You are on page 1of 16

Dimensi Ibadah

Dalam Islam
A. Dimensi Ritual

 Di dalam Kamus Munjid yang terbit tahun 1986: 483,


disebutkan ibadah berasal dari akar kata, ‘Abada,
‘Ibadatan, ‘Ubudiyah, yang mempunyai arti
mengesakan-Nya, menghormati-Nya, tunduk dan patuh
serta taat pada-Nya. Secara harfiah ibadah dapat
diartikan sebagai rasa tunduk, atau tha’at:
melaksanakan pengabdian atau tanassuk: merendahkan
diri, khudlu: menghinakan diri atau tadzallul dan
istikhanah (Muhaimin, 1994: 256).
 Makna ibadah dalam arti yang luas dapat dipahami
bertaqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah Swt
dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya,
mengamalkan segala yang diizinkan Allah Swt.
 Ibadah dapat dibagi menjadi dua yaitu umum dan khusus
 Ibadah umum artinya segala amalan yang diizinkan Allah Swt
 Ibadah yang khusus merupakan apa yang ditetapkan Allah Swt akan
perincian-perincian-Nya, tingkah laku dan dengan cara-cara tertentu.
 Sedangkan ritual adalah perilaku yang diatur secara ketat yang dilakukan
sesuai dengan ketentuan yang berbeda dengan perilaku sehari-hari, baik
cara melakukan maupun maknanya (Djamari, 2000: 34)
 Kegiatan ritual dalam Islam apabila ditinjau dari sudut tingkatan ada tiga,
yaitu: (a) Ritual Islam yang primer, adalah ritual yang wajib dilakukan oleh
umat Islam. Umpamanya shalat wajib lima waktu sehari semalam. (b)
Ritual Islam yang sekunder, adalah ibadah shalat sunnah, misalnya: bacaan
dalam ruku’ dan sujud, shalat tahajud dan shalat dhuha. (c) Ritual Islam
yang tersier, adalah ritual yang berupa anjuran dan tidak sampai pada
derajat sunnah (Hakim, 2000: 128).
 Makna dapat disimak pada firman Allah Swt surat Az-Zâriyât (51) ayat 56.
 ‫َو َم اَخ َلْقُت اْلِج َّن َو ْاِإل نَس ِإَّالِلَيْعُبُدوِن‬
 “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku”.
 Departemen Agama RI, Al-Qur’an Dan Terjemahannya, (Surabaya: Surya
Cipta Perkasa, 1993), hal. 524
B. Dimensi Sosial

 Sosial adalah segala sesuatu yang berbicara mengenai


masyarakat, kemasyarakatan, suka memperhatikan
kepentingan umum, suka menolong, menderma dan
sebagainya. Pada lazimnya istilah sosial dipergunakan
untuk menggambarkan segala macam gejala yang ada
dalam masyarakat, betapapun kecilnya kepentingan
gejala itu secara sosial. Dengan demikian maka semua
peristiwa yang menyangkut diri manusia merupakan
gejala yang bersifat sosial.
 Manusia adalah makhluk sosial, yaitu makhluk yang memiliki
kecendrungan untuk hidup senantiasa berdampingan dengan sesamanya.
Manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa ada orang lain yang hidup
bersamanya. Masing-masing individu saling membutuhkan untuk dapat
saling melengkapi kebutuhannya.
 Soerjono Soekanto (1998) menyatakan bahwa manusia sejak lahir sudah
mempunyai dua hasrat pokok, yaitu: pertama, keinginan untuk menjadi
satu dengan manusia lain di sekelilingnya (yaitu masyarakat), dan
keinginan untuk menjadi satu suasana dalam sekelilingnya.
 Dalam konteks ini adalah surat al-Ḫujurât ayat 13.
‫ َيآَأُّيَها الَّناُس ِإَّنا َخ َلْقَناُك م ِّم ن َذ َك ٍر وُأنَثى َو َج َع ْلَناُك ْم ُش ُعوًبا َو َقَبآِئَل ِلَتَع اَر ُفوا ِإَّن َأْك َر َم ُك ْم ِع نَد ِهللا َأْتَقاُك ْم ِإَّن َهللا َع ِليٌم‬
‫َخ ِبيٌر‬
Artinya: “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah Swt ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Swt Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
 Dalam ayat tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa manusia diciptakan
terdiri dari lelaki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa,
agar saling mengenal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, menurut
Al-Qur’an manusia secara fitri adalah makhluk sosial dan hidup
bermasyarkat merupakan satu keniscayaan bagi setiap manusia. Namun
tingkat kecerdasan, kemampuan, dan status sosial manusia menurut Al-
Qur’an berbeda-beda.
 Adapun ibadah sosial, maka ibadah ini bersifat flexibel, tidak ada
ketentuan baku dan tata cara yang rinci dan khusus mengenainya, kecuali
ibadah sosial yang juga merupakan ibadah ritual. Ibadah sosial adalah
jenis kegiatan manusia yang interaksinya dengan sesama berdasarkan
perintah Allah Swt dan Rasul Nya.
C. Pandangan Islam Tentang
Ibadah Sosial
 Sejak lahirnya belasan abad yang lalu Islam memang telah tampil
sebagai agama yang memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara
dunia dan akhirat, antara hubungan manusia dengan Tuhan, antara
hubungan manusia dengan manusia, dan antara urusan ibadah dengan
muamalah. Islam itu sempurna, artinya mencakupi kebutuhan manusia
untuk semua persoalan hidupnya sehingga ajaran Islam akan meliputi
tuntunan tentang cara berhubungan dengan Allah Swt (ḥablum min
Allah) dan cara berhubungan dengan manusia (ḫablum min an-nâs).dan
termasuk alam sekitarnya yang disebut dengan (hablum min al-‘alâm).
 Ajaran agama Islam adalah manhaj sistem yang saling melengkapi, yang
berinteraksi antara ibadah dan syiar-syiarnya dengan tugas-tugas
individual dan sosialnya. semuanya bermuara untuk kepentingan umat
manusia dengan tujuan untuk menyucikan hati, memperbaiki kehidupan,
dan tolong-menolong antar sesama manusia dan bantu-membantu untuk
kebaikan, kesalehan dan perkembangan dalam hidupnya. pada semua itu
tercerminlah rahmat yang besar dari Allah Swt kepada hamba-hamba-
Nya.
 Namun, khusus dalam bidang sosial ini Islam menjunjung tinggi tolong-
menolong, saling menasihati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan,
egaliter (kesamaan derajat), tenggang rasa dan kebersamaan. Ukuran
ketinggian derajat manusia dalam pandangan Islam bukan ditentukan oleh
nenek moyangnya, kebangsaannya, warna kulit, bahasa, jenis kelamin dan
lain sebagainya yang berbau rasialis. Kualitas dan derajat seseorang
ditentukan oleh ketakwaannya yang bermanfaat bagi manusia. Atas dasar
ukuran ini, maka dalam Islam semua orang memiliki kesempatan yang
sama.
 Dalam hal ini, agama senantiasa melibatkan apa yang seharusnya
dilakukan dan apa yang senyatanya diterima. Karena memang ia
merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Dengan kata lain, pesan
yang terkandung di dalam firman Allah Swt senantiasa memiliki dimensi
mikro (ḫablumminallâh) dan dimensi makro (ḫablumminannâs).
 Dimensi mikro, proses kritis dan koreksi tentang penghayatan iman,
penghayatan kedekatan kepada al-Khalik, Sang Pencipta alam semesta
dengan pendirian hidup yang memiliki sinar memancarkan pijar dan
cahaya. Dimensi yang menggerakan diri untuk khusyuk dalam ibadah
mahdhah. Dimensi makro, panggilan fitrah kaum beriman untuk
memproyeksikan kehambaannya ke dalam tingkat universal, yaitu
membawa manfaat dan rahmat terhadap sesama umat manusia semesta
alam. Firman Allah Swt Q.S. Al-Anbiyâ’: 107
 ‫َو َم آ َأْر َس ْلَناَك ِإَّالَر ْح َم ًة ِّلْلَع اَلِم يَن‬
 “Dan Tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.”
D. Pemilihan Wajib dan Efeknya
Terhadap Pemberdayaan Umat

 Wajib menurut bahasa adalah pasti atau tepat,


sedangkan menurut istilah Ushul Fiqih adalah sesuatu
yang diperintah oleh syari’ supaya dikerjakan oleh
mukalaf secara pasti dan perintah itu disertai dengan
petunjuk yang menunjukkan bahwa perintah itu
menjadi wajib. Petunjuk itu bisa berupa kalimat
perintah itu sendiri atau kalimat yang terdapat
petunjuk harus melakukannya.
 Contoh petunjuk yang berupa kalmat perintah itu sendiri :
 ‫َأِقْيُم وا الَّص اَل َة َو آُتوا الَّز َك اَة‬
 Artinya : Dan tegakkanlan shalat serta tunaikanlah zakat ….
 Wajib ditinjau dari segi tuntunan penunainnya terbagi menjadi dua, yaitu
wajib ‘aini (wajib ‘ain) dan wajib kifai (wajib kifayah).
 Wajib ‘ain (wajib ‘ain) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’ supaya
dilaksanakan oleh setiap mukalaf. Misalnya: shalat, zakat, haji.
 Wajib kifa’i (wajib kifayah) adalah sesuatu yang diperintah oleh syari’
untuk dilaksanakan tanpa melihat siapa yang melaksanakannya.
 Jadi syari’ hanya menuntut dari kelompok mukalaf, jika seorang mukalaf
telah melakukannya maka gugurlah dosa dari mukalaf yang lain, tapi
apabila tidak ada seorang mukalafpun yang melakukannya maka semua
mukalaf berdosa karena mengabaikan kewajiban itu.
 Misalnya menjawab salam, amar ma’ruf nahi munkar, menshalatkan orang
yang meninggal, menolong orang lain.
 Wajib kifayah bisa menjadi wajib ‘ain apabila tidak ada yang bisa
melakukannya kecuali mukalaf itu.
 Contoh : ada seorang yang tenggelam, sedang semua orang yang
menyaksikan tidak ada yang pandai berenang kecuali satu orang, maka
wajib kifayah itu menjadi wajib ‘ain baginya. Atau contoh lain, dalam satu
negeri hanya terdapat satu dokter, maka menolong orang sakit yang
seharusnya wajib kifayah menjadi wajib ‘ain sehingga dokter itu harus
menolong orang yang sakit.

You might also like