You are on page 1of 173

Oleh :

DELI WARYENTI

HUKUM LINGKUNGAN
HUKUM LINGKUNGAN

I. PENDAHULUAN
A. Pengantar
1. Pengertian Lingkungan Hidup (LH)
2. Cabang Ilmu Lingkungan
3. Pengertian HL dan pembagiannya
4. Posisi HL dalam tata Hukum Indonesia
5. Hubungan HL dengan ekologi dan
ekosistem
6. Masalah LH dan penyebabnya
HUKUM LINGKUNGAN

II. HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL


(HLI)
A. Sejarah HLI
B. Deklarasi-deklarasi internasional tentang
LH
C. Konvensi-konvensi tentang HLI
HUKUM LINGKUNGAN

III. HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA (HLI)


A. Pengaturan tentang LH di Indonesia
B. Asas-asas HLI
C. Sifat UULH
D. Pihak-pihak dalam HLI
E. Instrument HLI
F. Penegakan hukum dalam HLI
HUKUM LINGKUNGAN

Bahan bacaan :
1. Semua buku yang berjudul “Hukum
Lingkungan”
2. Undang-undang nomor 32 tahun 2009
tentangPerlindungan dan Pengelolaan LH
3. Peraturan perundang-undangan lain yang
berkaitan
I. PENDAHULUAN

A. Pengantar
1. Pengertian Lingkungan Hidup :
Lingkungan Hidup (LH) adalah kesatuan ruang
dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk MANUSIA DAN
PERILAKUNYA, yang mempengaruhi alam itu
sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain
(pasal 1 angka 1 UU no. 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan LH/UUPPLH).
I. PENDAHULUAN

Jadi unsur-unsur LH adalah :


1. Semua benda
2. Daya
3. Keadaan
4. Manusia dan perilakunya
5. Interaksi
I. PENDAHULUAN

2. Cabang Ilmu Lingkungan (IL)


IL adalah bidang akademik multidisipliner yang
mengintegrasikanilmu fisika, biologi, kimia, ekologi, ilmu
tanah, geologi, sains atmosfer, geografi dsb untuk
mempelajari lingkungan, dan solusi dari permasalahan
lingkungan, sehingga IL terbagi atas:
a. Pembelajaran Lingkungan (teori)
Pembelajaran lingkungan menggabungkan berbagai
ilmu sosial untuk memahami hubungan antar manusia,
persepsi, dan kebijakan mengenai lingkungan.
b. Teknik Lingkungan (praktek)
Teknik lingkungan fokus pada desain dan teknologi
I. PENDAHULUAN

3. Pengertian HL dan pembagiannya


Hukum Lingkungan adalah
Hukum lingkungan diartikan sebagai hukum yang
mengatur tatanan lingkungan (lingkungan hidup),
di mana lingkungan mencakup semua benda dan
kondisi, termasuk di dalamnya manusia dan
tingkah perbuatannya yang terdapat dalam ruang
di mana manusia berada dan mempengaruhi
kelangsungan hidup serta kesejahteraan manusia
serta jasad-jasad hidup lainnya.
I. PENDAHULUAN

Dalam pengertian secara modern, hukum lingkungan lebih


berorientasi pada lingkungan atau
Environment-Oriented Law, sedang hukum lingkungan
yang secara klasik lebih menekankan pada orientasi
penggunaan lingkungan atau Use-Oriented Law.
Pembagian HL :
1. Hukum Lingkungan Internasional;
2. Hukum Lingkungan Administrasi/ketatanegaraan;
3. Hukum Lingkungan keperdataan;
4. Hukum Lingkungan kepidanaan;
5. Hukum Lingkungan Adat, Agama (Islam)
I. PENDAHULUAN

4. Posisi HL dalam tata Hukum Indonesia


HL bagian dari HAN
5. Hubungan HL dengan ekologi dan ekosistem
a. Pengertian ekologi :
Menurut asal katanya : Oikos (rumah tangga) dan logos
(ilmu)
Menurut Otto Sumarwoto :
Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik
antara organism dengan lingkungan hidupnya yang
terdiri dari biotic community dan abiotic community, yang
bergabung membentuk piramida kehidupan.
I. PENDAHULUAN

Menurut Kusnadi:
Ekologi adalah Ilmu yang mempelajari hubungan
antara satu organism dengan yang lainnya dan
antara organism tersebut dengan lingkungannya.
b. Pengertian ekosistem
Ekosistem adalah tatanan unsur LH yang
merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling
mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan,
stabilitas, dan produktivitas LH (pasal 1 angka 5 UU
no. 32/2009).
I. PENDAHULUAN

Ekosistem terdiri dari :


1) Ekosistem alamiah, dengan ciri : mandiri dan
heterogen
2) Ekosistem buatan, dengan ciri : tidak mandiri
dan homogen
Hubungan antara ekologi dengan ekosistem :
ekologi mempelajari ekosistem
Hubungan antara ekosistem dengan LH :
ekosistem bagian dari LH.
I. PENDAHULUAN

6. Masalah LH dan penyebabnya


a. Masalah LH
1) Kontaminasi/pengotoran (contamination)
Pengotoran tidak diatur dalam Undang-
undang. Kenapa???
Jadi diatur dimana?
I. PENDAHULUAN

2) Pencemaran LH (Pollution) :
Pencemaran LH adalah masuk atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energy,
dan/atau komponen lain ke dalam LH
oleh kegiatan manusia sehingga melampaui
baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan (pasal 1 angka 14).
 
I. PENDAHULUAN

3) Perusakan LH (degradation):
Perusakan LH adalah tindakan orang yang menimbulkan
perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik,
kimia, dan/atau hayati LH sehingga melampaui kriteria baku
kerusakan LH (pasal 1 angka 16). Perusakan LH berakibat
terjadinya kerusakan LH.
Kerusakan LH adalah perubahan langsung dan/atau tidak
langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati LH yang
melampaui kriteria baku kerusakan LH (pasal 1 angka 17).
Sedangkan criteria baku kerusakan LH adalah ukuran batas
perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati LH yang dapat
ditenggang oleh LH untuk dapat tetap melestarikan fungsinya
(pasal 1 butir 15).
I. PENDAHULUAN

b. Penanganan masalah lingkungan: metode


holistic
c. Penyebab masalah lingkungan:
1) Bencana alam
I. PENDAHULUAN

2) Ulah manusia, yang dapat dibagi atas :


a) Negara miskin :
-Kemiskinan/motif ekonomi (Poverty);
-Kelebihan penduduk (Over population);
-Keterbelakangan (Under development);
-Pendidikan yang rendah (Under
education);
-Kebudayaan/kebiasaan (Culture/custom).
I. PENDAHULUAN

b) Negara maju:
-Perkembangan teknologi (Over technology)
-Masalah pembuangan sampah (Garbage
problems)
Bab II. HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

A. Sejarah HLI
1. Perjanjian antar negara di zaman kuno
berupa perjanjian mengenai pembagian air
dan sungai antara negara-negara Lagash dan
Umma (3100 SM), Yunani Kuno, dan Romawi
Kuno;
2. Perjanjian antar Negara di abad
pertengahan berupa pembagian laut antara
Portugal, Spanyol dan Inggris.
Bab II. HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

B. Deklarasi-deklarasi internasional tentang LHI


1. Deklarasi Stockholm 1972
Konperensi diselenggarakan 5-12 Juni 1972 di
Stockholm, Swedia yang menghasilkan :
a. Penetapan hari LH sedunia 5 Juni;
b. Pendirian badan LH dunia UNEP (the UN Environment
Programme);
c. Pengesahan Deklarasi Stockholm 1972 yang terdiri dari
Pembukaan (preamble) dan 26 prinsip yang memberi
beberapa hak dan kewajiban kepada Negara;
d. Penetapan slogan “Only one Earth”
Bab II. HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

2. Deklarasi Nairobi 1982,


Konperensi diselenggarakan di Nairobi,
Kenya pada 1982 yang menghasilkan 10
prinsip yang menitikberatkan pada :
a. Pencemaran yaitu pencemaran udara, dan
pencemaran air (tanah) dan laut,
b. Degradasi biota daratan,
d. Pendirian WCED (the World Commission on
Environment and Development).
Bab II. HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

3. Deklarasi Tokyo 1987


Konperensi diselenggarakan di Tokyo,
Jepang pada 1987 dan membahas tema
utama yaitu Sustainable development yang
berasal dari laporan Perdana Menteri
Norwegia Gro Harlem Bruntland yang
berjudul “Our Common Future”
Bab II. HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

4. Deklarasi Rio de Janeiro 1992, dikenal juga dengan


nama KTT Bumi (Earth Summit), dengan jargon
“Think globally Act Locally” yang menghasilkan :
a. Konvensi keanekaragaman hayati 1992 (Convention on
Biological Diversity/CBD)
b. Konvensi perubahan Iklim 1992 ( Kyoto Protocol to the UN
Framework Convention on Climate Change) atau yang lebih dikenal
dengan nama Protokol Kyoto 1992 dengan isu utama “Global
Warming”
c. Agenda 21
d. Prinsip-prinsip kehutanan
Bab II. HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

5. Deklarasi Johannesburg 2002 dikenal dengan nama


WSSD (the World Summit on Sustainable Development)
dengan isu utama bidang Kehutanan, dan
menghasilkan kesepakatan bahwa:
a. Setiap Negara memiliki tanggungjawab yang sama dalam
pembangunan berkelanjutan dan pengentasan kemiskinan
b. Menjalankan aksi dalam upaya pembangunan
berkelanjutan
c. Program kemitraan antar pemangku kepentingan dalam
melaksanakan pembangunan berkelanjutan
 
Bab II. HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

6. KTT Bumi Rio de Janeiro 13 – 22 Juni 2012, dikenal juga dengan


istilah KTT Rio+20 dengan tema utama “The Future we want”
a. Diikuti 191 negara yang dihadiri 105 Kepala Negara
b. Isi dari kesepakatan “the Future we want” adalah :
(i) Green Economy in the context of sustainable development and
poverty eradication,
(ii) pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan
berkelanjutan tingkat global (Institutional Framework for
Sustainable Development),
(iii) kerangka aksi dan instrumen  pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan (Framework for Action and Means of Implementation).
 
 
Bab II. HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

C. Konvensi-konvensi Internasional tentang LH:


1. CITES 1973 (Convention on International Trade in
Endangered Species);
2. Konvensi Paris 1974 (Paris Convention for Prevention
of Marine Pollution from land- based Sources);
3. Konvensi London 1976 (Convention on Civil Liability
for Oil Pollution Damage Resulting from Exploration
and Exploitation of Seabed Mineral Resource);
4. Konvensi Hukum Laut 1982 (the UN Convention on
the Law of the Sea/UNCLOS)
Bab II. HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL

5. Konvensi Wina 1985 (Convention for the


Protection of the Ozone Layer);
6. Konvensi Basel 1989 (Convention on the
Control of Transboundary Movements of
hazardous Wastes and Disposal)
7. Konvensi Keanekaragaman Hayati 1992
(Convention on Biological Diversity/CBD)
8. Konvensi Perubahan Iklim 1992 ( Convention
on Climate Change)
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN
NASIONAL

A. Pengaturan mengenai LH di Indonesia


1. Zaman Hindia Belanda
a. Parelvisscherij, Sponsenvisscherijordonantie
Stbl. 1916 no. 157 tentang perikanan mutiara dan
bunga karang,
b. Visscherijoedonantie Stbl 1920 no.396 tentang
perlindungan ikan,
c. Hinder Ordonantie (HO) Stbl 1926 no. 226
ditambah dengan Stbi 1940 no. 450 tentang
Undang-undang gangguan,
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN
NASIONAL

d. Dierenbeschermingsordonantie Stbl 1931 no.


134 tentang perlindungan satwa,
e. Natuurbescherminssordonantie Stbl 1941 no.
167 tentang perlindungan alam,
f. Stadvormingsordonantie (SVO) Stbl 1948 no
168 tentang tata kota.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

2. Zaman Penjajahan Jepang, hanya ada 1


peraturan yaitu Osamu S Kanrei no. 6 tentang
larangan menebang pohon Agatha, alba
(sengon), dan balsam (cemara) tanpa seizin
Gunseikan.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN
NASIONAL

3. Zaman kemerdekaan
a. Undang-undang Republik Indonesia nomor 4 tahun
1982 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) yang terdiri
dari IX Bab dan 24 Pasal.
Dengan diberlakukannya Undang-undang Republik
Indonesia nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) maka Undang-undang
Republik Indonesia nomor 4 tahun 1982 tentang
Ketentuan- ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UULH) dinyatakan tidak berlaku lagi (pasal 51
UUPLH).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

b. Undang-undang Republik Indonesia nomor


23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UUPLH) yang terdiri
dari XI Bab dan 52 Pasal.
Dengan berlakunya Undang-undang Republik
Indonesia nomor 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPPLH) maka UUPLH dinyatakan
tidak berlaku lagi (pasal 125 UUPPLH)
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

c. Undang-undang Republik Indonesia nomor 32


tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) terdiri
dari XVII bab dan 127 pasal.
Bab I Ketentuan Umum (pasal 1)
Bab II Asas, tujuan dan ruang lingkup (pasal 2-4)
Bab III Perencanaan (pasal 5-11)
Bab IV Pemanfaatan (pasal 12)
Bab VPengendalian (pasal 13-56)
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Bab VI Pemeliharaan (pasal 57)


Bab VII Pengelolaan Bahan Berbahaya dan
Beracun serta Limbah Bahan berbahaya dan
beracun (pasal 58-61)
Bab VIII Sistim Informasi (pasal 62)
Bab IX Tugas dan Wewenang Pemerintah dan
Daerah (pasal 63-64)
Bab XHak, Kewajiban dan Larangan (pasal 65-69)
Bab XI Peran Masyarakat (pasal 70)
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Bab XII Pengawasan dan Sanksi


Administratif (pasal 71-83)
Bab XIII Penyelesaian Sengketa Lingkungan
(pasal 84-93)
Bab XIV Penyidikan dan Pembuktian (pasal
94- 96)
Bab XV Ketentuan Pidana (pasal 97-120)
Bab XVI Ketentuan Peralihan (pasal 121-123)
Bab XVII Ketentuan Penutup (pasal 124-127)
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

B. Asas-asas dan tujuan HL Indonesia


1. Dasar Hukum : Pasal 28H UUD 1945
2. Judul UU :Perlindungan dan Pengelolaan LH
3. Pengertian :
Perlindungan dan Pengelolaan LH adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi LH dan
mencegah tejadinya pencemaran dan/atau kerusakan LH
yang meliputi
PERENCANAAN,PEMANFAATAN,PENGENDALIAN,
PEMELIHARAAN, PENGAWASAN dan PENEGAKAN HUKUM
(pasal 1 butir 2).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Asas-asas Perlindungan dan Pengelolaan LH


diatur dalam pasal 2 UUPPLH, yaitu :
1. Asas tanggungjawab Negara (vicarious liability)
2. Asas kelestarian dan keberlanjutan
3. Asas keserasian dan keseimbangan
4. Asas keterpaduan
5. Asas manfaat
6. Asas kehati-hatian
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

7. Asas keadilan
8. Asas ekoregion (pasal 1 butir 29),
9. Asas keanekaragaman hayati
10. Asas pencemar membayar (polluter pays
principle)
11. Asas partisipatif
12. Asas kearifan lokal (pasal 1 butir 30),
13. Asas tata kelola pemerintahan yang baik
14. Asas otonomi daerah
15. Asas tanggungjawab mutlak/strict liability (pasal
88).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Tujuan Perlindungan dan pengelolaan LH :

Pasal 3 UUPPLH 10 BUTIR

SUSTAINABLE
DEVELOPMENT
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

C. Pihak-pihak dalam HLI : TRI PARTIT


1. Pemerintah :
a. Pemerintah Pusat /Presiden (pasal 1 butir
37)
b. Pemerintah Daerah/Gubernur, Walikota,
Bupati (pasal 1 butir 38)
c. Menteri (pasal 1 butir 39)
2. Pengusaha
3. Masyarakat
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Adapun tugas dari Pemerintah dan Pemerintah


daerah sehubungan dengan Pengelolaan dan
Perlindungan LH adalah :
1) Melakukan inventarisasi LH;
2) Menetapkan wilayah ekoregion;
3) Menyusun RPPLH;
4) Menetapkan DDL dan DTL;
5) Menyusun KLHS;
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

6) Menetapkan BML;
7) Menetapkan KBKLH;
8) Memberikan perizinan/Izin lingkungan (Amdal, UKL-UPL);
9) Menetapkan intrumen ekonomi LH;
10) Membuat peraturan perundang-undangan berbasis LH;
11) Menetapkan anggaran berbasis LH;
12) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan UUPPLH;
13) Melakukan penegakan hukum UUPPLH;
14) Memberikan sanksi administratif kepada pelanggar
UUPPLH.
 
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Adapun tugas dari pengusaha adalah :


a. Melakukan pencegahan pelanggaran UUPPLH, dengan cara :
1) mematuhi aturan UUPPLH;
2) mengajukan permohonan perizinan/izin lingkungan (Amdal, dan UKL-
UPL);
3) mengajukan izin (membuang limbah, dumping, pengelolaan B3);
4) tidak melakukan pencemaran dan/atau perusakan LH;
5) melakukan analisis resiko LH;
6) melakukan audit LH;
7) membayar ganti rugi jika melakukan pencemaran dan/atau perusakan LH;
8) melakukan tindakan tertentu jika melakukan pencemaran dan/atau
perusakan LH.
b. melakukan penanggulangan terhadap pencemaran dan/atau kerusakan LH;
c. melakukan pemulihan terhadap pencemaran dan/atau kerusakan LH.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Masyarakat, baik secara perorangan maupun kelompok (LSM) yang


diberi hak, kewajiban dan larangan.
1) Hak (pasal 65) yang terdiri dari :
a) Hak atas LH yang baik dan sehat sebagai bagian dari HAM;
b) Hak mendapatkan pendidikan LH, akses informasi, akses
partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas LH yang
baik dan sehat;
c) Hak mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana
usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan
dampak terhadap LH;
d) Hak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan LH
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

e) Hak melakukan pengaduan akibat dugaan


pencemaran dan/atau perusakan LH;
f) Hak untuk tidak dituntut secara pidana dan digugat
secara perdata karena memperjuangkan hak atas
LH yang baik dan sehat (pasal 66);
g) Hak untuk berperan aktif dalam perlindungan dan
pengelolaan LH berupa pengawasan (pasal 70);
h) Hak untuk mengajukan gugatan ke pengadilan TUN
terhadap perizinan yang tidak sesuai (pasal 93)
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Kewajiban (pasal 67 dan 68) berupa :


a) Memelihara kelestarian fungsi LH serta
mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan
LH;
b) Memberikan informasi yang terkait dengan
perlindungan dan pengelolaan LH secara benar,
akurat, terbuka dan tepat waktu;
c) Menjaga keberlangsungan fungsi LH;
d)Mentaati ketentuan tentang BMLH dan/atau
KBKLH (Kriteria baku kerusakan LH).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Larangan (pasal 69) berupa :


a) Melakukan perbuatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan LH;
b) Memasukkan B3 yang dilarang menurut
peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah
NKRI;
c) Memasukkan limbah yang berasal dari luar
wilayah NKRI ke media LH NKRI;
d) Memasukkan limbah B3 ke wilayah NKRI;
e) Membuang limbah ke media LH;
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

f) Membuang B3 dan limbah B3 ke media LH;


g) Melepaskan produk rekayasa genetika ke media LH
yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan atau izin LH
h) Melakukan pembukaan lahan dengan membakar;
i) Menyusun amdal tanpa memiliki sertifikat kompetensi
penyusun amdal;
j) Memberi informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan
informasi, merusak informasi, atau memberikan
keterangan yang tidak benar.
 
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

D. Instrument dalam HLI


1. Perencanaan (pasal 5-11);
2. Pemanfaatan (pasal 12);
3. Pengendalian (pasal 13-56);
4. Pemeliharaan (pasal 57-69);
5. Pengawasan (pasal 70-75) ;
6. Penegakan hukum (pasal 76-127).
 
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

1. PERENCANAAN (pasal 5 sampai 11) ;


a. Inventarisasi LH
b. Penetapan wilayah ekoregion;
c. Penyusunan RPPLH.
Perencanaan dilakukan oleh Menteri
bersama Kepala Daerah (Gubernur, Bupati,
Walikota)
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

a. Inventarisasi LH dilakukan secara :Nasional, Pulau/


kepulauan, dan Ekoregion)
Inventarisasi LH ekoregion : untuk menentukan DDL
(pasal 1 butir 7) dan DTL (pasal 1 butir 8)
Tujuan inventarisasi :
1) potensi dan ketersediaan,
2) jenis yang dimanfaatkan,
3) bentuk penguasaan,
4) pengetahuan pengelolaan,
5) bentuk kerusakan,
6) konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

b. Penetapan wilayah ekoregion, dilakukan


dengan mempertimbangkan :
1) karakteristik bentang alam,
2) daerah aliran sungai,
3) iklim,
4) flora dan fauna,
5) social dan budaya,
6) ekonomi,
7) kelembagaan masyarakat,
8) hasil inventarisasi LH.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

c. Penyusunan RPPLH /Rencana Perlindungan dan


Pengelolaan Lingkungan Hidup (pasal 1 butir 4)
Menurut pasal 9 UUPPLH, RPPLH terdiri dari :
1) RPPLH nasional yang disusun oleh Menteri berdasar
inventarisasi nasional,
2) RPPLH propinsi yang disusun oleh Gubernur berdasar
RPPLH Nasional, inventarisasi tingkat pulau/kepulauan
dan inventarisasi tingkat ekoregion
3) RPPLH kabupaten/kota yang disusun oleh Bupati/Wali
kota berdasar RPPLH nasional dan propinsi, inventarisasi
pulau/kepulauan dan inventarisasi tingkat ekoregion.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Inventarisasi inventarisasi
Nasional pulau/kepulauan/ekoregion

RPPLH NAS RPPLH prop RPPLH


kota/kab
(Menteri) (gubernur) (bup/wal)
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

2. PEMANFAATAN (pasal 12)


PEMANFAATAN diatur dalam pasal 12, yang
berbunyi :
a. Pemanfaatan sumber daya alam harus
berdasarkan RPPLH;
b. Jika RPPLH belum tersusun, maka yang
digunakan adalah DDL dan DTL;
c. DDL dan DTL ditetapkan oleh Menteri,
Gubernur, Bupati/Walikota.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

3. PENGENDALIAN (pasal 13-56)


Upaya Pengendalian terdiri dari :
a. Pencegahan
1) KLHS (pasal 1 butir 10 dan pasal 15-18),
2) Tata Ruang (pasal 19),
3) BMLH (pasal 1 butir 13 dan pasal 20),
4) KBKLH (pasal 1 butir 15 dan pasal 21),
5) Amdal (pasal 1 butir 11 pasal 22-33),
6) UKL-UPL (pasal 1 butir 12 dan 34-35),
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

7) Perizinan (pasal 36-41),


8) Instrumen ekonomi LH (pasal 42-43),
9) Perundang-undangan berbasis LH (psl 44),
10) Anggaran berbasis LH (pasal 45-46),
11) Analisis resiko LH (pasal 47),
12) Audit LH (pasal 48-52).,
13) Instrumen lain sesuai kebutuhan dan
perkembangan ilmu pengetahuan, misalnya
ekolabel, ISO, dsb.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

1) KLHS (pasal 1 butir 10):


Dibuat oleh Pemerintah bersama masyarakat dan
pemangku kepentingan (pasal 18 ayat 1), dan berisi
beberapa hal, yaitu (pasal 16) :
a) Kapasitas DDL dan DTL untuk pembangunan;
b) Perkiraan mengenai dampak dan resiko LH;
c) Kinerja layanan/jasa ekosistem;
d) Efisiensi pemanfaatan sumber daya alam;
e) Tingkat kerentanan dan kapasitas adaptasi terhadap
perubahan iklim;
f) Tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

KLHS juga diperlukan dalam penyusunan (pasal 15 ayat 2):


a) Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW);
b) Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP);
c) Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).
d) Penyusunan program pembangunan dalam suatu
wilayah (pasal 17 ayat 1), bahkan jika kebijakan
penyusunan program pembangunan tersebut tidak
sesuai dengan KLHS, maka program tersebut wajib
diperbaiki (pasal 17 ayat 2)
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

2) Tata Ruang
Ruang didefinisikan sebagai wadah yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi
sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Tata ruang (spatial plan) adalah wujud struktur


ruang dan pola ruang disusun secara nasional,
regional dan lokal. Secara nasional disebut
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang
dijabarkan ke dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi, dan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) tersebut perlu dijabarkan ke
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
(RTRWK).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Penataan ruang adalah suatu sistem proses


perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan
ruang. Rencana tata ruang adalah hasil
perencanaan tata ruang.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

3) BMLH (pasal 1 butir 13)


BMLH digunakan untuk mengetahui terjadi pencemaran LH
atau tidak (pasal 20 ayat 1). Menurut pasal 20 ayat (2), Zat-
zat yang membutuhkan pengukuran BMLH adalah :
a) Air, meliputi air sungai, danau, waduk, laut, air tanah dan
air limbah;
b) Udara, meliputi ambient dan emisi;
c) Gangguan lainnya seperti suara.
Dalam pasal 20 ayat (3) juga diatur bahwa setiap orang
DIPERBOLEHKAN MEMBUANG LIMBAH KE MEDIA LH
dengan syarat sudah memenuhi BMLH dan sudah
mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

4) KBKLH (pasal 1 butir 15)


KBKLH digunakan untuk menentukan terjadinya
kerusakan LH (pasal 21 ayat 1). Menurut pasal 21 ayat
(2),KBKLH terdiri dari :
a) KBKLH ekosistem, yang meliputi :
i. KBK tanah untuk produksi biomassa;
ii. KBK terumbu karang;
iii. KBK hutan/lahan;
iv. KBK mangrove;
v. KBK padang lamun;
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

vi. KBK gambut;


vii. KBK karst;
viii. KBK lainnya
b) KBKL perubahan Iklim, terdiri dari :
i. KBK kenaikan temperatur;
ii. KBK kenaikan permukaan air laut;
iii. KBK badai;
iv. KBK kekeringan.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

5) AMDAL (pasal 1 butir 11)


AMDAL wajib dimiliki terhadap setiap usaha dan/atau
kegiatan yang berdampak penting terhadap LH (pasal 22 ayat
1). Yang dimaksud dengan dampak penting ditentukan oleh
beberapa kriteria, yaitu :
a) besarnya penduduk yang akan terkena dampak;
b )luas wilayah penyebaran dampak;
c) intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d) banyaknya komponen LH lain yang akan terkena dampak;
e) sifat kumulatif dampak;
f) berbalik atau tidak berbaliknya dampak;
g) kriteria lain sesuai perkembangan teknologi.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Jenis usaha dan/atau kegiatan yang wajib


memiliki AMDAL adalah (pasal 23):
a) pengubahan bentuk lahan dan bentang
alam;
b) eksploitasi sumber daya alam;
c) kegiatan yang dapat menimbulkan
pencemaran dan/ataukerusakan LH;
d) kegiatan yang hasilnya dapat
mempengaruhi LH dan budaya;
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

e) kegiatan yang hasilnya dapat mempengaruhi


pelestarian kawasan konservasi atau perlindungan
cagar budaya;
f) introduksi jenis tumbuhan, hewan dan jasad renik;
g) pembuatan dan penggunaan bahan hayati dan
non hayati;
h) kegiatan yang beresiko tinggi yang
mempengaruhi ketahanan negara;
i) penerapan teknologi yang diperkirakan
mempengaruhi LH.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Menurut pasal 26, pembuatan dokumen AMDAL


harus melibatkan masyarakat, terutama
masyarakat yang potensial terkena dampak,
pemerhati LH, atau pihak lain yang mempunyai
kepentingan.
Penyusun AMDAL adalah seseorang yang harus
memiliki SERTIFIKAT penyusun AMDAL yang
diterbitkan oleh LEMBAGA SERTIFIKASI
PENYUSUN AMDAL yang bertanggungjawab
kepada Menteri LH (pasal 28).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

6) UKL-UPL (Pasal 1 butir 12)


UKL-UPL adalah pengelolaan dan pemantauan
terhadap usaha dan/atau kegiatan yang TIDAK
BERDAMPAK PENTING terhadap LH yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang
penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan (pasal 1 butir
12).
Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak termasuk
dalam kriteria WAJIB AMDAL, wajib memiliki UKL-UPL
(pasal 34 ayat 1). Usaha dan/atau kegiatan tersebut
adalah kegiatan usaha mikro dan kecil (pasal 34 ayat 2).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

7) Perizinan , terdiri dari :


a) Izin Lingkungan adalah izin yang diberikan
kepada setiap orang yang melakukan usaha
dan/atau kegiatan yang WAJIB AMDAL atau UKL-
UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan
LH sebagai prasyarat untuk memperoleh izin
usaha dan/atau kegiatan (pasal 1 butir 35).
b) Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang
diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan
usaha dan/atau kegiatan (pasal 1 butir 36).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

c) Perizinan diberikan oleh lembaga yang berwenang yaitu


Menteri, Gubernur, Bupati/Walikota (pasal 36 ayat 3),
d) Pejabat ybs WAJIB MENOLAK permohonan izin jika
tidak dilengkapi dokumen AMDAL atau UKL-UPL (pasal 37
ayat 1),
e) Izin yang sudah dikeluarkan dapat DIBATALKAN jika
terbukti persyaratan yang diajukan tidak dipenuhi atau
dipalsukan atau keliru, atau hal lain yang cacat hukum
(pasal 37 ayat 2).
f) Lembaga yang berwenang membatalkan perizinan adalah
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA (pasal 38).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

8) Instrumen ekonomi LH adalah seperangkat


kebijakan ekonomi untuk mendorong pemerintah,
pemerintah daerah, atau setiap orang kearah
pelestrian fungsi LH (pasal 1 butir 33).
Menurut pasal 42 ayat 2, Instrument ekonomi LH
meliputi :
a) Perencanaan pembangunan dan kegiatan
ekonomi;
b) Pendanaan LH;
c) Insentif dan/atau disintensif.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

9) Peraturan Perundang-undangan berbasis


LH
Hal ini diatur dalam pasal 44 yang berbunyi :
Setiap penyusunan peraturan perundang-
undangan pada tingkat nasional dan daerah
WAJIB memperhatikan perlindungan fungsi
LH dan prinsip perlindungan dan pengelolaan
LH sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam UU ini.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

10) Anggaran berbasis LH


Menurut pasal 45, Pembiayaan Perlindungan
dan Pengelolaan LH dialokasikan oleh :
a) Pemerintah dengan DPR Pusat,
b) Pemerintah Daerah dengan DPRD
 
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

11) Analisis Resiko LH


Menurut pasal 47, setiap usaha dan/atau kegiatan
yang menimbulkan dampak penting terhadap LH,
ancaman terhadap ekosistem dan kehidupan,
dan/atau kesehatan dan keselamatan manusia
WAJIB melakukan Analisi Resiko LH.
Analisis resiko LH meliputi :
a) Pengkajian resiko;
b) Pengelolaan resiko;
c) Komunikasi resiko.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

12) Audit LH
Audit LH adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai
ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan
terhadap persyaratan hukum dan kebijakan yang ditetapkan
oleh pemerintah (pasal 1 butir 28).
Menurut pasal 49 Audit LH wajib dilakukan terhadap:
a) Usaha dan/atau kegiatan yang beresiko tinggi terhadap LH;
b) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang
menunjukkan ketidaktaatan terhadap peraturan perundang-
undangan;
c) Dilakukan secara berkala.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Jika penanggungjawab usaha dan/atau


kegiatan tidak melakukan audit LH, maka
Menteri dapat menugaskan pihak ketiga
yang independen untuk melakukan audit
(pasal 50 ayat 1).
Audit LH harus dilakukan oleh seorang
AUDITOR yang memiliki SERTIFIKAT
KOMPETENSI AUDITOR LH (pasal 51 ayat
2).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

13) Sistem Informasi


Menurut pasal 62, pemerintah dan
pemerintah daerah mengembangkan system
informasi LH untuk mendukung pelaksanaan
dan pengembangan kebijakan perlindungan
dan pengelolaan LH, yangwajib
dipublikasikan ke masyarakat dan berisi
status LH, peta rawan LH, informasi LH, dsb.
14) ISO, ekolabel dsb.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

b. Penanggulangan (pasal 53)


Setiap orang yang melakukan pencemaran dan/atau
perusakan LH wajib melakukan penanggulangan
pencemaran dan/atau perusakan LH , berupa :
1) Pemberian informasi peringatan pencemaran
dan/atau kerusakan LH kepada masyarakat;
2) Pengisolasian pencemaran dan/atau kerusakan LH;
3) Penghentian sumber pencemaran dan/atau kerusakan
LH;
4) Cara lainnya sesuai dengan perkembangan teknologi.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

c. Pemulihan (pasal 54-56)


Kewajiban melakukan pemulihan dibebankan
kepada setiap orang yang melakukan pencemaran
dan/atau perusakan LH, dengan tahapan :
1) Penghentian sumber pencemaran dan/atau
kerusakan;
2) Remediasi;
3) Rehabilitasi;
4) Restorasi;
5) Cara lain sesuai perkembangan teknologi.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Biaya pemulihan dibebankan kepada pemegang izin


Lingkungan yang disimpan di Bank pemerintah yang
ditunjuk oleh Menteri, gubernur, bupati/Walikota
(Pasal 55).
Pasal 82 memberikan kewenangan kepada Menteri,
Gubernur, bupati/Walikota untuk memaksa
penanggungjawab usaha untuk melakukan kegiatan
pemulihan LH akibat pencemaran dan/atau
kerusakan LH yang dilakukannya, dan dapat
menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan
tersebut atas biaya penanggungjawab usaha.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

4. PEMELIHARAN (pasal 57 sampai 69) :


Pemeliharaan LH dilakukan melalui upaya :
a. Konservasi sumber daya alam (pasal 1 butir 18);
Kegiatan yang berkaitan dengan konservasi sumber daya
alam adalah :
1) Perlindungan sumber daya alam;
2) Pengawetan sumber daya alam;
3) Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam.
b. Pencadangan sumber daya alam, artinya sumber daya
alam dimaksud tidak dikelola dalam jangka waktu tertentu.
c. Pelestarian fungsi atmosfir.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Pelestarian fungsi LH adalah rangkaian upaya


untuk memelihara keberlangsungan DDL dan
DTL. Dikaitkan dengan atmosfir, maka
langkah-langkah pemeliharaannya adalah :
a. Mitigasi (pengurangan) dan adaptasi
perubahan iklim;
b. Perlindungan lapisan ozon;
c. Perlindungan dari hujan asam.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Perubahan iklim adalah berubahnya iklim yang


diakibatkan langsung atau tidak langsung
oleh aktivitas manusia sehingga
menyebabkan perubahan komposisi atmosfir
secara global dan selain itu juga berupa
perubahan variabilitas iklim alamiah yang
teramati pada kurun waktu yang dapat
dibandingkan (pasal 1 butir 19).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Di dalam tahap PEMELIHARAAN ini juga diatur


tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun
(B3) serta limbah B3 yang diatur dalam pasal 58-59.
Bahan berbahaya dan beracun (B3) adalah zat,
energy, dan/atau komponen lain yang karena sifat,
konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau
merusak LH, dan/atau membahayakan LH, kesehatan,
serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup
lain (pasal 1 butir 21).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Pengelolaan B3 adalah kegiatan memasukkan ke


dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, menghasilkan, mengangkut,
mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan,
membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3
(pasal 58)
Pengelolaan limbah B3 adalah kegiatan yang meliputi
pengurangan, penyimpanan, pengumpulan,
pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan
dan/atau penimbunan limbah B3 (pasal 1 butir 23).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan


(pasal 1 butir 20)
Limbah B3 adalah sisa usaha dan/atau kegiatan
yang mengandung B3 (pasal 1 butir 22).
Dumping (pembuangan) adalah kegiatan
membuang, menempatkan dan/atau
memasukkan limbah dan/atau bahan dalam
jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu
dengan persyaratan tertentu ke media LH
tertentu (pasal 1 butir 24 dan pasal 60-61).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Setiap orang dilarang melakukan dumping


limbah dan/atau bahan ke media LH tanpa
izin (pasal 60) dari Menteri, gubernur,
bupati/walikota (pasal 61).
Dalam melaksanakan tahap PEMELIHARAAN
ini, pemerintah dan pemerintah daerah
mengembangkan sistim informasi LH (pasal
62) dengan beberapa tugas yang diatur
dalam pasal 63.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

5. PENGAWASAN
Pengawasan dilakukan oleh :
a. Masyarakat (pasal 70), berupa
1) pengawasan sosial,
2) pemberian saran/usul,
3) pengajuan keberatan,
4) pengaduan dan/atau penyampaian
informasi dan/atau laporan;
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Tujuan melibatkan masyarakat adalah :


a) Meningkatkan keperdulian dalam PPLH;
b.)Meningkatkan kemandirian, keberdayaan
masyarakat dan kemitraan;
c) Menumbuhkembangkan kemampuan dan
kepeloporan masyarakat;
d) Menumbuhkembangkan ketanggapsertaan
masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial;
e) Mengembangkan dan menjaga budaya dan
kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi LH.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

b. Menteri, gubernur, bupati/walikota (pasal 71 ayat 1, 72,


73);
c. Pejabat/instansi terkait yang bertanggungjawab di
bidang Perlindungan dan Pengelolaan LH atau Pejabat
Pengawas LH/PPLH (pasal 71 ayat 2dan 3 dan pasal 74)
yang memiliki kewenangan :
1) Melakukan pemantauan;
2) Meminta keterangan;
3) Membuat salinan dokumen dan/atau catatan yang
diperlukan;
4) Memasuki tempat tertentu;
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

5) Memotret;
6) Membuat rekaman audio visual;
7) Mengambil sampel;
8) Memeriksa peralatan;
9) Memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi
dan/atau
10) Menghentikan pelanggaran tertentu.
Dalam melakukan tugasnya tersebut Pejabat Pengawas
LH (PPLH) dapat berkoordinasi dengan Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil/PPPNS (pasal 74 ayat 2)
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

6. PENEGAKAN HUKUM
a. Di bidang Hukum Administrasi (76-83)
1) Sanksi administratif dijatuhkan oleh
Menteri, gubernur, bupati/walikota (pasal
76 ayat 1)
2) Sanksi tersebut bisa dijatuhkan oleh
Menteri secara langsung jika gubernur,
bupati/walikota tidak melakukannya pasal
77).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Jenis sanksi administratif (pasal 76 ayat 2)


1) Teguran tertulis;
2) Paksaan pemerintah;
3) Pembekuan izin lingkungan;
4) Pencabutan izin lingkungan;
5) Denda, yang baru dapat dikenakan atas
setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi
paksaan pemerintah (pasal 81).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Sanksi teguran tertulis dan paksaan pemerintah


disebut sebagai sanksi biasa, sedangkan
sanksi pembekuan dan pencabutan izin disebut
sebagai sanksi luar biasa.
Sanksi luar biasa (pembekuan dan pencabutan
izin) baru dapat dijatuhkan jika
penangungjawab usaha tidak mengindahkan
sanksi biasa (teguran tertulis dan paksaan
pemerintah). Hal ini diatur dalam pasal 79.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Pasal 80 ayat (1) mengatur mengenai jenis-jenis sanksi


paksaan pemerintah, yaitu :
1) Penghentian sementara kegiatan produksi;
2) Pemindahan sarana produksi;
3) Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
4) Pembongkaran;
5) Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi
menimbulkan pelanggaran;
6) Penghentian sementara seluruh kegiatan;
7) Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan
pelanggaran.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Namun ayat (2) mengatur bahwa paksaan pemerintah


dapat langsung dijatuhkan tanpa didahului teguran
apabila pelanggaran tersebut menimbulkan :
1) Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan
LH;
2) Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak
segera dihentikan pencemaran dan/atau
kerusakannya;
3) Kerugian yang lebih besar bagi LH jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau kerusakannya.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Hak gugatan administrasi ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang


dapat diajukan oleh orang perorangan berkaitan dengan
perizinan badan usaha/kegiatan yang tidak dilengkapi Amdal,
atau UKL=UPL, atau izin lingkungan (pasal 93).
Sanksi administrative juga tidak membebaskan pelaku dari sanksi
pidana (pasal 78), namun sanksi pidana yang berkaitan dengan
baku mutu (limbah, emisi, gangguan) baru dapat dijatuhkan jika
penanggungjawab usaha tidak mematuhi sanksi administratif
lebih dari satu kali (pasal 100).
Bagi penanggungjawab usaha yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dapat dikenai sanksi pidana (pasal 114).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

b. Di bidang hukum Perdata (pasal 84-92):


Pengaturan UUPPLH dari aspek hukum perdata
dimulai dari pasal 84 mengenai penyelesaian
sengketa lingkungan. Sengketa lingkungan dapat
diselesaikan melalui 2 cara, yaitu :
1) Melalui luar pengadilan/ADR (pasal 85-86);
2) Melalui pengadilan (pasal 87-92).
Pasal 85 ayat (2) mengatur bahwa penyelesaian
sengketa diluar pengadilan tidak berlaku terhadap
tindak pidana LH.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Menurut pasal 85 ayat (1), Penyelesaian sengketa


lingkungan diluar pengadilan dilakukan dengan
tujuan untuk mencapai KESEPAKATAN mengenai:
1) Bentuk dan besarnya ganti rugi;
2) Tindakan pemulihan akibat pencemaran
dan/atau kerusakan Lh;
3) Tindakan tertentu untuk menjamin tidak
terulangnya pencemaran dan/atau perusakan LH;
4) Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak
negatif terhadap LH.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Penyelesaian sengketa diluar pengadilan dapat


dilakukan dengan menggunakan jasa mediator
atau arbiter (pasal 85 ayat 3).
Jasa Mediator atau pihak ketiga boleh dilakukan
oleh :
1) LSM yang dibuat khusus untuk itu (pasal 86);
2) Lembaga privat (pengacara);
3) Lembaga yang difasilitasi oleh pemerintah
dan pemerintah daerah (pasal 86 ayat 2).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Penyelesaian sengketa melalui pengadilan mengatur


tentang jenis-jenis tanggungjawab yaitu :
1) Tanggungjawab berdasarkan based on fault yaitu
tanggungjawab yang dipikul oleh penanggung jawab
usaha jika melakukan tindakan yang merugikan
orang lain (pasal 87 ayat 1 ) sesuai asas
onrechmatigedaad (pasal 1365 KUHPerdata);
2) Tanggungjawab hukum, yaitu tanggungjawab
badan usaha yang dipikul oleh penanggung jawab
usaha (pasal 87 ayat 2);
3) Tanggungjwab mutlak/strict liability (pasal 88).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Jadi sengketa LH dapat diselesaikan dengan


cara :
1) Pembayaran ganti rugi;
2) Pelaksanaan tindakan tertentu;
3) Pembayaran uang paksa/dwangsom (jika
ganti rugi terlambat dibayarkan oleh
penanggungjawab usaha, pasal 87 ayat 3).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Gugatan perdata terhadap pelanggaran UUPPLH dapat


diajukan oleh :
1) Pemerintah dan pemerintah daerah (pasal 90);
2) Kelompok masyarakat (pasal 91);
3) Organisasi LH/LSM (pasal 92), yang harus memenuhi
syarat-syarat :
a) Berbadan Hukum;
b) Bertujuan untuk pelestarian LH;
c) Telah melakukan kegiatannya min. 2tahun.
d) Tidak mengajukan gugatan ganti rugi, hanya
gugatan untuk melakukan tindakan tertentu.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

c. Dari aspek hukum Pidana :


Pengaturan mengenai aspek pidana dalam
UUPPLH diatur dalam pasal 94-120 jo.
pasal 6 KUHAP. Menurut pasal 94,
penyidik adalah :
1) Penyidik Pejabat Kepolisian Negara RI;
2) Penyidik Pejabat PNS;
3) Penuntut umum.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Kewenangan penyidik (pasal (pasal 94) :


1) Melakukan pemeriksaan terhadap :
a) Keterangan/laporan berkaitan tindak pidana LH;
b) Setiap orang yang diduga terkait dengan tindak
pidana LH;
c) Pembukuan, catatan, atau dokumen lain terkait
tindak pidana LH;
d) Tempat-tempat yang terkait dengan tindak pidana LH;
e) Bukti-bukti yang terkait dengan tindak pidana LH
 
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

2) Melakukan penyitaan terhadap barang bukti terkait;


3) Menghentikan penyidikan;
4) Meminta bantuan ahli;
5) Memasuki tempat tertentu terkait tindak pidana LH
6) Memotret, membuat rekaman audio visual terkait
tindak pidana LH;
7) Melakukan penggeledahan terhadap badan, ruangan,
tempat lain terkait tindak pidana LH;
8) Menangkap pelaku tindak pidana LH.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Dalam melakukan kewenangan tersebut penyidik saling


bekerjasama (pasal 94 dan 95) dengan koordinator adalah
Menteri.
Mengenai alat bukti dan pembuktian diatur dalam pasal 96
jo pasal 184 KUHAP, yaitu :
1) Keterangan saksi;
2) Keterangan ahli;
3) Surat;
4) Petunjuk;
5) Keterangan terdakwa;
6) Alat bukti lain yang diatur dalam undang-undang.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Mengenai pembuktian, ada wacana untuk


melakukan PEMBUKTIAN TERBALIK.
Pasal 97 menyatakan bahwa semua tindak
pidana LH adalah KEJAHATAN.
Pasal 98-120 mengatur tentang jenis-jenis
tindak pidana LH, berdasarkan pelakunya
yaitu :
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

1) Pengusaha :
a) Melakukan pencemaran dan/atau perusakan yang
mengakibatkan terlampauinya BML (udara, ambient, air) atau
KBKLH sengaja (pasal 98) atau tidak sengaja (pasal 99);
b) Melakukan pelanggaran BML limbah emisi, gangguan
(pasal 100) ;
c) Melepaskan produk rekayasa genetika yang bertentangan
dengan perundang-undangan (pasal 101);
d) Melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin (pasal 102);
e) Menghasilkan limbah B3 namun tidak melakukan
pengelolaan (pasal 103);
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

f) Melakukan dumping tanpa izin (pasal 104);


g) Memasukkan limbah ke wilayah NKRI (pasal 105);
h) Memasukkan limbah B3 ke wilayah NKRI (pasal 106);
i) Memasukkan B3 yang dilarang peraturan ke wilayah NKRI
(pasal 107);
j) Melakukan pembakaran lahan (pasal 108);
k) Melakukan kegiatan dan/atau usaha tanpa izin (pasal 109);
l) Menyusun Amdal tanpa sertifikat kompetensi penyusun
Amdal (pasal 110);
m) Tidak melaksanakan paksaan pemerintah (pasal 114)
 
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

2) Pemerintah/pejabat :
a) Pemberian izin tanpa Amdal atau UKL-UPL
(pasal 111);
b) Tidak melakukan pengawasan ( pasal 112);
 
3) Masyarakat :
a) Memberikan informasi palsu (pasal 113);
b) Mencegah, menghalangi petugas PPLH
atau PPPNS (pasal 115);
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Menurut pasal 116-118, Pihak-pihak yang dapat


dijatuhi sanksi pidana adalah :
1) Badan usaha;
2) Pemberi perintah, pidana penjara dan
dendanya diperberat sepertiga (pasal 117);
3) Pemimpin badan usaha;
4) Pengurus badan usaha.
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Adapun jenis-jenis sanksi pidana yang diatur oleh UUPPLH


adalah :
1) Pidana penjara;
2) Denda;
3) Tindakan tata tertib berupa (pasal 119):
a) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
b) Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau
kegiatan;
c) Perbaikan akibat tindak pidana;
d) Pewajiban mengerjakan apa yg dilalaikan tanpa hak;
e) Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama
3 tahun. Pengampu disini adalah pemerintah (pasal 120).
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

Dalam ketentuan peralihan UUPPLH mengatur bahwa :


1. Tenggang waktu selama 2 tahun sejak berlakunya UUPPLH
untuk melengkapi dokumen-dokumen bagi setiap kegiatan
dan/atau badan usaha yang belum melengkapinya (pasal
121);
2. Tenggang waktu selama 1 tahun sejak berlakunya UUPPLH
untuk melengkapi sertifikat penyusun Amdal bagi penyusun
Amdal yang belum memiliki sertifikat (pasal 122 ayat 1);
3. Tenggang waktu selama 1 tahun sejak berlakunya UUPPLH
untuk melengkapi sertifikat auditor bagi auditor yang belum
memiliki sertifikat (pasal 122 ayat 2);
Bab III. HUKUM LINGKUNGAN NASIONAL

4. Tenggang waktu selama 1 tahun sejak


berlakunya UUPPLH untuk melengkapi
sertifikat penyusun Amdal bagi penyusun Amdal
yang belum memiliki sertifikat (pasal 122);
5. Tenggang waktu selama 1 tahun sejak
berlakunya UUPPLH untuk melengkapi semua
perizinan (pasal 123).
Pasal 125 mencabut Undang-undang nomor 23
tahun 1997 tentang Pengelolaan LH.

You might also like