You are on page 1of 12

Minggu ke 4

Populisme & Paradoks


Demokrasi di
Indonesia
Fransisco Panizza (2005 : 1) dalam bukunya membuat sebuah
DISCLAIMER. “It has become almost a clinche to start writing on
populism by lamenting the lack of clarity about the concept and casting
doubts about its usefulness for political analysis”.

Isaiah Berlin “ there is a shoe in shape of populism, but no foot that will
fit into” ( Karstev, 2008: 43)
Paul Taggart menganalogikan populisme seperti (hewan) bunglon yg bisa
berubah-ubah warna kulitnya menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Hal
inilah yang membuat sebagian sarjana politik lebih suka membatasi definisi
populisme dengan menunjukkan lokasi geografis dan periode waktu.

Sedangkan dalam kamus sosiologi populsime diartikan sebagai “suatu bentuk


retorika politik, yg menganggap keutamaan & keabsahaan politik terletak pd
rakyat, memandang kel elit yg dominan sbg korup & sasaran2 pol yg ideal itu
dgn hub lgsg antara rakyat dgn pemerintah tanpa perantara.
“Populisme, Sebuah Konsep Yang Diperebutkan”
Margaret Canocan (1981, dalam Mahasin 1994) membagi POPULISME dlm 3 bentuk.
1. Populisme “Wong Cilik”, yang berorientasi pada petani, borjuasi kcl, koperasi antara
pengusaha kecil & selalu memiliki kekhawatiran serta kecurigaan thdp usaha besar dan
pemerintah. Populisme ini meyakini bahwa ada scenario besar PENGUSAHA &
PENGUASA utk menindas “WONG CILIK”. Tipe Populisme ini tdk tertarik dgn ide2
kemajuan (urbanisasi, industrialisasi & kapitalisme) krn dianggap bisa merusak moral.
Dalam konteks politik, populisme ini ANTI-POLITISI. Contoh : Partai Populis Amerika
tahun 1980-an.
2. Populisme Otoriter, yang mengharapkan lahirnya pemimpin kharismatik. Max Weber
membedakan antara kepemimpinan kharismatis dengan kepemimpinan demokratis.
Meskipun Juan Peron ( mantan presiden Argentina) terpilih secara “demokratis” sbg
presiden, tapi ia menang bukan melalui proses rasionalitas politik, melainkan atas dasar
ikatan irasionalitas peronitas yg mengidolakan pemimpin yg kuat dan kharismatik.
Populisme kemudian melahirkan kultus sehingga Peron yg seorang populis bs memerintah
melalui cara2 yg TIDAK demokratis.
3. Populisme Revolusioner yg merupakn idealisasi kolektif atas penolakan terhadap
elitism dan ide2 tentang kemajuan. Pranata politik dan desain isntitusi politik dinilai tdk
lebih dari pengejawantahan dari dominasi elit atas rakyat, dan karena nya harus di bongkar
dan ditundukkan melalui perebutan kekuasaan oleh rakyat. Dukungan penuh kepada
pemimpin revolusioner mewakili kepentingan rakyat, bukan kepentingan segelintir elit.
Aspek Penting tentang Populisme ( Meny & Surel, 2002)

Tuntutan kaum populis agar primacy of


Rakyat adalah segalanya, perasaan
the people direstorasi melalui
01. sbg komunitas kolektif lbh
ditekankan 03. penempatan pemimpin kharismatik yg
menyuarakan hati Nurani rakyat

02. Kaum populis menitikberatkan


aspek pengkhianatan elit thdp
rakyat melalui modus korupsi,
penyalahgunaan kekuasaan dll
Krisis & Paradoks
Demokrasi
Populisme bisa tumbuh subur di Tengah masyarakat yg sdg
menghadapi krisis. Situasi Krisis ini ada 3 bentuk ( Christa
Deiwiks, 2009). Pertama, kondisi krisis ekonomi,
kemiskinan, pengangguran, ketimpangan pertumbuhan &
globalisasi. Kedua, populisme merupakan kritik tajam thdp
kegagalan representative democracy. Ketiga, kesenjangan
ekonomi yg terjadi di Tengah masy. Ketimpangan tsb
kemudian dimanfaatkan oleh pemimpin2 populis utk sebuah
retorika politik.
KELEMAHAN REPRESENTATIVE DEMOCRACY
Demokrasi pd dasarnya memiliki keterbatasan. Demokrasi merupakan
wujud dari prinsip dari rakyat, oleh dan untuk rakyat. Namun hal ini
justru melahirkan kesenjangan. Secara realitas, rakyat mmg dilibatkan
saat pemilu namun rakyat tdk seluruhnya terlibat dlm proses governing
dan decision making. Di titik inilah kaum populis akan menekankan
pada kesenjangan proses keterlibatan masy dlm sistem demokrasi yg
dilihat sbg sebuah paradoks dari demokrasi.
Kebijakan bukan sebg manifestasi
dari kepentingan byk org, melainkan
hasil dari interaksi & kompromi
antar aktor/elit. (1)

Kaum Populis melihat ini sbg “cacat bawaan’


demokrasi yg menjadikan rakyat sbg objek Sehingga Deiwiks (2009) menyebut
pengumpul suara utk memuluskan jalan populisme sbg akibat tdk terhindarkannya
eksploitasi legal kaum elit atas NAMA persaingan antara dua wajah demokrasi,
RAKYAT (2) yaitu wajah pragmatis & redemptive. (3)
Sehingga, alienasi politik menjadi benih2
Wajah pragmatic demokrasi bertumpu pada desain yang menumbuhkan populisme yaitu
institusi demokrasi, misalnya dlm bentuk perasaan bahwa pemilu tdk ada gunanya.
multipartai. Sementara redemptive democrarcy Sistem Politik hanyalah milik kaum elit dan
bergelut diatas janji2 ideal mewujudkan dunia yg kelompknya. Sebagai warga, tidak bs apa-
adil. Jika redemptive democracy gagal apa. Kesenjangan penilaian thdp demokrasi
mwujdukannya, maka kelompok2 populis siap sbg sistem terbaik dgn kepuasan public
mnegambil alih sebagai “putting the power back terhadap kinerja produk dan institusi
into the people’s hand” Mair (2002). demokrasi juga makin menambah dosis
populisme.

You might also like