You are on page 1of 6

Estuarine habitat preferences of Anguilla

australis and A. reinhardtii glass eels as


inferred from laboratory experiments
Authors: Veronica Silberschneider1; Bruce Pease2; David Booth3

Source: Environmental Biology of Fishes, Volume 71, Number 4, December 2004 ,


pp. 395-402(8)

Publisher: Springer

Abstract:

We tested the habitat preferences of Anguilla australis (shortfin) and


A. reinhardtii (longfin) glass eels using circular tanks in an aquarium,
containing four types of estuarine habitat (sand, mud, rocks/cobbles
and seagrass). Shortfin eels either showed a tendency to occur in
heterogeneous habitats, or in rocks/cobbles. Longfin glass eels showed
a significant preference for rocks/cobbles in both experiments. Tests
on shortfin and longfin glass eels in tanks with only rocks/cobbles
available showed that eels were not clumped, indicating that
individuals select habitat for re-settlement independently. Therefore,
we assumed that the uneven distribution of glass eels observed in the
habitat type experiments were the result of habitat preference. Given
a choice of habitats in tank experiments, shortfin and longfin glass eels
preferred habitats containing structure, and in particular,
rocks/cobbles.

Keywords: shortfin eel; longfin eel; Anguillidae; Australia

Document Type: Research article

DOI: 10.1007/s10641-004-6589-8

Affiliations: 1: Department of Environmental Sciences, University of Technology,


Sydney (UTS), Westbourne St, Gore Hill, NSW, 2065, Australia, Email:
eronica.Silberschneider@fisheries.nsw.gov.au 2: NSW Fisheries, Port Stephens
Fisheries Centre, P.O. Box 21, Cronulla, NSW, 2230, Australia, 3: Department of
Environmental Sciences, University of Technology, Sydney (UTS), Westbourne St,
Gore Hill, NSW, 2065, Australia,

Links for this article

• http://www.ingentaconnect.com/klu/ebfi/2004/00000071/00000004/000065
89
• http://openurl.ingenta.com/content?genre=article&issn=0378-
1909&volume=71&issue=4&spage=395&epage=402
• http://dx.doi.org/10.1007/s10641-004-6589-8

Perubahan Iklim Global Ancam Perikanan Kita


Sinarharapan 10 Februari 2009
Oleh
Muhamad Karim

Akhir-akhir ini hampir semua media massa di negeri ini memberitakan kondisi iklim yang tidak
menentu. Tiap hari hujan lebat melanda Pulau Jawa dan pulau-pulau lainnya. Gelombang laut
yang tingginya berkisar 3-5 meter dan badai terjadi di Laut Jawa, Laut Cina Selatan, Banda,
Flores dan perairan lainnya di Indonesia. Akibatnya, mengganggu arus pelayaran antarpulau di
Indonesia dan nelayan takut melaut. Kapal dan perahu pun diparkir di tepi pantai. Berbagai ahli
klimatologi mensinyalir kondisi alam ini akibat perubahan iklim global.
Ancaman iklim global sudah menjadi kepedulian komunitas internasional. Berbagai kalangan
sudah menggelar pelbagai pertemuan multilateral maupun regional untuk menghadapi ancaman
itu. Terakhir, pertemuan Konferensi Perubahan Iklim Desember 2007 di Bali. Pertemuan World
Ocean Conference (WOC) yang akan berlangsung 11-15 Mei 2009
di Manado juga mengagendakannya. Hal ini penting karena perubahan iklim global berdampak
serius terhadap kehidupan nelayan tradisional di negeri ini. Setidaknya ada dua fenomena
ekstrem terhadap lautan akibat perubahan iklim global yakni kenaikan suhu air laut dan
permukaan laut.
Kenaikan suhu air laut, pertama, memengaruhi ekosistem terumbu karang yang menjadi fishing
ground dan nursery ground ikan yang hidup di wilayah itu. Ikan-ikan yang hidup di daerah karang
akan mengalami penurunan populasi. Hasil penelitian Ove Hoegh-Guldberg yang dipublikasikan
di jurnal Science edisi Desember 2007 meramalkan bahwa akibat pemanasan global pada tahun
2050 akan mendegradasi 98 persen terumbu karang dan 50 persen biota laut. Bahkan,
memprediksikan apabila suhu air laut naik 1,5 0C setiap tahunnya sampai 2050 akan
memusnakan 98 persen terumbu karang di Great Barrier Reef, Australia. Barangkali nantinya di
Indonesia kita tak akan lagi menikmati lobster, cumi-cumi
dan rajungan.

Pulau-pulau Tenggelam
Kedua, terputusnya rantai makanan. Gretchen Hofmann (2008), Profesor Biologi dari University
of California, Santa Barbara menjustifikasi bahwa pemanasan global (peningkatan suhu dan
keasaman) akan berdampak pada hilangnya rantai makanan yang berperan sebagai katastropik
yakni organisme pteropoda. Dampak selanjutnya memengaruhi populasi ikan salmon, mackerel,
herring, dan cod, karena organisme itu sebagai sumber makanannya. Sementara itu, kenaikan
permukaan air laut berdampak luas terhadap aktivitas nelayan budi daya di wilayah pesisir.
Naiknya permukaan laut akan menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan
tambak-tambak ikan dan udang di Jawa, Aceh, Kalimantan dan Sulawesi (UNDP, 2007).
Akibatnya, nelayan pembudi daya akan mengalami kerugian yang tak sedikit dan kehilangan
sumber kehidupannya.
Gejala ini sebetulnya sudah terjadi di kawasan Delta Mahakam Kalimantan Timur, walaupun perlu
riset mendalam. Menurunnya produktivitas udang secara drastis di kawasan itu disinyalir salah
satu penyebabnya adalah perubahan iklim global. Tak hanya itu, naiknya permukaan laut akan
menghancurkan kawasan permukiman nelayan yang berlokasi di desa-desa pesisir. Terjadinya
fenomena rob yang menggenangi pesisir Teluk Jakarta beberapa waktu lalu adalah fakta empiris.
Dampak lanjutannya adalah mewabahnya penyakit menular jenis disentri atau tipes.
Ketiga, perubahan iklim global juga menyebabkan cuaca yang tidak menentu dan gelombang laut
yang tinggi disertai badai/angin topan. Di Maluku, misalnya, nelayan amat sulit memperkirakan
waktu dan lokasi yang sesuai untuk menangkap ikan karena pola iklim yang berubah. Tak hanya
itu, infrastruktur pedesaan pesisir akan mengalami kehancuran akibat hantaman gelombang
maupun badai topan. Para ahli meramalkan pulau-pulau kecil di Pasifik maupun Karibia akan
tenggelam akibat kenaikan permukaan laut yang terus
meningkat dalam kurun waktu lama.
Ini tak hanya menimbulkan problem demografi akibat kehilangan permukiman, melainkan juga
akan memusnahkan spesies endemin di perairan sekitar pulau maupun yang hidup dalam pulau
itu. Bahkan, infrastruktur ekonomi maupun sosial yang mendukung kehidupan nelayan akan
mengalami hal yang sama (IPCC, 2007). Umpamanya, pelabuhan perikanan, cold strorage, dan
kapal ikan. Akibatnya, nelayan penangkap maupun pembudi daya ikan di wilayah pesisir akan
miskin selamanya.

Diplomasi Iklim
Penyumbang terbesar dari perubahan iklim global yakni meningkatnya kadar karbon dioksida
yang diproduksi oleh industri berbahan bakar fosil (migas dan batu bara), dan kendaraan
bermotor. Industrialisasi berbahan bakar ini terutama terjadi di negara-negara maju yang
memproduksi barang-barang konsumsi elektronik, dan makanan kaleng, senjata, industri berat
dan kendaraan bermotor seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, China dan India. Mereka
enggan menandatangani emisi penurunan karbon, sehingga membebankannya pada negara
berkembang yang secara ekonomi morat-marit.
Negara berkembang umumnya memiliki sumber daya alam hutan dan lautan yang mampu
memproduksi oksigen (udara bersih) dari proses fotosintesis. Hutan dan lautan yang memiliki
terumbu karang mengikat karbon dalam proses serupa. Asumsinya, karbon dioksida yang
dihasilkan negara maju akan berkurang. Padahal, siapa yang menjamin hal itu. Dalam konteks
ini, negara maju mempraktikkan politik ”Bad Samaritan” atas sumber daya alam negara
berkembang, meminjam istilah Ha-Joon Chang (2007).
Bad Samaritan adalah negara maju mendapatkan keuntungan dari penderitaan negara
berkembang yang ditekan untuk tak memanfaatkan sumber daya alamnya dengan dalih demi
keberlanjutan ekologis maupun umat manusia. Padahal, negara maju sudah menjerat leher
negara berkembang dengan utang maupun politik perdagangan bebas yang tidak adil.
Makanya,
negara berkembang semacam Indonesia yang memiliki nelayan sekitar 11 juta jiwa perlu
melakukan ”politik diplomasi iklim” untuk menyelamatkan mereka dari tekanan negara maju yang
menindas. Politik diplomasi itu adalah meminta negara maju agar menandatangani penurunan
emisi gas rumah kaca dan mengurangi aktivitas industrialisasinya jika mau menyelamatkan bumi
dan umat manusia. Jika tidak, negara-negara berkembang berhak menolak produk-produk
negara maju yang diproduksi dari pabrik berbahan bakar fosil. Selain itu, tak perlu tunduk pada
hegemoni negara maju untuk memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam (misalnya hutan,
laut dan perikanan) karena mengandung unsur ketidakadilan.
Momentum WOC, hemat saya merupakan ajang bagi Indonesia untuk melakukan ”politik
diplomasi iklim” dengan negara maju agar 11 juta nelayan yang menangkap ikan di laut seluas
5,8 juta km persegi serta membudidayakan ikan dan udang dalam rentang garis pantai 81.000
km
selamat. Jika tidak, Indonesia akan mengalami penjajahan ekologis (eco-colonialism) secara
tragis. Sumber daya alamnya mengalami degradasi serius dibarengi kemiskinan nelayan akibat
perubahan iklim yang bersumber dari ulah negara maju.

Penulis adalah Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim.

Laut Adalah Sumber Kehidupan


Mari STOP ILLEGAL FISHING.
Saran dan Pendapat Bapak/Ibu/Sdr (i) dapat memperpanjang Kelangsungan Hidup Kita di Masa
Depan.
Mari kita selamatkan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Dengan bergabung
http://asia. groups.yahoo. com/group/ Illegal_Fishing_ Indonesia/ join

Selamat Bergabung

Buat sendiri desain eksklusif Messenger Pingbox Anda sekarang!


Membuat tempat chat pribadi di blog Anda sekarang sangatlah mudah

Firefox 3: Lebih Cepat, Lebih Aman, Dapat Disesuaikan dan Gratis.

Nikmati chatting lebih sering di blog dan situs web. Gunakan Wizard Pembuat Pingbox Online.
http://id.messenger .yahoo.com/ pingbox/

[Non-text portions of this message have been removed]

Copyright © 2007 Elsevier Inc. All rights reserved.

Energy and migratory behavior in glass eels


(Anguilla anguilla)

S. Bureau Du Colombiera, b, ,
, V. Bollieta, P. Lambertb and A. Bardonneta

a
Station d'Hydrobiologie INRA, UMR ECOBIOP INRA/UPPA, Quartier Ibarron, 64310 St Pée sur
Nivelle, France

b
CEMAGREF, Unité Ecosystèmes Estuariens et Poissons Migrateurs Amphihalins, 50 avenue de
Verdun, 33612 Cestas Cedex, France

Received 22 December 2006;


revised 27 April 2007;
accepted 10 May 2007.
Available online 18 May 2007.

Abstract

The influence of energy content of glass eels (Anguilla anguilla) on their migratory behavior was
investigated in November 2004 and February 2005 under laboratory conditions. Fish were sorted
according to their response to a decrease in light intensity: Glass eels becoming active at dusk
and using water flow to move with the current were considered as “active”, whereas those
remaining in the substratum throughout the catching period (24 h) were categorized as “inactive”.
“Active” glass eels exhibited higher energy content than “inactive” ones, whatever the catching
month, and were more pigmented. Differences in percentage dry weight between “active” and
“inactive” fish were already significant in the first pigmentary stages, suggesting that energy
content plays a causal role in the estuarine migration of glass eels. The possible impact of energy
state on the development of different migratory tactics in glass eels is discussed.

Keywords: Anguilla anguilla; Estuary; Glass eel; Migration; Physiology

Article Outline
1. Introduction
2. Materials and methods
2.1. Fish collection
2.2. Experimental apparatus: the flow-through flume
2.3. Behavioral tests
2.4. Biometric measurements and pigmentary stage
2.5. Dry weight and energy
2.6. Statistical analysis
3. Results
4. Discussion
Acknowledgements
References

Fig. 1. Schematic lateral view of a section of the flow-through flume.

Article
Distribution and Abundance of Glass-Eels Anguilla spp. in East
Australian Waters
John Beumer 1 , Robert Sloane 2
1
Fisheries Branch Queensland Department of Primary Industries G.P.O. Box 46 Brisbane, Qld. 4001 Australia
2
Inland Fisheries Commission 127 Davey Street Hobart, Tasmania 7001 Australia
Fisheries Branch, Queensland Department of Primary Industries, G.P.O. Box 46, Brisbane, Qld. 4001.
Australia.
Inland Fisheries Commission, 127 Davey Street, Hobart, Tas. 7001. Australia.

KEYWORDS
glass-eel • Anguilla • invasion • distribution • abundance
ABSTRACT
The invasion of glass-eels Anguilla species into coastal waters of Eastern Australia is described from the
results of sampling as well as a review of pertinent literature. A. reinhardtii has a year-round invasion in
tropical and sub-tropical waters while A. australis has a similar invasion pattern in temperate waters. The
former species is most abundant in latitudes 20-34° S with the latter species most abundant in latitudes 35-
44° S. A. australis glass-eels were longer and heavier than those of A. reinhardtii. The recorded distribution
and abundance patterns are discussed in terms of rainfall regimes and the movements of inshore currents.
DIGITAL OBJECT IDENTIFIER (DOI)
reinhardtii and A. australis on Australian eastern coasts
Auteur(s) / Author(s)
SHIAO Jen-Chieh (1) ; TZENG Wann-Nian (1) ; COLLINS Adrian (2) ; IIZUKA Yoshiyuki (3) ;
Affiliation(s) du ou des auteurs / Author(s) Affiliation(s)
(1)
Department of Zoology, College of Science, National Taiwan University, Taipei, 106, TAIWAN, PROVINCE
DE CHINE
(2)
Bribie Island Aquaculture Research Centre, 144 North Street Woorim, Bribie Island QLD 4057,
AUSTRALIE
(3)
Institute of Earth Sciences, Academia Sinica, Nankang, Taipei, 106, TAIWAN, PROVINCE DE CHINE
Résumé / Abstract
The differences in geographical distribution between Anguilla reinhardtii and A. australis on the eastern
coast of Australia can be understood by comparing otolith growth increments and microchemistry, the ages
between species of the eels at metamorphosis from leptocephalus to glass eels and the ages of glass eels
at estuarine arrival. The ages at metamorphosis were determined from where the increment width
dramatically increased and the Sr/Ca ratio dropped. The mean age (± s.d.) of A. reinhardtii (n = 176) at
metamorphosis was 144.5 ± 12.2 days and at estuarine arrival was 182.7 ± 16.3 days. For A. australis (n =
150) it was 173.7 ± 20.5 days and 229.2 ± 29.4 days, respectively. The differences in age between species
were significantly larger than the annual and seasonal variations within species. Australian eels are believed
to spawn in the tropical oceans and larval eels drift in the South Equatorial Current to eastern Australia. The
younger ages at estuarine arrival of A. reinhardtii suggest that the spawning grounds of this species lie
closer to Australia than those of A. australis. In addition, the mean total length at recruitment of A. reinhardtii
(49.9 ± 2.0 mm) was significantly smaller than for A. australis (54.6 ± 5.4 mm) (t = 3.8, P < 0.01). However,
the growth rates ofA. reinhardtii (0.25 ± 0.02 mm/d) were significantly faster than for A. australis (0.23 ±
0.022 mm/d)(t = 7.6, P < 0.01). The smaller sizes ofA. reinhardtii at recruitment were likely due to the shorter
marine larval period and faster growth rate compared with A. australis. The duration of the marine larval
period and growth rate may be the principal factors in determining the geographical distribution of both A.
reinhardtii, which tend to occur in tropical-subtropical waters, and A. australis, which predominate in more
temperate waters.
Revue / Journal Title
Marine and freshwater research ISSN 1323-1650
Source / Source
2002, vol. 53, no3, pp. 687-695 (34 ref.)
Langue / Language
Anglais
Editeur / Publisher
Commonwealth Scientific and Industrial Research Organization, Melbourne, AUSTRALIE (1995) (Revue)
Mots-clés anglais / English Keywords
Vertebrata ; Pisces ; Brackish water environment ; Oceania ; Australia ; Estuaries ; Otolith ; Interspecific
comparison ; Spatial distribution ; Metamorphosis ; Development ; Growth rate ; Life history ; Larva ;
Mots-clés français / French Keywords
Anguillidae ; Vertebrata ; Pisces ; Milieu saumâtre ; Océanie ; Anguilla reinhardtii ; Anguilla australis ;
Australie ; Estuaire ; Otolithe ; Comparaison interspécifique ; Répartition spatiale ; Métamorphose ;
Développement ; Taux croissance ; Cycle évolutif ; Larve ;
Mots-clés espagnols / Spanish Keywords
Vertebrata ; Pisces ; Medio salobre ; Oceania ; Australia ; Estuario ; Otolito ; Comparación interespecífica ;
Distribución espacial ; Metamórfosis ; Desarrollo ; Tasa crecimiento ; Ciclo evolutivo ; Larva ;
Localisation / Location
INIST-CNRS, Cote INIST : 5687 F, 35400010893742.0070

Copyright 2008 INIST-CNRS. All rights reserved


Toute reproduction ou diffusion même partielle, par quelque procédé ou sur tout support que ce soit, ne pourra être faite
sans l'accord préalable écrit de l'INIST-CNRS.
No part of these records may be reproduced of distributed, in any form or by any means, without the prior written
permission of INIST-CNRS.
Nº notice refdoc (ud4) : 13813760

You might also like