You are on page 1of 16

1

ANALISIS PERBANDINGAN INTENSITAS PERDAGANGAN DAN TINGKAT DAYA SAING EKSPOR TEKSTIL DAN PRODUK TEKSTIL (TPT) INDONESIA DENGAN BEBERAPA NEGARA ASEAN Thoso Priharnowo

ABSTRACT Years of 1995-2000 were an AFTAs preparation period for Indonesia, Singapore, Malaysia, Philippine, Thailand and Brunei Darussalam. For Indonesia one of the most promising export commodities, at the period, was Textile and Apparel (Tekstil dan Produk Tekstil/ TPT). At those time, TPTs average contribution to the value of industrial export had reached 62 percent per year, thus made it the main contributor, after Oil and Gas, to the value of Indonesians total exports. The purpose of this research is to measure the intensity of trade level between Indonesia, Singapore, Malaysia, Philippine, Thailand, and Brunei Darussalam to ASEAN, and the level of TPTs exports comparative advantages for each country. For the analysis, it uses the Intensity of Trade Index, with its Index of Complementarity and Country Bias Index, and the Revealed Comparative Advantage Index. As to the general analysis, it is concluded that in the years of 1995-2000, ASEAN was an important trade region for each countries. However, individually, Malaysia was the most intensive country in trading with ASEAN, followed by Singapore, Thailand, Brunei Darussalam, Indonesia and Philippine. In TPT, the situations are different. At the time, the most intensive country whose trading TPT with ASEAN was Singapore, and followed by Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia, Thailand and Philippine. Indonesia, even though seems to be left behind by its competitor, had actually the best increasing probability in exporting its TPT to ASEAN better than Philippine, Thailand, Brunei Darussalam, Malaysia and Singapore. Furthermore, comparing with its five AFTA 2003 competitor, Indonesia also had the best comparative advantages in its TPTs export, definitely better than Philippine, Thailand, Brunei Darussalam, Malaysia and Singapore. In increasing TPTs export of Indonesia, both government and TPT entrepreneur, should encourage its effort in optimizing ASEAN an a new potential market by establishing more business network, especially with those new buyers outside Singapore. In addition, both government and TPT industrialist should also boost its research and development program in TPT.

Perkembangan Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil Negara-negara ASEAN Pengaruh kinerja ekspor nasional terhadap perekonomian sesungguhnya tidak bias hanya dilihat dari sumbangan terhadap penerimaan Negara, melainkan juga harus dilihat dari laju pertumbuhan dan volume ekspor, serta tingkat diversifikasinya, baik dalam artian variasi pasar maupun produk (struktur ekspor). Bahkan, menurut

Tambunan (2001: 63), Indonesia baru dapat dikatakan berhasil dalam strategi pengembangan ekspor, jika laju pertumbuhan ekspor rata-rata per tahun tinggi dan komposisi ekspornya tidak lagi hanya didominasi komoditas pertanian dan pertambangan (termasuk Migas), serta produk-produk Indonesia sudah masuk ke pasar dunia. Biro Pusat Statistik (2002) mencatat dalam kurun 1995-2000 komposisi nilai total ekspor Indonesia masih didominasi oleh sektor industri, dengan persentase kontribusi lebih dari 65 persen. Perkembangan yang baik dari ekspor sektor industri tak bisa dilepaskan dari peranan ekspor beberapa komoditas unggulan, seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), Kayu Lapis (meliputi Tripleks, Dupleks, dll) dan Minyak Kelapa Sawit. Secara kontinyu, selama periode 1995-2000, ketiganya menyumbang kontribusi sebesar ratarata 30 persen per tahun, pada pembentukan nilai ekspor hasil industri (Tabel 1). Namun, jika secara khusus kontribusi ketiganya saling diperbandingkan, dalam kaitan dengan pembentukan nilai total ekspor komoditas unggulan, terlihat jelas betapa TPT adalah komoditas yang amat penting. Ia adalah penyumbang kontribusi terbesar (ratarata 62 persen per tahun). Industri TPT adalah industri yang memberikan kontribusi besar bagi penyerapan tenaga kerja. Saat ini, jumlah tenaga kerja yang terserap di industri TPT kurang lebih 3,5 juta orang, dengan rincian sekitar 800.000 orang diserap oleh perusahaan besar dan 2,7 juta orang diserap oleh perusahaan kecil dan koperasi, serta industri rumah tangga (KOMPAS, 2003a). Sayangnya, pengembangan industri ini seringkali terhambat oleh masalah-masalah internal seperti tingginya biaya produksi (akibat banyaknya pungutan resmi dan tak resmi), terbatasnya kapasitas industri, tidak kondusifnya kebijakan perbankan, dan rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja akibat pola produksi yang cenderung bersifat padat karya (Tambunan, 2001: 83). Lebih jauh, Tambunan juga mencatat bahwa selain kendala internal, yang juga menjadi persoalan bagi industri TPT adalah masih terbatasnya jumlah industri penunjang (terutama industri penghasil bahan baku), serta tidak efisien dan lemahnya dukungan sektor jasa dalam negeri, seperti armada pelayaran, kargo udara dan jasa lembaga keuangan. Jika dicermati, persoalan penetrasi pasar untuk komoditas TPT sesungguhnya perlu dipikirkan, seiring dengan

makin terbukanya sifat perekonomian Indonesia dan makin diterimanya ideologi perdagangan bebas antar berbagai negara di dunia. Potensi pasar ekspor TPT Indonesia sesungguhnya masih terbuka. Sesuai data dari konsultan internasional Warner & Gherzhi (Astono, 1997), potensi pasar global untuk TPT masih sangat besar, ketiga terbesar setelah sektor pariwisata dan informatika, dengan nilai total perdagangan (ekspor dan impor) yang mencapai US$ 1.620 miliar pada 1995, dan perkiraan peningkatan sebesar 2,3 persen per tahun. Tabel 2 memperlihatkan seberapa besar kontribusi nilai ekpor TPT Indonesia dan beberapa negara ASEAN ke pasar ASEAN, dibandingkan dengan nilai total ekspor TPT-nya. Selama periode 1995-2000, kontribusi nilai ekspor TPT Indonesia ke wilayah ASEAN pada pembentukan nilai total ekspor TPT Indonesia, masih relatif rendah, dengan nilai rata-rata kontribusi dibawah 10 persen. Selain menunjukkan kontribusi nilai ekspor TPT intra ASEAN, Tabel 2 adalah ilustrasi tentang seberapa jauh upaya yang telah dilakukan oleh Indonesia, Singapura, Malaysia, Philipina, Thailand, dan Brunei Darussalam, dalam mengoptimalkan potensi pasar ASEAN, khususnya dalam mengembangkan kinerja ekspor TPT nasional. Senyatanya Indonesia belum mengoptimalkan peluangnya, terlebih jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura (dengan rata-rata nilai kontribusi sebesar 16,7 dan 29,7 persen), atau dengan Brunei Darussalam, ketika kontribusi ekspor TPT Brunei ke wilayah ASEAN meningkat drastis sebesar 27,9 persen dari 8,7 persen pada tahun 1998 ke 36,6 persen pada tahun 1999. perkembangan ini tentulah sesuatu yang ironis, mengingat semestinya Indonesia bisa lebih intensif melakukan penetrasi ke pasar ASEAN. Oleh sebab itu penting untuk diteliti bagaimana tingkat intensitas perdagangan Indonesia, Singapura, Malaysia, Philipina, Thailand dan Brunei Darussalam ke kawasan ASEAN, periode 1995-2000. Serta bagaimana tingkat daya saing ekspor komoditas unggulan Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia, Singapura, Malaysia, Philipina, Thailand dan Brunei Darussalam, periode tahun 1995-2000.

Ekspor Ekspor dapat diartikan sebagai kegiatan yang menyangkut produksi barang dan jasa yang diproduksi disuatu negara untuk dikonsumsikan di luar batas negara tersebut (Triyaso, 1994:210). Lebih jelas lagi, Deliarnov (1995, 202-203) menambahkan bahwa ekspor merupakan kelebihan produksi dalam negeri yang kemudian kelebihan produksi tersebut dipasarkan di luar negeri. Pengertian ekspor menurut Keputusan Mentri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 182/MPP/Kep/4/1998 tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor, menyatakan bahwa ekspor adalah kegiatan mengeluarkan barang dan jasa dari daerah kepabeanan suatu negara. Adapun daerah kepabeanan sendiri didefinisikan sebagai wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan dan ruang udara diatasnya, serta tempat-tempat tertentu di zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang didalamnya berlaku Undang-Undang No.10 tahun 1995 tentang Kepabeanan.

Tingkat Daya Saing Tingkat daya saing suatu negara di kancah perdagangan internasional, pada dasarnya amat ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor keunggulan komparatif (comparative advantage) dan faktor keunggulan kompetitif (competitive advantage). Lebih lanjut, faktor keunggulan komparatif dapat dianggap sebagai faktor yang bersifat alamiah dan faktor keunggulan kempetitif dianggap sebgai faktor yang bersifat acquired atau dapat dikembangkan/diciptakan (Tambunan, 2001: 48-50). Selain dua faktor tersebut, tingkat daya saing suatu negara sesungguhnya juga dipengaruhi oleh apa yang disebut Sustainable Competitive Advantage (SCA) atau keunggulan daya saing berkelanjutan. Ini terutama dalam kerangka menghadapi tingkat persaingan global yang sedemikian lama menjadi sedemikian ketat/keras atau Hyper Competitive. Analisis Hyper Competitive (persaingan yang super ketat) berasal dari DAveni (Hamdy, 2001:60), dan merupakan analisis yang menunjukkan bahwa pada akhirnya setiap negara akan dipaksa memikirkan atau menemukan suatu strategi yang tepat, agar negara/perusahaan tersebut dapat tetap bertahan pada kondisi persaingan global yang sangat sulit. Menurut Hamdy, strategi yang tepat adalah strategi SCA atau strategi yang berintikan upaya perencanaan dan kegiatan operasional yang terpadu, yang mengkaitkan

lingkungan eksternal dan internal demi pencapaian tujuan jangka pendek maupun jangka panjang, dengan disertai keberhasilan dalam mempertahankan/meningkatkan sustainable real income secara efektif dan efisien.

Globalisasi Ekonomi dan Kerja Sama Ekonomi Regional Secara makro teori globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai sebuah teori yang didasarkan atas asumsi perdagangan bebas/pasar bebas di seluruh dunia, tanpa adanya hambatan baik dalam bentuk tarif atau non tarif (Wibowo, 2003). Namun secara mikro, globalisasi ekonomi dapat diartikan sebagai sebuah inisiatif bisnis yang didasarkan atas kepercayaan bahwa dunia telah menjadi sedemikian homogen, seiring dengan makin mengaburnya perbedaan nyata antar pasar domestik. Tentang kerjasama regional, Hamdy (2001; 88) mengemukakan bahwa kerja sama ekonomi dan keuangan, khususnya di bidang perdagangan internasional, saat ini mengarah pada pembentukan kerja sama guna mewujudkan integrasi ekonomi dan keuangan secara regional.

2.4 Konsep Intensitas Perdagangan dan Hambatan Perdagangan Intensitas perdagangan adalah sebuah pendekatan, yang digunakan dalam beragam studi sistematis, untuk mengetahui faktor-faktor yang menentukan

derajat/tingkat hubungan sebuah arus perdagangan bilateral (Garnaut, 1994:22). Pendekatan ini menggunakan nilai ekspor dan impor total untuk menilai dan menjelaskan deviasi-deviasi yang terjadi dalam hubungan dagang bilateral, sekiranya hambatan-hambatan perdagangan adalah sama untuk setiap jalur perdagangan.

Strategi Industrialisasi dan Perkembangan Industri TPT Indonesia Dumairy (1997:230) mencatat bahwa pada tahun 1920-an, industri-industri tekstil berupa industri rumah tangga telah tersebar secara tidak terkoordinasi di berbagai pelosok Indonesia. Bahkan pada tahun 1939, ketika sensus industri kolonial pertama dilakukan, tercatat bahwa industri ini, bersama industri lain yang bergerak di bidang pengolahan makanan dan barang-barang logam, telah mempekerjakan tenaga kerja sebanyak 173.000 orang. dilihat dari usianya, wajar sekiranya industri ini lantas dianggap sebagai perintis proses industrialisasi sebab pada faktanya industri ini mampu

membuka jalan bagi terbentuknya industri penopang yakni industri pencelupan, pencetakan, pemintalan, perajutan dan industri pakaian jadi dan produk tekstil lainnya. Perkembangan industri TPT di Indonesia amat dipengaruhi oleh pola kebijakan strategi industrialisasi yang dianut pemerintah. Pada Pelita I dan II, pemerintah menerapkan strategi substitusi impor, dimana pembangunan Indonesia saat itu cenderung diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan keperluan penunjang kegiatan produksi, terutama sektor pertanian. Untuk TPT, tercatat diakhir 1970-an, industri pakaian jadi mulai berkembang sebagai akibat peningkatan yang cepat dari permintaan domestik dan adanya kesempatan untuk meningkatkan ekspor.

Perdagangan Internasional Komoditas Tekstil dan Produk Tekstil Dilingkup dunia, usaha pertama pengadaan peraturan perdagangan internasional untuk TPT terjadi pada sidang GATT di Tokyo-Jepang pada November 1959. pada sidang itu tercipta STA (Short Term Arrangement Regarding International Trade in Cotton Textiles), yang berlaku untuk satu tahun (1961-1962) dan memuat ketentuan mengenai pembatasan sementara terhadap ekspor tekstil dan pakaian jadi yang terbuat dari kapas yang diimpor dari suatu negara tertentu apabila terjadi market disruption (gangguan pasar) untuk jangka waktu satu tahun. Menggantikan STA, dan demi terciptanya pengaturan untuk jangka panjang maka pada tahun 1962 itu pula disepakati adanya LTA (Long Term Arrangement) untuk jangka waktu lima tahun (1962-1967). Secara prinsip kesepakatan baru ini tidaklah berbeda dengan STA. Kemudian pada 1 Januari 1974 diberlakukan persetujuan multilateral baru yang disebut Arrangement Regarding International Trade in Textile atau lebih dikenal sebagai Multi Fibre Arrangement (MFA), yakni kesepakatan perluasan jenis bahan tekstil yang dikenakan pengaturan. Masa berlakunya MFA berakhir pada 31 Juli 1991, ditandai dengan diberlakukannya lagi prinsip GATT sehingga perdagangan TPT di kancah internasional yang semula diwarnai rertriksi telah menjadi bebas dan terbuka. Bahkan seiring dengan terbentuknya WTO, berlaku pula aturan main baru dalam bisnis TPT internasional berupa WTOs Agreement on Textile and Clothing (ATC).

Indeks Intensitas Perdagangan, Komplementer dan Bias Negara Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari publikasi Bappeda dan Disperindag Propinsi Bali, serta situs resmi sekretariat ASEAN yakni www.aseansec.org dan situs resmi WTO yakni www.wto.org. Berdasarkan sifatnya data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup data kuantitatif dan data kualitatif, yang berupa uraian tentang TPT, himpunan peraturan dan kebijakan ekspor dan catatan penjelasan tenatng ekspor TPT Dunia, dll. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas: 1. Indeks Intensitas Perdagangan, Komplementer dan Bias Negara Menurut Anderson dan Norheim(Garnaut, 1994:128), dalam konteks kebijakan preferensi perdagangan suatu negara di suatu wilayah (region), indeks ini adalah indikator yang lebih baik daripada analisis persentase perdagangan intra regional terhadap nilai perdagangan wilayah. Rumus matematis, Indeks Intensitas Perdagangan (IT) adalah sebagai berikut:
Indeks ITiy = X iy Xi My Mw Mi ........................................................................(1)

Keterangan: Xiy = nilai ekspor negara i ke negara/wilayah y Xi = nilai ekspor total negara i My = nilai impor total negara/wilayah y Mi = nilai impor total negara i Mw = nilai impor total dunia Namun indeks tersbeut dianggap kurang mempertimbangkan fakta bahwa komoditas-komoditas yang diperdagangkan tidaklah dapat saling disubstitusi, untuk itu Drysdale (1994; 25) menyempurnakan Indeks intensitas Perdagangan dengan mengembangkan Indeks Komplementer (Complementary Index/IK) dan Indeks Bias Negara (Country Bias Index/IBN). Indeks komplementer adalah indeks yang mengukur perbandingan jumlah persentase kontribusi tiap komoditas ekspor dalam kerangka hubungan dagang bilateral antara suatu negara dengan negara/wilayah lain, dengan kondisi perdagangan komoditas-komoditas tersebut dilingkup dunia. Sedangkan Indeks Bias Negara adalah analog Indeks Intensitas Perdagangan. Ia digunakan untuk mengukur efek rata-rata beragam hambatan perdagangan dalam kerangka intensitas sebuah hubungan perdagangan bilateral.

Rumus matematis Indeks Komplementer dan Indeks Bias Negara sebagai berikut: IndeksKomplementeriy =
k k X ik M w M i M y k X i M w M ik M y

.........................................(2)

k IndeksBiasNegra iy =

k X iy

Mk y
k Mk w Mi

X ik

.......................................................(3)

Keterangan: Xik Xiyk Xi Mik Mi Mw Mwk Mik Myk My

= nilai ekspor komoditas k dari negara i = nilai ekspor komoditas k negara i ke negara/wilayah y = nilai ekspor komoditas k dari negara i = nilai impor negara i untuk komoditas k = nilai impor total negara i = nilai impor total dunia = nilai impor dunia untuk komoditas k = nilai impor negara i untuk komoditas k = nilai impor negara/wilayah y untuk komoditas k = nilai impor total negara/wilayah y

Indeks Revealed Comparative Advantage (RCA)

Indeks RCA adalah indikator yang bisa menunjukkan perubahan keunggulan komparatif atau perubahan tingkat daya saing industri suatu negara di pasar global (Kuncoro, 1997:303). Indeks RCA menunjukkan keunggulan komparatif atau daya saing ekspor dari suatu negara dalam suatu komoditas terhadap dunia (Tambunan, 2001:92). Secara matematis, Indeks RCA dapat dirumuskan sebagai berikut:
IndeksRCA ik = X ik X i Wk Wt

................................................................................(4)

Keterangan: Xik = nilai ekspor komoditas k dari negara i Xi = nilai ekspor total (produk k dan lainnya) dari negara i Wk = nilai ekspor komoditas k di dunia Wt = nilai ekspor total dunia Jika nilai indeks RCA suatu negara untuk komoditas tertentu adalah lebih besar dari satu (1), maka negara bersangkutan memiliki keunggulan komparatif di atas ratarata dunia untuk komoditas tersebut. Sebaliknya, bila lebih kecild ari satu (1), berarti keunggulan komparatif untuk komoditis tersebut tergolong rendah, di bawah rata-rata dunia. Semakin besar nilai indeks, semakin tinggi pula tingkat keunggulan komparatifnya.

Intensitas perdagangan individual yang terjadi antara Indonesia, Singapura, Malaysia, Philipina, Thailand, dan Brunei Darussala; dengan ASEAN sebagai sebuah wilayah perdagangan, dapat diamati melalui nilai Indeks Identitas Perdagangan (IT) antara negara-negara tersebut dnegan ASEAN. Hasil perhitungan indeks IT keenam negara tersebut selama periode 1995-2000, disajikan secara ringkas pada Tabel 3. Mencermati tabel 3, terlihat bahwa selama periode penelitian keenam negara memiliki nilai indeks IT yang lebih besar dari satu. Ini berarti, selama periode 19952000, ASEAN telah menjadi sebuah wilayah perdagangan atau daerah tujuan ekspor yang penting bagi Indonesia, Singpura, Malaysia, Thailand, Philipina, Thailand dan Brunei Darussalam. Nilai indeks IT rata-rata tahunan terbesar dimiliki oleh Malaysia dengan nilai 5,1. ini berarti, diantara keenam negara secara rata-rata tahunan Malaysia adalah negara yang paling intensif melakukan hubungan dagang dengan ASEAN dan paling dalam penetrasi pasarnya di kawasan ASEAN. Secara berurut, prestasi ini disusul oleh Singapura (4,9), Thailand (3,6), Brunei Darussalam (3,4), Indonesia (3,1) dan Philipina (2,6). Posisi Indonesia sebagai negara yang paling tidak intensif kedua setelah Philipina dalam hal optimalisasi pasar ASEAN menunjukkan bahwa sekalipun ada peningkatan kesadaran dikalangan eksportir Indonesia akan arti penting pasar ASEAN (ditinjau oleh naiknya nilai indeks IT sebesar 1,1 poin dari 2,3 pada tahun 1995 menjadi 3,4 pada tahun 2000), eksportir Indonesia tampaknya kurang berhasil memanfaatkan kesadaran ini untuk mengintensifkan kehadiran komoditas mereka untuk mengahadapi era AFTA.

Indeks komplementer (IK) dan Indeks Bias Negara (IBN) adalah indeks turunan dari Indeks Intensitas Perdagangan. Pada penelitian ini, Indeks Komplementer dan Indeks Bias Negara yang diukur adalah indeks untuk komoditas TPT dalam kerangka hubungan perdagangan yang terjadi antara keenam negara dengan pasar ASEAN, pada periode 1995-2000. Nilai kedua indeks (dihitung dengan rumus no.2 dan 3) disajikan pada Tabel 4. Mencermati rerata nilai kedua indeks pada Tabel 4, dapat diinterpretasikan adanya dua fenomena berbeda dalam hal perdagangan TPT keenam negara ini ke

10

wilayah ASEAN pada periode 1995-2000. Berdasarkan rerata nilai IK komoditas TPT periode 1995-2000, tercatat bahwa Indonesia memiliki rerata nilai IK tertinggi dibaningkan kelima negara lainnya. Ini berarti, secara berurut, peningkatan peluang ekspor komoditas TPT Indonesia ke wilayah ASEAN, adalah lebih baik dari peningkatan peluang yang dimiliki oleh Philipina, Thailand, Brunei Darussalam, Malaysia dan Singpura (peningkatan peluangnya terendah). Peningkatan peluang ekspor yang baik ini dimungkinkan karena beberapa faktor yakni tersedianya sumber daya alam potensial sebagai pendukung daya saing, telah terbentuknya citra yang baik untuk produk TPT Indonesia di pasar luar negeri, serta banyaknya etnik dengan spesifik corak/motif tekstil sebagai unggulan ekspor (Depperidag, 2001: 14). Namun berdasarkan rerata nilai IBN, terlihat bahwa negara yang paling intensif melakukan ekspor TPT ke wilayah ASEAN adalah Singapura, dan diikuti oleh Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia, Thailand dan Philipina. Indonesia menempati posisi keempat atau negara paling tidak intensif ketiga, dengan nilai rerata indeks 2,183. ini mengindikasikan bahwa pada periode 1995-2000 sekalipun komoditas TPT Indonesia memiliki peningkatan peluang yang tinggi, eksportir TPT Indonesia kurang berhasil melakukan penetrasi pasar TPT di wilayah ASEAN. Menurut Soewandi (KOMPAS, 2003b), fenomena ini disebabkan karena pengusaha dan jajaran birokrasi Dinas Perindutrian dan Perdagangan telah terlena oleh jatah kuota ekspor TPT, sehingga kurang memperhatikan upaya riset dan pengembangan untuk meningkatkan daya saing, maupun upaya menjalin jaringan usaha dengan pembeli baru dari negara tujuan ekspor non tradisional.

Tingkat Daya Saing

Keunggulan komparatif atau daya saing ekspor suatu komoditas di kancah perdagangan internasional dapat dicerminkan oleh nilai Indeks Revealed Comparative
Advantage (RCA). Tabel 5 menyajikan hasil perhitungan RCA (rumus no.4) untuk

komoditas TPT keenam negara. Terlihat bahwa selama periode 1995-2000, komoditas TPT Indonesia memiliki keunggulan komparatif yang lebih tinggi di atas rata-rata dunia. Hal ini ditunjukkan oleh nilai Indeks RCA yang selalu di atas satu. Indonesia bahkan memiliki nilai rerata tertinggi yaitu 2,67. Ini berarti secara rata-rata, tingkat

11

daya saing atau keunggulan komparatif komoditas TPT Indonesia adalah jauh lebih baik dibandingkan keunggulan komparatif komoditas TPT yang dimiliki oleh Singapura, Malaysia, Philipina, Thailand dan Brunei Darussalam. Hal lain yang dapat dinilai dari indeks RCA adalah potensi penetrasi pasar. Semakin besar nilai indeks, semakin tinggi tingkat keunggulan komparatif dan semakin tinggi pula potensi penetrasi pasarnya. Ini berarti, berdasarkan Tabel 5 potensi pasar terbesar untuk merajai pasar komoditas TPT di wilayah ASEAN sesungguhnya dimiliki oleh Indonesia, Philipina (2,26; potensi terbesar kedua), Thailand (2,07), Brunei Darussalam (0,87), Malaysia (0,17), dan Singapura (0,48).

Berdasarkan hasil perhitungan dan analisis, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Secara umum, ASEAN adalah wilayah perdagangan atau daerah tujuan ekspor yang penting bagi Indonesia, Singapura, Malaysia, Philipina, Thailand dan Brunei Darussalam. Namun secara individual diantara keenam negara tersebut, Malaysia adalah negara yang paling tinggi tingkat intensitas perdagangannya dengan kawasan ASEAN (paling intensif). Secara berurut negara-negara yang intensif melakukan penetrasi pasar kewilayah ASEAN adalah Singapura, disusul oleh Thailand, Brunei Darussalam, Indonesia dan Philipina. Indonesia menempati posisi ke lima dan menjadi negara paling tidak intensif kedua setelah Philipina dalam hal intensitas hubungan perdagangan dengan kawasan ASEAN. 2. Khusus pada perdagangan komoditas TPT di kawasan ASEAN, Singapura adalah negara yang paling intensif melakukan ekspor TPT ke wilayah ASEAN. Prestsi ini diikuti oleh Brunei Darussalam, Malaysia, Indonesia, Thailand dan Philipina. Dalam hal ekspor TPT, sekalipun Indonesia menempati posisi keempat atau negra paling tidak intensif ketiga, sesungguhnya diantara keenam negara, Indonesia adalah negara yang memiliki peningkatan peluang ekspor TPT paling tinggi. Peluang Indonesia adalah lebih baik dari Philipina, Thailand, Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura (peningkatan peluangnya terendah). 3. Tingkat daya saing ekspor atau keunggulan komparatif komoditas TPT Indonesia adalah lebih tinggi di atas rata-rata dunia dan jauh lebih baik dibandingkan

12

keunggulan komparatif komoditas TPT yang dimiliki oleh Singapura, Malaysia, Philipina, Thailand dan Brunei Darussalam. Adapun secara berurut, posisi tingkat daya saing ekspor komoditas TPT keenam negara tersebut adalah Indonesia (daya saing ekspor TPT terkuat), Philipina, Thailand, Brunei Darussalam, Malaysia dan Singapura (daya saing ekspor TPT terlemah).

Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang telah dilakukan, maka pada penelitian ini dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut: 1. Pemerintah dan pengusaha TPT nasional hendaknya bisa lebih mengoptimalkan pasar ASEAN, dengan lebih mengintensifkan upaya menjalin jaringan usaha dengan pembeli-pembeli baru di luar Singapura, mengingat tingginya peluang peningkatan ekspor dan kuatnya tingkat daya saing komoditas TPT Indonesia. 2. upaya lain yang bisa ditempuh dalam kerangka peningkatan ekspor TPT adalah meningkatnya intensitas riset dan pengembangan di bidang TPT. Hal ini bisa diawali dengan riset tentang tingkat daya saing atau keunggulan komparatif setiap hasil produk industri TPT, maupun riset tentang tingkat intensitas perdagangan TPT antara Indonesia dengan negara/wilayah tujuan ekspor baru, seperti Afrika, Amerika Latin, dll; tentunya dengan menggunakan data-data statistik yang terbaru.

13

DAFTAR PUSTAKA

Astono. 1997. Harus Diupayakan, Peningkatan Nilai Tambah dari Primadona Ekspor Non Migas. KOMPAS, Selasa, 14 Januari. Badan Pusat Statistik. 2002. Statistik Indonesia 2001. Jakarta. Deliarnov. 1995. Pengantar Ekonomi Makro. Jakarta: UI Press. Depperindag, Direktorat Industri Tekstil. 2001. Langkah Kebijakan Pengembangan Industri Tekstil dan Produk Tekstil Menghadapi 2003/2005. Jakarta. Dumairy. 1997.Perekonomian Indonesia. Jakarta:Erlangga. Garnaut, R dan Peter Drysdale.1994. Asia Pacific Regionalism Readings in
International Economic Relations. Australia: Harper Educational Publisher.

Hamdy, Hady. 2001. Ekonomi Enternasional Teori dan Kebijakan Perdagangan


Internasional. Buku 1, Edisi Revisi Jakarta: Ghalia Indonesia.

KOMPAS. 2003a. Produk Ekspor TPT Indonesia Berada di Ujung Tanduk? Jakarta, Kamis 24 Juli, hal 15. KOMPAS. 2003b. RI Belum Siap Hadapi Kompetisi Pascakuota TPT. Jakarta, Jumat, 19 Desember, hal 1. Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI. 1998. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.558/MPP/Kep/12/1998 Tentang Ketentuan Umum di Bidang Ekspor. Jakarta. Situs Sekretariat ASEAN. Trade, ASEAN Statistics. http://202.154.12.3/trade/publicview.asp. Situs WTO. Textile, Trade Topics. http://www.wto.org/english/res_e/statis_e/statis_e.htm Tambunan, Tulus. 2001. Perdagangan Internasional dan Neraca Pembayaran-Teori
dan Temuan Empiris. Jakarta: PT Pustaka LP3ES Indonesia.

Triyoso, Bambang. 1994. Model Ekspor Non Migas Indonesia Untuk Proyeksi Jangka Pendek. Ekonomi dan Keuangan Indonesia. 32(2) : 210.

14

LAMPIRAN

Tabel 1.

Perkembangan Nilai Ekspor Beberapa Komoditas Unggulan Sektor Industri Indonesia Periode 1995-2000
Nilai Ekspor (Juta US$) dan Kontribusinya pada nilai total (persen) Tekstil dan Produk Tekstil Nilai 6,101.5 6,425.6 5,158.3 4,988.5 6,875.8 8,239.1 Kont.*) 59.2 59.3 51.5 63.8 67.1 72.8 Kayu Lapis Minyak Kelapa Sawit Nilai 747.4 825.4 1,446.1 745.3 1,114.2 1,087.3 Kont. *) 7.2 7.5 14.5 9.6 10.9 9.6 Total Kont. *) Nilai total pada Nilai Ekspor Sektor Industri 35.2 33.8 28.7 22.6 30.8 26.9 Nilai Ekspor Sektor Industri (Juta US$) 29,328.2 32,124.8 34,985.2 34,593.2 33,332.4 42,003.0

Tahun

1995 1996 1997 1998 1999 2000

Nilai 3,462.0 3,595.4 3,410.6 2,078.0 2,256.3 1,989.0

Kont. *) 33.6 33.2 34.0 26.6 22.0 17.6

10,310.9 10,846.4 10,015.0 7,811.8 10,246.3 11,315.4

Ket: *) Kontribusi, nilai dalam persen Sumber: BPS, 2001 Tabel 2. Perbandingan Nilai Ekspor TPT Indonesia (dan Beberapa Negara ASEAN) Intra ASEAN, dengan Nilai Total Ekspor TPT Periode 1995-2000 (Juta US$)
Tahun Negara Indonesia Intra ASEAN Total TPT Kontribusi (%) Singapura Intra ASEAN Total TPT Kontribusi (%) Malaysia Intra ASEAN Total TPT Kontribusi (%) 403.6 2,391.0 16.9 401.5 2,679.3 15.0 398.9 2,699.6 14.8 319.3 2,522.0 12.7 460.2 2,431.8 18.9 578.4 2,659.1 21.7 1,011.1 2,664.6 37.9 995.6 2,619.5 38.0 982.8 2,849.3 34.5 524.6 2,290.4 22.9 563.0 2,474.4 22.7 622.9 2,753.9 22.6 529.8 6,101.5 8.7 637.3 6,425.6 9.9 457.1 5,158.3 8.9 359.9 4,988.5 7.2 564.5 6,875.8 8.2 701.5 8,239.1 8.5 1995 1996 1997 1998 1999 2000

15

Philipina Intra ASEAN Total TPT Kontribusi (%) Thailand Intra ASEAN Total TPT Kontribusi (%) Brunei Darussalam Intra ASEAN Total TPT Kontribusi (%) 435.9 6,599.1 6.6 426.9 5,545.6 7.7 434.5 5,480.0 7.9 236.0 4,679.6 5.0 365.5 5,096.7 7.2 459.0 5,569.0 8.2 59.4 2,694.9 2.2 66.8 2,612.3 2.5 74.0 2,611.0 2.8 54.5 2,572.2 2.1 39.1 2,476.6 1.6 56.7 2,786.8 2.0

2.3 45.4 5.1

5.3 50.6 10.5

1.6 56.8 2.8

7.7 88.5 8.7

46.3 126.6 36.6

69.9 175.7 39.8

Sumber: http://www.aseansec.org

Tabel 3.

Perbandingan Nilai Indeks Intensitas Perdagangan (IT) Indonesia dan Beberapa Negara ASEAN ke Pasar ASEAN Periode 1995-2000
1995 2.3 4.9 4.5 2.2 2.9 3.2 1996 2.4 4.5 4.8 2.4 3.4 2.8 1997 2.8 4.4 4.8 2.2 3.7 2.9 1998 4.2 5.1 6.1 2.8 3.6 2.5 1999 3.7 5.3 5.4 3.0 3.7 3.4 2000 3.4 5.2 4.8 3.0 4.2 5.7 Rerata 3.1 4.9 5.1 2.6 3.6 3.4

Tahun Negara Indonesia Singapura Malaysia Philipina Thailand Brunei Darussalam

Sumber: data diolah

Tabel 4.

Perbandingan Nilai Indeks Komplementer dan Indeks Bias Negara Komoditas TPT Indonesia dan Beberapa Negara ASEAN Periode 1995-2000
Tahun 1995 1996 1997 1998 1999 2000 Rerata

Negara Indonesia IK IBN Singapura IK IBN 0.02 8.40 0.02 8.50 0.01 8.70 0.01 7.40 0.02 6.70 0.02 5.50 0.02 7.53 0.10 1.90 0.08 2.20 0.06 2.20 0.07 2.30 0.10 2.40 0.10 2.10 0.09 2.18

16

Malaysia IK IBN Philipina IK IBN Thailand IK IBN Brunei Darussalam IK IBN 0.08 1.50 0.01 1.10 0.07 1.70 0.01 2.40 0.06 2.00 0.01 0.70 0.06 1.60 0.03 2.80 0.06 2.10 0.04 10.90 0.06 2.00 0.06 9.80 0.07 1.82 0.03 4.62 0.11 0.50 0.09 0.60 0.07 0.70 0.06 0.70 0.05 0.50 0.06 0.50 0.07 0.58 0.03 3.80 0.02 3.40 0.02 3.70 0.02 4.10 0.02 5.60 0.02 5.30 0.02 4.32

Sumber: data diolah

Tabel 5.

Perbandingan Nilai Indeks RCA Komoditas TPT Indonesia dan Beberapa Negara ASEAN Periode 1995-2000
1995 2.95 0.56 0.78 3.40 2.44 0.36 1996 2.65 0.50 0.80 2.98 2.21 0.45 1997 2.15 0.47 0.74 2.21 2.02 0.45 1998 2.14 0.44 0.69 1.83 1.98 0.97 1999 3.20 0.47 0.63 1.53 1.97 1.17 2000 2.92 0.44 0.60 1.61 1.77 1.79 Rerata 2.67 0.48 0.71 2.26 2.07 0.87

Tahun Negara Indonesia Singapura Malaysia Philipina Thailand Brunei Darussalam

Sumber: data diolah


Thoso Priharnowo, adalah alumnus Fakultas Ekonomi jurusan ilmu ekonomi universitas Udayana. Kini, Mantan aktivis pers kampus ini adalah staf Pusdiklat Departemen Luar Negeri (Jl. Sisingamangaraja No 73 Jakarta Selatan 12120). Email thoso2000@yahoo.com

You might also like