WILLMAN SUPONDHO AKBAR, S.H., M.H. BEBERAPA ISTILAH PENYERTAAN
• Turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna)
• Turut berbuat delik (Karni) • Turut Serta (Utrecht) • Delneming (Belanda) • Complicity (Inggris) • Teilnahme / Tatermehrhaeit (Jerman) • Participation (Prancis) SIFAT PENYERTAAN Penyertaan dapat dibagi menurut sifatnya: 1. Bentuk penyertaan berdiri sendiri: mereka yang melakukan dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggung jawaban masing- masing peserta dinilai senidiri-sendiri atas segala perbuatan yang dilakukan. 2. Bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri: pembujuk, pembantu, dan yang menyuruh untuk melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban dari peserta yang satu digantungkan pada perbuatan peserta lain. Apabila peserta satu dihukum yang lain juga. Beberapa pandangan tentang sifat penyertaan: 1. Sebagai dasar memperluas dapat dipidananya seseorang: •Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggungjawaban pidana; •Penyertaan bukan suatu delik sebab bentuknya tidak sempurna. •Penganutnya;Simons, van Hattum, Hazewingkel Suringa
2. Sebagai memperluas dapat dipidannya perbuatan:
•Penyertaan dipandang sebagai bentuk khusus tindak pidana; •Penyertaan merupakan suatu delik, hanya bentuknya istimewa; •Penganutnya: Pompe, Mulyanto, Roeslan Saleh PEMBAGIAN PENYERTAAN • Mereka yang Melakukan (Pleger) Ketentuan Pasal 55 KUHP pertama-tama menyebutkan siapa yang berbuat atau melakukan tindak pidana cara tuntas. Sekalipun seseorang pelaku (plager) bukan seorang yang turut serta (deelnemer), kiranya dapat dimengerti mengapa ia perlu disebut. Pelaku, disamping pihak-pihak lainnya yang turut serta atau terlibat dalam tindak pidana yang ia lakukan, akan dipidana bersama- sama dengannya sebagai pelaku (dader), sedangkan cara penyertaan dilakukan dan tanggung jawab terhadapnya juga turut ditentukan oleh keterkaitannya dengan tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku (utama). Karena itu, pelaku (pleger) adalah orang yang memenuhi semua unsur delik (juga dalam bentuk percobaan atau persiapannya), termasuk bila dilakukan lewat orang-orang lain atau bawahan mereka. Moeljatno mengemukakan yang dimaksud dengan pelaku (pleger) yaitu untuk rumusan delik yang disusun cara formal mengenai orangnya yang melakukan perbuatan tingkah laku seperti yang tercantum dalam rumusan delik. Kalau rumusan delik itu disusun secara material, maka siapa yang menimbulkan akibat seperti dalam rumusan delik, yang harus kita tentukan dengan ajaran kausal • Mereka yang Menyuruh Melakukan (Doen Pleger) Bentuk penyertaan “menyuruh melakukan” haruslah terdiri dari lebih dari dua orang pembuat. Di satu sisi terdapat seorang yang berperan sebagai penyuruh (manus domina, onmiddelijke dader, intellectueele dader) dan di sisi lain terdapat seorang yang berperan sebagai orang yang disuruh melakukan (onmiddelijke dader, materiel dader, manus ministra) bentuk tersebut merupakan syarat terjadinya bentuk penyertaan “menyuruh melakukan”. Karena tanpa adanya pihak yang menyuruh dan juga sebaliknya jika tanpa ada pihak yang “disuruh melakukan”, maka tidak sempurna makna “menyuruh melakukan”. Dalam bentuk penyertaan menyuruh-melakukan, penyuruh tidak melakukan sendiri secara langsung suatu tindak pidana, melainkan (menyuruh) peran lain. Penyuruh (manus domina, omniddelijke dader, intellectueele dader) berada dibelakang layar, sedangkan yang melakukan tindak pidana adalah seseorang lain yang disuruh itu merupakan alat ditangan penyuruh. Dikatakan orang yang “disuruh melakukan” sebagai alat yang dipergunakan oleh pelaku (penyuruh) karena memang orang yang disuruh tersebut merupakan alat yang tidak dapat dipidana. Hal ini yang menjadi syarat penting dalam bentuk “menyuruh melakukan”. • Roeslan Saleh menyebutkan bahwa dalam konstruksi “menyuruh melakukan” yang pelaksanaannya bukanlah suatu alat kehendak, tetapi tidak dapat dipidana hanyalah oleh karena pada dia kualitas untuk melakukan delik (penulis:tindak pidana) tidak ada. • Menurut Moeljatno, kemungkinan-kemungkinan tidak dapat dipidananya orang yang disuruh, karena: 1) Tidak mempunyai kesengajaan, kealpaan ataupun kemampuan bertanggungjawab. 2) a) berdasarkan Pasal 44 KUHP; b) dalam keadaan dayapaksa Pasal 48 KUHP; c) berdasarkan Pasal 51 ayat (2) KUHP; dan d) orang yang disuruh tidak mempunyai sifat/kualitas yang disyaratkan dalam delik, misalnya Pasal 413-437 KUHP. • Mereka yang Turut Serta Melakukan (Medepleger) Pada tujuan ajaran penyertaan bahwa seseorang yang tidak memenuhi seluruh unsur tindak pidana dapat dipidana karena peranannya dalam terwujudnya tindak pidana. Dalam turut serta ini yang termasuk dalam bagian bentuk penyertaan mensyaratkan seseorang terlibat dalam tindak pidana. Namun apakah seorang tersebut harus memiliki kesengajaan atau kualitas yang sama dengan pelaku materil, undang-undang tidak memberikan pengertian secara mendalam mengenai hal demikian. Hanya saja para sarjana memberikan pengertian dari maksud “turut serta melakukan” sebagai bagian dari bentuk penyertaan. Menurut Roeslan Saleh “mereka yang turut serta melakukan” perbuatan tindak pidana adalah mereka yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana. Jadi mereka yang dengan sengaja ikut mengerjakan. Namun beliau juga mengingatkan bahwa janganlah hendak mengartikan bahwa dalam hal turut serta melakukan ini tiap- tiap peserta ini harus melakukan perbuatan-perbuatan pelaksanaan. Yang utama adalah bahwa dalam pelaksanaan perbuatan pidana itu ada kerja sama yang erat antara mereka itu, hal ini kiranya dapat ditentukan sebagai hakekat dari turut serta melakukan. Mereka yang Menganjurkan Orang Lain Melakukan Tindak Pidana (Uitlokkers) • Istilah dalam bentuk penyertaan ini oleh para sarjana digunakan dengan istilah yang saling berbeda. Istilah uitlokker oleh sebagian sarjana hukum pidana di Indonesia diterjemahkan dengan istilah pembujuk, hanya Moeljatno menggunakan istilah penganjuran untuk uitlokking. Selain itu Lamintang menerjemahkan uitlokken dengan menggerakkan orang lain. Kemudian juga Andi Zainal Abidin dan Andi hamzah menggunakan istilah memancing. • Selain itu menurut Roeslan Saleh, penganjur menganjurkan seseorang lain melakukan suatu delik (penulis: tindak pidana), yang karenanya orang lain diancam dengan pidana. Jika orang lain tersebut melakukan delik, maka ia tentu harus memenuhi unsur-unsur delik, tidak boleh ada alasan penghapusan pidana. Pendapat tersebut menjelaskan bahwa bentuk penganjuran berbeda dengan penyuruhan. Dalam hal penyuruhan seorang yang disuruh tidak dapat dipidana, tetapi sebaliknya penganjuran seorang yang dianjurkan untuk melakukan tindak pidana dapat dipidana. Hal tersebut yang menjadi pembatas tajam antara penyuruhan dan penganjuran. Oleh karena itu untuk dikatakan ada penganjuran harus memenuhi syarat- syarat: 1) Harus ada yang memiliki kesengajaan untuk melakukan tindak pidana dengan cara menganjurkan orang lain; 2) Harus ada orang lain yang dapat melakukan perbuatan yang sengaja dianjurkan; 3) Cara menganjurkan harus dengan cara-cara atau salah satu daya upaya sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 ayat (1) Ke-2 KUHP, yaitu: a) Dengan memberi atau menjanjikan sesuatu; b) Dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat; c) Dengan kekerasan; d) Dengan memakai ancaman atau penyesatan; dan e) Dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan. • Pembantuan (Medeplichtige)
Pembantuan merupakan bagian dari penyertaan yang diatur secara
tersediri dalam Pasal 56,57, 60 KUHP. Istilah pembantuan sebagai terjemahan medeplichtigheid merupakan istilah yang dipakai oleh para ahli hukum pidana Indonesia. Dalam berbagai literatur hukum pidana sudah umum dipakai istilah pembantuan tersebut. Pembantuan dapat terjadi pada saat terjadinya tindak pidana yang sedang dilakukan. Hal tersebut sesuai dengan rumusan tentang pembantuan “mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan”. Selain itu juga pembantuan dapat terjadi sebelum tindak pidana dilaksanakan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Roeslan Saleh, bahwa pembantuan dibedakan dari antara dua macam, yaitu pembantuan pada saat melakukan kejahatan, dan pembantuan yang mendahului perbuatannya, dengan memberi kesempatan, sarana (alat-alat) atau keterangan-keterangan. PENYERTAAN MENURUT KUHP • Menurut Pasal 55 KUHP terdapat 4 golongan yang dapat di pidana sebagai pembuat, yaitu:
1. Mereka yang melakukan (pleger)
2. Yang menyuruh lakukan (doenplegen) 3. Yang turut melakukan (medeplegen) 4. Mereka yang menganjurkan (uitloken) PENYERTAAN DENGAN KEALPAAN • Penggaradasian bentuk kealpaan dapat diterangkan dari dua susudt pandang. Pertama, dari sudut pandang kecerdasan atau kekuatan ingatan pelaku, maka diperbedakan gradasi kealpaan yang berat (culpa lata) dan kealpaan yang ringan (culp levis). • Untuk mengetahu apakah ada kealpaan atau tidak, dilihat dari sudut pandang kecerdasan, untuk gradasi kealpaan yang berat disyaratkan adanya kekuarangwaspadaan (onvoorzichtigheid), dan untuk kealpaan yang ringan disyaratkan hasil perkiraan atau perbandingan: 1. Tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain dari golongan pelaku atau; 2. Tindakan pelaku terhadap tindakan orang lain yang terpandai dalam golongan pelaku. • Sedangkan sudut pandang kedua penggradasian bentuk kealpaan dilihat dari sudut kesadaran (bewustheid), diperbedakan gradasi kealpaan yang disadari (bewuste schuld) terhadap kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld). • Dikatakan sebagai kealpaan yang disadari jika pelaku dapat membayangkan atau memperkirakan akan timbulnya suatu akibat. Tetapi ketika ia melakukan tindakannya dengan usaha pencegahan supaya tidak timbul akibat itu, namun akibat itu timbul juga. • Dan dikatakan sebagai kealpaan yang tidak disadari bila mana pelaku tidak dapat memperkirakan akan timbulnya suatu akibat, tetapi seharusnya (menueurut perhitungan umum/ yang layak) pelaku dapat membayangkannya (onverchilligheid ten opzichte van rechtsbelangen van anderen). Kealpaan karena yang disadari lebih berat sanksi pidananya dibdandingkan dengan kealpaan yang tidak disadari. Terminologi Kealpaan dalam KUHP : • Perumusan atau istilah-istilah yang digunakan dalam undang-undang yang menunjukan kealpaan adalah: • Karena salahnya (door zijn schuld te wijten is) antara lain pada pasal 188, 191, 195, 360 KUHP. • Kealpaan (onachtzaamheid) antara lain pada Pasal 231, 232 KUHP. • Harus dapat menduga (rederlijkerwijs moet vermoden) antara lain pada pasal 287, 292, 480 KUHP. • Ada alasan kuat baginya untuk menduga (Pasal 282 ayat 2) • Dihubungkan dengan gradasi kealpaan, dalam pengertian yang manakah kealpaan dalam undang-undang hukum pidana dapat diartikan. Ternyata dalam KUHP, tidak ada ketentuan atau penjelasan. Dari jurisprudensi diperoleh, bahwa untuk delik kejahatan, yang digunakan (pada umumnya) adalah gradasi kealpaan yang terberat yaitu culpa lata atau grove schuld. • Arrest HR 14 November 1887 juga menentukan bahwa kealpaan harus memenuhi kekurang hati-hatian yang besar/ berat, kesembronoan yang besar atau kealpaan yang besar. Jadi untuk suatu kejahatan yang dilakukan dengan kealpaan ringan (culpa levis) tidak dipertanggung jawabpidanakan kepada pelaku. • Demikian pula kepada pelaku tidak dituntut pertanggung jawaban pidana, bilaman ia melakukan suatu delik kejahatan dengan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste schuld). Kealpaan yang tidak disadari biasanya karena ketololan, ketidak tahuan, terkejut, kecapaian atau keadaan pikiran dan/ atau jiwa seseorang sehingga tak dapat menguasai tingkah lakunya secara normal dan sama sekali tidak dapat memperkirakan akibat dari tindakannya itu. Tindakan-tindakan Sesudah Terjadinya Tindak Pidana • Di dalam hukum, “Kapan perbuatan pidana terjadi”, dikenal dengan istilah Tempus Delicti. Tempus Delicti memang tidak diatur dalam dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP). Tapi berdasarkan teori-teori hukum yang ada kita bisa temukan beberapa pendapat terkait persoalan ini. Seperti H.B Vos dalam bukunya “Leerboek Van Nederlands Strafrecht, Derde Herziene Druk” berpendapat, perbuatan pidana itu terjadi saat tindak pidana dilakukan. Argumentasi Vos ini didasarkan pada ilustrasi yang dibuatnya sebagai berikut: • A menembak B pada 21 Maret. Dalam waktu bersamaan, A terkena serangan jantung dan mati, padahal B yang ditembak baru mati pada tanggal 22 Maret. Menurut Vos, jika tempus delicti dihitung saat terjadinya akibat, maka orang dapat membunuh orang lain, ketika pembunuhnya sudah mati, sedang yang dibunuh masih hidup. • Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya “Prinsip-Prinsip Hukum Pidana” juga sepakat dengan pendapat Jonkers. Alasannya: Pertama, perbuatan terdiri dari dua segi yaitu tindakan dan akibat. Kedua, tindakan dan akibat adalah suatu rangkaian persitiwa sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Ketiga, untuk menjerat pelaku, tanggal terjadinya tindakan dan tanggal terjadinya akibat harus disebut dengan jelas untuk menghindari celah hukum yang dapat digunakan pelaku untuk menangkis dakwaan. Perbuatan Penyertaan pada Penyertaan • Menurut S.R. Sianturi, S.H. bahwa pemberian kesempatan, sarana atau keterangan adalah cara untuk menggerakkan seseorang. Jelas kiranya bahwa jika ada pembantu tentu ada yang dibantu, yaitu yang disebut sebagai pelaku utama atau petindak. Hubungan antara pembantu dengan petindak atau pelaku utama adalah pembantuan. Pembantuan ditentukan bersamaan dengan terjadinya kejahatan (Pasal 56 ke-1 KUHP) atau mendahului terjadinya kejahatan (Pasal 56 ke-2 KUHP). • Selain itu, Sianturi membedakan antara pembantuan aktif dan pembantuan pasif: 1. Pembantuan aktif (active medeplichtigheid) adalah benar-benar terjadi suatu gerakan untuk melakukan suatu tindakan (bantuan). 2. Pembantuan pasif (passive medeplichtigheid) adalah tidak melakukan suatu gerakan/tindakan, namun dengan kepasifannya itu ia telah dengan segaja memberi bantuan. • Mengenai bentuk pertanggungjawaban pembantuan berpedoman pada Pasal 57 KUHP yang berbunyi: (1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga (2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun (3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri (4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya. PENYERTAAN DALAM RUU KUHP Pasal 20 Setiap Orang dipidana sebagai pelaku Tindak Pidana jika: a. melakukan sendiri Tindak Pidana; b. melakukan Tindak Pidana dengan perantaraan alat atau menyuruh orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan; c. turut serta melakukan Tindak Pidana; atau d. menggerakkan orang lain supaya melakukan Tindak Pidana dengan cara memberi atau menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, melakukan Kekerasan, menggunakan Ancaman Kekerasan, melakukan penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan. Pasal 21 (1) Setiap Orang dipidana sebagai pembantu Tindak Pidana jika dengan sengaja: a. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan Tindak Pidana; atau b. memberi bantuan pada waktu Tindak Pidana dilakukan. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan terhadap Tindak Pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II. (3) Pidana untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana paling banyak 2/3 (dua per tiga) dari maksimum ancaman pidana pokok untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. (4) Pembantuan melakukan Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. (5) Pidana tambahan untuk pembantuan melakukan Tindak Pidana sama dengan pidana tambahan untuk Tindak Pidana yang bersangkutan. Pasal 22 Keadaan pribadi pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 atau pembantu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dapat menghapus, mengurangi, atau memperberat pidananya.