You are on page 1of 19

HAPUSNYA KEWENANGAN

MENUNTUT PIDANA
Dr. H. WAHYU WIRIADINATA, S.H., M.H.
WILLMAN SUPONDHO AKBAR, S.H., M.H.
Dasar Peniadaan Penuntutan

A. Jika dasar peniadaan pidana ditunjukan kepada hakim, maka dasar peniadaan penuntutan ditujukan kepada
penuntut umum, jika ada dasar peniadaan pidana penuntut umum melakukan penuntutan, maka putusannya
mestinya lepas dari segala tuntutan hukum. Sebaliknya, jika ada dasar peniadaan penuntutan, penuntut umum
tetap menuntut, maka putusannya ialah tuntutan jaksa tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaring).
Dasar peniadaan penuntutan terdiri atas :
I. Tidak ada pengaduan pada delik aduan.
II. Tidak duaj kali penuntutan atas orang dan perbuatan yang sama (nebis inidem) tercantum dalam pasal 76
KUHP.
III. Terdakwa meninggal dunia, tercantum dalam pasal 77 KUHP
IV. Lewat waktu (verjaring), tercantum dalam pasal 78 KUHP.
V. Penyelesaian di luar pengadilan (afdening buiten process).
VI. Terdakwa berumur di bawah 18 tahun ( undang-undang peradilan anak).
I. Tidak Ada Pengaduan pada Delik Aduan

◦ Beberapa pasal di dalam KUHP dan di luar KUHP, mensyaratkan adanya pengaduan untuk dilakukan
penuntutan. Pengaduan berarti meminta agar terdakwa dituntut. Beberapa pasal di dalam KUHP yang
merupakan delik aduan, antara lain: penghinaan atau pencemaran nama baik pasal 310 dan seterusnya
KUHP. Akan tetapi jika penghinaan dilakukan terhadap pegawai yang sedang menjalankan jabatannya
bukan delik aduan berdasarkan Pasal 319 jo. Pasal 316 KUHP, permukahan (overspel) Pasal 284 KUHP
dan pengancaman Pasal 369 KUHP. Delik aduan diluar KUHP misalnya pelanggaran terhadap hak ciipta.
◦ Delik aduan ada dua macam, delik aduan mutlak dan delik aduan relatif. Delik aduan mutlak artinya
pada dasarnya delik itu memang delik aduan, misalnya Pasal 310 KUHP dan Pasal 284 KUHP tersebut.
Delik aduan relatif, artinya pada dasarnya delik itu bukan delik aduan, tetapi jika dilakukan orang
tertentu, menjadi delik aduan, misalnya pencurian bukan delik aduan, tetapi jika dilakukan oleh keluarga
sedarah atau semenda sampai derajad ketiga, maka menjadi delik aduan. Begitu pula delik penipuan dan
penggelapan.
◦ Delik aduan misalnya bukan berarti delik itu bersifat ringan. Delik aduan untuk melindungi korban. Jika
korban tidak mengadu dan dilakukan penuntutan, maka ada kemungkinan korban bertambah rugi, yaitu
hal-hal yang dituduhkan atau difitnahkan kepadanya justru diketahui oleh umum melalui persidangan
yang terbuka untuk umum. Misalnya, pengancaman atau chantage yang tercantum dalam Pasal 369
KUHP yang korban diancam akan dibuka rahasianya jika tidak memberi sesuatu. Delik ini adlaah delik
berat. Jika dilakukan penuntutan, maka rahasia yang akan dibuka tersebut justru menjadi diketahui oleh
umum. Jadi diserahkan kepada korban apakah dia akan mengadu taukakh tidak dengan pertimbangan
seperti itu. Jika dia yakin tidak ada rahasianya yang akan terbongkar, tentu dia akan mengadu.
◦ Tidak disyaratkan pengaduan itu harus berisi kualifikasi yuridis (HR 26 November 1986, NJ.1986, 827).
Jadi cukup jika yang m engadu mengemukakan perbuatan materiel yang dilakukan oleh tersangka, tidak
perlu mengemukakan tentang deliknya.
◦ Apabila ada hubungan antara ketentuan umum dan khusus sebagai,mana dimaksud dalam Pasal 63 ayat
(2) atau lex specialis dero gate legi generali, yang umum merupakan delik aduan dan yang khusus bukan
delik aduan, maka penuntutan dapat dilakukan tanpa aduan (HR 2 November 1993, NJ.1994, 197).
◦ Pada delik aduan, yang berhak mengadu ialah orang yang terhadapnya delik dilakukan atau korban. Ada
pengecualian dalam hal ini misalnya pada pasal 332 KUHP (melarikan Peremmpuan), yang dapat
mengajukan aduan, ialah:
a,. Jika perempuan yang dilarikan itu di bawah umur, yang berhak mengadu ialah dia senriri atau orang
yang berhak memberi persetujuan untuk kawin.
b. Jika perempuan itu sudah dewasa, maka yang berhak mengajukan pengaduan ialah dia sendiri atau
suaminya.
◦ Pengaduan ternasuk pada delik penyertaan. Misalnya dalam hal pembantu (Pasal 56 KUHP) melakukan
pembantuan pada delik aduan, maka penuntutan atasnya juga harus dengan adanya pengaduan.
◦ Pengajuan aduan dapat dilakukan oleh orang lain (diwakili) yang tercantum di dalam Pasal 72 KUHP.
a. Bagi anak di bawah umur (belum cukup berumur 16 tahun dan belum dewasa) atau berada di bawah
pengampuan yang lain daripada pemborosan, maka wakilnya yang sah berdasarkan hukum perdata yang
berhak mengadu.
b. Jika tidak ada wakil atau wakil itu sendiri yang harus diadukan, maka yang berhak mengadu ialah wali
pengawas atau pengampu pengawas atau majelis yang menjadi wali pengawas.
◦ Selanjutnya Pasal 73 mengatur, dalam hal yang berhak mengadu meninggal dunia dalam tenggang waktu
pengaduan, maka yang berhak mengadu ialah orang tuanya, anaknya atau suami (istri) yang masih hidup
kecuali kalau yang meninggal tidak menghendaki penuntutan. Di Jepang jika yang dihina ialah kaisar
atau permaisuri maka yang mengadu ialah perdana menteri.
◦ Tenggat waktu pengaduan ialah enam bulan sejak Yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan
(Pasal 74).
◦ Pengaduan dapat ditarik dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.
II. Tidak Dua Kali Penuntutan Atas Orang dan
Perbuatan yang Sama (Ne Bis In Idem)
◦ Ne Bis In Idem diatur dalam pasal 76 KUHP. Orang tidak boleh diajukan dua kali ke pengadilan dalam
hal yang sama (HR 13 April 1954, NJ. 369). Menurut Cleiren, asa ini merupakan garansi terhadap
dilakukannya dua kali penuntutan atas perbuatan (feitelijk gebeuren) yang sama yang sebelumnya orang
itu telah dijatuhi pidana, dibebaskan atau lepas dari segala tuntutan hukum. Ne Bis In Idem berkaitan
dengan putusan hakim telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jonkers membedakan in kracht van
gewijsde dan in kracht van gewijsde zaak (telah mempunyai kakuatan hukum tetap dan perkara yang
telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
◦ Ada beberapa dasar Ne Bis In Idem. Dasar sosialnya ialah jaminan kepastian hukum kepada terdakwa
sebagai anggota masyarakat. Yang pertama ialah mencegah pertanggungjawaban ganda (nemo debet bis
In Idem puniri). Mencegah penuntutan ganda. Menurut Remmelink, asas ini bersifat universal tercantum
juga dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang sudah diratifikasi oleh
Indonesia.
◦ Yang menjadi kata kunci dalam hal ini ialah apa yang dimaksud dengan perbuatan itu juga (hetzelfde
feit).
◦ Mula-mula menurut Remmelink, Hoge Raad Nederland pada tahun tiga puluhan memberikan makna
yuridik yang mempersamakan feit (perbuatan/peristiwa) dengan strafbaar feit (delik, peristiwa yang
dapat dipidana). Jumlah feit (perbuatan/peristiwa sama dengan jumlah delik. Hoge Raad berpendapat
bahwa perbuatan (feit) adalah perbuatan materiil atau gerakan badan (lichamelijke).
◦ Pendapat ini berubah dengan putusan Hoge Raad 15 Februari 1932, NJ. 1932, 289 (Kijk in’t Jatstraat-
arrest). Kasus ini berupa perbuatan menyetir mobil tanpa lampu dan keadaan mabuk. Pendapat terdahulu
menyebutkan ini merupakan satu gerakan badan yaitu perbuatan menyetir mobil. Putusan lain Hoge
Raad ialah tanggal 27 Juni 1932, 2659 (Brakelse kemis arrest). Terdakwa dalam keadaan mabuk
menendang kaki petugas polisi. Terdakwa diadili dua kali untuk kedua perbuatan tersebut. Begitu pula
putusan Hoge Raad 2 Juni 1936, NJ, 1936, 992. (brandstichtingarrest). Jadi, didalam ketiga arrest itu
Hoge Raad menerima adanya beberapa feiten yang merupakan concursus realis berdasarkan Pasal 65
KUHP (Indonesia). Jadi, berbeda dengan hal ihwal ne bis in idem.
III. Terdakwa Meninggal Dunia

◦ Berdasarkan Pasal 77 KUHP, kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia.
Ketentuan ini bersifat universal. Akan tetapi menurut Jonkers masih ada arti dan manfaatnya untuk
melanjutkan acara pidana seorang meninggal dunia jika hal itu akan menghasilkan pututsan mengenai
pembebasan. Oleh karena itu sulit diketahuii lebih dahulu berhubung tidak pasti dan negatif, maka
undang-undang mengatur hak untuk menuntut pidana hapus karena seseorang telah meninggal dunia.
Remmelink mengatakakn pada zaman dahulu penuntutan tetap dilakukan dan dalam putusan akhir
dijatuhkan pidana denda danpenetapan sita yang dibebankan pada harta warisan. Perubahan pandangan
terjadi karena pemidanaan berkarakter personal. Ada tiga kemungkinan kata Remmelink menyangkut
tersangka atau terdakwa meninggal dunia. Apabila tersangka meninggal dunia pada saat pemeriksaan
pendahuluan (vooronderzoek), maka penuntut umum (OM) atau Rechter Commissaris (RC)
menghentikan campur tangan. Jika dakwaan terlanjur diajukan, maka dakwaan dianggap gugur. Jika
terlanjur pemeriksaan pengadilan telah dimulai, maka penuntut umum berusaha untuk mengakhiri
perkara dengan menetapkan tidak dapat diterimanya dakwaan.
◦ Di indonesia (dan Nederland) ada pengecualian dalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi, Pasal 16
UU No. 7 (drt) tahun 1955 (Pasal 16 WED Nederland 1950), bagi terdakwa yang meninggal dunia dapat
dikenakan perampasan barang yang telah disita.
◦ Begitu pula dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
dalam Pasal 38 Ayat (5) ditentukan, bahwa “dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan
dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutjan telah melakukan tindak pidana
korupsi, maka hakim atas tuntutan umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita”.
Dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang baru, diatur,
bahwa apabila cukup bukti terdakwa telah melakukan perbuatan korupsi pada tingkat penyidikan, lalu
meninggal dunia,maka dapat diajukan perampasan aset yang diduga telah diperoleh dari perbuatan
korupsi. Pihak ketiga dapat mengajukan keberatan.
IV. Lewat Waktu (Verjaring)
Pasal 78 KUHP mengatur tentang lewat waktu:
◦ Ke-1: mengatur semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu
tahun.
◦ Ke-2: mengenai kejahatan yang diancam dengan denda, kurungan atau pidana penjara paling lama tiga
tahun sesudah enam tahun.
◦ Ke-3: Mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun sesudah dua belas
tahun.
◦ Ke-4: mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah
delapan belas tahun.
◦ Ada pengecualian dalam statuta Roma mengenai International Criminal Court, tidak ada lewat waktu
(limitation) bagi empat jenis kejahatan genosida, pelanggaran berat HAM, agresi dan kejahatan perang.
◦ Menurut Remmelink, jika dikaitkan dengan jus puniendi (kewenangan mengajukan penuntutan) yang
diberikan kepada penuntut umum pada satu tenggat waktu sebenarnya bukan kondisi serta merta. Banyak
pakar hukum pidana berpendapat tenggat waktu Demikian hanya dapat dibenarkan jika pelaku sudah
bertobat dan memperbaiki diri. Van Hamel katanya mengusulkan untuk kejahatan-kejahatan berat tidak
perlu ada lewat waktu. Di Inggris ketentuan tentang lewat waktu hanya untuk delik-delik ringan tidak
untuk delik –delik berat. Pendapat dan keadaan inilah barangkali menjadi alasan sehingga Statuta Roma
mengenai ICC tidak mengenal ketentuan tentang lewat waktu.
◦ Pasal 79 mengatur tentang mulai berlakunya tenggat lewat waktu, yaitu pada hari sesudah perbuatan
dilakukan. Ada pengecualian, yaitu mengenai pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggat waktu mulai
berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsu atau mata uang yang dirusak digunakan. Mengenai
kejahatan terhadap kemerdekaan orang (Pasal 329-330, dan tenggat lewat waktu mulai pada hari sesudah
orang yang langsung terkena (korban) oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia.
◦ Tenggat waktu delik pelanggaran (Pasak 556 sampai dengan Pasal 558) diatur sendiri.
◦ lewat waktu terhenti jika ada tindakan penuntutan, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut,
atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan umum. Menurut
pendapat penulis, tindakan penuntutan termasuk jika tersangka dipanggil secara sah melalui alamat
tempat tinggalnya. Sesudah dihentikan mulai berlaku tenggat lewat waktu baru. Juga lewat waktu
tertunda jika penuntutan ditunda karena adanya perselisihan pra yudisial.
V. Penyelesaian di Luar Acara
(Afdoening Buiten Process)
Tenggat Lewat Waktu Baru

◦ Yang dikenal dalam KUHP hanya afkoop (Pasal 82 KUHP) yang mengatakan jikak suatu delik diancam dengan
pidana hanya denda, maka dapat dihindari penuntutan dengan membayar langsung maksimum denda. Pada tahun
lima puluhan, di Indonesia sering dilakukan pembayaran denda yang disepakati antara penuntut umum dan
tersangka, khusus dalam hal tindak pidana ekonomi yang sering disebut schikking. Hal itu terjadi karena di dalam
WED (UUTPE) belanda tahun 1950 dikenal Afdoening Buiten Process dalam delik ekonomi. Meskipun ternyata
UUTPE Indonesia merupakan saduran dari WED belanda, namun ketentuan mengenai Afdoening Buiten Process
tidak disadur ke dalam UUTPE Indonesia tahun 1955. Praktik Afdoening Buiten Process dilakukan oleh Jaksa
Agung berupa denda “damai” dengan menunjuk asas oportunitas yang dimilikinya.
◦ Penyelesaian di luar acara (pengadilan) ini juga sudah mendunia. Menurut Remmelink, penyelesaian perkara di luar
pengadilan berupa transaksi, sejarahnya panjang. Ada dua bentuk yaitu submissie dan compotitie. Kedua istilah ini
belum dikenal secara luas oleh pengarang hukum pidana indonesia. Dengan atau melalui submissie terdakwa dan
organ penuntut umum memaparkan persoalan ke hadapan hakim. Dimulai dengan permohonan terdakwa yang
disetujui oleh penuntut umum, umumnya karena masalah pembuktian. Hakim memberi keputusan tanpa melakukan
pemeriksaan lebih lanjut. Submissie tercantum dalam Pasal 74a Ned Wvs (KUHP Belanda). Tidak terdapat
pidananya dalam KUHP Indonesia.
◦ Senada dengan itu, KUHP Federasi Rusia yang baru memberi kemungkinan terdakwa menghadap hakim
dan mohon tidak usah disidangkan langsung diputus saja dengan pengakuan atas dakwaan penuntut
umum. Hakim akan meminta persetujuan penuntut umum dan langsung menjatuhukan putusan tanpa
sidang. Putusan yang berupa pemidanaan yang tidak boleh lebih berat dari 2/3 maksimum yang
diancamkan.
◦ Di Nederland dahulu umumnya pidana yang dijatuhkan ialah pidana denda atau pengusiran atau
pemberian hadian kepada biara. Bentuk ya kedua ialah compositie yaitu penghentian penuntutan dengan
membayar uang tertentu. Bentuk inilah yang banyak diterapkan pada tahun lima puluhan oleh jaksa
Indonesia di bawah Jaksa Agung Soeprapto walaupun tidak diatur dalam undang-undang.
◦ Semula di Nederland sama dengan KUHP Indonesia transaksi hanya untuk delik pelanggaran (Pasal 82
KUHP Indonesia). Akan tetapi dengan undang-undang tanggal 1 Mei 1983 diperluas untuk kejahatan
yang ancaman pidananya enam tahun penjara ke bawah. Transaksi ini dapat disertai syarat-syarat untuk
menghentikan penuntutan, seperti ganti kerugian kepada korban. Hal yang sama sudah ditampung dalam
RUUKUHP. Penyelesaian di luar pengadilan dengan ganti kerugian kepada korban sudah mendunia.
◦ Dalam KUHP (Pasal 76) dan KUHAP Federasi Rusia pun ditentukan untuk delik ancaman pidananya
sepuluh tahun ke bawah jika bersifat ringan atau sedang dan kerugian kepada korban telah dipenuhi oleh
terdakwa, maka tidak dilakukan penuntutan.
◦ Hal yang sama juga diatur dalam Pasal 41 Ayat (1) dan (2) KUHAP (Code Procedure Criminal) Prancis.
Di sana ditentukan delik yang dapat dikesampingkan dan dapat ditunda penuntutannya oleh penuntut
umum ialah yang diancam dengan pidana penjara maksimum 5 tahun.
◦ Penghentian penuntutan dengan syarat ganti kerugian kepada korban termasuk peradilan restoratif
(restorative justice). Ini berarti dipentingkan pemulihan keadaan akibat kejahatan yang terjadi.
VI. Anak yang Belum Berumur 8 Tahun Tidak Dapat Dituntut

◦ Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Pasal 4 Ayat (1)
mengatakan: "batas umur anak nakal yang dapat diajukan ke sidang pengadilan anak adalah
sekurangkurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum berumur mencapai umur 18 tahun dan belum
menikah”. Jadi, di bawah 8 tahun tidak dapat dituntut (ke pengadilan anak). Bagi mereka yang berumur
18 tahun atau sudah menikah tunduk ke pengadilan biasa. Sebagai perbandingan, Pasal 9 KUHP
Portugal, pengadilan khusus anak bagi yang berumur di atas 16 tahun dan di bawah 21 tahun. Jadi,
berarti yang belum berumur 16 tahun tidak dapat dituntut.
Hapunya Kewenangan Menuntut
Pidana dalam RUU KUHP
Hapusnya Kewenangan Menuntut
Pidana diatur dalam Pasal 132 – Pasal
139 RUU KUHP.

You might also like