You are on page 1of 109

i

PENGEMBANGAN PRODUK BUBUR INSTAN BERBASIS PATI SINGKONG (Manihot esculenta Crantz) TERMODIFIKASI

CAESAR LAINE ANGGI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

ii

ABSTRACT
CAESAR LAINE ANGGI. Development of Instant Porridge Product Based on Modified Starch of Cassava (Manihot esculenta Crantz). Under direction of RIMBAWAN. In Indonesia, cassava is the two largest foodstuff produced after rice. However, utilization of cassava for food with specific beneficial to health is still limited. Cassava starch can be technically modified to produce resistant starch. Resistant starch is a product of starch degradation that is not absorbed in the small intestine. Resistant starch has beneficial physiological effects to health. Resistant starch can be processed form carbohydrates of a food source such as cassava. Considering an enormous potential of cassava resistant starch, a research of making instant porridge form cassava resistant starch has been conducted. The objective of this research was to study the process of making instant porridge made from cassava starch modification by autoclaving-cooling cycle process. The instant porridge made consisted of five treatments, namely a control of porridge prepared from pure cassava starch, cassava modification starch prepared using one autoclaving-cooling cycle (one cycle) porridge, cassava modification starch prepared using three autoclaving-cooling cycle (three cycle) porridge, and cassava modification starch porridge formulated with added emulsion flour containing protein and fat from soy protein isolate, vegetable oil and eggwhite (formula porridge). Formula porridge is developed by addition 15 grams, 30 grams, and 50 grams emulsion flour in one portion of porridge. Using organoleptic test, this study showed that the best formulation was obtained by adding 15 grams emulsion flour. In one serving size, this product belongs to the class of high fiber foods and high energy foods. Key words : resistant starch, instant porridge, autoclaving-cooling cyling, high fiber.

iii

RINGKASAN
CAESAR LAINE ANGGI. Pengembangan Produk Bubur Instan Berbasis Pati Singkong (Manihot esculenta Crantz) Termodifikasi. Dibimbing oleh Dr. RIMBAWAN. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mempelajari proses pembuatan bubur instan dari bahan pati singkong termodifikasi. Tujuan khususnya adalah 1) Mempelajari modifikasi pati singkong dengan perlakuan autoclaving-cooling cycling; 2) Menyusun formula bubur instan berbasis pati singkong termodifikasi; 3) Menganalisis karakteristik fisikokimia pati singkong termodifikasi dan tepung bubur instan;4) Menganalisis pengaruh modifikasi terhadap karakteristik kimiawi pati singkong termodifikasi dan tepung bubur instan; 5) Menganalisis kandungan gizi pati dan serat pangan pati termodifikasi serta bubur instan; 6) Menganalisis kandungan energi dan harga energi serta serat pangan bubur instan sebagai pangan fungsional.Penelitian ini diharapkan dapat member manfaat bagi masayarakat dan industri pangan, khususnya pmberian alternative produk pangan berbasis pati singkong resisten. Tahapan penelitian ini terdiri dari beberapa tahapan. Tahapan tersebut terdiri dari 1) Pembuatan pati singkong termodifikasi; 2) Formulasi bubur instan; 3) Uji organoleptik bubur instan; 4) Analisis karateristik fisikokimia, kimiawi, dan kandungan gizi; 5) Analisis biaya pembuatan produk dan harga energi serta serat pangan pada bubur instan. Pembuatan pati singkong termodifikasi terdiri dari pati singkong tergelatinisasi dan pati singkong resisten dilakukan dengan metode autoclaving-cooling yang dimodifikasi. Proses modifikasi dilakukan dengan pengulangan siklus 1 kali dan 3 kali dengan waktu gelatinisasi masing-masing 30 menit dan 15 menit. Pati singkong termodifikasi digunakan untuk formulasi bubur instan. Formula bubur instan yang paling disukai dari uji organoleptik adalah formula bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram. Hasil analisis karakteristik fisikokimia pati dan bubur instan menunjukkan bahwa pola gelatinisasi pati singkong dan pati singkong resisten menunjukkan pola yang berbeda dikarenakan proses pengolahan autoclaving-cooling meningkatkan kekentalan atau viskositas pati singkong dan menurunkan suhu gelatinisasi pati. Pengamatan granula pati pada pati singkong termodifikasi menunjukkan bahwa sifat birefringence semakin tidak terlihat jelas akibat degradasi amilosa yang menyebabkan pembengkakan granula saat autoclavingcooling cycling. Derajat putih paling tinggi adalah pati singkong, sedangkan produknya adalah bubur pati singkong resisten 1 siklus. Densitas kamba yang tinggi pada pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) dan tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) menyebabkan rasa kenyang yang lebih tahan lama daripada kedua jenis pati dan tepung bubur instan lainnya. Derajat putih tertinggi adalah pati singkong. Pengaruh pengolahan autoclaving-cooling pada pati singkong termodifikasi dan tepung bubur instan pati singkong termodifikasi dilamati dari daya cerna patinya, kandungan amilosa, total pati, serta kandungan pati resisten yang terukur sebagai serat tak larut (insoluble dietary fiber). Kadar pati resisten yang tinggi berhubungan dengan daya cerna pati dan total pati yang rendah serta kandungan amilosa yang tinggi. Kadar pati resisten tertinggi adalah pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) 10.5% (bk), dengan total pati terendah 60.89% (bk) dan daya cerna pati terendah 74.62% (bk). Kandungan amilosa pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) juga tertinggi diantara 2 jenis pati yang lain,

iv

yaitu 26.14% (bk). Produk bubur instannya sama dengan pati yang menjadi bahan bakunya. Hasil analisis kandungan gizi pati berupa kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat menunjukkan bahwa kadar air dan karbohidrat tertinggi adalah pati singkong (PS) 15.05% (bk) dan 98.63% (bk), sedangkan abu, kadar lemak, protein, pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) masing-masing sebesar 0.78% (bk), 2.15% (bk), dan 0.39% (bk). Kandungan gizi tepung bubur instan yang paling tinggi adalah karbohidrat mencapai 97.25% (bk) untuk tepung bubur pati singkong (BPS). Kadar lemak dan kadar protein yang paling tinggi adalah tepung bubur instan formula terpilih (F3) sebesar 2.34% (bk) dan 17.45% (bk). Serat pangan pati singkong termodifikasi tertinggi adalah pati singkong resisten 3 siklus sebesar tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) sebesar 9.1% (bk), sedangkan serat pangan tepung bubur instan pati singkong termodifikasinya adalah tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) sebesar 7.5% (bk). Serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber) lebih banyak terdapat pati singkong termodifikasi dan tepung bubur instan. Tingginya kadar serat pangan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) dan bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) menyebabkan kedua bahan pangan tersebut digolongkan sebagai pangan tinggi serat karena memenuhi 30% acuan label gizi serat pangan. Kandungan energi bubur instan berbasis pati singkong resisten berkisar antara 398 Kalori hingga 407 Kalori per 400 gram bubur. Bubur instan berbasis pati singkong resisten memenuhi 20% AKG sarapan dari kebutuhan AKG sehari sehingga cocok dikonsumsi sebagai sarapan sebagai pangan tinggi energi. Harga serat pangan dan energi yang lebih murah pada BRS 3 daripada pangan instan komersial lainnya menunjukkan bahwa bubur instan kontrol (BRS 3) layak dipasarkan sebagai pangan fungsional. Kata kunci : pati resisten, bubur instan, siklus pemanasan pendinginan, tinggi serat

PENGEMBANGAN PRODUK BUBUR INSTAN BERBASIS PATI SINGKONG (Manihot esculenta Crantz) TERMODIFIKASI

CAESAR LAINE ANGGI

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

vi

Judul Skripsi Nama NIM

: Pengembangan Produk Bubur Instan Berbasis Pati Singkong Manihot Esculenta Crantz) Termodifikasi : Caesar Laine Anggi : I14070037

Disetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Rimbawan NIP 19620406 198603 1 002

Diketahui, Ketua Departemen Gizi Masyarakat

Dr. Ir. Budi Setiawan, MS NIP 19621218 198703 1 001

Tanggal Pengesahan :

vii

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Alloh SWT yang telah melimpahkan segenap rahmat, karunia, dan segala keindahan hidup sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Pengembangan Produk Bubur Instan Berbasis Pati Singkong (Manihot esculenta Crantz) Termodifikasi. Shalawat serta salam senantiasa tercurah pada Rasul Alloh, Muhammad SAW yang telah memberikan suri tauladan hidup kepada umatnya hingga akhir jaman. Terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada: 1. Papah Ato Sunarto dan mamah Elvi Sulistiani atas semua kasih sayang, didikan dan semangat yang tiada hentinya yang mungkin sampai kapanpun takkan terbalas serta kesabaran dan pengertiannya selama ini. Adik Aprilla Alvie Herwanda atas semangat dan doa yang diberikan. 2. Bapak Dr. Rimbawan sebagai pembimbing yang telah memberikan arahan, masukan, saran, semangat, motivasi, dan nasihat serta pembelajaran hidup sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 3. Ibu Dr. Ir. Lilik Kustiyah, M.Si selaku dosen pemandu dan dosen penguji atas masukan, saran, dan perbaikan dalam penulisan karya tulis ini, 4. Ibu Dr.Ir. Yayuk Farida Baliwati, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama perkuliahan. 5. Kementrian Pendidikan Nasional (DIKTI) atas dana hibah penelitian PKM 6. Bapak Mashudi, Bapak Nurwanto, Bapak Wahid, Bapak Iyas, Ibu Rubiyah, Ibu Ari, Ibu Titi, Ibu Nina, Ibu Rizki, Firdaus dan Yoghatama Cindya Zancer atas bantuan tekhnis dan kerjasama dalam penyelesaian tugas akhir. 7. Saudari Ima Karimah, teman terbaik selama perkuliahan dan penelitian atas kerjasamanya, doa, dukungan, saran, kritikan, dan kesabarannya. 8. Ryan Maydianza atas cintanya, semangat, doa, dukungan, masukan selama ini. Semoga kebersamaan kita berakhir indah. 9. Teman-teman tercinta Intan Deviana Safitri, Irla Nurlinda, GM 44 Chalimatus Syakdiyah, Ossiriadewi Maulanaputri, Putri Kusumawinahyu, Nonly Stevanie, Purnawati Hustina Rahman, Atika Primadala Amrin, Mutiara Uswah Hasanah Nadya Belatrix Paramitha, Stefani Pasanea, Novi Erliyani, Hanifah Dwiyani, Imas Septiyani, Nurlaely Fitriana, Imam

viii

Saloso yang selalu memberikan doa, dukungan, semangat, dan masukan serta pembelajaran hidup. 10. Rekan-rekan sejawat penelitian laboratorium Adiarti Nursasanti, Panji Azahari, Mahmud Aditya Rifki, Lina Agestika, Mia Srimiati dan Rahmi Khalida atas dukungan dan kerjasamanya. 11. Rekan-rekan satu bimbingan atas semangatnya Titien Dwi Arianti, Waldemar Sebastian, Fatma Silviana. 12. Dosen dan Staf GM yang telah memberikan didikan, ajaran, dukungan, dan bantuan selama 4 tahun masa studi. 13. Teman-teman Harmony 2 Kak Santi, Riska, Via, Ayu 1, Ayu 2, Ola, Arin, Rinrin. 14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu,

Semoga karya tulis ini bermanfaat.

Bogor, September 2011 Penulis

ix

RIWAYAT HIDUP
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara, puteri pasangan Bapak Ato Sunarto dan Ibu Elvi Sulistiani. Penulis dilahirkan di Cilacap, 13 Oktober 1989. Pendidikan sekolah dasar penulis ditempuh pada tahun 1995 sampai 2001 di SDN Sidanegara 06 Cilacap, 2001 sampai 2004 di SMPN 1 Cilacap, dan pada tahun 2004 sampai 2007 penulis melanjutkan pendidikan di SMAN 1 Cilacap. Tahun 2007 penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Ilmu

Gizi,Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis aktif dalam kegiatan akademik dan non akademik. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Ektensi pada mata kuliah Metabolisme Zat Gizi. Tahun 2010 penulis melaksanakan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Batulayang, Puncak Bogor, Jawa Barat dan pada Juni 2011 penulis telah melaksanankan Internship Dietetic di Rumah Sakit Umum Daerah Cibinong, Bogor. Penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan, seperti IAAS

(International Association of Students in Agriculture and Related Sciences) sebagai bendahara umum periode 2009/2010, HIMAGIZI (Himpunan Mahasiswa Ilmu Gizi) sebagai staf Keprofesian Gizi 2009/2010, Emulsi (majalah pangan dan gizi) sebagai advertisements periode 2008/2009. Penulis juga aktif dalam berbagai kepanitiaan, baik yang diselenggarakan HIMAGIZI maupun FEMA. Penulis aktif sebagai Private Tutor dari Express IAAS pada tahun 2009. Penulis aktif mengikuti perlombaan Kompetisi Karya Tulis Mahasiswa (KKTM) dan Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM). Penulis pernah menjuarai lomba essay yang berjudul Vegetarian dan Pemanasan Global dan aktif sebagai Penulis pernah mengikuti symposium lingkungan di Universty Putra Malaysia, Serdang, Malaysia. Penulis juga menjadi Nasional Top 10 Finalis dalam kompetisi Indonesian Youth Bussines tentang proposal bisnis. Penulis mendapatkan dana hibah penelitian DIKTI melalui PKMP yang berjudul Pengembangan Produk Bubur Instan Berbasi Pati Resisten Singkong dengan Indeks Glikemik Rendah untuk Penderita Diabetes Mellitus.

DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL............. xii DAFTAR GAMBAR.... DAFTAR LAMPIRAN.. PENDAHULUAN.. Latar Belakang........ Tujuan....... Kegunaan......... TINJAUAN PUSTAKA. Singkong... Pati Singkong... Amilosa Pati.. Amilopektin Pati Gelatinisasi Pati Retrogradasi Pati.. Pati Resisten. Serat Pangan Daya Cerna Pati... Modifikasi Pati Secara Fisik Bubur Instan.. Pengeringan.. Drum dryer.... Sukralosa...... Emulsi. Telur. Isolat Protein Kedelai.... Minyak Kelapa Sawit. Uji Organoleptik METODE.... Waktu dan Tempat... Bahan dan Alat. Tahapan.... Pembuatan Pati Singkong Termodifikasi. Pembuatan Pati Singkong Tergelatinisasi.. Pembuatan Pati Resisten 1 Siklus.. Pembuatan Pati Resisten 3 Siklus.. Formulasi Bubur Instan Uji Organoleptik Bubur Instan. Analisis Karakteristik Fisikokimia, Kimiawi, dan Kandungan Gizi, .. Pengolahan dan Analisis Data.. HASIL DAN PEMBAHASAN.. Modifikasi Pati Singkong. Formulasi Bubur Instan Karakteristik Organoleptik Bubur Instan.. Karakteristik Fisikokimia Pati dan Tepung Bubur Instan... xiii xv 1 1 2 3 4 4 5 6 7 7 8 8 9 10 11 12 12 13 14 14 15 15 16 16 18 18 18 19 20 20 21 21 22 26 27 27 29 29 31 32 43

xi

Pengaruh Pengolahan terhadap Karakteristik Kimiawi Pati dan Tepung Bubur Instan... Kandungan Gizi Pati.... Kandungan Gizi Tepung Bubur Instan.. Kadar Serat Pangan. Kandungan Zat Gizi dan Energi Bubur Instan..... Perbandingan Harga Energi dan Serat Pangan Tepung Bubur Instan.. KESIMPULAN DAN SARAN.. Kesimpulan Saran.. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN....

51 59 62 65 69 70 72 72 73 74 79

xii

DAFTAR TABEL
Halaman 1 2 3 4 5 Kandungan gizi singkong Formulasi produk bubur instan dari pati singkong termodifikasi Formulasi tepung emulsi bubur instan... Presentase hedonik panelis terhadap bubur instan formula.. Presentase mutu hedonik panelis terhadap bubur instan formula.. 6 7 8 Sifat amilografi pati.... Perbandingan kadar total pati, amilosa, dan amilopektin... Kandungan gizi pati singkong, pati singkong resisten 1 siklus dan 3 siklus.. 9 10 11 Kandungan gizi tepung bubur instan.... Kandungan zat gizi dan energi bubur instan................................. Harga per kalori energi per gram dan harga per gram serat pangan pada pangan instan 5 25 26 42 43 44 53 59 62 69 70

xiii

DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 2 3 4 5 Ubi Kayu.. Granula pati singkong.................. Diagram alir keseluruhan penelitian......................... Bagan proses pembuatan pati singkong tergelatinisasi... Bagan proses pembuatan pati singkong resisten 1 siklus (Lehnmann 2003 yang dimodifikasi) Bagan proses pembuatan pati singkong resisten 3 siklus (Lehnmann 2003 yang dimodifikasi) Bagan proses formulasi bubur instan kontrol (Hendy 2007 yang dimodifikasi). Bagan proses formulasi bubur instanformula (Hendy 2007 yang dimodifikasi). Bubur pati singkong (BPS) (a); Bubur Pati Resisten 1 siklus (BRS 1) (b); Bubur Pati Resisten F1, F2, F3 (c), (d), (e). Grafik mutu hedonik bubur instan... Grafik hedonik warna bubur instan. Grafik mutu hedonik aroma bubur instan.. Grafik hedonik aroma bubur instan................ Grafik mutu hedonik rasa bubur instan.. Grafik hedonik rasa bubur instan. Grafik mutu hedonik tekstur bubur instan............................ Grafik hedonik tekstur bubur instan. Grafik hedonik keseluruhan bubur instan.. Granula pati singkong sebelum pemanasan 400 X.. Granula pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) 400 X (a); Granula pati resisten singkong 3 siklus (RS 3) 200 X (b) 21 22 23 24 25 26 Grafik presentase derajat putih tepung bubur instan Grafik presentase densitas kamba pati.. Grafik presentase densitas kamba tepung bubur instan.. Grafik presentase amilosa pati dan tepung bubur instan........... Grafik presentase total pati pada pati dan tepung bubur instan. Grafik presentase kadar pati resisten pada pati dan tepung bubur instan.... 4 6 19 20 21

22

23

24

9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 46 47 49 50 51 52 53 55

xiv

27

Grafik presentase daya cerna pati pada pati dan tepung bubur instan.... Grafik presentase kadar serat pangan pati.. Grafik presentase kadar serat pangan tepung bubur instan...

58 66 67

28 29

xv

DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2 3 4 Prosedur analisis karakteristik fisikokimia. Prosedur analisis karakteristik kimiawi. Prosedur analisis kandungan gizi.. Prosedur analisis kadar serat pangan metode enzimatis (AOAC 1995).. 5 6 7 8 9 10 11 12 Lembar uji organoleptik... Hasil analisis karakteristik fisikokimia pati dan tepung bubur instan.... Hasil analisis karakteristik kimiawi pati dan tepung bubur instan. Hasil analisis kandungan gizi pati dan tepung bubur instan.. Hasil analisis kadar serat pangan pati dan tepung bubur instan.. Hasil sidik ragam karakteristik organoleptik bubur instan.. Perhitungan harga produk... Perbandingan harga energi dan serat pangan pada pangan instan... 80 80 83 85 86 88 88 89 89 89 92 94

PENDAHULUAN
Latar Belakang Salah satu pangan lokal yang potensinya cukup besar yaitu singkong. Singkong merupakan pangan sumber karbohidrat yang mudah ditanam sehingga mudah diperoleh. Di Indonesia, singkong merupakan produksi hasil pertanian pangan ke dua terbesar setelah padi sehingga singkong mempunyai potensi sebagai bahan baku yang penting bagi berbagai produk pangan dan industri. Produksi singkong di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 22 juta ton. Produksi singkong terus meningkat dari tahun ke tahun sehingga tingkat produktifitas singkong terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, tahun 2008 produksi singkong nasional mencapai 21,75 juta ton dan meningkat menjadi 22,04 juta ton pada tahun 2009. Tingkat produktifitasnya juga terus meningkat dari 180,57 kuintal per hektare di tahun 2008 menjadi sekitar 189,86 kuintal per hektare tahun 2009 (BPS 2009). Pemanfaatan singkong banyak digunakan sebagai bahan baku makanan, terutama dalam bentuk snack seperti tiwul, getuk, keripik, singkong goreng, dan singkong rebus. Beberapa tahun terakhir ini pemanfaatan singkong oleh industri juga berkembang cepat, terdapat beberapa snack ringan berbahan dasar singkong beredar di masyarakat. Produk olahan singkong yang dikembangkan oleh industri lebih banyak digemari masyarakat. Melihat kenyataan tersebut maka sentuhan teknologi dalam pengolahan singkong yang dikembangkan oleh industri membuat nilai ekonomi singkong menjadi meningkat dibandingkan jika singkong hanya diolah sebagai makanan tradisional. Pemanfaatan singkong sebagai bahan baku makanan yang bermanfaat bagi kesehatan masih terbatas. Padahal, saat ini perhatian masyarakat terhadap kesehatan cukup besar, termasuk dalam hal pemilihan pangan. Pangan diharapkan dapat memberikan sifat fungsional, seperti menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh, memperbaiki fungsi fisiologis, atau membantu penyembuhan penyakit. Kajian mengenai sifat fungsional pangan yang berkhasiat untuk kesehatan dan kebugaran semakin meningkat sejalan dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat. Pati resisten (Resistant starch/RS) merupakan produk dari degradasi pati yang tidak dapat diserap pada usus halus manusia sehat. Oleh karena itu, pati resisten terfermentasi di usus besar seperti serat pangan. Pati resisten mempunyai efek fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan

kanker kolon, mempunyai efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan), berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorpsi mineral (Sajilata et al. 2006). Hasil penelitian bahan pangan yang mengandung 16.8% pati resisten dan pati yang dapat dicerna menunjukkan kemampuan absorbsi kalsium dan besi di intestinal lebih meningkat daripada pati yang dapat dicerna. Produk makanan instan sangat digemari oleh masyarakat modern pada masa kini. Semakin meningkatnya aktivitas menyebabkan seseorang lebih memilih makanan dengan proses penyajian cepat. Potensi yang besar dari pati singkong resisten maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai proses pembuatan bubur instan dari pati singkong resisten. Tujuan Tujuan Umum: Tujuan umum penelitian ini adalah mempelajari proses pembuatan bubur instan berbasis pati singkong termodifikasi. Tujuan Khusus: Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1. Mempelajari modifikasi pati singkong dengan perlakuan autoclavingcooling cycling. 2. Menyusun formula bubur instan berbasis pati singkong termodifikasi. 3. Menganalisis karakteristik fisikokimia pati singkong termodifikasi dan tepung bubur instan. 4. Menganalisis pengaruh modifikasi terhadap karakteristik kimiawi pati singkong termodifikasi dan tepung bubur instan. 5. Menganalisis kandungan gizi pati dan serat pangan pati termodifikasi serta bubur instan. 6. Menganalisis kandungan energi dan harga energi serta serat pangan bubur instan sebagai pangan fungsional.

Kegunaan Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, khususnya pemberian alternatif produk pangan berbasis pati singkong resisten maupun industri pangan. Selain itu, penelitian ini diharapkan mampu meningkatkan nilai ekonomi singkong yang banyak ditanam di wilayah Indonesia dan belum termanfaatkan dengan baik.

TINJAUAN PUSTAKA
Singkong Tanaman singkong termasuk tanaman tropis yang berasal dari Brazil (Amerika Selatan). Singkong memiliki peranan penting sebagai makanan pokok ke-3 setelah padi dan jagung di Indonesia. Peranan singkong menjadi semakin besar berkaitan dengan daya gunanya di bidang industri, baik industri kecil, menengah, maupun industri besar, tidak terbatas pada industri dalam negeri, tetapi juga di negara lain sebagai komoditas ekspor andalan. Singkong merupakan tanaman multiguna yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, makanan ternak, dan sebagai bahan baku berbagai macam industri (Suprapti 2005). Berikut ini sistematika (taksonomi) tumbuhan tanaman singkong: kingdom divisio subdisivio kelas ordo famili genus species : Plantae : Spermathopyta : Angiospermae : Dicotyledone : Euphorbiales : Euphorbiaceae : Manihot : Manihot esculenta Crantz sin dan Manihot utilisima

Gambar 1 Ubi Kayu Sumber: www.bps.co.id Singkong atau ubi kayu mempunyai banyak nama daerah, yaitu ketela pohon, ubi jenderal, ubi inggris, telo pohung, kasape, bodin, telo jenderal (Jawa), sampeu, huwi dang deur, hui jenderal (Sunda), kasbek (Ambon), dan ubi perancis (Padang). Umbi singkong berbentuk akar yang menggelembung dan berfungsi sebagai tempat penampung cadangan makanan (pati). Bentuk umbi biasanya bulat memanjang, terdiri atas: kulit luar tipis (ari) berwarna kecoklatan (kering); kulit dalam agak tebal berwarna keputihan (basah); dan daging

berwarna putih atau kuning (tergantung varietasnya) yang mengandung sianida dengan kadar yang berbeda-beda. Tanaman yang dikembangkan di Indonesia terdiri dari berbagai jenis atau varietas, dengan keunggulan masing-masing. Ada 7 jenis varietas unggul singkong yang digunakan untuk membuat tepung yaitu Adira I, Adira II, Malang I, Malang II, Basiorao, Bogor, dan Mangi (Suprapti 2005). Berikut ini Tabel 1 mengenai kandungan gizi pada umbi singkong: Tabel 1 Kandungan gizi Singkong Komponen Gizi Kadar per 100 g Energi 146 Kal Karbohidrat 34.7 g Protein 1.2 g Lemak 0.3 g Mineral 1.3 g Zat Besi 0.0007 mg Kalsium 0.003 mg Fosfor 0.004 mg Vitamin C 0.003 mg Vitamin B 0.006 mg Air 62.5 g Sumber: Suprapti (2005) Pati Singkong Kandungan pati dalam singkong (% bk) adalah 90 (Cui 2005). Menurut Wahyu (2008), singkong merupakan salah satu sumber kalori bagi penduduk kawasan tropis di dunia. Umbi singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 8090% (bb) dengan pati sebagai komponen utamanya. Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari banyaknya atom C dan percabangan rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 2004). Pati dapat diekstrak dengan berbagai cara, berdasarkan bahan baku dan penggunaan dari pati itu sendiri. Proses utama pembuatan pati dari ubi-ubian melalui ekstraksi terdiri dari perendaman, disintegrasi, dan sentrifugasi. Perendaman dilakukan dalam larutan natrium bisulfit pada pH yang diatur untuk menghambat reaksi biokimia seperti perubahan warna ubi. Disintergrasi dan sentrifugasi dilakukan untuk memisahkan pati dari komponen lainnya (Cui 2005). Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi

No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

(Friedman 1950, Gliksman 1969 dikutip Odigboh 1983 dalam Chan 1983). Pati singkong memiliki granula berwarna putih dengan ukuran diameter yang bervariasi dari 4-35 m dan rata-rata 20 m. Gambar 2 menunjukkan granula pati singkong.

Gambar 2 Granula pati singkong Sumber: Hui 2006 dalam Wahyu 2008 Pati dicerna dalam tubuh manusia dengan bantuan enzim amilase. Enzim ini biasanya terdapat pada saliva (air liur) dan pankreas. Amilase akan menghidrolisis pati menjadi maltosa. Proses pencernaan pati oleh enzim amilase dipengaruhi oleh ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, luas permukaan semakin besar sehingga pati lebih cepat dicerna daripada pati yang ukuran granulanya lebih besar (Tharanathan & Madandevama 2003). Amilosa Pati Pati merupakan polimer dari karbohidrat yaitu kompleks anhidroglukosa yang dihubungkan dengan rantai 1,4 -gikosidik. Amilosa yang dihidrolisis dengan asam akan menghasilkan D-glukosa. Amilosa pati mengandung 2002000 unit anhidroglukosa. Setiap monomer memiliki 1 atau 2 grup hidroksil kecuali ujung amilosa pati. Molekul anhidroglukosa terakhir mengandung 1 atau 3 gugus hidroksil yang disebut sebagai bukan pereduksi. Ujung lain dari anhidroglukosa mengandung 1 atau 2 gugus hidroksil (gugus aldehid) yang merupakan grup pereduksi dalam bentuk hemiasetal dalam (Furia 1990). Molekul amilosa memiliki sifat hidrophilik yang memiliki afinitas air yang tinggi. Sifat ini menyebabkan amilosa pati dapat semakin paralel dengan ikatan hidrogen. Jika afinitas air menurun menyebabkan ukuran pati membesar maksimum dimana presipitasi terjadi pada konsentrasi yang rendah dan pembentukan gel pada konsentrasi yang lebih rendah. Bentuk gel secara 3 dimensi merupakan ikatan hidrogen yang saling terhubung. Hubungan antara

molekul amilosa tersebut disebut retrogradasi. Molekul amilosa yang tidak bercabang memiliki sifat kuat dan fleksibel (Furia 1990). Amilosa juga memiliki afinitas terhadap iodine yang memiliki karakteristik warna biru. Hal ini dapat memberikan estimasi secara kuantitatif kandungan amilosa pada pati. Amilosa memiliki sifat hidrofilik dan hidrophobik pada ujung yang lain. Sifat hidrofobik inilah yang menyebabkan pati tidak larut dalam air dingin, namun apabila dipanaskan pati akan larut dan tergelatinisasi (Furia 1990). Amilopektin Pati Amilopektin merupakan polimer pati selain amilosa yang memiliki struktur bercabang. Setiap cabang mengandung 15-25 anhidroglukosa yang saling terhubung dengan ikatan 1,4 dan 1,6 -glikosidik. Bagian cabang amilopektin pati dihubungkan dengan rantai karbon 1 dan berakhir di rantai karbon 6. Amilopektin merupakan polimer terbesar dari pati. Ukuran dan cabang amilopektin pati mempengaruhi mobilitas molekul dan cenderung menjadi kuat dengan adanya ikatan hidrogen yang dapat teretrogradasi sehingga amilopektin dalam cairan menjadi jelas dan stabil dengan gel resisten (Furia 1990). Molekul amilopektin yang bercabang menyebabkan molekul ini tidak sekuat dan sefleksibel amilosa pati. Amilopektin juga tidak menunjukkan warna biru bila ditetesi iodine. Stabilitas sol amilopektin merupakan faktor utama dalam penggunaan amilopektin termodifikasi (Furia 1990). Gelatinisasi Pati Pati dalam jaringan tanaman memiliki bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Jenis pati dapat dibedakan secara mikroskopis karena memiliki ukuran, bentuk, letak hilum, dan sifat birefringent yang unik (Winarno 2004). Granula pati memiliki sifat merefleksikan cahaya terpolarisasi sehingga di bawah moikroskop terlihat kristal gelap terang, sifat inilah yang disebut birefringent. Gelatinisasi pati merupakan fenomena umum yang terjadi pada pati dan sering menjadi prinsip utama pada berbagai cara pengolahan pati. Gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefringent granula pati akibat penambahan air secara berlebih dan pemanasan pada waktu serta suhu tertentu sehingga granula membengkak dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible) (Belitz dan Grosch 1987). Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi. Menurut SNI (1992) dalam Widowati (2000) menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi pati singkong adalah 84C dalam waktu sekitar 23 menit.

Retrogradasi Pati Amilosa yang dapat terdispersi oleh air panas akan memyebabkan peningkatan granula yang membengkak. Pasta pati yang telah mengalami gelatinisasi terdiri dari granula yang membengkak tersuspensi dalam air panas, dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi dalam air. Molekul-molekul amilosa akan terus terdispersi selama pasta pati tetap dalam keadaan panas (Winarno 2004). Apabila pasta pati didinginkan, energi kinetik tidak lagi cukup untuk menyatukan kembali molekul-molekul amilosa sehingga molekul-molekul amilosa akan berikatan dengan cabang amilopektin di pinggir luar granula. Hal tersebut menyebabkan terbentuknya mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Sebagian besar pati yang telah menjadi gel bila disimpan atau didinginkan untuk beberapa hari atau beberapa minggu akan membentuk endapan kristal di dasar wadahnya (Winarno 2004). Sebagian air pada pasta pati terbentuk dari butir pati dan endapan amilosa. Apabila gel dipotong dengan pisau atau disimpan beberapa hari air tersebut akan keluar dari bahan. Proses keluarnya air dari gel pati disebut sineresis. Pati Resisten Pati resisten adalah pati yang tidak dapat dipecah oleh enzim manusia di usus halus. Pati resisten (Resistant starch atau RS) pati juga mengalami fermentasi oleh mikroflora pada dinding kolon, sehingga mikroflora menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid atau SCFA) (Englyst et al. 1992; Champ et al. 1999). Profil SCFA yang diperoleh dari RS lebih banyak mengandung butirat dan lebih sedikit mengandung asetat dibandingkan serat pangan konvensional. Asam butirat lebih banyak dimetabolisme oleh sel-sel kolon sebagai substrat sumber energi sel (Elmsthal 2002). Dengan sifat-sifat yang dimilikinya, RS dapat berfungsi sebagai prebiotik. Pati resisten mempunyai efek fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan seperti pencegahan kanker kolon, mempunyai efek hipoglikemik (menurunkan kadar gula darah setelah makan), berperan sebagai prebiotik, mengurangi risiko pembentukan batu empedu, mempunyai efek hipokolesterolemik, menghambat akumulasi lemak, dan meningkatkan absorpsi mineral (Sajilata et al. 2006). Penggantian 5,4% total karbohidrat dalam diet dengan pati resisten juga

mengindikasikan peningkatan oksidasi lipida setelah makan sehingga dapat menurunkan akumulasi lemak dalam jangka panjang (Higgins 2004). Pati resisten terdiri dari empat tipe. Tipe pertama (RS I) terdiri atas pati yang secara fisik terperangkap dalam sel-sel tanaman dan matriks bahan pangan, misalnya pada sereal, biji, kacang-kacangan, dan pasta. Pati resisten tipe kedua (RS II) terdiri atas granula pati yang secara alami sangat resisten terhadap pencernaan oleh enzim -amilase, misalnya pati pada pisang dan kentang mentah. Pati resisten tipe ketiga (RS III) terdiri atas pati teretrogradasi yang terbentuk saat bahan pangan yang mengandung pati dimasak dan didinginkan. Pati resisten tipe keempat (RS IV) terdiri atas pati yang dimodifikasi secara kimia, dimana modifikasi tersebut mempengaruhi aktivitas amilolitik dari enzim-enzim pencernaan (Leu et al. 2003 dalam Satriawan 2010). Serat Pangan Menurut Winarno (2004) serat pangan atau dietary fiber merupakan bagian dari jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dalam lambung dan usus kecil. Sejumlah polisakarida bukan pati pada bahan pangan nabati disebut polisakarida non pati (non starch polysaccharides atau NSP) yang merupakan komponen utama serat pangan (Bender 2003). Beberapa contoh NSP antara lain selulosa, hemiselulosa dan inulin yang termasuk IDF. Pektin, gum, dan musil tanaman termasuk SDF. Selulosa merupakan polimer rantai lurus dari glukosa dengan ikatan rantai -(1-4) yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim amilase. Hemiselulosa merupakan polisakarida yang tersusun dari xilosa, galaktosa, glukosa, dan monosakarida lainnya yang terikat bersama-sama. Pektin merupakan polimer yang tersusun dari asam galakturonat dan monosakarida lain serta banyak ditemukan pada dinding sel tanaman. Gum adalah polimer dari galaktosa, asam glukoronat, dan monosakarida lainnya serta ditemukan dalam eksudat batang tanaman. Musil adalah polimer dari galaktosa, mannosa, dan monosakarida lain yang ditemukan dalam rumput laut (Wardlaw 1999). Komponen penting lainnya dalam serat pangan adalah lignin yang bukan termasuk karbohidrat tetapi merupakan polimer kompleks dari berbagai jenis alkohol aromatik (Bender 2003). Serat pangan dikelompokkan berdasarkan kemampuannya larut dalam air menjadi serat pangan larut (soluble dietary fiber atau SDF) dan serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber atau IDF). Soluble Dietary Fiber diartikan sebagai serat pangan yang dapat larut air hangat atau panas serta dapat

10

terendapkan oleh air yang tercampur dengan empat bagian etanol. Insoluble Dietary Fiber diartikan sebagai serat pangan tidak larut dalam air panas dan air dingin. Gabungan dari serat pangan tidak larut dan serat pangan tidak larut air disebut serat pangan total (total dietary fiber atauTDF). Pengertian serat kasar berbeda dengan serat pangan. Menurut Winarno (2004) serat kasar adalah bagian makan yang tidak dapat terhidrolisis oleh bahan-bahan kimia yang digunakan untuk menentukan serat kasar yaitu asam sulfat 1.25% dan natrium hidroksida 1.25%. Efek fisiologis dari serat pangan bagi tubuh terutama dalam saluran pencernaan berbeda-beda pada setiap komponennya. Serat menstimulasi aliran saliva dan meningkatkan volume makanan di dalam mulut. Saat melewati lambung serat larut air dan komponen kental serat menunda pengosongan isi lambung. Dalam usus halus, serat membentuk larutan yang kental sehingga menghambat daya cerna dan absorbsi karbohidrat dan lemak serta cenderung menghambat absorpsi glukosa dan memperkecil kadar kolesterol plasma darah. Fungsi serat larut berlawanan dengan serat tidak larut, komponen serat larut didegradasi oleh bakteri dalam kolon sehingga tidak mempengaruhi bobot feses dan tidak menimbulkan efek laksatif (Sardesai 2003). Serat pangan tidak larut dapat memperbesar volume feses dan mempercepat pengeliminasian sehingga mengurangi transit time dan mengurangi resiko pembentukan kanker colorectal. Respon fisiologis dari konsumsi serat pangan menjadi dasar para pakar menghubungkan diet kaya serat dengan penurunan resiko terhadap penyakit kronis noninfeksi pada saluran pencernaan seperti konstipasi, penyakit divertikular dan kanker kolon, gangguan sistem sirkulasi tubuh seperti aterosklerosis dan penyakit jantung koroner (PJK), serta gangguan metabolisme seperti obesitas dan diabetes (Sardesai 2003). American Dietetic Association (ADA) merekomendasikan konsumsi serat konsumsi pangan bagi orang dewasa sekitar 20-35 gram per hari. Sebuah studi menunjukkan bahwa serat lebih dari 25 gram per hari dapat menurunkan resiko terkena penyakit jantung 36% dan konsumsi 29 gram serat per hari dapat menurunkan resiko serangan jantung sebesar 41% (Wardlaw 1999). Daya Cerna Pati Daya cerna adalah bagian dari pangan yang dikonsumsi dan tidak dikeluarkan menjadi feses. Daya cerna pati juga menggambarkan kemampuan suatu enzim pemecah pati untuk menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih

11

kecil. Daya cerna pati membuat bahan baku sumber karbohidrat mempunyai daya cerna karbohidrat dan protein yang berbeda-beda. Hal ini sangat dipengaruhi oleh komposisi kimia bahan pangannya dan bukan hanya oleh rasio amilosa-amilopektin yang menyusun pati bahan dasarnya. Beberapa faktor yang dapat menurunkan daya cerna pati adalah penggunaan suhu yang terlalu tinggi pada waktu pengolahan, interaksi antara pati dengan komponen non pati, dan jumlah resistant starch yang terdapat dalam pati. Resistant starch merupakan fraksi pati yang tidak dapat dihidrolisis pada usus halus tetapi kemudian difermentasi oleh mikroflora usus (Prangdimurti, Palupi,& Zakaria 2007). Pati atau sumber karbohidrat dihidrolisis oleh enzim -amilase pada suhu 37C dan pH 7.0 selama 30 menit menyerupai kondisi dalam tubuh. Maltosa hasil hidrolisis pati kemudian diukur jumlahnya menggunakan spektrofotometer setelah direaksikan dengan asam dinitrosalisilat sehingga dapat diukur pada 520 nm. Kadar maltosa diukur dengan menggunakan kurva standar maltosa murni. Semakin banyak maltosa yang dihasilkan menunjukkan semakin banyak pati yang dapat dihidrolisis mengindikasikan daya cernanya tinggi. Daya cerna pati atau sumber karbohidrat dihitung sebagai persentase relatif terhadap pati murni (Prangdimurti, Palupi, & Zakaria 2007). Modifikasi Pati Secara Fisik Perlakuan modifikasi pati secara fisik melibatkan beberapa faktor yaitu suhu, tekanan, pemotongan, dan kadar air pada pati. Granula pati dapat diubah secara parsial maupun total. Prinsip modifikasi fisik secara umum adalah dengan pemanasan. Apabila dibandingkan dengan modifikasi kimia, modifikasi fisik cenderung lebih aman karena tidak menggunakan berbagai pereaksi kimia. Perlakuan modifikasi secara fisik antara lain: ekstruksi, parboiling, steamcooking, iradiasi microwave, pemanggangan, hydrothermal treatment dan autoclaving (Sajilata et al. 2006; Kaur et al. 2011). Sebagian besar metode modifikasi fisik yang telah disebutkan dapat meningkatkan kadar pati resisten (Sajilata et al. 2006). Metode steaming-cooking dan parboiling umumnya diaplikasikan pada beras. Metode ekstruksi merupakan metode yang paling popular digunakan untuk memodifiaksi karakteristik fungsional pati serealia. Prosesnya menggunakan temperatur yang tinggi, waktu yang singkat, dan gelatinisasi pati terjadi pada kandungan air rendah (Kaur et al. 2011).

12

Perlakuan fisik lainnya adalah metode autoclaving. Menurut Sajilata et al. (2006), perlakuan pemanasan dengan menggunakan metode autoclaving dapat meningkatkan produksi pati resisten hingga 9%. Metode autoclaving dilakukan dengan mensuspensikan pati dengan rasio penambahan air 1:3.5 atau 1:5, kemudian dipanaskan dengan pemanasan autoklaf pada suhu tinggi. Setelah diautoklaf, suspensi pati disimpan pada suhu rendah agar terjadi retrogradasi. Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen. Peningkatan kadar pati resisten dapat dilakukan dengan menggunakan pengulangan siklus. Perlakuan modifikasi ini disebut autoclaving-colling cycling treatment (Shin et al. 2002; Zabar et al. 2008). Bubur Instan Bubur instan yang lebih dikenal dengan sebutan pure (asal kata dari bahasa Inggris yakni puree). Pengertian pure berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989) dalam Hendy (2007) adalah pangan atau bahan pangan yang dilembutkan. Bubur memiliki tekstur yang lunak sehingga mudah dicerna. Bubur tidak hanya terbuat dari beras saja namun dapat pula dibuat dari kacang hijau dan beras merah. Bubur diolah dengan memasak bahan penyusun dengan air seperti bubur nasi, mencampurkan santan (bubur kacang hijau), maupun dengan mencapurkan susu (bubur susu). Bubur instan memiliki komponen penyusun seperti halnya bubur. Bubur yang telah jadi (masak) mengalami proses instanisasi. Instanisasi dilakukan dengan cara memasak komponen-komponen penyusun bubur yang telah berbentuk tepung sampai menjadi adonan kental. Bahan tepung yang diperoleh telah bersifat instan dan dikemas menjadi bubur instan (Perdana 2003). Pengeringan Pengeringan adalah proses pindah panas dan kandungan air secara simultan. Udara panas yang dibawa oleh media pengeringan akan digunakan untuk menguapkan air yang terdapat didalam bahan. Uap air yang berasal dari bahan akan dilepaskan dari permukaan bahan ke udara kering (Pramono 1993 dalam Hendy 2007). Dasar proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan. Tujuan pengeringan adalah mengurangi kadar air bahan sampai

13

batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim

yang

dapat

menyebakan kebusukan terhambat dan terhenti agar bahan memiliki masa simpan yang lama (Taib et al.1998 dalam Hendy 2007). Handerson et al (1976) diacu dalam Hendy (2007) mengungkapkan bahwa proses pengeringan memberikan keuntungan antara lain masa simpan produk kering lebih lama, viabilitas biji lebih terjamin, dan memperkecil serta meringankan volume produk sehingga memudahkan penanganan, penyimpanan dan transportasi. Pengeringan juga memiliki beberapa kerugian antara lain rusak atau berkurangnya vitamin-vitamin dan zat warna, hilangnya flavour yang mudah menguap dan menimbulkan bau gosong jika kondisi pengeringan tidak terkendali (Desroiser 1988 dalam Fernando 2008) Drum Dryer Pengering drum (drum dryer) digunakan untuk mengeringkan bahan dalam bentuk bubur atau larutan. Drum berputar pada sumbu horizontal dan dipanaskan secara internal dengan uap air atau medium pemanas lain (Brennan 1974). Bahan yang dikeringkan disebar dalam bentuk lapisan tipis pada permukaan drum. Pengeringan berlangsung pada saat drum berputar. Proses pengeringan dapat dilakukan dalam udara terbuka (tekanan 1 atm) atau dalam keadaan hampa udara. Produk yang kering dilepaskan dengan menggunakan pisau pengikis pada saat perputaran drum telah mencapai 2/3-3/4 dari bahan pertama kali dimasukkan ke dalam permukaan drum. Produk kering tersebut kemudian digling menjadi bubuk yang halus (Desroiser 1988 dalam Fatmawati 2004). Secara umum alat pengering drum memiliki dua tipe yaitu drum tunggal dan drum ganda. Drum tunggal dilakukan dengan mencelupkan drum pada bubur atau larutan, sedangkan pada drum ganda didesain dengan dua drum yang puncaknya parallel dan bahan yang akan dikeringkan dimasukkan dari bagian atas pada arah antar dua drum (APV Crepaco 1992 diacu dalam Fatmawati 2004). Alat pengering drum ganda digunakan untuk mengeringkan bahan pangan, kimia, dan farmasi dengan berbagai variasi bobot jenis dan viskositas. Karakteristik bahan yang dapat dikeringkan dengan alat pengeringan drum ganda adalah berbentuk cairan atau pasta, tahan terhadap panas dan dipasarkan dalam bentuk bubuk yang mudah direhidrasi. Keuntungan penggunaan alat pengering drum adalah kecepatan pengeringan yang tinggi dan penggunaan panas yang ekonomis. Kelemahan alat

14

ini adalah hanya dapat digunakan pada bahan yang berbentuk bubur atau pasta dan bahan yang tahan terhadap suhu tinggi dalam waktu singkat (Brennan 1974). Sukralosa Sukralosa merupakan jenis pemanis rendah kalori baru yang beredar di pasaran. Sukralosa menghasilkan 600 kali kemanisan daripada gula biasa (sukrosa) tanpa mengakibatkan dampak peningkatan kalori. Menurut FDA penggunaan sukralosa aman bagi manusia baik pada anak-anak maupun ibu hamil (American Diabetes Association 2008 dalam Kusumah 2008). Baru-baru ini Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA) telah menaikkan batas toleransi sukralosa dari 0-3.5 mg/kg berat badan menjadi 0-15 mg/kg berat badan. Penggunaan sukralosa secara luas telah diijinkan mulai tahun 1988. Hal ini dikarenakan sukralosa tidak dapat diserap dengan baik oleh tubuh dan dikeluarkan bersama urin (Washuttl et al.1973). Berdasarkan penelitian terhadap 100 orang, maka FDA (Food and Drud Administration) menyimpulkan bahwa penggunaan sukralosa tidak menyebabkan risiko neurologik, gangguan

reproduksi, maupun efek karsinogenik. Adapun keunggulan dari sukralosa adalah relatif stabil terhadap panas, sehingga tingkat kemanisan tidak banyak berubah (Brannen et al.1990). Emulsi Emulsi merupakan sistem heterogen yang terdiri atas dua fase cairan yang tidak tercampur tetapi cairan yang satu terdispersi dengan baik dalam cairan yang lain dalam bentuk butiran (droplet/globula) dengan diameter biasanya lebih dari 0.01-50 m. Fase yang berbentuk butiran disebut fase terdispersi atau fase internal atau disebut juga fase diskontinyu, sedangkan fase cairan tempat butiran terdispersi disebut fase pendispersi atau fase eksternal atau fase kontinyu (Andarwulan & Adawiyah 1992). Kedua fase tersebut berupa minyak dan air, bila minyak sebagai fase terdispersi dan air sebagai fase pendispersi maka emulsi yang terbentuk disebut tipe emulsi minyak dalam air (m/a) atau oil in water (o/w). Sebaliknya, bila fase air sebagai fase terdispersi dan minyak sebagai fase pendispersi disebut tipe emulsi air dalam minyak (a/m) atau water in oil (w/o). Saat proses pembuatan emulsi, biasanya ditambahkan bahan ketiga atau campuran dua atau lebih bahan kimia untuk menstabilkan emulsi. Bahan tersebut tergolong ke dalam bahan pengemulsi (emulsifier) dan penstabil (stabilizer). Penambahan bahan

15

pengemulsi bertujuan menurunkan tegangan permukaan antara kedua fase (tegangan interfasial) sehingga mempermudah terbentuknya emulsi, sedangkan penambahan bahan penstabil bertujuan meningkatkan viskositas fase kontinyu agar emulsi yang terbentuk menjadi stabil (Muchtadi 1999). Telur Menurut Gaman dan Sherrington (1992), selain meningkatkan nilai gizi masakan, telur juga mempunyai beberapa sifat fungsional yang bermanfaat, yakni: protein telur yang terkoagulasi bila dipanaskan dapat berperan sebagai agen pengental dan pengikat; kuning telur mengandung lesitin yang dapat digunakan sebagai pengemulsi, serta sebagai pembusa, yakni apabila putih telur dikocok sehingga udara akan terjebak dan protein terkoagulasi sebagian. Telur dalam pembuatan cookies berfungsi sebagai pelembut dan pengikat. Fungsi lainnya adalah untuk aerasi yaitu kemampuan menangkap udara. Telur melembutkan tekstur cookies dengan daya emulsi dari lesitin yang terdapat dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat putih telur. Dalam pembuatan cookies, penggunaan kuning telur tanpa putih telur akan menghasilkan cookies yang lembut dengan kualitas cita rasa yang sempurna (Matz & Matz 1978). Isolat Protein Kedelai Kedelai merupakan salah satu sumber protein nabati yang sering diekstrak atau diisolasi proteinnya. Isolat protein merupakan hasil ekstraksi protein kedelai yang paling murni karena kadar protein minimumnya sebesar 95% berdasarkan presentase bobot kering. Isolat protein kedelai hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung bubuk kedelai (Koswara 1995). Menurut Koswara (1995), isolat protein kedelai dibuat dari kedelai bebas lemak maupun biji kedelai utuh. Jika terbuat dari tepung kedelai, maka mulamula tepung harus dicampur dengan air (perbandingan tepung:air = 1:8), kemudian pH nya ditingkatkan menjadi 8.5-8.7 dan diaduk pada suhu 50-55C selama 30 menit, sehingga proteinnya terekstrak. Ekstraksi protein dari biji utuh dilakukan dengan perendaman 5-8 jam, diikuti pembuatan bubur kedelai (kedelai kupas kulit dihancurkan seperti pada pembuatan susu kedelai), lalu diencerkan hingga perbandingan kedelai:air = 1:8, setelah itu dilakukan pengaturan pH hingga 8.5-8.7 dan diaduk 30 menit. Prinsip yang digunakan untuk mengisolasi

16

protein kedelai adalah pengendapan seluruh protein pada titik isoelektrik yaitu pH dimana seluruh protein menggumpal. Kemampuan ekstraksi protein kedelai dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain ukuran partikel tepung, umur tepung, perlakuan panas sebelumnya, rasio pelarutan pH dan kekuatan ion dari medium pengekstrak (Koswara 1995). Berdasarkan segi zat gizi, isolat protein kedelai memiliki kekurangan asam amino bersulfur seperti metionin, sistein, dan treonin, tetapi kelebihan asam amino lisin yang merupakan asam amino pembatas dari protein pada serealia. Secara umum protein kedelai mengandung seluruh asam amino yang dibutuhkan manusia, namun hanya menjadi asam amino pembatas adalah metionin dan triptofan. Oleh karena itu, kedelai sangat cocok dikombinasikan dengan protein yang bersumber dari serealia. Isolat protein kedelai banyak digunakan sebagai emulsifier pada produk sosis, produk bakeri dan sup (Koswara 1995). Selain itu, isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, dan flavour produk. Penggunaan isolat protein kedelai sangatlah luas, diantaranya dapat dipakai dalam pembuatan keju, susu, es krim, daging sintetik, roti dan biskuit (Koswara 1995). Minyak Kelapa Sawit Minyak kelapa sawit diperoleh dari pengolahan buah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Minyak kelapa sawit merupakan minyak nabati yang berupa senyawa tidak larut air, sedangkan komponen penyusunnya yang utama adalah trigliserida dan nontrigliserida. Trigliserida berupa ester dari trigliserol dan tiga molekul asam lemak. Senyawa non trigliserida dalam minyak kelapa sawit terdapat dalam jumlah kecil yaitu motilgliserida, digliserida, fosfatida, karbohidrat, turunan karbohidrat, protein dan getah (gum) serta zat warna. Pemakaian minyak nabati memberikan keuntungan bagi tubuh karena tidak mengandung kolesterol (Ketaren 1986). Uji Organoleptik Pengujian inderawi adalah pengujian bahan secara subjektif

menggunakan panca indera manusia. Penilaian inderawi sangat penting dalam pengembangan produk makanan kaitannya dengan perbaikan gizi. Uji

organoleptik atau disebut juga sensory evaluation didasarkan atas indera penglihatan, indera pencium, indera perasa, dan mungkin indera pendengar.

17

Penentuan penerimaan terhadap produk makanan dapat dilakukan melalui uji hedonik atau kesukaan (Setyaningsih et al. 2010). Beberapa uji organoleptik yang biasa digunakan dalam industri pangan adalah uji kesukaan (hedonik) dan uji mutu hedonik. Panelis diminta tanggapannya mengenai kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu produk pada uji hedonik, sedangkan uji mutu hedonik tanggapan yang diberikan berdasarkan kesan baik atau buruk. Menurut Rahayu (1998), uji hedonik bertujuan untuk mengetahui respon panelis terhadap sifat mutu yang umum misalnya warna, aroma, tekstur, dan rasa. Uji mutu hedonik digunakan untuk mengetahui respon terhadap sifat-sifat produk yang lebih spesifik.

18

METODE
Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan, yaitu mulai Februari 2011 sampai dengan Juli 2011 di Kampus IPB Darmaga Bogor. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Biokimia Gizi, Laboratorium Percobaan Makanan, Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Laboratorium Seafast Center, IPB. Bahan dan Alat Bahan Bahan utama yang digunakan adalah singkong yang akan dibuat menjadi pati singkong komersial merk TUGU TANI. Bahan pelengkapnya adalah sukralosa, isolat protein kedelai, minyak nabati, putih telur, flavour essence melon, dan garam. Bahan untuk analisis karakteristik fisikokimia, kimiawi dan kandungan gizi adalah larutan buffer natrium phosphate 0,08 mM (pH 6 dan pH 7), larutan iod, akuades, enzim termamyl, larutan iod (0.2 g iod dan 2 g KI dalam 100 ml), amilosa murni, enzim protease, enzim amiloglukosidase, termamyl, etanol 95%, etanol 78%, HCl, aseton, enzim -amilase, larutan DNS (asam dinitrosalisilat), HCl standar, NaOH, etanol, heksana, selenium mix, H2SO4,, asam borat, indikator iodin dan indikator metil merah biru dan maltose standar. Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari alat untuk modifikasi pati singkong, analisis karakteristik fisikokimia, analisis karakteristik kimiawi dan kandungan gizi, serta alat untuk membuat bubur instan. Alat yang digunakan untuk modifikasi pati singkong adalah autoklaf, penangas, drum dryer, freezer. Alat-alat yang digunakan untuk analisis karakteristik fisikokimia adalah Brabender Viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121, mikroskop

terpolarisasi cahaya, Whiteness Meter Model C100, dan labu ukur. Alat-alat yang digunakan untuk analisis karakteristik kimiawi dan kandungan gizi adalah oven, cawan, tanur, spatula, gegep, termometer, spektrofotometer, pipet tetes, mikroskop, pengaduk, viskometer, tabung reaksi, timbangan analitik, labu Soxhlet, kertas saring Whatman, labu Kjedahl, desikator, erlemeyer, labu ukur, gelas kimia, penangas air, dan tabung reaksi bertutup. Alat yang digunakan untuk membuat bubur instan adalah drum dryer, autoklaf, mangkok dan sendok.

19

Tahapan
Kegiatan penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan. Tahapan penelitian keseluruhan disajikan pada Gambar 3.
Pati Singkong

Pembuatan pati singkong termodfikasi

Pati singkong tergelatinisasi

Pati singkong resisten 1 siklus

Pati singkong resisten 3 siklus

Formulasi produk bubur instan

Formulasi produk bubur instan

Formulasi produk bubur instan

Penentuan proporsi bahan

Penentuan proporsi bahan dan tepung emulsi

Penentuan proporsi bahan

Bubur instan pati singkong tergelatinisasi

Bubur instan pati singkong resisten 1 siklus dan bubur instan 3 formula

Bubur instan pati singkong resisten 3 siklus

Uji organoleptik Uji organoleptik Analisis karakteristik fisikokimia, kimiawi, dan kandungan gizi

Analisis karakteristik fisikokimia, kimiawi, dan kandungan gizi,serta perhitungan biaya

Bubur instan formula terpilih dan bubur instan pati singkong resisten 1 siklus

Analisis karakteristik fisikokimia, kimiawi, dan kandungan gizi,serta perhitungan biaya

Gambar 3 Diagram alir kegiatan keseluruhan penelitian

20

Pembuatan Pati Singkong Termodifikasi Pembuatan pati singkong termodifikasi terdiri dari pembuatan pati singkong tergelatinisasi dan pembuatan pati singkong resisten autoclavingcooling cycling dilakukan dengan 2 perlakuan berbeda. Pembuatan pati singkong tergelatinisasi berdasarkan proses instanisasi pati dari Winarno (2004) yang dimodifikasi. Proses modifikasinya adalah pati singkong yang tidak hanya digelatinisasi dan dikeringkan, tetapi digiling dan diayak. Proses modifikasi pati singkong resisten dalam penelitian ini adalah suhu cooling atau pendinginan dan waktu cooling yang dilakukan berbeda dari metode Lehnmann (2003). Suhu cooling dalam penelitian ini berkisar antara 4C hingga dan waktu cooling mencapai 72 jam, sedangkan pada metode Lehnmann (2003) suhu cooling mencapai 4C dalam waktu 24 jam. Modifikasi berupa pati singkong resisten 1 siklus dengan waktu gelatinisasi 30 menit dan pati singkong resisten 3 siklus dengan waktu gelatinisasi tiap siklusnya 15 menit. Pembuatan Pati Singkong Tergelatinisasi Pati singkong tergelatinisasi merupakan pati singkong yang telah melaui proses pematangan untuk instanisasi. Pati singkong telah melewati fase gelatinisasi melalui pemanasan suhu 80C. Hal ini dilakukan untuk membuat Sampel pati disuspensikan dalam air (20% b/v) dan dipanaskan sampai homogen dan mengental pada suhu 80C. Pati dikeringkan dengan drum dryer T=80C, 6 rpm, kemudian digiling dan diayak 60 mesh. Berikut ini Gambar 4 menunjukkan diagram alir proses pembuatan pati singkong tergelatinisasi:
Pati singkong

Disuspensikan dalam air (20% b/v)

Dipanaskan 80C hingga homogen dan mengental

Dikeringkan dengan drum dryer T=80C

Digiling

Diayak 60 mesh Pati singkong tergelatinisasi

Gambar 4 Bagan proses pembuatan pati singkong tergelatinisasi

21

Pembuatan Pati Resisten 1 Siklus Pati singkong resisten merupakan bentuk pati yang telah termodifikasi. Pembuatan pati termodifikasi menggunakan metode autoclaving-cooling. Sampel pati disuspensikan dalam air (20% b/v) dan dipanaskan sampai homogen dan mengental pada suhu 80C. Selanjutnya, proses autoklaf selama 15 atau 30 menit dengan suhu 121C, didinginkan pada suhu ruang selama 1 jam. Penyimpanan pada suhu 8C selama 24 jam dan dikeringkan dengan drum dryer T=80C, 6 rpm, kemudian digiling dan diayak 60 mesh. Berikut ini Gambar 5 menunjukkan diagram alir proses pembuatan pati singkong termodifikasi 1 siklus: Pati singkong
Disuspensikan dalam air (20% b/v)

Dipanaskan 80C hingga homogen dan mengental

Diautoklaf 30 menit, suhu 121C

Didinginkan hingga suhu ruang

Disimpan pada suhu 8C, 72 jam

Dikeringkan dengan drum dryer T=80C

Digiling

Diayak 60 mesh

Pati singkong resisten 1 siklus

Gambar 5 Bagan proses pembuatan pati singkong resisten 1 siklus (Lehnmann 2003 yang dimodifikasi) Pembuatan Pati Resisten 3 Siklus Pati singkong yang disuspensikan dalam air 20% (b/v) kemudian dipanaskan pada suhu 80 C dan diaduk hingga homogen. Proses selanjutnya

22

adalah autoclaving selama 15 menit pada suhu 121C, kemudian didinginkan hingga mencapai suhu ruang, lalu diretrogradasi melalui pendinginan selama 24 jam pada suhu 4C. Proses pemanasan dengan autoklaf hingga pendinginan pada 4C diulangi sebanyak 2 kali. Setelah itu dikeringkan, digiling, dan diayak 60 mesh. Berikut ini Gambar 6 mengenai diagram alir proses pembuatan pati singkong termodifikasi 3 siklus: Pati singkong

Disuspensikan dalam air (20% b/v)

Dipanaskan 80C hingga homogen dan mengental

Diautoklaf 30 menit, suhu 121C sebanyak 3 kali

Didinginkan hingga suhu ruang

Disimpan pada suhu 4C, 24 jam

Dikeringkan dengan drum dryer T=80C

Digiling

Diayak 60 mesh

Pati singkong resisten 3 siklus

Gambar 6 Bagan proses pembuatan pati singkong resisten 3 siklus (Lehnmann 2003 yang dimodifikasi) Formulasi Bubur Instan Pembuatan bubur instan berbasis pati singkong termodifikasi didapatkan dari hasil modifikasi penelitian Hendy (2007) pada skripsi yang berjudul Formulasi Bubur Instan Berbasis Singkong (Manihot esculenta Crantz) sebagai Pangan Pokok Alternatif. Proses modifikasi dalam pembuatan bubur instannya adalah bahan baku dan formulasinya. Bubur instan yang dibuat dalam penelitian

23

Hendy (2007) berasal dari singkong, sedangkan dalam penelitian ini adalah pati singkong termodifikasi. Proses penambahan bahan-bahan dalam formulasi Hendy (2007) juga berbeda dari penelitian ini. Proses pembuatan bubur instan kontrol negatif dab bubur instan kontrol poitif dapat dilihat pada Gambar 7.
Pati singkong Pati singkong

Digelatinisasi pada suhu 80C Dikeringkan dengan drum dyer

Digelatinisasi pada suhu 80C

Diautoklaf sebanyak 1 kali dan didinginkan

Pati singkong tergelatinisasi

Dikeringkan dengan drum dyer

Ditambahkan sukralosa, garam, flavour essence

Pati resisten singkong 1 siklus

Dicampur dengan dry mixing

Ditambahkan sukralosa, garam, flavour essence

Tepung Bubur Pati Singkong (BPS) K-

Tepung Bubur Pati resisten singkong (BRS) K+

Ditambahkan air hangat dan dingin (2:1)dari total tepungnya

Ditambahkan air hangat dan dingin (2:1) dari total tepungnya

Bubur Pati Singkong (BPS) K-

Bubur Pati resisten singkong (BRS) K+

Gambar 7 Bagan proses formulasi bubur instan kontrol (Hendy 2007 yang dimodifikasi). Proses pembuatan bubur instan formula agak sedikit berbeda dari pembuatan bubur instan kontrol. Bubur instan formula ditambahkan tepung emulsi dengan taraf yang berbeda. Bahan baku dari bubur instan formula sama dengan bubur instan kontrol positif yaitu pati singkong resisten 1 siklus. Berikut Gambar 8 tentang proses pembuatan bubur instan formula.

24

Bubur Pati resisten singkong (BRS) K+

Ditambahkan Tepung emulsi 50 gram

Ditambahkan Tepung emulsi 30 gram

Ditambahkan Tepung emulsi 15 gram

Ditambahkan air hangat dan dingin (1:2) dari total tepungnya

Ditambahkan air hangat dan dingin (1:2) dari total tepungnya

Ditambahkan air hangat dan dingin (1:2) dari total tepungnya

Formula 1

Formula 2

Formula 3

Gambar 8 Bagan proses pembuatan bubur instan formula (Hendy 2007 yang dimodifikasi) Pati singkong dan pati singkong resisten telah mengalami gelatinisasi dan proses pengeringan. Pati yang telah kering tersebut mampu menyerap air kembali dalam jumlah besar (Winarno 2002). Sifat inilah yang disebut sebagai instant starch. Flavour powder yang digunakan adalah essence melon dengan pertimbangan citra produk beraksen manis. Produk bubur instan beraksen manis dipilih karena umunya bubur instan yang biasa dikonsumsi masyarakat adalah beraksen manis. Namun, bubur instan beraksen asin juga banyak ditemukan sebagai pangan sumber energi untuk sarapan disertai dengan penambahan toping seperti bawang, ayam, dan kerupuk. Apabila bubur instan berbasis pati singkong termodifikasi beraksen asin dengan penambahan toping tersebut justru akan mengurangi efek fisiologis dari pati singkong termodifikasi atau pati singkong resisten. Tepung emulsi ditambahkan untuk meningkatkan kandungan gizi (protein dan lemak) pada bubur instan. Penentuan jenis dan proporsi bahan dan tepung emulsi yang digunakan dilakukan dengan cara trial and error, sedangkan tingkat kemanisan sukralosa berdasarkan konversi kemanisan glukosa murni yang terdapat pada penelitian Kusumah (2007). Formulasi bahan dalam pembuatan bubur instan yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 2.

25

Tabel 2 Formulasi produk bubur instan dari pati singkong termodifikasi


Bahan Pati Singkong tergelatinisasi (g) Pati modifikasi singkong (g) Sukralosa (g) Garam (g) Flavour essence melon (g) Tepung emulsi (gr) Air Hangat Air Dingin (suhu ruang) Total Perlakuan BPS (K-) 50 0 0.09 0.4 0.4 0 101.8 50.9 203.6 BRS 1 (K+) 0 50 0.09 0.4 0.4 0 101.8 50.9 203.6 BRS 3 0 50 0.09 0.4 0.4 0 101.8 50.9 203.6 F1(3%) 0 50 0.09 0.4 0.4 50 201.8 100.9 403.6 F2(4%) 0 50 0.09 0.4 0.4 30 161.8 80.9 323.6 F3(5%) 0 50 0.09 0.4 0.4 15 131.8 65.9 263.6

Penamaan dari setiap bubur perlakuan (kontrol dan formula) didasarkan pada karakteristik bahan baku penyusunnya, yaitu pati singkong termodifikasi yang terdiri dari pati singkong tergelatinisasi dan pati singkong resisten. Bubur pati singkong tergelatinisasi (BPS) merupakan kontrol negatif dan bubur pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) merupakan kontrol positif. Bubur pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) dan bubur pati singkong tergelatinisasi (BPS) tidak ditambahkan tepung emulsi dalam proses pembuatannya. Bubur kontrol positif merupakan bubur instan dengan pati resisten singkong yang diharapkan dalam penelitian ini akan dibandingkan dengan bubur kontrol negatif yang tersusun dari pati singkong yang telah melalui proses instanisasi. Kedua jenis bubur tersusun dari 98% pati sebagai bahan penyusunnya. Kontrol positif dan kontrol negatif diberikan karena kedua bubur tersebut terdiri atas pati yang memiliki sifat atau karakteristik kimiawi yang berbeda. Formulasi bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) merupakan penelitian tambahan yang dilakukan untuk meningkatkan

karakteristik fisikokimia, kimia, dan kandungan gizi bubur instan. Proses pembuatan tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus dilakukan setelah uji organoleptik dan beberapa analisis fisikokimia, kimia, dan kandungan gizi pati dan tepung bubur instan pati singkong termodifikasi. Komposisi bahan penyusunnya sama dengan bubur instan kontrol positif atau bubur instan pati singkong resisten 1 siklus. Bubur instan formula yang terdiri dari 3 formula yaitu F1, F2, dan F3 yang ditambahkan tepung emulsi untuk meningkatkan kandungan gizi bubur instan. Kadar 3%, 4%, dan 5% dari setiap formula adalah kadar pati resisten yang terdapat dalam setiap bubur instan. Kadar pati resisten ditentukan berdasarkan hasil analisis kadar pati resisten dalam penelitian ini yaitu pati singkong (4.75%

26

bb) dan pati singkong resisten 1 siklus (6.73% bb). Pendugaan kadar pati resisten 3%,4%, dan 5% dari setiap formula dengan penambahan jumlah tepung emulsi yang berbeda ke setiap formula menggunakan analisis software Microsoft Excell 2007. Penentuan jumlah tepung emulsi untuk setiap formula (F1, F2, dan F3) masing-masing adalah 50 gram, 30 gram, dan 15 gram. Tabel 3 merupakan proporsi bahan penyusun tepung emulsi untuk tiap formula. Tabel 3 Formulasi tepung emulsi bubur instan Perlakuan F1 F2 F3 Isolat Protein Kedelai 31.3 15.6 9.4 4.7 Minyak Nabati 6.2 3.1 1.9 0.9 Putih Telur 62.5 31.3 18.7 9.4 TOTAL 100 50 30 15 Bahan-bahan penyusun tepung emulsi mempunyai peranannya masing-masing. Isolat protein kedelai digunakan untuk meningkatkan kadar protein bubur instan dan sebagai emulsifier, minyak nabati untuk meningkatkan kadar lemak bubur instan, serta putih telur mempunyai sifat stabilizier pada tepung emulsi. Presentase setiap bahan penyusun tepung emulsi ditentukan dengan cara penghitungan Microsoft Excell 2007 yaitu berdasarkan kandungan gizi USDA (2010) ketiga bahan tersebut dan berat pati singkong resisten 1 siklus yang terdapat dalam bubur instan formula. Uji Organoleptik Bubur Instan Uji organoleptik yang dilakukan pada pembuatan bubur instan berbasis pati singkong resisten adalah uji hedonik dan mutu hedonik. Uji hedonik panelis mengenai kesukaan dan ketidaksukaan terhadap suatu produk, sedangkan untuk uji mutu hedonik mengenai kesan baik atau buruk. Menurut Rahayu (1998) biasanya uji hedonik bertujuan untuk mengetahui respon panelis terhadap sifat mutu yang umum misalnya warna, aroma, tekstur, dan rasa. Uji organoleptik dilakukan pada panel agak terlatih. Hal ini dikarenakan lebih mudah mendapatkan panel agak terlatih di Departemen Gizi Masyarakat. Panel agak terlatih dalam uji organoleptik penelitian ini adalah mahasiswa gizi masyarakat sebanyak 30 orang. Uji organoleptik dengan panel agak terlatih membutuhkan 15-25 orang (Setyaningsih et al. 2010). Penyajian dilakukan dengan menyajikan 5 gelas kecil yang berisi 5 formula bubur instan dan diberi kode dari tiga angka acak yang berbeda tiap gelasnya. Panelis diminta untuk menilai tingkat kesukaan produk dengan skala 1Bahan %

27

7, yaitu (1) sangat tidak suka, (2) tidak suka, (3) agak tidak suka, (4) biasa, (5) agak suka, (6) suka, dan (7) sangat suka. Dalam uji mutu hedonik, panelis diminta untuk memberikan penilaian terhadap sifat mutu produk meliputi warna dengan nilai (1) cokelat, (2) cokelat muda, (3) cokelat kekuningan, (4) kuning kecoklatan, (5) putih kekuningan, (6) putih gading, (7) putih susu. Aroma dengan nilai (1) sangat berbau langu, (2) berbau langu, (3) agak berbau langu, (4) tidak berbau, (5) agak harum, (6) harum, dan (7) sangat harum. Rasa dengan nilai (1) manis pahit sekali, (2) manis pahit, (3) agak manis pahit, (4) hambar, (5) agak manis, (6) manis, (7) manis sekali. Tekstur dengan nilai (1) sangat encer sekali, (2) encer sekali, (3) agak encer, (4) biasa, (5) agak kental, (6) kental sekali, dan (7) sangat kental sekali. Analisis Karakteristik Fisikokimia, Kimiawi dan Kandungan Gizi Tepung bubur instan formula terpilih dari hasil uji organoleptik dianalisis bersama tepung bubur instan kontrol negatif, kontrol positif, dan tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus. Tepung bubur instan dianalisis sifat fisikokimia, kandungan gizi serta dianalis pengaruh modifikasi pati terhadap karakteristik kimiawi (total pati, amilosa, amilopektin, kadar pati resisten, dan daya cerna pati in vitro). Analisis karakteristik fisikokimia pati dan tepung bubur instan adalah rendemen, pola gelatinisasi pati dengan menggunakan Brabender Viscoamylograph, pengamatan granula pati dengan menggunakan mikroskop terpolarisasi cahaya, derajat putih dengan menggunakan Whiteness meter Model C100, dan densitas kamba. Analisis kimiawi berupa kadar serat pangan (AOAC 1995), total pati (AOAC 1995), amilosa (Apriyantono et al. 1989), kadar pati resisten (Kim et al. 2003) dan daya cerna pati in vitro (Muchtadi et al. 1992). Analisis kandungan gizi meliputi kadar air (AOAC 1995), kadar abu (AOAC 2006), kadar protein (AOAC 1995), kadar lemak (AOAC 1995), karbohidrat by difference (Winarno 2004). Pengolahan dan Analisis Data Hasil uji organoleptik bubur instan berbasis pati singkong termodifikasi meliputi mutu hedonik dan hedonik. Hasil mutu hedonik dan hedonik diolah dengan Microsoft Excel 2007 dengan cara menghitung presentase panelis berdasarkan kategori penilaian uji hedonik dan mutu hedonik untuk melihat bubur instan yang paling disukai panelis. Analisis dilanjutkan dengan sidik ragam one Way ANOVA dengan menggunakan software SPSS 16.0. Apabila hasil ANOVA

28

menunjukkan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji Duncan untuk menentukan keberadaan perbedaan antar perlakuan. Hasil sifat fisikokimia, sifat kimiawi, kandungan zat gizi, serat pangan, analisis biaya pembuatan produk, dan harga produk ditabulasi dan dianalisis secara deskriptif dengan menggunakan Microsoft Excel 2007.

29

HASIL DAN PEMBAHASAN


Modifikasi Pati Singkong Tahap pertama dalam penelitian ini adalah pembuatan pati singkong termodifikasi yaitu pembuatan pati singkong tergelatinisasi dan pembuatan pati singkong resisten 1 siklus dan 3 siklus melalui proses autoclaving-cooling cycling. Pati singkong termodifikasi dibentuk dari pati singkong komersial merk TUGU TANI. Hal ini dikarenakan pati singkong komersial merk TUGU TANI memiliki kualitas tapioka yang baik dibandingkan tapioka merk lainnya. Pati singkong tergelatinisasi merupakan pati singkong yang dbuat melalui proses gelatinisasi dan pengeringan. Hal ini dilakukan untuk proses pematangan pati singkong dan pengeringan bertujuan untuk instanisasi pati singkong. Pati singkong tergelatinisasi yang telah dikeringkan akan tergelatinisasi kembali apabila pati tersebut digelatinisasi kembali (Winarno 2004). Pati singkong tergelatinisasi dibuat sebagai bahan baku bubur pati singkong tergelatinisasi (BPS). Pati singkong termodifikasi lainnya yang dibuat dalam penelitian ini adalah yaitu pati singkong resisten 1 siklus dan pati singkong resisten 3 siklus. Tahapan modifikasi pati sebagai dimulai dari pati singkong disuspensi dengan akuades (20% b/v) kemudian dilakukan pemanasan pada suhu 80C dengan pengadukan konstan hingga homogen dan mengental. Waktu yang diperlukan untuk mencapai suspensi homogen adalah 9 menit. Menurut SNI (1992) dalam Widowati (2000) menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi pati singkong adalah 84C dalam waktu sekitar 23 menit. Berdasarkan pernyataan diatas waktu pemanasan pati singkong mencapai tahap gelatinisasi lebih rendah daripada SNI. Hal ini diduga disebabkan perbedaan botani singkong dan pengolahan saat proses gelatinisasi pati. Suspensi pati yang telah tergelatinisasi mengalami peningkatan

viskositas dan perubahan warna menjadi putih keruh. Hal ini menunjukkan telah terjadi tahap awal gelatinisasi. Selanjutnya pati digelatinisasi pada suhu tinggi yaitu suhu 121C selama 30 menit menggunakan autoklaf. Tujuan gelatinisasi adalah memecahkan granula pati melalui autoclaving sehingga amilosa terdegradasi. Pati yang telah digelatinisasi kemudian didinginkan hingga tercapai suhu ruang. Proses ini dilakukan agar panas dari pati berkurang. Perlakuan modifikasi ini disebut autoclaving-colling cycling treatment (Shin et al. 2002; Zabar et al. 2008).

30

Pati yang telah mencapai suhu ruang selanjutnya didinginkan atau cooling pada suhu 4C selama 24 jam sehingga terjadi retrogradasi. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi disebut retrogradasi. Sebagian besar pati yang telah menjadi gel bila disimpan atau didinginkan untuk beberapa hari atau beberapa minggu akan membentuk endapan kristal di dasar wadahnya (Winarno 2004). Namun, alat yang tersedia terbatas sehingga proses cooling hanya mencapai suhu 8C dan membutuhkan waktu yang lebih lama yaitu 72 jam agar proses retrogradasi sempurna. Pati singkong resisten yang dihasilkan dalam penelitian ini merupakan pati resisten tipe III. Pati resisten tipe III merupakan fraksi pati yang paling resisten karena amilosa teretrogradasi yang terbentuk selama pendinginan pati tergelatinisasi (Sajilata etal. 2006). Selama retrogradasi, molekul pati kembali membentuk struktur kompak yang distabilkan dengan adanya ikatan hidrogen (Sajilata et al. 2006). Selama proses cooling setelah autoclaving, sebagian fragmen yang terlarut akan membentuk lapisan kaku dan kuat pada permukaan granula. Perubahan struktur yang terjadi pada saat pendinginan disebabkan terbentuknya ikatan hidrogen antara amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, amilopektin-amilopektin dan

pembentukan gel yang keras menyebabkan granula pati tahan terhadap panas sehingga resisten terhadap enzim pencernaan (Raja & Shindu 2000). Pati singkong yang digelatinisasi akan meningkat daya cernanya. Namun, pati singkong tergelatinisasi tersebut diretrogradasi maka daya cernanya akan menurun dan resisten terhadap enzim pencernaan. Retrogradasi pati membuat struktur amilopektin menjadi linear. Peningkatan kadar pati resisten dilakukan dengan menggunakan pengulangan siklus. Tahapan modifikasi pati singkong resisten 3 siklus sama dengan 1 siklus, tetapi tahap autoclaving dilakukan sebanyak 3 kali atau 2 kali pengulangan dan waktu gelatinisasi 15 menit tiap siklusnya. Perbedaan waktu gelatinisasi saat autoclaving pada pembuatan pati singkong resisten turut mempengaruhi pembentukan pati singkong resisten pada 2 perlakuan. Waktu autoclaving dengan waktu 15 menit menghasilkan pati singkong resisten lebih tinggi daripada autoclaving 30 menit. Berdasarkan penelitian Pratiwi (2008), waktu pemanasan autoclaving 30 menit menghasilkan daya cerna pati yang lebih tinggi sehingga kandungan pati resistennya lebih rendah dibandingkan dengan waktu pemanasan autoclaving 15 menit.

31

Proses

cooling

mencapai

suhu

pendinginan

sebesar

4C

pada

permukaan pati sehingga pati teretrogradasi sempurna, sedangkan pada bagian bawah suhu pati hanya mencapai 7.8C. Proses pengeringan pati hasil autoclaving-cooling menggunakan drum dryer. Suhu drum dryer yang tinggi dapat menstimulir pati tergelatinisasi kembali. Rendemen merupakan persentase produk terhadap bahan baku. Pati singkong resisten 1 siklus dibuat dengan menggunakan pati singkong merk TUGU TANI menghasilkan rendemen sebesar 78%, sedangkan pati singkong resisten 3 siklus hanya menghasilkan rendemen 66%. Formulasi Bubur Instan Produk bubur yang dibuat adalah jenis pangan instan sehingga prinsip kematangan produk menjadi hal yang penting. Formula produk terdiri atas pati singkong tergelatinisasi, pati singkong resisten 1 siklus, sukralosa, garam, flavour essence melon, dan tepung emulsi. Pati singkong tergelatinisasi merupakan tapioka yang telah melewati fase gelatinisasi sehingga pati singkong tersebut telah matang dan dapat membentuk struktur bubur. Pati resisten merupakan pati modifikasi yang telah terlewati masa gelatinisasinya dan teretrogradasi sehingga memiliki struktur yang berbeda dari pati pada umumnya. Pati resisten tipe III yang dihasilkan dalam penelitian ini dapat mempertahankan karakteristik organoleptik suatu makanan ketika makanan tersebut ditambahkan pati resisten tipe III (Lehnmann et al. 2002). Pati resisten tipe III relatif tahan panas dibandingkan pati resisten tipe lainnya. Penambahan tepung emulsi digunakan untuk meningkatkan kandungan gizi dan kekentalan bubur instan pati singkong termodifikasi. Isolat protein kedelai berfungsi sebagai emulsifier. Protein kedelai membantu pembentukan emulsi minyak dalam air. Emulsi yang terbentuk akan distabilkan oleh protein kedelai. Isolat protein kedelai juga dapat berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki penampakan produk, tekstur, dan flavour produk (Koswara 1995). Minyak nabati ditambahkan untuk meningkatkan kadar lemak bubur instan. Minyak nabati dipilih karena tidak mengandung kolesterol (Ketaren 1986). Putih telur digunakan sebagai stabilizier. Putih telur mengandung protein akan terkoagulasi bila dipanaskan sehingga berperan sebagai agen pengental dan pengikat. Putih telur mengandung 87.8% air dalam 100 gram bahan sehingga membentuk sistem emulsi minyak dalam air yang baik pada tepung emulsi. Walaupun kuning telur mempunyai kemampuan emulsi yang lebih baik

32

dibandingkan putih telur, kuning telur akan memberikan penampakan yang buruk pada bubur instan. Kuning telur mengandung kolesterol yang tidak diharapkan pada bubur instan dalam penelitian ini. Penambahan bahan-bahan tersebut dimaksudkan agar bubur instan memiliki rasa dan penampakan yang menarik. Sukralosa dipilih sebagai pemanis karena sukralosa menghasilkan 600 kali kemanisan daripada gula biasa (sukrosa) tanpa mengakibatkan neurologik, peningkatan gangguan kalori. reproduksi, Sukralosa maupun tidak efek

menyebabkan

risiko

karsinogenik. Keunggulan lainnya adalah relatif stabil terhadap panas, sehingga tingkat kemanisan tidak banyak berubah (Branen et al. 1990). Flavour essence melon menyebabkan aroma pati singkong yang langu sedikit berkurang dan flavour buah dipilih karena bubur instan yang berbasis manis. Tepung emulsi merupakan campuran dari putih telur, minyak nabati, dan isolat protein kedelai yang dibuat menggunakan homogenizer dan spray dryer. Putih telur dan minyak nabati sebagai bahan pembentuk tepung emulsi dilarutkan dan diratakan dengan menggunakan homogenizer. Selanjutnya kedua bahan yang telah tercampur rata dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Spray dryer merupakan alat dengan pengering prinsip pengeringannya adalah dengan mengubah bentuk larutan menjadi bubuk pada pembuatan tepung emulsi. Isolat protein kedelai sebagai emulsifier ditambahkan pada bubuk putih telur dan minyak nabati dengan cara dry mixing. Penambahan air dalam penyajian bubur instan merupakan proses yang menentukan tekstur bubur instan pati modifikasi singkong. Air yang dituang terlebih dahulu adalah air dengan suhu kamar, dan baru kemudian air hangat dengan perbandingan bubur instan : air suhu kamar : air hangat (1:1:2). Karakteristik Organoleptik Bubur Instan Atribut makanan merupakan hal terpenting bagi konsumen, meliputi tekstur, citarasa, aroma, dan warna. Hal ini dapat menunjukkan kesukaan individu terhadap produk tertentu dan dapat mempengaruhi penerimaan (Fellow 2000). Oleh karena itu perlu dilakukan suatu uji sensorik produk yaitu uji organoleptik. Uji organoleptik dilakukan oleh 30 orang panelis yang seluruhnya mahasiswa. Panelis tergolong ke dalam panelis agak terlatih yang didasarkan

33

pada keseringan menjadi panelis kegiatan uji organoleptik. Bubur yang dijadikan contoh untuk uji organoleptik seperti terlihat pada Gambar 9.

(a)

(b)

(c)

(d)

(e)

Gambar 9 Bubur pati singkong (BPS) (a); Bubur Pati Resisten 1 siklus (BRS 1) (b); Bubur Pati Resisten F1, F2, F3 (c), (d), (e) Bubur pati singkong resisten 3 siklus tidak diujikan dalam uji organoleptik disebabkan proses pembuatan pati singkong resisten 3 siklus dilakukan setelah setelah uji organoleptik dan beberapa analisis fisikokimia, kimia, dan kandungan gizi pati dan tepung bubur instan pati termodifikasi. Hal ini dikarenakan pati singkong resisten 3 siklus merupakan penelitian tambahan yang dilakukan untuk meningkatkan karakteristik fisikokimia, kimia, dan kandungan gizi bubur instan. Warna Warna merupakan variabel yang mempengaruhi penampilan suatu produk. Warna juga merupakan salah satu indikator kematangan atau kerusakan suatu produk (Parker 2003). Grafik mutu hedonik warna bubur instan dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan mutu hedonik yang terdapat dalam Gambar 10 warna bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 4 sampai 7 (kuning kecoklatan sampai putih susu) dengan skor terbanyak pada skala 6 (putih gading) sebesar 41.94%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh skor 4 sampai 7 (kuning kecoklatan sampai putih susu) dengan skor terbanyak pada skala 5 (putih kekuningan) sebesar

34

38.71%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 6 (cokelat sampai putih gading) dengan skor terbanyak 5 (putih kekuningan) sebesar 32.26%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 7 (cokelat muda sampai putih susu) dengan skor terbanyak 4 (kuning kecoklatan) sebesar 25.81%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 5 (cokelat sampai putih kekuningan) dengan skor terbanyak 2 (cokelat muda) sebesar 41.94%. Grafik mutu hedonik warna bubur instan terlihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Grafik mutu hedonik warna bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik warna menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap warna bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik warna menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BRS (bubur pati resisten 1 siklus), sedangkan skor terendah adalah F1 dengan penambahan tepung emulsi 50 gram. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan warna putih pada bubur instan. Berdasarkan hasil uji hedonik warna bubur instan menurut Gambar 10 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 6 (suka) sebesar 25.81%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 6 (suka) sebesar 19.35%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 25.81%, bubur instan dengan

35

penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 2 (tidak suka) sebesar 35.48%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 3 (agak tidak suka) sebesar 25.81%. Grafik hedonik warna bubur instan terlihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Grafik hedonik warna bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) hedonik warna menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap kesukaan panelis pada rasa bubur instan. Aroma Aroma merupakan salah satu aspek penting dalam penilaian terhadap makanan. Bubur instan memiliki aroma singkong yang khas sehingga penambahan flavour essence melon dan tepung emulsi bertujuan untuk mengurangi aroma langu singkong pada bubur instan. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik aroma bubur instan menurut Gambar 12 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 2 sampai 7 (berbau langu sampai sangat harum)

dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak harum) sebesar 41.94%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 2 sampai 7 (berbau langu sampai sangat harum) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak harum) sebesar 29.03%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat berbau langu sampai sangat harum) dengan skor terbanyak 4 (tidak berbau) sebesar 45.16%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat berbau

36

langu sampai harum) dengan skor terbanyak 3 (agak berbau langu) sebesar 41.94%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat berbau langu sampai sangat harum) dengan skor terbanyak 2 (berbau langu) sebesar 32.26%. Grafik mutu hedonik aroma bubur instan terllihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Grafik mutu hedonik aroma bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik aroma bubur instan menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap aroma bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik aroma menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BRS (Bubur pati resisten 1 siklus), sedangkan skor terendah adalah F3 dengan penambahan tepung emulsi 50 gram. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan aroma harum pada bubur instan. Berdasarkan hasil uji hedonik aroma bubur instan menurut Gambar 13 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak suka) sebesar 29.03%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 35.48%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 7 (tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 29.03%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 45.16%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 2 sampai

37

6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 3 (agak tidak suka) sebesar 38.71%. Grafik hedonik aroma bubur intstan terlihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Grafik hedonik aroma bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) hedonik aroma menunjukkan bahwa penambahan penambahan tepung emulsi tidak berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap penerimaan panelis. Hal ini menunjukkan penambahan tepung emulsi tidak mempengaruhi penerimaan panelis terhadap aroma bubur instan. Rasa Atribut rasa terdiri dari rasa asin, manis, pahit, dan asam. Rasa disebabkan oleh formulasi yang digunakan dan tidak dipengaruhi oleh proses pengolahan (Fellow 2000). Bubur instan yang dihasilkan memiliki rasa dominan manis karena penambahan sukralosa sebagai pemanis yang memiliki kemanisan 600 kali dari sukrosa dan rendah kalori karena awal pembuatan bubur instan ini dikhususkan bagi penyandang diabetes mellitus. Berdasarkan hasil uji mutu hedonik rasa bubur instan menurut Gambar 14 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 3 sampai 7 (agak manis pahit sampai manis sekali) dengan skor terbanyak pada skala 6 (manis) sebesar 48.39%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 2 sampai 7 (manis pahit sampai manis sekali) dengan skor terbanyak pada skala 6 (manis) sebesar 32.26%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 7 (manis pahit sekali sampai manis sekali) dengan skor terbanyak 4 (hambar) sebesar 38.71%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 7 (manis pahit sampai manis sekali) dengan skor terbanyak 5 (agak manis) sebesar 38.71%, dan bubur instan dengan

38

penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 7 (manis pahit sekali sampai manis sekali) dengan skor terbanyak 5 (agak manis) sebesar 29.03%. Grafik mutu hedonik rasa bubur instan terlihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Grafik mutu hedonik rasa bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik rasa bubur instan menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap rasa bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik rasa menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BRS, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan kemanisan bubur instan. Berdasarkan hasil uji hedonik aroma bubur instan menurut Gambar 15 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 25.81%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian mmemperoleh skor skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 25.81%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 29.03%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 38.71%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat tidak suka sampai

39

suka) dengan skor terbanyak 3 (agak tidak suka) sebesar 25.81%. Grafik hedonik rasa bubur instan terlihat pada Gambar 15.

Gambar 15 Grafik hedonik rasa bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penerimaan panelis. Uji lanjut Duncan hedonik rasa menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah F3, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi sebanyak 15 gram meningkatkan kesukaan panelis terhadap rasa bubur instan. Tekstur Tekstur makanan ditentukan oleh kadar air, kadar lemak, jenis dan jumlah karbohidrat terstruktur (selulosa, lignin, dan pektin). Perubahan tekstur disebabkan oleh hilangnya air atau lemak, pembentukan atau pemecahan emulsi, hidrolisis, karbohidrat polimer, dan koagulasi atau hidrolisis protein (Fellow 1992). Berdasarkan hasil uji mutu hedonik tekstur bubur instan menurut Gambar 16 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat encer sekali sampai sangat kental sekali) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak kental) sebesar 19.35%. Bubur instan kontrol negatif atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian skor 1 sampai 6 (sangat encer sekali sampai kental sekali) dengan skor terbanyak pada skala 2 (encer sekali) sebesar 35.48%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 3 sampai 7 (agak encer sampai sangat kental sekali) dengan skor terbanyak 6 (kental sekali) sebesar 38.71%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 6

40

(sangat encer sekali sampai kental sekali) dengan skor terbanyak 3 (agak encer) sebesar 32.26%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 2 sampai 6 (encer sekali sampai kental sekali) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 25.81%. Grafik mutu hedonik tekstur bubur instan terlihat pada Gambar 16.

Gambar 16 Grafik mutu hedonik tekstur bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) mutu hedonik tekstur bubur instan menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap tekstur bubur instan. Uji lanjut Duncan mutu hedonik tekstur menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah BPS, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi menurunkan kekentalan bubur instan. Berdasarkan hasil uji hedonik tekstur bubur instan menurut Gambar 17 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak suka) sebesar 29.03%. Bubur instan kontrol negatifatau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 25.81%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 7 (tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 35.48 %, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 25.81%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai

41

6 (sangat tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 32.26%. Grafik mutu hedonik tekstur bubur instan terlihat pada Gambar 17.

Gambar 17 Grafik hedonik tekstur bubur instan Hasil sidik menunjukkan ragam (Lampiran 10) hedonik tekstur tepung bubur emulsi instan tidak

bahwa

penambahan

penambahan

berpengaruh nyata (P>0.05) terhadap penerimaan panelis. Hal ini menunjukkan penambahan tepung emulsi tidak mempengaruhi penerimaan panelis terhadap tekstur bubur instan. Keseluruhan Berdasarkan hasil uji hedonik keseluruhan bubur instan menurut Gambar 18 didapatkan bubur instan kontrol positif atau BRS (Bubur Pati Resisten 1 siklus) memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 5 (agak suka) sebesar 29.03%. Bubur instan kontrol atau BPS (Bubur Pati Singkong) memperoleh penilaian memperoleh skor skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak pada skala 4 (biasa) sebesar 29.03%. Bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 15 gram dengan kadar RS 5% atau F3 memperoleh skor 2 sampai 6 (tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 5 (agak suka) sebesar 32.26%, bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 30 gram dengan kadar RS 4% atau F2 memperoleh skor 1 sampai 7 (sangat tidak suka sampai sangat suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 38.71%, dan bubur instan dengan penambahan tepung emulsi 50 gram dengan kadar RS 3% atau F1 memperoleh skor 1 sampai 6 (sangat tidak suka sampai suka) dengan skor terbanyak 4 (biasa) sebesar 29.03%. Grafik hedonik keseluruhan bubur instan terlihat pada Gambar 18.

42

Gambar 18 Grafik hedonik keseluruhan bubur instan Hasil sidik ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap penerimaan panelis. Uji lanjut Duncan hedonik keseluruhan menunjukkan bahwa skor tertinggi adalah F3, sedangkan skor terendah adalah F1. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan tepung emulsi sebanyak 15 gram meningkatkan kesukaan panelis terhadap keseluruhan aspek mutu bubur instan. Penentuan formula terpilih ditentukan berdasarkan uji organoleptik bubur instan berupa uji mutu hedonik dan mutu hedonik. Bubur instan kontrol tidak dimasukkan dalam penilaian bubur instan terpilih dikarenakan bubur instan kontrol hanya digunakan sebagai pembanding dari bubur instan formula Presentase kelima bubur instan yang dipilih adalah bubur instan formula dengan tingkat kesukaan produk (5) agak suka, (6) suka, (7) sangat suka untuk uji hedonik. Berikut ini Tabel 4 menunjukkan bahwa presentase formula bubur instan yang disukai panelis berdasarkan hedonik. Tabel 4 Presentase hedonik panelis terhadap bubur instan formula Agak suka (%) Warna 22.58 Aroma 9.68 Rasa 16.13 Tekstur 32.26 Keseluruhan 16.13 Parameter F1 Suka (%) 12.90 9.68 3.23 9.68 3.23 Sangat suka (%) 0 0 0 0 0 Agak suka (%) 12.90 22.58 9.68 25.81 16.13 F2 Suka Sangat (%) suka (%) 9.68 0 6.45 0 3.23 0 9.68 0 6.45 3.23 Agak suka (%) 25.81 22.58 16.13 6.45 32.26 F3 Suka (%) 19.35 16.13 25.81 29.03 22.58 Sangat suka (%) 0 3.23 3.23 3.23 0

Hasil presentasi hedonik bubur instan formula menunjukkan bahwa sebagian panelis sangat menyukai bubur instan F3. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian kecil presentase pada bubur instan F3 untuk kategori sangat suka sebesar

43

3.23% untuk masing-masing parameter aroma, rasa, dan tekstur. Panelis lebih menyukai bubur instan F3 sebesar 19.35% dan secara keseluruhan panelis lebih menyukai bubur instan F3 sebesar 22.58% daripada bubur instan F1 maupun F2. Berdasarkan uji hedonik bubur instan maka bubur instan terpilih atau yang paling disukai panelis adalah bubur instan F3. Uji mutu hedonik meliputi warna dengan nilai (5) putih kekuningan, (6) putih gading; aroma dengan nilai (5) agak harum, (6) harum, dan (7) sangat harum; rasa dengan nilai (5) agak manis, (6) manis, (7) manis sekali; tekstur dengan nilai (5) agak kental, (6) kental sekali, dan (7) sangat kental sekali. Tabel 5 menunjukkan presentase mutu hedonik panelis terhadap bubur instan formula. Tabel 5 Presentase mutu hedonik panelis terhadap bubur instan formula Parameter Putih Kekuningan(%) Putih gading (%) Putih susu (%) Agak harum (%) Harum (%) Sangat harum (%) Agak Manis (%) Manis (%) Sangat manis (%) Agak Kental (%) Kental (%) Sangat Kental (%) F1 6.45 0 0 12.90 9.68 3.23 29.03 6.45 9.68 22.58 16.13 0 F2 22.58 12.90 3.23 32.26 6.45 0 38.71 9.68 6.45 29.03 6.45 0 F3 32.26 12.90 0 22.58 9.68 0 22.58 25.81 3.23 25.81 38.71 9.68

Warna

Aroma

Rasa

Tekstur

Presentase panelis terhadap bubur instan formula berdasarkan parameter warna menunjukkan bahwa sebanyak 32.26% panelis memilih warna putih kekuningan pada bubur instan F3. Namun, presentase panelis terhadap aroma bubur instan formula yang sangat harum adalah bubur instan F1 sebesar 3.23%. Presentase panelis terhadap rasa sangat dari bubur instan formula adalah bubur instan F1 sebesar 9.68%, sedangkan parameter tekstur bubur instan formula yang sangat kental adalah bubur instan F3 sebesar 9.68%. Berdasarkan uji mutu hedonik bubur instan maka bubur instan terpilih atau yang paling disukai panelis adalah bubur instan F3. Karakteristik Fisikokimia Pati dan Tepung Bubur Instan Karakteristik fisikokimia pati dan tepung bubur instan yang diamati adalah pola gelatinisasi pati, pengamatan granula pati, derajat putih pati dan tepung bubur instan, dan densitas kamba pada pati dan tepung bubur instan. Pola gelatinisasi dilakukan untuk melihat perbedaan suhu gelatinisasi dan viskositas

44

pati pada ketiga jenis pati yang berbeda dari segi pengolahan. Suhu dan viskositas yang teramati dari pola gelatinisasi berguna dalam proses pengolahan bubur instan. Pengamatan granula pati dilakukan pada pati singkong (PS), pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) untuk melihat perbedaan granula pati akibat proses pengolahan. Pengamatan granula pati berguna dalam proses pengolahan bubur instan karena sifat birefringence dan amilosanya teramati. Densitas kamba dan derajat putih merupakan beberapa parameter kualitas mutu pada pati instan dan tepung bubur instan. Densitas kamba berguna untuk mengetahui seberapa tahan lama rasa cepat kenyang dari pati dan tepung bubur instan yang digunakan dalam penelitian ini dan berguna dalam pengemasan produk bubur instan. Derajat putih berguna untuk melihat kualitas pati dan tepung bubur instan terbaik dari segi warna. Pola Gelatinisasi Pola gelatinisasi pati singkong dan pati singkong resisten dipelajari dengan mengukur sifat-sifat amilografi sampel dengan menggunakan alat Brabender viscoamylograph OHG Duisburg Type 800121. Pengamatan

dilakukan terhadap suhu gelatinisasi, suhu saat viskositas maksimum, dan viskositas maksimum. Pola gelatinisasi yang berbeda antar masing-masing sampel terjadi karena perbedaaan amilosa. Charles et al. (2005) melaporkan bahwa pati yang memiliki kandungan amilosa yang berbeda akan memiliki sifat fungsional yang berbeda, antara lain suhu gelatinisasi dan viskositas. Oleh karena itu pada penelitian ini, pola gelatinisasi sampel pati singkong dan pati singkong resisten berhubungan dengan kadar amilosa yang dikandungnya. Hasil pengukuran sifat amilografi pati singkong dan pati resisten singkong disajikan Tabel 6. Tabel 6 Sifat amilografi sampel Suhu Viskositas viskositas Sampel maksimum maksimum (BU) (C) PS 69.5 78.5 1367 RS 1 63.7 3594 RS 3 50.2 5864 Suhu gelatinisasi pati singkong (PS) yaitu 69.5C, sedangkan suhu Suhu gelatinisasi awal (C) puncak gelatinisasinya adalah 78,5C. Menurut SNI (1992) dalam Widowati (2000) menyebutkan bahwa suhu gelatinisasi pati singkong adalah 84C dalam

45

waktu sekitar 23 menit. Hal ini mengindikasikan bahwa pati singkong (PS) dalam penelitian ini lebih mudah tergelatinisasi daripada pati singkong pada umumnya. Suhu gelatinsasi yang rendah menunjukkan bahwa hidrasi atau pengikatan air pada pati singkong (PS) lebih mudah terjadi. Perbedaan suhu gelatinisasi sampel pati singkong (PS) terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) tidak terdeteksi memiliki suhu gelatinisasi awal seperti pati singkong (PS). Pati resisten singkong telah mengalami fase gelatinisasi dan retrogradasi saat proses pembuatannya sehingga fase gelatinisasinya telah terlampaui. Suhu viskositas maksimum dari pati singkong (PS) hingga pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) mengalami penurunan. Hal tersebut membuktikan bahwa proses modifikasi autoclaving-cooling cycling menyebabkan penurunan suhu viskositas maksimum pati sehingga pati yang dimodifikasi dengan pemanasan suhu tinggi akan lebih cepat tercapai suhu viskositas maksimumnya. Viskositas maksimum yang dapat dicapai oleh pati disebut juga viskositas puncak, sedangkan suhu viskositas maksimum adalah suhu saat pati mencapai viskositas maksimum. Viskositas maksimum tertinggi adalah pati singkong resisten 3 siklus (RS 3). Hal ini mengindikasikan bahwa pemecahan granula pati lebih cepat terjadi pada pati singkong resisten. Semakin besar viskositas pati, maka semakin tinggi pula kemampuan granula pati dalam menghidrasi. Hal ini terlihat dari penambahan air pada bubur pati singkong resisten. Perbedaan viskositas maksimum antara pati singkong dan pati singkong resisten terjadi karena perbedaan kadar amilosa. Charles et al. (2005) menyatakan bahwa semakin tinggi kadar amilosa maka viskositas maksimum pati akan semakin tinggi. Kadar amilosa pati singkong hanya 20.12% (bk) sedangkan pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) 24.22 % (bk) dan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) 26.14 %bk. Semakin tinggi kadar amilosa dalam pati, maka semakin besar viskositas atau kekentalan patinya. Pengamatan Granula Pati Pengamatan terhadap granula pati bertujuan untuk mengetahui karakter bentuk dan ukuran granula pati, serta kondisi granula setelah dilakukan proses modifikasi dengan autoclaving-cooling. Hal ini diperlukan untuk memperkuat analisis sifat pasta pati. Pengamatan granula ini dilakukan menggunakan Light Polarized Microscope (mikroskop terpolarisasi cahaya) dengan menghitung

46

jumlah garis (rentang tiap garis berukuran 10 m) yang melewati pati untuk mengetahui ukuran granula pati. Berdasarkan hasil pengamatan visual hasil pemotretan dengan

menggunakan mikroskop terpolarisasi cahaya yang dilakukan perbesaran 200 hingga 400 X menunjukkan bahwa bentuk granula pati singkong adalah bulat dan poligonal sama halnya dengan penelitian Juliana (2007). Ukuran diameter pada pati singkong pada penelitian Juliana (2007) bervariasi dari 4-35 m dan rata-rata 20 m. Ukuran pati singkong yang terlihat dalam penelitian ini berkisar antara 30-50 m. Perbedaan ukuran dapat disebabkan oleh botani umbi singkong yang digunakan dalam penelitian. Gambar 19 menunjukkan granula pati singkong alami sebelum pemanasan.

Gambar 19 Granula pati singkong sebelum pemanasan perbesaran 400 X Menurut French (1984) yang diacu dalam Pangestuti (2010), indeks granula pati dipengaruhi oleh struktur molekul amilosa di dalam pati. Bentuk heliks dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Sifat birefringence ini akan hilang bila pati sudah tergelatinisasi. Granula pati yang ditunjukkan pada gambar 19 menunjukkan warna merah biru yang jelas dan bentuk granula yang utuh, warna merah biru yang jelas merupakan representasi dari indeks bias refraksi granula yang disebut sifat birefringence. Hal ini menunjukkan proses pembuatan pati singkong tidak menyebabkan granula berubah atau mengalami gelatinisasi. Mikroskop cahaya terpolarisasi selain untuk mengamati bentuk dan ukuran granula pati, juga bermanfaat untuk mengamati kondisi proses dan modifikasi pati. Pati yang termodifikasi menunjukkan granula sudah

tergelatinisasi baik parsial maupun sempurna. Kondisi granula pati singkong termodifikasi dapat dilihat pada Gambar 20.

47

(a)

(b) Gambar 20 Granula pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) 400X (a); Granula pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) 200X (b) Gambar 20 (a) memperlihatkan pada perlakuan suhu pemanasan 80C hingga 121C terjadi gelatinisasi parsial pada granula pati, sebagian granula telah tergelatinisasi dan sebagian lain granula masih tetap utuh yang ditunjukkan dengan masih adanya sifat birefringence yang teramati. Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) masih agak terlihat jelas sifat birefringence daripada pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) pada Gambar 20 (b). Hal ini mendukung hasil analisis pasta pati yang telah dipaparkan Anggraini (2007) bahwa pemanasan awal pada suhu tersebut membuat granula pati tergelatinisasi sebagian atau parsial dan pemanasan dengan autoklaf tidak membuat semua amilosa keluar dan tergelatinisasi sempurna. Namun, semakin tinggi modifikasi siklus yang dihasilkan akan meningkatkan jumlah amilosa yang keluar sehingga pati tergelatinisasi sempurna.

48

Pati bagian atas tergelatinisasi selama proses autoclaving dan menutupi pati bagian bawah dari penetrasi air sehingga menghambat gelatinisasi pati dan penetrasi panas pada pati bagian bawah. Hal ini didukung pernyataan Liu et al. (2000) bahwa pemanasan dengan autoklaf akan membuat pati yang telah tergelatinisasi di bagian atas menjadi penghambat penetrasi air ke dalam pati yang berada di bagian bawahnya yang menghambat gelatinisasi.

Derajat putih
Warna merupakan salah satu parameter penting yang mempengaruhi suatu mutu produk pangan. Salah satu parameter yang digunakan untuk melihat kualitas warna pada pati adalah derajat putih. Alat untuk mengukur derajat putih adalah Whiteness Meter Model C100 dengan kalibrasi alat MgO filter biru 81.6. Derajat putih pati ditentukan dengan mengukur perbandingan sinar yang dipantulkan oleh permukaan pati dengan sinar yang dipantulkan oleh permukaan bahan berwarna putih (MgSO4). Setiap jenis pati memiliki derajat putih yang berbeda-beda. Menurut Meyer (1960) dalam Mulyandari (1992), derajat putih sangat dipengaruhi oleh proses ekstraksi pati. Semakin murni proses ekstraksi pati, maka pati yang akan dihasilkan akan semakin putih. Jika proses ekstraksi pati dilakukan dengan baik maka semakin banyak komponen pengotor yang hilang bersama air pada saat pencucian pati. Secara umum, nilai derajat putih pati singkong (PS) sebesar 96.48% telah memenuhi SNI 01-3451-1994 baik pada kategori I minimal 94.5%, maupun mutu II yaitu minimal 92%, dan mutu II yaitu kurang dari 92%. Pati singkong resisten 1 silklus (RS 1) memiliki derajat putih sebesar 76.18%, sedangkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) sebesar 56.4%. Pati singkong resisten 3 siklus memiliki derajat putih yang lebih rendah daripada 1 siklus. Hal ini disebabkan alat pengering dan penggilingan yang jarang dibersihkan serta pembuatan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) yang tidak bersamaan dengan pati resisten 1 siklus (RS 1). Pati singkong resisten telah mengalami proses pembuatan dan ekstraksi pati yang cenderung dapat terkontaminasi dengan komponen pengotor, seperti air yang digunakan dalam gelatinisasi pati, sedangkan pati singkong berasal dari produk industri yang telah meminimalisasi komponen pengotor dalam pembuatannya. Pati singkong (PS), pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) selanjutnya diolah

49

menjadi tepung bubur instan. Berikut ini grafik persentase derajat putih tepung bubur instan terlihat pada Gambar 21.

Gambar 21 Grafik persentase derajat putih tepung bubur instan Berdasarkan hasil tersebut, tepung bubur pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) memiliki derajat putih tertinggi sedangkan derajat putih terendah adalah tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3). Hal ini menunjukkan bahwa tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) merupakan tepung bubur instan terbaik dari segi warna. Pati singkong yang dijadikan sebagai bahan baku tepung bubur instan telah melalui proses gelatinisasi melalui pemanasan dan pengeringan menggunakan drum dryer sehingga warna pati menjadi lebih pudar atau putih pucat. Tepung bubur instan formula terpilih (F3) menggunakan tepung emulsi yang merupakan campuran dari putih telur, minyak nabati dan isolat protein kedelai. Tepung bubur instan formula terpilih (F3) memiliki derajat putih yang rendah karena warna tepung ini adalah kuning kehijauan yang berasal dari isolat protein kedelai. Tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) memiliki derajat putih lebih rendah daripada tepung bubur instan formula terpilih (F3). Hal ini disebabkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) terkontaminasi dengan alat penggiling pada saat pengolahannya. Alat penggilingan pati resisten digunakan pula untuk pembuatan bahan lain yang warna bahannya tidak hanya berwarna putih.

Densitas Kamba
Densitas kamba berfungsi sebagai salah satu indikator mudah atau tidaknya bahan pangan instan untuk dikemas secara otomatis dan indikator besar atau kecilnya kemasan yang diperlukan untuk membungkus produk pangan. Berdasarkan segi pengolahan dan teknologi pangan, semakin besar

50

nilai densitas kamba, maka kemasan yang dibutuhkan untuk membungkus produk akan semakin besar. Nilai densitas kamba dinyatakan besar apabila mendekati 1 (Kusumah 2008). Densitas kamba yang rendah merupakan salah satu indikator kemampuan bahan pangan untuk menyerap air yang besar. Kemampuan menyerap air yang besar ini akan membuat rasa cepat kenyang pada saat mengonsumsi. Hasil pengukuran densitas pada pati singkong dan pati singkong resisten terlihat pada Gambar 22.

Gambar 22 Grafik persentase denistas kamba pati Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) memiliki daya larut yang lebih tinggi daripada pati singkong (PS) dan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3). Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) lebih mudah dikemas daripada kedua jenis pati lainnya. Kemampuan menyerap air yang rendah pada pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) akan membuat rasa cepat kenyang lebih tahan lama. Metode pengeringan turut mempengaruhi densitas kamba suatu produk. Pembuatan pati modifikasi singkong menggunakan drum dryer sebagai pengering dengan penggunaan drum ganda yang puncaknya parallel sehingga bahan yang dikeringkan akan membentuk flat atau lapisan tipis. Suhu tinggi dalam drum dryer membuat pemutusan rantai cabang pati singkong sehingga meningkatkan kadar amilosa yang dapat meningkatkan kelarutan. Pati singkong resisten memiliki kapasitas ruang yang lebih rendah dalam penyerapan air daripada pati singkong. Hasil pengukuran densitas kamba tepung bubur pati singkong resisten terlihat di Gambar 23.

51

Gambar 23 Grafik persentase densitas kamba tepung bubur instan Densitas kamba tepung bubur instan yang tertinggi adalah tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) sebesar 0.46 g/ml, sedangkan yang tertinggi adalah tepung bubur pati singkong (BPS) sebesar 0.15 g/ml. Hal ini menunjukkan bahwa tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) akan memberikan rasa kenyang yang lebih lama saat dikonsumsi daripada ketiga bubur instan lainnya. Namun, kemasan yang digunakan untuk membungkus tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) paling besar diantara ketiga bubur instan lainnya.

Pengaruh Pengolahan tehadap Karakteritik Kimiawi Pati dan Tepung Bubur Instan Parameter utama dalam penelitian ini adalah menganalisis pengaruh pengolahan yaitu modifikasi autoclaving-cooling cycling terhadap karakteristik kimia pati dan bubur instan berupa kandungan amilosa, amilopektin, total pati, kadar pati resisten, dan daya cerna pati. Amilosa, Amilopektin, dan Total Pati Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin (Winarno 2004). Pati singkong mengandung 83% amilopektin yang mengakibatkan pasta yang terbentuk menjadi bening dan kecil kemungkinan untuk terjadi retrogradasi (Friedman 1950, Gliksman 1969 dikutip Odigboh 1983 dalam Chan 1983). Kandungan amilosa dalam pati digolongkan menjadi empat kelompok yaitu kadar amilosa sangat rendah <10%, kadar amilosa rendah 10-19%, kadar amilosa sedang 20-24%, dan kadar amilosa tinggi >25% (Aliawati 2003).

52

Berdasarkan hasil analisis amilosa yang terlihat pada Gambar 23, pati singkong resisten 1 siklus mengandung amilosa yang lebih tinggi daripada pati singkong. Pati singkong mengandung amilosa sebesar 20.12% (bk), sedangkan pati singkong resisten 1 siklus (RS1) dan 3 siklus (RS 3) masing-masing mengandung amilosa sebesar 24.22% (bk) dan 26.14% (bk). Pati singkong mengandung amilosa sebesar 17% (Friedman 1950, Gliksman 1969 dikutip Odigboh 1983 dalam Chan 1983) sehingga kandungan amilosa pati singkong pada penelitian ini lebih tinggi dari pernyataan Friedman (1950) dan Gliksman (1969). Namun, hasil tersebut sedikit lebih rendah dari penelitian Juliana (2007) yaitu amilosa pada pati singkong sebesar 27.32% (bk) dan pati singkong resisten sebesar 26.54% (bk). Hal ini diduga perbedaan botani singkong dan pengolahan modifikasi dalam pembuatan pati singkong resisten. Kandungan amilosa masingmasing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 24.

Gambar 24 Grafik persentase amilosa pati dan tepung bubur instan Berdasarkan Aliawati (2003) kandungan amilosa tepung bubur instan formula terpilih (F3) tergolong rendah dan paling rendah diantara pati dan tepung bubur instan lainnya. Kandungan amilosa paling tinggi adalah pati singkong resisten 3 dan tergolong dalam kadar amilosa tinggi. Proses autoclaving meningkatkan kadar amilosa pati singkong resisten disebabkan oleh degradasi amilosa rantai panjang menjadi amilosa rantai pendek yang berakibat meningkatnya kandungan amilosa (Shin 2004). Amilosa yang dengan rantai 1,4 -gikosidik yang tidak bercabang menyebabkan ikatan amilosa lebih kuat sehingga sulit digelatinisasi dan pati sulit dicerna (Parker 2003). Kandungan amilosa pada suatu bahan berbanding lurus dengan kadar pati resisten dan berbanding terbalik dengan dengan daya cerna pati bahan tersebut. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati semakin sulit dicerna sehingga daya cerna pati menjadi rendah.

53

Molekul amilopektin menentukan kemudahan untuk dicerna. Amilopektin merupakan polimer pati selain amilosa yang memiliki struktur bercabang yang dapat mengganggu rekristalisasi dan linearisasi amilopektin dapat meningkatkan pembentukan pati resisten (Sajilata et al. 2006). Kandungan amilopektin diperoleh dengan cara menghitung selisih antara kadar total pati dengan amilosa. Kadar amilopektin paling tinggi sebesar 71.03% (bk) pada pati singkong (PS), sedangkan amilopektin terendah adalah tepung bubur pati singkong resisten formula terpilih (F3) sebesar 33.32% (bk). Hal ini menunjukkan bahwa pati singkong paling mudah untuk dicerna. Hasil analisis kandungan amilopektin dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan kadar total pati, amilosa, dan amilopektin Sampel Pati singkong Pati resisten 1 siklus Pati resisten 3 siklus Bubur pati singkong Bubur pati resisten singkong 1 siklus Bubur pati resisten terpilih Bubur pati resisten singkong 3 siklus Total pati %bk 91.15 80.79 68.90 85.44 80.97 44.70 65.96 Amilosa %bk 20.12 24.22 26.14 24.80 16.48 11.38 25.25 Amilopektin %bk 71.03 56.57 42.76 60.64 64.49 33.32 40.71

Penentuan total pati menggunakan metode Luff Schrol (AOAC 1995) adalah metode tidak langsung dengan menggunakan parameter kandungan glukosa pada bahan. Penetapan kadar pati dengan metode Luff Schoorl didasarkan pada prinsip gula-gula pereduksi. Gula-gula pereduksi dapat mereduksi Cu2+ menjadi Cu+ Kadar gula dapat ditentukan melalui selisih antara blanko dengan dengan hasil reduksi Cu2+. Berikut ini Gambar 25 grafik presentasi total pati dan tepung bubur instan.

Gambar 25 Grafik persentase total pati pada pati dan tepung bubur instan

54

Berdasarkan hasil analisis total pati pada Gambar 25, kadar total pati pada pati singkong (PS) adalah 91.15% (bk) paling tinggi diantara pati singkong resisten dan tepung bubur instan pati singkong maupun tepung bubur pati singkong resisten. Hasil tersebut lebih tinggi dari pernyataan Liu (2005) dalam Cui (2005) yaitu kandungan pati dalam singkong adalah 90% (bk). Kandungan total pati pada tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) adalah 80.79% (bk), sedangkan total pati pada tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) adalah 68.9% (bk). Pati yang terdapat pada pati singkong resisten telah berkurang disebabkan suhu tinggi saat autoclaving. Semakin tinggi suhu pemanasan, pati singkong akan lebih cepat terdegradasi. Pati singkong resisten 1 siklus dibuat dengan 1 kali proses autoclaving, sedangkan pati singkong resisten 3 siklus dibuat dengan proses autoclaving sebanyak 3 kali pengulangan sehingga kandungan patinya paling rendah diantara semua perlakuan. Hal ini

membuktikan bahwa proses autoclaving yang berulang membuat ikatan pati terhidrolisis dan menyebabkan kandungan pati berkurang. Tepung bubur instan pati singkong menggunakan pati yang telah tergelatinisasi sehingga telah melewati pemanasan pada saat pengolahan yaitu 80C sehingga kandungan pati total pada bubur pati singkong lebih rendah daripada pati singkong alaminya. Hal tersebut dilakukan untuk instanisasi produk dan pematangan bahan baku yang siap konsumsi. Namun, kadar total pati pada tepung bubur instan pati resisten tidak jauh berbeda dengan pati resistennya karena pati resisten yang digunakan dalam pembuatan bubur instan adalah pati resisten itu sendiri. Tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3) memiliki total pati paling rendah diantara semua perlakuan yaitu 44.7% (bk). Hal ini disebabkan penambahan tepung emulsi dalam produk sehingga persentase pati resisten dalam tepung bubur instan pati resisten formula terpilih adalah terendah yaitu 75% dari bobot keseluruhan. Interaksi pati resisten dengan protein dipercaya dapat mengurangi kandungan pati resisten pada pati kentang yang ditambahkan albumin saat proses autoklaf dan didinginkan pada suhu -20C (Sajilata et al. 2006). Kadar Pati Resisten Penggunaan produk kaya akan serat pangan sebagai bahan pensubtitusi tepung konvensional dalam pembuatan produk makanan diketahui secara

55

signifikan mengurangi mutu sensori dan daya terima produk yang dihasilkan sehingga pati resisten diharapkan dapat memperbaiki tekstur, penampakan dan mouth feel produk pangan yang dihasilkan (Sajilata et al. 2006). Pati resisten dalam penelitian ini diolah menjadi tepung bubur instan. Tepung bubur instan yang dianalisis terdiri dari tepung bubur pati singkong yang telah tergelatinisasi, tepung bubur pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) dan 3 siklus (BRS 3), serta tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3). Pati resisten yang dibuat dalam penelitian ini merupakan pati resisten hasil modifikasi fisik melalui proses autoclaving dan retrogradasi pati. Pati resisten yang dihasilkan dari proses ini adalah pati resisten tipe III. Menurut Leu et al. (2003) yang diacu dalam Satriawan (2010) pati resisten tipe III terdiri atas pati teretrogradasi yang terbentuk saat bahan pangan yang mengandung pati dimasak dan didinginkan. Pati singkong dimasak dengan pemanasan melalui proses autoclaving dan pendinginan melalui cooling. Hasil kadar pati resisten pati dan bubur instan dapat dilihat pada Gambar 26.

Gambar 26 Grafik persentase kadar pati resisten pada pati dan tepung bubur instan Pati singkong tanpa perlakuan modifikasi mengandung kadar pati resisten sebesar 5.59% (bk). Hasil ini lebih tinggi dari kadar pati resisten hasil penelitian Juliana (2007) sebesar 4.33% (bk). Kandungan pati resisten tipe III dalam bahan makanan secara alami pada umumnya rendah. Kemungkinan pati yang terukur pada pati singkong tanpa perlakuan modifikasi didominasi pati resisten tipe II. Pati resisten tipe II (RS II) terdiri atas granula pati yang secara alami sangat resisten terhadap pencernaan oleh enzim -amilase (Leu et al. 2003 dalam Satriawan 2010).

56

Kadar pati resisten tepung bubur instan dari pati singkong tergelatinisasi (PS), pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) dan 3 siklus (BRS 3), serta pati singkong resisten formula terpilih (F3) masing-masing adalah 4.46% (bk), 7.09% (bk), 8.00% (bk) dan 5.60% (bk). Kadar pati resisten pada tepung bubur pati singkong (BPS) adalah yang paling rendah dari semua perlakuan. Hasil tersebut sama dengan kadar pati resisten pada pati singkong (PS) alaminya yang juga paling rendah diantara pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3). Tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3) memiliki kandungan pati resisten yang sedikit lebih tinggi daripada tepung bubur instan pati singkong (BPS) disebabkan bahan baku pati resisten pada produk, sedangkan pada tepung bubur instan pati singkong (BPS) hanya pati singkong yang tergelatinisasi. Persentase pati resisten yang lebih tinggi pada produk turut mempengaruhi kadar pati resistennya. Pati resisten tipe III (RS III) merupakan pati resisten yang paling banyak digunakan sebagai bahan baku pangan fungsional. Jumlah pati resisten tipe III yang rendah secara alami pada makanan dapat ditingkatkan melalui modifikasi baik secara fisik, enzimatis, maupun kimiawi. Kadar pati resisten yang dihasilkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) dengan waktu gelatinisasi 15 menit lebih tinggi yaitu sebesar 10.50% (bk) dibandingkan kadar pati resisten pada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dengan waktu gelatinisasi 30 menit sebesar 7.28% (bk). Hasil tersebut menunjukkan bahwa pengulangan siklus dalam pembuatan pati singkong resisten metode autoclaving-cooling meningkatkan kadar pati resisten. Semakin tinggi pengulangan siklus pada proses modifikasi maka akan meningkatkan kadar pati resisten bahan. Hasil kadar pati resisten pada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) lebih tinggi daripada kadar pati resisten hasil penelitian Juliana (2007) sebesar 6.52% (bk). Selain perbedaan botani singkong yang digunakan dan suhu cooling pati singkong resisten saat modifikasi turut mempengaruhi kadar pati resisten yang dihasilkan. Pati singkong termodifikasi dibuat dengan metode autoclavingcooling dengan cara mensuspensikan pati dengan air 1:4 dan dimodifikasi 1 siklus serta 3 siklus dengan waktu gelatinisasi masing-masing 30 menit dan 15 menit pada suhu 121C (Lehnmann 2003). Hal-hal yang mempengaruhi kadar pati resisten yang terbentuk adalah (1) rasio amilosa:amilopektin pada pati, amilosa yang lebih tinggi dapat meningkatkan kadar pati resisten, (2) rasio pati:air dalam pembuatan pati resisten, (3) proses pemanasan yang dilakukan,

57

(4) banyaknya siklus pada proses modifikasi, dan (5) suhu autoclaving (Sajilata et al. 2006). Kadar pati singkong resisten yang dihasilkan dalam penelitian ini lebih rendah daripada kadar pati resisten pada pati garut pada penelitian Anggraini (2007). Kadar pati resisten pada pati garut termodifikasi dengan perlakuan autoclaving cooling 3 siklus adalah 10.91% (bk), sedangkan kadar pati singkong resisten 3 siklus adalah 10.5% (bk). Hal ini disebabkan karena kandungan amilosa pada pati garut lebih tinggi daripada pati singkong. Pati resisten tidak dapat terhidrolisis di usus halus dalam waktu 120 menit setelah konsumsi, tetapi langsung difermentasi di kolon (Zaragoza et al. 2010). Hal tersebut disebabkan pati resisten yang melalui tahapan autoclaving yaitu pemanasan dengan air pada suhu tinggi atau gelatinisasi meningkatkan daya cerna pada enzim pencernaan. Namun, pati yang telah digelatinisasi kemudian didinginkan pada suhu rendah atau cooling akan menyebabkan kristalisasi sehingga resisten terhadap enzim pencernaan (Haralampu 2000). Daya Cerna Pati Analisis daya cerna pati dilakukan pada pati singkong (PS), pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3), tepung bubur instan pati singkong (BPS), tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) dan 3 siklus (BRS 3), serta tepung bubur instan pati resisten singkong formula terpilih (F3). Daya cerna pati dijadikan parameter utama dalam pengolahan bubur instan dari pati singkong resisten karena jika daya cerna pati tinggi maka kadar pati resisten pada pati tersebut rendah. Daya cerna pati juga menggambarkan kemampuan suatu enzim pemecah pati untuk menghidrolisis pati menjadi unit-unit yang lebih kecil (Prangdimurti, Palupi, & Zakaria 2007). Penentuan daya cerna pati sampel dilakukan secara in vitro dengan metode yang dikembangkan Muchtadi (1992). Sampel dihidrolisis oleh enzim -amilase menjadi unit sederhana seperti maltosa. Hasil analisis daya cerna pati in vitro pati dan tepung bubur instan dapat dilihat pada Gambar 27.

58

Gambar 27 Grafik persentase daya cerna pati dan tepung bubur instan Berdasarkan Gambar 27 terlihat bahwa daya cerna pati singkong alami lebih besar daripada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3). Hal ini menunjukkan bahwa modifikasi pati singkong menggunakan proses pengulangan siklus autoclaving-cooling mampu menurunkan daya cerna pati. Perbedaan pengolahan pati rsingkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) adalah waktu autoclaving dan suhu retrogradasi pati saat cooling. Waktu autoclaving pada pati resisten 1 siklus (RS 1) adalah 30 menit, sedangkan waktu pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) adalah 15 menit. Hal ini didasarkan pada penelitian Pratiwi (2008) bahwa waktu pemanasan 30 menit menghasilkan daya cerna pati yang lebih tinggi pada pati garut modifikasi. Suhu cooling pati resisten 1 siklus (RS 1) hanya mencapai 8C, sedangkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) mencapai 4C sehingga proses retrogradasi lebih sempurna. Pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) memiliki daya cerna pati yang lebih rendah daripada pati singkong resisten 1 siklus (RS 1). Hasil ini serupa dengan penelitian Anderson et al. (2002) bahwa pati termodifikasi dengan waktu pemanasan 30 menit menghasilkan daya cerna pati lebih tinggi dibandingkan pati termodifikasi dengan waktu pemanasan 15 menit, baik pada modifikasi 1 siklus, 3 siklus, dan 5 siklus. Penurunan daya cerna pati disebabkan siklus autoclaving-cooling karena terjadi penyusunan ulang molekul-molekul pati antara amilosa-amilosa, amilosa-amilopektin, amilopektin-amilopektin yang berakibat pada penguatan ikatan pati dan membuat pati sulit tercerna (Shin 2004). Rendahnya daya cerna pati berhubungan dengan tingginya kandungan yang tidak tercerna dalam usus halus, seperti serat pangan. Persentase daya cerna pati pada pati resisten singkong lebih besar dengan hasil analisis Juliana

59

(2007) yaitu sebesar 53.78% (bk). Hal ini disebabkan perbedaan botani singkong dan suhu cooling saat modifikasi. Pati singkong (PS), pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) kemudian diolah menjadi bubur instan. Daya cerna pati tepung bubur instan pati singkong dan tepung bubur instan pati singkong resisten lebih rendah daripada patinya. Hal ini disebabkan oleh pati singkong yang diolah menjadi bubur instan telah mengalami proses gelatinisasi sehingga terjadi proses pemanasan yang menyebabkan ikatan amilosanya lebih banyak. Tepung bubur instan pati singkong resisten memiliki daya cerna yang lebih rendah disebabkan bahan baku penyusunnya berupa pati resisten 1 siklus dan 3 siklus. Namun, penambahan tepung emulsi (isolat protein kedelai, putih telur, dan minyak nabati) meningkatkan daya cerna pati pada bubur pati resisten formula terpilih. Hal ini disebabkan isolat protein kedelai merupakan ekstrak kedelai dapat meningkatkan daya cerna bubur pati resisten singkong. Isolat protein kedelai mengandung seluruh asam amino yang dibutuhkan manusia. Putih telur juga mengandung protein yang dapat terkoagulasi bila dipanaskan sehingga meningkatkan daya cerna bubur pati resisten singkong.

Kandungan Gizi Pati Analisis kandungan gizi pati dilakukan pada pati singkong (PS), pati resisten singkong 1 siklus (RS 1) dan 3 siklus (RS 3) berupa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat by difference, kadar serat pangan. Hasil analisis kandungan gizi pati disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Kandungan gizi pati singkong, pati singkong resisten 1 siklus dan 3 siklus Komposisi PS RS 1 RS 3 Kadar air (%bb) 15.46 7.46 7.62 Kadar abu (%bk) 0.30 0.28 0.78 Kadar protein (%bk) 0.34 0.31 0.39 Kadar lemak (%bk) 0.73 1.64 2.15 Kadar karbohidrat (%bk) 98.63 97.77 96.68 Kadar air Kadar air merupakan banyaknya air yang terkandung dalam suatu bahan. Pengukuran kadar air menggunakan metode pemanasan dengan oven (AOAC 1995). Sampel ditimbang dalam wadah kemudian dipanasakan di oven hingga dicapai bobot konstan. Pemanasan dilakukan hingga 19 jam untuk mendapatkan

60

bobot konstan dari sampel. Penghitungan kadar air dinyatakan dengan kehilangan bobot sampel. Pati singkong atau tapioka dengan merk TUGU TANI merupakan pati singkong (PS) putih dengan kadar air rataan sebesar 15.05% (bb). Pati singkong termodifikasi atau pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) memiliki kadar air rataan sebesar 7.46% (bb), sedangkan kadar air pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) 7.62% (bb). Kadar air pati singkong resisten lebih rendah daripada pati singkong dikarenakan pati telah mengalami proses pengeringan saat modifikasi pati melalui drum dryer dengan suhu tinggi (80C). Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang tapioka atau pati singkong memiliki kadar air maksimal 15% sehingga data pati singkong merk TUGU TANI yang memiliki sebesar 15.05% telah sesuai dengan SNI. Kadar abu Pengukuran kadar abu dilakukan dengan metode pengabuan kering. Pengabuan kering adalah pembakaran sampel pada suhu tinggi (550C) pada tanur. Wadah yang digunakan untuk pengabuan harus tahan terhadap suhu tinggi (550C) yaitu cawan porselen. Sebelum digunakan cawan harus dibersihkan dan dibakar terlebih dahulu untuk menghindari adanya kemungkinan interaksi mineral dengan bahan yang akan mengacaukan hasil analisis. Pati singkong atau tapioka dengan merk TUGU TANI merupakan pati singkong putih dengan kadar abu rataan sebesar 0.3% (bk). Hal ini sesuai dengan Nielsen (2003) yang menyebutkan bahwa kadar abu dalam pati murni 0.3%. Pati singkong termodifikasi atau pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) memiliki kadar abu rataan sebesar 0.28% (bk), sedangkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) memiliki kadar abu sebesar 0.78% (bk). Kadar abu pati singkong resisten singkong 3 siklus (RS 3) lebih tinggi daripada pati singkong (PS) dikarenakan pati resisten memiliki kandungan organik yang lebih tinggi daripada pati singkong. Berdasarkan SNI 01-3451-1994 tentang tapioka atau pati singkong memiliki kadar abu maksimal 0.6% (bb) sehingga data pati singkong merk TUGU TANI yang memiliki sebesar 0.3% (bk) telah sesuai dengan SNI. Kadar Protein Pati singkong atau tapioka dengan merk X merupakan pati singkong (PS) putih dengan kadar protein rataan sebesar 0.34% (bk). Pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) memiliki kadar protein rataan sebesar 0.31% (bk), sedangkan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) memiliki kadar protein rataan sebesar 0.39%

61

(bk). Kadar protein pati yang rendah merupakan hal yang dikehendaki terkait dengan tujuan pembentukan pati resisten. Kadar Lemak Kadar lemak yang terdapat dalam suatu bahan dinyatakan dengan banyaknya lemak atau minyak yang terkandung dalam bahan tersebut. Pengukuran kadar lemak menggunakan metode soxhlet (AOAC 1995). Sampel dalam bahan dilarutkan dengan menggunakan pelarut organik, seperti heksana. Heksana berfungsi sebagai larutan yang melarutkan lemak dalam bahan. Semakin tinggi lemak dalam suatu bahan maka proses pengambilan lemak juga semakin lama. Sampel pati singkong dan pati resisten singkong memiliki kadar lemak yang rendah sehingga waktu pengukuran relatif singkat, yaitu 1 hingga 2 jam. Pati singkong atau tapioka dengan merk TUGU TANI merupakan pati singkong (PS) putih dengan kadar lemak rataan sebesar 0.73% (bk). Pati singkong termodifikasi atau pati singkong resisten 1 siklus (RS 1) memiliki kadar lemak rataan sebesar 1.64% (bk) dan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) 2.15% (bk). Kadar lemak pati singkong resisten dan pati singkong tergolong sangat rendah karena pati merupakan ekstrak terakhir dari pangan sumber karbohidrat seperti singkong. Namun, pati singkong resisten memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi daripada pati singkong dikarenakan dalam proses pengolahannya pati singkong termodifikasi terkontaminasi dengan alat

pengolahan yang sebelumnya pernah digunakan untuk bahan lain. Kadar Karbohidrat Karbohidrat merupakan kandungan utama yang terdapat dalam pati. Pati singkong memiliki kandungan karbohidrat sekitar 80-90% (bb). Pati singkong merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik, sedangkan pati termodifikasi atau pati resisten singkong merupakan pati singkong yang telah terlampaui fase gelatinisasinya dan fase retrogradasinya sehingga

amilopektinnya telah mengalami perpotongan cabang menjadi amilosa. Hal ini mengindikasikan semakin tinggi kandungan amilosa dalam pati, semakin rendah pula kandungan karbohidratnya. Total karbohidrat dari pati dihitung berdasarkan perhitungan by difference yaitu pengurangan 100% bahan dengan total kadar air, abu, lemak, dan protein bahan. Kandungan karbohidrat pati resisten singkong yang rendah disebabkan oleh kadar amilosa pati resisten 1 siklus (RS 1) yang tinggi yaitu sebesar 24.22%

62

(bk) dan pati sigkong resisten 3 siklus (RS 3) sebesar 26.14% (bk). Kandungan amilosa yang tinggi menyatakan bahwa serat pangannya juga lebih besar daripada pati singkong sehingga pati singkong resisten sangat baik bagi orang yang mengalami gangguan pencernaan, seperti konstipasi, obesitas, gangguan fisiologis hormon insulin (Diabetes Mellitus).

Kandungan Gizi Tepung Bubur Instan Pati singkong mengalami proses modifikasi yaitu gelatinisasi dan pengeringan. Gelatinisasi pati pada pembuatan bubur instan bertujuan untuk meningkatkan kekentalan pati, sedangkan pengeringan bertujuan untuk

mengurangi kadar air pati sehingga bubur instan yang dihasilkan lebih tahan lama. Kedua tahapan dalam pembuatan bahan bubur instan berbasis pati modifikasi singkong disebut instanisasi. Instanisasi dilakukan dengan cara memasak komponen-komponen penyusun bubur yaitu pati singkong melalui gelatinisasi yang telah berbentuk tepung sampai menjadi adonan kental atau viskositasnya meningkat. Analisis kandungan gizi dilakukan pada tepung bubur instan pati singkong (BPS), tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1), tepung bubur instan formula terpilih (F3) dan tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) berupa kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar karbohidrat by difference, kadar serat pangan. Tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) merupakan penelitian tambahan yang dilakukan untuk meningkatkan karakteristik fisikokimia, kimia, dan kandungan gizi bubur instan. Namun, tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus tidak diujikan secara organoleptik disebabkan proses pembuatan tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus dilakukan setelah uji organoleptik dan beberapa analisis fisikokimia, kimia, dan kandungan gizi pati dan tepung bubur instan pati termodifikasi Hasil analisis disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Kandungan gizi tepung bubur instan Komposisi BPS BRS 1 BRS 3 F3 Kadar air (%bb) 9.64 9.09 6.97 8.03 Kadar abu (%bk) 1.57 1.16 0.82 1.98 Kadar protein (%bk) 0.24 0.5 0.56 17.45 Kadar lemak (%bk) 0.94 1.83 2.08 2.34 Kadar karbohidrat (%bk) 97.25 96.51 96.57 78.23

63

Kadar air Pengukuran kadar air dilakukan hanya pada tepung bubur instan kontrol, tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus dan tepung bubur instan formula terpilih dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh pengolahan terhadap kadar air. Berdasarkan hasil analisis diperoleh data bahwa kadar air tertinggi adalah tepung bubur instan pati singkong (BPS) sebesar 9.64% (bb) dan kadar air terendah adalah tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) sebesar 6.97% (bb). Bubur pati singkong terdiri dari pati singkong

tergelatinisasi, sukralosa, dan flavour essence. Pati singkong tergelatinisasi merupakan pati singkong yang telah terlewati fase gelatinisasinya dengan pemanasan dan pengeringan menggunakan drum dryer. Tepung bubur pati singkong resisten terdiri dari tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1), tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3), dan tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3). Pati singkong resisten diolah dengan menggunakan metode pemanasan suhu tinggi dan pendinginan suhu rendah (autoclaving cooling), sedangkan pati singkong tergelatinisasi hanya sampai pada tahap pemanasan suhu tinggi sehingga diduga air masih berada pada pati. Pati singkong resisten 1 siklus melewati 2 kali proses pemanasan, sedangkan pati resisten singkong 3 siklus melewati 6 kali proses pemanasan yaitu saat autoclaving dan pengeringan sehingga suhu tinggi yang diberikan pada pati membuat air semakin teruapkan. Tepung bubur pati resisten formula terpilih mengandung tepung emulsi yang diolah menggunakan spray dryer yang juga menggunakan suhu tinggi (196C) sehingga kadar air tepung emulsi rendah (9.09% bb) dan mengurangi kandungan air bubur pati resisten tinggi protein. Kadar air merupakan komponen penting dalam menentukan suatu produk pangan. Hal ini terkait dengan daya tahan bahan makanan terhadap serangan mikroba (Winarno 2004). Bahan pangan dengan kadar air tinggi akan lebih mudah mengalami kerusakan dibanding dengan bahan pangan kadar air rendah. Kadar Abu Pengukuran kadar abu dilakukan pada produk bubur pati singkong (BPS), tepung bubur pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1), tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) dan tepung bubur instan formula terpilih (F3). Berdasarkan konversi produk ke dalam basis kering hasil pengukuran menunjukkan bahwa tepung bubur pati singkong resisten formula terpilih (F3)

64

memiliki kadar abu tertinggi 1.98% (bk), sedangkan kadar abu terendah adalah tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) 0.82% (bk). Kadar abu mencerminkan jumlah mineral kasar yang terkandung dalam bahan pangan yang jumlahnya relatif stabil. Tepung bubur pati singkong resisten formula terpilih (F3) memiliki kadar abu yang besar karena jumlah karbon yang tinggi pada produk tersebut. Kadar abu dapat digunakan untuk mendeteksi pemalsuan mineral yang ada dalam bahan pangan (Nielsen 2003). Kadar Protein Analisis dilakukan pada tepung bubur pati singkong (BPS), tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1), tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) dan tepung bubur instan formula terpilih (F3). Hasil analisis kadar protein tepung bubur instan menunjukkan bahwa kadar protein terendah adalah tepung bubur instan pati singkong sebesar 0.24% (bk), sedangkan kadar protein tertinggi dimiliki oleh tepung bubur instan formula terpilih (F3) sebesar 17.45% (bk). Formulasi bubur instan pati singkong dan pati resisten singkong (1 siklus dan 3 siklus) dalam pembuatannya tidak ditambahkan tepung emulsi, sedangkan tepung bubur instan pati resisten singkong formula terpilih ditambahkan tepung emulsi. Komponen terbesar dari tepung emulsi adalah putih telur (63%) sehingga bubur instan pati singkong resisten formula terpilih memiliki kadar protein tertinggi. Putih telur mengandung komponen protein globular yaitu albumin sebesar 10.8% (DKBM 2004). Putih telur juga digunakan sebagai pembentuk daya ikat produk bubur instan atau emulsifier. Isolat protein kedelai merupakan ekstrak protein kedelai yang memiliki kandungan protein lebih dari 70% tiap 100 gram bahan. Isolat protein kedelai bebas dari lemak, karbohidrat, dan serat sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan konsentrat protein maupun tepung bubuk kedelai (Koswara 1995). Sajilata et al. (2006) menyatakan bahwa interaksi protein dan pati resisten dalam bahan pangan akan menurunkan fisiologis pati resisten. Produk hasil pengeringan menggunakan drum dryer menghasilkan kadar protein yang rendah dikarenakan suhu tinggi dan protein terdenaturasi. Pati sendiri merupakan produk akhir yang hanya mengandung karbohidrat sehingga proteinnya hampir dikatakan tidak ada.

65

Kadar Lemak Lemak merupakan salah satu komponen makro penting dari bahan pangan. Lemak merupakan trigliserida yang bersifat tidak larut air. Lemak turut mempengaruhi rasa, aroma, dan palatibilitas. Tepung bubur instan pati singkong (BPS) memiliki kadar lemak terendah sebesar 0.94% (bk), sedangkan kadar lemak tertinggi dimiliki oleh tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3) sebesar 2.34% (bk). Tepung emulsi yang digunakan sebagai emulsifier dalam tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih mengandung minyak nabati (kelapa sawit) sebesar 6.2%. Penggunaan minyak nabati disebabkan karena minyak kelapa sawit bebas kolesterol. Ineraksi lemak dan pati resisten dalam bahan pangan juga dapat menurunkan fisiologis pati resisten, namun pengaruh sebaliknya justru didapatkan jika bahan pangan yang mengandung pati resisten ditambahkan asam lemak oleat (Sajilata et al. 2006). Pengolahan tepung bubur instan pati singkong dan pati singkong resisten tidak menambahkan minyak nabati dalam formulasinya. Namun, kadar lemak bubur pati singkong resisten lebih tinggi daripada bubur pati singkong. Hal ini terjadi karena faktor produksi saat pembuatan pati resisten singkong. Alat-alat produksi yang digunakan sering digunakan dalam pembuatan produk lainnya. Kadar Karbohidrat Karbohidrat adalah komponen terbesar yang menyusun pati. Karbohidrat dihitung dengan menggunakan metode by difference yang menghasilkan perkiraan persentase karbohidrat secara keseluruhan, baik karbohidrat

sederhana maupun kompleks. Tepung bubur instan pati singkong (BPS), tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1), tepung bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3), dan tepung bubur instan formula terpilih (F3) memiliki kandungan karbohidrat masing-masing sebesar 97.25% (bk), 96.50% (bk), 96.57% (bk), dan 78.23% (bk). Kandungan karbohidrat tertinggi adalah tepung bubur instan pati singkong (BPS), sedangkan kandungan karbohidrat terendah adalah tepung bubur instan formula terpilih (F3). Hal ini disebabkan tepung bubur instan fomula terpilih (F3) memiliki kandungan protein dan lemak yang lebih tinggi daripada ketiga jenis tepung bubur instan lainnya. Penggantian 5,4% total karbohidrat dalam diet dengan pati resisten juga mengindikasikan peningkatan oksidasi lipida setelah makan sehingga dapat menurunkan akumulasi lemak dalam jangka panjang (Higgins et al. 2004).Pati

66

resisten merupakan polimer karbohidrat yang lambat dicerna dan menimbulkan efek insulinemia. Stimulasi insulin yang berlebih menimbulkan sekresi asam lemak yang lebih tinggi yang merangsang pembentukan batu empedu sehingga pati resisten menghambat pembentukan batu empedu (Sajilata et al. 2006).

Kadar Serat Pangan Secara fisiologis serat pangan didefinisikan sebagai komponen tanaman yang tidak terdegradasi secara enzimatis menjadi sub unit yang dapat diserap usus halus (Winarno 2004). Beberapa jenis pangan telah diketahui dapat dijadikan sebagai sumber serat pangan dalam diet yang terbukti pengaruhnya terhadap kesehatan atau fungsi fisiologis tubuh. Hasil analisis kadar serat pangan pati singkong terdiri dari 0.56% (bk) serat tak larut dan 1.52% (bk) serat larut, sedangkan serat pati singkong resisten 1 siklus terdiri dari 1.59% (bk) serat tak larut dan 1.57% (bk) serat larut sehingga dapat dikatakan bahwa serat pangan pati singkong resisten 1 siklus lebih tinggi daripada serat pangan pati singkong. Serat tak larut pada pati singkong resisten 3 siklus adalah 6.75% (bk), sedangkan serat larutnya adalah 2.35% (bk). Penambahan serat pangan pada pati singkong yang telah dimodifikasi merupakan indikasi terbentuknya pati resisten. Pati resisten bersifat sebagai serat pangan. Berikut ini Gambar 28 mengenai data serat pangan tidak larut dan larut % (bk) serta total serat pangan % (bk) pati singkong dan pati resisten singkong.

Gambar 28 Grafik persentase kadar serat pangan pati Serat larut dalam pati singkong dan pati singkong resisten 1 siklus lebih tinggi daripada serat tak larut, sedangkan pati resisten singkong 3 siklus memiliki

67

serat pangan tak larut lebih tinggi daripada serat larutnya. Pengulangan siklus dapat meningkatkan serat pangan hingga 6 kali lipat. Pati singkong memiliki jumlah pektin yang lebih tinggi sebagai serat larut, sedangkan pati singkong resisten 1 siklus dan 3 siklus memiliki selulosa yang lebih tinggi. Hal ini diperkuat oleh Haralampu (2000) bahwa pati resisten terukur sebagai serat tidak larut tetapi memiliki fungsi fisiologis seperti serat larut. Serat pangan yang terdapat dalam sekam serealia yaitu asam fitat akan membentuk kalsium fosfat yang tidak dapat larut dan menghambat absorpsi. Hal ini diduga karena serat menurunkan waktu transit makanan di dalam saluran cerna sehingga mengurangi waktu absorpsi kalsium. (Almatsier 2006). Pati resisten memiliki fungsi fisiologis sebagai serat pangan. Namun, pati resisten dapat meningkatkan absorpsi kalsium pada manusia. Hal ini dikarenakan jumalah asam butirat atau SCFA (short Chain Fatty Acid) yang lebih banyak dihasilkan oleh pati resisten dibandingkan serat pangan. Pati resisten mencegah degradasi lapisan mukosa usus. Lapisan mukosa berfungsi untuk melindungi selsel kolon (Hijova 2007). Tepung bubur instan yang dianalisis kadar seratnya adalah tepung bubur instan pati singkong (BPS), tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1), tepung bubur instan pati singkong resisten formula terpilih (F3), dan tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3). Hasil analisis kadar serat pangan tepung bubur instan singkong dapat dilihat pada Gambar 29.

Gambar 29 Grafik persentase kadar serat pangan tepung bubur instan Berdasarkan grafik presentase kadar serat pangan tepung bubur instan yang terlihat pada Gambar 29 menunjukkan bahwa serat tak larut yang lebih tinggi

68

daripada serat larutnya pada tepung bubur instan pati resisten 1 siklus (BRS 1) dan 3 siklus (BRS 3), serta tepung bubur instan formula terpilih (F3). Tepung bubur instan formula terpilih (F3) menunjukkan pati resisten terukur sebagai tak larut sama halnya dengan pati resisten sebagai bahan baku penyusun bubur instan. Nilai serat pangan pada bubur instan agak sedikit lebih rendah daripada patinya dikarenakan penggunaan bahan untuk bubur instan komposit sehingga kadar pati resisten sebagai bahan baku dalam bubur instan lebih rendah secara kuantitatif. Penambahan serat pangan pada tepung bubur instan formula terpilih (F3) merupakan indikasi terbentuknya pati resisten. Pati resisten bersifat sebagai serat pangan. Total serat pangan tepung bubur instan pati resisten 3 siklus (BRS 3) adalah yang tertinggi diantara bubur instan lainnya. Hal ini disebabkan serat pangan pada pati singkong resisten 3 siklus adalah yang tertinggi. Total serat pangan pada bubur instan pati singkong, bubur instan pati resisten singkong 1 siklus, bubur instan formula terpilih dan bubur instan pati singkong resisten 3 siklus berturut-turut adalah 1.16 gram/100 gram, 4.41 gram/100 gram, 4.17 gram/100 gram, dan 7.5 gram/100 gram. Oleh karena itu, tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) dan tepung bubur instan formula terpilih (F3) yang dijadikan bahan baku bubur instan dapat dikatakan sebagai sumber serat pangan dan tepung bubur instan pati resisten singkong 3 siklus (BRS 3) tinggi serat pangan. Setiap makanan memiliki kadar serat makanan yang berbeda-beda. Berdasarkan WKNPG (2004) menyatakan bahwa suatu produk pangan diklaim sebagai sumber zat gizi tertentu apabila mengandung 10-19% acuan label gizi produk pangan, sedangkan tinggi zat gizi tertentu apabila mengandung 20% acuan label gizi produk pangan. Menurut BPOM (2007) menyebutkan bahwa nilai acuan label gizi serat pangan adalah 25 gram. Total serat pangan pada tepung bubur instan pati singkong (BPS) adalah 1 gram/400 gram bubur, sedangkan total serat pangan pada bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) adalah 4.41 gram/100 gram serving size, sedangkan tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) adalah 7.5 gram/100 gram per serving size (100 gram tepung bubur instan). Oleh karena itu, tepung bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1) yang dijadikan bahan baku bubur instan dapat dikatakan sebagai sumber serat pangan karena mengandung 10.8% acuan label gizi serat pangan. Bubur

69

instan pati resisten singkong 3 siklus sebagai bahan pangan tinggi serat karena mengandung 30% acuan label gizi serat pangan. Serat tak larut pada semua tepung bubur instan lebih tinggi daripada serat larutnya. Hal ini menunjukkan bahwa proses pengolahan saat retrogradasi yang tinggi akan mengurangi serat pangan larut. Serat tak larut berfungsi memperbesar volume feses dan mempercepat pengeliminasian sehingga mengurangi transit time dan mengurangi resiko pembentukan kanker colorectal (Sardesai 2003). Namun, serat larut pada tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) tidak jauh berbeda dengan serat tak larutnya. Serat larut mempunyai efek fisiologis bagi tubuh antara lain menghambat digesti dan absorbsi karbohidrat dan lemak serta cenderung menghambat absorbsi kadar glukosa dan memperkecil kadar kolesterol plasma darah (Sardesai 2003). Kandungan Zat Gizi dan Energi Bubur Instan Perhitungan jumlah energi yang masuk ke dalam tubuh merupakan salah hal yang penting. Berdasarkan hasil analisis kimia pada tepung bubur instan maka dapat diperkirakan kandungan energinya yang disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Kandungan zat gizi dan energi bubur instan Sampel Kadar protein %bk 0.24 0.5 17.45 0.56 Kadar Lemak %bk 0.94 1.83 2.34 2.08 Kadar Karbohidrat %bk 97.25 96.51 78.23 96.57 Kandungan energi (Kal) per 400 g bubur instan 398 405 404 407 bubur

BPS BRS 1 BRS T BRS 3

Berdasarkan Tabel 10

terlihat bahwa jumlah energi yang dihasilkan

instan dari beberapa pati singkong termodifikasi tidak jauh berbeda. Produk bubur instan dari pati singkong resisten 3 siklus mempunyai energi yang paling tinggi jika dibandingkan dengan produk hasil dari pati modifikasi yang lain. Dalam satu kali bubur instan pati singkong termodifikasi tersusun dari 100 gram tepung bubur instan yang ditambahkan 300 gram air (200 gram air hangat dan 100 gram air suhu ruang). Bubur instan yang dalam penelitian ini mencukupi 20% AKG sarapan daro kebutuhan AKG sehari yaitu 2000 Kalori (Moehyi 1999). Menurut BPOM (2007) menyebutkan bahwa nilai acuan label gizi energi dalam produk pangan adalah 2000 Kalori sehingga bubur pati resisten singkong 1 siklus dan 3 siklus

70

yang dijadikan bahan baku bubur instan dapat dikatakan sebagai tinggi energi karena mengandung 20% dari acuan label gizi energi pangan. Perbandingan Harga Energi dan Serat Pangan Tepung Bubur Instan Biaya merupakan faktor penting dalam produksi suatu produk.

Perhitungan biaya juga berfungsi untuk menentukan pilihan yang ingin diperoleh dari produksi produk pangan. Analisis biaya pembuatan produk dilakukan untuk mengetahui harga jual produk bubur instan berbasis pati singkong termodifikasi. Analisis biaya pembuatan dilakukan berdasarkan harga masing-masing

komponen penyusun, peralatan yang digunakan, biaya perawatan, pekerja dan kapasitas produksi. Laba diperoleh karena produk dijual dengan harga tertentu. Harga produk bubur instan ditentukan dengan cara menjumlahkan total biaya bahan, biaya produksi, dan laba yang diharapkan yang disesuaikan dengan rendemen. Laba diasumsikan sebanyak 25% dari total biaya bahan dan biaya produksi. Perhitungan biaya produk dilampirkan pada Lampiran 11. Lampiran 11 menunjukkan total biaya pembuatan harga untuk bubur instan kontrol yaitu bubur pati singkong (BPS), bubur instan pati singkong resisten 1 siklus (BRS 1), termasuk didalamnya bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) adalah biaya bahan dasar sebesar Rp 39 222.00 dan biaya produksinya adalah Rp 5 854.70. Laba yang diharapkan adalah Rp 11 269.20 sehingga harga produk bubur instan adalah Rp 72.238,50/kg. Total biaya pembuatan harga untuk bubur instan formula terpilih adalah biaya bahan dasar sebesar Rp 30 294.40 dan biaya produksinya adalah Rp 5 854.70. Laba yang diharapkan adalah Rp 9 037.30 sehingga harga produk bubur instan formula terpilih (F3) adalah Rp 57.931,50/kg. Harga energi per kalori dan harga serat pangan instan ditunjukkan Tabel 11. Tabel 11 Harga per kalori energi dan per gram serat pangan pada pangan instan Per 100 gram Merek Kontrol (BRS 3) Formula terpilih Diabetasol Koko krunch Harga per kg (Rp) 72.238,50 57.931,10 213.889,00 73.650,00 BDD 100 100 100 100 Energi 407 404 423 300 Serat 7.5 4.17 4.2 7 Harga per kalori energi (Rp) 17.70 14.30 50.56 24.55 Harga per g serat (Rp) 963.20 1389.20 5092.59 1052.14

Berdasarkan Tabel 11 diketahui bahwa harga energi per kalori paling mahal adalah Diabetasol, sedangkan paling murah adalah tepung bubur instan kontrol

71

(BRS 3). Harga per gram serat pangan paling mahal adalah Diabetasol, sedangkan yang paling murah adalah tepung bubur instan kontrol (BRS 3) . Diabetasol merupakan produk pangan instan komersial yang memiliki efek hipokolesterolemik yang sama halnya dengan tepung bubur instan kontrol (BRS 3). Harga serat pangan dan energi yang lebih murah pada tepung bubur instan kontrol (BRS 3) daripada pangan instan komersial lainnya menunjukkan bahwa tepung bubur instan kontrol (BRS 3) layak dipasarkan sebagai pangan fungsional yang tinggi serat pangan dan tinggi energi.

72

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan Pembuatan pati singkong termodifikasi terdiri dari pati singkong tergelatinisasi dan pati singkong resisten dilakukan dengan metode autoclavingcooling yang dimodifikasi Proses modifikasi dilakukan dengan pengulangan siklus 1 kali dan 3 kali dengan waktu gelatinisasi masing-masing 30 menit dan 15 menit. Suhu cooling dan waktu cooling juga dimodifkasi dalam penelitian yaitu pada pembuatan pati singkong resisten 1 siklus adalah 8C selama 72 jam dan pati singkong resisten 3 siklus selama 24 jam. Pati singkong termodifikasi digunakan sebagai bahan utama dalam pembuatan bubur instan. Formula bubur instan yang paling disukai adalah formula bubur instan dari uji organoleptik adalah bubur instan pati singkong resisten 1 siklus dengan penambahan tepung emulsi 15 gram. Hasil analisis karakteristik fisikokimia pati dan bubur instan menunjukkan bahwa pola gelatinisasi pati singkong dan pati singkong resisten menunjukkan pola yang berbeda dikarenakan proses pengolahan autoclaving-cooling

meningkatkan kekentalan atau viskositas pati singkong dan menurunkan suhu gelatinisasi pati. Pengamatan granula pati pada pati singkong termodifikasi menunjukkan bahwa sifat birefringence semakin tidak terlihat jelas akibat degradasi amilosa yang menyebabkan pembengkakan granula saat autoclavingcooling cycling. Derajat putih paling tinggi adalah pati singkong, sedangkan produknya adalah bubur pati singkong resisten 1 siklus. Densitas kamba yang tinggi pada pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) dan tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) menyebabkan rasa kenyang yang lebih tahan lama daripada kedua jenis pati dan tepung bubur instan lainnya. Derajat putih tertinggi adalah pati singkong. Pengaruh pengolahan autoclaving-cooling pada pati singkong

termodifikasi dan tepung bubur instan pati singkong termodifikasi dilamati dari daya cerna patinya, kandungan amilosa, total pati, serta kandungan pati resisten yang terukur sebagai serat tak larut (insoluble dietary fiber). Kadar pati resisten yang tinggi berhubungan dengan daya cerna pati dan total pati yang rendah serta kandungan amilosa yang tinggi. Kadar pati resisten tertinggi adalah pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) 10.5% (bk), dengan total pati terendah 60.89% (bk) dan daya cerna pati terendah 74.62% (bk). Kandungan amilosa pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) juga tertinggi diantara 2 jenis pati yang lain,

73

yaitu 26.14% (bk). Produk bubur instannya sama dengan pati yang menjadi bahan bakunya. Hasil analisis kandungan gizi pati berupa kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar karbohidrat menunjukkan bahwa kadar air dan karbohidrat tertinggi adalah pati singkong (PS) 15.05% (bk) dan 98.63% (bk), sedangkan abu, kadar lemak, protein, pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) masing-masing sebesar 0.78% (bk), 2.15% (bk), dan 0.39% (bk). Kandungan gizi tepung bubur instan yang paling tinggi adalah karbohidrat mencapai 97.25% (bk) untuk tepung bubur pati singkong (BPS). Kadar lemak dan kadar protein yang paling tinggi adalah tepung bubur instan formula terpilih (F3) sebesar 2.34% (bk) dan 17.45% (bk). Serat pangan pati singkong termodifikasi tertinggi adalah pati singkong resisten 3 siklus sebesar tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) sebesar 9.1% (bk), sedangkan serat pangan tepung bubur instan pati singkong termodifikasinya adalah tepung bubur instan pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) sebesar 7.5% (bk). Serat pangan tidak larut (insoluble dietary fiber) lebih banyak terdapat pati singkong termodifikasi dan tepung bubur instan. Tingginya kadar serat pangan pati singkong resisten 3 siklus (RS 3) dan bubur pati singkong resisten 3 siklus (BRS 3) menyebabkan kedua bahan pangan tersebut digolongkan sebagai pangan tinggi serat karena memenuhi 30% acuan label gizi serat pangan. Kandungan energi bubur instan berbasis pati singkong resisten berkisar antara 398 Kalori hingga 407 Kalori per 400 gram bubur. Bubur instan berbasis pati singkong resisten memenuhi 20% AKG sarapan dari kebutuhan AKG sehari sehingga cocok dikonsumsi sebagai sarapan sebagai pangan tinggi energi. Harga serat pangan dan energi yang lebih murah pada BRS 3 daripada pangan instan komersial lainnya menunjukkan bahwa bubur instan kontrol (BRS 3) layak dipasarkan sebagai pangan fungsional. Saran Daya terima bubur instan masih kurang disukai daripada produk bubur instan pada umumnya sehingga diharapkan terdapat penelitian lanjutan untuk meingkatkan daya terima bubur instan berbasis pati singkong resisten tanpa mengurangi efek fisiologis pati resistennya. Produk bubur instan berbasis pati pati singkong resisten melalui proses pengulangan siklus perlu ditingkatkan agar pati resisten yang dihasilkan semakin meningkat. Pati modifikasi singkong (pati resisten) tidak hanya bisa dibuat menjadi bubur, tetapi juga sereal dan krakers.

74

DAFTAR PUSTAKA
Aliawati G. 2003. Tehnik analisis kadar amilosa dalam beras. Buletin Teknik Pertanian 8 (2):82-84. Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Andarwulan N dan Adawiyah. 1992. Bahan Pengajaran Teknologi Emulsi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Anggraini RW. 2007. Resistant Starch tipe III dan tipe IV pati ganyong (Canna edulis), kentang (Solanum tuberosum), dan kimpul (Xanthosoma violaceum Schott) sebagai prebiotik [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Apriyantono A, Fardiaz D, Nilen P, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: IPB Press. [AOAC] Association of Official Agricultural Chemist. 1995. Official Methods of Analysis of the Association Analytical. Chemist. Inc., Washington D.C. ___________________________________________.2006. Official Methods of Analysis of the Association Analytical Chemist. Chemist. Inc., Washington D.C. Bao J, Bregman CJ. 2004. The funcsionality of rice starch. Di dalam: Elliason AC, editor. Starch in food: Structure, Function and Application. Cambridge, England: Woodheat Publishing, CRC Press. Belitz HD dan Grosch W. 1987. Food Chemistry. Springer-Verlag Berlin Heidebers, New York. Bender DA. 2003. Introduction Nutrition and Metabolism. London: Taylor & Francais. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2009. Singkong solusi bangsa. www.bps.go.id. [17 Oktober 2010]. [BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2007. Angka Label Gizi. Jakarta: Direktorat Standarisasi Produk Pangan. Brannen AL, Michael PD, Salminen S. 1990. Food Additives. New York and Basel: Mercel Dekker Inc. Brennann JG. 1974. Food Engineering Operations. Applied sciences Publ. Ltd., London. Champ M, L Marti, L Noah, and M Gratas.1999. Analytical methods for resistant starch. In Complex Carbohydrates in Food, edited by SS Cho, L Prosky and M Dreher. Marcel Dekker Inc:New York(169-187). Ed: Kamp JW, Asp NG, Jones JM, Schaafsma G. 2004. Dietary Fiber (bio active

75

carbohydrates for food and feed. Netherlands: Weageningen Academic Publishers. Chan HT,JR. 1983. Handbook Of Tropical Foods. Marcel Dekker Inc, New York and Bassel. Charles Al, Chang YH, KO, WC, Sriroth K, dan Huang TC. 2005. Influence of amylopectin structure and amylase content on gelling properties of five cultivars of cassava starches. Journal of Agriculture Food Chemistry Vol53:2717-2725. Cui SW. 2005. Food Carbohidrat Chemistry, Physical Propertis, and Aplicatin. CRC Press, Boca Raton, London, New York, Singapore, Departemen Kesehatan. 2009. Tahun 2030 Prevalensi diabetes mellitus di Indonesia mencapai 21,3 juta orang. www.Kementerian Kesehatan.go.id. [17 Oktober 2010]. Elmsthal HL. 2002. Resistant starch content in a selection of starchy foods on the Swedish market. European J of clinical Nutrition 56:500-505. Englyst HN, SM Kingman, JH Cummings. 1992 Classifications and measurements of nutritionally important starch fractions. Europe Journal Clinical Nutrition 46(S2) S33-S39.Ed: Kamp JW, Asp NG, Jones JM, Schaafsma G. 2004. Dietary Fiber (bio active carbohydrates for food and feed. Netherlands: Weageningen Academic Publishers. Fatmawati S. 2004. Formulasi bubur bayi berprotein tinggi dan kaya antioksidan dari tepung kecambah kacang tunggak (Vigna unguiculata) untuk makanan pendamping ASI [skripsi], Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Fellow PJ and Ellis.1992. Food Processing Technology: Principles and Practice. England: Ellis Horwood. ________. 2000. Food Processing Technology: Principle and Practice. Ed ke-2. England: Woodhea Publishing Ltd. Fernando. 2008. Penggunaan Media Filtran dalam Upaya Mengurangi Beban Cemaran Limbah Cair Industri Kecil Tapioka [skripsi], Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Furia TE. 1990. Handbook of Food Additives. Ohio: The Chemical Rubber, CO. Gaman PM, Sherington KB. 1992. Ilmu Pangan: Pengantar Ilmu Pangan, Nutrisi, dan Mikrobiologi. Yogyakarta: UGM Press. Grenby TH. 1983. Nutritive Sukrose Subtitues and Dental Health. In: Development in sweeteners, vol 2; Grenby, T. Parker, K Lindley, M (eds) Applied Science Publisher; p 51-88. Haralampu SG. 2000. Resistant Starch: A review of the physical properties and biological impact of RS 3. J of Carbohydrate Polymers 41: 445-450.

76

Hendy. 2007. Formulasi bubur instan berbasis singkong (Manihot esculenta Crantz) sebagai pangan pokok alternatif [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Higgins JA. 2004. Resistant starch:Metabolic effects and potential health benefits. J of AOAC International 87(3):761-768. Hijova E and A Chmelarova. 2007. Short Chain Fatty Acids and Colonic Healts. Slovakia Bratish Lek Listy 108 (8): 354-358. Juliana R. 2007. Resistant Starch Tipe III dan Tipe IV Pati SIngkong (Manihot esculenta Crantz). Suweg (Amorphallus campanulatus), dan Ubi Jalar (lpomoea batatas L.) Sebagai Prebiotik [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI Press. Kim, SK, JE, Kwak, WK Kim. 2003. A simple method for estimation of enzymeresistant starch content. Journal of Starch 55: 336-368. Koswara S .1995. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Kusumah D. Potensi pemanfaatan tempe kedelai dalam pembuatan bubur instan untuk diabetisi dengan komplikasi gangrene [Skripsi] Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Lehmann U, Jacobasch G, Schmiedl D. 2003. Characterization of resistant starch type II from banana (Musa acuminate). J of Agricultural and Food Chemistry 50:5236-5240 Liu H, Corke H, dan Ramsden L. 2000. The effect of autoclavingon the acetylation of ae,wx, and normal Maize Starches. J Starch 52: 353-360. Matz SA and Matz TD. 1978. Cookie and Cracker Technology. Westport: Avy Publishing Company. Moehyi S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta: Bhratara. Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Metode kimia, biokimia, dan biologi dalam evaluasi nilai gizi. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. . 1992. Enzim dalam industri Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Muchtadi TR dan Sugiyono. 1992. Penuntun praktikum ilmu pengetahuan bahan pangan. Bogor: Fakultas Teknik Pertanian, Institut Pertanian Bogor,.

77

Mulyandari SH. 1992. Kajian perbandingan sifat-sifat pati umbi-umbian dan pati biji-bijian [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Nielsen SS. 2003. Food Analysis. Purdue University: Plenum Publisher Pangestuti BD. 2010. Karakterisasi Tapioka dari Beberapa Varietas Ubi Kayu [skripsi], Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Parker R. 2003. Introduction of Food Science. New York: Delmar, Thomson Learning. Perdana. 2003. Dampak Penerapan ISO 9001 terhadap peningkatan mutu berkesinambungan pada proses produksi bubur bayi instan di PT. Gizindo Prima Nusantara [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Prangdimurti E, Palupi NS, Zakaria FR. 2007. Modul e-Learning ENBP, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pratiwi R. 2008. Modifikasi pati garut (Marantha arundidinaceae) dengan perlakuan siklus pemanasan suhu tinggi-pendinginan (autoclaving-cooling cycling) untuk menghasilkan pati resisten tipe III [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Rahayu WP. 1998. Penuntun Praktikum Organoleptik. Bogor: Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian. Raja MKC dan Shindu P. 2000. Properties of starch treated arrowroot (Marantha arundinacea). J of Starch 52: 471-476 Satriawan E. 2010. Pengaruh metode heat moisture treatment (HMT) terhadap kandungan pati resisten tipe 3 dan daya cerna pati sagu [skripsi]. Bogor:, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sajilata MG, Rekha SS, Puspha RK. 2006. Resistant starch-a review. J Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 6: 1-13. Sardesai VM.2003. Introduction of Clinical Nutrition. Ed ke-2. New York: Marcel Dekker Inc. Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari M) .2010. Analisis Sensori untuk Industri Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press. Shin S, Byun J, Park KW, Moon TW. 2004. Effect of partial acid and heat moisture treatment of formation of resistant tuber starch. J Cereal Chemistry 81 (2): 194-198. [SNI] Standar Nasional Indonesia. 1992. Tapioka. Di dalam: Widowati S. 2000. Potensi dan pembinaan masyarakat dalam pendayagunaan bahan pangan lokal untuk meningkatkan ketahanan pangan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Palawija. Jakarta.

78

____________________________. 1994. SNI: 01-3451-1994. Tapioka. Jakarta: Dewan Standar Nasional Indonesia. Suprapti ML. 2005. Tepung Tapioka (Pembuatan dan Pemanfaatannya). Kanisus: Yogyakarta. Tharanathan RN dan Mahadevamma S. 2003. Grain legumes: A boon to human nutrition. Trends in Food Science and Technology 14: 507-518. [USDA] United States Department of Agriculture. 2010. Nutrient Data Laboratory. http://www.nal.usda.gov [15 Maret 2011] Wahyu MK. 2008. Pemanfaatan pati singkong sebagai bahan baku edible film. Bogor: Fakultas Teknologi Industri Pertanian, Jurusan Teknologi Industri Pangan. Wardlaw GM.1999. Perspective in Nutrition. Ed ke-4. Boston: McGraw-Hill. Winarno. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta:Gramedia Pustaka Utama Washuttl S, Rieclerer P, Bancher E. 1973. Qualitative and Quantitative Study of Sugar Alcohols ini Several Foods. J Food Scl 38:1262-1267. [WKNPG] Widiakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Zabar S, Shimoni E, Peled HB. 2008. Development of nanostructure in resistant starch type III during thermal treatments and cycling. J macromol Bioscience 8: 163-170. Zaragoza EF, Navarrete MJ. R, Zapata ES, and Alvarez JA.P. 2010. Resistant Starch as functional ingredient: A review. J of Food Research International 43:931-942.

79

80

Lampiran 1 Prosedur analisis karakteristik fisikokimia 1.Rendemen Penghitungan rendemen menggunakan metode gravimetrik Rendemen = x 100%

X = bobot produk bubur pati resisten singkong (g) Y = bobot singkong utuh (g) 2. Densitas Kamba Sampel dituangkan ke dalam gelas ukur yang telah diketahui berat dan volumenya, kemudian diratakan 1 gram sampel sehingga volume dan berat sampel dalam gelas ukur dapat dilihat. Densitas Kamba= 3.Pengamatan struktur mikroskopik granula pati Pengamatan struktur mikroskopik granula pati terdiri dari bentuk dan ukuran granula pati. Bentuk dan ukuran granula pati dilihat dengan cara menyiapkan suspense contoh pati resisten singkong di dalam tabung reaksi yang diencerkan dengan air. Preparat dibuat pada gelas preparat, diamati struktur granula pati di bawah mikroskop polarisasi cahaya pada pembesaran 200x hingga 400 X. Sketsa granula pati resisten singkong digambar. 4.Uji gelatinisasi pati Brabender Amilograph Bahan dimasukkan dalam Brabender Amilograph dan diatur suhunya 30C. Pena indikator diletakkan pada garis yang tepat kemudian dibersihkan indikato kaca dengan lap basah. Alat dinyalakan dengan menekan tombol on kemudian diamati grafik yang terbentuk karena kenaikan suhu.

Lampiran 2 Prosedur analisis karakteristik kimia 1.Kadar Pati total metode Luff Schorl (AOAC 1995) Sampel ditimbang sebanyak 3 gram, kemudian dimasukkan ke dalam Erlenmeyer dan ditambahkan larutan HCl 3% dan batu didih. Selanjutnya, hubungkan dengan kondensor dan didihkan selama 3 jam dan dinetralkan dengan NaOH 0,4 N kemudian ditambahkan 1 ml asam asetat pekat. Dimasukkan ke dalam labu ukur 250 atau 500 ml dan tepatkan sampai tanda tera. Disaring dengan penyaring berlipat kering, lalu dipipet 10 ml residu ke dalam Erlenmeyer 300 ml. Ditambahkan 25 ml larutan luff, 15 ml air dan beberapa batu didih. Hubungkan dengan kondensor dan didihkan selama 10

81

menit tepat. Ditambahkan 10 ml larutan KI 30% dan 25 ml H2SO4 4 N. Proses terakhir adalah mentiter dengan larutan Tio 0,1 N dan sebagai indikator digunakan larutan kanji (missal a ml). Blanko dikerjakan dengan menggunakan 25 ml larutan luff dan 10 ml air destilata (misalnya b ml). Dihitung kadar pati sebagai berikut: Pengubahan menjadi jumlah ml tio 0,1 N

Z ml tio 0,1 N pada daftar ekuivalen dengan y mg glukosa Kadar pati = 2.Kadar Amilosa (IRRI 1978 dalam Apriyantono et al. 1989) Standar amilosa dibuat dengan cara memasukan 40 mg amilosa murni ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air suhu 95C selama 10 menit. Setelah didinginkan, larutan gel pati dipindahkan secara kuantitatif ke dalam labu takar 100 ml, lalu tepatkan sampai tanda tera. Larutan stok dipipet 1, 2, 3, 4, dan 5 ml dipindahkan masing-masing ke dalam labu takar 100 ml, tambahkan 0.2, 0.4, 0.6, 0.8 dan 1.0 ml larutan asetat 1 N. Selanjutnya ditambahkan 2 ml larutan iod (0.2 I2 dan 2 g KI dilarutkan ke dalam 100 ml air destilata) ke dalam setiap labu lalu tepatkan sampai 100 ml dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit, lalu diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar merupakan hubungan antara kadar amilosa dengan absorbansinya. Sebanyak 100 mg sampel pati dimasukan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan larutan etanol 95% dan 9 ml larutan NaOH 1 N. Tabung reaksi dipanaskan pada suhu 95C selama 10 menit. Setelah didinginkan larutan gel pati dipindahkan secara kuantitatif dan ditepatkan dengan air destilata sampai tanda tera. Dipipet 5 ml larutan gel ke dalam labu takar 100 ml, ditambahkan 1 ml larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod. Kemudian ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Blanko dibuat dengan memipet 5 ml akuades ke dalam labu takar 100 ml, yang ditambahkan 1 ml larutan asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod, kemudian ditera dengan air destilata. Larutan dibiarkan selama 20 menit kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm.

82

3.Pati resisten (Kim et al. 2003) Sebanyak 0.5 g sampel pati dilarutkan dengan 25 ml buffer fosfat 0.08 M (pH 6.0) dalam gelas piala 250 ml, lalu ditutup dengan aluminium foil, kemudian ditambahkan 0.05 ml enzim termamyl, dan campuran diinkubasi dalam penangas air suhu 95oC selama 15 menit dengan diaduk lembut selama 5 menit sekali. Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH campuran diatur hingga 7.5 dengan 5 ml larutan NaOH 0.275 N dan ditambahkan 0.05 ml enzim protease (40 mg protease/50 ml buffer fosfat pH 6), lalu diinkubasi dalam penangas air bergoyang dengan suhu 60oC selama 30 menit. Setelah didinginkan sampai suhu ruang, pH campuran diturunkan menjadi 4.3 dengan penambahan 5 ml larutan HCl 0.325 N, lalu ditambahkan 0.05 ml enzim amiloglukosidase, dan diinkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 60oC selama 30 menit. Setelah inkubasi selesai, ditambahkan empat bagian etanol 95% dan campuran didiamkan selama satu malam pada suhu ruang. Endapan disaring dengan kertas saring Whitman 40. Residu yang tertinggal dicuci dengan 20 ml etanol 78% sebanyak tiga kali, lalu dengan 10 ml etanol murni sebanyak dua kali. Residu tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 40oC. Kadar pati resisten dihitung dengan cara membandingkan bobot residu dengan bobot sampel dikalikan 100. Kadar RS (%) = 4. Daya cerna pati in vitro (Muchtadi et al. 1992) Sebanyak sampel setara 1 g pati dimasukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml, kemudian ditambahkan dengan 100 ml air destilata. Wadah ditutup dengan aluminium foil dan dipanaskan dalam waterbath hingga mencapai suhu 90oC tercapai, sampel segera diangkat dan didinginkan. Larutan tersebut dipipet sebanyak 2 ml ke dalam tabung reaksi tertutup, lalu ditambahkan 3 ml air destilata dan 5 ml buffer phosphate pH 7. Masing-masing sampel dibuat dua kali, salah satunya sebagai blanko. Tabung ditutup dan diinkubasi pada suhu 37C selama 15 menit. Larutan diangkat dan ditambahkan 5 ml larutan enzim -

amilase (1 mg/ml dalam buffer fosfat) untuk sampel dan 5 ml buffer phosfat pH 7 untuk blanko sampel. Inkubasi dilanjutkan selama 30 menit. Sebanyak 1 ml campuran hasil inkubasi dipindahkan ke dalam tabung reaksi bertutup berisi 2 ml larutan DNS (0.3 g 1 asam dinitrosalisilat, 9 g NaKTartarat, 0.5 g NaOH). Larutan dipanaskan dalam larutan air mendidih selama 12

83

menit, kemudian segera didinginkan dengan air mengalir. Larutan ditambahkan 10 ml air destilata dan divorteks. Larutan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Kurva standar diperoleh dari 1 ml larutan yang mengandung 0.0, 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1.0 mg larutan maltose murni yang dimasukan ke dalam tabung reaksi bertutup, kemudian ditambahkan masing-masing 2 ml larutan DNS. Larutan dipanaskan dalam air mendidih selama 12 menit, kemudian didinginkan dengan air mengalir. Larutan ditambahkan 10 ml air destilata dan dibuat homogen menggunakan vortek, diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Daya Cerna Pati= A= kadar maltose sampel a= kadar maltose blanko sampel B= kadar maltose pati murni b= kadar maltose blanko pati murni Lampiran 3 Prosedur analisis kandungan gizi 1. Kadar Air Metode Oven (AOAC 1995) Kadar air diukur dengan metode oven biasa, sampel tidak terdegradasi pada suhu 100oC. Cawan aluminum kosong dikeringkan dalam oven suhu105oC selama 15 menit lalu didinginkan dalam desikator selama 5 menit atau sampai tidak panas lagi. Cawan ditimbang dan dicatat beratnya. Sampel ditimbang sebanyak 5 gram di dalam cawan tersebut, sampel dikeringkan dengan oven sampai beratnya konstan (perubahan berat tidak lebih dari 0.003 g). Setelah itu cawan didinginkan di dalam desikator. Ditimbang berat akhirnya. Dihitung kadar air dengan persamaan sebagai berikut: Kadar air (%b/b) = x= berat cawan dan sampel sebelum dikeringkan (g), a= berat cawan kosong (g), dan y= berat cawan dan sampel setelah dikeringkan (g). 2.Kadar Abu metode Pengabuan Kering (AOAC 2006) Sampel yang akan dianalisis ditimbang sebanyak 1-2 gram lalu dimasukkan ke dalam cawan porselen yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Cawan berisi sampel diarangkan di atas nyala pembakar lalu diabukan dalam tanur listrik pada suhu maksimal 550oC sampai pengabuan sempurna (berwarna putih dan tidak mengeluarkan asap lagi). Cawan berisi abu sampel x 100%

84

dikeluarkan lalu didinginkan dalam desikator. Cawan berisi abu sampel kemudian ditimbang bobotnya. Kadar abu sampel diukur: Kadar abu = X = bobot cawan sampel setelah diabukan (g) Y = bobot sampel sebelum dikeringkan (g) Z = bobot cawan kosong (g) 3.Kadar Protein Metode Semi Mikro Kjedahl (AOAC 1995) Bahan ditimbang kira-kira 0,1-0,5 gram menurut besarnya kandungan protein, bahan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam labu kjedahl, ditambahkan 0,5 gram selenium mix dan 7 ml H2SO4 pekat. Sampel didekstruksi hingga diperoleh larutan berwarna jernih dan uap SO2 hilang. Hasil dekstruksi ditambahkan akuades dan dimasukkan ke dalam labu destilasi kemudian ditambahkan NaOH ke dalam labu dan dilakukan destilasi . Destilat ditampung dalam 20 ml larutan asam borat 3% lalu dititrasi dengan HCl standar (indikator metal merah biru). % Protein = fk = faktor konversi fp = fakor pengenceran 4.Kadar Lemak Metode Ekstraksi Langsung Soxhlet (AOAC 1995) Sampel yang akan dianalisis ditimbang sebanyak 1-2 gram lalu dimasukkan ke dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Bagian atas selongsong kertas yang telah diisi sampel juga disumbat dengan kapas lalu dikeringkan dalam oven pada suhu tidak lebih dari 80oC selama lebih kurang 1 jam. Selongsong kemudian dimasukkan ke dalam alat soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan telah diketahui bobotnya. Sampel diekstrak dengan heksana atau pelarut lemak lainnya selama lebih kurang 6 jam. Pelarut kemudian disuling kembali dan hasil ekstraksi lemak dikeringkan dalam oven pengering pada suhu 105oC. Labu berisi lemak sampel kemudian dididnginkan dalam desikator lalu ditimbang bobotnya. Pengeringan diulangi hingga didapat bobot yang tetap. Kadar lemak dapat dihitung dengan rumus: Kadar lemak (Wb) = X = bobot lemak setelah ekstraksi (g) Y = bobot lemak sebelum ekstraksi (g)

85

W = bobot sampel awal (g) 5.Kadar Karbohidrat dengan by different (Winarno 2004) Kadar karbohidrat ditentukan dengan by difference yaitu hasil

pengurangan dari 100% dengan kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu sehingga kadar karbohidrat dipengaruhi oleh kandungan gizi lainnya. Kadar karbohidrat (Wb) = 100% - (%air + %abu + %lemak + % lemak + %protein). Lampiran 4 Prosedur analasis kadar serat pangan metode enzimatis (AOAC 1995) Sampel digiling lalu diekstrak lemaknya dengan menggunakan heksana. Timbang 0,5 g sampel dan masukkan dalam erlemenyer, tambahkan 25 ml 0,1 M buffer natrium fosfat pH 6, aduk dan tambahkan 0,1 ml enzim termamyl. Tutup erlemenyer dengan aluminium foil dan inkubasi dalam penangas air pada suhu 100oC selama 15 menit, biarkan dingin. Tambahkan 20 ml air destilata dan atur pH menjadi 1,5 menggunakan HCl dan 100 mg pepsin. Tutup Erlenmeyer dan inkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40oC selama 60 menit. Tambahkan 20 ml air destilata dan atur pH menjadi 6,8 dengan menggunakan NaOH dan 100 mg pankreatin. Tutup Erlenmeyer dan inkubasi dalam penangas air bergoyang pada suhu 40oC selama 60 menit. Atur pH menjadi 4,5 dengan menggunakan HCl, saring, dan cuci dengan 2 x 10 ml air destilata. Residu yang diperoleh dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Keringkan pada suhu 105oC hingga mencapai berat konstan. Timbang dan dinginkan dalam desikator (D1). Abukan pada suhu 550oC selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (I1). Filtrat yang diperoleh diatur volumenya hingga 100 ml dan tambahkan 400 ml etanol 95% pada suhu 60oC. Biarkan mengendap selama 1 jam. Saring dan cuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%, 2 x 10 ml etanol 95%, dan 2 x 10 ml aseton. Keringkan pada suhu 105oC selama semalam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (D2). Abukan pada suhu 550oC selama 5 jam. Timbang setelah didinginkan dalam desikator (I2). Perhitungan: % Serat makanan tidak larut (IDF) = % Serat makanan larut (SDF) = % Serat makanan total = %IDF + %SDF

86

Lampiran 5 Lembar uji organoleptilk Nama Panelis : Tanggal Pengujian: Jenis Kelamin : L/P Nama Produk : Bubur pati singkong dan pati resisten singkong Uji Kesukaan Dihadapan saudara disajikan lima macam bubur pati singkong dengan kode tertentu. Saudara diminta untuk memberikan penilaian terhadap kelima sampel sesuai dengan tingkat kesukaan saudara, dengan ketentuan di bawah ini. a. Pengisian dilakukan dengan cara membuat garis vertikal pada setiap mistar sesuai dengan ketentuan dan kode produk. Cantumkan kode sesuai dengan label pada setiap garis vertikal yang diberikan. b. Diharapkan Saudara berkumur terlebih dahulu dengan air mineral sebelum mencoba ke formula lainnya. 1 Sangat tidak suka 2 Tidak suka 3 Agak Tidak suka 4 Biasa 5 Agak suka 6 Suka 7 Sangat suka

Warna: I---------------I---------------I---------------I---------------I--------------I---------------I Sangat tidak suka Biasa Sangat suka

Tekstur: I---------------I---------------I---------------I---------------I--------------I---------------I Sangat tidak suka Biasa Sangat suka

Aroma: I---------------I---------------I---------------I---------------I--------------I---------------I Sangat tidak suka Biasa Sangat suka

Rasa: I---------------I---------------I---------------I---------------I--------------I---------------I Sangat tidak suka Biasa Sangat suka

Keseluruhan : I-------------I-------------I-------------I--------------I-------------I--------------I Sangat tidak suka Biasa Sangat suka

Komentar:............................................................................................................ ............................................................................................................................. ............................................................................................................................

87

Nama Panelis : Jenis Kelamin : L/P Nama Produk : Bubur pati singkong dan pati resisten singkong Uji Mutu Hedonik Dihadapan saudara disajikan lima macam bubur pati singkong dengan kode tertentu. Saudara diminta untuk memberikan penilaian terhadap empat sampel sesuai dengan tingkat kesukaan saudara, dengan ketentuan di bawah ini: Pengisian dilakukan dengan cara membuat garis vertikal pada setiap mistar sesuai dengan ketentuan. Cantumkan kode sesuai dengan label pada setiap garis vertikal yang diberikan. Diharapkan Saudara berkumur terlebih dahulu dengan air mineral sebelum mencoba ke formula lainnya. Warna: I---------------I---------------I---------------I---------------I--------------I---------------I Cokelat Kuning kecoklatan Putih susu

Tekstur: I---------------I---------------I---------------I---------------I--------------I---------------I Sangat encer sekali Agak halus Sangat kental sekali

Aroma: I---------------I---------------I---------------I---------------I--------------I---------------I Sangat berbau langu Tidak berbau Sangat harum

Rasa: I---------------I---------------I---------------I---------------I--------------I---------------I Pahit Agak manis pahit Manis sekali

Komentar:................................................................................................................. ................................................................................................................................. ................................................................................................................................. .............................................................................................................................

88

Lampiran 6 Hasil analisis karakteristik fisikokimia Sampel: PS (Pati Singkong) RS 1 (Pati resisten singkong 1 siklus) BPS (Tepung Bubur Pati Singkong BRS 1 (Tepung Bubur Pati resisten Singkong 1 siklus) F3 (Tepung Bubur formula terpilih) RS 3 (Pati resisten singkong 3 siklus) BRS 3 (Tepung Bubur Pati Resisten singkong 3 siklus) Rendemen RS 1 = (bobot pati resisten singkong 1 siklus/bobot singkong) x 100% =(3.12 kg /4 kg) x 100% = 78% RS 3 = (bobot pati resiten singkong 3 siklus/bobot singkong) x 100% = (1.32 kg /2 kg) x 100% = 66% Tabel 1 Densitas kamba dan derajat putih pati serta tepung bubur instan Sampel PS RS 1 BPS BRS 1 F3 RS 3 BRS 3 Densitas Kamba (g/ml) 0.45 0.30 0.15 0.32 0.34 0.47 0.46 Derajat Putih (%) 96.5 76.2 72.1 75.9 73.9 56.4 56.8

Lampiran 7 Hasil analisis karakteristik kimiawi pati dan bubur instan Total Pati Rataa n% (bk) 91.15 80.79 85.44 80.97 44.70 68,90 65.96 Amilosa Rataan % (bk) Amilopekti n Rataan % (bk) 71.03 56.57 60.64 64.49 33.32 42.76 40.71 Daya cerna pati % (bk) 96.55 87.12 83.76 77.94 79.32 74.62 76.63 Pati Resisten % (bk)

Sampel

PS RS 1 BPS BRS 1 F3 RS 3 BRS 3

20.12 24.22 24.80 16.48 11.38 26.14 25.25

5.59 7.28 4.46 7.09 5.60 10.50 8.00

89

Lampiran 8 Hasil analisis kandungan gizi pati dan tepung bubur instan Kadar.Air Sampel (%bk) Rataan PS RS 1 BPS BRS 1 F3 RS 3 BRS 3 15.05 7.46 9.64 9.09 8.03 7.62 6.97 Kadar.Abu (%bk) Rataan 0.30 0.28 1.57 1.16 1.98 0.78 0.82 Kadar Kadar Kadar protein Lemak Karbohidrat (%bk) (%bk) (%bk) Rataan Rataan Rataan 0.34 0.73 98.63 0.31 1.64 97.77 0.24 0.94 97.25 0.50 1.83 96.51 17.45 2.34 78.23 0.39 2.15 96.68 0.56 2.08 96.57

Lampiran 9 Hasil analisis kadar serat pangan pati dan tepung bubur instan IDF SDF TDF Sampel Rataan Rataan Rataan % (bk) % (bk) % (bk) PS 0.56 1.52 2.08 RS 1 1.59 1.57 3.16 BPS 0.64 0.52 1.16 BRS 1 2.61 1.80 4.41 F3 3.22 0.95 4.17 RS 3 6.75 2.35 9.1 BRS 3 4.09 3.41 7.5

Lampiran 10 Hasil sidik ragam karakteristik organoleptik bubur instan Tabel 2 Sidik ragam mutu hedonik bubur instan

Jumlah WARNA Diantara Perlakuan Didalam perlakuan Total Diantara Perlakuan Didalam perlakuan Total Diantara Perlakuan Didalam perlakuan Total Diantara Perlakuan Didalam perlakuan Total 228,834 168,601 397,435 40,084 229,508 269,591 36,857 237,117 273,975 102,981 278,437 381,419

df 4 150 154 4 150 154 4 150 154 4 150 154

Rataan 57,209 1,124

F 50,897

Sig. ,000

AROMA

10,021 1,530

6,549

,000

RASA

9,214 1,581

5,829

,000

TEKSTUR

25,745 1,856

13,870

,000

Tabel 3 Uji lanjut Duncan mutu hedonik warna bubur instan alpha = .05 PERLAKUA N N 1 2 3 Formula 1 31 2,8645 Formula 2 31 4,1000 Formula 3 31 4,1742 Pati 31 5,9194 singkong Pati resisten 31 6,0839 Sig. 1,000 ,783 ,542 Tabel 4 Uji lanjut Duncan mutu hedonik aroma bubur instan alpha = .05 PERLAKUA N N 1 2 3 Formula 1 31 3,3290 Formula 2 31 3,7226 3,7226 Formula 3 31 4,0839 4,0839 Pati 31 4,4452 singkong Pati resisten 31 Sig. ,212 ,252 ,252 Tabel 5 Uji Duncan mutu hednonik rasa bubur instan alpha = .05 PERLAKUA N N 1 2 Formula 1 31 4,0613 Formula 2 31 4,1968 Formula 3 31 4,6516 4,6516 Pati 31 5,1097 singkong Pati resisten 31 5,3032 Sig. ,082 ,055 Tabel 6 Uji lanjut Duncan mutu hedonik tekstur bubur instan alpha = .05 PERLAKUA N N 1 2 3 Formula 3 31 2,7516 Formula 1 31 3,9968 Formula 2 31 4,1258 Pati resisten 31 4,5484 Pati 31 5,2387 singkong Sig. 1,000 ,135 1,000

4,4452 4,7645 ,311

Tabel 7 Sidik ragam hedonik bubur instan Jumlah WARNA Diantara Perlakuan Didalam perlakuan Total Diantara Perlakuan Didalam perlakuan Total Diantara Perlakuan Didalam perlakuan Total Diantara Perlakuan Didalam perlakuan Total Diantara Perlakuan Didalam perlakuan Total 14,461 324,886 339,347 3,925 258,292 262,218 26,740 319,296 346,036 13,250 322,170 335,420 20,569 311,076 331,645 df 4 150 154 4 150 154 4 150 154 4 150 154 4 150 154 5,142 2,074 2,480 ,046 3,313 2,148 1,542 ,193 6,685 2,129 3,141 ,016 ,981 1,722 ,570 ,685 Rataan 3,615 2,166 F 1,669 Sig. ,160

AROMA

RASA

TEKSTUR

KESELURU HAN

Tabel 8 Uji lanjut Duncan hedonik rasa bubur instan PERLAKUA N Formula 1 Formula 2 Pati Resisten Pati Singkong Formula 3 Sig. N 31 31 31 31 31 ,137 alpha = .05 1 2 3,2355 3,3226 3,7903 3,8452 3,7903 3,8452 4,3903 ,129

Tabel 9 Uji lanjut Duncan hedonik keseluruhan bubur instan alpha = .05 PERLAKUA N N 1 2 Formula 1 31 3,3935 Formula 2 31 3,6742 3,6742 Pati 31 3,7774 3,7774 Singkong Formula 3 31 4,3032

Pati Resisten Sig.

31 ,327

4,3226 ,108

Lampiran 11 Perhitungan harga produk Tabel 10 Biaya bahan pembuatan pembuatan tepung bubur instan kontrol No. Bahan Berat dalam Presentase Harga per Harga formula (komposisi) kg bahan per kg produk Gram % Rupiah Rupiah 1. Pati resisten 50 98.2 30.034.2 32.453,5 singkong 2. Sukralosa 0.09 0.2 1.800.000,0 3.890,0 3. Garam 0.4 0.8 3.000,0 25,9 4. Flavour essence 0.4 0.8 330.000,0 2.852,7 Jumlah 50.9 100 2.144.000 39.222,0 Tabel 11 Biaya dasar produksi dalam pembuatan tepung bubur instan kontrol No. Rincian Biaya per Kapasitas Biaya dasar hari Produksi produksi /kg Rupiah kg Rupiah 1. Biaya susut alat/kg 10.958,90 500 614,25 2. Biaya energi/kg 412.500,00 500 825,00 3 Biaya tenaga 1.607.692,30 500 3.215,40 kerja/kg 4. Biaya 100.000,00 500 200,00 pengangkutan/kg 5. Biaya Over head/kg 500.000,00 500 1000,00 Jumlah 5.854,7 Harga pokok produksi (HPP) sesuai rendemen = (100/rendemen) x (harga bahan/kg + jumlah biaya dasar produksi/kg) + laba perusahaan = (100/78) x (39.222,2 + 5.854,7) + (25% X (harga bahan/kg+ jumlah biaya produksi/kg) = (100/78) x (39.222,2 + 5.854,7 + 11.269,2) = 72.238,50/kg Harga per serving size 100 gram =(100/1000) X 72.238,50 = 7.223,90 rupiah

Tabel 12 Biaya bahan dasar pembuatan pembuatan tepung bubur instan formula dengan penambahan tepung emulsi terpilih (tepung emulsi 15 gram) No. Bahan Berat Presentase Harga per kg Harga dalam (komposisi) bahan formula per kg produk Gram % Rupiah Rupiah 1. Pati resisten 50 75.9 30.034,2 25.066,5 singkong 2. Sukralosa 0.09 0.2 1.800.000,0 3.004,6 3. Garam 0.4 0.6 3.000,0 20,0 4. Flavour essence 0.4 0.6 330.000,0 2.203.3 5. Isolat protein 4.7 14.3 85.000,0 6.668.4 kedelai 6. Putih telur 9.4 7.1 5.000,0 784.5 7. Minyak nabati 0.9 1.4 12.500,0 187.8 Jumlah 65.9 100 3.029.440,12 30,294.4 Tabel 13 Biaya dasar produksi dalam pembuatan tepung bubur instan formula dengan penambahan tepung emulsi terpilih (tepung emulsi 15 gram) Biaya per Kapasitas Biaya dasar hari Produksi produksi /kg No. Rincian Rupiah kg Rupiah 1. Biaya susut alat/kg 10.958,90 500 614,25 2. Biaya energi/kg 412.500,00 500 825,0 3 Biaya tenaga 1.607.692,30 500 3.215,4 kerja/kg 4. Biaya 100.000,00 500 200,0 pengangkutan/kg 5. Biaya Over head/kg 500.000,00 500 1000,0 Jumlah 5.854,7 Harga pokok produksi (HPP) sesuai rendemen = (100/rendemen) x (harga bahan/kg + jumlah biaya dasar produksi/kg) + laba perusahaan = (100/78) x (30.294.4 + 5.854,7) + (25% X (harga bahan/kg+ jumlah biaya produksi/kg) = (100/78) x (30.294.4+ 5.854,7 + 9.037,3) = 57.931,10 /kg Harga per serving size 100 gram =(100/1000) X 57.931,10 = 5.739,10 rupiah

Lampiran 12 Perbandingan harga energi dan serat pangan pada pangan instan

Per 100 gram Merek Kontrol (BRS 3) Formula terpilih Diabetasol Koko krunch Harga per kg (Rp) 72.238,50 57.931,10 213.889,00 73.650,00 BDD 100 100 100 100 Energi 407 404 423 300 Serat 7.5 4.17 4.2 7

Harga per kalori energi (Rp) 17.70 14.30 50.56 24.55

Harga per g serat (Rp) 963.20 1389.20 5092.59 1052.14

Harga zat gizi pangan = harga pangan / kandungan gizi Harga per kalori energi = Rp 72.238,50 X 100 g 1000 g 407 Kal = Rp 17,70

You might also like