistem kekerabatan, yang disebut bebrayat. Menurut informasi Bapak
Subanindyo Hadiluwih, seorang tokoh masyarakat Jawa di Sumatera Utara, bebrayat berasal dari kata brayat yang
berarti keluarga--mendapat suku kata awalan (prefik) be. Dalam budaya Jawa brayat berarti sistem bekeluarga
dalam arti luas, yaitu keluarga inti, batih, atau keluarga budaya. Sistem kekerabatan ini dilandasi oleh sikap bergotong-
royong, dengan konsep sepi ing pamrih, rame ing gawe,
artinya tidak mengharapkan balasan pamrih, dan mengutamakan kerja bersama-sama. Dengan menggunakan
sistem ini, mereka meyakini bahawa semua manusia adalah
keluarga, namun dalam penjabaran tanggung jawab selalu dikonsepkan dengan paseduluran: (1) sedulur
tunggal kringkel merupakan saudara lahir daripada ibu dan ayah yang sama; (2) sedulur kuwalon yaitu saudara lain
ayah tetapi ibunya sama, atau sebaliknya saudara lain ibu namun ayahnya sama, dan saudara tiri; (3) sedulur misanan
merupakan saudara satu nenek atau satu kakek, yang mencakup kandung atau tiri; (4) sedulur mindoan adalah
saudara satu buyut (orang atau kakek atau nenek) berlaku baik untuk saudara kandung atau tiri, (5) sedulur mentelu
yaitu saudara satu canggah (buyutnya ayah dan ibu) baik saudara kandung atau tiri; (6) bala yaitu yang menurut
anggapan mereka mash saudara, namun dari silsilah sudah tidak terlacak
kedudukannya, dan disebabkan oleh interaksi mereka, karena kebutuhan yang erat, misalnya jenis pekerjaan
sama, sering berkomunikasi, dan sejenisnya; (7) tangga yang
konsepnya tidak terbatas pada letak rumah yang berdekatan saja, tetapi dalam kepentingan tertentu mereka
saling membutuhkan.11
Selamatan adalah suatu upacara makan bersama yang telah dibagikan doa sebelum dibagi-bagikan.
Selamatan itu tidak terpisah dari pandangan alam pikiran

11
Orang-orang Jawa yang ada di Sumatera Timur (Sumatera Utara sekarang), secara umum mengalami transformasi-
transformasi budaya. Di satu sisi mereka ingin mempertahankan budaya leluhurnya yang berasal daripada pulau Jawa, di sisi lain
mereka juga harus berinteraksi dengan berbagai etnik setempat dan pendatang lainnya di Sumatera Timur yang pesat
perkembangan ekonominya. Orang-orang Jawa ini mata pencaharian utamanya secara umum adalah petani dengan menggarap
lahan untuk perkebunan kelapa sawit, geta, koko atau juga kelapa. Di antara tokoh-tokoh masyarakat Jawa yang terkenal di
Sumatera Utara di antaranya adalah Drs. Kasim Siyo, M.Si., sebagai presiden Pujakesuma Sumatera Utara, kemudian Wagirin
Arman seorang tokoh politik dan ali parlemen di Kabupaten Deli Serang, Djati Oetomo, manejer radio Pasopati Medan yang
menyiarkan khas budaya Jawa, Dr. Subanindyo Hadiluwih, S.H., seniman, dosen, dan penulis terkemuka mengenai kebudayaan
Jawa di Sumatera Utara, dan banyak lagi yang lainnya. Di bidang kesenian, umumnya kebudayaan Melayu di kawasan ini paling
banyak didukung oleh seniman beretnik Jawa ini, di samping seniman Melayu itu sendiri. Di antara seniman-seniman seni Melayu
yang berasal daripaa etnik Jawa adalah: Sirtoyono yang bergabung dengan kumpulan kesenian Patria, ia seniman serba boleh,
pemusik, penari, koreografer, pelakon, dan penulis drama sekali gus. Seterusnya adalah Sumardi, sebagai pemain akordion Melayu
yang handal. Di sisi lain ada pula Retno Ayumi, seorang penulis tari dan penari Melayu terkemuka di Sumatera Utara.
Bab X. Jawa

partisipasi tersebut di atas, dan erat hubungannya dengan kepercayaan kepada unsur- unsur kekuatan sakti maupun
makhluk-makhluk halus tadi. Hampir semua selamatan ditujukan untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak
ada gangguan-gangguan apapun. Hal itu juga terlihat pada nama upacara sendiri, yakni kata selarnat. Upacara ini
biasa dipimpin oleh modin, yakni salah seorang pegawai masjid yang antara lain berkewapban mengumandangkan
adzan. la dipanggil karena dianggap malur membaca doa keselarnatan yang intinya berasal dari ayat-ayat Al Qur'an.
Upacara selamatan dapat digolongkan kedalam enam macam sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalarn
kehidupan manusia, sehari-hari yaitu: (1) Selamatan
dalam. rangka lingkaran hidup seorang, seperti hamil tujuh bulan (mitoni), kelahiran, upacara potong
rambut pertama, upacara menyentuh tanah untuk pertama kali (tedak
siten), upacara menusuk telinga (tindik), sunat (khinatan), kernatian, serta saat-saat setelah kernatian. (2)
Selamatan yang bertalian dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan setelah panen padi. (3) Selarnatan
yang berhubungan dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam. (4) Selamatan pada saat-saat yang tidak tertentu
berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti membuat peijalanan jauh, menempati rumah kediaman baru, menolak
bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari sakit (kaul), dan lain-lain. Di antara keempat macarn golongan upacara
selamatan tadi, maka upacara selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, khususnya yang berhubungan
dengan kematian serta sesudahnya, adalah suatu adat kebiasaan yang arnat diperhatikan dan kerap kali dilakukan
di salah satu tempat dalam lingkungan istana (ratawijaya), secara terbuka. Oleh kalangan masyarakat orang
Jawa, terutama yang datang dari kalangan pedesaan, air bekas siraman
tersebut dapat membawa berkah. Sedangkan tokoh raksasa Batara Kala adalah raksasa yang mempunyai
yang dapat mendatangkan bencana pada benda-benda ataupun manusia. Misalnya seorang anak tunggal (bocah
ontang-anting) dianggap hidupnya senantiasa diancam oleh raksasa ini. Maka untuk menghidari bahaya tersebut,
orang tua dari si anak mengadakan ruwatan, biasanya disertai dengan pertunjukan wayang kulit sehari semalam,
dengan mengambil cerita sekitar tokoh raksasa Batara Kala.
Sistern kekerabatan masyarakat Jawa berdasarkan prinsip keturunan bilateral. Semua kakak laki-laki serta
kakak perempuan ayah dan ibu, beserta istri dan suami mereka masing-masing diklasifikasikan menjadi satu, yaitu
dengan istilah siwa atau uwa. Sedangkan adik-adik dari ayah dan ibu diklasifikasikan kst dalarn dua golongan
yang
berbeda menurut jenis kelamin, yaitu paman bagi adik laki-laki dan bibi bagi adik perempuan.
Pada masyarakat berlaku adat-adat yang menentukan bahwa dua orang tidak boleh saling menikah apabila:
(a) saudara kandung, (2) pancer lanang, yaitu anak dari dua orang saudara sekandung laki-laki, 3. Pihak laki-laki
lebih muda menurut ibunya dari pada pihak perempuan. Adapun perkawinan yang diperbolehkan adalalah perkawinan
antara dua orang dua orang yang tidak terikat karena hubungan-hubungan kekerabatan seprti tersebut diatas. Dalam
perkawinan masyarakat Jawa dikenal beberapa istilah sebagai berikut: (a) ngarang wulu, yaitu perkawinan seorang
duda dengan seorang wanita salah satu adik dari almarhum istrinya, (b) wayuh, yaitu perkawinan lebih dari
seorang istri (poligami), (c) kumpul kebo, yaitu laki-laki dan perempuan yang tinggal dalam satu rumah, sudah atau
belum mempunyai anak dalam kurun waktu tertentu akan tetapi belum
Masyarakat Kesenian di Indonesia

menikah. Hal ini merupakan suatu bentuk perkawinan yang menyimpang dari tradisi dan ajaran agama, (d) pisah
kebo, yaitu berpisahnya suami-istri tetapi tidak diikuti oleh perceraian secara resmi.
Sebelum dilangsungkan upacara perkawinan, biasanya terdapat beberapa pendahuluan, di antaranya: (1)
Nakokake, yaitu ketika seorang pria ingin meminang kekasihnya harus menanyakan dahulu kepada orang tua (wali) si
gadis apakah masih legan (belum ada yang meminang). (2) Paningsetan, yaitu apabila sudah mendapat jawaban
bahwa si gadis masih legan clan belum ada yang melainar, dan kehendaknya mempersunting tadi diterima, maka
akan segera ditetapkan kapan diselenggarakan
paningsetan, yaitu upacara pemberian harta benda kepada calon istri berupa sepotong kain dan kebaya,
yang semua itu disebut pakaian sakpengadek. Kadang-kadang disertai
cincin kawin, inilah yang sekarang sering disebut pertunangan, yang berarti si gadis telah terikat untuk
melangsungkan pemikahan atau wis dipacangke. (3) Asok tukon, yaitu suatu tanda penyerahan harta kekayaan dari
pihak laki-laki kepada pihak perempuan secara simbolis. Hal ini biasanya dilakukan dua atau tiga hari sebelum
upacara pemikahan dilangsungkan. Harta itu berupa sejumlah uang, bahan pangan, perkakas rumah tangga, ternak,
dan sebagainya. Asok tukon juga disebut srakah atau sasrahan yang sebenarnya tidak lain berupa mas kawin. Sehari
menjelang saat upacara pemikahan, pada pagi hari pihak anggota keluarga berkunjung ke makam para leluhumya
untuk meminta doa restu. Sedangkan pada sore hari diadakan upacara selamatan berkahan yang dilanjutkan dengan
leklekan (berjaga malam). Dalarn hal ini para kerabat pengantin perempuan serta tetangga dekat dan kenal-
kanalannya berada di rumahnya hingga larut malam bahkan sampai pagi
hari. Malam ini disebut malam tirakatan atau malam midadareni. Karena pada malam itu bidadari turun dari
kayangan memberi restu pada perkawinan tersebut. Setelah tiba hari perkawinan, pengantin laki-laki dengan
diiringkan oleh orang tua atau walinya serta handai taulannya dan juga para tetangga atau sedukuh atau sedesa,
pergi ke kelurahan desa untuk melaporkan kepada kaum, yaitu salah seorang perangkat desa yang bertugas mengurus
pernikahan, talak, dan rujuk. Sesudah selesai menuju kantor urusan agama di kecamatan menghadap penghulu, yaitu
salah seorang yang bertugas untuk melangsungkan ijab kabul atau akad nikah. Upacara disaksikan oteh wali kedua
belah pihak.
Setelah pengantin laki-laki menyerahkan sejurnlah uang sebagai tanda mas
kawin hukum perkawinan Islam. Ijab kabul atau akad nikah dapat dilakukan di rumah pengantin wanita,
yaitu dengan memanggil penghulu. Setelah upacara ini berakhir lalu dilakukan upacara pertemuan (temon) antara
kedua mempelai yang akhimya dipersandingkan di atas pelaminan. Apabila mempelai laki-laki berkehendak
membawa istrinya, hal ini dapat dilaksanakan sesudah sepasar atau lima hari sesudah upacara perkawinan.
Pemboyongan yang disertai pesta upacara lagi ditempat kediaman mempelai laki-laki ini disebut ngunduh temanten.
Demikian sekilas struktru amsyarakat dan budaya Jawa, termasuk dalam bidang pengantin.

178
Bab X. Jawa
3. Kesenian
1. Wayang Kulit
Masyarakat Jawa mempunyai kekayaan hasil budaa, antara lain sebagai berikut. (a) Pertunjukan wayang dengan
kemahiran sang dalang, dapat menyajikan berbagai macam pengetahuan, filsafat hidup berupa nilai-nilai budaya dan
berbagai unsur budaya seni yang terpadu dalam seni pendalangan. Pertunjukan wayang yang didalamnya terdapat
perpaduan antara sesuara, seni musik (gamelan) dan seni rupa, merupakan bentuk kesenian sangat disukai
masyarakat Jawa. Menurut penelitian para ahli, wayang (wayang kulit) diciptakan oleh Sunan Kalijaga (salah seorang
dari wali songo) pada abad 15 dan 16 di daerah Pesisir Utara Jawa dipakai untuk menyebarkan agama Islam.
Cerita pewayangan ini bersumber pada epos Ramayana dan Mahabrata yang
diadopsi dari India. Kemudian cerita pertunjukan wayang dalam perkembangan selanjutnya juga menampilkan
cerita-cerita di luar patokan yang ada, sehingga merupakan bentuk variasi untuk menghilangkan kebosanan para
penontonnya. Cerita-cerita tersebut pada akhimya juga kembali lagi pada inti atau sumber cerita. Semula pertunjukan
kesenian wayang hanya wayang kulit, kemudian berkembang menjkadi pertunjukan wayang golek, wayang beber,
wayang orang dan sebagainya.

2. Reyog Ponorogo
Kapan pastinya reyog Ponorogo dilahirkan, sampai sekarang orang masih meraba-raba. Sudah semestinya
kalau orangbelum tahu juga bagaimana bentuk kesenian reyog tersebut ketika ia menampakkan diripertama kali.
Menurut Prasasti Diyono tahun 682 Saka atau 760 Masehi Prabu Gajayana raja Kanyuruhan (daerah Malang) adalah
raja yang elah mengupas kebenaran sejarah adanya reyog Ponorogo. Jika berpegang pada prasasti tersebut, maka ada
tanda-tanda bahwa reyog memang sudah tua betul usianya. Namun jika mendasarkan pada legenda, yang bersumber
dari zaman Kediri atau Jenggala (tahun 1045-1222), maka kelahiran reyog Ponorogo tergolong masih muda.
Reyog dilahirkan dan menjadi besar di Kota Ponorogo, namu akhirnya berkembang di berbagai wilayah di
Nusantara, termasuk Johor Malaysia. Reyog biasanya disajikan dalam bentuk sendratari, yang terdiri dari empat babak,
yang menggambarkan perjalanan prajurit berkuda dari Ponorogo menuju Kerajaan Kediri ketika beberapa pembesar
Ponorogo mempersunting putra-putri raja Kediri. Dalam prosesi ini pertunjukan reyog terdiri dari pemeran:
kelompok pengawal, kelompok pendamping, kelompok pemain (penari), kelompok pemusik, dan kelompok
pengiring. Ada satu ciri khusus pada kesenian reyog yang sekarang sudah mengalami degradasi yaitu ilmu mistik.
Mereka menganggap bila reyog tidak didukung oleh ilmu mstik, maka maka tidak lengkap. Reyog juga memiliki
lagu-lagu khusus dari daerah Ponorogo seperti: Ijo-ijo, Patrojayan, Sampak, Iring-iring, dan lainnya. Alat-alat musik
pengiring reyog adalah gong, terompet, kendhang, ketipung, angklung. Alat-alat untuk penari atau pemain adalah:
barongan dan dhadhak merak, topeng, dan kuda kepang.

3. Teater Ludruk
Ludruk sebagai sebuah genre kesenian Jawa dapat dicari makna etimologisnya yang diperoleh dari berbagai
informasi yang relevan. Informasi ini diperoleh dari tokoh
Masyarakat Kesenian di Indonesia

seniman dan budayawan ludruk secara etimologis berasal dari kata molo-molo dan gedrak-gedruk. Molo-molo berarti
mulutnya penuh dengan tembakau sugi (dan kata-kata koma yang pada saat keluar tembakau sugi) tersebut hendak
dimuntahkan dan dikeluarkan kata-kata dalam bentuk kidung dan dialog. Manakala gedrak-gedruk berarti kakinya
menghentak-hentak pada saat menari. Pendapat lainnya menyatakan bahwa istilah ludruk berasal dari kata gela-gelo
dan gedrak-gedruk. Gelo-gelo berarti menggeleng-gelengkan kepala pada saat menari, dan gedrak-gedruk berarti
menghentakkan kaki dipentas saat menari. Jadi ludruk adalah pertunjukan dalam bentuk dialog, menggelengkan,
kepala, dan menghentakkan kaki di pentas.
Era perkembangan ludurk dapat diklasifikasikan melelui beberapa tahapan genre. Secara historis
perkembangan kesenian ini bermula dari ludruk bandan yaitu di
abad 12 sampai 15. Abad 16 sampai 17 muncullah kesenian lerok yang dipelopori oleh Pak Sentik dari
Jombang. Tahun 1915 pementasan sudah dimulai mengambil pemain besutan. Tahun 1931 bentuk besutan berubah
menjadi ludruk yang berbentuk sandiwara dengan tokoh yang semakin bertambah jumlahnya. Tahun 1937 muncul
tokoh baru dari Surabaya yaitu Cak Durasim, dan ludruk mulai menggunakan cerita legenda. Ludruk sebagai seni
pertunjukan telah tercatat sejak 1822 yang menampilkan dua pelaku laki-laki yang seorang menjadi pelawak yang
membawakan cerita dan seorang lagi sebagai penari yang berdandan wanita. Tahun 1942 tentara pendudukan Jepang
menggunakan ludruk sebagai sarana propaganda politik. Berdasarkan pertumbuhannya ludruk merupakan fusi dari
tiga genre, yaitu ngremo (tari kepahlawanan), dagelan (lawakan), dan cerita.
Adapun fungsi ludruk adalah: (a) sebagai sarana pendidikan masyarakat, (b)
sebagai pemupuk rasa solidaritas kolektif, (c) sebagai alat hiburan yang memperkaya jiwa dan nilai estetika,
dan (d) sebagai sarana alternatif cara berpikir dan mengendalikan kehidupan budaya. Jenis-jenis cerita ludruk adalah:
mitologi, epos kerakyatan, sejarah, kehidupan sehari-hari, dan humor kerakyatan. Adapun temanya adalah tentang
keadilan, pandangan hidup, dan keyakinan.

10.3.4 Teater Ketoprak


Membicarakan seni pertunjukan tradisional khususnya kethoprak tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan
tata hidup dan kehidupan masyarakat lingkungannya. Teater rakyat ini mempunyai keistimewaan dapat berkomunikasi
langsung dengan rakyat untuk ikut memecahkan masalah-masalah pembangunan, dengan pengungkapan sederhana
dan mudah diterima pikiran rakyat (A. Kasim 1980-1981). Pada umumnya kelahiran teater rakyat didorong kebutuhan
masyarakat terhadap hiburan, lalu meningkat untuk kepentingan lain, seperti kebutuhan akan mengisi upacara-
upacara. Teater rakyat kethoprak disangga oleh masyarakat Jawa, terutama Daersh Istimewa Yogyakarta, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Menurut Umar Kayam (1981), kebudayaan adalah suatu usaha yang dilakukan oleh
masyarakat untuk melakukan respons terhadap lingkungannya dan merupakan bentuk proses yang dinamis. Tradisi
dalam kethoprak terutama tradisi Jawa mencakup bahass, akting, bloking, busana, rias, lagu, setting, properti, dan lain-
lainnya (Handung Kus Sudyarsana 1989:25). Sampai sekarang kethoprak terus ditopang masyarakatnya dalam
menegakkan budaya bangsa, khususnya budaya seni pertunjukan berwarna lokal Jawa. .Kethoprak merupakan teater
rakyat, sebagaimana dikemukakan A.
Bab X. Jawa
Kasim Achmad, kethoprak merupakan teater tradisional Jawa. Seni pertunjukan
kethoprak biasanya dilaksanakan pada malarn hari selama 3 sampai 4 jam.
R.M.A. Harymawan (1993:231) mengernukakan bahwa ciri-ciri kethoprak itu sangat khas yakni: a.
Kethoprak menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar dalam dialog, b. Cerita tidak terikat pada salah satu
pakem, tetapi ada tiga kategori pembagian jenis, yaitu: (1) Cerita-cerita tradisional seperti Timun Mas, Ande-ande
Lumut, Buto Ijo, dan Roro Mendut Pronocitro; (2) Cerita-cerita babad, baik cerita lama maupun setelah Belanda
masuk ke Indonesia; (3) Cerita-cerita masa kini seperti Gagak Sale, Ngulandara. c. Musik pengiringnya adalah
gamelan Jawa, baik pelog maupun slendro.
(4) Seluruh cerita dibagi-bagi dalam babak besar dan kecil, perkembangannya sangat urut, tidak mengenal
flash back seperti dalam film. (5) Dalam cerita kethoprak selalu ada
peranan dagelan yang mengikuti tokoh-tokoh protagonis maupun antagonis.
Bahasa Jawa dalam seni pertunjukan kethoprak meliputi 4 ragam yaitu: (1) ragam krama inggil ( halus dan
tinggi); (2) ragam krama madya (halus sedang ); (3) ragam krama desa (halus desa), dan 4) ngoko (kasar). Adanya
ragam berbahasa dalam kethoprak ini menunjukkan etika menyatu, sehingga disana termuat: (a) keindahan bahasa,
(b) sifat peran, (c) tingkat darah dan kedudukan, (d) tingkat umur, dan (e) suasana dramatik.
Dalam tulisan ini perihal periodisasi kethoprak mengikuti pola pembabakan waktu seperti tercermin dalam
uraian Lokakarya Kethoprak Tahap I di Yogyakarta pada tahun 1974. Handung Kus Sudyarsana (1989:15)
menuliskan periodisasi kethoprak
sebagai berikut: (1) Tahun 1887- 1925, periodisasi kethoprak lesung, dengan ciri -ciri: a.
tetabuhan lesung; b. tari; c. nyanyian atau tembang; d. cerita; dan e. pakaian. (2) Tahun 1925-1927,
periodisasi kehoprak peralihan dengan ciri-ciri: a. tetabuhan campur (lesung, rebana, alat musik Barat ); b. tari; c.
nyanyian atau tembang; d. cerita; e. pakaian; dan e. rias. (3) Tahun 1927 sampai sekarang, periodisasi kethoprak
gamelan, dengan ciri-ciri : a. tetabuhan gamelan; b. cerita; c. nyanyian atau tembang; d. pakaian; dan e. rias. Hal yang
penting selain periodisasi dalarn seni pertunjukan kethoprak adalah aspek-aspek seni ( Handung Kus Sudyarsana
1989:24-25 ) yang meliputi : 1. lakon, adalah susunan peran dengan pola perwatakan dan permainannya, pembabakan
dan pengadeganan serta aspek-aspek lain yang bersangkutan dengan kebutuhan lakon, baik tertulis rinci maupun tidak
berdasarkan cerita kadang-kadang dialog dalarn susunan lakon kethoprak ditulis secara full play, atau hanya garis
besarnya; 2. Pemain, adalah orang-orang yang membawakan peran-peran dalarn lakon; 3. Dialog, adalah percakapan
antar pemain sebagai salah atu bentuk permainannya; 4. Akting, adalah bentuk-bentuk dan sikap-sikap pernain ketika
membawakan peran dalarn lakon; 5. Bloking adalah posisi pernain ketika bermain; 6. Busana, adalah pakaian yang
clikenakan para pernain; 7. Rias, adalah coretan
-coretan, baik pada muka pernain maupun pada anggota badan mereka, termasuk rambut.
8. Bunyi - bunyien, adalah suara- suara instrumen musik dan vokal, baik sebagai pengiring maupun ilustrasi
babak, adegan, maupun tekanan-tekanan gerak tertentu para pemain 9. Tradisi, adalah ketentuan-ketentuan yang sudah
menjadi kebiasaan. Tradisi dalarn kethoprak terutama tradisi Jawa, yang mencakup bahasa, akting, bloking, busana,
rias, lagu, setting, properti , dan lain lainnya.
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Kethoprak tak pemah berhenti sebagai seni pertunjukan, baik dari segi artistik, pengelolaan organisasi terus
mengalami inovasi yang digerakkan seniman dan ditopang masyarakat penyangganya. Kethoprak dalam
perkembangan budaya tetap berpijak pada tradisi Jawa, secara khusus tampak. pada bahasa, lakon, perneranan,
dhalang atau sutradara, sehingge tradisi Jawa merupakan aspek penting yang menggerakkannya. Sisi lain hadimya
modemisasi dalam bidang tehnologi seperti radio dan televisi dimanfaatkan oleh Seniman kethoprak guna mendukung
eksistensi seni pertunjukan kethoprak dalam kebudayaan masyarakat Jawa

10.3.5 Tari Gambyong


Pura atau istana Mangkunegaran di Surakarta merupakan istana yang sangat produktif dalam melahirkan
karya-karya pertunjukan. Langendriyan, sebuah opera tari dari Jawa yang ditarikan oleh penari wanita semuanya
tercipta di Istana Mangkunegaran pada tengah kedua abad ke-19. Teknik tari yang banyak meminjam teknik tan Jawa
gaya Yogyakarta, dilakukan pula oleh pura Mangkunegaran. Tari Gambyong yang merupakan penghalusan dari yang
aslinya dilakukan oleh penari ledhek dilahirkan oleh para Mangkunegaran. Bahkan ketika Mangkunegaran mengirim
misi kesenian ke negari Belanda pada masa pemerintahan Mangku Negara V (1881-1896). Tari Gambyong untuk
pertarna kahnya ditampilkan pada forum yang sangat bergengsi. Temyata perhatian para paka-r budaya dari negeri
Belanda terhadap tari yang diangkat.dari tari rakyat ini cukup besar. Maka sejak pengiriman misi kesenian ke negeri
Belanda itu Tari Gambyong selalu ditampilkan dalam. menyambut tamu-tamu istana (Sri Rohana W. 1994).
Pertunjukan yang fungsi utamanya sebagai ritual kesuburan pemikahan dan pertanian ini pada menjelang
tengah malarn berubah menjadi pertunjukan yang berfungsi sebagai hiburan pribadi bagi kaum pria. Penampilan tayub
sebagai hiburan pribadi ini hanya bisa terlaksana dengan hadimya ledhek yaitu penari wanita yang bertugas sebagai
penghibur para pria yang ngibing atau manari bersamanya. Yang menjadi sumber penggarapan Gambyong di istana
Mangkunegaran bukanlah ledhek yang sedang menari bersama penari pria, akan tetapi penampilannya ketika ia
sedang menari sendiri sambil berusha menarik para pria yang berduit yang ingin ngibing bersamanya. Sudah barang
tentu oleh karena tujuan penciptaan tari Gambyong sangat berbeda dengan penampilan penari ledhek pada waktu
menari sendiri sambil menarik perhatian pria yang berada di sekitarnya, tembang atau nyanyian Jawa yang dilantunkan
ditiadakan. Selain itu apabila penari ledhek dalam menari ia lebih banyak melakukan gerak-gerak improvisasi,
Gambyong memiliki patokan-patokan yang telah ditentukan oleh istana.
Dalam perkembangannya yang lebih kemudian, Gambyong menjadi sebuah reportoar tari tunggal yang bisa
pula ditampilkan dalam bentuk koreografl kelompok, bahkan juga massal. Walaupun telah diperhalus, namun
Gambyong yang berasal dari rakyat ini, pada tata busananya masih tetap ditampilkan dalam busana yang cukup
sederhana. Penari Gambyong hanya mengenakan kain pembalut tubuh bagian bawah dengan diberi lipatan-lipatan
(wiru) di bagian depan, serta pembalut torso yang disebut dengan angkin yang masih memperlihatkan sedikit bagian
atas dari dadanya. la sama sekali tidak menggunakan sabuk, sedangkan selendang atau sampurnya hanya
disampirkan di pundak kanan. Kepala yang digelung hanya diberi hiasan sekedarnya,

182
Bab X. Jawa

yaitu sisir serta bunga. Penampilannya di atas pentas juga masih memperlihatkan bahwa asalnya dari tari yang
menghibur para pria, yaitu dengan sedikit senyuman yang menawan. Para koreografer masih memiliki peluang untuk
mencipta Gambyong dengan gaya pribadi, yang biasanya diberi nama sesuai dengan gendhing atau lagu gamelan yang
mengiringi, seperti misalnya Gambyong Pangkur, Gambyong Sumyar, dan Gambyong Ayun-ayun. Ada sebuah tari
Gambyong yang lain daripada yang lain yaitu Gambyong Pareanom. Nama Gambyong ini mengacu pada warna
bendera Mangkunegaran yang memiliki warna hijau dan kuning. Untuk menandai Gambyong ini, mekak yaitu busana
bagian atas sejenis strapless berwarna hijau dan sampur selendangnya berwarna kuning.

6. Tari Bedhoyo Ketawang


Menurut penulis kitab Wedhapradangga, pencipta tai Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645),
raja pertama terbesar dari Kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga
disebut Kanjeng Ratu. Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan. parapakar
gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon pencipta gendhing pun menjadi
sempurna. setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya, dipertunjukan pada saat
penobatan raja yang baru, tetapi juga dipertunjukkan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau
Tingalan Dalem Jumenengan.
Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana ke-XII
(sekarang), hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya.
Pertunjukan Bedhoyo Ketawang sekarang telah mengalami perubahan pada berbagai aspek, walapun bentuk
tatanan pertunjukannya, masih mengacu pada tradisi ritual masa lampau. Namun nilainya telah bergeser menjadi
sebuah warisan budaya yang nilai seninya dianggap patut untuk dilestarikan. Busana Tari Bedhoyo Kelawang
menggunakan dodot ageng dengan motif Banguntulak alas-alasan yang menjadikan penarinya terasa.anggun.
Gamelan yang mengiringinya pun sangat khusus yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo.
Instrumen gamelan yang dimainkm hanya beberapa, yakni kemanak, kethuk, kenong, kendhang ageng, kendhang
ketipung, dan gong ageng. Istrumen-istrumen tersebut selain dianggap khusus juga ada yang mempunyai nama
keramat. Dua buah kendang ageng bernama Kanjeng Kyai Denok dan Kanjeng Kyai Iskandar, dua buah
rebab bemaina Kanjeng Kyai Grantang dan Kanjeng Kyai Lipur serta
sehuah gong ageng bemama Kanjeng Nyai Kemitir. Pertunjukan Bedhoyo Ketawang pada masa Sri
Susuhunan Paku Buwana XII kini diselenggarakan pada hari kedua bulan Ruwah atau Sya’ban dalam kalender
Jawa. Bedhaya Ketawang dapat diklasifikasikan pada tarian yang mengandung unsur dan makna serta sifat yang erat
hubungannya dengan: (1) adat upacara (seremoni); (2) sakral; (3) religius; (4) tarian percintaan atau tari perkawinan.
1.Adat upacara. Bedhaya Ketawang jelas bukan suatu tarian yang untuk tontonan semata-mata, karena hanya
ditarikan untuk sesuatu yang khusus dan dalam suasana yang resmi sekali. Seluruh suasana menjadi sangat khusus,
sebab tarian ini hanya dipergelarkan berhubungan dengan peringatan ulang tahun tahta kerajaan saja. Jadi tarian

183
Masyarakat Kesenian di Indonesia
ini hanya sekali setahun dipergelarkannya Selama tarian berlangsung tiada hidangan keluar, juga tidak dibenarkan
orang merokok. Makanan, minuman, atau pun rokok dianggap hanya akan mengurangi kekhidmatan jalwmya upacara
adat yang suci ini. Sakral Bedhaya Ketawang ini dipandang sebagai suatu tarian ciptaan Ratunya seluruh mahluk
halus. Bahkan dipercaya bahwa setiap kali Bedhaya Ketawang ditarikan, sang penciptanya selalu hadir bahkan ikut
menari. Tidak setiap orang dapat melihatnya, kecuali mereka yang peka indrawinya saja, sang pencipta mampu dilihat.
Konon dalam latihan-latihan yang dilakukan, serig pula sang pencipta ini terlihat membetul-betulkan kesalahan yang
dibuat oleh para penari. Bila mata orang awam tidak melihatnya, maka terkadang penari yang bersangkutan saja yang
merasakan kehadirannya. Ada dugaan, bahwa semula Bedhaya Ketawang itu adalah suatu tarian di candi-candi.
2.Religius Segi religius dapat diketahui dari kata-kata yang dinyanyikan oleh suarawatinya. Antara lain ada, yang
berbunyi : ... tanu astra kadya agni urube, kantar-kantar yen mati ngendi surupe, kyai?" ( kalau mati kemana
tujuannya, kyai?). 3.Tari Percintaan atau Tarian Perkawinan. Tari Bedhaya Ketawang melambangkan curahan cinta
asmara Kangjeng Ratu kepada Sinuhun Sultan Agung. Semuanya itu terlukis dalam gerak-gerik tangan serta seluruh
bagian tubuh, cara memegang sondher dan lain sebagainya. Namun demikian cetusan segala lambang tersebut telah
dibuat demikian halusnya, hingga mata awam kadangkadang sukar akan dapat memahaminya. Satu-satunya yang
jelas dan memudahkan dugaan tentang adanya hubungan dengan suatu perkawman ialah, bahwa semua penarinya
dirias sebagai lazimnya temanten/mempelai yang akan dipertemukan. Tentang hal kata-kata yang tercantum dalam
nyanyian yang mengiringi tarian, menunjukkan gambaran curahan asmara Kangjeng Ratu, merayu dan mencumbu.
Bila ditelaah serta dirasakan, pemirsa yang mengerti kata-katanya, dianggap akan mudah membangkitkan rasa birahi.
Aslinya pergelaran ini berlangsung selama dua setengah jam. Tetapi sejak zaman Sinuhun Paku Buwana X diadakan
pengurangan, hingga akhimya menjadi hanya satu setengah jam saja. Bagi mereka yang secara langsung atau tidak
langsung terlibat dalam kegiatan yang khusus ini berlaku suatu kewajiban khusus. Sehari sebelum tarian ditarikan para
anggota kerabat Sinuhun menyucikan diri, lahir dan batin. Peraturan ini di masa-masa dahulu masih ditaati benar.
Walaupun terasa sangat memberatkan dan meyusahkan, namun berkat kesadaran dan ketaatan serta pengabdian pada
keagungan Bedhaya Ketawang yang khusus itu, segala peraturan tersebut dilaksanakan juga dengan penuh rasa tulus
dan ikhlas. Yang penting ialah, bahwa bagi mereka ini Bedhaya Ketawang merupakan suatu karya pusaka yang suci.
Untuk inilah mereka semua mematuhi setiap peraturan tatacara yang berlaku.
Bagi para penari ada peraturan yang lebih ketat lagi, sebab menurut adat yang dipercaya, mereka ini akan
langsung berhubungan dengan Sang Ratu Kidul. Karena itu mereka juga selalu harus dalain keadaan suci, baik pada
masa-masa latihan maupun pada waktu pergelarannya. Sebagai telah dikemukakan di depan, Kangjeng Ratu Kidul
hanya dapat dirasakan kehadirannya oleh mereka yang langsung disentuh atau dipegang, bila cara menarinya masih
kurang betul. Oleh karena itu, pada setiap latihan yang diadakan pada hari-hari Anggarakasih (Selasa Kliwon), setiap
penari dan semua pemain gamelan beserta suarawatinya harus selalu dalam keadaan suci. Persiapan-persiapan untuk
suatu pergelaran Bedhaya Ketawang harus dilakukan sebaik-baiknya, dengan sangat teliti. Bila

184
Bab X. Jawa

ada yang merasa menghadapi halangan bulanan, lebih baik tidak mendaftarkan diri dahulu. Di samping sejumlah
penari yang tersedia diperlukan penari-penari cadangan. Karena itu dipandang lebih bijaksana untuk memilih penari-
penari yang sudah cukup dewasa jiwanya, sehingga kekhusukan dan ketekunan menarinya, akan lebih dapat terjamin.
Siapakah Pencipta Bedhoyo Ketawang ? Pertanyaan ini timbul, karena orang mulai berpikir, mengapa.
Bedhaya Ketawang itu dipandang demikian sucinya. Menurut tradisi, Bedhaya Ketawang dianggap sebagai karya
Kangjeng Ratu Kidul Kencanasari, yang adalah Ratu mahluk halus seluruh pulau Jawa. Istananya di dasar
Samudera. Pusat
daerahnya adalah Mancingan, Parangtritis, di wilayah Yogyakarta. Tetapi menurut R.T. Warsadftiingrat
(abdidalem nryaga Kraton Solo), sebenarnya Kangjeng Ratu Kidul hanya
menambahkan dua orang penari lagi, sehingga, sembilan orang, kemudian penari tersebut dipersembahkan
kepada Raja Mataram. Menurutnya penciptanya awal justru adalah Bathara Guru, pada tahun 167. Semula disusunlah
satu rombongan yang terdiri dari tujuh bidadari, untuk menarikan tarian yang disebut Lenggotbawa. Iringan gamelan
awalnya hanya lima macam; berlaras pelog, pathet lima, dan terdiri atas: 1. gending - kemanak, laras jangga kecil
/manis penunggul; 2. kala – kendhang 3. sangka, - gong 4. pamucuk - kethuk 5. sauran - kenong.
Jika demikian, maka Bedhaya Ketawang itu sifatnya Siwaistis dan umr Bedhaya Ketawang sudah tua sekali,
lebih tua daripada Kangjeng Ratu Kidul. Bahkan menurut
G.P.H. Kusumadiningrat, pencipta Lenggotbawa adalah Bathara Wisnu, tatkala duduk di Balekambang.
Tujuh buah permata yang indah-indah telah diciptanya dan diubah
wujudnya menjadi tujuh bidadari yang cantik jelita yang kemudian menari-nari mengitari Bathara Wisnu
dengan arah memutar ke kanan . Melihat hal ini sang Bathara sangat senang hatinya, karena dewa dianggap tidak
pantas menoleh ke kanan dan ke kiri, maka diciptanyalah mata yang banyak sekali jumlahnya, letaknya tersebar di
seluruh tubuhnya.
Menurut Sinuhun Paku Buwana X, Bedhaya Ketawang menggambarkan lambang cinta Kangjeng Ratu
Kidul pada Panembahan Senapati. Segala geraknya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi, walaupun selalu dapat
dielakkan oleh Sunuhun, bahkan Ratu Kidul lalu memohon, agar Sinuhun ikut bersamanya menetap di samudera dan
bersinggasana di Sakadhomas Bale Kencana ( Singgasana yang dititipkan oleh Prabu Rwnawijaya di dasar lautan.).
Namun Sinuhun tidak mau menuruti kehendak Kangjeng
Ratu Kidul, karena masih ingin mencapai sangkan paran. Selanjutnya begitu beliau mau mempensunting
Kangjeng Ratu Kidul, konsekuensinya secara turun temurun.
Keturunannya yang bertahta di pulau Jawa akan terikat janji dengan Kangjeng Ratu Kidul pada saat
peresmian kenaikan tahtanya. Kangjeng Ratu Kidul sendirilah yang diminta datang di daratan untuk mengajarkan
tarian Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan Sinuhun. Pelajaran tarian ini diberikan setiap hari
Anggarakasih, dan untuk keperluan ini Kangj eng Ratu Kidul diperkirakan akan hadir.
Gendhmg yang dipakai untuk mengiringi Bedhaya Ketawang disebut juga Ketawang Gedhe. Gendhing ini
tidak dapat dijadikan gendhing untuk klenengan, karena resminya memang bukan gendhing, melainkan termasuk
tembang geron.g Garnelan iringannya, sebagai telah diterangkan di depan, terdiri dan lima macam jenis: kethuk,
Masyarakat Kesenian di Indonesia
suara kemanaknya. Tarian yang diiringi dibagi menjadi tiga adegan (babak). Anehnya, di tengah-tengah seluruh bagian
tarian larasnya berganti ke slendro sebentar (sampai dua kali), kemudian kembali lagi ke laras pelog, hingga akhimya.
Pada bagian (babak) pertana diiringi sindhen Durma, selanjutnya berganti ke Retnamulya. Pada saat mengiringi
jalannya penari ke luar dan masuk lagi ke Dalem Ageng Prabasuyasa alat garnelannya ditambah dengan rebab, gender
garnbang, dan suling. Ini semuanya dilakukan untuk menambah keselarasan suasana. Selama tarian dilakukan sama
sekali tidak digunakan keprak. Keluarnya penari dari Dalem Ageng Prabasuyasa menuju ke Pendapa Ageng
Sasanasewaka, dengan bedalan berurutan satu demi satu. Mereka mengitari Sinuhun yang duduk di singgasana
(dhampar). Demikian juga jalannya kembali ke dalam. Yang berbeda dengan kelaziman tarian lain-lainnya, para
penari Bedhaya Ketawang selalu mengitari Sinuhun, sedang beliau duduk di sebelah kanan mereka. Pada tarian
bedhaya atau serimpi biasa, penari-penari keluar-masuk dari sebelah kanan Sinuhun, dan kembalt melalut jalan yang
sama.

10.3.7 Wayang Wong


Wayang Wong adalah nama sebuah drama tari yang terdapat di beberapa daerah di Indonesia. Di Bali,
wayang wong merupakan drama tari bertopeng yang menggunakan dialog bahasa Kawi yang selalu menampilkan
wiracarita Ramayana. Di Jawa Tengah isitilah ini dipergunakan untuk menyebut pertunjukan drama tari berdialog
Jawa prosa yang biasanya membawakan lakon-lakon dan cerita Mahabharata dan Ramayana, yang diciptakan oleh
Adipati Mangku Negara I pada akhir tahun 1750-an. Pada akhir abad ke-19, pertunjukan istana ini berhasil
dikeluarkan dari tembok istana oleh pengusaba China kaya bernama Gan Kam dan dikemas sebagai pertunjukan
profesional dan komersial. Oleh karena itu, jangkauan penontonnya sangat luas. Istilah wayang wong sering disebut
pula wayang orang. Bahkan oleh karena pertunjukannya ditampikan di atas panggung dan bukan pendapa lagi,
drama tari Jawa yang pernah mengalami masa jaya pada tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an ini, untuk
membedakan dengan pertunjukan wayang wong yang lain disebut wayang orang purwa. Di daerah Istimewa
Yogyakarta pernah berkembang pula dengan baik sebuah drama tari berdialog bahasa Jawa prosa yang j uga bernama
wayang wong. Berbeda dengan wayang wong yang diciptakan oleh Adipati Mangku 1, wayang wong dari istana
Yogyakarta merupakan drama tari ritual kenegaraan, yang diciptakan oleh Hamengku Buwana I pada akhir tahun
1756. Di Jawa Barat, pernah berkembang pula sebuah tontonan berbentuk drama tari berdialog bahasa Sunda prosa
yang disebut wayang wong. Dari aspek kesejarahannya, jelas bahwa wayang wong Priangan ini mendapat pengaruh
yang sangat besar dari wayang wong Jawa Tengah. Yang akan dibahas dalam bagian ini adalah wayang wong gaya
Yogyakarta yang sampai pada tahun 1929 merupakan pertunjukan ritual kenegaraan yang sangat megah.
Apabila dilacak sejarahnya, sebenarnya pertunjukan drama tari yang bernama wayang wong itu sudah sangat
tua. Sebuah prasasti Jawa Kuna yaitu prasasti Wimalasmara yang berangka tahun 930 M., telah menyebut
pertimjukan ini dengan istilah Jawa Kuna, wayang wwang. Namun demikian kita tidak bisa membayangkan
pertunjukan itu seperti apa. Sebuah karya sastra kakawin Sumanasantaka dari Jawa Timur

186
Bab X. Jawa
dari abad ke-12 juga menyebutkan pertunjukan wayang wwang ini. Walaupun tidak jelas gambaran cerita-cerita yang
berasal dan wiracerita yang dibawakan pasti berkisar pada Ramayana atau Mahabharata. Ketika pusat kebudayaan
Jawa berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur sejak abad ke-10, para sastrawan Jawa, mulai menampilkan.
ceritera yang benar-benar berpijak pada. sumber-sumber Jawa, yaitu Panji. Bisa diperkirakan bahwa seniman Jawa,
pada masa Jawa Timur juga berupaya, untuk menghadirkan sebuah drama tari yang tidak menampilkan wiracerita
Ramayana dan Mahabarata, melainkan menampilkan cerita Panji. Drama tari itu disebut raket. Kakawin
Negarakertagama yang ditulis Mpu Prapanca, pada tahun 1365 telah membicarakan panjang lebar pertunjukan raket
ini. Walaupun kita tidak bisa. mendapatkan gambaran bentuk tontonan istana ini dengan jelas, namun setidak-tidaknya
ada petunjuk bahwa raket merupakan pertunjukan ritual untuk kesuburan dan kemakmuran negara. Sang raja sendiri,
Hayarn Wuruk serta ayah sang raja Kertawardhana sering tampil pula dalam pertunjukan ini (Theodore G.Th. Pigeaud
1960-1963).
Robson dalam disertasinya yang berjuudul Wangbang Widey: A Javanese Panji Romance (1971),
mengutarakan. bahwa raket (juga disebut raket lalangkaran) merupakan bentuk lain atau nama lain dari gambuh.
Diduga keras bahwa di samping lahirnya drama tari yang disebut raket, drama. tari wayang wwang yang
membawakan wiraceritera, Ramayana dan Mahabharata, masih tetap berkembang. Asumsi ini diperkuat dengan
adanya kenyataan bahwa di Bali yang merupakan pelestari budaya Jawa. Timur, baik gambuh maupun wayang wwang
atau wayang wong sampai kini masih hidup. Hanya saja drama tari yang sudah sangat tua, yang diperkirakan. masuk
ke Bali dari Jawa Timur pada akhir abad ke-14 atau awal abad ke-15, terdesak oleh genre-genre drama tari yang lebih
baru. Dengan cara membandingkan pertunjukan wayang wong Bali dengan relif candi Panataran yang menampilkan
wiracerita Ramayana, bisa diperkirakan penampilan wayang wwang pada zaman Jawa Timur itu seperti pada
penampilan yang tergores pada relif candi Panataran. Adapun teknik tarinya kemungkinan besar seperti wayang
wong Bali yang selalu menampilkan ceritera Ramayana.
Di Bali pertunjukan wayang wong selalu membawakan wiraceritera Ramayana, dan semua penarinya
mengenakan topeng penuh. Apabila drama tari yang membawakan lakon dan wiracerita Mahabharata dinamakan
parwa; kemungkinan besar nama,lengkap dari kedua drama tan itu adalah wayang wong Ramayana dan wayang wong
Parwa. Mengenai kedua drama tan Beryl de Zoete dan Walter Spies (1973) yang pernah tinggal lama di Bali pada,
tahun l930-an sering menyaksikan kedua bentuk seni pertunjukan. itu sebenarnya merupakan genre yang sama.
Bedanya, wayang wong dipertunjukkan pada sore han, sedangkan parwa pada malam hari menyusul pertunjukan
wayang wong. Wayang wong yang merupakan drama tari bertopeng dengan menampilkan Rama sebagat sang
pahlawan pada sore hari, parwa merupakan drama tari tak bertopeng yang menampilkan Muna sebagai pahlawan pada
malam. hari.
Dengan cara. membandingkan antara relif candi Panataran yang menggambarkan wiracenta Ramayana serta
relief candi-candi di Jawa. Timur yang menampilkan. wiracenta Mahabharata seperti candi Jago, Tigawangi,
Surawana, dan Kedaton dengan pertunjukan wayang wong dan parwa dan Bali, dapat diperkirakan bahwa pertunjukan
wayang wwang pada zaman Jawa Timur mirip dengan pertunjukan wayang wong dan
Masyarakat Kesenian di Indonesia

parwa Bali sekarang ini. Dugaan ini bisa diperkuat lagi apabila busana yang terekarn pada relif candi Panataran dan
candi-candi lain di Jawa Timur dibandingkan dengan busana yangg tersungging pada wayang kulit Bali yang
menampilkan. lakon-lakon dari wiracerita Ramayana dan Mahabharata. Pertunjukan. wayang kulit Bali yang
membawakan ceritera Ramayana. biasa disebut sebagai Wayang Ramayana, sedangkan yang menampilkan lakon-
lakon dari wiracerita Mahabharata, disebut Wayang Parwa.
Apabila dilacak sejarahnya, sebenarnya, penciptaan wayang wong di istana Yogyakarta merupakan upaya,
untuk menghidupkan. kembali pertunjukan wayang wwang dari masa Majapahit. Kiblat Sultan Hamengku
Buwana I ke Majapahit sangat
beralasan, oleh karena sebagai raja yang baru dan kerajaan yang merupakan bagian dari kerajaan Mataram
Surakarta, ia ingin menampilkan sebagai raja yang sah yang mewarisi
takhta dari garis keturunan Majapahit. Dalam tradisi Jawa, seorang yang ingin menjadi raja bukan saja
karena ia terbukti masih merupakan keturunan dan raja terdahulu akan tetapi ia harus memiliki wahyu, berbagai benda
pusaka, serta bisa menjaga keseimbangan dunia dengan melakukan. hubungan spiritual dengan berbagat kekuatan
alarn (Heine Geldern 1956). Ada tiga wahyu penting yarig harus dimillki oleh raja, yaitu wahyu nubuwah, whiyu
hukumah, dan waliyu wilayah. Wahvu nubuwah mengesahkan raja sebagal wakil Tuhan; wahyu huumah
mengesahkan raja adalah sumber hukum; dan wahyu wilayah mengesahkan raja sebagai penguasa dunia
(SeloSoemardjan 1962; juga Darsiti Soeratman 1989).
Ketika terjadi penandatangan Perjanjian Giyanti pada tahun 1775 yang mengesahkan pembagian kerajaan
Mataram Surakarta menjadi dua, yaitu yang tetap
menjadi wewenang Sunan Paku Buwana III yang merupakan setengah dari kerajaan Mataram Surakarta, dan
setengahnya yang menjadi hak Sultan Hamengku Buwana I yang menggunakan nama kerajaan barunya, Kasultanan
Ngayogyakarta Adiningrat. Ada beberapa pusaka yang diserahkan oleh Paku Buwana III kepada pamannya, Sultan
Hamengku Buwana . Pusaka-pusaka itu yang merupakan warisan dari raja-raja terdahulu ada yang berupa senjata
tajam seperti tombak Kanjeng Kyai Plered, Kanjeng Kyai Baru, Kanjeng Kyai Megatruh, Kanjeng Kyai Gadatapan,
Kanjeng Kyai Gadawedana, yang berupa keris yaitu Kanjeng Kyai Kopek, Kanjeng Kyai Bethok, Kanjeng Kyai
Sengkelat, dan Kanjeng Kyai Jakapiturun; yang berupa bendera yaitu Kanjeng Kyai Tunggulwulung, Kanjeng Kyai
Pare Anom, Kanjeng Kyai Puja, dan Kanjeng Kyai Puji; yang berupa gong
perang yaitu Kanjeng Kyat Tundung Mungsuh; Kanjeng Kyai Sima, Kanjeng Kyai Udanurum, dan Kanjeng
Kyai Bijak; tiga tempat menanak nasi yaitu Kanjeng Kyai Blawong, Kanjeng Kyai Kendhil Siyem, Kanjeng Kyai
Berkat; juga sebuah gendang
bernama Kanjeng Kyai Meyek, serta. sebuah baju Kanjeng Kyai Antakusuma atau Kanjeng Kyai Gundhil.
Adapula sekitar 20 wayang kulit yang dianggap sebahai pusaka lain Kanjeng Kyai Jayaningrum (Arjuna), Kanjeng
Kyai Bayukusuma (Bima), dan sebagainya. Sebuah kitab ada yang dikeramatkan yang juga dianggap sebagai pusaka
yaitu Kanjeng Kyai Surjaraja. Dua buah kereta berkuda kebesaran yang juga dianggap sebagaipPusaka adalah
Kanjeng Kyai Jimat (Sultan Hamengku Buwana III, 1814-1822) dan Kanjeng Kyai Garudha Yeksa (Sultan Hamengku
Buwana VI, 1855-1877). Kedua kereta itu oleh kalangan umum disebut sebagai kereta kencana. Salah satu
Bab X. Jawa

pertunjukan yang dianggap sebagai seni pusaka adalah wayang wong, yang diciptakan kembali oleh Sultan Hamengku
Buwana 1.
Sudah barang tentu timbul pertanyaan, mengapa wayang wong diangggap sebagai pusaka Soedarsono
dalain disertasinya yang berjudul Wayang Wong: The State Dance Drama in the Court of Yoyakarta (1983) telah
membuktikan bahwa pertunjukan wayang wong di keratOn Yogyakarta bukanlah sekedar pertunjukan akbar sebagai
kebanggan istana akan tetapi memiliki makna yang lebih dalam yaitu sebagai pertunjukan guna menambah legitimasi
kehadiran raja di atas tahta. Tema-tema yang ditampilkan dalam lakon-lakon wayang wong selalu melambangkan
kesuburan yang digambarkan
lewat perkawinan atau perang antara dua keluarga yaitu Pandawa dan Kurawa. Pertunjukan-pertunjukan
akbar yang berlangsung dalam dua sampai empat hari empat
malam itu selalu memperingati peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan istana, yaitu ulang tahun
bedirinya, Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, ulang tahun penting yang dalam tradisi Jawa disebut tumbuk yang
teejadi delapan tahun sekali, serta pernikahan putra-putri Sultan.
Ciri-ciri ritual dari pergelaran wayang wong ialah : (1) tempat pertunjukan di Tratag Bangsal Kencana, dan
Sultan sendiri duduk di tengah-tengah Bangsal Kencana mengahadap ke timur; (2) pemilihan waktu pergelaran yang
dimulai sejak jam enam pagi selalu mengikuti perhitungan kalender Jawa; (3) para penarinya adalah pernari terpilih,
bahkan laki-laki semua; (4) selain disediakan seperangkat sesaji juga terdapat doa-doa
yang isinya mengharapkan kemakuran negara dan raja. Bangsal Kencana adalah bangsal tanpa dinding
yang merupakan pusat dari bangunan keraton. Tempat ini biasanya
dipergunakan sebagai tempat penghadapan pejabat tinggi negara untuk membuktikan kesetiaan mereka
terhadap Sultan. Tepat di tengah-tengah Bangsal Kencana Sultan ketika menyaksikan pertunjukan wayang wong
duduk sendirian di atas kursi kebesaran menghadap ke timur. Pertunjukan yang dimulai tepat jain 06.00 pagi memiliki
makna, bahwa pertunjukan itu dipersembahkan juga kepada Dewa Matahari yang dalam pantheon Jawa adalah Dewa
Surya. Dalam tradisi Jawa Hindu, Dewa ini identik dengan Dewa Wisnu, yang dalam pantheon Hindu merupakan
Dewa Pemelihara Dunia. Gelar Sultan Hamengku Buwana memiliki makna "Pemelihara Dunia." Hal ini berarti bahwa
ketika Sultan menyaksikan wayang wong, Sultan juga melakukan penghormatan kepada Dewa Surya atau Wisnu,
yang sebenarnya adalah dirinya sendin. Mungkin pada, saat itulah
Sultan melakukan meditasi untuk menyatu dengan Dewa Surya atau Wisnu, sesuai dengan konsep,
kerajaan klasik Jawa yang mengacu kepada, konsep devaraja dari India, akan tetapi dalam tata, kehidupan politik di
Jawa, dijabarkan menjadi ratu gung binathara
yang berarti raja besar yang didewakan. Pencandraan Sultan Hamengk Buwana I sebagai Dewa Wisnu
banyak dijumpat dalam kitab-kitab babad Babad Mangkubumi misalnya mengibaratkan pangeran Mangkubumi (nama
Hamengku Buwana I sebelum naik tahta), Lir Pendah Wisnu Bhatara' yang berarti setampan Batara Wisnu (M.C.
Ricklefs 1974). Adapun Babad Mentawis mencandra Sultan Lir upama ywang Wisnu lagya arseng tumameng
marcapada yang berarti "Seperti Ywang Wisnu yang sedang akan turun ke marcapada."
Penggunaan perari laki-laki semua dalam pergelaran wayang wong kemungkinan besar untuk menjaga
Masyarakat Kesenian di Indonesia
empat hari empat malam itu tercemar, seandainya ada penari perempuan sekoyong- koyong dalam keadaan haid.
Bahkan tari Bedhaya Semang yang pernah beberapa kali tampil di keraton Yogyakarta, ditarikan oleh sembilan penan
pria, walaupun bedhaya adalah tari putri. Doa-doa, keselamatan, serta kemakmuran bisa dijumpai pada akhir teks dan
pertunjukan yang disebut Serat Kandha sebagai bukti bahwa pergelaran wayang wong di Yogyakarta merupakan
sebuah ritual kenegaraan, semua kawula dalem atau rakyat Yogyakarta diizinkan oleh Sultan untuk menyaksikan.
Groneman dalarn sebuah ulasannya tentang sebuah pertunjukan wayang wong yang pernah ia saksikan pada akbir
abad ke-19 yang dituangkan dalam bukunya, berjudul De Wayang Orang Pregiwa in den Kraton te Yogyakarta (1899)
mengatakan bahwa setiap harinya pertunjukan akbar itu dikunjungi oleh tidak lebih dari 30.000 orang. Penonton yang
berjumlah ribuan itu sebenamya tidak bisa menikmati pergelaran dengan baik oleh karena semuanya duduk di atas
halaman berpasir di bawah pohon sawo yang ridang. Namun demikian penduduk Yogyakarta itu tetap setia duduk
dengan tenangnya tanpa ada yang berisik. Walaupun mereka tidak bisa menyaksikan serta menikmati pertunjukan
yang langka itu, namum mereka sudah puas apabila sudah bisa duduk di pelataran istana yang sejuk itu mereka
percaya bahwa kehadiran mereka di dalam keraton sudah mendapatkan berkah keselamatan dari Sultan.

10.3.8 Musik atau Karawitan


Di Jawa, gamelan adalah sebuah istilah umum untuk ensambel musik. Gamelan terdiri dari beberapa alat
musik dengan berbagai ukuran, yang jumlahnya bisa mencapi 75 buah. Variasi seperti ini dijumpai tidak hanya dari
satu pulau ke pulau lainnya di seluruh Indonesia, tetapi misalnya di pulau Jawa sendiri gamelan memiliki berbagai
variasi. Penelitian secara etnomusikologis sejauh ini banyak dilakukan terhadap berbagai tradisi musik yang dijumpai
di Jawa dan Bali. Meskipun orang-orang Barat selalu berpikiran bahwa musik gamelan hanyalah instrumentalia, tetapi
banyak juga nyanyian yang merupakan musik yang tak kalah pentingnya pada komposisi musik di Jawa Tengah dan
Timur. Seorang penyanyi wanita solo (pesindhen), seorang penyanyi lelaki membawa suara unisono (gerong) atau
laki-laki pembawa suara campuran (gerong bedayan) sering dipergunakan dan tepukan tangan yang lembut membawa
ketukan dasar dapat disaksikan dalam pertunjukan musik Jawa. Suara yang lembut, yang merupakan ornamentasi
musik paduan suara dapat dikatakan berhubungan dengan melodi yang dihasilkan rebab yang bersenar dua, sebuah
lute gesek. Penyanyi wanita solo menyajikan melodi bersama suling, end-blown flute. Pada beebrapa komposisi
gamelan digunakan alat musik zither bersenar yang disebut celempung, juga sebuah alat musik zither yang disebut
siter, senarnya 26 dilaras ganda menghasilkan 13 nada.
Alat musik yang paling banyak digunakan dalam gamelan adalah metalofon tembaga. Terdiri dari saron, satu
set bilahan di atas kotak resonator. Dimainkan dengan tabuh. Memiliki tiga ukuran, yang paling kecil saron panerus
atau peking, yang pertengahan adalah saron barung, dan yang paling besar adalah saron demung. Alat musik lainnya
adalah xilofon kayu yang disebut gambang kayu. Selain itu ada pula alat musik pembawa melodi lainnya yang disebut
gendher, bilahan-bilahan kecil dari tembaga diletakkan di atas tabung resonator. Seperti saron, gendher memiliki
tiga ukuran, yang

190
Bab X. Jawa

kecil gendher panerus, yang pertengahan gendher barung, dan yang terbesar gendher panembung atau slentem.
Keluarga gong berpencu yang diletakkan di atas rak disebut dengan bonang, gunanya membawa waktu dalam musik.
Dipergunakan onomatopeik ketuk, kenong, kempul, dan gong untuk alat-alat musik pembawa siklus waktu. Alat
musik pembawa ritmik yang paling utama dalam ensambel gamelan adalah kendhang, berbentuk barel dua sisi. Di
Jawa juga ditemukan alat musik angklung yang terbuat dari bambu fungsinya membawa melodi. Istilah yang paling
umum untuk komposisi musik adalah gendhing. Unit yangutama dalam karawitan Jawa adalah siklus gongan. Sistem
musik Jawa biasanya ditulis dalam notasi Kepatihan, ada juga santiswara, dan notasi taman siswa.
Unsur tangga nada dalam musik Jawa terdiri dari dua laras, yaitu slendro dan
pelog. Setiap tanga nada ini terdiri atas tiga pathet (modus). Tangga nada slendro terdiri dari pathet manyura, sanga,
dan nem. Sementara tangga nada pelog terdiri atas pathet lima, nem, dan barang. Nama-nama nada untuktanga nada
slendro adalah nem, siji atau barang, loro atau gulu, telu atau dada, dan lima. Untuk tangga nada pelog, nada-nada
yang digunakan adalah: nem, pitu atau barang, siji atau penunggul atau bem, loro, telu, papat atau pelog, dan lima.
Demikian sekilas keberadaan karawitan atau musik tradisional Jawa.

Daftar Pustaka untuk Mendalami Kajian


Becker, Judith, 1976. Traditional Music in Modern Java. Honolulu: University of Hawaii Press.
Depdikbud, 1997. Perkembangan Ludruk di Jawa Timur. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Depdikbud.
Hartono, 1980. Reyog Ponorogo. Jakarta; Depdikbud.
Hood, Mantle, 1954. Patet in Javanese Music. Groningen: Wolters.
Hood, Mantle, 1971. The Ethnomusicologist. New York: McGraw-Hill Book Company. Kunst, Jaap, 1949. Music in
Java. The Hague: Martinus Nijhoff.
R.M. Soedarsono, 1983. Wayang Wong: The State Dance Drama in the Court of Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Soedarso, Sp. (ed.), 1991. Beberapa Catatan tentang Perkembangan Kesenian Kita. Yogyakarta: B.P. ISI
Yogyakarta.
Wardiman Jayakusuma, 1992. Seni Tari Jawa. Surabaya: Penerbit Sinar Ilmu. Achmad A., 1997.
Kesenian Nusantara. Surabaya: Rineka Cipta.

191
Masyarakat Kesenian di Indonesia

BAB XI

MASYARAKAT DAN
1. Pengantar
KESENIAN BALI DAN
NUSATENG
Bali atau yang dikenal juga dengan GARA
Pulau Dewata, adalah salah satu daeah andalan wisata Indonesia.
Bahkan banyak masyarakat luar negeri yang lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Ini tak lain dan bukan adalah
karena Bali memiliki potensi wisata (budaya dan alam) begitu hebatnya. Selain itu, hal yang unik lainnya adalah
masyarakat Bali dalam kehidupannya selalu menyertakan seni budaya dalam upacara ritual atau hiburan. Bali juga
meneruskan tradisi-tradisi Hindu yang sebagaian sudah tak dijumpai lagi di Jawa Timur. Bali dapat pula disebut
sebagai daerah seni yang ternama di Indonesia. Selanjutnya mari kita lihat masyarakat dan kesenian Bali secara umum
saja. Kemudian di bab ini juga akan dideskripsikan seni (musik) dari Nusa Tenggara Barat.

2. Masyarakat Bali
Suku bangsa Bali merupakan suatu kelompok manusia. yang tenkat oleh kesadaran akan kesatuan
kebuadayaannya, sedangkan kesadaran itu diperkuat oleh adanya bahasa yang sama. Walaupun ada kesadaran yang
demikian, namun kebudayaan Bali mewujudkan banyak variasi dan perbedaan setempat. Di samping itu agama Hindu
yang telah lama berintegrasi ke dalam kebudayaan Bali, dirasakan pula sebagai suatu unsur yang memperkuat adanya
kesadaran akan kesatuan itu.
Perbedaan pengaruh dan kebudayaan Jawa Hindu di berbagat daerah di Bali pada zaman Majapahit
mempurryai struktur tersendiri. Orang Bali Aga pada umumnya mendiami desa-desa di pegunungan seperti Sembiran,
Cempaka Sidauq3a, Pedawa, Tigawasa, di Kabupaten Buteleng dan desa Tenganan Pegringsingan di Kabupaten
Karangasem.
Bahasa Bali termasuk keluarga bahasa-bahasa Indonesia atau Melayu-Polinesia. Dilihat dan sudut
perbendaharaan kata-kata dan struktumya, maka bahasa Bali tidak jauh
berbeda dari bahasa-bahasa Indonesia lainnya. Peninggalan-peninggalan prasasti dan zaman Bali-Hindu
menunjukkan adanya sesuatu bahasa Bali Kuno yang agak berbeda
dengan bahasa Bali sekarang. Bahasa kuno banyak mengandung kata kata Sansekerta dan pada masa
perkembangannya terpengaruh juga oleh bahasa Jawa Kuno dari zaman Majapahit. Bahasa Bali juga mengenal apa
yang disebut perbendaharaan kata-kata hormat walaupun tidak banyak seperti dalam bahasa Jawa Bahasa homiat
( bahasa halus yang dipakai kalau berbicara dengan orang tua atau lebih tinggi, telah mengalmni beberapa
perubahan akibat pengaruh modenusasi dan cita-cita demokrasi.
Di Bali berkembang kesusastraan lisan dan tulisan baik dalam bentuk puisi maupun prosa, di samping itu
sampai kini di Bali didapati juga sejumlah hasil kesustraan Jawa
Bab XI. Bali dan Nusatenggara
Kuno (Kawi ) baik dalam bentuk puisi maupun prosa yang di bawa ke Bali pada waktu Bali di bawah
kekuasaan Majapahit.
Masyarakat Bali sebagian besar menganut agama Hindu. Walaupun demikian
ada juga golongan kecil orang-orang Bali yang menganut agama. Islam, Kristen, dan Katholik. Penganut
agama, Islam terutama terdapat di pinggir pantai di beberapa desa di beberapa, kota seperti Karangasem, Klungkung
dan Denpasar, sedangkan penganut agama Kristen dan Katholik terdapat di daerah Denpasar, Jembarana, dan
Singaraja
Di dalam kehidupan keaganiaan orang yang beragama, Hindu percaya akan adanya satu Tuhan, dalam
bentuk konsep Trimurti, Yang Esa. Trimurti ini mempunyai, tiga, wujud atau manifestasi, yaitu wujud Brahmana,
yang menciptakan, wujud Wisnu yang melindungi serta memelihara, dan wujud Syiwa yang melebur segala yang ada.
Di samping percaya kepada berbagai dewa, yang lebih rendah dari Trimurti yang mereka hormati dalam berbagai
upacara sesaji, juga, menganggap penting konsepnya mengenai roh abadi (atman) adanya buah dari setiap perbuatan
(karmapala), kelahiran kembali dari jiwa (pumarbawa), dan kebebasan jiwa dari lingkaran kelahiran kembali (moksa).
Semua ajaran-ajaran itu terdapat dalam sekumpulan kitab-kitab suci yang bemama Weda.
Tempat melakukan ibadat agama, Bali pada, umumnya, disebut pura. Tempat
ibadat ini berupa kompleks bangunan-bangunan suci yang sifatnya berbeda-beda. Ada yang bersifat umum,
artinya untuk semua golongan seperti Pura Besakih, ada yang berhubungan dengan kelompok sosial setempat seperti
pura desa (kayangan tiga), yang berhubungan dengan organisasi dan kumpulan tari-tarian, dan ada yang merupakan
tempat pemujaan leluhur dari klen-klen besar. Adapun tempat-tempat pemujaan leluhur dan klen kecil serta keluarga
luas adalah tempat-tempat sajian rumah yang di sebut sangah. Di bali ada beribu-ribu pura dan sangah masing-
masing dengan hari perapan, sendiri-sendiri yang telah ditentukan oleh sistem tanggalannya sendiri-sendiri. Di Bali
dipakai dua macam.tanggalan, yaitu tanggalan Hindu-Bali dan tanggalan Jawa-Bali berdasarkan atas punama tilem,
dipakai pada perayaan pura-pura di berbagai-bagai di daerah Bali, tetapi seluruh Bali dirayakan tahun baru Saka yang
jatuh pada. tanggal 1 (satu) dari bulan kesembilan (tilem kesanga). diadakan upacara korban (pecaran) yang bersifat
Buta Yadnya. Pada hari tahun barunya, orang pantang melakukan segala kegiatan (nyepi) dan malamnya pantang
menyalakan api. Hari berikutnya hari tahun baru kedua, disebut ngebak geni. Orang boleh menyalakan api, tetapi
masih pantang bekerja.
Sistem tanggalan Jawa-Bali terdiri dari 30 uku, masing-masing tujuh hari lamanya, sehingga jumlah
seluruhnya adalah 210 hari. Banyak perayaan di kuil-kuil yang berdasarkan atas perhitungan ini, terutama di daerah
tanah datar yang mendapat lebih banyak pengaruh Majapalut dan daerah-daerah lainnya. Perayaan umum terpenting
yang berdasarkan atas perhitungan im adalah han raya Galungan dan Kuningan yang jatuh pada hari Rabu dan
Sabtu dari uku Galungan dan uku Kuningan. Berdasarkan atas sistem tanggal ini ada banyak lagi upacara upacara
yang bersifat lebih kecil.
Dilihat dari segi keseluruhannya di Bali terdapat 5 macam upacara
(pancayadnya) yang masing-masing berdasarkan atas salah satu dan kedua sistem tanggalan tersebut di
atas, yaitu: (a) manusia yadnya, meliputi upacara-upacara siklus
Masyarakat Kesenian di Indonesia
hidup dari masa kanak-kanak swnpai dewasa. (b) Pitra yadnya, upacam - upacara yang ditujukan kepada roh - roh
leluhur dan yang meliputi upacara-upacara,kematian sampai kepada upacara roh leluhur (nyeka, memukur). (c) Dewa
yadnya, berkenan dengan upacara-upacara yang berkenan dengan upacara-upacara pada kuil-kuil umum dan
keluarga. (d) Resi yadnya, upacara-upacara yang berkenan dengan pentahbisan pendeta (mediksa). (e) Buta yadnya,
upacara-upacara yang ditujukan kepada kala dan buta yaitu roh-roh yang dapar menganggu.
Pada umumnya apabila orang-orang menyelenggarakan upacara ibadah dan keagamaan, terutama yang besar-
besar, maka penuntun dan. penyelesaian upacara itu dilakukan oleh seorang pemimpin agama yang telah dilantik
menjadi pendeta, dan pada umumnya disebut sulinggih. Mereka itu juga disebut dengan istilah-istilah khusus yang
tergantung dari klen atau kasta mereka. Misalnya istilah pedanda, adalah untuk pendeta dan kasta Brahmana, baik
yang beraliran Siwa maupun Brahma. Istilah resi adalah pendeta dari kasta Satria dan sebagainya. Walaupun semua
pelaku upacara agama tadi sebagai sulinggih menjadi anggota Majelis Parisada Hindu Dharma, namun orang Ball
masih banyak yang berpandangan tradisional yang memebeda-bedakan manusia, berdasarkan klen atau kasta.
Kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan umum seperti kuil desa, kuil banjar, kuil subak, dan sebagainnya,
biasannya dipelihara oleh pejabat-pejabat agama yang disebut pemangku. Untuk dapat menjadi pemangku orang harus
juga telah mengalami pengukuhan melalui beberapa upacara tertentu, dan seringkali para pemangku juga
mempunyai kepandaian yang dimiliki oleh para pelaku upacara agama pada umumnya. Demikian seorang pemangku
seringkali juga bisa dimintai pertolongan untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan.
Perkawinan merupakan yang amat penting dalain kehidupan orang Bali karena Au bandah ta dianggap
sebagai warga. penuh dan masyarakat, sesudah itu ia, memperoleh
hak-hak dan kewajiban seorang warga komunitas dan warga kelompok kerabat. Menurut anggapan adat lain
yang sangat dipengaruhi oleh sistem klen-klen (dadia) dan sistemta
(wangsa), perkawinan itu sedapat mungkin dilakukan di antara warga-warga satu klen, atau setidak-tidaknya
antara orang-orang yang dianggap sederajat dalam kasta. Demikian pula, perkawinan adat di Bali bersifat endogami
klen, sedangkan perkawinan antara anak-anak dari orang saudara kolot adalah perkawinan antara anak-anak dari dua
orang saudara laki-laki. Keadaan ini memang agak menyimpang dari masyarakat lain yang berklen, yang umumya
bersifat eksogamus. Orang-orang satu klen (tunggal kawitan, tunggal media, tunggal sanggah ) di Bali itu, adalah
orang -orang yang bertingkat kedudukannya dalam adat, agaama, dan kasta. Dengan berusaha untuk kawin dalam
batas klennya, terjagalah kemungkinan-kemungkinan. akan ketengangan-ketengangan dan noda-noda keluarga yang
akan terjadi akibat perkawinan antar kasta yang berbeda
derajatnya. Dalam hal ini terutama harus dijaga agar anak wanita dan kasta yang tinggi jangan sampai kawin
dengan pria yang lebih rendah derajat kastannya. Karena suatu perkawinan serupa itu akan membawa malu kepada
keluarga, serta menjauhkan. gengsi
seluruh kasta dari anak wanita itu. Dahulu apubila terjadi perkawman campuran yang

194
Bab XI. Bali dan Nusatenggara
demikian, maka wanita itu akan dinyatakan keluar dari dadianya, dan secara fisik suami- istri itu akan dihukum buang
(maselong) untuk beberapa lama, ke tempat yang jauh dan tempat asalnya.
Bentuk perkawinan yang dianggap pantang adalah perkawinan bertukar antara saudara perempuan suami
dengan saudara laki-laki istri (makedengan ngad), karena
perkawinan yang demikin itu dianggap mendatangkan benacana (panes). Perkawinan pantang yang dianggap
melanggar norma kesusilaan merupakan sumbang yang besar (agamiagemana) adalah perkawman antara seorang
dengan anaknya, antara seorang dengan dengan saudara sekandung atau tirinya, dan antara seorang dengan anak dan
saudara perempuan maupun laki-lakinya (keponakannya ). Pada umumnya, seorang pemuda Bali dapat memperoleh
istri dengan dua cara, yaitu dengan cara meminang (memadik, ngidih) kepada keluarga si gadis atau laki-laki kepada
ketuarga si gadis atau memberitahukan kepada mereka bahwa si gadis telah di bawa lari untuk dikawini. Akhimya
ada suatu kunjungan. resmi dari keluarga si pemuda ke rumah orang tua si gadis untuk meminta diri kepada roh nenek
moyangnya.
Sesudah pemikahan, suami istri baru biasanya menetap secara virokal dikompleks perumahan (uma) dari
orang tua si suami, walaupun tidak suami istri baru yang menetap secara neolokal mencari atau membangun
rumah baru. Sebaliknya, ada
pula suatu adat perkawinan suami istri baru menetap secara uksorilokal di kompleks perumahan si istri
(nyeburin). Dari suatu perkawinan terbentuklah suatu keluarga batih, bentuk keluarga batih ini tergantung pula dari
macam perkawinan itu. Karena poligini atau poligami diizinkan, maka ada juga keluarga-keluarga batih yang bersifat
poligini ini hanya terbatas dalam lingkungan-lingkungan tertentu saja yang jumlahnya tidak banyak.
Mata pencaharian pokok orang Bali adalah bertani. Dapat dikatakan 70 % dari mereka hidup dari petemakan,
berdagang, menjadi buruh, pegawai, atau lainnya. Karena perbedaan-perbedaan lingkungan alam iklim di berbagai
tempat di Bali, maka terdapatlah
perbedaan dalam pengolahan tanah untuk bercocok tanam. Di daerah Bali bagian utara, tanah dataran hanya
ada sedikit, curah hujan kurang, tidak untuk bercocok tanaman relatif
lebih terbatas daripada di Bali bagian selatan. Di samping bercocok tanam di sawah, di Bali bagian utara,
sebelah timur, dan sebelah baratnya ada usaha menanam buah-buahan (jeruk), palawija, kelapa, dan kopi (di
pengunungan).
Pengelolaan pertanian dilakukan melalui sistem subak. Sistem ini mempunyai pengurus yang dikepalai oleh
klen subak, anggota, serta bagian-bagian bawahan yang mengatur pengairan serta penanaman pada wilayah sawah
tertentu. Di samping itu subak mempunyai upacara-upacara serta tempat pemujaan sendiri dalam hubungan dengan
sedahan agung pada tingkat kabupaten. Daerah-daerah yang luas tanahnya, akhimya tidak mencukupi keperluan
penduduk yang bertambah padat dengan laju yang cepat. Terdapat pula sistem penggarapan tanah yang dikerjaakan
oleh buruh tani. Dahulu sebelum adanya
undang-undang yang mengatur hal ini, ada berbagai sistem bagi hasil antara pemilik tanag dan
penggarapannya. Kecuali bercocok tanam, bertenak juga merupakan usaha yang
penting dalam masyarakat pedesaan Bali. Binatang peliharaan yang terutama adalah babi dan sapi, juga
Masyarakat Kesenian di Indonesia
kecil. Mata pencaharian lain adalah perikanan, baik perikanan darat maupun perikanan laut. Di Bali terdapat pula
industri dan kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain tenun, benda-benda emas, perak, dan besi, perusahaan
mesin-mesin, petemakan, pabrik kopi, pabrik rokok, pabrik makanan kaleng, tekstil, pemintalan, dan lain - lain.
3. Kesenian Bali
1. Tari-tarian
Secara umum
Tarifungsi
berdasarkan mendapatkan peran
sosialnya ada duapenting
jenis taridalam
di Bali,seni budaya
yaitu: (a) tariBali.
sakral, adalah tari- tarian yang penting sekali bagi
kehidupan agama dan adat Hindu Dharma, dan (b) tari sekuler, adalah tari-tarian yang biasa, lebih cenderung sebagai
seni pertunjukan. Tari- tarian sakral terdiri dari: tari-tarian pura, tari-tarian ritual, tari-tarian Sanghyang, dan tari-
tarian Barong. Tari-tarian pura contohnya adalah Tari Pendet, Tari Gabor, Tari Rejang, Tari Oleg, Tari Mabuang, Tari
Keris, dan Tari Pasraman.
(1)Tari Pendet merupakan tari wanita yang berfungsi sebagai saji-sajian dan
persembahan kepada para Dewa. Menurut tradisi Bali, para penari Tari Pendet ini haruslah gadis yang belum kawin.
Dal;am rangkaian Tari Pendet ini ada pula penari lelaki yang membawa dupa tempat membakar kemenyan. Penari
laki-laki yang ikut menari dalam Tari Pendet ini disebut Ngelaju. Adapun gamelan yang mengiringi Tari Pendet
adalah Gamelan Gong atau Gamelan Pelegongan atau Gamelan Semar Pegulingan. Tari Pendet merupakan tarian
massal yang bisa dibawakan lebih dari empat penari.
(2)Tari Gabor merupakan tarian wanita yang mirip dengan Tari Pendet. Bahkan tari ini sebenamya hanya
merupakan variasi lain dari Tari Pendet. Tari Gabor adalah tari sesaji yang ditarikan oleh dua orang penari wanita atau
lebih, dan yang merupakan saji-sajian adalah penari-penarinya itu sendiri. Dahulu penari Gabor berkipas dalam
menari, dan irama tariannya lebih dinamis dari Tari Pendet. Adapun iringan gamelannya sama dengan gamelan pada
Tari Pendet.
(3)Tari Rejang, merupakan tarian wanita yang berbentuk tarian massal. Tari ini juga merupakan tarian sesaji,
dan yang menjadi saji-sajian kepada dewa-dewa adalah penari-penari itu sendiri. Maka dari itu penari-penari Rejang
haruslah gadis-gadis yang masih suci, bahkan sering dilakukan oleh gadis-gadis kecil yang berumur enam tahun.
Para penari dipimpin oleh seorang pemangku yang menari paling depan. Di belakang pemangku para penari Rejang
berderet-deret menari sambil memegang seutas benang yang dibawa pemangku memanjang ke belakang. Mereka
sering memakai kipas, dan sering pula tidak. Adapun irama Tari Rejang lambat sekali, dan gerak-gerak tarinya
sangat sederhana, sehingga tiap gadis Bali dapat melakukannya. Tarian ini diadakan di pura pada malam hari. Iringan
gamelannya adalah Semar Pegulingan.
(4)Tari Oleg adalah tarian wanita yang mirip dengan Tari Babor, dan merupakan tarian persajian. Yang
menjadi persajian adalah penari Oleg itu sendiri.
(5)Tari Mabuang, selain tari-tarian sesaji di atas ditarikan oleh penari- penari wanita, di Bali terdapat pula
tari-tarian sesaji yang ditarikan oleh penari-penari pria yang
Bab XI. Bali dan Nusatenggara
sudah dewasa. Tari Mabuang adalah tarian pura yang ditarikan oleh pemuda-pemuda yang belum kawin. Tarian ini
merupakan tarian duet atau berpasang-pasangan secara massal. Biasanya diakhiri dengan tari perang. Adapun iringan
gamelannya adalah Gamelan Selonding.
(6) Tari Keris, di Bali merupakan tari pura yang termasuk tari kuna. Tari ini
dilakukan oleh laki-laki dengan berpakaian kain yang dijawatkan dan badan bagian atas terbuka. Variasi dan nama Tari
Keris itu bermacam-macam. Pada waktu ada upacara keagamaan di Pura, biasanya setelah selesai Tari Pendet atau
Tari Rejang atau Tari Gabor lalu disusul dengan Tari Keris. Tari Keris ditarikan oleh dua penari pria dengan
membawa keris terhunus. Adapun pengiringnya adalah gamelan gong. Tarian Keris kebayakan ditarikan dalam
keadaan trance atau tidak sadar diri dan mereka dalam menari menusuk-nusuk dadanya dengan keris yang
dipegangnya sendiri.
(7)Tari Pasraman juga merupakan tarian pura semacam Tari Keris, tetapi penari-penarinya membawa senjata
tombak. Tarian Pasraman merupakan tarian penutup pada keagamaan di pura dan ditarikan oleh dua atau empat
penari laki-laki. Gamelan pengiringnya adalah gamelan gong.
(8) Tari-tarian ritual di Bali yang penting sekali adalah Tari Baris, yang juga
merupakan tari kepahlawanan. Tari Baris ditarikan oleh pria. Adapun sifat rituil tari pria adalah bahwa tari ini
merupakan sebuah tarian untuk membuktikan kedewasaan seseorang dalam segi jasmani. Kedewasaan
seorang pria dibuktikan dengan mempertunjukan kemahiran dalam olah keprajuritan
yang biasanya disertai dengan kemahiran dalam memainkan salah satu senjata perang. Maka dari itu, Tari Baris
selain merupakan tarian rituia juga merupakan tari kepahlawanan. Iringan gamelannya adalah gamelan gong.
Adapun ciri khas dari Tari Baris adalah pertama tari ini lebih menonjolkan ketegapan dan kemantapan dalam
langkah-langkah kaki serta kemahiran dalam memainkan senjata perang. Kedua, pakaiannya juga mempunyai corak
yang khas, yaitu penutup kepalanya berbentuk kerucut, dan penutup badannya terdiri dari baju panjang serta hiasan
kainnya kecil panjang yang sangat indah. Tari Baris di Bali banyak sekali macamnya dan biasanya diberi nama
menurut seniata yang dipergunakan dalam tarian tersebut, seperti: Baris Cendekan, Baris Panah, Baris Presi, Baris
Dadab, Baris Omang, Baris Tombak, Baris Gede, Baris Jojor , Baris Bajra , dan Baris Melampahan. (8.a) Baris
Cendekan mempergunakan alat perang yang disebut cendek, yaitu semacam tombak pendek. Baris Cendekan
terdapat di Bali Utara dan ditarikan oleh beberapa pasang pemuda (taruna). Pakaiannya menggunakan pakaian
sehari-hari dan instrumen gamelan pengiringnya adalah sejenis orkes angklung yang disebut Kembang Kirang. (8.b)
Baris Panah, tari ini mempergunakan alat perang yang berupa panah, serta ditarikan oleh bebetapa pasang pemuda
(taruna). Baris Panah terdapat di Bali Utara, pakaiannya menggunakan pakaian sehari-hari dan instrumen
gamelan pengiringnya juga menggunakan gamelan Kembang Kirang. (8.c) Baris Presi, dilakukan secara
berpasang-pasangan dengan membawa senjata perang yang disebut presi atau perisai. (8.d) Baris Tamiang
merupakan variasi dari Baris Presi. Para penarinya membawa tamiang atau perisai dan ditarikan berpasang-
pasangan pula. (8.e) Tari Baris Dadap
Masyarakat Kesenian di Indonesia
mempergunakan senjata perang yang disebut dadap, yaitu sejenis perisai. Baris Dadap dahulu terdapat di sekitar
Danau Batur. Adapun iringannya biasanya menggunakan Gamelan Kembang Yarang. (8.f) Tari Baris Omang,
ditarikan oleh penari-penari yang membawa tombak sebagai alat perangnya dan ditarikan oleh penari-penari yang
berpasang- pasangan. (8.g) Baris Tombak, para penarinya membawa tombak sebagai alat perangnya, dan ditarikan oleh
penari pria yang berpasang-pasangan. (8.h) Baris Gede adalah tari baris yang bersenjatakan tombak panjang, ditarikan
oleh penari laki laki berpasang-pasangan yang berjumlah relatif banyak. (8.i) Baris Jojor juga merupakan Tari Baris
yang bersenjatakan jojor atau tombak. (8.j) Baris Bajra adalah Tari Baris yang penari-penarinya bersenjatakan gada
sebagai senjata pemukul. (8.k) Baris Melampahan merupakan drama tari yang dibawakan dengan Tari Baris. Adapun
yang mempergunakan tari baris dalam drama tari tersebut adalah tokoh-tokoh utamanya. Pada Baris Melampahan itu
yang dibawakan adalah cerita-cerita epos Mahabharata. Ciri khas dari Baris Melampahan adalah selain pemeran-
pemeran utamanya mempergunkan Tari Baris, mereka juga mengenakan pakaian Tari Baris. Tari Baris Melampahan
yang terkenal adalah Baris Melampahan yang membawakan cerita Arjunawiwaha. Tari Baris Melampahan tidak
bersifat sakral, yang ada sangkut-pautnya dengan peristiwa suci dalam kehidupan kaum laki-laki, tetapi sudah
merupakan yang biasa atau sekuler.
(9) Tari Sanghyang, merupakan tari kedewian di Bali yang biasanya dipakai sebagai sarana pengusir wabah
penyakit yang menular. Apabila di Bali terjadi wabah penyakit atau epidemi, mulailah di mana-mana dipagelarkan
Tari Sanghyang. Pada umumnya Tari Sanghyang dilakukan oleh dua orang penari gadis yang masih kecil. Dua gadis
yang akan menjadi Sanghyang, kepalanya diasapi dengan asap kemenyan sambil diiringi dengan nyanyian doa-doa. Di
belakang kedua gadis calon Sanghyang itu ada beberapa wanita yang menjaga, dan juga ada sekelompok penyanyi
wanita serta sekelompok penyanyi pria yang menyanyikan doa bersama-sama. Adapun lagu yang dinyayikan mereka
itu adalah Gending Pengedusan, yang khusus dinyanyikan oleh penyanyi-penyanyi wanita. Pada permulaanya irama
nyanyiannya lambat, tetapi jika sudah ada tanda-tanda bahwa Dewi yang dipanggil sudah akan datang, maka irama
nyanyiannya dipercepat. Tanda bahwa Dewi sudah akan masuk ke badan kedua penari Sanghyang itu adalah kedua
penari tersebut akan nampak tidak sadar diri. Sampai pada saat itu penari Sanghyang masih menggunakan pakaian
putih dengan rambut terurai ke depan. Sesudah mereka kemasukan Dewi, barulah pakaian mereka diganti dengan
pakaian tari. Sesudah itu penari Sanghyang lalu menari dengan mata yang dipejamkan. Biasanya penari Sanghyang
akan dibawa berkeliling desa untuk mengusir wabah penyakit. Masing- masing penari akan dipanggul di atas pundak
laki-laki, sambil memejamkan mata, kedua penari Sanghyang menari di atas pundak laki-laki yang mamanggulnya
sambil berjalan. Adapun Dewi yang biasa dipanggil untuk masuk ke badan Sanghyang adalah Dewi Suprabha dan
Tilotama. Tari Sanghyang ada bermacam-macam, antara lain: Sanghyang Dedari, Sanghyang Deling, Sanghyang
Jaran, dan Sanghyang Bumbung. Tari Kecak adalah di antara jenis Tari Sanghyang itu yang sampai sekarang masih
biasa diselenggarakan di Bali adalah Sanghyang Dedari.

198
Bab XI. Bali dan Nusatenggara
(9.a) Tari Sanghyang Dedari ditarikan oleh seorang gadis kecil. Setelah Sanghyang kemasukan Dewi (Dewi
Supraba), Sanghyang akan diberikan pakaian, seperti pakaian Tari Legong. Setelah didikenakan pakaian, barulah
gamelan palegongan ditabuh. Apabila tidak diiringi dengan gamelan, koor penyanyi laki-lakilah yang mengiringi
tariannya. Penyanyi laki-laki ini disebut kecak. Sanghyang Dedari banyak terdapat di berbagai daerah di Bali. Sering
pula penari Sanghyang Dedari setelah dalam keadaan tidak sadar lalu menginjak- njak api arang yang sedang
membara. Selain tarian ini ditarikan oleh penari gadis, ada pula ditarikan oleh dua orang gadis. Kerap pula mereka
menari diatas pundak laki-laki yang mendukung mereka.
(9.b) Tari Sanghyang Deling ditarikan oleh dua orang gadis yang terdapat di desa-desa sekitar Danau Batur.
Sebenamya yang dianggap sebagai Sanghyang adalah dua boneka, karena dua boneka itulah sebagai tempat masuknya
Dewi. Setelah ada tanda- tanda bahwa Dewi akan masuk, kedua boneka itu mulai bergerak, kedua penari
Sanghyang Deling lalu mengambil kedua boneka itu kemudian menari sambil membawa boneka tersebut. Dahulu di
Danau Batur gamelan pengiring Tarian Sanghyang Deling adalah gamelan Bali yang primitif sekali yang hanya
terdiri dari seruling dan gendang .Di daerah Tabanan dahulu juga terdapat semacam Sanghyang Deling tetapi
namanya lain, yaitu Sanghyang Dangkluk.
(9.c) Tari Sanghyang Jaran terutama terdapat di Bali Selatan, dan ditarikan oleh seorang atau dua orang
penari pria. Dahulu yang menjadi tempat masuknya Dewa adalah boneka yang berbentuk jaran (kuda) yang dibuat
dari kayu dan bambu. Penari Sanghyang Jaran yang membawa kuda-kudaan yang dimasuki Dewa juga lalu menjadi
tidak sadar diri dan kemudian menari menirukan gerak-gerak kuda sambil membawa boneka kuda dengan kedua
tangannya. Adapun iringannya sering menggunakan gamelan kadang juga kecak. Sekarang di Bali Sanghyang Jaran
sering ditarikan tanpa kuda-kudaan, tetapi penari Sanghyang Jaran itu sendiri yang menari menirukan gerak-gerak
kuda. (9.d) Tari Sanghyang Bumbung ditarikan oleh penari-penari wanita dengan membawa boneka dari bambu dan
biasanya diadakan pada malam bulan pumama.
(9.e) Tari Kecak atau Tari Cak merupakan tarian yang berasal dari tarian Sanghyang. Tetapi dalam
perkembangan selanjutnya rombongan penyanyi koor pria dari Tari Sanghyang itu lalu memisahkan diri dari
fungsinya semula, dan berdiri sendiri sebagai tarian tersendiri yang sampai sekarang sangat populer di Bali dan
bemama Tari Kecak atau Cak. Pertunjukan Tari Kecak sangat sederhana sekali, baik mengenai teknik tariannya,
perlengkapan pakaiannya dan pengiring tariannya yang hanya berupa koor. Adapun penarinya terdiri dari laki-laki
yang jumlahnya sampai ratusan. Pakaian mereka hanya sehelai kain yang dijawatkan, dan bagian atas badan tidak
memakai apa-apa. Mereka membuat lingkaran beberapa saf, dan di tengah-tengah mereka terdapat lampu penerang
yang sederhana pula, yaitu lampu minyak kelapa. Semula mereka hanya menggerak-gerakan badan ke kanan dan ke
kiri secara ritmis sambil mengucapkan kata-kata: “cak-cak-cak-cak- cak’” dan seterusnya dengan irama yang agak
lambat. Lama-kelamaan iramanya menjadi cepat dan dengan disertai angkatan tangan yang digetar- getarkan.
Dalam suasana yang demikian ini, dibarengi juga pula dengan

199
Masyarakat Kesenian di Indonesia
suara-suara desis seperti suara kera atau raksasa. Dalam saat-saat tertentu penari penari Kecak yang setengah lingkaran
merebahkan diri ke belakang secara serentak dan dilakukan bergantian. Tari Kecak sejak permulaan abad ke-20
mengalami perkembangan menjadi drama tari. Cerita yang dibawakan selalu bagian-bagian dari epos Ramayana.
Adapun cerita yang digemari adalah hilangnya Sitha, perang antara Sugriwa dan Subali, dan lain sebagainya. Para
pelaku utama Drama Tari Kecak ini menari dengan posisi berdiri, sedangkan penati penari kecak setnuanya duduk
dengan membentuk lingkaran bersaf. Pelaku-pelaku utama datang dari luar lingkaran. Dalam Drama Tari Kecak ini
para para penari kecak mempunyai fungsi yang bermacam-macam, mereka dapat berfungsi sebagai kera bala tentara
Rama, sebagai raksasa tentara Rawana, sebagai panah ular atau rantai senjata Indrajit.
(10) Tari Barong merupakan tarian yang ditarikan oleh dua orang penari laki-laki, seorang memainkan
bagian kepala barong serta kaki depan, dan seorang lagi memainkan bagian kaki belakang dan ekor. Barong yang
berbentuk binatang mitologi ini banyak sekali macamnya, ada yang kepalanya berbentuk kepala singa, harimau, babi
hutan jantan (bangkal), gajah, lembu, atau keket. Keket oleh orang Bali dianggap sebagai raja hutan yang disebut pula
dengan nama Banaspati Raja.
(10.a) Tari Barong Keket juga disebut Tari Barong Ket. Keket atau Ket adalah binatang yang sesungguhnya
tidak ada, tetapi yang oleh orang Bali digambarkan sebagai seekor binatang raksasa mitologi yang mereka anggap
sebagai raja dari binatang. Maka dari itu Keket juga mendapat sebutan Banaspati Raja yang berarti raja dari segala
raja hutan. Penari dari Tari Barong Keket ini terdiri dari dua orang laki-laki, seorang memainkan bagian kepala,
barong serta kaki depan, dan seorang lagi memainkan bagian kaki belakang dan ekor. Janggut Barong Keket
mempunyai kekuatan magik putih yang merupakan kekuatan penolak penyakit dan penyembuh penyakit. Di Bali
pertunjukan Tari Barong Ket biasanya dipadu dengan Drama Tari Calonarang. Bahkan keduanya kini merupakan
perpaduan dua macam tarian yang sukar dipisahkan. Dalam Drama Tari Calonarang, klimaksnya terletak pada
pertempuran antara barong yang mewakili kekuatan baik (magik putih) melawan Rangda, tokoh terpenting dari
drama tari tersebut yang mewakili perwujudan kekeuatan jahat (magik hitam).
Selain itu pada bagian terakhir dari Drama Calonarang selalu dipertunjukan Tari Keris. Penari-penari keris
yang merupakan pengikut Barong, dalam keadaan tidak sadar menyerang Rangda dengan keris yang dibawanya.
Tetapi karena kekuatan magik hitam yang terdapat pada sepotong kain putih yang selalu dibawa oleh Rangda, penari-
penari keris tersebut dengan tidak sadar menusuk-nusuk badan mereka sendiri. Penari Keris yang disebut Daratan
atau Panugdug itu jarang sekali terluka oleh keris mereka sendiri, walaupun mereka menusuk-nusuk badan mereka
dengan sekuat tenaga. Hanya apabila penari keris itu dalam keadaan tidak suci atau bersih, maka keris tersebut akan
dapat melukai badan penari. Apabila ada seorang penari keris terluka, dan luka tersebut dilihat oleh penari keris yang
lain, sering tedadi penari keris yang lain akan segera memindahkan perhatiannya kepada yang terluka dan menyedot
darah yang keluar dari luka itu. Kejadian semacam ini apabila sampai terjaadi akan membahayakan penari keris

200
Bab XI. Bali dan Nusatenggara
yang luka tersebut, karena kemungkinan besar darahnya akan habis tersedot. Maka dari itu apabila ada. salah
seorang penari keris terluka, seorang pemangku (pendeta pura) yang selalu ada dalam setiap pertunjukan segera
menutup luka tersebut dengan daun bunga hibiscus (kamboja). Adapun gamelan yang mengiringi Tari Barong adalah
Gamelan Barongan. Tari Barong yang sejenis dengan Barong Ket tetapi berbeda bentuk kepalanya adalah Barong
Bangkal dengan kepala babi butan, Barong Macan dengan kepala harimau, Barong Singa dengan kepala. singa,
Barong Gajah dengan kepala gajah, Barong Lembu dengan kepala lembu, dan sebagainya.
(10.b) Tari Barong Kalekek merupakan sebuah drama tari yang isi ceritanya adalah sebagai berikut. Dewa
Siwa dan Dewi Sri, isterinya pada suatu hari sedang berjalan-jalan di Gunung Waralau. Sekonyong- konyong Dewa
Siwa mengajak isterinya berhubungan badan. Tetapi karena sedang dalam perjalanan Dewi Sri menolaknya. Namun
karena Dewa Siwa sudah tidak lagi bisa mengendalikan nafsunya, maka keluarlah spermanya dan jatuh ke dalam
sebuah ceruk. Sperma itu oleh Dewa Siwa disabda lalu dijadikan dua orang anak kembar laki-laki dan perempuan,
yang laki-laki diberi nama Kalawenara dan yang perempuan diberi nama Kalekek. Dewa Siwa memberitahu kepada
kedua anaknya bahwa tempat mereka mencari makan adalah di kubutan-kuburan. Dewi Sri melihat perbuatan
suaminya itu menjadi marah dan ingin mengimbangi kesaktiannya dengan menciptakan anak pula. Pada waktu Dewi
Sri sedang mandi pakaiannya diletakan d iatas sebuah kuburan seorang perempuan hamil yang sudah meninggal. Dari
kuburan tersebut keluarlah seorang anak perempuan yang oleh Dewi Sri diberi nama Buta Seliwar. Karena suaminya
menciptakan dua orang anak, maka Dewi Sri belum puas dan menciptakan seorang anak laki-laki yang diberi nama
Cuwildaki. Pada suatu hari Kalekek mencari makan si sebuah kuburan dengan merubah bentuk dirinya sebagai seekor
barong. Adapun yang menjadi makananya adalah sajian-sajian. Pada saat yang sama Buta Seliwar dan Cuwildaki juga
sedang mencari makan di kuburan yang sama. Maka terjadilah perkelahian antara Kalekek melawan Buta Seliwar dan
Cuvhldak. Kalekek yang berbentuk barong tersebut kalah dan terbakar menjadi abu. Dewa Siwa yang mengetahui
bahwa puterinya yang berbentuk Barong Kalekek mati bahkan menjadi abu, murka sekali kepada istrinya yang secara
tidak langsung telah menghinanya. Maka sebagai hukumannya, Dewi Sri dilarang kembali ke sorga dan harus tetap
tinggal di bumi, di kuburan dengan berbentuk sebagai Dewi Durga yang menakutkan. Kemudian Dewa Siwa kembali
menghidupkan Kalekek kembali dan menyuruhnya menjaga Dewi Durga di kuburan dengan diberi nama Banaspati
Raja. Banaspati Raja ini mempunyai pengikut yang terdiri dari penari-penari keris yang selalu berusaha membunuh
Dewi Durga.
(10.c) Tari Barong Landung merupakan Tari Barong yang lain sekali bentuknya kalau dibandingkan dengan
Tari Barong yang umum terdapat di Bali. Sebab Tari Barong Landung tidak merupakan tarian yang dibawakan oleh
dua orang laki-laki yang menarikan seekor binatang buas. Barong Landung diwujudkan dengan dua buah boneka
raksasa laki-laki dan perempuan. Barong yang laki-laki bemama Jero Gde dan yang perempuan bemama Jero Luh.
Masing-masing barong ditarikan oleh seorang laki-laki yang masuk ke dalam boneka itu. Pertunjukan Tari Barong
Landung terutatna terdapat di

201
Masyarakat Kesenian di Indonesia
sekitar kota Denpasar, dan biasanya diadakan pada Hari Raya Galungan. Jero Gde bermuka hitam dan menakutkan,
sedangkan Jero Luh bermuka putih atau kuning dan bermata sipit. Demikian sekilas deskripsi seni tari di Bali.

11.3.2 Gamelan Bali


Di antara gentuk-bentuk gamelan yang berbeda di luar Jawa, yang paling terkenal adalah gamelan yang
terdapat di pulau Bali. Gaya yang ribut orkestra di Bali merupakan ciri umumnya, yang berbeda kualitas suaranya
dengan gamelan Jawa. Di Bali, alat-alat musiknya sama dengan yang dipergunakan pada musik gamelan Jawa, yang
dijumpai pada pertunjukan yang sama fungsinya. Bagaimanapun, di Bali gendher dan gangsa (yang terakhir ini sama
dengan saron di Jawa) terdiri dari sepasang atau empat, setiap alat musik mempunyai ukuran oktaf sendiri. Meskipun
semua alat musik dalam satu set mempergunakan tangga nada yang sama, setengahnya adalah alat-alat musik
“betina” yang dilaras lebih rendah dibandingkan dengan alat-alat musik “jantan.” Ketika kedua kelompok pemusik
bermain bersama-sama, mereka menghasilkan musik yang berdentang-dentang disebabkan oleh karena larasnya yang
berbeda. Suara yang indah ini merupakan karakteristik ensambel musik Bali.
Di antara beebrapa alat musik yang membawa tema inti (di Bali disebut pokok) adalah alat musik trompong,
dalam satu set terdiri dari dua oktaf yaitu sepuluh gong berpencu. Tidak seperti dua deretan gong pada musik Jawa
yang disebut bonang, gong trompong pada satu set adalah satu baris. Alat musik ini dimainkan dengan pukulan yang
sangat besar, dan gerakan-gerakan pemainnya berhubungan dengan tarian. Alat-alat musik kolotomik di Bali
umumnya sama dengan di Jawa, dengan penambahan pada alat musik simbel kecil. Alat-alat musik yang menghasilkan
suara lebih lembut yaitu rebab kurang dipentingkan dan ada dua pemain gendang sebagai pengganti satu di antaranya.
Selanjutnya ditambahkan pula reyong yang dalam satu set terdiri dari dua belas gong yang ditempatkan dengan
posisi satu baris dan dimainkan oleh empat orang pemusik. Mereka menghasilkan melodi-melodi yang kocak, melodi
gabungan yang rumit, merupakan bagian dari teknik interloking. Prinsip interloking adalah bagian yang penting
dalam musik Bali. Dua orang pemain gendang memainkan ritme-ritme yang lengkap menghasilkan sebuah ritme yang
kompleks. Gendher atau gangsa juga biasanya memainkan teknik ini. Cara yang seperti ini pada sejarah musik Barat
dikenal sebagai bentuk yang canggih yaitu teknik hoketing pada musik lama Eropa. Hasil dan kesempurnaan dari
melodi gabungan ini adalah digemari oleh para pemusik Bali.
Di Bali pemain musik juga memiliki rasa sebagai seorang komposer, meskipun seorang pemain menghasilkan
inti tema musik, ia juga menerima saran-saran daripemain lainnya sebagai gurunya, dengan menghafal berbagai bagian
musiknya secara teliti. Kelompok yang memainkan komposisi tersebut mempunyai metode untuk menilai aspek-
aspek persatuan komunal pada gamelan. Yang paling banyak pada gamelan Bali adalah kelompok-kelompok sebuah
kawasan atau desa. Tujuan yang paling utama kelompok ini adalah dasar-dasar dari demokrasi, juga keseluruhan
integrasi pada kehidupan sosial dan

202
Bab XI. Bali dan Nusatenggara
ritual komunitasnya. Demikian sekilas
melangkah ke budaya musik di Nusa Tenggara Barat musik
(NTB). tradisional Bali. Selaanjutnya kita

11.4 Nusa Tenggara Barat


Nusa Tengpra Barat diresmikan sebagai sebuah propinsi pada tanggal 17 Desember 1958, terletak pada
gugusan kepulauan Nusa Tenggara. Penduduknya terdiri dari 3 etnik yang sampai sekarang dianggap sebagai
penduduk asli . Ketiga etnis itu adalah: Sasak, Sumawa, dan Mbojo. Ketiga etnik ini masing-masing memiliki
bahasa, adat istiadat, kesenian, busana, dan permainan tradisional sendiri-sendiri.
Peralatan musik tradisional di Nusa Tenggara Barat adalah sebagai berikut. (1) Silu adalah salah satu jenis
alat musik dari daerah Bima, silu termasuk golongan alat musik tiup (ufi). Bahan untuk membuat silu adalah jenis
kayu sawo, perak, dan daun lontar. Tidak ada aturan-aturan tertentu untuk memilih bahan. Khusus kayu sawo sebagai
bahan pokok dicari kayu sawo yang sudah tua, dan dipilih yang besamya sesuai dengan keperluan. Silu yang ada
sekarang ini kebanyakan adalah silu yang merupakan
peninggalan zaman dahulu, jika rusak diperbaiki bagian-bagiannya. Silu dahulu dibuat oleh petugas-petugas
khusus istana yang disebut renda. Nada-nada pada silu sangat sulit
ditentukan, namun demikian dapat diamati sistem penjariannya. Antara lain sistem penjarian yang dipakai
adalah sebagai berikut: 1. Semua lubang baik di depan 7 dan di belakang 1 buah ditutup. 2. Lubang depan ketujuh
dibuka, lainnya ditutup. 3. Lubang depan keenam dibuka, lainnya ditutup. 4. Lubang depan kedua dibuka, lainnya
ditutup. Fungsi silu adalah sebagai pembawa melodi dalam ansambel musik Bima. Satu perangkat musik Bima, terdiri
dari silu, no (gong), 2 buah genda (gendang). Biasanya dipergunakan untuk mengiringi tari-tarian istana Bima pada
upacara Maulud Nabi, upacara pelantikan raja, khitanan, dan upacara-upacara lain di istana. Silu tidak pernah
dimainkan secara tunggal. Fungsi silu adalah sebagai pembawa melodi dalam orkestra musik daerah Bima.
Lagu-Jagu yang dimainkan oleh silu adalah lagu-lagu pengiring tari istana seperti Tan Katubu, Karaenta,
Lenggo, Manca, Sere, dan lain-lain.
(2) Serune adalah sebuah alat musik tiup dari Sumbawa. Serune termasuk alat musik golongan aerofon yang
berlidah. Memang jumlah lidahnya termasuk tipe klarinet karena lidahrnya hanya satu, yang menurut bahasa setempat,
lidah ini disebut ela. Bentuk tabungnya adalah konis. Serumung ode (cerobong kecil) merupakan bagian yang ditiup
dan berfungsi untuk menahan nafas agar tetap ada. Serumung lolo (batang) merupakan bagian yang dilubangi untuk
sistem penjarian. Sedang serumung rea (cerobong besar) berfungsi sebagai resonator. Anak lolo merupakan bagian
lolo, yang lebih kecil, dan di sinilah terdapat ela (lidah) yang merupakan sumber suara. Serune dibuat dari 2 baban
pokok yaitu buluh Oknis (bambu kecil) dan daun lontar. Pada lolo terdapat 6 bongkang (lubang) di atas, dan satu
lubang di bawah. Cara melubangi dilakukan dengan
menggunakan kawat besar yang dibakar. Jarak antara lubang yang satu dengan lubang yang lain diukur
dengan mengambil ukuran keliling lolo. Tehnik bermain serune adalah mula-mula menarik nafas, melalui hidung,
disimpan di rongga mulut, lalu dikeluarkan
melalui tiupan. Meniup serune tidak menggunakan lidah, cukup dengan hembusan udara
Masyarakat Kesenian di Indonesia
dalam mulut. Untuk memperoleh suara serune yang tepat dan mantap, pertu keahlian dan pengalaman. Serune tidak
berfungsi sebagai alat musik yang sakral, oleh karena itu dapat dimainkan oleh siapa saja yang berminat.
(3)Gambo adalah alat musik berdawai yang bentuknya seperti gitar yang tidak berlekuk. Gumbo termasuk
alat musik kordofon jenis lute. Bahan gambo adalah kayu,
kulit kambing, dan senar plastik. Bagian-bagian gambo adalah sebagai betikut: tuta (kepala), terdapat alat penyetem
sebanyak 6 buah; wo-o (leher); kewa (membran) yang tetbuat dari kulit kambing, yang berfungsi sebagat resonator.
Kulit kambing ini dipaku pada bagian badan gambo, dengan diberi bingkai penguat dan rotan; kaki yang
tersambung dengan bagian perut dan leher; ai gambo (dawai), terbuat dari bahan senar plastik. Tula (pengganjal),
berfungsi sebapi penyekat antara senar dan membran kulit. Jempa, yaitu tempat berkaitnya dawai. Pada gambo tidak
terdapat omamen-omamen yang mengandung makna simbolis. Gambo semata-mata merupakan alat musik hiburan
terutama di waktu senggang.
(4)Pereret merupakan salah satu jenis alat musik tiup dari daerah Lombok.
Pereret termasuk alat musik aerofon (tabung berlidah) tipe hobo karena memiliki lebih dari satu lidah. Pembuatan
pereret pada umumnya lebih dititikberatkan pada segi musikalitas daripada segi artistiknya. Oleh karena itu pereret
tidak diberi ornamen-ornamen. Namun secara visual bentuk pereret sendiri sudah artistik. Untuk memperoleh nada-
nada yang diinginkan, dipergunakan sistem penjarian tertentu, yaitu: 1. Lubang I dan lubang bawah dibuka, lubang
lainnya ditutup, akan mengbasflkan nada e. 2. Semua lubang ditutup, kecuali lubang bawah akan menghasilkan nada
a. 3. Lubang 2 dibuka, lubang lainnya ditutup, menghasilkan nada g. 4. Lubang 3 dibuka, lubang lainnya ditutup akan
menghasilkan. nada a. Cara menyetem pereret, dengan mengatur letak sripit (lidah). Untuk memperoleh nada yang
sempuma, tergantung pada ketepatan hembusan (kembung-kempisnya) rongga mulut. Untuk membuat pereret, perlu
dicari hari baik yang jatuh pada perhitungan pasaran paing dan sesajen.
(5)Genggong termasuk alat idiofon jenis jaw's harp. Selain sebagai alat musik, genggong juga merupakan
nama orkestra yang alat utamanya adalah genggong, dipadukan dengan alat lain seperti suling, rincik, petuk, dan
gong. Bahan pokok untuk membuat genggong adalah pelepah daun enau yang sudah tua. Untuk memperoleh
genggong yang bagus, selain pelepah datin enaunya harus tua hendaknya dican pelepah enau yang tumbuhnya
berdekatan dengan pohon lain terutama bambu, sehingga selalu bergesekan satu swna lain dengan dahan atau daun
pohon tersebut. Untuk membuat talinya, dahulu digunakan ambung nanas yaitu serat daun nanas. Sedang danda
(pegangan tali) dibuat dari duri landak. Sekarang talinya dan benang dan danda dan kayu atau bambu. Genggong
ada 2 macam, yaitu: genggong lanang dan genggong wadon. Secara fisik, keduanya tidak dapat dibedakan, yang
membedakan hanyalah suaranya. Dahulu genggong berfungsi sebagat penghibur diri, namun dalam
perkembangan selanjutnya
genggong berkembang menjadi orkestra dengan menambah alat musik lain, yaitu suling, rincik, petuk, dan gong.,
Genggong tidak pernah digunakan dalam upacara-upacara adat
204
Bab XI. Bali dan Nusatenggara
seperti perkawman, karena suaranya yang sangat lunak sehmgga kurang berfungsi dalam acara-acara tersebut.
(6) Palompong termasuk alat musik idiofon. Palompong hanya lerdiri dari 3 atau
5 bilah saja dan dipukul dengan satu alat pemukul yang dipegang tangan kanan. Bahan untuk membuat
palompong adalah jenis kayu yang ringan. Dulu hanya musikal auditif yang dipentingkan, sekarang baik unsur
musikal maupun artistik sama-sama diperhatikan. Oleh karena itu palompong diberi wadah yang disebut Bale
Palompong. Sebagai resonator di bawah bilah-bilah palompong dibuat tabung-tabung dari kaleng yang besar
kecilnya akan menentukan produksi suara. Bale Palompong biasanya dihias dengan bermacam-macam ornamen.
Semakin dalam cengkoak (parit) yang ada di bawah palompong semakin rendah suara yang dihasilkan. Biasanya
palompong dimainkan untuk mengiringi tari-tarian pada saat irama cepat. Palompong dipukul dengan alat pemukul
sebanyak 2 buah, masing-masing dipukul dengan tangan kiri dan tangan kanan. Palompong sangat merakyat, oleh
karena itu ia dapat dimiliki oleh siapa saja.
(7)Suling loang telu memilild 3 lubang, yaitu 2 di atas untuk sistem penjarian dan satu di bawah untuk ibu
jari. Sekarang ditambah satu lagi, namun namanya tetap suling loang telu. Suling loang telu termasuk alat musik
aerofon tanpa lidah tipe whistle flute, yaitu jenis suling bambu yang bercincin. Suling loang telu mempunyai bagian-
bagian sebagai berikut: 1. Seleper (cincin), terdiri dari segabung rautan bambu tipis, dapat juga bambu utuh untuk
diraut. 2. Loang lelet, yaitu lubang yang terdapat di bawah sleeper. 3. Awak suling (badan suling) 4. Loang alas
(lubang atas), banyaknya 3 buah 5. Loang bawak (lubang bawah), satu buah. Suling loang telu dibuat dari satu jenis
bilok (buluh) yang disebut bilok gres (buluh pasir). Menyetem untuk memperoleh. suara yang diinginkan dilakukan
dengan jalan melebarkan atau memperdalam langan angin (jalan angin), yaitu sebuah saluran pipih yang terdapat di
bawah sleper, lurus dengan loang lelet. Pada empat generasi yang lalu alat ini merupakan suling yang bertuah, dan
khusus dipergunakan untuk memikat hati dedara (gadis) idaman. Suling loang telu biasanya dimiliki oleh perorangan
dan sekarang ini tidak lagi dipakai di acara-acara tertentu. Bila dimainkan dengan alat-alat musik lain dalam sebuah
orkestra, suling loang telu berfungsi sebagai pembawa melodi.
(8)Rebana termasuk alat musik membranofon. Rebana biasanya merupakan suatu musik orkestra yang
semua alat musiknya adalah rebana. Hanya besar kecilnya saja yang membedakan nadanya. Bahan pembuat rebana
terdiri dari kayu, kulit, rotan dan kawat. Kulit sapi atau kerbau tidak baik untuk membuat rebana karena terlalu tebal
sehingga suara yang dibasilkan kurang bagus. Bahan yang dipergunakan sebagai pengikat adalah rotan. Rotan juga
dipergunakan untuk menutup atau membirigkai bagian antara penampang kulit rebana dengan badan rebana. Fungsi
rebana sebagai alat musik adalah sebagai alat perkusi. Namun dalam gamelan rebana berfungsi sebagai pembawa
melodi, dengan diperkuat oleh suling. Rebana biasanya dipakai dalam memeriahkan upacara perkawinan, khitanan
atau perayaan-perayaan di masyamkat. Cara memainkan rebana ada dua macam, yaitu dipukul dengan tangan dan
dipukul dengan alat pemukul. Di Lombok pada umumnya rebana dipukul dengan alat pemukul.

205
Masyarakat Kesenian di Indonesia
(9)Rebana rea adalah salah satu jenis alat musik rebana yang khas karena ukurannya yang besar dan hanya
ada di Sumbawa. Rebana rea termasuk alat musik membranofon. Bahkan yang dipergunakan untuk membuatnya
adalah kayu, kulit kambing, dan rotan. Adapun bagian-bagian rebana rea adalah sebagai benkut: 1. lenong, kulit; 2.
rengkan:, dua utas rotan yang merekatkan kendang dengan sematang; 3. sematang, badan rebana yang dibuat dari
batang kayu dan berbentuk seperti mangkuk; 4. lobang, lobang resonator. Di dalam rongga dimasukkan rotan yang
disebut we rebana rea yang fungsinya adalah untuk mengencangkan kulit, atau untuk menyetem. Untuk memasukkan
we digunakan alat yang disebut pelajo. Fungsi rebana rea ini adalah mengiringi lagu-Jagu yang syaimya berbahasa
Arab. Kesenian yang diiringi rebana rea ini disebut ratib rebana rea yang umumnya berfungsi untuk syi’ar agama
Islam.
(10)Gendang belek tennasuk slat musik membranofon yang dipukul dengan alat pemukul yang disebut
dengan pemantok gendang. Bahan pembuat gendang belek adalah kayu tap, sejenis kayu yang getahnya dapat dipakai
untuk menangkap burung. Membrannya terbuat dari kulit sapi dan talinya juga terbuat dari kulit sapi. Untuk
membuat sebuah gendang belek diperlukan kayu yang sudah tua, namun ringan dan tak mudah pecah, dan tak mudah
dimakan hama kayu. Gendang belek ada dua macam, Gendang mama dan gendang nina. Perbedaannya bukan terletak
pada bentuk fisiknya melainkan suara yang dihasilkannya. Suara yang relatif rendah adalah gendang mama dan
yang relatif tinggi adalah nina.
Di samping itu, di Nusa Tenggara Barat ini dijumpai juga peralatan teater tradisonal dari daerah ini. Ada tiga
jenis teater yang mempergunakan topeng, yaitu tetaer Amak Darmi, Amak Abir, dan Cupak Gerantang. Alat-alatnya
adalah sebagai berikut: Tapel Amak Darmi adalah tapel (topeng) yang dipakai oleh tokoh Amak Darmi sebagai tokoh
utama teater ini. Semua pemain menggunakan tapel, yaitu tapel Ida, Jempiring, dan Amak Pang. Kemudian ada
pula teater Tapel Amak Abir. Semua pemain dalam teater ini menggunakan topeng. Topeng Ida dipakai oleh Raja,
topeng Amak Tempenges dipakai oleh Panakawan dan topeng haji dipakai oleh penasihat. Topeng Amak Abir ini bisa
membuat orang kemasukan. Selanjutnya yang ketiga adalah teater Topeng Cupak Gerantang, yang menggunakan
tapel cupak, yaitu berupa topeng yang dipakai oleh tokoh Cupak, yang memiliki sifat kurang terpuji, sedangkan
Gerantang memiliki sifat yang sangat berlawanan.

Daftar Pustaka untuk Memperdalam Kajian


A. Ubani, 1992. Kebudayaan Nusantara. Jakarta: Gunung Agung.
Belo, Jane, 1970. Traditional Balinese Culture. New York: Columbia University Press. Holt, Claire, 1967.
Art in Indonesia: Continuities and Change. New York: Cornell University Press.

206
Masyarakat Kesenian di Indonesia

BAB XII

MASYARAKAT DANKSENIAN SULAWESI


12.1 Pengantar
Sulawesi adalah sebuah pulau milik Indonesia yang terletak di antara Pulau Kalimantan dan Kepulauan
Maluku. Dengan luas wilayah sebesar 174.600 km². Sulawesi merupakan pulau terbesar ke-11 sedunia. Sulawesi
berbatasan dengan Borneo di sebelah barat, Filipina di utara, Flores di selatan, Timor di tenggara dan Maluku di
sebelah timur. Sulawesi terdiri dari enam provinsi, yakni: (1) Gorontalo,
(2) Sulawesi Barat, (3) Sulawesi Selatan, (4) Sulawesi Tengah, (5) Sulawesi Tenggara, dan (6)
Sulawesi Utara.
Sulawesi merupakan pulau terbesar kelima di Indonesia setelah Papua,
Kalimantan dan Sumatera dengan luas daratan 227.654 kilometer persegi. Bentuknya yang unik
menyerupai bunga mawar laba-laba yang membujur dari utara ke selatan dan tiga semenanjung yang membujur
ke timur laut, timur dan tenggara. Pulau ini dibatasi oleh Selat Makasar di bagian barat dan terpisah dari
Kalimantan serta dipisahkan juga dari Kepulauan Maluku oleh Laut Maluku. Pemerintahan di Sulawesi dibagi
menjadi enam propinsi yaitu propinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Sulawesi Barat, dan Gorontalo. Sulawesi Tengah merupakan propinsi terbesar dengan luas wilayah daratan
68,033 kilometer persegi dan luas laut mencapai 189,480 kilometer persegi yang mencakup semenanjung bagian
timur dan sebagian semenanjung bagian utara serta Kepulauan Togean di Teluk Tomini dan pulau-pulau di
Banggai. Kepulauan di Teluk Tolo. Sebagian besar daratan di propinsi ini bergunung-gunung (42.80% berada di
atas ketinggian 500 meter dari permukaan laut) dan Katopasa adalah gunung tertinggi dengan ketinggian 2.835
meter cari permukaan laut.

12.2 Gorontalo
Gorontalo adalah provinsi yang ke-32 di Indoonesia. Sebelumnya, Gorontalo merupakan wilayah
kabupaten di Sulawesi Utara. Seiring dengan munculnya pemekaran wilayah berkenaan dengan otonomi daerah,
provinsi ini kemudian dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2000 tertanggal 22 Desember
2000. Provinsi Gorontalo terletak di pulau Sulawesi bagian utara atau di bagian barat Sulawesi Utara. Luas
wilayah provinsi ini 12.215 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 887.000 jiwa (2004). Kabupaten dan kota di
208
Grontalo adalah: (1) Kabupaten GorontaloGorontalo, (2) Kota Gorontalo, (3) Kabupaten
Daftar Pustaka

BoalemoMarisa/Tilamuta, (4) Kabupaten Bone Bolango Suwawa, (5)Kabupaten Pohuwato Marisa, (6) Kabupaten
Gorontalo Utara.
Sebenarnya ada banyak bahasa daerah di Gorontalo. Namun hanya tiga bahasa yaitu: bahasa Gorontalo,
Suwawa, dan Atinggola. Dalam proses lahirnya bahasa yang ada khusus untuk bahasa daerah adalah bahasa
Gorontalo. Saat ini bahasa Gorontalo telah dipengaruhi oleh bahasa Indonesia, sehingga kemurnian bahasa agak
sulit diperoleh di Gorontalo.
Gorontalo seperti daerah lainnya di Indonesia pernah lama dijajah oleh Belanda akan tetapi lebih dahulu
merdeka ketimbang Indonesia. Gorontalo merdeka pada tahun 1942 ketika penjajah Belanda digantikan oleh
Jepang. Pada tanggal 23
Januari 1942 itulah Gorontalo merdeka dengan perjuangan rakyat bersama tokoh pejuang heroiknya
yaitu Nani Wartabone dan Kusno Danupoyo.

12.3 Sulawesi Selatan


Sulawesi Selatan adalah sebuah provinsi di Indonesia, yanng terletak di bagian selatan Pulau Sulawesi.
Ibukotanya adalah Makassar, dahulu disebut Ujungpandang. Provinsi Sulawesi Selatan terletak di 0°12' - 8°
Lintang Selatan dan 116°48' - 122°36' Bujur Timur. Luas wilayahnya 62.482,54 km². Provinsi ini berbatasan
dengan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat di utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di timur, Selat Makassar
di barat, dan Laut Flores di selatan. Suku bangsa di Sulawesi Selatan adalah: Makassar, Bugis, Mandar, Toraja,
dan Duri (Massenrenpulu). Bahasa yang umum digunakan adalah Makassar, Bugis, Luwu, Toraja, , dan Konjo.
Mayoritas beragama Islam, kecuali di Kabupaten Tana Toraja dan sebagian wilayah lainnya beragama Kristen.
Lima tahun setelah kemerdekaan, pemerintah mengeluarkan UU Nomor 21 Tahun 1950,
yang menjadi dasar hukum berdirinya Propinsi Administratif Sulawesi. 10 tahun kemudian, pemerintah
mengeluarkan UU Nomor 47 Tahun 1960 yang mengesahkan terbentuknya Sulawesi Selatan dan Tenggara. 4
tahun kemudian, melalui UU Nomor 13 Tahun 1964 pemerintah memisahkan Sulawesi Tenggara dari Sulawesi
Selatan. Terakhir, pemerintah memecah Sulawesi Selatan menjadi dua, berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2004.
Kabupaten Majene, Mamasa, Mamuju, Mamuju Utara dan Polewali Mandar yang tadinya merupakan
kabupaten di provinsi Sulawesi Selatan
resmi menjadi kabupaten di provinsi Sulawesi Barat seiring dengan berdirinya provinsi tersebut pada
tanggal 5 Oktober 2004 berdasarkan UU Nomor 26 Tahun
2004. Kabupaten dan Kota: (1) Kabupaten Selayar ibukotanya Bantaeng, (2) Kabupaten Bulukumba
ibukotanya Bulukumba, (3) Kabupaten Bantaeng ibukotanya Bantaeng, (4) Kabupaten Jeneponto Jeneponto, (5)
Kabupaten Takalar ibukotanya Takalar, (6) Kabupaten Gowa ibukotanya Sunggu Minasa, (7) Kabupaten
Sinjai
Masyarakat Kesenian di Indonesia

ibukotanya Sinjai, (8) Kabupaten Bone ibukotanya Watampone, (9) Kabupaten Maros ibukotanya Maros, (10)
Kabupaten Kepulauan Pangkajene ibukotanya Pangkajene,
(11) Kabupaten Barru ibukotanya Barru, (12) Kabupaten Soppeng ibukotanya Watan Soppeng, (13) Kabupaten
Wajo ibukotanya Sengkang, (14) Kabupaten Sidenreng ibukotanya Rappang Sidenreng, (15) Kabupaten Pinrang
ibukotanya Pinrang, (16) Kabupaten Enrekang ibukotanya Enrekang, (17) Kabupaten Luwu ibukotanya Palopo,
(18) Kabupaten Tana Toraja ibukotanya Makale, (19) Kabupaten Luwu Utara ibukotanya Masamba, (20)
Kabupaten Luwu Timur ibukotanya Malili, (21) Kota Makassar, (22) Kota Pare-Pare, dan (23) Kota Palopo. Pada
tahun 2008 Kabupaten Toraja Utara dijadwalkan terbentuk, menyusul terbitnya Amanat Presiden
Yudhoyono, bernomor R.68/Pres/12/2007, pada tanggal 10 Desember 2007, mengenai pemekaran 12
kabupaten/kota.

12.4 Sulawesi Utara


Lambang Sulawesi Utara "Si Tou Timou Tumou Tou" (Bahasa Minahasa: "Manusia hidup untuk
menghidupi/menjadi berkat bagi orang lain"). Dasar hukum UU 13/1964. Tanggal penting14 Agustus 1959
(hari jadi). Ibu kota Manado. Luas15.364,08 km². Penduduk2.199.117 (2008). Jumlah Kabupaten 9, Kodya/Kota
4, Kecamatan 100, Kelurahan/Desa 1.196. Suku bangsa yangmenghuni Sulawesi Utara adalah Minahasa (40%),
Suku Sangir (19,8%), Suku Bolaang Mongondow (11,3%), Suku Gorontalo (7,4%). Agama yang dianut
penduduknya Agama Protestan (65%), Islam (28,4%), Katolik (6%), lainnya (0,6%). Zona waktu Waktu
Indonesia Tengah/WITA (yaitu GMT+08:00). Lagu Daerah: Si Patokaan dan O Inani Keke.
Provinsi Sulawesi Utara terletak di jazirah Pulau Sulawesi (hampir berbentuk huruf K). Provinsi
Sulawesi Utara terdiri dari beberapa kabupaten dan Kota. Ibukota Sulawesi Utara adalah Manado. Kabupaten dan
Kota: (1) Kabupaten Bolaang Mongondow ibukotanya Kotamobagu; (2) Kabupaten Minahasa ibukotanya
Tondano;
(3) Kabupaten Kepulauan Sangihe ibukotanya Tahuna; (4) Kabupaten Kepulauan Talaud ibukotanya
Melonguane; (5) Kabupaten Minahasa Selatan ibukotanya Amurang; (6) Kabupaten Minahasa Utara ibukotanya
Airmadidi; (7) Kabupaten Minahasa Tenggara ibukotanya Ratahan; (8) Kabupaten Bolaang Mongondow Utara
ibukotanya Boroko; (9) Kabupaten Kepulauan Siau Tagolandang ibukotanya Biaro Ondong Siau; (10) Kota
Manado, (11) Kota Bitung, (12) Kota Tomohon, dan (13) Kota Kotamobagu.

12.5 Sulawesi Tenggara


Dasar hukumUU 13/1964, tanggal penting 22 September 1964 sebagai hari jadinya, ibukota Kendari,
luas38.140 km², jumlah keseluruhan enduduk1.959.414 (sensus tahun 2005). Jumlah kabupaten 10, kodya/kota
2, kecamatan 104,
Daftar Pustaka

kelurahan/desa 1.529. Adapun suku-suku bangsa yang mendiami Sulawesi Tenggara adalah Suku Tolaki, Suku
Buton, Suku Muna, dan Suku Moronene. Agama yang dianut oleh penduduk adalah AgamaIslam, Kristen, dan
Hindu. Zona waktu adalah Waktu Indonesia Tengah (WITA). Sementara itu, lagu daerahnya Peia Tawa-tawa.
Sulawesi Tenggara adalah sebuah provinsi di Indonesia yang beribukotakan Kendari. Provinsi Sulawesi Tenggara
terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi, secara geografis terletak di bagian selatan garis khatulistiwa di antara
02°45' - 06°15' Lintang Selatan dan di antara 120°45' - 124°30' Bujur Timur dan mempunyai wilayah daratan
seluas 38.140 km² atau 3.814.000 ha dan wilayah perairan (laut) seluas 110.000 km² atau 11.000.000 ha.
Berdasarkan sejarah, Sulawesi Tenggara ditetapkan sebagai Daerah Otonom berdasar Perpu No. 2 tahun
1964 Juncto UU No. 13 Tahun 1964. Pada awalnya terdiri atas 4 (empat) kabupaten yaitu: Kabupaten Kendari,
Kabupaten Kolaka, Kabupaten
Muna, dan Kabupaten Buton dengan Kota Kendari sebagai ibukota provinsi. Setelah pemekaran,
Sulawesi
Tenggara mempunyai 10 kabupaten dan 2 kota.
Pada tahun 1990 jumlah penduduk Sulawesi Tenggara sekitar 1.349.619 jiwa. Kemudian tahun 2000
meningkat menjadi 1.776.292 jiwa dan berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik
tahun 2005 adalah sejumlah 1.959. 414 jiwa. Laju pertumbuhan penduduk Sulawesi Tenggara selama tahun 1990-
2000 adalah 2,79% per tahun dan tahun 2004-2005 menjadi 0,02. Laju pertumbuhan penduduk menurut
kabupaten selama kurun waktu 2004-2005 hanya kota Kendari dan Kabupaten Muna yang menunjukan
pertumbuhan yang positif yaitu 0,03 % dan 0,02 % per tahun, sedangkan kabupaten yang lain menunjukkan
pertumbuhan negatif. Struktur umur penduduk Sultra pada tahun 2005, penduduk usia di bawah 15 tahun
700.433 jiwa /35,75% dari total penduduk. Sedangkan penduduk perempuan mencapai 984.987 jiwa
(20.27%) dan penduduk laki-laki mencapai 974.427 jiwa (49,73%).
Beberapa komoditi unggulan Sulawesi Tenggara, antara lain: pertanian, meliputi kakao, mete, kelapa,
cengkeh, kopi, pinang lada dan vanili. Kehutanan, meliputi kayu gelondongan dan kayu gergajian. Perikanan,
meliputi perikanan darat dan perikanan laut. Peternakan, meliputi sapi, kerbau dan kambing. Pertambangan,
meliputi marmer, batu setengah permata, onix, batu gamping dan tanah liat
Kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Tenggara adalah sebagai berikut:
(1) Kabupaten Kolaka ibukotanya Kolaka; (2) Kabupaten Konawe ibukotanya Unaaha; (3) Kabupaten
Muna ibukotanya Raha; (4) Kabupaten Buton ibukotanya Bau-Bau; (5) Kabupaten Konawe Selatan ibukotanya
Andolo; (6) Kabupaten Bombana ibukotanya Rumbia; (7) Kabupaten Wakatobi ibukotanya Wangi-Wangi; (8)
Kabupaten Kolaka Utara ibukotanya Lasusua; (9) Kabupaten Konawe Utara

211
Masyarakat Kesenian di Indonesia

ibukotanya Wanggudu; (10) Kabupaten Buton Utara ibukotanya Buranga; (11) Kota Kendari; (12) Kota Bau-Bau.

12.6 Sulawesi Tengah


Dasar hukumUU 13/1964, tanggal penting13 April 1964 (hari jadi), ibu kotanya Palu, luas 68.089,83
km². Jumlah enduduk2.242.914 (2004). Jumlah kabupaten 9, kodya/kota 1, kecamatan79, kelurahan/desa 1.423.
Suku-suku bangsa yang mendiami Provinsi Sulawesi Tengah sangat banyak, di antaranya adalah Suku
Pamona,Suku Mori,Suku Kaili, Suku Kulawi, Suku Tomini, Suku Bore, Suku Bungku, Suku Saluan, Suku
Balantak, Suku Banggai, Suku Buol, dan Suku Toli-toli. Agama yang dianut penduduknya adalah Agama Islam,
Protestan, dan Katolik. Bahasa nasional adalah bahasa Indonesia, ditambah bahasa suku Pamona, Mori, Kaili,
dan lain-lain. Zona waktu adalah Waktu Indonesia Tengah (WITA). Lagu daerahnya adalah Tondok Kadadingku,
Rano Poso, dan Wita Mori.
Sejarah terbentuknya daeah Sulawesi Tengah adalah sebagai berikut. Wilayah provinsi Sulawesi
Tengah, sebelum jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda, merupakan sebuah Pemerintahan Kerajaan yang
terdiri atas 15 kerajaan di bawah kepemimpinan para raja yang selanjutnya dalam sejarah Sulawesi Tengah
dikenal dengan julukan Tujuh Kerajaan di Timur dan Delapan Kerajaan di Barat. Semenjak tahun 1905, wilayah
Sulawesi Tengah seluruhnya jatuh ke tangan Pemerintahan Hindia Belanda, dari Tujuh Kerajaan Di Timur dan
Delapan Kerajaan di Barat, kemudian oleh Pemerintah Hindia Belanda dijadikan Landschap-landschap atau
Pusat-pusat Pemerintahan Hindia Belanda yang meliputi, antara lain: (a) Poso Lage di Poso, (b) Lore di Wianga,
(c) Tojo di Ampana, (d) Pulau Una-una di Una- una, (e) Bungku di Bungku, (f) Mori di Kolonodale, (g)
Banggai di Luwuk, (h) Parigi di Parigi, (i) Moutong di Tinombo, (j) Tawaeli di Tawaeli, (k) Banawa di
Donggala, (l) Palu di Palu, (m) Sigi/Dolo di Biromaru, (n) Kulawi di Kulawi, dan (o) Tolitoli di Tolitoli.
Dalam perkembangannya, ketika Pemerintahan Hindia Belanda jatuh dan sudah tidak berkuasa lagi di
Sulawesi Tengah serta seluruh Indonesia, Pemerintah Pusat kemudian membagi wilayah Sulawesi Tengah
menjadi 3 (tiga) bagian yakni: Sulawesi Tengah bagian Barat, meliputi wilayah Kabupaten Poso, Kabupaten
Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Pembagian wilayah ini didasarkan pada Undang-undang Nomor 29 Tahun
1959, tentang pembentukan Daerah-daerah Tingkat II di Sulawesi. Sulawesi Tengah bagian Tengah (Teluk
Tomini), masuk Wilayah Karesidenan Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1919, seluruh Wilayah Sulawesi
Tengah masuk Wilayah Karesidenen Sulawesi Utara di Manado. Pada tahun 1940, Sulawesi Tengah dibagi
menjadi 2 Afdeeling yaitu Afdeeling Donggala yang meliputi

212
Daftar Pustaka

Tujuh Onder Afdeeling dan Lima Belas Swapraja. Sulawesi Tengah bagian Timur (Teluk Tolo) masuk Wilayah
Karesedenan Sulawesi Timur Bau-bau.
Tahun 1964 dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 1964 terbentuklah
Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah yang meliputi empat kabupaten yaitu Kabupaten Donggala, Kabupaten Poso,
Kabupaten Banggai dan Kabupaten Buol Tolitoli. Selanjutnya Pemerintah Pusat menetapkan Propinsi Sulawesi
Tengah sebagai Provinsi yang otonom berdiri sendiri yang ditetapkan dengan Undang-undang Nomor 13 Tahun
1964 tentang Pembentukan Provinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah dan selanjutnya tanggal pembentukan
tersebut diperingati sebagai Hari Lahirnya Provinsi Sulawesi Tengah. Dengan perkembangan
Sistem Pemerintahan dan tutunan Masyarakat dalam era Reformasi yang menginginkan adanya
pemekaran Wilayah menjadi Kabupaten, maka Pemerintah
Pusat mengeluarkan kebijakan melalui Undang-undang Nomor 11 tahun 2000 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 51 Tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Buol, Morowali dan Banggai
Kepulauan. Kemudian melalui Undang- undang Nomor 10 Tahun 2002 oleh Pemerintah Pusat terbentuk lagi 2
Kabupaten baru di Provinsi Sulawesi Tengah yakni Kabupaten Parigi Moutong dan Kabupaten Tojo Una-Una.
Kini berdasarkan pemekaran wilayah kabupaten, provinsi ini terbagi menjadi 10 daerah, yaitu 9 kabupaten dan 1
kota.
Sulawesi Tengah juga memiliki beberapa sungai, diantaranya sungai Lariang yang terkenal sebagai
arena arung jeram, sungai Gumbasa dan sungai Palu. Juga
terdapat danau yang menjadi obyek wisata terkenal yakni Danau Poso dan Danau Lindu. Sulawesi
Tengah memiliki beberapa kawasan konservasi seperti suaka alam,
suaka margasatwa dan hutan lindung yang memiliki keunikan flora dan fauna yang sekaligus menjadi
obyek penelitian bagi para ilmuwan dan naturalis. Ibukota Sulawesi Tengah adalah Palu. Kota ini terletak di
Teluk Palu dan terbagi dua oleh Sungai Palu yang membujur dari Lembah Palu dan bermuara di laut.
Kabupaten dan Kota Sulawesi Tengah adalah: (1) Kabupaten Banggai ibukotanya Luwuk; (2)
Kabupaten Poso ibukotanya Poso; (3) Kabupaten Donggala ibukotanya Donggala; (4) Kabupaten Toli-Toli
ibukotanya Toli-Toli; (5) Kabupaten Buol ibukotanya Buol; (6) Kabupaten Morowali ibukotanya Bungku; (7)
Kabupaten Banggai Kepulauan ibukotanya Banggai; (8) Kabupaten Parigi Moutong ibukotanya Parigi; (9)
Kabupaten Tojo Una-Una ibukotanya Ampana; dan (10)Kota Palu.
Penduduk asli Sulawesi Tengah terdiri atas 15 kelompok etnik atau suku bangsa, yaitu: (1) Etnik
Kaili berdiam di kabupaten Donggala dan kota Palu; (2)
Etnik Kulawi berdiam di kabupaten Donggala; (3) Etnik Lore berdiam di kabupaten Poso; (4) Etnik
Pamona berdiam di kabupaten Poso; (5) Etnik Mori berdiam di kabupaten Morowali; (6) Etnik Bungku berdiam
di kabupaten Morowali; (7) Etnik Saluan atau Loinang berdiam di kabupaten Banggai; (8) Etnik Balantak
berdiam di
Masyarakat Kesenian di Indonesia

kabupaten Banggai; (9) Etnik Mamasa berdiam di kabupaten Banggai; (10) Etnik Taa berdiam di kabupaten
Banggai; (11) Etnik Bare'e berdiam di kabupaten Touna; (12) Etnik Banggai berdiam di Banggai Kepulauan; (13)
Etnik Buol mendiami kabupaten Buol; (14) Etnik Tolitoli berdiam di kabupaten Tolitoli; dan (15) Etnik Tomini
mendiami kabupaten Parigi Moutong. Di samping 15 kelompok etnik, ada beberapa suku terasing hidup di
daerah pegunungan seperti suku Da'a di Donggala, suku Wana di Morowali, suku Seasea di Banggai dan suku
Daya di Buol Tolitoli. Meskipun masyarakat Sulawesi Tengah memiliki sekitar 22 bahasa yang saling berbeda
antara suku yang satu dengan yang lainnya, namun masyarakat dapat berkomunikasi satu sama lain
menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar sehari-hari. Selain penduduk asli,
Sulawesi Tengah dihuni pula oleh transmigran seperti dari Bali, Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara
Timur dengan masyarakat Bugis dan Makasar serta Etnik lainnya di Indonesia sejak awal abad ke 19 dan sudah
membaur. Jumlah penduduk di daerah ini sekitar 2.128.000 jiwa yang mayoritas beragama Islam, lainnya Kristen,
Hindu dan Budha. Tingkat toleransi beragama sangat tinggi dan semangat gotong-royong yang kuat merupakan
bagian dari kehidupan masyarakat.
Pertanian merupakan sumber utama mata pencaharian penduduk dengan padi sebagai tanaman utama.
Kopi, kelapa, kakao dan cengkeh merupakan tanaman perdagangan unggulan daerah ini dan hasil hutan berupa
rotan, beberapa macam kayu seperti agatis, ebony dan meranti yang merupakan andalan Sulawesi Tengah.
Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan diketuai oleh ketua adat di samping pimpinan pemerintahan seperti
Kepala Desa. Ketua adat menetapkan hukum adat dan denda berupa kerbau bagi yang melanggar. Umumnya
masyarakat yang jujur dan ramah sering mengadakan upacara untuk menyambut para tamu seperti persembahan
ayam putih, beras, telur dan tuak yang difermentasikan dan disimpan dalam bambu.
Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi yang menyangkut
aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya
yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh
agama. Karena banyak kelompok Etnik mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di
antara Etnik tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai
bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan
masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado,
terlihat dari dialek daerah Luwuk, dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.
Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi upacara perkawinan.
Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan

214
Daftar Pustaka

zaman Hindu. Pusat-pusat penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem
tenun ikat ganda yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih dapat ditemukan.
Sementara masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi
Selatan. Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti
contohnya ialah mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional
Sulawesi Tengah terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang hanya memiliki satu ruang besar. Lobo
atau duhunga merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi
merupakan rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri.
Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan
keraba-semacam blus yang dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan
pengaruh kerajaan Eropa. Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang
panjangnya hingga lutut. Daster atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala
yang berwarna-warni dan parang yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.
Penduduk Sulawesi Tengah sebagian besar memeluk agama Islam. Tercatat 72.36% penduduk memeluk
agama Islam, 24.51% memeluk agama Kristen dan 3.13% memeluk agama Hindu dan Budha. Islam disebarkan di
Sulawesi Tengah oleh Datuk Karamah, seorang ulama dari Sumatera Barat dan diteruskan oleh Said ldrus
Salim
Aldjufri, seorang guru pada sekolah Alkhairaat. Agama Kristen pertama kali disebarkan di kabupaten
Poso dan bagian selatan Donggala oleh missioner Belanda
A.C Cruyt dan Adrian.

12.7 Sulawesi Barat


Dasar hukumUU 26/2004, tanggal penting5 Oktober 2004 (hari jadi), ibu kota Mamuju, luas16.796,19
km². Jumlah penduduk 938.254, kabupaten5, kodya/kota1. Suku-suku bangsa yang mendiami Sulawesi Barat
adalah sebagai berikut: Suku Mandar (49,15%), Suku Toraja (13,95%), Suku Bugis (10,79%), Suku Jawa
(5,38%), Suku Makassar (1,59%), Suku lainnya (19,15%). Agama yang dianut penduduknya, Agama Islam
(83,1%), Kristen (14,36%), Hindu (1,88%), Buddha (0,04%), lain-lain (0,62%). Bahasa nasional adalah Bahasa
Indonesia, ditambah bahasa-bahasa suku yaitu bahasa Mandar, bahasa Bugis, bahasa Toraja, dan bahasa
Makassar. Zona waktu yang digunakan adalah Waktu Indonesia Tengah (WITA). Sulawesi Barat adalah provinsi
pemekaran dari provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi yang dibentuk pada 5 Oktober 2004 ini berdasarkan UU No
26 Tahun 2004. Ibukotanya ialah Mamuju.
215
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Sumber Kekayaan Alam Sulawesi Barat dikenal sebagai lokasi wisata. Selain kakao, daerah ini juga
penghasil kopi robusta ataupun kopi arabika, kelapa, dan cengkeh. Di sektor pertambangan terdapat kandungan
emas, batubara, dan minyak bumi. Pemerintahan daerah ini dipimpin oleh seorang Kepala Daerah Tingkat II,
Provinsi dan Wakil Gubernur. Adapun Kabupaten dan Kota di Sulawesi Barat adalah sebagai berikut. (1)
Kabupaten Mamuju Utara ibukotanya Pasangkayu; (2) Kabupaten Mamuju ibukotanya Mamuju; (3) Kabupaten
Mamasa ibukotanya Mamasa; (4) Kabupaten Polewali Mandar ibukotanya Polewali; dan (5) Kabupaten Majene
ibukotanya Majene.

12.8 Seni Budaya Sulawesi


Sulawesi Tengah kaya akan budaya yang diwariskan secara turun temurun. Tradisi yang menyangkut
aspek kehidupan dipelihara dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kepercayaan lama adalah warisan budaya
yang tetap terpelihara dan dilakukan dalam beberapa bentuk dengan berbagai pengaruh modern serta pengaruh
agama. Karena banyak kelompok Etnik mendiami Sulawesi Tengah, maka terdapat pula banyak perbedaan di
antara Etnik tersebut yang merupakan kekhasan yang harmonis dalam masyarakat. Mereka yang tinggal di pantai
bagian barat kabupaten Donggala telah bercampur dengan masyarakat Bugis dari Sulawesi Selatan dan
masyarakat Gorontalo. Di bagian timur pulau Sulawesi, juga terdapat pengaruh kuat Gorontalo dan Manado,
terlihat dari dialek daerah Luwuk, dan sebaran suku Gorontalo di kecamatan Bualemo yang cukup dominan.
Ada juga pengaruh dari Sumatera Barat seperti nampak dalam dekorasi
upacara perkawinan. Kabupaten Donggala memiliki tradisi menenun kain warisan zaman Hindu. Pusat-
pusat penenunan terdapat di Donggala Kodi, Watusampu, Palu, Tawaeli dan Banawa. Sistem tenun ikat ganda
yang merupakan teknik spesial yang bermotif Bali, India dan Jepang masih dapat ditemukan.Sementara
masyarakat pegunungan memiliki budaya tersendiri yang banyak dipengaruhi suku Toraja, Sulawesi Selatan.
Meski demikian, tradisi, adat, model pakaian dan arsitektur rumah berbeda dengan Toraja, seperti contohnya ialah
mereka menggunakan kulit beringin sebagai pakaian penghangat badan. Rumah tradisional Sulawesi Tengah
terbuat dari tiang dan dinding kayu yang beratap ilalang hanya memiliki satu ruang besar. Lobo atau duhunga
merupakan ruang bersama atau aula yang digunakan untuk festival atau upacara, sedangkan Tambi merupakan
rumah tempat tinggal. Selain rumah, ada pula lumbung padi yang disebut Gampiri.
Buya atau sarung seperti model Eropa hingga sepanjang pinggang dan keraba-semacam blus yang
dilengkapi dengan benang emas. Tali atau mahkota pada kepala diduga merupakan pengaruh kerajaan Eropa.
Baju banjara yang disulam dengan benang emas merupakan baju laki-laki yang panjangnya hingga lutut.
Daster

216
Daftar Pustaka

atau sarung sutra yang membujur sepanjang dada hingga bahu, mahkota kepala yang berwarna-warni dan parang
yang diselip di pinggang melengkapi pakaian adat.
Musik dan tarian di Sulawesi Tengah bervariasi antara daerah yang satu dengan lainnya. Musik
tradisional memiliki instrume seperti suling, gong dan gendang. Alat musik ini lebih berfungsi sebagai hiburan
dan bukan sebagai bagian ritual keagamaan. Di wilayah berEtnik Kaili sekitar pantai barat - waino - musik
tradisional - ditampilkan ketika ada upacara kematian. Kesenian ini telah dikembangkan dalam bentuk yang lebih
populer bagi para pemuda sebagai sarana mencari pasangan di suatu keramaian. Banyak tarian yang berasal dari
kepercayaan keagamaan dan ditampilkan ketika festival. Tari masyarakat yang terkenal adalah
Dero yang berasal dari masyarakat Pamona, kabupaten Poso dan kemudian diikuti masyarakat Kulawi,
kabupaten Donggala. Tarian dero khusus ditampilkan ketika
musim panen, upacara penyambutan tamu, syukuran dan hari-hari besar tertentu. Dero adalah salah
satu tarian dimana laki-laki dan perempuan berpegangan tangan dan membentuk lingkaran. Tarian ini bukan
warisan leluhur tetapi merupakan kebiasaan selama pendudukan Jepang di Indonesia ketika Perang Dunia II.
Kecapi adalah alah satu alat musik petik (kordofon lute) tradisional Sulawesi Selatan khususnya suku
Bugis (Bugis Makassar dan Bugis Mandar). Menurut sejarahnya kecapi ditemukan atau diciptakan oleh seorang
pelaut, sehingga bentuknya menyerupai perahu yang memiliki dua dawai (senar), diambil karena penemuannya
dari tali layar perahu. Biasanya ditampilkan pada acara penjemputan para tamu, perkawinan, hajatan, bahkan
hiburan pada hari ulang tahun.
Gendang adalah salah satu alat musik perkusi yang mempunyai dua bentuk
dasar yakni bulat panjang dan bundar seperti rebana. Memiliki sati sisi membran dapat diklasifikasikan
kepada alat musik membranofon berbentuk frame. Gendang seperti ini umum dijumpai terutaam di kawasan
pesisir di seluruh Nusantara, termasuk di Sulawesi. Kemudian alat musik lainnya adalah suling bambu atau juga
disebut suling buluh, yaitu alat musik end blown flute, yang berdasarkan ukurannya terdiri dari tiga jenis, yaitu:
(1) suling panjang (suling lampe), memiliki 5 lubang nada. Pada masa sekarang suling ini jarang diketemukan
dan digunakan dalam konteks sosial. (2) suling calabai (suling ponco), sama dengan suling panjang hanya
ukurannya relatif lebih pendek dan kecil, sering dipadukan dengan piola (biola) dan kecapi dan dimainkan
bersama vokal penyanyi; (3) suling dupa samping (dalam ensambel musik bambu), musik bambu masih terplihara
di daerah Kecamatan Lembang. Biasanya digunakan pada acara karnaval (baris-berbaris) atau acara penjemputan
tamu.
Seni tari dalam kebudayaan masyarakat Sulawesi sangat kaya. Di antaranya adalah sebagai berikut. Tari
Pelangi; atau dalam bahasa daerah disebut tarian pabbakkanna lajina, fungsi ritual dan sosial yang utama tari ini
adalah untuk meminta hujan.
Masyarakat Kesenian di Indonesia

Tari Paduppa Bosara adalah satu genre tarian yang mengambarkan bahwa orang Bugis jika kedatangan
tamu senantiasa menghidangkan bosara (sekapur sirih dan pinang), sebagai tanda kesyukuran dan kehormatan.
Orang Bugis sangat menghormati tamu-tamu yang datang dan dianggap menjadi bahagian dari keluarga besar
suku Bugis.
Tari Pattennung adalah tarian adat yang menggambarkan perempuan-perempuan yang sedang menenun
benang menjadi kain. Secara umum, tarian ini menggambarkankesabaran dan ketekunan perempuan-perempuan
Bugis. Seperti diketahui bahwa di dalam kebudayaan Bugis, terdapat kegiatan menenun yang menghasilkan kain
tenunan ikat khas Bugis.
Tari Pajoge’ dan Tari Anak Masari; tarian ini dilakukan oleh perempuan atau calabari (waria). Fungsi
sosial utamanya adalah sebagai wahana pergaulan dan
hiburan, yaitu bentuk menari berpasang-pasangan. Pada masa sekarang tarian ini sudah sangat jarang
dipertunjukkan. Jenis tarian yang lain adalah tari Pangayo, tari Passassa’, tari Pa’galung, dan tari Pabbatte.
Demikian deskripsi singkat kesenian masyarakat Sulawesi, yang sebenarnya masih kaya dengan berbagai seni
musik, tari, dan teater lainnya.

Daftar Pustaka untuk Mendalami Kajian


Bierstedt, R. 1970. The Social Order. Bombay: Tata McGraw-Hill Publishing House Ltd.
Cooley, C.H. 1909. Social Organization. New York: Ch. Scribner’s Son.
Denzin, Norman K. Dan Yvonna S. Lincoln (eds.), 1995. Hand Book of Qualitative Research. London: Sage
Publication.
Djojodigoeno, M.M. 1958. Azas-Azas Sosiologi. Yogyakarta: Jajasan Badan Penerbit Gadjah Mada.
Firth, R. 1915. Elements of Social Organization. London: Watts & Co.
Gillin, J.L dan J.P. Gillin, 1954. For A Science of Social Man. New York: McMillan. Hasbullah Ma’ruf, 1977.
Naskah Cara-cara Nikah-Kawin Adat Melayu Sumatera Timur. Medan.
Haziyah Hussin, 2006. Motif Alam dalam Batik dan Songket Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Herkovits, Melville J., 1948. Man and His Work. New York: Alfred A. Knoft. Hilman Hadikusuma, 1990.
Hukum Perkawinan Adat. Bandung: Citra Aditya.
Ismail Husein, 1984. Antara Dunia Melayu dengan Dunia Indonesia. Kuala Lumpur:
Universiti Kebangsaan Malaysia. J.C. van Eerde, J.C. van, 1920. De Volken van Nederlansch-Indie.
Amsterdam: Mij Elsevier.
Siti Zainon Ismail, 1997. Keindahan Budaya Tradisional Nusantara: Tekstil Tenunan Melayu. Kuala Lumpur:
Dewan Bahasa dan Pustaka.
Daftar Pustaka

S. Nasution, 1982. Metode Research. Bandung: Jemmars.


Soedarsono, 1995. “Pendidikan Seni dalam Kaitannya dengan Kepariwisataan.” Makalah seminar dalam
rangka peringatan hari jadi Jurusan Pendidikan Sendratasik ke-10 FP BS IKIP Yogyakarta.
Steward, Julian H., 1976. Theory of Culture Change: the Methodology of Multilinear Evolution. London:
University of Illinois Press.
Syed Alwi Sheikh Al-Hadi, 1986. Adat Resam dan Adat Istiadat Melayu. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan
Pustaka Kementerian Pelajaran Malaysia.
Tenas Effendy dkk., 2004. Corak dan Ragi: Tenun Melayu Riau. Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengembangan
Budaya Melayu bekerjasama dengan Penerbit AdiCita.

Internet:
www.sultra.go.id www.sulbar.com
www.sulteng.go.id
http://id.wikipedia.org/wiki/Sulawesi_Tenggar
a

219

You might also like