You are on page 1of 60

TINDAK

PIDANA
DR. H. WAHYU WIRIADINATA, S.H., M.H.
WILLMAN SUPONDHO AKBAR, S.H., M.H.
PENGERTIAN STRAFBAAR
FEIT
“Feit” di dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari suatu
kenyataan” atau “een gedeelte van de wekelijkheid”,
sedangkan “strafbaar” berarti “dapat dihukum”. Strafbaar
feit diterjemahkan sebagai “sebagian dari suatu kenyataan
yang dapat dihukum”. Yang dapat dihukum itu manusia
sebagai pribadi dan bukan kenyataan, perbuatan ataupun
tindakan.
• Menurut Hazewinkel Suringa Strafbaar feit adalah suatu perilaku
manusia yang pada suatu saat tertentu telah ditolak di dalam
sesuatu pergaulan hidup tertentu dan dianggap sebagai perilaku
yang harus ditiadakan oleh hukum pidana dengan menggunakan
sarana – sarana yang bersifat memaksa yang terdapat di dalamnya.
• Profesor van hamel telah merumuskan Strafbaar feit sebagai suatu
serangan atau suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain
• Profesor POMPE telah merumuskan Strafbaar feit sebagai suatu pelanggaran
norma (gangguan terhadap tertib hukum ) yang dengan sengaja ataupun tidak
dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan
hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib
hukum dan terjaminnya kepentingan umum. Contoh suatu pelanggaran
norma yang telah dirumuskan didalam pasal 338 KUHP.
• Selanjutnya oleh profesor pompe bahwa menurut hukum positif kita Strafbaar
feit adalah tidak lain daripada sustu tindakan yang menurut sesuatu rumusan
undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
Bahwa untuk menjatuhkan suatu hukuman itu adalah tidak cukup
apabila disitu hanya terdapat suatu Strafbaar feit melainkan juga
harus juga ada suatu Strafbaar persoon atau seseorang yang dapat
dihukum, dimana orang tersebut tidak dapat dihukum apabila
Strafbaar feit yang telah ia lakukan tidak bersifat “wederrechtelijk”
dan telah ia lakukan baik dengan sengaja maupun tidak sengaja.
“wederrechtelijk heid” dan schuld itu merupakan unsur unsur yang
selalu melekat pada setiap Strafbaar feit ini bahwa orang tidak
dapat menyebut sesuatu tindakan itu sebagai suatu Strafbaar feit
apabila pada tindakan tersebut tidak melekat suatu sifat yang
wederrechtelijk ataupun tindakan tersebut oleh palakunya tidak
dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja.
• Profesor van Hattum berpendapat bahwa sesuatu tindakan itu tidak dapat dipisahkan dari
orang yang telah melakukan tindakan tersebut. Menurut beliau perkataan Strafbaar itu
berarti “voor starf in aanmerking komend” atau “straf verdienend” yang juga mempunyai arti
sebagai “pantas untuk hukum” , sehingga perkataan “Strafbaar feit” seperti yang telah
digunakan oleh pembentuk undang-undang didalam kitab undang-undang hukum pidana itu
secara “eliptis” haruslah diartikan sebagai suatu “tindakan yang karena telah malakukan
tindakan semacam itu membuat seseorang menjadi dapat hukum” atau suatu “feit terzake
van hetwelk een persoon strafbaar is”
• Profesor van Hattum, semua syarat yang harus telah terpenuhi sebagai syarat agar seseorang
itu dapat diadili haruslah juga dianggap sebagai unsur – unsur dari delik.
Profesor Simon telah merumuskan strafbaar feit itu sebagai
suatu tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan
dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh
seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas
tindakannya dan yang oleh undang – undang telah
dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.
Syarat – syarat pokok dari sesuatu delik itu adalah :
• Dipenuhinya semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik.
• Dapat dipertanggungjawabkannya si pelaku atas perbuatannya
• Tindakan dan pelaku tersebut haruslah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja.
• Pelaku tersebut dapat dihukum. Syarat – syarat penyerta seperti dimaksud diatas itu
merupakan syarat yang harus terpenuhi setelah tindakan seseorang itu memenuhi semua
unsur yang terdapat di dalam rumusan delik.
Di dalam beberapa rumusan delik kita dapat menjumpai disebutkannya beberapa syarat
tertentu, yaitu misalnya :
• Bahwa cara melakukan sesuatu tindak pidana atau sarana yang digunakan untuk melakukan
tindak pidana tersebut haruslah memenuhi syarat – syarat tertentu.
• Bahwa subjek maupun objek dari sesuatu tindak pidana itu harus lah mempunyai sifat – sifat
tertentu.
• Bahwa waktu dan tempat dilakukannya sesuatu tindak pidana itu haruslah sesuai dengan
syarat – syarat tertentu.
Syarat – syarat yang menentukan bahwa sesuatu tindak pidana itu harus dilakukan dengan cara – cara
tertentu, dapat kita jumpai antara lain di dalam Pasal – pasal 211, 285, 289 dan 378 KUHP. Syarat –
syarat yang menentukan bahwa sarana yang telah digunakan untuk melakukan sesuatu tindak pidana
itu harus memenuhi syarat – syarat tertentu antara lain terdapat di dalam Pasal 363 ayat (1) angka 5
KUHP. Syarat-syarat yang menentukan bahwa subjek dari sesuatu tindakan pidana itu harus memiliki
sifat-sifat tertentu, dapat kita jumpai antara lain di dalam pasal-pasal 420 ayat 1 angaka 1 KUHP yanki
“ sebagai seorang hakim”, 307 KUHP yakni “sebagai seorang ibu”. 426 ayat 1 KUHP yakni “sebagai
seorang penjaga tahanan”. 420 ayat 1 angka 2 KUHP yakni “sebagai seorang jaksa”. 530 ayat 1 yakni “
sebagai pejabat agama”. 294 ayat 2 angka 2 KUHP yakni “seorang dokter, pendidik, atau pengawas”.
444 KUHP yakni “seorang nahkoda”. 294 ayat 2 angka 1 KUHP “seorang pegawai negeri” dan lain-lain.
Syarat-syarat yang menentukan bahwa objek dari suatu tindak pidana itu harus mempunyai sifat-sifat
tertentu. Dapat kita jumpai antara lain di dalam pasal-pasal 363 ayat 1 angka 1 KUHP yskni “ternak”
292 KUHP yakni “seorang anak yang belum dewasa”. 293 ayat 1 KUHP yakni “seorang anak yang
belum dewasa yang kelkuannya tidak cacat”. 191 KUHP yakni “bangunan yang gunanya adalah untuk
membagi air” dan lain-lain. Syarat-syarat yang menentukan bahwa waktu atau tempat dilakukan
sesuatu tindak pidana itu harus sesuai dengan syarat-syarat tertentu, dapat kita jumpai antara lain
dalam pasal-pasal 167 ayat 1 KUHP yakni “didalam suatu tempat kediaman atau didalam suatu
ruangan tertutup”. 124 KUHP yakni “pada waktu perang”. 363 ayat 1 angka-angka 1 dan 2 KUHP yakni
“pada waktu terjadi kebakaran” dan laim-lain.
Di dalam kepustakaan kita juga sering menjumpai
perkataan-perkataan lain untuk menyebut apa yang
dimaksud dengan “Strafbaar feit”, yakni delictum didalam
bahasa latin. Delict didalam bahasa Belanda. Delikt didalam
bahasa Jerman, delit didalam bahasa Perancis ataupun delik
didalam bahasa Indonesia.
UNSUR – UNSUR TINDAK
PIDANA
Menurut ilmu pengetahuan hukum pidana, sesuatu tindakan
itu dapat merupakan “een doen” atau “een niet doen” atau
dapat merupakan “hal melakukan sesuatu” ataupun “hal tidak
melakukan sesuatu”, yang terakir ini didalam doktrin juga
sering disebut sebagai “een natalen” yang juga berarti “hal
mengalpakan sesuatu yang diwajibkan (oleh undang-undang).
• Setiap tindak pidana yang terdapat didalam KUHP itu pada umumnya dapat kita jabarkan
kedalam unsur-unsur yang pada dasarnya dapat kita bagi menjadi dua macam unsur yakni
unsur-unsur subjektif dan unsur unsur objektif.
• Unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur vyang melekat pada diri sipelaku atau yang
berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang
terkandung didalam hatinya.
• Unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan
yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah
• Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
• Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam pasal 53
ayat 1 KUHP.
• Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya didalam kejahatan-kejahatan
pencurian,penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.
• Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedache raad seperti yang misalnya yang terdapat didalam
kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.
• Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdaoat didalam rumusan tindak pidana menurut
pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
• Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid;
• Kualitas dari sipelaku misalnya “keadaan sebagai seseorang pegawai negeri”
didalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai
pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam kejahatan
menurut pasal 398 KUHP.
• Kausalitas yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan
sesuatu kenyataan sebagai berikut.
Di dalam kuliah – kuliah profesor Mr. Satochid Kartanegara telah semata-mata menggunakan
perkataan unsur sebagai nama kumpulan bagi apa yang disebut “bestanddeel” dan element
diatas dan kini kitapun akan menggunakan perkataan unsur dalam arti luas yakni yang meliputi
perkataan-perkataan bestanddeel dan element. Penggunaan dari perkataan unsur diatas bukan
disebabkan karena kita telah menjadi bingung karena adanya perkataan-perkataan bestanddeel
dan element didalam kepustakaan belanda dimana dua perkataan tersebut sesungguhnya juga
dapat diartika sebgai unsur, melainkan karena pembentuknundang-undang sendiri sebenarnya
telah memberikan arti kepada perkataan element atau unsur itu didalam pengertiannya yang
luas, yang meliputi semua bestanddeelen dari tindak pidana dan semua persyaratan-
persyaratan alainnya untuk membuat seseorang itu menjdai dapat dihukum. Yang dimaksud
dengan bestanddeelen van het dellict oleh profesor van bemmelen diatas itu adalah bagian-
bagian yang terdapat dalam rumusan delict.
Yang dimaksud dengan elementen van het delict itu adalah ketentuan-ketentuan yang tidak terdapat
didalam rumusan delict melainkan didalam buku ke-1 KUHP atau dapat dijumpai sebagai azas-azas hukum
yang bersifat umum yang dipandang sebagai azas-azas yang juga harus diperhatikan oleh hakim yang
terdiri dari berbagai elemet yakni
• Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya sesuatu tindakan atau sesuatu akibat terhadap pelakunya.
• Hal dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas tindakan yang telah ia lakukan atau atas akibat
yang telah ia timbulkan.
• Hal yang dapat dipersalahkannya sesuatu tindakan atau suatu akibat kepada seseorang, oleh karena
tindakan atau akibat tersebut telah ia lakukan atau telah ia timbulkan berdasarkan unsur kesengajaan
ataupun tidak kesengajaan.
• Sifatnya yang melanggar hukum.
• Untuk mengetahui apakah sesuatu tindak pidana itu harus dilakukan dengan sengaja atau
tidak ataupun harus dilakukan tidak dengan sengaja atau sebaliknya, pada apa yang oleh
undang-undang telah disebut sebagai kejahatan masalhnya adalah sangat mudah, oleh
kareana dan rumusan-rumusannya didalam buku ke-2 KUHP dengan mudah kita dapat
mengetahui apakah sesuatu kejahatan itu harus dilakukan dengan sengaja ataupun dengan
tidak sengaja.
• Dengan demikian maka seseorang itu dapat dikatakan bersalah telah melakukan sesuatu
kejahatan apabila kejahatan itu telah ia lakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan
sengaja.
Timbul kini sebuah pertanyaan yaitu bila mana sesorang itu dapat
dikatakan sebagai bersalah telah melakukan sesuatu tindak pidana
yang oleh undang-undang telah disebut sebgai pelanggaran.
Mengingat bahwa didalam rumusan-rumusannya didalam buku ke-
3 KUHP itu tidak dapat diketahui apakah sesuatu pelanggaran itu
harus dilakukan dengan sengaja atau tidak dengan sengaja.
PENJABARAN TINDAK PIDANA
KE DALAM UNSUR - UNSUR
Setelah kita mengetahui tentanga apa yang sebenrnya dimaksud dengan
strafbaar feit atau tindak pidana yang tentang penjabarannya kedalam unsur-
unsur, marilah kita untuk mencoba untuk menjabarkan beberapa tindak pidana
yang telah dirumuskan dialam kitab undang-undang hukum pidana dan
berusaha untuk memeberikan arti yang setepat-tepatnya kepada unsur-unsur
dari delik-delik tersebut dengan mencoba mengingat-ingat kembali beberapa
ajaran yang telah kita pelajari, misalnya mengenai metode-metode panafsiran
maslah dolus dan culpa maslah wederrechtelijkheid dan masalh straafbar feit ini
sendiri.
Kita kembali sebagai contoh misalnya tindak pidana seperti yang
telah dirumuskan didalam apasal 338 KUHP yang berbunyi “ barang
siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, karena
bersalah telah melakukan pembunuhan dihukum dengan hukuman
penjaran selama lama lima belas tahun” atau “Hij die opzettleijk een
ander van het leven berooft wordt als schuldig aan doodlag gestraft
met gevangenisstraft van ten hoogste vijftien jaren”.
• Mula-mula kita harus mengetahui tentang apa yang sebenernya telah dilarang oleh
ketentuan pidana seperti yang telah dirumuskan didalam pasal 338 KUHP itu. Hal ini sangat
penting dalam hubungannya dengan penafsiran mengenai “opzet” justru karena opzet
tersebut oleh pembentuk undnag-undang telah dinyatakan secara tegas sebagai unsur dari
delik.
• Ketentuan pidana dalam pasal 338 KUHP itu ternyata telah melarang orang untuk
menimbulkan suatu akibat yakni hilangnya nyawa orang lain . akibat yang terlarang itu
didalam ilmu pengetahuan hukum pidana disebut sesuatu “constitutief gevolg” atau suatu
akibat konstitutif. Sedang delik yang terjadi karena orang telah melanggar larangan untuk
menimbulkan sesuatu akibat konstitutif disebut delik material atau materieel delict.
• Mengenai unsur opzet tersebut, teringatlah kita pada pendapat dari profesor van hattum
yang antara lain mengatakan bahwa opzet el oogmerk itu hanya dapat ditujukan kepada
tindakan-tindakan. Opzet als wetenschap itu hanya ditujukan kepada keadaan-keadaan yang
menyertai tindakan-tindakan (begeleidende omstandingheden). Sedang terhadap sesuatu
akibat konstitutif itu orang dapat mempunyai bail opzet als oogmerk mapaun opzet als
wetenschap.
• Oleh karena hilangnya nyawa orang lain, itu merupakan suatu akibat konstitutif maka opzet
didalam rumusan delik menurut pasal 338 KUHP itu dapat ditafsirkan baik sebagai opzet als
oogmerk maupun sebagai opzet als wetenschap.
• Sebagai opzet als oogmerk sipelaku haruslah menghendaki matinya orang lain
dan sebagai opzet als wetenschap si pelaku mengetahui bahwa perbuatannya
itu dapat menimbulkan kematian orang lain.
• Apabila kita kini berusaha untuk menjabarkan delik pembunuhan diatas ke
dalam unusur-unsurnya dan berusaha untuk menentukan unsur-unsur yang
mana merupakan unsur subjektif dan unsur-unsur yang merupakan unsur
objektif maka kita akan memperoleh suatu penjabaran sebagai berikut.
Yang merupakan unsur subjektif adalah unsur opzettelijk
atau dengan sengaja. Yang merupakan unsur-unsur objektif
adalah:
• Unsur “menghilangkan nyawa” dan
• Unsur “nyawa orang lain”
Unsur-unsur tersebut merupakan unsur-unsur yang oleh pembentuk undang-undang telah
dinyatakan secara tegas sebagai unsur-unsur dari delik pembunuhan seperti yang telah ia
rumuskan didalam pasal 338 KUHP, maka penuntut umum harus mencantumkan semua unsur
itu didalam surat tuduhannya. Unsur-unsur tersebut adalah :
• Dengan sengaja (opzettelijk)
• Menghilangkan (beroven)
• Nyawa (leven) dan
• Orang lain (een ander).
Dengan dicantumkannya keempat unsur diatas didalam surat
tuduhan, maka itu juga berarti bahwa keempat unsur dari delik itu
oleh penuntut telah dituduhkan terhadap tertuduh, yakni telah
dipenuhi oleh tertuduh. Dan oleh karena keempat unsur itu telah
dituduhkan telah dipenuhi oleh tertuduh, maka dengan sendirinya
penuntut umum harus membuktikan kebenaran dari tuduhannya itu
didalam peradilan.
• Sebagai ketentuan, untuk dapat mengetahui denga setepat-tepatnya tentang arti atau
maksud dari sesuatu perkataan yang oleh pembentuk undang-undang telah disebutkan
sebagai suatu unsur dari suatu delik didalam undang-undang itu, penuntut umum berikut
hakim an tertuduh (atau pembelanya) harus berusaha untuk menemukan penjelasannya di
dalam undang-undang itu sendiri.
• Apabila orang tidak dapat memperoleh penjelasannya didalam undang-undang, oleh karena
undang-undang itu sendiri telah tidak memberikan penjelasannya mengenai perkataan-
perkataan yang dimaksud, maka biasanya orang kemudian melihat kedalam yurisprudensi,
yakni putusan-putusan dari badan-badan peradilan tertinggi kita mengenai berbagai maslah
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, untuk berusaha menemukan petunjuk-
petunjuk tentang arti atau maksud dari perkataan-perkataan yang dianggap kurang jelas.
• Dan baru kemudian setelah orang tidak dapat menemukan sesuatu penjelasan baik dalam
undang-undang maupun dalam yurisprudensi mengenai perkataan-perkataan yang ia
maksud, maka sebagai usaha terakhir pergilah ia kedalam doktrin unruk mengetahui tentang
bagaimana pendapat-pendapat didalam ilmu pengetahuan hukum pidana mengenai
perkataan-perkataan yang dipermaslahkan itu.
• Apa yang telah kita lakukan sampai sekarang yakni untuk mengetahui arti yang sebenarnya
dari perkataan perkataan seperti “opzet” “culpa” “schuld” “wederrechtelijk” “straafbaar feit”
dan lain-lainnya itu sesungguhnya telah ditempuh cara-cara sesuai dengan ketentuan di atas.
Menurut profesor van bemmelen, walaupun yang telah dituduhkan oleh
penuntut umu terhadap tertuduh itu seluruhnya dapat dibuktikan akan tetapi
apabila sesuatu unusur dari delik ternyata tidak dicantumkan didalam surat
tuduhan, maka berkatalah profesor van bammelen tersebut: “In zo’n gevel is
dus niet een strafbaar feit gesteld” atau “dalam hal semacam itu telah tidak
dituduhkan suatu tindak pidana” maka tertuduh tidak dapat dihukum, hingga
hakim harus memutuskan suatu ontslag van alle rechtvervolging atau hakim
harus membebaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum.
Sudah barang tertentu usaha untuk membuktikan adanya kehendak dan pengetahuan dari
tertuduh seperti dimaksud diatas itu adalah tidak mudah, oleh karena jarang terjadi bahwa
seseorang tertuduh itu dengan sukarela telah mempunyai keinginan untuk membantu
seseorang penuntut umum atau hakim didalam usahanya untuk membuktikan apa yang telah
dituduhkan oleh penuntut umum kepadanya. Dalam hal semacam ini, hakim dapat mengambil
kesimpulan dari berbagai keadaan yang telah diketahuinya pada waktu melakukan pemeriksaan
terhadap tertuduh, yakni untuk menentukan apakah kehendak atau menghilangkan nyawa dan
apakah pengetahuan tentang nyawa orang lain yang hendak dihilangkan itu benar-benar
terdapat pada diri tertuduh atau tidak.
JENIS – JENIS TINDAK PIDANA
Menurut profesor van hamel, pembagian dari tindak pidana menjadi tindak pidana kejahatan dan tindak
pidana pelanggaran itu telah mendapat pengaruh dari pembagian dari tindak pidana yang disebut
rechtsdelicten dan wetsdelicten sebagaimana yang dimaksud diatas akan tetapi berbeda dengan maksudnya
yang semula dari penciptanya yakni seorang penulis berkebangsaan jerman luden yang telah menggunakan
perkataan-perkataan tersebut untuk membuat suatu perbedaan antara tindakan-tindakan yang merugikan
hak-hak orang lain, maka para pembentuk dari kitab undang-undang hukum pidana kita lebih menggunakan
pembedaan tersebut berdasarkan pandangannya yang bersifat subjektif sesuai dengan pandangan menurut
mazhab sejarah, akan tetapi ditinjau dari penjelasannya mengenai onrecht sebelum diatur dan karena diatur
oleh undang-undang telah memberikan suatu kesan bahwa para pembentuk undang-undang kita itub telah
membuat suatu pembedaan antara “kejahatan” dan pelanggaran berdasarkan suatu pandangan yang bersifat
objektif sesuai dengan pandangan menurut mazhab hukum alam, yang telah menjadi sumber dari perbedaan-
perbedaan pendapat didalam pembahsan-pembahasan selanjutnya mengenai dasar-dasar dari pembentuk
undang-undang didalam membuat pembagian dari tindak pidana itu menjadi kejahatan dan pelanggaran.
• Pembagian dari tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran itu bukan
hanya merupakan dasar bagi pembagian kitab undang-undang hukum pidana
kita menjadi buku ke-2 dan buku ke-3 malainkan juga merupakan dasar bagi
seluruh sistem hukun pidana didalam perundang-undangan pidana sebagai
keseluruhan.
• Pembagian dari tindak pidana menjadi kejahatan dan pelanggaran seperti
dimaksud diatas membawa berbagai akibat hukum yang bersifat hukum
material, yaitu:
• Undang-undang telah tidak membuat suatu perbedaan antara opzet dan culpa didalam
pelanggaran;
• Percobaan untuk melakukan suatu pelanggaran tidak dapat dihukum;
• Keturutsertaan atau medeplichtigheid didalam pelanggaran tidak dapat dihukum;
• Didalam pelanggaran, pengurus atau anggota pengurus ataupun para komisaris itu hanya
dapat dihukum apabila pelanggaran itu telah terjadi dengan sepengetahuan mereka;
• Didalam pelanggaran itu tidak terdapat ketentuan bahwa adanya suatu pengaduan itu
merupakan suatu syarat bagi penuntutan;
• Jangka waktu kadaluarsanya hak untuk melakukan penuntutan (pasal 78 ayat 1 angka 1 KUHP) dan hak untuk
menjalankan hukuman (pasal 84 ayat 2 KUHP) pada pelanggaran itu pada umumnya adalah lebih singkat;
• Peraturan mengenai hapusnya hak untuk melakukan penuntut karena adanya suatu pembayaran secara
sukarela dari nilai denda yang setinggi-tingginya (pasal 82 ayat 1 KUHP) hanya berlaku bagi pelanggaran;
• Adanya ketentuan yang tersendiri mengenai dapat disitanya benda-benda yang diperoleh karena pelanggaran
(pasal 39 ayat 2 KUHP);
• Tindak pidana yang telah dilakukan oleh seorang warga negara Indonesia diluar negeri itu hanya menimbulkan
hak untuk melakukan penuntut bagi penuntut umum, apabila tindak pidana tersebut oleh undang-undang
pidana yang berlaku di Indonesia telah dikualifikasikan sebagai kejahatan dan bukan sebagai pelanggran;
• Ketentuan-ketentuan pidana menurut undang-undang Indonesia itu hanya dapat diberlakukan terhadap
pegawai negeri yang diluar negara Indonesia telah melakukan kejahatan-kejahatan jabatan dan bukan
pelanggran-pelanggran jabatan;
• Pasal-pasal penadahan (pasal 480 KUHP dan seterusnya) selalu mensyaratkan bahwa benda-benda yang
bersangkutan haruslah diperoleh karena kejahtan dan bukan karena pelnggaran;
• Ketentuan-ketentuan pidana khusus mengenai keturutsertaan didalam “drukpersdelicten” atau didalam delik-
delik yang telah dilakukan dengan alat cetak didalam pasal pasal 61 dan 62 KUHP itu hanya berlaku untuk
kejahatan kejahatan dan bukan untuk pelanggaran-pelanggaran.
Kecuali pembagian-pembagian seperti yang telah
disebutkan diatas, didalam ilmu pengetahuan hukum pidana
selanjutnya masih terdapat sejumlah pembagian-
pembagian lainnya dari tindak pidana - tidak pidana sebagai
berikut:
 
• Delik formal (formeel delict) dan delik material (materieel delict).
Pada umumnya rurmusan-rurmusan delik didalam kitab undang-undang hukum pidana itu merupakan rumusan-
rumusan dari apa yang disebut voltoold delict, yakni yang telah selesai dilakukan oleh pelaku yang sebenarnya.
• Delik formal atau formeel delict itu adalah delik yang dianggap telah selesai dengan dilakukannya tindakan yang
dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
• Delik material atau materieel delict itu adalah delik yang dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat
yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang.
Contoh-contoh dari delik-delik yang telah dirumuskan secara formal itu misalnya delik-delik yang telah dirumuskan
didalam pasal-pasal 162.209.210.242, dan 362 KUHP, sedang contoh-contoh dari delik-delik yang telah dirumuskan
secara material itu misalnya delik-delik yang telah dirumuskan didalam pasal-pasal 149,187,338 dan 378 KUHP.
• Delicta commissionis adalah delik-delik berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan
didalam undang-undang.
Beberapa contoh dari Delicta commissionis adalah misalnya delik-delik yang telah dirumuskan
didalam pasal-pasal 212,263,285, dan 362 KUHP. Contoh-contoh dari Delicta commissionis
adalah misalnya delik-delik yang telah dirumuskan didalam pasal-pasal 217,218,224, dan 394
angka 4 KUHP. Sedangkan contoh-contoh delik yang dapat terjadi karena orang telah melanggar
sesuatu larangan tanpa orang tersebut telah melakukan sesutau tindakan adalah misalnya delik-
delik yang telah dirumuskan didalam pasal-pasal 338 dan selanjutnya 351 dan selanjutnya KUHP.
• Opzettelijke delicten atau delik-delik yang oleh pembetuk undang-
undang telah disyaratkan bahwa delik-delik tersebut harus
dilakukan dengan sengaja dengan
• Culpooze delicten yakni delik-delik yang oleh pembetuk undang-
undang telah dinyatakan bahwa delik-delik tersebut cukup terjadi
dengan tidak sengaja agar pelkunya dapat dihukum.
• Yang dimaksud dengan zelfstandige delicten adalah delik-delik yang berdiri
sendiri, sedang yang dimaksud dengan voortgezette delicten adalah delik-
delik yang pada hakikatnya merupakan sesuatu kumpulan dari beberapa delik
yang berdiri sendiri, yang karena sifatnya dianggap sebagai satu delik.
Profesor simons menyangsikan apakah voortgezette delicten seperti itu dikenal
didalam undnag-undnag pidana kita. voortgezette delicten itu didalam ilmu
pengetahuan hukum pidana juga sering disebut sebagai delicta continuata.
Yang dimaksud dengan enkelvoudige delicten adalah delik-delik yang
pelakunya telah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan
tindakan yang dilarang oleh undang-undang sedang yang dimaksud
dengan samengestelde delicten adalah delik-delik yang palakunya
hanya dapat dihukum menurut sesuatu ketentuan pidana tertentu
apabila pelak tersebut telah berulangkali melakukan tindakan yang
sama yang dilarang oleh undnag-undang.
Profesor van hamel telah menyebut samengestelde delicten
itu juga sebagai collectieve delicten. Contoh-contoh dari
samengestelde delicten itu misalnya delik-delik seperti yang
telah dirumuskan didalam pasal-pasal 296 dan 481 ayat 1
KUHP.
• Yang dimaksud dengan aflopende delicten itu adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau
lebih tindakan untuk menyelesaikan suatu kejahatan, sedang yang dimaksud dengan
voordurende delicten itu adalah delik-delik yang terdiri dari satu atau lebih tindakan untuk
menimbulkan suatu keadaan yang bertententangan dengan sesuatu norma.
Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana voordurende delicten itu juga disebut sebagai delicta
continua
• Beberapa contoh mengenai voordurende delicten atau delicta continua itu misalnya delik-
delik seperti yang telah dirumuskan didalam pasal-pasal 124 ayat 2 angka 4, 228 dan 261 ayat
1 KUHP.
Dengan melihat pada rumusannya didalam undang-
undang, maka delik bigami itu adalah merupakan
suatu aflopende delicten ( pasal 279 ayat 1 KUHP)
demikian dengan delik desersi yang telah dilakukan
oleh seorang nahkoda ataupun oleh awak kapal
(pasal 453 KUHP)
Pentingnya pembagian dari tindak pidana kedalam aflopende
delicten dan voordurende delicten itu adalah untuk menentukan
saat dimulainya jangka waktu kadakuwarsa yaitu dihitung mulai hari
berikutnya setelah tindak pidana yang bersangkutan, sedang pada
voordurende delicten jangka waktu tersebut dihitung mulai saat
berhentinya keadaan yang terlarang
• Pada kejahatan terdapat sejumlah tindak pidana yang hanya dapat dituntut apabia ada pengaduan dari orang yang
dirugikan. Tindak pidana- tindak pidana seperti itu disebut klacht delicten yakni sebagai lawan dari apa yang disebut
gewone delicten yaitu tidak pidana - tindak pidana yang dapat dituntut tanpa diperlukan adanya suatu pengaduan
• Yang dimaksud klacht delicten atai delik-delik aduan seperti termaksud diatas misalnya adalah delik-delik yang telah
dirumuskan didalam pasal-pasal : 72,73,74,75,284 ayat 2, 287 ayat 2, 293 ayat 2, 319,3atau 20 ayat 2, 321 ayat 3, 332
ayat 2, 335 ayat 2, 367 ayat 2, dan 369 ayat 2 KUHP. Sedangkan delik-delik selebihnya didalam kitab undang-undang
hukum pidana itu merupakan gewone delicten atau delik-delik biasa yang dapat dituntut tanpa adanya sesuatu
pengaduan.
• Mengenai klacht delicten tersebut selanjutnya kita membuat suatu perbedaan antara yang disebut absolut
klachtdelict dengan yang disebut relatif klacht delict.
• Yang dimaksud dengan absolut klachtdelict atau delik aduan absolut adalah delik yang pada dasarnya adanya suatu
pengaduan itu merupakan voorwaarde van vervolgbaarheid atau merupakan syarat agar pelakunya dapat dituntut.
Diatas telah dikatakan pada dasarnya oleh karena keadaanya adlah
tidak selalu demikian yaitu misalnya delik penghinaan. Menurt
rumusannya didalam pasal 319 KUHP delict penghinaan itu
merupakan delik aduan absolut akan tetapi berdasarkan rumusannya
didalm pasal 316 KUHP delik penghinaan tersebut bukan merupakan
suatu delik aduan.
• Yang dimaksud dengan relatif klacht delict atau delik aduan relatif adalah delik dimana adanya suatu
pengaduan itu hanyalah merupakan suatu voorwaarde voor vervolgbaarheid atau suatu syarat untyk
dapat menuntut pelakunya yaitu bila mana antara orang yang bersalah dengan orang yang dirugikan itu
terdapat suatu hubungan yang bersifat khusus
• Sebuah contoh dari relatif klachdelict itu mislnya delik pencurian seperti yang telah dirumuskan didalam
pasal 367 ayat 2 KUHP dimana adanya suatu pengaduan dari orang yang dirugikan itu adalah
merupakan suatu syarat apabila orang yang bersalah atau yang telah merugikan dirinya itu adalah
seorang suami atau istri yang telah bercerai dari meja makan dan tempat tidur atau bercerai harta
kekayaan dengan dirinya ataupun apabila orang yang bersalah apabila atau yang telah merugikan
dirinya itu adalah saudaranya yang sedarah atau saudaranya karena perkawinan.
• Yang dimaksud dengan klacht atau pengaduan diatas adalah suatu laporan dengan permintaan untyk dilakukan penuntutan
terhapa orang atau terhadap orang-orang tertentu.
• Pada delik-delik pengaduan absolut itu adalah cukup apabila pengadu hanya menyebutkan peristiwanya saja sedang pada
delik-delik aduan relatif pengadu harus juga menyebutkan orangnya yang ia duga telah merugikan dirinya. Disebutkannya
nama-nama sesorang sebagai orang yang telah merugikan seorang pengadu pada sesuatu delik aduan absolut itu
memberikan kemungkinan kepada alat-alat negara untuk tidak saja melakukan penuntutan terhadap orang yang namanya
disebutkan oleh pengadu melainkan juga terhadap lain-lain peserta dari kejahatan walaupun nama-nama mereka itu tidak
disebutkan didalam pengaduan.
Misalnya seorang suami yang telah mengadukan kepada polisi tentang perbuatan zina yang telah dilakukan oleh seorang lelaki
dengan istrinya dengan permintaan agar lalaki tersebut dituttun karena melanggar pasal 284 KUHP.
Oleh karena delik seperti yang telah dirumuskan didalam pasal 284 KUHP itu adalah suatu delik aduan absolut dan walaupun
istrinya itu tidak ia sebutkan didalam pengaduan sebagai orang yang juga harus dituntut akan tetapi pengadua terhadap lelaki
yang telah melakukan suatu perzinaan dengan istrinya itu juga merupakan suatu pengaduan terhadap istrinya yang telah
malakukan perzinaan deng lelaki tersebut.
• Dengan demikian maka orang juga sering mengatakan bahwa suatu pengaduan pada delik-delik
pengaduan absolut itu adalah onsplitbaar atau tidak dapat dipecahkan dan tidaklah demikian halnya
dengan suatu pengaduan pada delik-delik aduan relatif yang splitbaar atau dapat dipecahkan.
• Pada delik-delik aduan relatif itu alat-alat negara hanya dapat melakukan penuntutan terhadap orang
yang namanya telah disebutkan oleh pengadu sebagai orang yang telah merugikan dirinya. Apabila
didalm suatu delik aduan relatif itu terdapat lain-lain peserta maka setiap peserta itu tidak dapat
dituntut apabila nama mereka telah tidak disebutkan didalm pengaduan.
• Selain dari apa yang telah dietntukan didalampasal-pasal 72 dan 73 KUHP pada umumnya yang
berwenang untuk mengajukan suatu pengaduan itu adalah orang yang menurut sifat dari kejahatannya
secara langsung telah menjadi korban atau secara langsung telah dirugikan.
Hal mana dengan mudah dpat kita ketahui dari
ketentuan-ketentuan pidana seperti yang telah
dirumuskan didalam pasal-pasal 293 ayat 2, 319, 322
ayat 2, 335 ayat 2, 367 ayat 2, dan 485 KUHP.
• Pembedaan gemene delicten atau delik-delik umum dengan politieke delicten atau delik-delik politik itu
adalah sangat penting bagi lembaga utilevering atau ekstradisi mengingat bahwa perjanjian-perjanjian
extradisi yang telah diadakan antara kerajaan belanda dengan negara-negara asing yang diantaranya
juga berlaku bagi republik indonesia itu menutup kemungkinan diextradisikannya apa yang disebut
politike delinqueenten atau orang-orang yang telah melakukan kejhatan-kejahatan politik
• Dahulu kala dengan mudahnya para penjahat politik itu dapat diextradisikan kenegara-negara yang telah
mereka rugikan. Akan tetapi sejak belgia pada tahun 1833 mencantmkan ketentuan tentang tidak
dimungkinkannya extradisi dari orang-orang yang telah malakukan kejahatan-kejahatan politik didalam
pasal 6 dari undang-undang tahun 1833, extradisi itu telah berkembang menjadi suatu lembaga hukum
yang diatur secara tegas dan didalam praktik secra internasional telah diakui secara umum dan diikuti
dengan negara-negara lain.
• Bagi negara kita, tertutupnya kemungkinan untuk mengextradisikan orang-orang yang telah dituduh
melakukan kejhatan-kejahatan politik itu telah tidak dicantumkan didalam sesuatu pasal undang-
undang melainkan didalam perjanjian-perjanjian extradisi yang telah dilakukan oleh kerajaan belanda
dengan negara-negara asing tertentu yang diwasa ini juga berlaku bagi republik indonesia.
• Negara kita tidak mengenal lembaga mengextradisikan kewarganegara sendiri melainkan hanya
mengenal lembaga extradisi dari orang-orang asing yaitu sebagai mana yang telah diatur didalam
peraturan uitlevering van vreemdelinge tercantum didalam koninklijk besluit atau didalam putusan
kerajaan tanggal 8 Mei 1883 Nomor: 26 staatblads tahun 1883 nomor 188.
Menurut hazewinkel - suringa, tertutupnya kemungkinan untuk mengextradisikan orang-orang
yang telah melakukan kejahatan-kejhatan politik itu adalah anatara lain :
• Karena kejahatan-kejahatan politik itu kebanyakan ada hubuganya dengan buruknya bentuk
negara dari negara yang telah meminta extradisi.
• Karena para pelaku itu sering kali merupakan orang-orang yang terhormat, orang-orang yang
berani yang tidak sudi menjadi budak-budak dibawah pemerintahan yang mereka benci dan
• Karena kekuasaan pengadilan dinegara yang meminta extradisi itu tidak selalu bersikap tidak
memihak.
Kesulitan untuk menentukan apakah sesuatu delik itu merupakan suatu kejahatan politik yang
murni atau bukan sering kali timbul oleh karena didalam kenyataan memang terdapat
kejahatan-kejahatan politk yang murni yang tujuan dari para pelakunya itu bersifat
ketatanegraan, akan tetapi disamping kejahatan-kejahatn tersebut juga terdapat sejumlah
kejahatan-kejahatab yang tampaknya mirip dengan kejhatan-kejahatan politik, akan tetapi
sebenarnya adalah tidak demikian, yakni misalnya pembunuhan terhadap kepala negara dengan
latar belakang berupa balas dendam yang bersifat pribadi. Sebaliknya juga sering
dijumpaisejumlah kejahatan-kejahatan yang tanpakna adalah mrip dengan gemendelicten akan
tetapi kejahatan-kejahatan itu sesungguhnya adalah merupakan politieke delicten yaitu
misalnya pencurian terhadap surat-surat negara yang bersifat rahasia
• Yang dimaksud dengan delicta commonia itu adalah delik-delik yang dapat
dilakukan oleh setiap orang, sedang yang dimaksud dengan delicta propria
adalah delik-delik yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang
mempunyai sifat-sifat tertentu misalnya sifat-sifat sebgai pegawia negeri,
sebagai nahkoda ataupun sebgai anggota militer.
delicta commonia itu sering juga disebut gemene delicten atau sebagai algemen
delicten. Sedangkan delicta propria bijzondere delicten atau delik-delik yang
bersifat khusus.
• Yang dimaksud dengan eenvoudige delicten atau delik-delik yang sederhana adalah delik-
delik dalam bentuk yang pokok sperti yang telah dirumuskan oleh pembentuk undang-
undang.
• Yang dimaksud dengan gequaliceerde delicten atau delik-delik dengan pemberatan adalah
delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena didalamnya terdaoat keadaan-keadaan
yang memberatkan maka hukuman yang diancamkan menjadi yang diperberat.
• Yang dimaksud dengan geprivilieerde delicten atau delik-delil dengan keadaan-keadaan yang
meringankan adalah delik-delik dalam bentuk yang pokok, yang karena didalamnya terdapat
keadaan - keadaan yang meringkan, maka hukuman yang diancamkan menjadi diperingan.
• Contoh dari suatu eenvoudige delicten atau suatu delik yang sederhana adalah misalnya delik
pembunuhan seperti yang telah dirumuskan didalam pasal 338 KUHP yakni, kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain yang diancam dengan hukuman penjara selama-lamanya 15
tahun.
• Contoh dari suatu geprivilieerde delicten atau suatu delik dengan pemberatan adalah
misalnya delik pembunuhan seperti yang telah dirumuskan didalam pasal 340 KUHP yakni
delik pembunuhan dalam bentuk yang pokok berupa kesengajan menghilangkan nyawa orang
lain, yang karena didalamnya terdpat keadaan yang memberatkan yaitu dengan direncanakan
terlebih dahulu, maka dihukuman yang diancakan menjadi diperberat yaitu dengan hukuman
penjara seumur hidup atau dengan hukuman penjara selama-lamanya 20 tahun.
Contoh dari suatu geprivilieerde delicten atau suatu delik dengan keadaan-
keadaan yang meringankan adalah misalnya delik pembunuhan seperti yang telah
dirumuskan didalam pasal 341 KUHP yakni suatu delik pembunuhan dalam
bentuk yang pokok berupa suatu kesnegajaan untuk menghilangkan nyawa orang
lain (dalam hal ini adalah nyawa dari anak yang baru ia lahirkan) yang karena telah
dilakukan seorang ibu dengan suatu keadaan yang meringankan yaitu semata-
mata karena takut akan diketahui oleh orang lain bahwa ia telah melahirkan
seorang anak, maka hukuman yang diancamkan terhadap pelakuknya itu menjadi
diperingan yaitu dengan suatu hukuman penjara selama-lamanya tujuh tahun.

You might also like