You are on page 1of 60

HUKUM

KEPOLISIAN

Oleh:
Dr. Zulkarnein Koto, S.H., M.Hum., dan TIM
Pemakaian istilah “POLISI”, untuk menyebut :
 Lingkungan pekerjaan tertentu (tugas Polisi).

 Badan/Organ yang melaksanakan tugas (organ

Polisi).
 Pejabat yang mengemban tugas (Pejabat Polisi).

 Bidang ilmu pengetahuan yang digunakan dalam

tugas kepolisian (Ilmu Kepolisian).


 Sebutan Lain…?
PENGERTIAN HUKUM KEPOLISIAN
 Hukum yang mengatur tentang tugas dan wewenang
kepolisian;
 Hukum yang mengatur segala hal dalam penyelenggaraan
kepolisian yang bersangkutan dengan organisasi, tugas
dan wewenang, landasan yuridis tindakan kepolisian, dan
tanggung gugat atau tindakan kepolisian serta
hubungannya dengan lembaga lain (Kamus Hukum).
 Hukum yang mengatur tentang tugas, status, organisasi
dan wewenang Polisi, baik sebagai fungsi maupun sebagai
organ. (Soebroto Brotodiredjo SH).
 Hukum tindakan polisional (pandangan eksternal)
atau hukum pelaksana tugas dan kewajiban
polisional (pandangan internal).
1. personil polri selaku pengemban fungsi
kepolisian,
2. pengemban fungsi kepolisian lainnya yang
bukan personil polri,
3. masyarakat yang melakukan tindakan dan atau
kewajiban polisional.
Pembaharuan Hukum
Pembaharuan Hukum menurut Soertandyo
Wignjosoebroto mempunyai dua arti:
1. Legal Reform;

2. Law Reform.

Kedua istilah ini hampir sulit untuk mendapati


padanannya dalam Bahasa Indonesia yang tepat
(dan berbeda) untuk masing-masing;
Legal Reform

Ciri utama Legal Reform antara lain:


1. Dilandasi aliran filsafat Positivism;

2. Hasil proses politik yang disadari;

3. Elitis – Eksklusif;
Positivism

Legal reform dilandasi filsafat positivism karena:


1. Legisme telah menjadikan legal reform sekedar perubahan undang-
undang, pasal, ayat atau susunan kata-kata dalam undang-undang;
2. Pembaharuan sejati sebenarnya belum terbukti berhasil karena Logic
Positivistik yang berlandaskan peraturan (rule bound), telah
menempatkan masalah hukum sebagai sekedar kumpulan masalah
yang diprediksi menjadi suatu yang sederhana, linear, mekanistik,
deterministik, terutama untuk kepentingan tertentu (biasanya dibawah
slogan untuk kepentingan nasional);
3. Masalah hukum dilihat dari teleskop undang-undang belaka untuk
kemudian menghakimi peristiwa dalam masalah itu, kebiasaan yang
dominan adalah melihat dan memahami hukum sebagai suatu yang
rasional logis, penuh dengan kerapihan dan keteraturan nasional.
Hasil Proses Politik yang disadari
Legal Reform merupakan upaya mewujudkan pikiran
Roscoe Pound, bahwa hukum merupakan “a tool of social
engineering”, yang dilakukan melalui proses judisial;

Namun demikian di Indonesia gagasan ini justru lebih


dijalankan melalui kebijakan legislasi. Ketika pemikiran
ini diimpelentasikan oleh Mochtar Kusumaatmadja, ditandai
oleh pertumbuhan undang-undang baru, yang melahirkan
disiplin hukum baru;
Proses Judisial
Legal Reform melalui proses judisial merupakan upaya
mendekatkan norma hukum yang ada dengan kebutuhan masyarakat.
Disini praktek hukum menjauhkan makna norma dari pengertiannya
sewaktu hal itu dibentuk, dan membawanya dalam pengertian
pemecahan masalah masyarakat, yang selama ini diabaikan atau luput
dari perhatiaan pembentuk undang-undang;
Perilaku masyarakat yang sejalan dengan undang-undang pun harus
didorong untuk memperhatikan cara-cara baru bertindak, melalui
putusan-putusan dan penetapan-penetapan yang dilakukan para
hakim.
Sistematika Hukum Baru

Legal Reform berakibat pada “ditinggalkannya” sistematika


hukum secara klasik (classical school) yang biasanya
membagi hukum ke dalam:
1. Hukum Publik; dan

2. Hukum Privat,

dan digantikan sistematika baru yang mengacu pada gagasan


welfare state, dimana hukum kemudian dipetakan menjadi:
3. Basic law;

4. Sectoral law.
SECTORAL LAW

Tuntutan untuk mewujudkan welfare state, menyebabkan legal reform


mendesak sistematika hukum dengan menghadirkan bidang-bidang hukum
sektoral baru, yang bersifat dinamis sejalan dengan sektor pembangunan
yang sedang trend, seperti:
1. Hukum di sektor pembangunan manusia, misalnya: Health Law,
Education Law, International Migration Law;
2. Hukum di sektor pembangunan perekonomian, misalnya: Investment
Law, Creative Economic Law, Art and Sport Law, Fintech Law;
3. Hukum di sektor pembangunan kemaritiman, misalnya:
Transportation Law, Sea Law, Management Coastal and Small Island Law;

4. Hukum di sektor pembangunan politik, pertahanan dan


keamanan, misalnya: Cyber Space Security Law, Refugees Law,
Elitis

Legal reform bersifat elitis, dan karena:


1. Tidak dimaksudkan untuk menangkap kebutuhan
masyarakat, sehingga masyarakat sebenarnya tidak
akan dapat mengikuti pembaharuan yang terjadi;
2. Merupakan linguistic dominating problem yang dikuasai
para elite, legal drafter, profesional, dan pakar;
3. Dalam rangka merespons kebutuhan mereka yang mapan,
daripada kepekaan terhadap kebutuhan masyarakat awam
dan mereka yang termarginalkan;
4. Kesamaan kesempatan mendapatkan legal access hanya
kata-kata indah, retorika, teoretis, dan norma yang abstrak,
Law Reform

Ciri utama Law Reform antara lain:


1. Dilandasi aliran filsafat Legal Realism;

2. Hasil proses pembudayaan hukum;

3. Partisipatif – Inklusif;
Legal realism

Law reform dilandasi filsafat legal realism karena:


1. Hukum sebenarnya bukan dalam undang-undang (law as it
is not only written in the books), tetapi hal-hal yang
dipraktekkan masyarakat sebagai hukum;
2. Pembaharuan karenanya ditujukan untuk membangun
budaya masyarakat yang “baru” dengan menggunakan
instrumen hukum yang tersedia (the new culture of law);
3. Hakim bukan “corong” undang-undang, melainkan hanya
menempatkan undang-undang sebagai salah satu “sumber”
(standard) prilaku yang diperiksa, diadili dan diputuskannya.
Hasil Proses Pembudayaan Hukum
Law Reform merupakan upaya menolak pemikiran Langdell
bahwa hukum adalah “sistem logis dan tertutup”, dimana cara
kerja para juris dengan dengan case method (Socrates method) di
perpustakaan hukumnya, sama dengan cara kerja fisikawan
menemukan hubungan sebab akibat di laboratoriumnya;
Pembaharuan hukum berorientasi pada menjadikan konstruksi
hukum ideal “hidup” ditengah-tengah masyarakatnya. Holmes
mengatakan bahwa "life law has not been logic, it is experience“.
Bagaimana membudayakan nilai-nilai hukum yang diperjuangkan,
sehingga dapat menjadi bagian dari kehidupan hukum masyarakat
itu sendiri (living law).
Rechter  Pembudayaan Hukum
Law reform menempatkan hakim dalam posisi sentral, yang diberi hak untuk
melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dan bahkan penciptaan atau
pembentukan hukum (rechts schcipping), dan hakim tidak hanya sekedar
corong dari undang-undang (rechtoepassing);

Hakim tidak boleh “dibelenggu” oleh undang-undang, terlebih jika dengannya


justru melahirkan ketidakadilan dalam masyarakat. Dengan semua hal dapat
dijadikan sumber bagi hakim, seperti agama, ajaran moral, perkembangan ipteks
dan lain sebagainya;

Hakim harus mampu membuka seluas-luasnya cakrawala hukum, untuk dapat


mewujudkan keadilan bagi semua. Memenuhi rasa keadilan masyarakat
merupakan target pekerjaannya sehari-hari, dan jika undang-undnag tidak cukup
memberikan petujuk, dalami apa yang dirasakan masyarakat. Hakim
adalah telinga, mata dan keingginan terdalam masyarakat.
Partisipatif - Inklusif

Law reform melibatkan seluruh partisipasi masyarakat, dimana hukum


didedikasikan sebagai bagian dari budaya masyarakat yang
diharapkan tumbuh.
Undang-undang dibuat untuk membudayakan tujuan ideal
bermasyarakat. Misalnya undang-undang dibuat bukan untuk melarang
merokok, tetapi untuk menumbuhkan kesadaran bahaya merokok bagi
diri perokok, atau masyarakat dan lingkungan sekitarnya.
Masyarakat didorong untuk sesuai kapasitasnya menunjukkan kepada
perokok, bahwa dalam kenikmatannyanya itu mendatangkan
penderitaan pihak lain (menutup hidung dan mulut dengan sapu
tangan, mengusir asap rokok, dan menyatakan dengan kata-kata
kepada perokok tentang bahaya dari perbuatannya);
Pembangunan Hukum
Pembangunan hukum dapat dibedakan ke dalam dua bagian, yaitu:
1. Pembaharuan Hukum;

2. Pembinaan Hukum.

Kedua istilah ini kerap tidak dibedakan dalam literatur, walaupun


keduanya mempunyai wilayah garapan yang berbeda.
Dalam konteks pembangunan hukum, pembaharuan hukum selalu
menitikberatkan pada legal reform, sedangkan law reform menjadi
bagian dari bidang pembinaan hukum.
Pembaharuan dan Pembinaan Hukum
Pembangunan hukum disini bicara tentang hubungan timbal balik
hukum dan pembangunan. Pembaharuan hukum merupakan usaha
untuk memastikan kebijakan pengaturan dapat mencapai
tujuan kehidupan bersama yang telah ditetapkan secara efektif.

Sedangkan Pembinaan hukum merupakan usaha untuk


memfungsionalisasi hukum dalam menyelesaikan permasalahan
masyarakat, yang berorientasi pada meningkatkan kesadaran
dan kepatuhan masyarakat terhadap hukum.
Faktor Penentu Pembangunan Hukum
Kebenrhasilan pembangunan hukum ditentukan oleh
beberapa fakto.
Menurut Yong-Shik Lee, hubungan kausal antara hukum
dan pembangunan melalui kebijakan pengaturan yang
berdampak bagi pembangunan bergantung pada:
1. Regulatory design;

2. Regulatory compliance;

3. Quality of Mechanisms.
Regulatory Design

Pembaharuan hukum terutama berkaitan dengan “regulatory design”,


yang sekalipun secara akademik dapat dibedakan dengan “regulatory
compliance” dan “quality of mechanisms”, tetapi saling berhubungan
dan saling mempengaruhi satu sama lain. ;

Regulatory design berkenaan dengan bagaimana secara optimal


suatu hukum dirancang untuk mencapai tujuan pengaturannya. Hal
ini tentunya meliputi langkah-langkah yang sangat rumit, yang
dilakukan dengan menganalisis tiga komponen utama:
1. Anticipated policy outcome;

2. Organization of law, legal framework and institutions;

3. Adaptation to socioeconomic conditions;


Anticipated Policy Outcome
Perancangan hukum sebagai bagian dari pembaharuan hukum merupakan
suatu “gerakan”, yang tidak statis, tetapi berkembang secara dinamis dari
waktu ke waktu. Jika tahun 1950an sd 1960a perancangan hukum terutama
ditujukan untuk “modernisasi” penyelenggaraan berbagai kepentingan
(industri, ekonomi, keuangan dll), maka tahun 1980an sd 1990an projek
pembaharuan hukum dilakukan dalam rangka “liberasisasi”, yaitu
mengurangi intervensi negara dalam sektor-sektor kehidupan masyarakat
tertentu (terutama sector ekonomi);
Berikutnya pembaharuan hukum terutama ditujukan sebagai respons dari
“globalisasi”. Disini keterlibatan PBB menunjukkan pemeningkatan secara
signifikan. Setelah di era 2000-2015 dengan Millennium Development
Goals (MDGs), sekarang ini pembangunan hukum harus ditempatkan sebagai
bagian dalam tahap Sustainable Development Goals (SDGs: 2015-2030).
SDGs
Sustainable Development Goals (SDGs: 2015-2030), yang
mempunyai 17 tujuan dan 168 indikator. Semua tujuan
dimaksud membutuhkan intervensi hukum. Namun demikian,
diantaranya yang terpenting adalah tujuan ke-16 SDGs, yang
mempunyai kaitan sangat penting dengan pembaharuan
hukum, yaitu: “menguatkan masyarakat yang inklusif
dan damai untuk pembangunan berkelanjutan serta
menyediakan akses keadilan bagi semua manusia, dan
Membangun Kelembagaan yang Efektif, Akuntabel dan
Inklusif di semua tingkatan”.
Indikator
Tujuan ke-16 memiliki sejumlah indikator berupa:
1. Secara signifikan mengurangi segala bentuk kekerasan dan angka
kematian terkait apapun;
2. Menghentikan perlakuan kejam, eksploitasi, perdagangan, dan segala
bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak;
3. Menggalakan (kedaulatan) hukum di tingkat nasional dan internasional
dan menjamin akses yang sama terhadap keadilan bagi semua;
4. Pada tahun 2030 secara signifikan mengurangi penggelapan uang
maupun senjata, menguatkan pemulihan dan pengembalian aset
curian dan memerangi segala bentuk kejahatan yang terorganisasi;
5. Secara substantial mengurangi korupsi dan penyuapan dalam segala
bentuknya;
Indikator…
6. Mengembangkan lembaga yang efektif, akuntabel dan
transparan di semua tingkat;
7. Menjamin pengambilan keputusan yang responsif,
inklusif, partisipatif, dan representatif di semua tingkatan;
8. Perluasan dan penguatan partisipasi negara-negara
berkembang di dalam gavernansi global;
9. Pada tahun 2030 memberikan identitas yang sah bagi
semua termasuk pencatatan kelahiran;
10. Menjamin akses publik terhadap informasi dan melindungi
kekebasan mendasar, sesuai dengan pengaturan nasional
dan kesepakatan internasional;
Organizational Law

Konsepsi pengorganisasian hukum kini berpangkal tolak dari


kenyataan seperti apa yang dikatakan Jimly Asshidiqie bahwa pilar
penentu kedaulatan dalam bernegara tidak lagi tunggal (monism),
tetapi cenderung jamak (pluralism);
Negara (baca lembaga pembentuk UU) bukan satu-satunya penentu
kedaulatan dalam negara hukum. Namun demikian selain state actor,
kini kedaulan dalam negara hukum turut ditentukan oleh civil society
dan market-pers. Ada kalanya hukum nasional (peraturan
perundang-undangan) tidak lagi eksis dalam suatu masalah tertentu,
digantikan oleh hukum masyarakat. Pembaharuan hukum ditandai
oleh reposisi negara dalam melakukan pengorganisasian
hukum bidang-bidang yang telah menjadi wilayah perngembangan
society law;
Perkembangan pembentukan state law
Perkembangan hukum negara dapat dikenali melalui
beberapa tahap, yaitu:
1. Charismatic legal, sebagai bentukan dari wahyu Illahi
(law prophets);
2. Empirical creation and finding of law oleh sarjana-
sarjana hukum terkemuka;
3. Imposition of the law oleh para penguasa sekuler
atau teokratik;
4. Systematic elaboration of law and
professionalized administration of justice oleh
mereka yang menerima pendidikan dan pelatihan secara
formal tentang hukum;
State Law vs Society Law
Jika dewasa ini pengorganisasian hukum ditandai oleh kebijakan
sistematisasi dari hukum. Indonesia sebagai bagian keluarga hukum Eropa
Daratan, telah dapat membedakannya “hukum” dilihat dari kegiatan yang
menghasilkannya, yaitu: kegitan pengaturan yang menghasilkan
regeling (peraturan perundang-undangan), kegiatan penetapan yang
menghasilkan beshickking (keputusan administrasi) dan kegiatan
pengadilan yang menghasilkan vonnis (putusan);
Namun demikian, pengorganisasian hukum tidak hanya meliputi “state law”
seperti di atas, tetapi perlu diperhatikan “hukum” yang dibentuk oleh kelompok
masyarakat tertentu (society law). Baik yang berlaku secara lokal (misalnya
hukum adat), maupun yang berlaku secara transnasional (misalnya hukum
keolahragaan yang dibentuk oleh lembaga-lembaga olah raga dunia, baik lex
sportiva yang dikeluargkan suatu organisasi olah raga dan rule of the game
bermain olah raga tertentu yang berlaku sebagai hukum (res judicata).
Kekuasaan Informal
Adakalanya kekuasaan informal yang mempunyai pengaruh yang sangat besar
dalam pembentukan hukum, yang antara lain:
1. Kelompok pemodal dan penguasa di bidang ekonomi akan mewarnai
pembetukan hukum. Bahkan pembentukan hukum diwarnai oleh upaya
menyeimbangkan kepentingan kelompok-kelompok pemodal dan penguasa
dalam bidang ekonomi (akhir-akhir ini disebut oligarki), guna menghindari
stagnasi dalam pelaksanaannya kelak;
2. Kekuatan pressure group dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan, masih ditambah dengan kelompok-kelompok yang dibentuk
dengan berbasiskan kebudayaan dan keagamaan, justru memberi
pengaruh yang cukup mendalam dalam pembentukan hukum di
Indonesia;
3. Kontribusi kelompok intelektual dan civil society lainnya termasuk
Pers, bahkan boleh jadi ada kelompok kriminal memberi “kontribusi“
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan;
Kekuasaan…
4. Pengaruh perusahaan-perusahaan multinasional yang mempunyai
kepentingan bisnis di Indonesia, yang disinyalir ikut memberikan
pengaruhnya dalam pembentukan peraturan perundangan. Pembentukan
hukum dewasa ini juga dipengaruhi oleh globalisasi, yang memungkinkan
pembentukan hukum di suatu negara tidak hanya dipandang sebagai
suatu masalah lokal, melainkan setiap pihak di luar negara itu yang
mempunyai kepentingan didalamnya menjadi ikut berperan. Oleh karena
itu, pembentukan hukum suatu negara turut dipengaruhi kebijakan
negara-negara satu kawasan, atau komunitas internasional lainnya.
Indonesia sebagai salah satu negara demokrasi baru, adalah negara yang
sedang mengembangkan hukumnya, mencoba menampilkan jatidirinya
dalam setiap peraturan peundang-undangan yang dihasilkan. Sementara
kekuasaan ekonomi global, melalui perusahaam multinasional tersebut
“tidak selalu rela” membiarkan perkembangan itu tanpa disertai campur
tangannya, guna menjamin kepentingannya. Tidak mengherankan
ketegangan-ketegangan selalu muncul setiap kali dilakukan pembentukan
peraturan perundang-undangan yang berdampak global;
Keseimbangan Kekuatan
Pembentukan peraturan perundang-undangan oleh karenanya
ditandai pula dengan persaingan untuk memperoleh keseimbangan
antara kekuasaan pusat dan daerah-daerahnya, kepentingan jawa
atau luar jawa, kepentingan individu atau kelompok, kepentingan
mayoritas dan minoritas, atau kepentingan mereka yang berada di
inra atau suprastruktur kekuasaan dengan mereka yang berada di
luar kekuasaan. Masing-masing mengusung kepentingannya, baik
yang “murni” maupun “titipan”, yaitu kepentingan kelompok-
kelompok di luar pemerintahan yang menyelusup dalam kekuasaan
formal;
Kesemua kebijakan publik yang dimuat dalam peraturan perundang-
undangan menjadi efektif atau tidak efektif, sangat tergantung dari
kemampuan mengelola keseimbangan kepentingan tersebut;
Legal framework and Institutions

Legal framework dalam regulatory design menentukan dampak dari


pembaharuan hukum yang dilakukan, terutama terhadap legal structure
dan legal culture, seperti yang dikatakan Friedman Dalam hal
pembaharuan hukum dilakukan untuk dengan “mengadopsi hukum negara
lain” atau “perkembangan kecenderungan global”, kerangka kerjanya harus
meliputi analisis dampaknya terhadap kelembagaan hukum yang ada;
Begitu pula halnya dengan dampak kulturalnya, baik internal (aparatur)
maupun eksternalnya (masyarakat luas). Sasaran pembaharuan hukum
karenanya bukan saja terhadap masyarakat tetapi juga birokrasi (teori
hukum integratif). Tidak ada artinya pembaharuan hukum yang dilakukakan
jika kemudian tidak terimplementasi dengan baik, karena kelembagaan
hukumnya tidak mendukung dan apartur dan masyarakatnya tidak siap
atau tidak disiapkan dengan semangat hukum yang baru itu.
Adaptation Socioeconomic Conditions

Hukum tidak akan efektif jika tidak sejalan dengan kondisi


sosial ekonomi masyarakat dimana hukum tersebut
diberlakukan dan kemampuan hukum beradaptasi dengan
perkembangan sosial ekonomi menengtukan efektivitasnya.
Kondisi sosial ekonomi dimaksud meliputi skala yang meliputi keadaan
sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang secara esensial
mempengaruhi keberhasilan bekerjanya hukum, termasuk nilai-nilai
keagamaan yang boleh jadi mendukung bekerjanya hukum;
Tentunya hal ini menyadarkan bahwa hukum tidak bekerja di “ruang
hampa”, sehingga sifat normatif murni (the pure theory of law) dari
hukum tidak lagi dapat dipertahankan. Pertumbuhan hukum
karenanya berada pada konstelasi dinamika diantara faktor-faktor
tersebut.
Adaptasi hukum dan Cita Hukum

Lihatlah “kegagalan” copy right law terhadap seniman atau pengrajin souvenir
di Kota Gede Yogjakarta, yang justru terlihat “senang” ketika desain ciptaannya
“ditiru” pihak lain, atau pemberantasan korupsi justru menyebabkan penyerapan
anggaran yang rendah dan menimbulkan “ketakutan” penyelenggara negara
bersikap kreatif dalam penggunaan anggaran negara. Perhatikan pula
desentralisasi kewenangan pemberian izin usaha pertambangan kepada kepala
daerah dalam rezim UU Minerba 2009, telah menimbulkan dampak kerusakan
lingkungan yang signifikan, sehingga kembali dilakukan sentralisasi ke
pemerintah pusat (UU No. 3 Tahun 2020);
Dalam pada ini Pancasila sebagai sumber inspirasi dan cerminan kondisi sosial
ekonomi masyarakat Indonesia menjadi “bintang penuntun” pembaharuan
hukum. Hal ini juga diperlukan untuk mencegah pragmatism dalam
pembaharuan hukum, melainkan berorientasi kepada pengujudan cita hukum.
Negara Hukum Pancasila
Menurut Sunaryati Hartono, terdapat tiga karakteristik negara
hukum Pancasila:
1. Kekeluargaan, yaitu mengharmonisasikan dan menyeimbangkan
antara hak-hak individu dan kepentingan Bersama;
2. Berkepastian dan Berkeadilan, yaitu mengejar keduanya
sehingga merupakan perpaduan konsep rechtsstaat dan rule of
law;
3. Memadukan hukum sebagai alat perubahan masyarakat
dan hukum sebagai cerminan budaya masyarakat, yaitu
menempatkan hukum sebagai sarana perubahan sosial dan budaya
secara selektif (top-down), tetapi pada sisi yang lain menguatkan
budaya dengan mengadopsinya ke dalam sistem hukum (top
down).
Hukum Berjiwa Pancasila
Hukum berjiwa Pancasila mempunyai ciri:
1. Hukum yang berketuhanan, yaitu hukum yang memberi ruang bagi kebebasan
beragama, menghargai, melandaskan dan mempertimbangkan nilai-nilai keagamaan yang
dipeluk oleh masyarakat;
2. Hukum yang menjunjung tinggi kemanusiaan, yaitu hukum yang menghormati,
melindungi, memenuhi dan membatasi secara hati-hati hak asasi manusia;
3. Hukum yang ber-bineka tunggal ika, yaitu hukum yang memberi ruang keberagaman
untuk memperkokoh persatuan;
4. Hukum yang memperkuat demokrasi, yaitu merupakan hukum hasil proses dialog terus
menerus, yang melibatkan partisipasi publik dan mengokohkan pilar-pilar demokrasi
5. Hukum yang menyejahterakan dan membawa keadilan sosial, yaitu hukum yang
menjadi sarana negara yang berorientasi pada, untuk mewujudkan, dan menyelesaikan
masalah kesejahteraan dan keadilan sosial, dan tidak mengejar pertumbuhan ekonomi
belaka.
6. Hukum yang melayani, yaitu hukum yang tidak hanya mengatur, menghukum, menjaga,
tetapi juga melayani negara, masyarakat dan privat sektor;
HUB. ILMU HUKUM, TEORI HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM KEPOLISIAN

FILSAFAT HUKUM KEPOLISIAN


(meta-meta teori)
TEORI HUKUM KEPOLISIAN
objek (dalam arti sempit)

TEORI HUKUM KEPOLISIAN


(meta teori)
TEORI HUKUM
KEPOLISIAN
(dalam arti luas)
objek
ILMU HUKUM KEPOLISIAN
(teori) ILMU KEPOLISIAN NORMATIF
ILMU KEPOLISIAN EMPIRIS
objek
PRAKTIK HUKUM KEPOLISIAN
PENGEMBANAN HUKUM KEPOLISIAN
PREEMTIF
PRAKTIKAL • Mengeliminir fkk
PREVENTIF
pergaulan • Mencegah kejahatan

-----------------
-------------- --
dengan
Kepolisian REPRESIF ILMU HUKUM
dalam • Menegakkan hukum untuk KEPOLISIAN: ilmu
kehidupan capai keteraturan sosial praktikal normologik
nyata • interpretasi dan
NORMATIF sistematisasi bahan
PENGEM- ILMU HUKUM KEPOLISIAN perspektif internal objek Kepolisian
BANAN Objek telaah: tatanan telaah : Kepolisian sebagai
-

KEPOLISIAN Kepolisian nasional dan sollen-sein


internasional
kegiatan EMPIRIKAL
manusia perspektif eksternal PERBANDINGAN
TEORI (HUKUM)
berkenaan KEPOLISIAN
KEPOLISIAN
dengan Objek telaah: AJARAN HUKUM KEPOLISIAN SOSIOLOGI KEPOLISIAN
adanya tatanan Kepolisian • analisis pengertian kepolisian objek telaah : Kepolisian
Kepolisian positif sebagai (concept of police) sebagai Sein-Sollen
sistem • analisis asas, kaidah, figur dan SEJARAH KEPOLISIAN
sistem Kepolisian Objek telaah : Kepolisian
TEORETIKAL FILAFAT HUKUM KEPOLISIAN
• analisis konsep-konsep yuridik
• bagian dari dan dipengaruhi Filsafat dalam konteks waktu
• Disiplin (legal concept) ANTROPOLOGI KEPOLISIAN
Umum
Kepolisian • hubungan antar konsep Objek telaah : Kepolisian
• meresapi Teori Ilmu Hukum
• Upaya yuridik dalam konteks kultur
Kepolisian dan Ilmu-Ilmu Kepolisian
memahami dan • objek telaah : Kepolisian sebagai HUBUNGAN KEPOLISIAN DAN
menguasai PSIKOLOGI KEPOLISIAN
demikian (the police as such) LOGIKA
Kepolisian • pokok kajian : dwitunggal • Teori Argumentasi Yuridik
secara pertanyaan inti: • Logika Deontik AJARAN ILMU
intelektual • Epistemologi Ilmu Kepolisian
- landasan daya-ikat Kepolisian
• Bermetode, METODOLOGI • Metode Penelitian dan Analisis
- landasan penilaian keadilan dari
logik- Kepolisian
Kepolisian (norma kritik) • Struktur berpikir yuridik
sistematikal,
rasional kritikal
AJARAN METODE PRAKTEK
KEPOLISIAN
- ---- → refleksi teoritikal kritikal terhadap • Teori Pembentukan Kepolisian
• Teori Penemuan Kepolisian
← ---→ saling mempengaruhi - Teori Interpretasi
- Konstruksi Kepolisian
ILMU KEPOLISIAN : ADALAH ILMU YG MEMPELAJARI MASALAH SOSIAL DAN PEMECAHANNYA SECARA PREEMTIF PREVENTIF DAN
PENEGAKKAN HUKUM DG MENGGUNAKAN SISTEM, ORGAN DAN FUNGSI SERTA PROFESI KEPOLISIAN GUNA MENCAPAI
KETERATURAN SOSIAL DALAM MASYARAKAT (IZA FADRI)

HUKUM KEPOLISIAN UMUM : HUKUM YG MENGATUR KEPOLISIAN YG MELIPUTI PENEGAKKAN SELURUH HK PIDANA THD SIAPAPUN

HUKUM KEPOLISIAN KHUSUS : HUKUM YG MENGATUR KEPOLISIAN DI BIDANG KHUSUS SEPERTI:


- IMIGRASI
- BEA CUKAI
- KEHUTANAN
- PAMONG PRAJA, DLL

HUKUM KEPOLISIAN : ADALAH HUKUM YG MENGATUR SEGALA SESUATU YG BERTALIAN DG POLISI YAKNI HUKUM YG MENGATUR TENTANG
TUGAS, STATUS, ORGANISASI DAN WEWENANG POLISI BAIK SEBAGAI FUNGSI MAUPUN SEBAGAI ORGAN

VAN VALLENHOVEN : FUNGSI POLISI ITU MENJALANKAN “ PREVENTIVE RECHTSZORG ” YAITU MEMAKSA PENDUDUK SUATU WILAYAH MENTAATI
KETERTIBAN HUKUM SERTA MENGADAKAN PENJAGAAN SEBELUMNYA (PREVENTIF) SUPAYA TERTIB MASYARAKAT
TERPELIHARA
- POLISI DALAM ARTI FORMAL
- HUKUM KEPOLISIAN FORMAL DISEBUT JUGA ADMINISTRASI KEPOLISIAN.
- HUKUM KEPOLISIAN OBJEKTIF : BERUPA SEJUMLAH PERATURAN–PERATURAN MENGENAI KEPOLISIAN PADA UMUMNYA
- HUKUM KEPOLISIAN SUBJEKTIF : YANG MEMBERI WEWENANG ATAU HAK UNTUK MELAKUKAN
TINDAKAN– TINDAKAN KEPOLISIAN.

POLISI DALAM ARTI MATERIIL


PASAL 3 : PENGEMBAN FUNGSI KEPOLISIAN
A. KONSEP HUKUM HUKUM TRADISIONAL:
 Lingkup Hukum adalah Asas dan Norma.
 Landasan Teoretis: Aliran Positivisme Hukum
(Positivisme UU).
 Dalam Hukum Pidana Munculkan: Keadilan
Retributif (Retributive Justice).
 Pelopor: John Austin, HLA Hart, Hans Kelsen dan
Jhon Rawls.

B. KONSEP HUKUM KEPOLISIAN MODERN:


 Lingkup Hukum tidak hanya Kaedah atau Norma,
tetapi juga Gejala Sosial, Realitas Sosial dan
Budaya.
 Landasan Teoretis: Aliran Sociological Juris-
prudence dan Aliran lain yang berkembang di
negara-negara yang termasuk keluarga hukum
Anglo Saxon.
 Dalam Hukum Pidana Munculkan: Keadilan
Restoratif (Restorative Justice)
 Pelopor: Roscoe Pound, Eugen Erlich dll. 41
POSITIVISME HUKUM
A. KONSEP DASAR
 Hukum adalah Sistem Norma-norma yg ditetapkan
oleh Penguasa yg syah.
 Hukum adalah Hukum Positif.
 Meskipun isi hukum bertentangan dengan
keadilan masyarakat, hukum tsb. berlaku.
 Memunculkan: RETRIBUTIVE JUSTICE.

B. KELEBIHAN: Menjamin adanya Kepastian Hukum.

C. KELEMAHAN:
 Hukum Positif kesulitan atau tdk mampu utk
menghadapi situasi dimana hukum sendiri
dijadikan alat ketidakadilan.
 Aparat Gakkum hanya menjadi corong atau mulut
UU.
 Pemikiran Aparat Gakkum bersifat Silogismus.
SOCIOLOGICAL JURISPRUDENCE
A. KONSEP DASAR
 Hukum yg baik adalah hukum yg sesuai dgn.
hukum yg hidup (the living law) dlm. masyarakat.
 Hukum itu harus mencerminkan nilai-nilai yg
hidup dalam masyarakat.
 Sumber hukum adalah Pengalaman dan Akal.
 Hukum adalah pengalaman yg diatur dan
dikembangkan oleh akal.
 Memunculkan: RESTORATIVE JUSTICE.

B. KELEBIHAN: Menjamin adanya Keadilan.

C. KELEMAHAN:
 Acapkali tdk terwujud kepastian hukum.
 Tidak adanya payung hukum, munculkan:
 Abuse of power.
 Diskriminasi gakkum.
 Menguat subyektivitas aparat gakkum.
 Tdk ada perlindungan hkm. bg aparat gakkum.
HUKUM PIDANA PROGRESIF MELALUI PENDEKATAN SOSIO-LEGAL
(Adaptasi Sosio-Legal Untuk Penegakan Hukum yang lebih Holistik, Humanis. Solutif)
STIK-PTIK 81
45
Hukum sebagai …
• Mochtar Kusumaatmadja: “hukum sebagai sarana perubahan sosial”  Hukum yang baik adalah
hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat dan sesuai dengan
pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Hukum sebagi sisten norma yang
dinamis (Dynamic System of Norms). Bagaimana jika terjadi “dark engineering”?  Socilogical
Jurisprudence dari Roscoe Pound (1930) “law is a tool of social engineering” – Holmes “the life of law
has not been logic, it is (socio-psychological) experience”
• Sunaryati Hartono: “hukum harus bisa mengikuti perkembangan jaman” (futuristic) hukum harus
dapat mencakup bentuk-bentuk kegiatan hukum, maupun tindakan melawan hukum yang baru akan
ada di masa depan”
• Romli Atmasasmita: ”Law as a tool of social and bureaucratic engineering", dalam arti bahwa,
masyarakat akan memahami dan mau menaati jika aparatur hukum dan birokrasi terlebih dulu
konsisten menaati hukum; ucapan saja tidak akan mendorong kepatuhan masyarakat terhadap
hukum. ”Tripartite character of social and bureaucratic enginering" yaitu perpaduan system
norma dinamis, sistem perilaku dan sistem nilai yang bersumber pada Pancasila sebagai filsafat
kehidupan bangsa Indonesia
FONDASI SOSIOLOGI HUKUM
INDONESIA
Sosiologi Hukum bertolak dari Indonesia untuk
Indonesia artinya pemikiran-pemikiran hukum
harus bertolak dari kenyataan-kenyataan
Indonesia.

Prof. Satjipto Rahardjo (2010)


Teori Hukum Progresif (Prof. Satjipto Rahardjo)
Latar belakang: Keadaan hukum itu secara makro tidak kunjung mendekati
keadaan ideal, yaitu menyejahterakan dan membahagiakan rakyatnya:
•  Hukum untuk kesejahteraan manusia
•  Berhukum harus dengan Hati Nurani (yang baik)
•  Hukum adalah entitas yang terus berkembang
•  Perlu kreatifitas manusia untuk mengadaptasikan dengan konteks
dinamika sosial dan secara terus menerus, berkelanjutan.
• Setiap terobosan hukum sangat penting berlandaskan pada kemampuan
nalar dan Nurani manusia untuk membuat interprestasi hukum yang
mengutamakan nilai moral keadilan pada masyarakat.
Teori Hukum Progresif (Prof. Satjipto Rahardjo)
• Hukum Progresif seharusnya pro-rakyat, pro-keadilan, bertujuan untuk
kesejahteraan dan kebahagiaan, beradasarkan pada kehidupan yang baik, berisfat
responsive, mendukung pembentukan negara hukum yang berhati-Nurani,
dijalankan dengan kecerdasan spiritual serta bersifat membebaskan.
• Hukum sebagai sistem perilaku (behavior system of norms)
• Kemdian Prof. Satjipto Rahardjo menyebutnya sebagai deep ecology. Hukum tak
semata untuk manusia, tapi untuk alam juga.
• Prof Arief Sidharta  Positivisme Hukum di Indonesia harus merujuk kepada
Pancasila sebagai sumbernya  Pandangan Hidup Pancasila berpangkal pada
keyakinan bahwa alam semesta dengan segala hal yang ada di dalamnya sebagai
suatu keseluruhan yang terjalin secara harmonis diciptakan oleh Tuhan Yang Maha
Esa
Faktor-faktor mempengaruhi penegakan hukum
(Soerjono Soekanto)
• Faktor hukum  Bagaimana hukum sebagai pedoman materil/substansial dan formil/prosedural
dari aparat penegak hukum? Bagaimana pula masyarakat melegitimasi pedoman tersebut?
• Faktor penegak hukum  Bagaimana: Kompetensi, Keterampilan Integritas, Pengalaman,
Paradigma (Cara Pikir), Perspektif (Cara Pandang), Suasana Kebathinan, Awarness (Kepekaan),
Empati (Kepedulian), Tanggungjawab-Kewenangan-Kewajiban, Pemenuhan Hak (Kesejahteraan
dan Hak Untuk di bela)?
• Faktor sarana dan prasarana  Bagaimana ketersediaan: Sarpras, Anggaran, Teknologi,
Pendidikan/Pelatihan?
• Faktor masyarakat  Bagaimana kemampuan masyarakat, khususnya tentang pemahaman,
penerimaan dan pengetahuan soal aturan atau norma hukum, legitimasi, persepsi dan
kepercayaan masyarakat?
• Faktor kebudayaan  Bagaimana perilaku masyarakat sebelum dan setelah mengetahui norma
hukum yang ada? Apa saja yang disepakati boleh dan tidak boleh ditengah-tengah masyarakat?
Budaya Hukum yang TERPENTING dalam Sistem
Hukum (Lawrence Friedman)
• Struktur hukum (legal structures) merupakan kelembagaan yang diciptakan oleh
sistem hukum itu denga berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerjanya
sistem tersebut;
• Substansi hukum (legal substances) adalah output dari sistem hukum, yang berupa
peraturan-peraturan, keputusankeputusan yang digunakan baik oleh pihak yang
mengatur maupun yang diatur
• Kultur (budaya) hukum (legal cultures) yang terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap
yang mempengaruhi bekerjanya hukum, yang berfungsi sebagai “jembatan
penghubung” antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga
masyarakat:  ”jembatan rusak, kesaling-terhubungan rusak”
• Internal legal culture yaitu budaya hukum para hakim, pengak hukum
(Jaksa/Polisi) dan pengacara. (Advokat)
• External legal culture yaitu budaya hukum masyarakat secara luas.
Filosofis: Negara Hukum seperti apa?
• Legal Structures: Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial  Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945, Negara Indonesia ialah
Negara Kesatuan yang berbentuk Republik  Negara Kesejahteraan
• Legal Substances: Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar
Negara Indonesia  Pasal 1 ayat (3) UUD NRI, Indonesia adalah Negara Hukum  Bukan Negara
Kekuasaan & UUD NRI 1945 sebagai Dasar Hukum, Pancasila Sumber Hukum
• Legal Cultures: Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan
kepada Ketuhanan. Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawatan/Perwakilan,
serta dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia  Pasal 1 ayat
(2) UUD NRI 1945, Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar  Berkedaulatan Rakyat berdasarkan PANCASILA
Negara Kesejahteraan + Negara Hukum + Berkedaulatan Rakyat berdasarkan PANCASILA
Sosio-Legal dalam Hukum
Pendekatan Penelitian atas Aturan Hukum, Produk
Hukum, Putusan Hukum (Teks Hukum) yang merupakan
jantung imu hukum dan mempelajari bekerjanya teks
hukum dalam masyarakat (dengan pendekatan MIT)
Adaptasi: (Sulistyowati Irianto:2022) dan (Herlambang P. Wiratraman dan Widodo D. Putro : 2004)
Pertanyaan-Pertanyaan Kritis Sosio-Legal tentang Hukum

• Bagaimana hukum merespon masyarakat ?


• Bagaimana hukum diterapkan dalam keseharian hidup masyararakat ?
• Apakah teks hukum memberi keadilan untuk setiap orang ?
• Apakah penegakan hukum mendatangkan keadilan kepastian, kemanfaatan ?
• Apakah keadilan akan mencapai pemulihan kerusakan dan membuat lebih sejahtera ?
• Mengapa masyarakat berubah ?
• Ketika masyarakat berubah, bagaimana hukum juga harus berubah ?
• Jika masyarakat dan hukum berubah apakah kemudian penegak hukum berubah ?
(Adaptasi: Sulistyowati Irianto:2022)
Mengapa Adaptasi Pendekatan Sosio-Legal?
• Pendekatan monodisipliner yaitu pendekatan dengan suatu ilmu yang tunggal sudut pandang.
• Polri bukan hanya bertugas sebagai penegak hukum saja  Ingat Pasal 30 ayat (4) UUD NRI
1945: Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta
menegakkan hukum.
• Apalagi masalah Hukum tidak semata hanya masalah “peraturan” dan kepatuhannya.
• Penegakan Hukum, bukan hanya masalah penegakan peraturan perundang-undangan saja
 Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya, Pertahanan, Keamanan, Geografi, Demografi,
Sumber Kekayaan Alam dan Lingkungan Hidup, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi,
Kesehatan Jiwa dan Raga, Perilaku, Geopolitik dan Hubungan Internasional, hingga
masalah Hukumnya itu sendiri (Text dan. Context).
Sehingga tidak bisa hanya pendekatan monodisipliner (pendekatan dengan suatu ilmu yang
tunggal sudut pandang) semata.
”all power tends to corrupt,
and absolute power corrupt
absolutely".
KEKUASAAN WAJIB DIBATASI
Lord Acton
kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut
56
Adaptasi: Pendekatan MIT dan Sosio-Legal
• Pendekatan multidisiplin  Objek permasalahan yang sama ditangani bersama berdasarkan
masing-masing kewenangan dan Tupoksi aparat. Masing-masing dapat menilai berbeda dalam
melihat fenomena atau objek masalah yang sama, tetapi berniat sama untuk selesaikan
permasalahan.  Polisi, Dishub dan Satpol PP bersama-sama menertibkan Kaki Lima berdasarkan
kewenangannya masing-masing.
• Pendekatan interdisiplin  Objek permasalahan yang tengah dihadapi kompleks, sehingga perlu
masing-masing fungsi Polisi turut serta berperan, sehingga kemudian menghasilkan cara bertindak
yang sinergi dalam menyelesaikan permasalahan.  Sinergi antar Fungsi Polisi menangani unjuk rasa
dan kekerasan ketika menertibkan Kaki Lima.  Sinergi tersebut secara terpadu pada tahapan pre-
emptive, preventive, repressive, curative, rehabilitative hingga restotative  Holistik pada TWG/TFG
• Pendekatan transdisiplin Objek permasalahan sangat kompleks. Dibutuhkan sinergi dan
kompetensi lintas batas struktur, profesi, kewenangan dan Tupoksi.  Sinergi antar Fungsi Polisi,
Dishub, Satpol PP, Dinkes+PMI, Damkar, Forensik, Ahli Psikososial, Ahli Hukum Toga-Tomas, TNI, dll
 Pendekatan ini merupakan perluasan dari Pendekatan Interdisipliner dalam permasalahan yang
tentu lebih kompleks.
(Adaptasi: Herlambang P. Wiratraman dan Widodo D. Putro : 2004)
Pertimbangan Penegakan Hukum =
= Pelanggaran Aturan Hukum +

Kesalahan (Tidak Ada Pemaaf/Pembenar) +

Tujuan Penegakan Hukum (Mengapa Harus Ditegakkan: Adil, Pasti, Manfaat,


Pulih, Damai?) +

Pedoman Penegakan Hukum (Panduan Tata Cara)

Fit the crime or Fit the criminal ?



Lebih tepat jika hukum harus memerintah
daripada warga negara mana pun:
berdasarkan prinsip yang sama, jika
menguntungkan untuk menempatkan
kekuasaan tertinggi pada beberapa orang
tertentu, mereka harus ditunjuk hanya
sebagai penjaga, dan pelayan hukum
Aristoteles
59

You might also like