You are on page 1of 9

HUKUM DAN MORAL

Nama : 1. Juni Rahmat Lawolo


2. Melfin Nur Oktaviani Gulo
3. Sesilia Zai
4. Mercy Zalukhu
Semester : VII
Mata kuliah : Filsafat Hukum

DOSEN PENGAMPU
ADRIANUS BAWAMENEWI,SH.,MH
A. HUKUM DAN MORAL
Dalam metafisika kesusilaan Kant (1979) ditemukan per bedaan antara legalitas
dan moralitas. Legalitas menurut Kant dipahami sebagai kesesuaian atau ketidaksesuaian
semata-mata suatu tindakan dengan hukum atau norma lahi riah belaka. Kesesuaian dan
ketidaksesuaian belumlah dianggap memiliki nilai­nilai moral, sebab nilai- nilai baru
dapat ditemukan dalam moralitas. Moralitas dalam pandangan Kant selanjutnya
dipahami sebagai kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum
batiniah kita, yakni apa yang dipandang sebagai kewajiban kita. Moralitas barulah dapat
diukur ketika seseorang menaati hukum secara lahiriah karena kesadaran bahwa hukum
itu adalah kewajiban dan bukan lantaran takut pada kuasa sang pemberi hukum.
Konstruksi legalitas dan moralitas Kant, dianggap tidak fleksibel dan
cenderung ekstrem. Menurut para pengkritik Kant, konstruksi Kant melupakan
aspek lain yang juga dapat memengaruhi sikap dan perilaku seseorang dalam
konteks konstruksi legalitas dan moralitas seperti sikap belas kasihan, iba hati,
atau kepentingan diri.
Persoalan yang kemudian timbul dari suatu pertanyaan tersendiri
adalah sikap dan kaidah yang sangat abstrak sehingga tindakan atau
perbuatan seseorang tidak dapat dinilai secara pasti. Karena apa yang kita
lihat boleh jadi hanyalah respons dari indra baik yang bersifat eksternal
maupun internal, sementara latar belakang batiniah tidak dapat diterjemahkan
melalui medium pancaindra. Dalam hal ini, FIilsafat agama mengatakan
bahwa yang “Mutlak” sajalah yang mampu melihat sikap batiniah seseorang
yang kemudian dapat menentukan moralitas murni.
lahirlah beberapa aliran sebagai berikut:
 Aliran Positivisme
 Aliran Marxis
 Aliran Eksistensialisme
B. HUKUM MORAL
Dalam konteks hukum positif, aturan baik­ buruk atau benar­ salah dapat
diukur dengan menempatkannya pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Contohnya, seseorang yang kedapatan mencuri. Dalam aturan hukum positif,
mencuri itu dapat diganjar dengan aturan perundang­-undangan. Akan tetapi,
mencuri dapat pula diganjar de ngan hu kuman yang bersifat etis yang dalam ukuran
moralitas perbuatan mencuri dianggap sebagai suatu perbuatan yang salah dan
buruk.
Jika kemudian yang dipandang sebagai subjek hukum moral adalah manusia,
masyarakat, dan/atau negara, sedangkan objeknya adalah perilaku yang lahir dari
kewajiban­kewajiban, maka bagaimana hukum moral mendeskripsikan aturan­
aturannya.
Oleh karena itu, yang dikatakan baik, bukan pada kemerdekaan dan
kedaulatan, akan tetapi pada simpati, kerendahan hati dalam hubungannya dengan
status budak yang disandangnya Gambaran moralitas tuan dan budak yang
digambarkan Nietzsche dalam hubungannya dengan apa yang dikemukakan oleh
Kant, maka yang dianggap baik secara moral oleh tuan dan budak adanya ketika
ukuran moralitas disandarkan pada strata yang melekat pada dirinya. Sehingga
dapat dikatakan bahwa itulah aturan­aturan yang mereka pandang sebagai aturan
moralitas mereka. Atau dengan kata lain, dalam pandangan tuan dan budak, itulah
yang dianggap sebagai hukum moral.
Kehidupan moral dalam hal ini kehendak baik dapat ditemukan dalam
airmasi dasar hukum moral. Tindakan individual baik secara moral, bukan hanya
karena kebetulan sesuai dengan hukum moral, melainkan juga karena mengalir dari
sumbernya, nilai moral dari objek. Karena, tindakan moral itu diarahkan menuju
objek dan menerima ciri etis dari objek tersebut. Manusia menjadi baik secara moral
dengan menerima dunia nilai-nilai seperti dtemukannya dan mengejarnya.
C. MORAL, MORALITAS, DAN ETIKA
Menyoal moral, moralitas, dan etika sepintas bukanla h sesuatu yang harus
dipertanyakan, baik dalam konteks dei nisi maupun ruang lingkupnya. Akan tetapi,
setelah direnungkan ternyata terdapat perbedaan yang semestinya harus dipahami dalam
menggambarkan hukum dan moral.
1. Moral
Moral pada umumnya dapat diartikan sebagai berikut:
 Menyangkut kegiatan­kegiatan manusia yang dipandang sebagai baik/buruk,
benar/salah, tepat/tidak tepat.
 Sesuai dengan kaidah­kaidah yang diterima menyangkut apa yang dianggap benar,
bijak, adil, dan pantas.
 Memiliki kemampuan untuk diarahkan oleh atau dipe ngaruhi oleh keinsafan akan
benar atau salah, dan ke mam puan untuk mengarahkan atau memengaruhi orang lain
sesuai dengan kaidah­kaidah perilaku yang di ni lai benar atau salah.
 Menyangkut cara seseorang bertingkah laku dalam hubungan dengan orang lain.
2.Moralitas
Moralitas, di satu sisi berbeda dengan moral. Dalam hal ini moralitas
disebutkan sebagai sikap manusia berkenaan dengan hukum moral yang didasarkan
atas keputusan bebasnya. Moralitas dalam hal ini biasa juga disebut dengan ethos.
Etos kadang kala diartikan untuk menunjukkan karakter tertentu, misalnya sikap
moral dari satu nilai khusus.
Moralitas juga bukanlah sesuatu yang bersifat artiisial atau terlepas dari
persoalan­persoalan hidup manusia, melainkan tampak sebagai sesuatu yang tumbuh
seiring denga n kondisi hidup manusia. Oleh karena itu, ukuran­ukuran moral
tidaklah sama dengan kebiasaan­kebiasaan (tradisio nal) yang diikuti oleh sebagian
bangsa.
3.Etika
Jika etika disamakan dan/atau dibedakan dengan moral dan/atau moralitas, maka
pada dasarnya etika menjadi wacana yang membincangkan landasan­landasan
moralitas. Da lam kedudukannya sebagai landasan moralitas, maka etik a dapat
dilihat dari sudut pandang, sebagai berikut:
 Sebagai sistem-­sistem nilai kebiasaan yang penting dalam kehidupan kelompok
khusus manusia.
 Sistem sistem tersebut diwujudkan sebagai kaidah­kaidah moralitas yang memberi
makna tentang kebenaran dan kesalahan.
 Etika dalam sistem moralitas itu sendiri mengacu pada prinsip-­prinsip moral
aktual.
TERIMAKASIH…

You might also like