You are on page 1of 18

KONFLIK ETIK MORAL,

INFORMED CHOICE &


INFORMED CONSENT

Dewa Ayu Putu Mariana K, S.Si.T,


M.Kes
KONFLIK ETIK MORAL

• Konflik etik moral terjadi karena


adanya perbedaan antara prinsip
moral antarindividu.
• Menurut Johnson (1990), terdapat 2
tipe konflik etik moral, yaitu:
1. Konflik dalam prinsip yang sama
Cth: Bila seorang bidan berprinsip untuk menjunjung
tinggi autonomi, autonomi siapa yang ia
perjuangkan? Autonomi bidan atau autonomi
kliennya? Keduanya memiliki kedudukan dan
kepentingan yang sama, sehingga sering kali
menimbulkan konflik bagi bidan
2. Konflik dalam prinsip yang berbeda
Cth: Dalam kasus ibu yang menolak episiotomi, bidan
memiliki konflik antara kewajiban untuk menghargai
hak hidup janin sekaligus menghargai autonomi dan
keinginan si ibu.

Selain itu, terdapat beberapa contoh lain


mengenai konflik etik moral ini di
masyarakat, antara lain:
a. Aborsi
Secara umum aborsi adalah ilegal. Dimana di negara-
negara berkembang terdapat pembatasan yang ketat
terhadap aborsi, sehingga tidak jarang perempuan yang
ingin melakukan aborsi mencari bantuan ke tenaga
nonmedis, antara lain dengan cara meminum
ramuan/melakukan pemijatan pengguguran kandungan
yang berbahaya.
Di Indonesia, hukum tentang aborsi didasarkan pada
hukum kesehatan tahun 1992. Secara umum hukum
tersebut mengizinkan aborsi apabila perempuan yang
akan melakukan aborsi…:
1. Mempunyai surat dokter yang menyatakan bahwa
kehamilannya membahayakan kehidupannya.
2. Mempunyai surat dari suami atau anggota keluarga
yang mengizinkan pengguguran kandungannya.
3. Mempunyai hasil test laboratorium yang menyatakan
bahwa dia positif hamil & pernyataan menjamin bahwa
setelah melakukan aborsi dia akan menggunakan
kontrasepsi
b. Sewa Rahim
Sewa rahim adalah menggunakan rahim wanita lain untuk
mengandungkan benih wanita (ovum) yang telah disewa
dengan benih lelaki (sperma). Janin tersebut dikandung
hingga dilahirkan. Kemudian anak yang telah dilahirkan
diberikan kembali kepada pasangan suami istri (sperma
berasal dari si suami) untuk dibesarkan dan dipelihara.

Teknologi reproduksi buatan ini menjadi permasalahan hukum


dan etik moral apabila sperma/ovum berasal dari pasangan
keluarga yang sah dalam hubungan pernikahan. Apalagi
apabila menggunakan rahim dari wanita/sperma dari lelaki
diluar pernikahan.
 Upaya mengatasi etik moral, setiap pihak
(nakes & klien) harus menyadari hak &
kewajibannya serta mampu menempatkan
dirinya dalam porsi yang tepat.
 Upaya yang dapat mempertemukan
kebutuhan kedua belah pihak tanpa
merugikan salah satu pihak adalah melalui
komunikasi interpersonal/konseling.
 Komunikasi tersebut terwujud dalam bentuk
informed choice & informed consent
INFORMED CHOICE
• Menurut John M. Echols (Kamus
Inggris-Indonesia, 2003):
– Informed: telah diberitahukan, telah
disampaikan, telah diinformasikan.
– Choice: pilihan.
Secara umum informed choice:
memberitahukan atau menjelaskan
pilihan-pilihan yang ada kepada klien.
• Menurut Sara Wickham (2002):
Informed Choice adalah suatu keputusan
yang dibuat setelah melalui pertimbangan
matang terhadap bukti-bukti ilmiah yang
relevan. Keputusan tersebut dipengaruhi
oleh lingkungan, keyakinan, & pengalaman
orang tersebut.
• Sebelum meminta persetujuan klien
mengenai tindakan medik yang akan
diambil, tenaga kesehatan wajib memberi
informasi yang jelas mengenai alternatif
pilihan yang ada, beserta manfaat dan risiko
yang menyertainya.
• Keberadaan tenaga kesehatan sangat penting
untuk terus mendampingi klien memilih &
memilah informasi yang tepat untuk
mendukung proses pengambilan keputusan
yang tepat dan tidak merugikan pihak
manapun.
RAMBU-RAMBU DALAM
INFORMED CHOICE
• Informed choice bukan sekedar
mengetahui berbagai pilihan yang ada,
namun juga mengenai benar manfaat &
risiko dari setiap pilihan yang ditawarkan.
• Informed choice tidak sama dengan
membujuk atau memaksa klien mengambil
keputusan yang menurut orang lain baik
(meskipun dilakukan dengan cara “halus”).
CTH: Secara tidak sadar bidan sering kali
melakukan “pemaksaan” saat proses
informed choice, misalnya melalui ucapan
sebagai berikut:
 “Yah…jika hal itu terjadi pada saya,
maka saya akan…”.
Ingat bahwa bidan bukan klien, sebesar apapun
empati bidan terhadap penderitaan klien tidak akan
pernah sama, karena bidan tidak merasakan apa
yang dirasakan klien.

 “Biasanya kami melakukan tindakan


medis X, karena hal itu sudah
merupakan kebijakan rumah sakit ini”.
Biasanya untuk mempercepat proses pengambilan
keputusan, bidan sering kali mengatasnamakan
rumah sakit, sehingga klien menuruti keinginan si
bidan.
 “Sesuatu yang buruk akan menimpa
bayi anda bila anda tidak melakukan
tindakan X”.
Dengan melakukan tindakan ini, berarti secara
tidak langsung bidan telah memaksa klien dengan
cara menakut-nakuti klien sehingga akhirnya klien
menuruti keinginan bidan.
INFORMED CONSENT

• Menurut John M. Echols (Kamus


Inggris-Indonesia, 2003):
– Informed: telah diberitahukan, telah
disampaikan, telah diinformasikan.
– Consent: persetujuan yang diberikan
kepada seseorang untuk berbuat
sesuatu.
 Menurut Jusuf Hanafiah (1999)
Informed consent adalah
persetujuan yang diberikan
pasien kepada dokter/bidan
setelah diberi penjelasan.
Perlu diingat: Informed consent
bukan sekedar formulir persetujuan
yang diberikan kepada pasien, juga
bukan sekedar tandatangan pihak
keluarga, namun merupakan proses
komunikasi.
 Inti dari proses informed
consent adalah kesepakatan
antara tenaga kesehatan &
klien, sedangkan formulir hanya
merupakan pendokumentasian
hasil kesepakatan.

 Informed consent harus


dilakukan setiap kali akan
melakukan tindakan medis,
sekecil apapun tindakan
tersebut.
Menurut Culver & Gert, 4
komponen yg harus dipahami
pd suatu consent:
 Sukarela (voluntariness)
 Informasi (information)
 Kompetensi (competence)
 Keputusan (decision
Pasien yang dinyatakan memiliki
kapasitas untuk memberi consent
apabila:
 Pasien mampu memahami keputusan
medis berdasarkan berbagai informasi
yang ia peroleh
 Persetujuan dibuat tanpa tekanan
 Sebelum memberi consent, pasien harus
diberikan informasi yang memadai
(Informed choice)

You might also like