You are on page 1of 49

Bagan IV

Prefiks Sufiks Infiks Konfiks


N-1 -i1 -um-1 Ka-/-an4
di-1 -ake1 -in-1 -in-/-an1
tak-1 -a1 -el-1 Ke-/-an1
Kok-1 -en1 -er-1 Ke-/en3
ma-1 -na1 paN-/-an2
mer-1 -ana1 pa-/-an2
ka-1 -an4 pi-/-an2
ke-1 -e4 pra-/-ane2
a-1 ka-/-ane1
aN-1 tak-/-ke1
sa-3 tak-/-e1
paN-/pa-2 kami-/-en1
pi-2 sa-/-e3
pra-2 N-/-i

kuma-1
kapi-1
Aksara dirga

Wanda ‘suku kata’ dalam tembang yang


harus diucapkan panjang, tetapi tidak
sepanjang aksara titi pala. Aksara dirga ada
4 macam, yaitu :
(1) dirga melik, (2) dirga mendut, (3)
dirga mure, (4) dirga mutak atau muteg.
Aksara luluh
Aksara yang luluh karena digantikan oleh
aksara yang menggabung dengan aksara
tersebut.
Contoh: ka + atur – kaatur – katur (aa--a)
ka + unjuk – kaunjuk – konjuk (au – o)
jaya + ing – jayaing – jayeng (ai – e)
Aksara swara

Aksara vokal dalam abjad Jawa.


Gunanya untuk menuliskan kata-kata
asing. Jumlahnya ada 5 buah, yaitu:
/a/, /i/, /e/, /o/, dan
/u/. Masing-masing aksara tersebut
namanya adalah o kara, e kara, o kara,
dan u kara.
Aksara titipala
Suku kata pada tembang yang diucapkan panjang,
meskipun tidak sepanjang aksara upapala. Aksara titipala
ada dua macam, yaitu :
Panjang karena sutraiye : aksara wulu’suku kata berakhir
bunyi i’ atau aksara talingan’ suku akhir bebunyi e yang
keduanya menjadi suku asigeg ya’ berakhir huruf y’.
Contoh: api --- apuy; ulupi --- ulupuy; were --- wruy.
Panjang karena sutraowam: aksara suku’suku kata
berakhir bunyi u’ atau tarungan’suku kata berakhir bunyi
o’keduanya menjadi wulu asigeg wa’suku kata berakhir
bunyi i disusul w’
Contoh: Rama Parasu  Rama Parasiw
Kano  Kaniw
Aksara wanda
Wanda berarti suku kata. Aksara wanda berarti aksara yang
merupakan suku yang terdapat dalam sebuah kata. Dengan kata
lain, aksara wanda adalah jumlah suku yang terdapat dalam sebuah
kata dalam kalimat bahasa Jawa. Aksara wanda ada 4 macam,
yaitu:
 Ekawanda : Sebuah kata yang terdiri dari satu suku,
misalnya: sang, hyang, wi, dan sebagainya
 Dwiwanda : Sebuah kata yang terdiri dari dua suku,
misalnya : janma ‘orang’, kuda’kuda’, toya’air’, dan sebagainya.
 Triwanda : Sebuah kata terdiri dari tiga suku, misalnya :
wisata’wisata’ , samudra’samudera’, kuncara,’terkenal’, dan
sebagainya.
 Caturwanda : Sebuah kata yang terdiri dari 4 suku,
misalnya: ngawang-awang’angkasa’, samirana’angin’,
bagaskara’matahari’, dan sebagainya.
Aksara yoga
Yoga berarti anak. Aksara yoga berarti aksara
anak. Maksudnya ialah aksara yang muncul
berdasarkan aksara yang sudah ada, dan aksara
yang muncul kemudian merupakan anak atau
keturunan, isteri, atau saudara perempuan aksara
pertama. Aksara yoga ada dua macam, yaitu
yogasastra dan yogaswara.
Andhahan
Andhahan berarti turunan atau jadian, yaitu kata
yang sudah diturunkan daria salnya. Untuk
membentuk tembung andhahan ’kata turunan’
ada beberapa cara, yaitu:
 memberi afiks (ater-ater, panambang, seselan);
 perulangan (dwilingga, dwipurwa, dwiwasana);
 menyingkat (mancah)
 pemajemukan (camboran).
Ater-ater tripurusa
Prefiks yang menyatakan bahwa
pelakunya persona, baik persona pertama
(utama purusa), kedua (madyama purusa),
atau persona ketiga (pratama purusa).
Prefiks yang digunakan ialah dak (tak) untuk
utama purusa, misalnya dak (tak) tulis
’kutulis’, ko atau kok untuk madyama
purusa, misalnya ko(k) pangan ‘kau makan’,
dan di- untuk pratama purusa, misalnya
dipangan ‘dimakan’.
Basa antya
Bahasa yang digunakan oleh seorang kepada
orang lain yang sudah akrab dan untuk
menghormatinya. Wujudnya terdiri dari ngoko,
krama, dan krama inggil.
Contoh: Sliramu mono wis ora kekirangan
apa-apa bebasan kantun dhahar lan sare
‘Anda sudah tidak kekurangan apa-apa
ibarat tinggal makan dan tidur’
Basa bagongan
Bahasa yang digunakan di kraton. Basa
bagongan disebut juga basa kedhaton. Kosa
kata yang termasuk basa bagongan atau
basa kedhaton itu misalnya :
Besaos ‘saja’, boya ‘tidak’, nedho ‘silakan’,
enggeh ‘ya’, manira ‘saya’, pakenira ‘anda’,
punapi ‘apa’, puniki ‘ini’, puniku ‘itu’, seos
‘beda’, wenten ‘ada’
Basa baku
Bahasa yang digunakan dalam situasi resmi, misalnya
dalam undang-undang, surat resmi, sebagai
pengantar dalam pengajaran, dan pidato di depan
umum. Bahasa baku mempunyai ciri umum sebagai
berikut:
 mempunyai kamus umum dan paramasastra;
 bebas dari unsur dialek;
 menghasilkan kesusastraan baik lisan maupun tulisan
yang menunjukkan sejarah perkembangan bahasa
tersebut;
 digunakan oleh masyarakat luas
Di samping itu, bahasa baku mempunyai ciri
khusus sebagai berikut:

 mempunyai tata pakecapan ’aturan pelafalan’


 mempunyai titi ejaan ‘aturan ejaan’ bagi bahasa
tulis;
 mempunyai dhapukaning
tembung/pangrimbaging tembung ‘aturan
pembentukan kata turunan’
 mempunyai titi ukara ‘tata kalimat’;
 mempunyai titi idiom ‘aturan pembentukan
idiom’;
 mempunyai titi istilah ‘aturan pembentukan
istilah’;
Basa hormat
Basa yang digunakan untuk
menghormati mitra bicara. Basa hormat
tidak hanya tampak dari lagunya,
melainkan juga dari pilihan katanya.
Basa kedhaton
Ragam bahasa yang khusus dipakai di
kraton (Yogyakarta dan Surakarta) dan kadang-
kadang dalam pedalangan, tergolong dalam
krama madya, di pakai untuk menumbuhkan
suasana solidaritas antara pembicara dan
pendengar (jadi untuk menghindari pemakaian
krama-ngoko). Di kraton Yogyakarta ragam ini
disebut basa bagongan dan sampai kini masih
dipakai.
Basa krama
Bahasa yang digunakan untuk bercakap-cakap dengan orang lain
dengan pertimbangan agar orang yang diajak berbicara merasa
senang. Kata-kata yang tidak pantas disingkirkan, diganti dengan
kata-kata yang sopan. Basa krama dibagi menjadi:
 mudha krama. Wujudnya krama dan krama inggil bagi orang
kedua. Awalan dan akhiran krama. Digunakan oleh orang muda
(kedudukan maupun umur) kepada orang tua (kedudukan
maupun umur)
Contoh: Reginipun lembu punika pinten?
‘Harga sapi ini berapa?’
 kramantara. Digunakan bagi sesama. Semua katanya krama,
tanpa krama inggil.
Contoh : Sampeyan badhe tumbas ... .
‘Anda mau beli ...’
Basa madya

Bahasa yang digunakan di antara orang-orang yang sudah akrab. Basa madya dibagi
menjadi 3 macam, yaitu:
 Madya ngoko
Kata-kata yang digunakan berupa tembung madya dan ngoko
Contoh: Yen dika arep tuku kobis, kula saguh nggawakake
‘Jika andamau beli kobis, saya sanggup membawakan.’
 Madyantara
Kata yang digunakan adalah tembung madya, tembung ngoko, dan krama. Semua akhiran
tetap ngoko.
Contoh : Sampeyan (samang) tindak menyang ngendi ta mas, kok agi wae rawuh?
‘Anda pergi kemana saja mas, mengapa baru datang?’
 Madya krama
Kata-kata yang digunakan berupa tembung madya yang dicampur dengan tembung krama.
Aku diganti kula, kowe diganti sampeyan, samang, afiks tak diganti kula, ko- diganti samang
(yang sering disingkat mang); akhiran –ku diganti kula, akhiran –e tetap.
Contoh : Mangke kula etange dhuwite, lah empun niku dika widheni
‘Sekarang uangnya akan kuhitung, nah sudah coba Anda cocokkan.’
Basa tembang
Bahasa yang digunakan dalam
tembang. Dalam bahasa sastra klasik
basa tembang disebut basa kapujanggan
‘bahasa yang digunakan oleh para
pujangga’
Cakrik pakon
Bentuk kata dalam paramasastra yang
menyatakan imperatif. Di samping tampak
pada lagunya, juga terdapat afiks yang
menandainya. Untuk jelasnya dapat dilihat
pada hagnya.
Camboran
Disebut juga jamboran, yaitu dua buah
kata atau lebih yang digabungkan. Kata
yang digabung ada yang utuh ada pula yang
disingkat. Camboran yang unsurnya utuh
disebut camboran wutuh, sedangkan yang
unsurnya berupa singkatan disebut
camboran tugelan.
Camboran tugelan
Kata majemuk yang unsur-unsurnya
terdiri dari kata yang disingkat. Camboran
tugelan disebut juga camboran wancahan.
Contoh : wedang berasal dari we kang
didang ‘air yang dimasak’;
Dubang berasal dari idu abang
‘ludah merah’;
Dhegus berasal dari gedhe
bagus ‘besar tampan’;
Camboran wutuh
Camboran yang unsur-unsurnya utuh. Camboran wutuh dibagi
menjadi dua, yaitu :
► Camboran pisah, yaitu camboran yang hubungan kedua unsurnya
kurang erat sehingga dapat disisipi unsur lain, tetapi masing-
masing unsurnya masih tampak artinya.
Contoh : gula tebu ‘gula tebu’ -- gulane tebu ‘gulanya tebu’
Pager bata’ pagar bata’ -- pagere bata ‘pagarnya
bata’
Camboran pisah disebut juga camboran udhar
► Camboran manunggal, yaitu camboran ‘kata majemuk’ yang
unsur-unsurnya utuh dan gabungan kedua unsur tersebut
membentuk pengertian baru. Camboran manunggal disebut pula
camboran tunggal
Contoh : nagasari ‘nagasari’
Wong tuwa ‘orang tua’
Daya wacaka
Nomina turunan berafiks pa-an
Contoh : pa + apu + an -- papon
‘tempat kapur’
Pa + kopi + an --
pakopen ‘kebun kopi’
Pa + tuku + an --
patukon ‘pembeli’, ‘alat membeli’
Dwilingga

Pengulangan kata secara


keseluruhan. Dwilingga ada dua
macam, yaitu (1) dwilingga lugu
(2) dwilingga salin swara.
Dwilingga lugu
Pengulangan kata secara keseluruhan
tanpa disertai perubahan bunyi.
Contoh : Putih -- putih-putih ‘putih-putih’
Alun -- alun-alun ‘tanah lapang’
Dwilingga salin swara

Pengulangan kata yang disertai perubahan


bunyi
Contoh : gelo -- gela-gelo ‘menggeleng-
gelengkan kepala’
Mangan -- mangan-mengen
‘makan terus-terusan’
Gonjing -- gonjang-ganjing
‘bergetar terus-menerus’
Dwilingganing tanduk i-kriya

Bentuk aktif bersufiks –i pada dwilingga


Contoh : nulisi (tanduk i-kriya) -- nulis-
nulisi ‘menulis berkali-kali pada ...’
Nggambari (tanduk i-kriya) --
nggambar-nggambari
‘menggambar berkali-kali pada ...’
Dwilingganing tanduk ke-kriya
Bentuk aktif bersufiks –ake pada dwilingga
Contoh : nulisake ‘menuliskan’ -- nulis-
nulisake ‘menulis berkali-kali
untuk ...’
Nggambarake
‘menggambarkan’ -- nggambar-
nggambarake ‘menggambar
berkali-kali untuk ...’
Dwilingganing tanduk kriya
wantah
Bentuk aktif pada kata dasar dwilingga
Contoh : nulis ‘menulis’ -- nulis-nulis
‘menulis berkali-kali’
Nggambar ‘menggambar’ –
nggambar-nggambar
‘menggambar berkali-kali.
Dwilingganing bawa ka

Bawa ka pada dwilingga


Contoh : ketulis ‘bertulis – ketulis-tulis
‘tertulis bekali-kali’
Kegawa ‘terbawa’ – kegawa-
gawa ‘terbawa-bawa’
Rimbag bawa ka
Dwilingganing bawa kuma

Bawa kuma pada dwilingga


Contoh : ‘kumaratu’ sifat seperti
raja’ – kumaratu-ratu –
kumratu- ratu ‘sikap
seperti raja’
Rimbag bawa kuma
Dwilingganing bawa ma

Bawa ma pada dwilingga


Contoh : tumurun ‘dalam keadaan
menurun’ – temurun-turun
‘dalam keadaan banyak
menurun’
Rimbag bawa ma
Dwilingganing dwiwasana

Dwiwasana yang diulang


Contoh : cengenges – cengenges-
cengenges/cengengas-
cengenges ‘tertawa-tawa kecil’
Rimbag dwiwasana
Dwilingganing guna

Rimbag guna yang diulang


Contoh : mimisen –
mimis-mimisen/mimas- mimisen
‘berkali-kali mimisen’
Rimbag guna
Dwilingganing hagnya
Bentuk imperatif pada dwilingga.
Dwilingganing hagnya ada dua macam,
yaitu dwilingganing hagnya tanduk dan
dwilingganing hagnya tanggap.
Rimbag hagnya
Dwilingganing hagnya tanduk i-kriya

Bentuk imperatif aktif berafiks –i pada


dwilingga
Contoh : nulisana -- nulis-nulisana ‘menulisilah
berulang-ulang’
Njupukana -- njupuk-njupukana
‘mengambililah berulang-
ulang’
Dwilingganing hagnya tanduk ke-
kriya
Bentuk imperatif aktif berafiks –ake pada
dwilingga
Contoh : njupukna -- njupuk-njupukna
‘mengambilkan berulang-ulang’
Nulisna -- nulis-nulisna
‘menuliskanlah berulang-ulang’
Dwilingganing hagnya tanduk kriya
wantah
Bentuk imperatif aktif pada dwilingga
Contoh : nulisa -- nulis-nulisa ‘menulis-
nulislah’
Njupuka -- njupuk-njupuka
‘mengambil-ngambillah’
Dwilingganing hagnya
tanggap i- kriya
Bentuk imperatif pasif berafiks –i
pada dwilingga
Contoh : tulisana --- tulis-
tulisana ‘tulis-tulislah
berulang- ulang’
Jupukana --- jupuk-
jupukana ‘ambil-
ambillah berulang-ulang’
Dwilingganing hagnya
tanggap ke- kriya
Bentuk imperatif pasif berafiks –
ake pada dwilingga
Contoh : tulisna --- tulis-tulisana
‘tulis-tuliskanlah’
Jupukna --- jupuk-
jupukna ‘ambil-
ambilkanlah’
Dwilingganing hagnya tanggap
kriya wantah
Bentuk imperatif pasif pada dwilingga
Contoh : tulisen --- tulis-tulisen
‘tulis- tulislah’
Jupuken --- jupuk-jupuken
‘ambil-ambilkanlah’
Dwilingganing sananta
Sananta pada dwilingga. Sananta adalah
semua kata jadian yang dapat diberi afiks
dak- dan afiks dak- tersebut dapat diartikan
aku arep, aku nedya ‘aku akan’
Contoh : dak nggawa --- dak nggawa-
nggawa ‘aku akan membawa-
bawa’
Dak nulis --- dak nulis-nulis ‘aku
akan menulis-nulis’
Dwilingganing sananta i- kriya
Sananta berafiks –i pada dwilingga
Contoh: dak nata (sananta) --- dak
natani (sananta i- kriya) --- dak
natan-natani ‘aku akan
mengatur-atur sesuatu’
dak nulis (sananta) --- dak nulisi
(sananta i- kriya) --- dak nulis-
nulisi ‘aku akan menulis-nulisi
sesuatu’
Dwilingganing sananta ke-kriya

Sananta berafiks –ake pada dwilingga


Contoh : dak nulis (sananta) --- dak nulisake
(sananta ke-kriya) --- dak nulis-
nulisake ‘aku akan menulis-nuliskan’
dak nggawa (sananta) --- dak
nggawakake (sananta ke-kriya) ---
dak nggawak-nggawakake ‘aku
akan membawa-bawakan’
dak nata (sananta) --- dak natakake
(sananta ke- kriya) --- dak natak-
natakake ‘aku akan menata-
natakan’
Dwilingganing tanggap
Bentuk tanggap, baik tanggap
ka-, -in-, maupun tanggap
tripurusa.
Rimbag tanggap
Dwilingganing tanggap ka-kriya wantah

Bentuk pasif berafiks ka- pada dwilingga


Contoh: katulis (tanggap ka- kriya
wantah) --- katulis-
tulis’ditulis-tulis’
Dwilingganing tanggap ka-i-
kriya
Bentuk pasif ka- berafiks –i pada
dwilingga. Dalam bantuk pasif ka- dan
–in- sufiks –i berubah menjadi –an
Contoh : katulis --- katulisan
(tanggap ka-i kriya) ---
katulis-tulisan ‘ditulis-tulisi’
Kagambar --- kagambaran
(tanggap ka-i kriya) ---
kagambar-gambaran
‘digambar-gambari’
Dwilingganing tanggap ka-ke
kriya
Bentuk pasif ka- berafiks –ake pada dwilingga
Contoh : katulis --- katulisake (tanggap
ka-ke kriya) --- katulis-tulisake
‘ditulis-tuliskan’
Kagambar --- kagambarake
(tanggap ka-ke kriya) ---
kagambar-gambarake ’digambar-
gambarkan’
Dwilingganing tanggap na
kriya wantah
Bentuk pasif –in- pada dwilingga
Contoh : candha --- cinandhak (tanggap
na kriya wantah) --- cinandhak-
candhak ’dipegang-pegang’
tendhang --- tinendhang
(tanggap na kriya wantah) ---
tinendhang-tendhang ‘disepak-
sepak’

You might also like