You are on page 1of 19

Pengembangan Bioteknologi Mikroalga

Yang Berkelanjutan Di Wilayah Pesisir


Untuk Budidaya Perikanan Dan Pangan
Taufiqurrahman
NPM. 229510110008
Pendahuluan

Meningkatnya kekhawatiran mengenai produksi bahan kimia berkelanjutan telah


mendorong dilakukannya banyak penelitian terhadap bahan baku alternatif untuk
memproduksi bahan kimia dan bahan bakar dengan menggunakan pendekatan teknologi
ramah lingkungan. Ada banyak bahan baku alternatif potensial yang tersedia saat ini,
termasuk limbah industri, residu pertanian, bahan lignoselulosa, limbah budidaya
perikanan, dll. Bahan tersebut dapat diubah oleh mikroorganisme, yang telah terbukti
memiliki potensi tinggi untuk menggantikan sebagian bahan baku bahan kimia dan bahan
bakar saat ini. . Banyak biokimia halus, seperti pigmen dan eksopolisakarida dari
Porphyridium cruentum dan produk bernilai tambah lainnya seperti tokoferol, diproduksi
dalam berbagai jumlah oleh mikroorganisme seperti mikroalga dan cyanobacteria.
Mikroalga adalah spesies eukariotik mikroskopis dan uniseluler yang ditemukan secara
individu atau rantai atau kelompok di kolom air dan sedimen. Organisme ini mampu
melakukan fotosintesis, yang penting bagi kehidupan di bumi, menghasilkan hampir
setengah oksigen di atmosfer dengan menggunakan karbon dioksida dan sinar matahari.
Mikroalga, cyanobacteria, dan bakteri merupakan dasar dari jaring makanan, menyediakan
energi untuk semua tingkat trofik di atasnya.
Adaptasi jangka panjang terhadap berbagai lingkungan telah
membentuk keragaman plastisitas fenotipik dan genotipik yang ditunjukkan
oleh mikroalga (Brodie et al., 2017; Lu et al., 2021a). Keanekaragaman
mikroalga yang luar biasa di alam ini menyediakan kumpulan sumber daya
yang dapat digunakan untuk memilih strain spesifik dengan sifat-sifat yang
diperlukan untuk pengembangan bahan baku komersial agar dapat
dimanfaatkan secara khusus. Pemanfaatan mikroalga laut dalam sistem
industri menarik karena dapat tumbuh di lahan non-garam dan
memanfaatkan pasokan air asin. Hal ini memberikan alternatif yang
menjanjikan untuk mengurangi kerawanan pangan global karena tingginya
kebutuhan akan air bersih, kerusakan lahan pertanian, dan populasi manusia
yang terus bertambah (da Silva et al., 2016). Selain itu, makanan alga
berbasis strain alami mencegah kekhawatiran sel yang direkayasa terkait
dengan pelepasan materi hasil rekayasa genetik.
Pengertian
Mikroalga adalah organisme yang berukuran mikro yang dapat hidup di perairan tawar, laut atau
payau. Dalam siklus hidupnya, mikroalga membutuhkan cahaya matahari, air dan sumber karbon.
Mikroalga mendapatkan nutrisi dari air sebagai habitat hidupnya, mengabsorbsi cahaya matahari,
menangkap karbondioksida dari udara dan memproduksi sekitar 50% oksigen ke atmosfer.
Mikrolaga juga memiliki sistem biologi yang efisien untuk memanfaat cahaya matahari dalam
memproduksi komponen organik.

Saat ini mikrolaga sudah dikembangkan secara komersial sebagai sumber nutrisi untuk kebutuhan
manusia, hewan, dan pakan ikan, produk kosmetik, pigment, biofertilzer, atau sebagai sumber
antimikroba dan juga sebagai sumber bahan baku untuk bahan bakar. Oleh sebab itu,
pengembangan atau riset mengenai mikrolaga ini sangat menjanjikan di masa depan dan bisa
menjadi produk unggulan perikanan Indonesia mengingat luas perairan negara Indonesia lebih luas
dibandingkan dengan daratan.
Proses produksi mikroalga terdiri dari beberapa tahap yaitu proses kultivasi, pemanenan dan
proses ektraksi. Setiap jenis mikroalga memiliki karakteristik yang unik. Oleh sebab itu untuk
menghasilkan produk yang berkualitas, diperlukan proses optimasi pada setiap langkah produksi,
contohnya pada saat kultivasi, pemanenan atau proses ektraksi komponen aktif. Perbedaan
karakteristik ini, bisa dijadikan peluang riset yang sangat besar untuk bidang perikanan dan
khsusunya dalam bidang pemanfaatan sebagai bahan baku yang perlu masih digali dan ditingkatkan
nilai jualnya (value added products).

Mikroalga sebagai sumber pangan perikanan memiliki keunggulan diantaranya sebagai sumber
protein yang baik jika dibandingkan dengan nasi, sayuran atau gandum. Asam lemak tidak jenuh
ganda (polyunsaturated fatty acid (FUFA)) sebagai sumber nutrisi dapat diformulasikan atau
ditambahkan ke dalam makanan bayi yang untuk perkembangan otak dan mata, juga sebagai key
component dari jaringan hati. Mikroalga juga mengandung sterol dan DHA (ω3 fatty acid) yang
apabila dikonsumsi oleh manusia (adults) bisa digunakan untuk mengobati penyakit kardiovaskular.
.Pigmen dari mikroalga dapat dijadikan sebagai sumber pewarna alami, seperti carotenoids dan
phycobiliproteins. Carotenoids terdiri dari lebih 400 jenis dan hanya beberapa yang sudah dikomersialisasikan,
diantaranya β-carotene, astaxanthin lutein, zeaxanthin dan lycopene. Astaxanthin banyak digunakan sebagai
bahan pakan untuk budidaya salmon. Rata-rata pasar kebutuhan pigmen astaxanthin untuk budidaya mencapai
US$ 200 juta per tahun dengan harga rata-rata US$ 2500/kg dan sampai saat ini untuk memenuhi kebutuhan
pasar produksinya masih didominasi oleh sintesis pigmen. Phycobiliproteins terdiri dari phycocyanin dan
phycoerythrin. Kelompok ini terutama phycocyanin banyak digunakan sebagai sumber pewarna pamakan,
kosmetik (lipstik dan eyeliner) untuk mensubstitusi pewarna sintetis. Saat ini phycobiliproteins banyak
digunakan di bidang industri dan untuk kebutuhan riset bidang immunologi.

Beberapa komponen aktif dari mikroalga juga bisa digunakan sebagai bahan kosmetik atau skin care. Selain itu,
microalga juga bisa digunakan untuk mengatasi masalah lingkungan seperti bioremediasi dan menyerap
karbondioksida dari udara (CO2) dan menghasilkan oksigen ke udara untuk meminimalisir global warming. Oleh
karenanya, berdasarkan beberapa uraian di atas maka mikroalga adalah sumber bahan baku perikanan yang
sangat potensial dan perlu lebih lanjut untuk diteliti dari dari mulai budidaya sampai dengan berbagai
peningkatan nilai tambah baik untuk pangan, pakan, pharmaceutical, bioremediasi, maupun sumber bahan
bakar.
Manfaat mikroalga untuk perikanan

Permintaan global terhadap produk ikan diperkirakan akan mencapai 186 M Tn pada tahun 2030 yang sebagian
besar didorong oleh pakan air yang digunakan dalam budidaya ikan. Pakan air merupakan biaya utama dalam
budidaya ikan, dan juga merupakan bidang dimana keberlanjutan dapat ditingkatkan secara maksimal. Sumber
utama protein dan lipid dalam pakan aqua secara tradisional berasal dari ikan laut dan ikan pelagis kecil, karena
keduanya memberikan keseimbangan yang baik antara asam amino esensial dan asam lemak omega-3 yang
dibutuhkan oleh hampir setiap ikan yang dibudidayakan secara komersial, dan ikan berkualitas tinggi. fillet yang
dibutuhkan untuk konsumsi manusia. Namun, jumlah ikan bawah tanah dan ikan pelagis kecil telah menurun di
seluruh dunia sebagai akibat dari meningkatnya permintaan dari industri.
Menanggapi kekurangan ikan liar, industri pakan air beralih ke bahan-bahan nabati karena ketersediaannya
yang lebih luas, biaya yang lebih rendah, dan pengetahuan yang sudah mapan mengenai penggunaannya
dalam nutrisi manusia dan ternak. Minyak nabati dari kedelai, biji rami, biji rami, kanola, kelapa sawit dan
kelapa menjadi kandidat utama untuk menggantikan minyak laut, namun penggunaannya dalam pakan air
memiliki beberapa keterbatasan nutrisi serta masalah keberlanjutannya sendiri, Peternakan di seluruh dunia
sudah sangat bergantung pada minyak nabati, dan ada kekhawatiran bahwa permintaan lebih lanjut dari
budidaya perikanan dapat meningkatkan harga dan menyebabkan perluasan lahan pertanian, sehingga
memberikan tekanan lebih besar pada habitat alam.
Protein yang berasal dari tumbuhan biasanya kekurangan beberapa asam amino esensial yang ada
dalam tepung ikan, dan beberapa mengandung faktor anti-nutrisi, yang dapat menyebabkan efek peradangan
yang berdampak buruk pada kesehatan, kesejahteraan dan produktivitas, sedangkan minyak nabati biasanya
kekurangan n- 3 asam lemak LC-PUFA (omega-3). Keterbatasan ini menjadi masalah bagi ikan budidaya laut,
karena mereka tidak dapat mensintesis asam lemak omega-3 secara efisien dan harus bergantung pada pola
makan untuk mendapatkannya.
Dalam upaya menemukan alternatif produk ikan yang lebih berkelanjutan, dan sumber asam lemak omega-3
yang lebih cocok dibandingkan minyak nabati, mikroalga fotosintetik dan sianobakteri semakin mendapat
perhatian13 . Kandungan protein dan komposisi asam lemak pada beberapa mikroalga mirip dengan ikan
pelagis laut, dan lebih bergizi serta lebih sehat untuk dikonsumsi manusia dibandingkan yang berasal dari
tanaman terestrial. Perkembangan terkini dalam bioteknologi alga juga telah membuat produksi mikroalga
lebih murah dan lebih mudah didapat , namun masih terdapat tantangan terkait peningkatan skalanya, dan
kesenjangan pengetahuan yang menghambat pemanfaatannya secara lebih luas. Penelitian awal mengenai
mikroalga sebagai pakan air berfokus pada penggunaannya sebagai bahan tambahan pakan, sebagian besar
sebagai sel hidup, namun terdapat peningkatan minat terhadap potensi manfaat mikroalga sebagai pengganti
minyak ikan atau protein. Penelitian terbaru cenderung berfokus pada ekstrak mikroalga karena ekstrak
mikroalga biasanya lebih mudah dicerna dan cenderung tidak mengandung anti-nutrisi dibandingkan alga utuh,
,
sementara produksi minyak mikroalga murni dalam skala besar untuk dimasukkan ke dalam pakan air menjadi
lebih efisien.
• Salah satu mikroalga khususnya, genus Arthrospira ( Spirulina ), telah mendapat banyak perhatian
karena memiliki kandungan protein yang mirip dengan ikan laut serta daya cerna yang tinggi karena
kurangnya dinding sel selulosa. Dengan produksi tahunan global sebesar 3.000 Tn berat kering, pasar
Spirulina bernilai $394 juta pada tahun 2019, dan tumbuh pada tingkat ~10% per tahun. Ini adalah
salah satu mikroalga yang paling intensif dibudidayakan dalam budidaya perikanan dan merupakan
spesies yang menawarkan beberapa pilihan terbaik untuk pengganti protein ikan. Namun Spirulina
tidak dapat digunakan sebagai pengganti minyak ikan karena memerlukan mikroalga dengan profil
nutrisi berbeda. Genus Schizochytrium kaya akan asam lemak omega 3, terutama DHA, dan sudah
diproduksi dalam skala industri sebagai suplemen makanan. Hal ini juga dapat dimasukkan ke dalam
pakan air untuk meningkatkan kandungan DHA pada fillet ikan dan dapat diproduksi dalam jumlah
besar yang dibutuhkan oleh industri budidaya salmon.
Pentingnya Mikroalga Sebagai Pakan Bagi Industri Akuakultur

Sejak lama, mikroalga telah memberikan nutrisi langsung atau tidak langsung pada
tahap awal pertumbuhan banyak ikan budidaya, kerang, dan invertebrata (
Priyadarshani dan Rath, 2012 ). Pada tahap larva moluska, echinodermata, krustasea, dan
beberapa ikan, cara pemberian pakan biasanya berupa filter feeding, dimana mikroalga
merupakan sumber nutrisinya ( Hemaiswarya et al., 2010 ; Kaparapu, 2018 ).
Tredici dkk. (2009) telah mengkaji pola budidaya mikroalga yang digunakan untuk pakan.
Mereka memperkenalkan pengembangan bioteknologi mikroalga, khususnya teknik budidaya
baru, dan berfokus pada penerapan praktis dan potensial alga dalam nutrisi hewan akuatik,
yang dapat mengambil posisi dominan dalam ekosistem ini. Shields dan Lupatsch (2012) telah
merangkum kondisi penggunaan alga saat ini dalam budidaya perikanan dan pengembangan
biomassa alga sebagai bahan pakan ternak yang diformulasikan. Mikroalga menyediakan
sumber pakan langsung atau tidak langsung yang penting untuk tahap awal perkembangan
banyak spesies air, dan secara tradisional, di tempat pembenihan hewan air, budidaya
mikroalga dilakukan dalam skala besar, umumnya di kolam luar ruangan atau kolam besar.
Namun, dalam pembenihan akuakultur intensif, pembiakan mikroalga biasanya dilakukan
dalam bioreaktor khusus, mengelola spesies alga yang berbeda secara teratur melalui cara
buatan atau otomatis.
Saat ini, terdapat puluhan jenis mikroalga umpan yang populer diterapkan dalam produksi bibit
skala besar di seluruh dunia. Mikroalga merupakan sumber makanan utama bagi zooplankton
dan ikan berukuran kecil, dan selanjutnya merupakan sumber nutrisi penting yang berharga
sebagai pakan ikan di eselon atas rantai makanan, pakan berbasis mikroalga menawarkan
sumber makanan yang menjanjikan bagi industri akuakultur berkelanjutan ( Yarnold dkk., 2019 ).
Shah dkk. (2017) mengulas kemajuan terkini mikroalga sebagai suplemen atau feed additive
untuk menggantikan tepung ikan dan minyak ikan dalam budidaya perikanan. Sesuai dengan
kebutuhan nutrisi ikan, pemilihan spesies mikroalga yang baik dapat meningkatkan laju
konversinya dalam tubuh ikan, sehingga mempelajari komposisi nutrisi berbagai mikroalga
diperlukan untuk mendukung budidaya perikanan. Selain itu, masalah keamanan dan peraturan
penerapan pakan mikroalga juga perlu dipertimbangkan. Selain itu, biaya biomassa alga
berkualitas tinggi jauh lebih tinggi dibandingkan komponen pakan berbahan dasar tepung ikan
atau biji-bijian, sehingga mungkin membatasi penerapannya dalam skala besar. Perlu dicatat
bahwa biomassa alga yang diterapkan pada industri pakan akuakultur sebagian besar berbentuk
pasta, sehingga biaya dalam bentuk ini dapat dikurangi secara signifikan ( Raja dkk., 2018 ).
Tentu saja spesies alga yang dikembangkan dan umum digunakan biasanya tidak beracun, tidak
berbahaya, bergizi, dan mudah tumbuh dalam kepadatan tinggi dalam skala besar.
Manfaat mikroalga untuk pangan

Produk berbasis mikroalga sampai sekarang belum berkembang optimal di


Indonesia. Oleh karena itu, pemanfaatan mikroalga sebagai sumber
pangan dapat mendukung program ketahanan pangan dan kesehatan di
Indonesia.
Luasnya wilayah perairan membuat Indonesia memiliki potensi sumber
daya laut yang tinggi, salah satunya dari mikroalga. Mikroalga merupakan
mikroorganisme bersel tunggal yang memiliki pigmen dan dapat
berfotosintesis untuk memproduksi makanan dan oksigen.
Berdasarkan hasil studi status biodiversitas laut dan pesisir di Indonesia
yang terbit di Indian Journal of Marine Sciences, Indonesia tercatat
memiliki lebih dari 1.000 spesies mikroalga. Berbagai jenis mikroalga
tersebut dapat ditemukan di banyak wilayah seperti Kepulauan Seribu,
Pantai Pangandaran, Benoa, hingga perairan Sulawesi dan Maluku.
Sampai saat ini, potensi mikroalga lebih banyak dimanfaatkan untuk bidang
energi. Sejumlah studi menunjukkan, mikroalga memiliki produktivitas yang
tinggi dibandingkan dengan tanaman-tanaman lain yang menjadi sumber
biofuel. Melalui proses esterifikasi, asam lemak yang dihasilkan mikroalga dapat
dikonversi menjadi biodiesel.
Riset dan inovasi untuk memanfaatan mikroalga di bidang energi juga sudah
mulai dilakukan di Indonesia baik oleh pemerintah, peneliti, maupun akademisi.
Salah satu contoh pemanfaatan tersebut, yakni produksi biodiesel dari
mikroalga jenis Chlorellavulgarisyang dilakukan baik di dalam maupun di luar
habitat asli (in-situ dan eks-situ).
Selain untuk produk energi, mikroalga sebenarnya juga dapat dikembangkan di
bidang lainnya seperti kesehatan atau biofarmasetika. Bahkan, mikroalga
memiliki potensi yang sangat menjanjikan untuk dimanfaatkan sebagai sumber
pangan dan produk turunannya.
Pemanfaatan mikroalga khususnya di bidang pangan belum dilakukan
secara optimal di Indonesia. Padahal, mikroalga memiliki kadar protein
yang sangat tinggi, mengandung pola asam amino yang unik, Omega 3
dan pigmen alamiah potensial, rendah lemak, serta mempunyai nutrisi
dan aktivitas biologinya yang menarik.
Upaya meningkatkan pemanfaatan mikroalga di bidang pangan ini
kemudian dilakukan oleh peneliti dari Pusat Riset Teknologi dan Proses
Pangan (PRTPP) Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Dari beragam
jenis mikroalga, PRTPP BRIN saat ini fokus melakukan riset dan
meningkatkan pemanfaatan jenis Spirulina.
Peneliti PRTPP BRIN Dedy Kurnianto menyampaikan, pemanfaatan atau pengolahan mikroalga untuk pangan
biasa dilakukan dengan fortifikasi. Cara ini menitikberatkan pada upaya pengayaan zat gizi penting atau
penambahan mikronutrien untuk produk pangan.
”Pemanfaatan mikroalga di bidang pangan dapat sebagai pewarna alami, fikosianin, astaxantin, dan klorofil.
Produk ini dihasilkan oleh berbagai mikroalga seperti Arthrospira, Haematococcus pluvialis, dan Chlorella,”
ujarnya dalam diskusi daring bertajuk ”Hulu ke Hilir Mikroalgae di Indonesia”, pekan lalu.
Mikroalga ini juga memiliki aktivitas biologi seperti antibakteri dan antioksidan. Antioksidan dari astaxantin
bahkan memiliki daya 6.000 kali lebih besar daripada vitamin C. Kemudian literatur menyebut sumber protein
dari mikroalga Spirulina dapat mencapai 71 persen.
Salah satu pengembangan mikroalga yang dilakukan PRTPP BRIN yakni ekstraksi fikosianin dan pembuatan jeli
menggunakan pewarna fikosianin. Fikosianin adalah senyawa pigmen-akseseori berwarna biru yang berpotensi
dijadikan pewarna alami dan mengandung antioksidan tinggi.
Berikut pemanfaatan mikroalga untuk pangan :
- Pewarna alami
- Fikasianin, haemotococus pluvialis, chlorella
- Anti Bakteri, anti oksidan
- Sumber polyunsaturated fatty acidt
- Docosahexaenoic acid (DHA)
- Schizochytrium sp
- Sumber Protein Sampai dengan 71 %
- Spirulina / arthrospira
Suasana di area green house mikroalga PT Evergen Resources di Desa Mororejo, Kaliwungu, Kendal, Jawa Tengah,
Perusahaan bioteknologi berbasis mikroalga ini menghasilkan bahan aktif antioksidan astaxantin dengan merek
AstaLuxe, yang menjadi bahan obat dan kosmetik
Mikroalga mudah dikultivasi atau diolah di aquatic medium maupun jenis air lainnya. Mikroalga juga
tidak membutuhkan air yang banyak dan dapat tumbuh di tempat tandus serta memiliki laju
pertumbuhan yang sangat tinggi. Di sisi lain, mikroalga juga memiliki kemampuan lebih dalam
menyerap karbondioksida.
Meski di Indonesia belum optimal, Maulana memperkirakan pemanfaatan mikroalga akan
mempunyai peluang pasar yang sangat baik di masa depan. Ia juga optimistis penelitian dan
pemanfaatan mikroalga di Indonesia ke depan dapat semakin berkembang.
Terima kasih!

You might also like