You are on page 1of 39

METODOLOGI

PENGEMBANGAN
SISTEM EKONOMI ISLAM
URGENSI ILMU USHUL FIQH
DALAM BERIJTIHAD
 Ushul Fiqih adalah ilmu yang mempelajari
tentang dalil-dalil dalam Al-Quran dan Sunah
dan bagaimana cara menggunakan dalil itu
untuk berijtihad.
 Ijtihad adalah upaya menentukan/memutuskan
hukum aplikatif terhadap permasalahan yang
belum ada hukumnya.
 Ilmu Ushul Fiqih merumuskan kaidah-kaidah
yang dapat digunakan untuk menentukan
hukum syara’ amaliyah yang didasarkan pada
dalil-dalil syar’i dari Al-Quran dan Sunnah.
 Ilmu Ushul Fiqih memiliki peran untuk
meminimalisasi adanya kekeliruan dalam
memahami nash Al-Quran dan Sunnah.
 Ilmu Ushul Fiqih penting agar orang tidak
mudah bermain dalil dan menggunakannya
secara asal-asalan.
 Bagi yang bukan mujtahid, Ushul Fiqih
bermanfaat untuk lebih memahami ilmu agama
secara lebih luas serta mampu membedakan
mana dalil-dalil yang kuat dan lemah.
MANFAAT MEMPELAJARI USHUL FIQIH

 Lebih memahami ilmu agama.


 Mengetahui bagaimana mujtahid zaman
dulu memutuskan hukum fiqih.
 Memahami Al-Quran dan Sunnah dengan
tepat.
 Sebagai metodologi untuk melakukan
ijtihad.
 Memahami maksud/tujuan disyariatkannya
hukum Islam.
 Memahami bagaimana proses suatu hukum
ditetapkan.
 Memahami adat kebiasaan/tradisi yang dapat
dijadikan sumber hukum.
 Memahami maslahah mursalah.
 Terbuka terhadap perbedaan pendapat di
dalam Islam.
 Memahami berbagai metode istinbat.
 Menjawab masalah kontemporer.
ISTINBAT HUKUM

 Salah satu bahasan ilmu ushul fiqh


adalah metode istinbat.
 Istinbat berarti upaya menarik hukum
dari Al-Qur’an dan Sunnah dengan cara
ijtihad.
 Ijtihad: Upaya yang sungguh-sungguh
dalam penggalian hukum dengan potensi
akal oleh orang yang kompeten melalui
pemahaman, penafsiran, atau rumusan
kesimpulan dari Al-Qur’an maupun sunnah,
baik yang eksplisit maupun implisit.
 Pembagian metode istinbat :
1. Segi kebahasaan
2. Segi maqashid syari’ah (tujuan syariat)
SEGI KEBAHASAAN

 Obyek utama yang menjadi bahasan


ushul fiqh adalah Al-Qur’an dan
Sunnah.
 Untukmemahami pesan teks/nash,
ulama ushul sudah menyusun kaidah
bahasa dalam upaya istinbat hukum
→ membuat kategori lafal/redaksi
(amr-nahy, ‘amm-khass dll).
MAQASHID SYARI’AH

 Nash disamping menunjukkan hukum


dengan redaksi bahasanya, juga dengan
ruh tasyri’ (jiwa syari’ah).
 Ruh tasyri’ dalam terminologi ushul fiqh
disebut maqashid syari’ah.
 Maqashid syari’ah bisa diartikan dengan
tujuan yang hendak dicapai dalam
penetapan suatu hukum.
PENGERTIAN

 Maqashid syari’ah dimaknai dengan


berbagai istilah: tujuan hukum, hikmah
hukum, makna hukum.
 Maqashid syari’ah adalah tujuan yang
menjadi target teks untuk direalisasikan
dalam kehidupan manusia, baik untuk
individu, kelompok, dan umat secara
keseluruhan.
 Metode penemuan hukum bisa dilakukan
dengan pendekatan bahasa dan
pendekatan tujuan hukum (maqashid
syari’ah).
 Maqashid syari’ah dapat dikembangkan
untuk menjawab permasalahan yang tidak
tertampung dalam redaksi nash.
 Maqashid syari’ah bisa ditemukan lewat
ta’lil (pencarian illat/alasan penetapan
hukum).
APAKAH HUKUM TUHAN SELALU
TERKAIT DENGAN ILLAT

 Asy’ariyah : hukum Tuhan tidak boleh


dikaitkan dengan illat, karena kalau begitu
akan mengurangi independensi Tuhan.
 Mu’tazilah : harus selalu terkait dengan
tujuan maslahat, kalau tidak maka akan
percuma Tuhan menetapkan hukum.
 Maturidiyah : hukum Tuhan memang
terkait dengan illat, tapi itu bukan
kewajiban Tuhan.
TIDAK SETUJU TA’LIL

1. Hakikat illat tidak dapat diketahui, kecuali


dijelaskan sendiri oleh Syari’.
2. Ta’lil merupakan sesuatu yang bersifat
spekulatif.
3. Bila gagal menemukan illat hukumnya,
maka dapat mengurangi keikhlasan
dalam melaksanakan hukum tersebut.
4. Mukmin yang baik akan melaksanakan
titah Allah tanpa perlu bertanya.
 Pendekatan bahasa dan tujuan hukum
harus digunakan secara sinergis dan
harmonis.
 Hanya menekankan pendekatan bahasa,
produk hukum menjadi “kering”.
 Hanya dilihat dari aspek maqashidnya saja
dengan mengabaikan aspek bahasa,
hukum akan “kehilangan tempat berpijak”.
Izzuddin bin Abdul Aziz bin
Abdussalam :
 “Semua taklif (beban hukum) selalu
merujuk kepada kemaslahatan manusia di
dunia dan di akhirat. Allah tidak butuh
ibadah manusia. Taatnya orang yang taat
tidak memberi manfaat apa-apa pada-Nya,
dan maksiatnya orang yang durhaka tidak
akan membawa madharat bagi-Nya”.
Ibnul Qayyim al-Jauziyah :

 “Dasar syari’at adalah kemaslahatan


manusia di dunia dan akhirat. Seluruh
syari’at mengandung keadilan, rahmat,
maslahat dan hikmah”.
 Allah Maha Bijaksana dan Maha Suci, tidak
mungkin membuat syari’at secara
sewenang-wenang, sia-sia, atau
kontradiktif dengan hikmah.
 Semua taklif punya tujuan, yakni
kemaslahatan manusia dunia akhirat
 Di bidang mu’amalah, selama dapat
diketahui tujuan hukumnya, dapat
dilakukan pengembangan hukum.
 Pengembangan hukum dapat dilakukan
melalui proses ta’lil (pencarian illat) dan
tujuan hukum.
TUJUAN SYARI’AT MENURUT
YUSUF AL-QARADHAWI

1. Memperbaiki akidah
2. Mengajak beribadah dan takwa
3. Menyucikan hati dan meluruskan
akhlak
4. Membangun masyarakat adil dan
sejahtera
PENGERTIAN MASLAHAH

 Menurut ‘urf : sebab yang melahirkan


kebaikan dan manfaat.
 Menurut syara’ : sebab yang membawa
kepada tujuan Syari’, baik dalam bidang
ibadah atau mu’amalah (adat).
 Maslahah menunjuk pengertian meraih
manfaat dan menghindari madharat.
TUJUAN UMUM SYARI’AH

 Menjaga 5 hal yang pokok (al-dharuriyyat


al-khams) dalam kehidupan manusia :
1. agama (din),
2. jiwa (nafs),
3. akal (‘aql),
4. keturunan (nasl),
5. harta (mal)
TINGKATAN MASLAHAH

1. Dharuriyah : keberadaannya bersifat


mutlak dan tidak bisa diabaikan, kalau
tidak ada akan muncul kerusakan baik di
dunia maupun di akhirat.
2. Hajiyah : dibutuhkan agar tidak
sempit/sulit hidupnya dan dalam rangka
memelihara lima unsur pokok.
3. Tahsiniyah : sebagai penyempurna agar
tercapai hidup yang “bermartabat”.
PENGGUNAAN MASLAHAH
SEBAGAI DALIL HUKUM
1. Sesuai dengan tujuan Syari’.
2. Tidak bertentangan dengan nash, ijma’,
qiyas dan maslahah yang lebih tinggi.
3. Merupakan maslahah hakiki bukan
sekedar perkiraan.
4. Merupakan maslahat umum bukan
maslahat pribadi.
RUANG LINGKUP PENGGUNAAN
MASLAHAH SEBAGAI DALIL

 Maslahah hanya digunakan dalam kasus-


kasus di luar bidang ibadah.
 Penerapan hukum di bidang ibadah
menjadi hak Allah.
 Penerapan maslahah secara operasional
dalam bentuk qiyas, istihsan, istishlah,
istishab, ‘urf, dan sadd al-dzari’ah.
MAQASHID SYARI’AH DAN
PENGEMBANGAN HUKUM
 Dinamika perubahan sosial yang dihadapi
oleh umat Islam telah menimbulkan
masalah.
 Harus dirumuskan metodologi dan
penggalian azas-azas hukum Islam.
 salah satu konsep penting dalam kajian
hukum Islam adalah konsep maqasid
syari’ah.
 Tak satupun hukum Allah yang tidak
mempunyai tujuan hukum.
 Melalui analisis maqasid al-Syari’ah,
kemaslahatan tidak hanya dilihat dalam
arti teknis belaka akan tetapi dalam
upaya dinamika dan pengembangan
hukum.
 Pandangan at-Tufi mewakili pandangan
yang radikal dan liberal tentang maslahat.
 At-Tufi berpendapat bahwa prinsip
maslahat dapat membatasi (takhsis) Al-
Qur’an, sunnah dan ijma' jika
penerapannya akan menyusahkan manusia.
 Ruang lingkup dan bidang berlakunya
maslahat at-Tufi tersebut adalah dalam hal
mu'amalah.
 Pengetahuan tentang maqasid syari’ah
sangat penting:
1. Menjadi alat bantu dalam memahami
redaksi al-Qur’an dan as-sunnah
2. Membantu menyelesaikan dalil yang saling
bertentangan (ta’arud al-adillah)
3. Untuk menetapkan suatu hukum dalam
sebuah kasus yang ketentuan hukumnya
tidak tercantum dalam al-Qur’an dan as-
sunnah jika menggunakan kajian semantik
(kebahasaan).
MAQASID AL-SYARI’AH DALAM
PENGEMBANGAN SISTEM EKONOMI ISLAM.

 Dengan merujuk kepada maslahat, maka fiqih


atau produk ijtihad dapat paralel/sesuai dengan
dinamika masyarakat.
 Maqashid syariah merupakan prinsip umum
sebagai strategi dasar yang dapat diaplikasikan
dalam berbagai kasus dan keadaan.
 Syari’at menawarkan konsep fleksibelitas, jika
di dalam nash tidak ditemukan ketentuan dan
materi yang bersifat detail.
 Tiga level norma hukum:
 Pertama, norma-norma dasar atau nilai-
nilai filosofis (al-qiyam al-asasiyyah), yakni
norma-norma abstrak yang merupakan
nilai-nilai dasar dalam hukum Islam seperti
kemaslahatan, keadilan, kebebasan dan
persamaan, atau pemeliharaan maslahat
yang lima (maqasid al-syari’ah).
 Norma abstrak inilah yang disebut sebagai
tujuan hukum.
 Kedua, norma antara (tengah) yang
digunakan sebagai perantara (alat) untuk
mencapai tujuan-tujuan hukum.
 Merupakan doktrin-doktrin umum hukum
Islam (al-qawa’id al-fiqhiyyah), kaidah-
kaidah hukum Islam.
 Ketiga, norma hukum konkrit (al-ahkam al-
far’iyyah) sebagai aplikasi dari dua norma
sebelumnya.
 Ketiga norma itu tersusun secara hirarkis,
norma yang paling abstrak diejawantahkan
dalam norma yang lebih konkrit.
 Kemaslahatan dikonkritkan dalam asas umum
yang berupa kaidah fiqhiyyah, antara lain al-
masyaqqah tajlib al-taisir (kesukaran membawa
kemudahan).
 Dikonkritkan lagi dalam bentuk peraturan
dalam hukum perdata, misalnya orang yang
sedang dalam kesulitan dana diberi kesempatan
penjadwalan kembali hutangnya.
 Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
berakibat pada perubahan cara pandang dan
membentuk pola alur berpikir yang membawa
konsekuensi logis membentuk norma baru
dalam kehidupan masyarakat.
 Tidak perlu dihadapkan secara konfrontatif
dengan nash, akan tetapi harus dicari
pemecahannya secara ijtihadi.
 Dalam banyak hal dalam aktivitas ekonomi,
Islam memberikan skala normatifnya secara
global.
 Aktivitas jual beli dalam al-Qur’an hanya
disebutkan jual beli yang halal dengan
tidak dijelaskan secara terperinci.
 Hal-hal yang tidak diatur, diperoleh
ketentuannya dengan jalan ijtihad dengan
menjadikan konsep maqashid sebagai teori
dasar dalam pengembangannya.
 Sehingga umat Islam terdorong aktif,
kreatif dan produktif dalam ikhtiar-ikhtiar
kehidupan ekonomi mereka.
 Maqashid syari’ah  menduduki posisi yang
sangat penting dalam merumuskan
ekonomi syariah, menciptakan produk-
produk perbankan dan keuangan syari’ah.
 Pengetahuan maqashid syariah menjadi
syarat utama dalam berijtihad untuk
menjawab berbagai problematika
kehidupan ekonomi dan keuangan yang
terus berkembang.
 Aktivitas bisnis kontemporer, jual beli
saham misalnya, ada keraguan hukum,
nash al-Qur’an dan hadits tidak
menjelaskan bisnis ini secara eksplisit.
 Kaidah ushuliyyah menyatakan “al-ashlu fi
al-’uqud wa al-mu’amalat al-sihhah hatta
yaquma al-dalil ‘ala al-buthlan wa al-
tahrim.”
 Ada juga kaidah lain yang mengatakan “al-
ashlu fi al-asyya al-ibahah”.
 Islam telah memberikan prinsip-prinsip
umum dalam aktivitas ekonomi dan bisnis:
1. Prinsip tidak boleh memakan harta orang
lain secara batil.
2. Prinsip saling rela → menghindari
pemaksaan yang menghilangkan hak pilih
dalam muamalah.
3. Prinsip tidak mengandung praktek
ekploitasi dan saling merugikan yang
membuat orang lain teraniaya.
QS. Al-Baqarah:188

‫وا بِهَٓا ِإلَى ْٱل ُح َّك ِام‬ ۟ ُ‫َواَل تَْأ ُكلُ ٓو ۟ا َأ ْم ٰ َولَ ُكم بَ ْينَ ُكم ب ْٱل ٰبَ ِط ِل َوتُ ْدل‬
ِ
َ ‫اس بِٱِإْل ْث ِم َوَأنتُ ْم تَ ْعلَ ُم‬
‫ون‬ َّ ‫ن‬‫ٱل‬ ‫ل‬
ِ َ‫و‬ٰ ‫م‬ْ ‫َأ‬ ْ
‫ن‬ ‫م‬ِّ ِ ‫ا‬ ً ‫ق‬ ‫ي‬‫ر‬ َ ‫ف‬ ۟
‫وا‬ ُ ‫ل‬‫ك‬ُ ‫ْأ‬َ‫لِت‬
ِ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta
sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan
yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan)
harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
QS. An-Nisa:29

‫وا اَل تَْأ ُكلُ ٓو ۟ا َأ ْم ٰ َولَ ُكم بَ ْينَ ُكم بِ ْٱل ٰبَ ِط ِل ِإٓاَّل َأن‬
۟ ُ‫ين َءامن‬
َ ‫ذ‬َّ
ِ َ َ‫ٰي‬
‫ٱل‬ ‫ا‬‫ه‬ُّ ‫ي‬‫َأ‬ٓ
َ
ٍ ‫ون تِ ٰ َج َرةً َعن تَ َر‬
‫اض ِّمن ُك ْم‬ َ ‫تَ ُك‬
Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan
jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu.
QS. Al-Baqarah:279

‫ب ِّم َن ٱهَّلل ِ َو َر\سُولِ ِهۦ ۖ َوِإن‬


ٍ ْ‫وا بِ َحر‬ ۟ ُ‫وا فَْأ َذن‬
۟ ُ‫فَ ن لَّ ْم تَ ْف َعل‬
‫ِإ‬
َ ‫ظلَ ُم‬
‫ون‬ ْ ُ‫ون َواَل ت‬َ ‫ظلِ ُم‬ ْ َ‫تُ ْبتُ ْم فَلَ ُك ْم ُر\ ُءوسُ َأ ْم ٰ َولِ ُك ْم اَل ت‬
Maka jika kamu tidak mengerjakan
(meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah,
bahwa Allah dan Rasul-Nya akan
memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari
pengambilan riba), maka bagimu pokok
hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak
(pula) dianiaya.

You might also like