You are on page 1of 37

Causes of the Indian Mutiny

The causes of the Indian Mutiny which erupted in Meerut on May 10, 1857, and raged across north and central India for more than a year, have long been the subject of Indo-British historical debate. The immediate trigger was the introduction of the Enfield rifled musket which had cartridges greased with pig and cow fat, causing offence to Muslim and Hindu soldiers respectively.
More sophisticated historical readings find a range of causes for the bubbling discontent that led to open rebellion - the punitive tax collection system, a succession of British territorial seizures and the rise of aggressive Christian evangelism among them. However it was the refusal to bite into those Enfield musket cartridges that led, on April 24, to the imprisonment of 90 soldiers of the Third Indian Cavalry in Meerut. They were sprung from jail on May 10 by the mutinous sepoys, who then marched on Delhi. The immediate trigger was the introduction of the Enfield rifled musket which had cartridges greased with pig and cow fat, causing offence to Muslim and Hindu soldiers respectively. More sophisticated historical readings find a range of causes for the bubbling discontent that led to open rebellion - the punitive tax collection system, a succession of British territorial seizures and the rise of aggressive Christian evangelism among them. However it was the refusal to bite into those Enfield musket cartridges that led, on April 24, to the imprisonment of 90 soldiers of the Third Indian Cavalry in Meerut. They were sprung from jail on May 10 by the mutinous sepoys, who then marched on Delhi.

Jika Anda Tertarik untuk mengcopy Makalah ini, maka secara ikhlas saya mengijnkannya, tapi saya berharap sobat menaruh link saya ya..saya yakin Sobat orang yang baik. selain Makalah Pembaharu Islam di India dengan Gerakan Aligarh oleh Ibrahim Lubis, anda dapat membaca Makalah lainnya di Aneka Ragam Makalah. dan Jika Anda Ingin Berbagi Makalah Anda ke blog saya silahkan anda klik disini.Salam saya Ibrahim Lubis. email :ibrahimstwo0@gmail.com Pembaharun Islam Di India
Dengan Gerakan Aligarh
Bangsa Inggris semenjak permulaan abad 17 telah tiba di India sebagai pedagang dengan angkatannya yang bernama "The East India Company" mengetahui pertentangan-pertentangan antara sesama wilayah bawahan kesultanan Islam di satu pihak, dan antara kesultanan Islam dan bekas kerajaan Hindu sebagai taklukannya di pihak lain, akhirnya bangsa Inggris melaksanakan politik menggali di air keruh. Selera mereka tumbuh hendak menguasai wilayah, terutama di sekitar pabrikpabrik yang telah mereka dirikan. Dengan politik adu domba yang lihai mereka berhasil. Madras dikuasai pada tahun 1639. Kota Bombay tahun 1660 jatuh pula ke tangan mereka. Demikianlah selanjutnya dengan kekuatan angkatan bersenjata, politik adu-domba dan senjata uang, kekuasaan hakiki kesultanan Islam Munghal dilumpuhkan. Walupun sesekali memberontak, tetapi tetap bisa dikalahakan oleh Inggris. Hal yang sama diderita pula oleh raja-raja Hindu, seperti kerajaan Maratha, yang mencoba melawan Inggris pada tahun 1817-1818. Begitu juga pada tanggal 10 Mei 1857 umat Hindu dan umat Islam mengadakan pemberontakan terhadap penguasa Inggris namun masih belum mendapatkan hasil. Pada saat itu muncullah Ahmad Khan, tokoh pembaruan yang berusaha mendekati pemerintahan Inggris. Ahmad Khan berpendapat bahwa menentang kekuasaan Inggeris tidak akan membawa kebaikan bagi ummat Islam India, tetapi akan menjadikan umat Islam semakin mundur serta akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India.[1] Selain itu dasar ketinggian dan kekuatan Barat, termasuk di dalamnya Inggris, adalah ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sehingga untuk mendapatkan kemajuan, umat Islam harus pula menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern itu. Jalan yang harus ditempuh ummat Islam memperoleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperlukan itu

bukanlah bekerja sama dengan Hindu dalam menentang Inggris tetapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan Inggris. Gerakan pembaharuan Islam di India dilatar belakangi oleh: ajaran Islam sudah bercampur baur dengan paham dan praktek keagamaan dari Persia, Hindu atau Animisme dan lain lain, pintu ijtihad tertutup, kemajuan kebudayaan dan peradaban Barat telah dapat dirasakan oleh orang-orang India, baik orang Hindu maupun kaum Muslimin, namun orang Hindu-lah yang banyak menyerap peradaban Barat, sehingga orang Hindu lebih maju dari orang Islam dan lebih banyak dapat bekerja di Kantor Inggris. Dalam makalah ini penulis akan kiprah pemikiran Sayyid Ahmad Khan dan Gerakan Aligarh yang telah memberikan kontribusi dalam pentas pembaruan sejarah umat Islam di India pada khususnya dan di Negara-negara Islam pada umumnya. Sebagai penyempurna makalah ini penulis mengharapkan kontribusi pemikiran dan saran yang membangun untuk perbaikan makalah ini.

2. Pembahasan a. Riwayat Hidup Syed Ahmad Khan Ahmad Khan lahir tanggal 6 Dzulhijjah 1232 Hijriyah atau 17 Oktober 1817 Masehi di kota Delhi. Nenek moyangnya berasal dari Semenanjung Arab yang kemudian hijrah ke Herat, Persia (Iran), karena tekanan politik pada zaman dinasti Bani Umayyah (41 H/661 M 133 H/750 M). Dari Herat mereka hijrah ke Hindustan (India) dan menetap di sana. Kakek Sayyid Ahmad Khan adalah Sayyid Hadi yang menjadi pembesar istana pada zaman Alamghir II ( 1754- 1759). Sedangkan Ayahnya bernama alMuttaqi, seorang ulama shalih yang mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Mughal pada masa pemerintahan Akbar Syah II (1806 1837). Ahmad Khan memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad SAW melalui cucu beliau dari keturunan Fatimah al Zahra dan Ali bin Abi Talib. Karena itulah dia bergelar Sayyid. Sedangkan ibunya adalah seorang wanita cerdas dan pandai mendidik anak-anaknya.[2] Ahmad Khan memulai pendidikannya dalam pengetahuan agama secara tradisional. Di samping itu dia juga mempelajari bahasa Persia dan bahasa Arab, matematika, mekanika, sejarah dan berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Dia juga banyak membaca buku-buku ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Hal ini menjadikannya sebagai seorang yang luas ilmu pengetahuannya, berpikiran maju, dan dapat menerima ilmu pengetahuan moderen.[3] Sejak sang ayah meninggal tahun 1838, Ahmad Khan mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, karena ibunya enggan menerima tunjangan pensiun dari istana. Dia bekerja pada Serikat India Timur, kemudian ia pindah bekerja sebagai hakim di Fatehpur (1841), selanjutnya ia dipindahkan ke Bignaur. Pada tahun 1846 dia kembali lagi ke Delhi. Masa depan di Delhi merupakan masa yang paling berharga dalam hidupnya karena dia dapat melanjutkan pelajarannya. Ketika terjadi pemberontakan umat Hindu dan umat Islam terhadap penguasa Inggris pada tanggal 10 Mei 1857, Ahmad Khan berada di Bignaur sebagai salah seorang pegawai peradilan.[4] Dalam peristiwa ini dia tidak ikut memberontak, bahkan banyak membantu melepaskan orang-orang Inggris yang teraniaya di Bignaur. Atas jasa-jasanya, pemerintah Inggris menganugerahkan gelar Sir dan memberikan berbagai hadiah kepadanya. Ahmad Khan menerima gelar tersebut, tetapi dia menolak hadiah-hadiah itu, kecuali kesempatan untuk berkunjung ke Inggris pada tahun 1869. Kesempatan tersebut dimanfaatkan olehnya untuk meneliti lebih jauh sistem pendidikan serta menyaksikan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Inggris.[5] Ahmad Khan menjelaskan kepada pemerintah Inggris bahwa dalam pemberontakan di tahun 1857, umat Islam tidaklah memainkan peran utama. Hal itu dijelaskan lewat buku yang berisikan catatan kronologis pemberotakan tersebut, yaitu Tarikhi Sarkhasi Bijnaur (1858). Buku lainnya, berjudul Asbab Baghawat Hind (1858) yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris, The Causes of the Indian Revolt (Sebab-sebab Revolusi India). Akhirnya Ahmad Khan berhasil mendamaikan umat Islam dengan pemerintah Inggris.[6]

Cita-cita Ahmad Khan untuk mendirikan perguruan tingi akhirnya terwujud dengan diletakkannya batu pertama pembangunan gedung perguruan tinggi tersebut oleh Gubernur Jendral Lord Lotion (raja muda waktu itu) pada tanggal 8 Januari 1877 di kota Aligarth. Perguruan tinggi tersebut diberi nama Muhammadan Anglo Oriental College, yang lebih dikenal dengan Aligarth College. Masa-masa akhir hayatnya digunakan untuk mewujudkan Aligarth College yang didirikannya itu. Ia berkeinginan Aligarth dapat meningkat menjadi universitas, sebagaimana yang di cita-citakan sejak kepergiannya ke Inggris. Dalam mewujudkan keinginannya tersebut ia habiskan delapan jam sehari untuk menegembangkan Aligarth College. Akan tetapi keinginannya untuk menjadikan Aligarth sebagai universitas belum tercapai ajal telah merenggutnya pada usia 81 tahun. Seluruh India berkabung, dan umat Islam kehilangan seorang tokoh besar yang selama hidupnya digunakan untuk memajukan bangsanya. Ahmad Khan telah tiada, namun sampai kini gagasan-gagasannya masih banyak diulas oleh akademisi dan para ilmuan. Pandangan yang sangat mendasar dari Akhmad Khan adalah tentang keterbelakangan masayarakat muslim India. Menurut analisanya umat Islam di India sangat terbelakang bila dibandingkan dengan peradaban barat karena ia tidak mampu menguasai ilmu pengetahuan dan tehnologi. Di akibatkan oleh kejumudan pemikiran umat islam pasca abad pertengahan, sehingga untuk melawan keterbelakangan tersebut maka yang harus dilakukan umat Islam adalah menghidupkan dan mengembangkan kembali pemikiran rasional agama zaman klasik, dengan perhatian yang besar pada sain dan tehnologi. Ahmad Khan mengakhiri perjuangannya dengan berpulang ke rahmatullah pada tanggal 27 Maret 1898 setelah menderita sakit beberapa lama dalam usia 81 tahun, dan dimakamkan di Aligarh. b. Pemikiran pendidikan Syed Ahmad Khan Pada tahun 1859, tenaga dan pikirannya dicurahkan untuk meningkatkan kehidupan umat di bidang intelektual, politik dan ekonomi melalui pendidikan. Sarana ini efektif untuk mengubah sikap mental masyarakat. Ahmad khan melihat umat islam di india mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan jaman. Peradaban klasik telah hilang yang kemudian timbul peradaban baru di barat. Dasar peradaban baru tersebut yaitu berupa ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Inilah yang menjadi sebab utama bagi kemajuan dan kekuatan orang barat.[7] Menurut Ahmad Khan, satu-satunya cara untuk mengubah pola pikir umat Islam India dari keterbelakangan adalah pendidikan. Dengan pemikirannya tersebut timbul ide-ide yang cemerlang yaitu dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan yang pada akhirnya lembaga tersebut sampai kepada Lembaga pendidikan (M.A.O.C) terus berkembang pada tahun 1920 Setelah ditingkatkan menjadi universitas, dengan nama Aligarh Muslim University (Universitas Islam Aligarh).[8] Kendati Ahmad Khan sendiri dididik dalam sekolah tradisional, namun ide-ide pendidikan yang digagasnya bercorak modern, yaitu berupa sekolah-sekolah atau perguruan tinggi yang mengajarkan sains tanpa melupakan pengajaran agama dan institusi-institusi lainnuya. Begitu besarnya perhatian Ahmad Khan di siding pendidikan ini sehingga Baljon, seorang prancis menyebutnya sebagai pembaharu pendidikan dan peletak dasar modernism di India.[9] Pembaharuan Pendidikan Islam Sayyid Ahmad Khan Sir Sayyid Ahmad Khan dikenal sebagai seorang tokoh pembaru di kalangan umat Islam India pada abad ke-19 dan memiliki ide-ide yang cemerlang. Bahkan ide pembentukan Negara Pakistan bermula dari gagasannya dan dicetuskan oleh Muhammad Iqbal, kemudian akhirnya diwujudkan oleh Ali Jinnah pada tahun 14 Agustus 1947.[10] Berbagai pemikiran pembaruan yang yang telah dimunculkannya sangat berpengaruh bagi kemajuan rakyat India selanjutnya, baik dalam bidang pendidikan, keagamaan, sosial, politik ataupun bidang lainnya. Sayyid Ahmad Khan berpendapat bahwa meningkatkan kedudukan umat Islam India, hanya dapat diwujudkan melalui kerja sama dengan Inggris.[11] Sebab, saat itu, Inggris merupakan penguasa yang menjajah India dan masih mempunyai kekuasaan yang kuat. Menentang kekuasaannya tidak akan membawa kebaikan bagi umat Islam India, bahkan akan membuat mereka tetap mundur dan akhirnya

akan jauh ketinggalan dari masyarakat Hindu India. Selain dasar ketinggian dan kekuasaan Barat, termasuk yang dimiliki Inggris adalah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) modern. Bagi umat Islam, untuk dapat maju juga dapat menguasai IPTEK seperti mereka, Jalan yang harus ditempuh umat Islam untuk memperoleh IPTEK yang diperlukan itu bukan bekerja sama dengan Hindu dalam menentang Inggris, tapi memperbaiki dan memperkuat hubungan baik dengan mereka. Dia berpendapat bahwa Islam adalah agama akal. Ia menolak segala hal dalam agama yang bertentangan dengan fakta-fakta ilmu pengetahuan yang sudah terbukti kebenarannya. Dia melihat bahwa umat Islam India mundur karena mereka tidak mengikuti perkembangan zaman. Peradaban Islam klasik telah hilang dan telah timbul peradaban baru di Barat. Dasar peradaban baru adalah IPTEK Barat dan bangsa Eropa yang mengolah demikian rupa IPTEK untuk memudahkan mewujudkan keinginan-keinginan mereka, termasuk dalam menaklukkan umat Islam. Penaklukan dapat dilakukan dengan mudah, karena umat Islam tidak memiliki kelebihan di bidang yang dikuasai Bangsa Barat.[12] IPTEK modern adalah hasil olah pemikiran manusia, karena itu dunia barat mendapat penghargaan yang tinggi. Kalau umat Islam mau maju harus mau menghargai akal pikiran. Sayyid Ahmad Khan sangat menghargai akal pikiran rasional, dia percaya bahwa kekuatan dan kebebasan serta kemerdekaan manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatan, akan diserahkan sepenuhnya kepada manusia itu sendiri. Dengan kata lain, dia mempunyai kesamaan paham dengan Qadariyah (free will and free act) dan tidak berpaham Jabariyah atau fatalisme. Sejalan dengan faham Qodariyah, dia percaya bahwa bagi tiap makhluk Tuhan telah menentukan tabiat atau naturnya. Natur yang ditentukan Tuhan ini dan yang di dalam Al-Quran disebut sunnatullah. Segalanya dalam alam terjadi menurut hukum sebab akibat. Karena kuatnya kepercayaannya pada hukum alam dan kerasnya dia mempertahankan konsep hukum alam, dia dianggap kafir oleh golongan Islam yang belum dapat menerima ide tersebut. Langkah pertama dilakukan ialah mendirikan Sekolah Inggris di Mudarabad (1861) dan Ghazipur (1863). Kedua sekolah ini didirikan atas sokongan orang ramai, orang-orang ternama, orang Hindu dan Muslim. Sekolah ini dikatakan mendapat lebih simpati daripada sekolah Inggris yang didirikan oleh mubaligh Kristian. Ahmad Khan mengorganisasikan upaya penerjemahan buku-buku penting, dan pada tahun 1864 membentuk The Translation Society di Ghazipur yang kemudiannya dikenal sebagai The Scientific Society.[13] Setelah kembali dari Inggris ia menerbitkan jurnal berbahasa urdu yaitu Tahdzib al- Akhlaq edisi pertamanya terbit bulan Desember 1870. Jurnal ini dimanfaatkan untuk menyebarkan ide-ide pembaharuan Ahmad Khan, maupun tokoh-tokoh lain yang sejalan dengannya. Jurnal ini ternyata sangat berpengaruh sangat luas, tidak saja sebagai media penyebar ide-ide pembaharuan, tetapi juga dalam perannya dalam pengembangan sastra urdu.[14] Puncak usaha Ahmad Khan di bidang pendidikan adalah pendirian Muhammadan Anglo Oriental College ( MAOC ), pada tahun 1875, di Aligarh. Dan pada tahun 1920 berganti nama menjadi Aligarh Muslim University. Setelah University Aligarh sudah berdiri megah, Sayyid Ahmad Khan mencari ide untuk meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Islam di India. Beliau sadar bahwa university itu tidak cukup untuk menampung lebih 70 juta orang ketika itu. Tahun1886, beliau membentuk Mohammedan Educational Conference melalui persidangan di kalangan cendikiawan Islam untuk membahas masalah pendidikan masyarakat Islam di India. Konferen ini menjadi alat kebangkitan intelektual dan penyebaran ilmu pengetahuan secara lebih luas. Ada di kalangan intelek menggunakan pertemuan tersebut untuk membangkitkan semangat bagi pembaharuan sosial, kemajuan ekonomi dan intelektual masyarakat Islam di India.[15] Gerakan Aligarh. Gerakan Aligarh muncul setelah wafatnya Ahmad Khan. Keberadaan Gerakan Aligarh tidak dapat lepas dari ketokohan Sayyid Ahmad Khan dan Perguruan Tinggi yang didirikannya, yaitu M.A.O.C.[16]

Melalui (M.A.O.C) ini, ide-ide pembaruan yang dicetuskan Sir Sayyid Ahmad Khan dianut dan disebarkan selanjutnya oleh murid serta pengikutnya yang kemudian muncullah apa yang dikenal dengan Gerakan Aligarh.[17] M.A.O.C. merupakan markas Gerakan Aligarh dengan potensinya yang telah berkembang menjadi sebuah institusi yang memainkan peran dalam mencarikan jalan keluar persoalan di bidang pendidikan, sosial dan politik umat Islam di India. Gerakan Aligarh inilah yang menjadi penggerak utama bagi terwujudnya pembaruan dikalangan ummat Islam India. Dengan adanya gerakan ini, ide-ide pembaruan selanjutnya bermunculan seperti yang dicetuskan oleh Amir Ali, Muhammad Iqbal, Maulana Abdul Kalam Azad, dan sebagainya. Gerakan ini pula yang yang meningkatkan umat Islam India untuk bangkit menuju kemajuan. Pengaruhnya telah dirasakan pada golongan intelektual Islam India. Ciri- ciri pokok gerakan Aligarh Adapun cirri-ciri pokok gerakan Aligarh sebagaimana yang disempaikan oleh Mustafa Khan dalam An Apology for the New Light 1891 yaitu:[18] Gerakan ini ingin mengadopsi berbagai macam peradaban Eropa. Gerakan ini menginginkan adanya perbaikan kondisi sosial, terutama social minoritas Muslim India. Gerakan ini menginginkan adanya perubahan pemahaman keagamaan dari yang bercorak tradisional menuju corak moderen. Akbar S. Ahmad[19] mengatakan, bahwa Aligarh merupakan jawaban Muslim India terhadap modernitas. Lebih lanjut lagi, bahwa Universitas ini memberi kesadaran baru dan kepercayaan diri bagi umat Islam di anak Benua India pada gilirannya mendorong lahirnya Negara Islam Pakistan. Sedangkan keberhasilan Gerakan Aligarh melalui M.A.O.C dalam menempa tokoh pemikir Muslim India ditunjang oleh beberapa faktor, di antaranya sebagai berikut:[20]: Bidang Kurikulum. Kemajuan Gerakan Aligarh disebabkan adanya mata pelajaran umum, seperti ilmu alam, filsafat, humaniora dan sebagainya. Bahasa. Bahasa yang dipakai sebagai bahasa pengantar adalah bahasa Inggris. Hal ini didasari bahwa ilmu pengetahuan di Barat kebanyakan ditulis dalam bahasa Inggris. Tujuan pendidikan dan kurikulum pendidikan Berdirinya lembaga pendidikan MAOC atau dengan sebutan Aligarh yang digagas Ahmad Khan mempunyai tujuan penting dalam bidang pendidikan dengan Tujuan untuk melahirkan satu generasi Muslim yang menguasai ilmu-ilmu modern Barat namun tetap mempertahankan komitmen yang tinggi terhadap Islam. Sedangkan dalam bidang kurikulum diajarkan ilmu-ilmu agama islam dan ilmu-ilmu modern.[21] Tokoh tokoh penerus gerakan Aligarh Ahmad Khan mengabdikan diri bagi pembaharuan melalui MAOC selama lebih kurang dua decade. Selanjutnya ide-idenya dikembangkan dan disebarkan oleh murid dan pendukungnya. Dengan demikian gerakan Aligarh ini tetap berkembang walaupun beliau telah tiada.[22] Gerakan Aligarh dipimpin secara silih berganti oleh para tokoh yang memperjuangkan nasib umat Islam India. Di antaranya adalah: 1. Sayyid Mahdi Ali (Nawab Muhsin al-Mulk) (1837-1907). Setelah Sayyid Ahmad Khan wafat, maka kepemimpinan Aligarh pindah ke tangan Sayyid Mahdi Ali, yang dikenal dengan nama Nawab Muhsin al-Mulk (1837-1907). Pada mulanya dia adalah pegawai Serikat India Tifluk, kemudian menjadi pembesar di Hyderabad. Dia pernah berkunjung ke Inggris untuk

keperluan Pemerintah Hyderabad. Di tahun 1863 dia berkenalan dengan Sayyid Ahmad Khan dan kemudian antara keduanya terjalin tali persahabatan yang erat. Dia banyak rnenulis artikel di Tahzib Al Akhlaq dan juga di majalah yang diterbitkan M.A.O.C. Dia pindah ke Aligarh dan menetap di sana mulai pada tahun 1893. Pada tahun 1897 dia menggantikankan kedudukan Sayyid Ahmad Khan di M.A.O.C. Dia mempunyai jasa yang besar dalam menyebarkan ide ide Sayyid Ahmad Khan yang dilakukannya melalui Muhammedan Educational Conference.[23] Jasanya dalam memajukan M.A.O.C terlihat dengan bertambah banyaknya jumlah mahasiswa lembaga pendidikan tersebut, keuangan perguruan tinggi meningkat, administrasi juga tertata rapi dan pengembangan pembangunan sarana dan prasarana fisik juga tidak luput dari perhatiannya. Dalam soal keagamaan Nawab Muhsin al-Mulk dengan idenya menentang taklid pada ulama klasik dan mengadakan ijtihad baru. Tetapi dalam menghadapi ulama klasik dia lebih lembut dari pada Sayyid Ahmad Khan. Muhsin al-Mulk berhasil membuat golongan ulama India merubah sikap keras terhadap Gerakan Aligarh. Sebagaimana diketahui bahwa Deoband yang banyak menghasilkan ulama ulama India tradisional, mempunyai sikap yang tidak kooperatif dengan Inggris, sedang Sayyid Ahmad Khan terkenal dengan sikap pro Inggris. Jadi antara M.A.O.C terdapat perbedaan bukan hanya dalam soalsoal keagamaan saja tetapi juga mengenai sikap politik. Muhsin al-Mulk tidak hanya membawa para ulama dekat dengan Aligarh, lebih jauh dia mampu menarik beberapa lawan politik pendiri Perguruan Tinggi tersebut. Dia adalah orang yang paling cinta damai, namun dia dihadapkan juga kepada kontraversi Hindu-Urdu yang telah ada sejak akhir-akhir kehidupan Sayyid Ahmad. 2. Viqar al-Mulk (1841 1917) Tokoh lain yang berpengaruh ialah Viqar al-Mulk (1841 1917). semenjak muda dia telah menjadi Penolong dan pengikut Sayyid Ahmad Khan. Pada tahun 1907 dia menggantikan Nawab Muhsin alMulk dalam pimpinan M.A.O.C. Masa inilah terjadinya perubahan-perubahan besar dalam adminsitrasi Perguruan Tinggi Aligarh, bahkan dalam kebijaksanaan politik umat Muslim India.[24] Viqar al-Mulk bernama Mushtaq Hussain yang lahir 1841, di Distrik Moradabad, United Pravinces. Dia adalah rekan Sayyid Ahmad Khan dan juga Muhsin al-Mulk. Bersama dengan Muhsin al-Mulk dia selalu bekerja sama dalam masalah administrasi Aligarh. Pada masa Viqar ini terjadi pertentangan antara Viqar alMulk dengan Mr. Archbold yang menjadi Direktur M.A.O.C di waktu itu. Dalam pertentangan ini Gubernur Daerah menyebelah Archbold sedang Viqar al-Mulk disokong oleh Agha Khan serta Amir Ali dan selanjutnya oleh masyarakat Islam di luar. Archbold akhirnya terpaksa mengundurkan diri. Kekuasaan Inggris di M.A.O.C dari semenjak itu mulai berkurang. Viqar al-Mulk sebagai seorang ulama yang keras pendirian dan pegangannya terhadap agama, hidup keagamaan di M.A.O.C diperkuatnya. Pelaksanaan ibadah, terutama shalat dan puasa diperketat pengawasannya. Lulus dalam ujian, agama menjadi syarat untuk dapat naik tingkat. Hal-hal tersebut di atas membuat M.A.O.C menjadi lebih populer di kalangan ulama India.[25] 3. Altaf Husain Hali (1837-1914). Tokoh India lainnya yang terkenal sebagai penyebar ide ide pembaruan Sayyid Ahmad Khan adalah Altaf Husain Hali (1837 1914). Dia pernah bekerja sebagai penerjemah di kantor Pemerintah Inggeris di Lahore, tetapi kemudian pindah ke Delhi. Di sinilah dia berkenalan dengan Sayyid Ahmad Khan dan keduanya menjadi teman baik. Hali terkenal sebagai seorang penyair, tetapi dia juga menulis karangan karangan untuk Tahzib al-Akhlaq. Atas permintaan Sayyid Ahmad Khan dia menulis syair tentang peradaban Islam di Zaman Klasik. Keluarlah di tahun 1879 apa yang terkenal dengan nama Musaddas. Syair itu antara lain juga mengandung ide-ide Aligarh. Musaddas sangat berpengaruh terhadap ummat Islam India, sehingga dikatakan bahwa di samping M.A.O.C dan Muhammedan Educational Conference, Musaddas-lah yang mempunyai jasa besar dalam mempopulerkan Gerakah Aligarh. Terhadap pendidikan wanita dia memandang adanya kesejajaran yang sama dengan lelaki. Oleh karenanya dia lebih progresif dari Sayyid Ahmad Khan yang memandang bahwa kaum wanita saat itu belum perlu mendapat pendidikan sebagai kaum lelaki.[26]

4. Muhammad Syibli Numani Muhammad Syibli Numani (1857 1914) diangkat pada tahun 1883 sebagai Asisten Profesor Bahasa Arab di Aligarh. Dia mempunyai pendidikan Madrasah Tradisional dan pernah pergi ke Mekah dan Madinah memperdalam pengetahuannya tentang agama Islam. Ketika di M.A.O.C., dia berjumpa dengan ide ide baru yang dikemukakan oleh Gerakan Aligarh dan tertarik padanya. Latar belakang pendidikan madrasahnya, membuat dia tidak mempunyai sikap se-liberal Sayyid Ahmad Khan. Tetapi dia tidak menentang pemakaian akal dalam soal-soal agama; mempelajari falsafat barat bukanlah haram. Ulama-ulama zaman klasik juga mempelajari dan banyak yang menguasai filsafat. Pemikiran modern dalam bentuk moderat dapat diterimanya. Syibli Numani tidak lama dalam pengabdiannya di Aligarh dan pada akhirnya dia meninggalkannya, kemudian pergi ke Lucknow untuk memimpin perguruan tinggi Nadwat al-Ulama (yang didirikannya pada tahun 1894). Pemikiran modern moderat yang dianutnya membawa perubahan pada perguruan tinggi ini. Karya karya Syed Ahmad Khan Adapun di antara hasil karya Sayyid Ahmad Khan adalah Atsar al-Sanadid (1874) yang merupakan hasil penelitiannya tentang arkeologi di Delhi dan sekitarnya, Essay on life of Muhammad (1870), Tafsir al-Quran sebanyak 6 jilid, Ibthal al- Ghulami (1890) dan Tabyin al-Kalam (1860). Selain itu juga menulis dua buku Tarikh Sarkhasi Bignaur (1858) dan Asbab Baghawat Hind (1858). Dari hasil karyanya ini terihat pula bahwa Sayyid Ahmad Khan termasuk penulis yang produktif

Kesimpulan Sayyid Ahmad Khan adalah pencetus pembaruan India. Berbagai pemikiran pembaruan yang ditelornya sangat berpengaruh bagi kemajuan rakyat India selanjutnya. Ide-ide pembaharuannya baik dalam pendidikan, keagamaan, juga dalam bidang sosial politik merupakan refleksi dari gejolak sosial masa itu. Sebagai langkah untuk membangkitkan kembali umat Islam, Sayyid Khan mengemukakan langkah-langkah yang harus ditempuh: menjalin hubungan dengan negara Inggris dan menyingkirkan penolakan kaum muslimin terhadap kemajuan Barat mulai ia perjuangkan, mengambil ilmu-ilmu kebudayaan Barat, menafsirkan ulang Islam dalam bidang pemikiran. Di samping itu, pembaruan dalam Islam dia memberikan penghargaan tinggi pada akal manusia, percaya kepada hukum alam ciptaan Tuhan, menentang taklid dan pintu ijtihad masih terbuka lebar seiring dengan perubahan zaman. M.A.O.C. di Aligarh merupakan cikal bakal bagi lahirnya tokoh-tokoh pembaharu India yang akan mengantar India kepada kemajuan pasca keterpurukan kekalahan Mughal dan penguasaan Inggris di India. Aligarh melahirkan tokoh-tokoh yang terus mengembangkan ide-ide pembaharuan Sir Sayyid, seperti Muhsin Al- Mulk, Viqar al-Mulk, dan lain-lain. Dalam perkembangan selanjutnya M.A.O.C. kemudian berkembang menjadi Universitas Aligarh yang pada akhirnya melahirkan tokoh-tokoh penting, seperti Amir Ali, Muhammad Iqbal dan lain-lainnya. M.A.O.C. adalah markas Gerakan Aligarh yang telah memberikan jalan keluar pada persoalan-persoalan umat Islam di India. Tidak dapat dipungkiri bahwa Syed Ahmad Khan adalah Tokoh pembaharu yang sangat berjasa dalam menggagas ide ide yang cemerlang dalam pembaharuan di india khususnya dalam bidang pendidikan yang membawa umat islam di india dan umat islam lainnya ke arah yang lebih baik. http://www.arkib.gov.my/zainal-abidin-bin-ahmad-zaabaZainal abidin bin ahmad atau lebih dikenali sebagai zaaba dilahirkan pada 16 september 1895 di kampung bukit kerdas, batu kikir, negeri sembilan. Za'ba mulai bersekolah ketika berusia 12 tahun di sekolah melayu batu kikir. Tidak lama selepas itu, za'ba bertukar ke sekolah melayu linggi. Untuk pengajian arab dan islam lanjut. Pada 1915, za'ba berjaya tamat (senior cambridge), menjadi pemuda melayu pertama dari negeri sembilan yang menamatkan tingkatan satu ke senior cambridge dalam tempoh enam tahun. Pada tahun 1916 za'ba mulai menulis dengan serius ketika berkhidmat sebagai guru sandaran di johor baharu. Rencana pertamanya berjudul temasya mandi safar di tanjung kling telah diterbitkan dua kali

oleh utusan melayu. Kelebihan za'ba adalah keupayaannya mengabung kesemua aspek dari bahasa, kesusasteraan, agama, ekonomi, pendidikan, dan politik dalam penulisannya. Dia turut tekun menulis mengenai kemunduran orang melayu yang menjadikan kerajaan koloni british syak. Sungguhpun aktiviti penulisannya ditahan, dia kekal aktif. Ketika berkhidmat di kolej latihan sultan idris, za'ba memusatkan usahanya menggabung tatabahasa arab dan inggeris ke dalam bahasa melayu dan menggunakan aturan tatabahasa tersebut dalam penerbitan buku teks sekolah dan bahan bacaan umum. Za'ba meneruskan kerjaya penulisannya dengan menulis semula penulisan rencana keugamaannya untuk diterbitkan sebagai buku. Usaha pertamanya, umbi kemajuan diterbitkan pada 1932. za'ba turut aktif dalam khidmat masyarakat. Ini termasuk menjadi penasihat umum bagi persaudaraan sahabat pena malaya pada 1937, dan pada 1945 sebagai yang dipertua persatuan melayu selangor. Pada tahun 1946, di kongres menentang pembentukan malayan union, dia dilantik sebagai ahli jawatankuasa bagi jawatankuasa penggubal rang piagam umno dan pada tahun yang sama dia menamatkan kerjaya politiknya selepas piagam umno diterima dan diluluskan. Pada tahun 1947, dia mula berkhidmat sebagai pensyarah bahasa melayu di universiti london. Dia bersara daripada perkhidmatan kerajaan ketika berusia 55 tahun. Khidmat za'ba masih diperlukan dan pada tahun 1953 dia dilantik sebagai pensyarah senior di jabatan pengajian melayu (malay study department (jpm) di universiti malaya, singapore). Bersama dengan ungku aziz, dia mengatur pembentukan pertubuhan bahasa pelajar dan dua tahun kemudian pembentukan persekutuan bahasa melayu universiti malaya. Za'ba menduduki peperiksaan akhir kursus luar universiti london dan menerima master of arts second class (lower) ketika berusia 59 tahun. Za'ba menerima gelaran pendeta secara rasmi, dalam bentuk songkok pada 1956 dalam kongres penulisan dan bahasa melayu ketiga di johor bahru. Semua titik peluh yang za'ba curahkan kedalam hasil kerjanya adalah kerana dia mahu meletakkan bahasa malay di perdana tanpa meminta penghormatan. Malah dia pernah menolak bintang penghormatan pingat mangku negara yang membawa gelaran dato', dan juga bintang kebesaran brunie. Bagaimanapun pada tahun 1962, dia akhirnya bersetuju menerima anugerah pingat mangku negara yang membawa gelaran tan sri. Za'ba telah dianugerahkan oleh seri paduka yang di-pertuan agong dengan bintang panglima mangku negara (gelaran tan sri). Beliau juga mendapat ijazah doktor kehormat persuratan pada konvensyen pertama universiti kebangsaan malaysia pada tahun 1973. za'ba dianggap sebagai peneroka tatabahasa melayu, yang kabur ketika itu. Dia menyumbang dengan lebih lanjut apabila dia diberikan tanggungjawab untuk merancang kurikulum sekolah, sebagai penterjemah, pensyarah dan semasa era jepun diberikan tanggungjawab bagi menulis buku yang boleh digunakan di malaya dan sumatera. Tan sri dr. haji zainal abidin bin ahmad atau za'ba meninggal pada 23 oktober 1973 ketika berusia 78 tahun.

Infirm glory : Shakespeare and the renaissance image of man


Author: Chaudhuri, Sukanta, 1950Local LC Call No.: PR3001 Cha Publication: New Delhi : Chronicle Books, 2006. Library: P01-Utama /Main Dr Mohammed Abdul Majid

EPSRC Postdoctoral Research Fellow


Email:

a.m.mohammed@sheffield.ac.uk

Tel: +44 (0) 114 222 5194

B.E Electronics and communication Engineering (Osmania University, India), M.Sc. Electrical Engineering (KFUPM, KSA), Ph.D Electronic and Electrical Engineering (The University of Sheffield, UK) Research Assistant, King Fahd University of Petroleum and Minerals (2000-2002) Lecturer, King Fahd University of Petroleum and Minerals (2002-2008) Postdoctoral Research Fellow, The University of Sheffield (2011-todate)

Research Interests
Strain engineered quantum dots lasers for long wavelength emission Superluminescent diode and its application to Optical coherence tomography (OCT) of eye and skin. Green Photonics (All optical Switching). Si/Ge based Opto-electronic devices.

Conference and Journal Publications


M. A. Majid, D.T.D Childs, H. Shahid, S.Chen, K. Kennedy, R. J. Airey, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Howe, P. Spencer and R. Murray Towards 1550 nm GaAs-based Lasers Using InAs/GaAs Quantum Dot Bilayers IEEE J. Sel. Topics Quantum Electron., vol. 17, no.5, pp. 1134-1342 (2011). M. A. Majid, D.T.D Childs, K. Kennedy, R. J. Airey, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer and R. Murray, O-band Excited State Quantum Dot Bilayer Lasers App. Phys. Lett., vol. 99, no. 5, pp. 051101-051101-3 (2011). M.A. Majid, D.T.D. Childs, H. Shahid, R. Airey, K. Kennedy, R.A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer and R. Murray, 1.52 m electroluminescence from GaAs-based quantum dot bilayers Electron. Lett., vol. 47, no.1, pp. 44-46 (2011). M. A. Majid, D.T.D Childs, H. Shahid, S.Chen, K. Kennedy, R. J. Airey, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer and R. Murray Excited State Bilayer Quantum Dot Lasers at 1.3 m Jpn. J. of Appl. Phys., vol. 50, no. 1, pp. 04DG10-04DG10-3 (2011). M. A. Majid, M. Hugues, D. T. D. Childs, R. A. Hogg, Effect of Deposition Temperature on the Opto-Electronic Properties of MBE Grown InAs QD Devices for Broadband Applications Accepted, Jpn. J. of Appl. Phys., (2011). M. A. Majid, D. T. D. Childs, R. Airey, K. Kennedy, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer and R. Murray, Strain Engineered Bilayers for Extending the Operating Wavelength of QD Lasers, IET Optoelectron., vol. 5, no.3, pp. 100-104 (2011). A. Abdullah, M. A. Majid, Analysis of Multi-Layer ARROW", Journal of Microwaves and Optoelectronics, Vol. 3, No. 2, (2003). M. A. Majid, H. Shahid, S.Chen, D. T. D. Childs, R. J. Airey, K. Kennedy, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer and R. Murray, Gain and absorption characteristics of bilayer quantum dot lasers beyond 1.3 m Novel In-Plane Semiconductor Lasers X, Proc. SPIE, vol. 7953, pp. 795303-795303-7 (2011). M. A. Majid, D. T. D. Childs, R. Airey, K. Kennedy, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer and R. Murray, Bilayer for extending the wavelength of QD lasers J. Phys.: Conf. Ser., vol. 245, no. 1, p. 012083 (2010). M. A. Majid, D.T.D. Childs, S. Chen, H. Shahid, K. M. Groom, K. Kennedy, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer, and R. Murray, Gain Spectra Analysis of Bilayer Quantum Dot Lasers beyond 1.3m PGC 2010, Proc. IEEE, pp.1-4 (2010).

P. Spencer, J. Shi, E. Clarke, R. Murray, M. A. Majid, D. T.D. Childs, R. Alexander, K. Groom and R. A. Hogg, Dual-state lasing and the case against the phonon bottleneck", Proc. SPIE, vol. 7616, pp. 761606-761606-11 (2010). M.A Majid, H. A. Jamid Gaussian Beam Coupling to Multi-Layer ARROW, 10th IEEE Technical Exchange Meeting, KFUPM, Dhahran-31261, (2003). M. A. Majid, M. A. Khan Sensing Applications Based on Evanescent Field, Proc. of the first GCC Industrial Electrical & Electronics Conference, Gulf International Convention & Exhibition Centre Bahrain, 13-14 May (2003). A. Abdullah, M. A. Majid, Analysis of Multi-Layer ARROW", Conference on Electronics, Circuits and Systems (ICECS2003),Proc. IEEE, vol 3, pp.1050 - 1053 (2003). M.A. Khan, A.W. Siddiqui, and M. A. Majid, Interactive Learning for Waveform Dynamics of Diode Rectifiers and RC Filter in DC Power Supply, Proc. 34th Annual Conference of the IEEE Industrial Electronics Society, Orlando, FL, 3530-3534, (2008).

Poster and Conference Presentations


M. A. Majid, D.T.D. Childs, R.J. Airey, R. A. Hogg, P. Spencer, E. Clarke and R. Murray, Direct Comparison of Bilayer and Single Layer QD Lasers UK Semiconductors Conference University of Sheffield July (2009). M. A. Majid, D.T.D. Childs, K. Kennedy, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer, and R. Murray, Bilayers for Extending the Operating Wavelength of QD Lasers Semiconductor and Integrated Optoelectronics (SIOE) conference, Cardiff University April (2010). M. A. Majid, D. T. D. Childs, R. Airey, K. Kennedy, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer and R. Murray, Bilayer for extending the wavelength of QD lasers QD2010, East Midlands Conference Centre, Nottingham, UK, April (2010). M. A. Majid, D. T. D. Childs, R. Airey, K. Kennedy, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer, and R. Murray Excited State Bi-Layer Quantum Dot Lasers at 1.3 m UK Semiconductors conference, University of Sheffield, July (2010). M. A. Majid, M. Hugues, D. T. D. Childs, K. Kennedy, R. A. Hogg Optimisation of quantum dot deposition by molecular beam epitaxy for high spectral bandwidth sources for optical coherence tomography applications Photon 2010, University of Southampton, UK, Aug. (2010). M. A. Majid, D.T.D Childs, H. Shahid, S.Chen, K. Kennedy, R. J. Airey, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer and R. Murray, Excited State Bilayer Quantum Dot Lasers at 1.3 m SSDM 2010, University of Tokyo, Japan, Sept. (2010). M. A. Majid, D.T.D. Childs, K. Kennedy, R. Airey, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer, and R. Murray, Towards 1.55 m GaAs Based Lasers Using Quantum Dot Bilayers, The 22nd IEEE International Semiconductor Laser Conference, Kyoto Japan Sept. (2010). M. A. Majid, D.T.D. Childs, S. Chen, H. Shahid, K. M. Groom, K. Kennedy, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer, and R. Murray, Gain Spectra Analysis of Bilayer Quantum Dot Lasers beyond 1.3m Photonics global conference, Singapore, Dec. (2010). M. A. Majid, H. Shahid, S.Chen, D. T. D. Childs, R. J. Airey, K. Kennedy, R. A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer

and R. Murray, Gain and absorption characteristics of bilayer quantum dot lasers beyond 1.3 m Photonic west San Francisco, California United States, Jan. (2011). M. A. Majid, M. Hugues, D. T. D. Childs, K. Kennedy, R. A. Hogg, Molecular beam epitaxy for high spectral bandwidth quantum dot sources for optical coherence tomography applications Photonic west, San Francisco, California United States, Jan. (2011). M. A. Majid, M. Hugues, D. T. D. Childs, R. A. Hogg Optimization of quantum dot molecular beam epitaxy diode for broadband applications SSDM 2011, Nagoya, Japan. P. Spencer, J. Shi, E. Clarke, R. Murray, M. A. Majid, D. T.D. Childs, R. Alexander, K. Groom and R. A. Hogg, Dual-state lasing and the case against the phonon bottleneck, Photonic west, San Francisco, California United States, Jan. (2010). P. Spencer, E. Clarke, R. Murray, M. Majid, D. Childs and R. Hogg, Thermal effects in QD lasers: carrier diffusion, dual-state lasing and the case against the phonon bottleneck UK Semiconductor conference, University of Sheffield, UK, July (2009). H. Shahid, D.T.D. Childs, M.A. Majid, K. Kennedy, R. Airey, R.A. Hogg, E. Clarke, P. Spencer, R. Murray Integrated amplifier for gain spectra measurement of bilayer quantum dot laser material UK Semiconductor conference, University of Sheffield, UK, July (2011). M. A. Majid , A. Yamani and M. Deriche, Smart NDT Interface for defect classification 4th Middle east Non-destructive testing conference, Bahrain, Dec (2007). M.A Majid, H. A. Jamid Gaussian Beam Coupling to Multi-Layer ARROW, 10th IEEE Technical Exchange Meeting, KFUPM, Dhahran-31261, March (2003). M. A. Majid, M. A. Khan Sensing Applications Based on Evanescent Field, The first GCC Industrial Electrical & Electronics Conference, Gulf International Convention & Exhibition Centre Bahrain, 13-14 May (2003). A. Abdullah, M. A. Majid, Analysis of Multi-Layer ARROW, 10th IEEE International Conference on Electronics, Circuits and Systems (ICECS2003), Sharjah, U.A.E, 14-17 Dec. (2003). M.A. Khan, A.W. Siddiqui, and M. A. Majid, Interactive Learning for Waveform Dynamics of Diode Rectifiers and RC Filter in DC Power Supply, 34th Annual Conference of the IEEE Industrial Electronics Society, Orlando, FL, (2008).

News Items
Joining the Dots, UK researchers have extended the emission wavelength of quantum dots on GaAs to 1.52 m using a bilayer growth technique
Featured article:

INTERNATIONAL JOURNAL OF ISLAMIC THOUGHT -IJIT


AUTHORS AGREEMENT AND DECLARATION FORM

I am herewith

____________________________________ (Author/Main author) enclosing an article entitled

________________________________________________________________________________ _ submitted to the International Journal of Islamic Thought (IJIT) for possible evaluation. With the submission of this manuscript I would like to undertake that the above mentioned manuscript has not been published elsewhere, accepted for publication elsewhere or under editorial review for publication elsewhere. I warrant that the article is the Authors' Original Work. I attest to the fact that the author/ authors listed on the title page have

contributed significantly to the work, have read the manuscript, attest to the validity and legitimacy of the data and its interpretation, and agree to its submission to the International Journal of Islamic Thought (IJIT). I accept that the Chief Editors decisions over the acceptance or rejection or in the event of any breach of the Ethics Statement in the International Journal of Islamic Thought (IJIT) being discovered of retraction are final. Sincerely yours,

(Authors/Main Authors Name and Signature)

*It is important that the Author/Main Author return this form upon submission. We will not publish your article without completion and return of this form.

Reflections on Syed Jamaluddin Afghani and Muhammad Abduh


By Shaykh Abu l-Hasan Ali al-Nadwi The great thinker and savant Shaykh Abu l-Hasan Ali al-Nadwi writes in his book, Western Civilization: Islam and Muslims: Syed Jamaluddin Afghani had a forceful personality and a mind remarkable in many ways. He had traveled widely in Europe and made a close study of its people. But, in spite of the immense popularity he enjoyed, his life and work are shrouded in mystery; he has become something of an enigma. Divergent views and activities are attributed to him. What is left of his own writings and speeches, together with the accounts furnished by his disciples of his sayings and doings, throw a most unsatisfactory light on his life and ideas, and it is difficult to conclude on their basis about his attitude towards the West and its civilization. Nevertheless, Iqbal held him in the highest esteem. He thought that had Jamaluddin Afghani not frittered away his energies on so many things, he could have succeeded better than the rest of his contemporaries in dispelling the intellectual bewilderment the ascendancy of the West had produced in the Islamic world and forging an active and operative link between the widely separated conceptual, moral, and spiritual values of Islam and the downright materialistic norms of the modern Western society. His versatile mind and his creative genius, in Iqbals view, made him eminently suited to the task. He had a natural aptitude for it. Thus, of him, Iqbal writes: The task of a modern Muslim is (therefore) immense. He has to rethink the whole system of Islam without completely breaking with the past. Perhaps the first Muslim who felt the urge of a new spirit was Shah Wali Allah of Delhi. The man, however, who fully realized the importance and immensity of the task, and whose deep insight into the inner meaning of the history of Muslim thought and life, combined with a broad vision engineered by his wide experience of men and matters would have made him a living link between the past and the future, was Jamaluddin Afghani. In his indefatigable but divided energy could have been devoted entirely to Islam, as a system of human belief and conduct, the world of Islam, intellectually speaking, would have been on a much more solid ground today. [Iqbal: Six Lectures on the Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930), pg. 136] Anyway, because of the situation obtaining in the Muslim World in general, and in Egypt in particular which he had made the center of his activities Jamaluddin Afghani, despite his extraordinary intellect and passionate devotion to Islam and his Afghan pride and enthusiasm, could scarcely devote himself to anything besides the liquidation of foreign domination and political revival and integration of Muslim countries. Politics remained his major preoccupation. His famous pupil, Muhammad Abduh, has summed up his struggle in these words: So far as his political objective is concerned, which became a passion with him and in the pursuit of which he spent the whole of his life and bore immeasurable suffering and made gallant sacrifices, it lay in the resuscitation of the Muslim empire so that it could take its stand against the most advanced nations of the world and be a source of real strength and glory to Islam. The breaking of the British hold over the East formed an important plank of this program. [Ahmad Amin: Zuama al-Islah fi l-Asr al-Hadith, pg. 106] As for Muhammad Abduh himself, while acknowledging the valuable services rendered by him in the cause of Islam, it would be necessary to stress the fact that he was also among the pioneers of the modernist movement in the Arab world. He gave a powerful call for the reinterpretation of Islam in order to make it conform to the requirements of Twentieth Century society. His ideas and writings bear a heavy imprint of Western ideals. In this respect, there is little to choose between him

and Sir Syed Ahmad Khan (with the difference that Muhammad Abduh had a very deep knowledge of the Arabic language and literature and theological sciences, while Syeds knowledge of them was rather superficial). The modernist trend can be discerned early in his commentary of the Quran, his theological fiats and other writings. The protagonists of modernism who came after him have drawn liberally upon his works. Effects Jamaluddin Afghanis political activities shut out for him the other avenues of fruitful endeavor and for a man of his vision and sensitivities he could make little positive contribution to the reconstruction of Islamic life and society. The opportunity to lay the foundations of a new school of thought in the light of his intimate study and critical evolution of Western civilization which could cope with the challenge of time did not come his way. Nevertheless, he was not unsuccessful in reviving and strengthening in the Muslim intelligentsia reverence for Islam and a living faith in the soundness and universality of its message. He belongs to the select band of men who have wielded the greatest influence on the rising Muslim generations in the modern times. The most striking part of his achievements is that he arrested the advance of the educated Egyptian youth towards atheism. His writings have definitely played a part in the preservation of the intellectual effects of Islam among the Muslim intelligentsia and in keeping its spiritual allegiance alive in however restricted a manner. Carl Brocklemann says: The spiritual life of Egypt was ruled over by Islam in the past, and so it is up to now. This is due largely to an Iranian, Jamaluddin Afghani, who, for political reasons, preferred to associate himself with Afghanistan where he had spent his youth and to describe himself as a native of it. [Geschich e der Islamischen by Velker und Staaten, Munchen-Berlin, 1939]

Respect beyond tolerance - Tariq Ramadan


OCTOBER 02, 2013 Pluralism is a condition of humility and a protection against potential excess and Islam confirms this transversal teaching by synthesising the two dimensions When John Locke wrote his Letter on Tolerance in 1689, he argued for the necessity to accept religious plurality (apart from atheism seen as unacceptable and dangerous). He meant to distinguish the authority of the State and that of the Church: Temporal power, the State, drew up laws and managed the social contract and civil peace between citizens, who must be free to choose their religion and dogmas. Locke addressed the two powers and developed arguments from the standpoint of powers: The State must manage the citizens diversity and protect their individual and civil freedom, and the Church must also inside civil society

tolerate other religions and recognise their individual freedoms. Tolerance is thus seen as a means to distinguish and restrict powers, which are sometimes merged and exclusive, and prone to excess.

A century later, Voltaire was driven by the same intention: The Treaty on Tolerance also sets out to resist power abuses and appeal to mens conscience. It addresses the State, the church and God, so that all those instances of power may promote accepting differences and tolerance as a principle of humanity. Its reflections and arguments are based on a conception of man and of human relationships devised and defended on the basis of demanding rationality: Here again, power abuses must be resisted and authorities must be sent a strong, well-argued message, based on the power of reason and common sense, in order to refuse intolerance and the ensuing wars, deaths and injustices. Autonomous critical reason speaks out against absolute authority, its imposed dogmas, its blind certainties and human claims to the absolute. It means to remind men who have the power to take themselves for God or to act in Gods name that they are but human beings and that claiming to hold the only truth leads to unacceptable horrors and miscarriages of justice contrary to the messages of goodness that they claim to defend. Like Locke, Voltaire (together with Enlightenment philosophers) assails the citadel of a political and religious authority that must from where it decides and acts make the choice of tolerance. In the primary rational, social, religious and political sense, power must learn to tolerate the others existence, to literally suffer his presence, and to put up with plurality. What used to be an act of resistance in the face of powers (who can also be represented by the majority, the elite, wealth, etc) and a brave, determined appeal calling them to tolerance, takes on a new meaning and substance when what is involved is equal relationships, free human beings, citizens in civil society or even relationships between different cultures and civilisations. Calling powers to tolerance consisted in asking them to measure their strength and limit their capacity for harm: This implied accepting a power play, a potential authority relationship such as could exist between the state and individuals, the police and citizens, the colonisers and the colonised. Deviances, misbehaviours and a few differences can be tolerated they are suffered. But when the issue is no longer resistance and limiting powers, the positive dimension of tolerance is inverted: It becomes gratuitous generosity from those who dominate and hold political, religious and/or symbolic authority, the authority of number and/or of money. Tolerance is the intellectual charity of the powerful. On an equal footing, one does not expect to be accepted or tolerated: That others should suffer ones presence is insufficient for oneself, and unsound for them. In relationships between free and equal human beings, between autonomous, independent nations or between civilizations, religions and cultures, one can no longer call for tolerance of others. On equal terms, what matters is no longer to concede tolerance, but to raise and educate oneself to respect. Then, the disposition of the heart and mind is quite different. This begins with recognising the fact and necessity of the others presence in my own conception of the world. The earliest African and Asian traditions as well as Hinduism, Buddhism then monotheisms, explicitly or implicitly recognise the necessity of other ways: Either because they state that there are several ways of leading to the truth or because that presence influences and shapes my own way of conceiving my own relationship to my truth. Pluralism is here a condition of humility and a protection against potential excess. Islam confirms this transversal teaching by synthesising the two dimensions. The verse Had God so willed, He would have made you a single community is echoed by others which reveal the essence and finality of this diversity: Had not God checked

some groups of people [nations, societies, religions] by means of others, the earth would have been corrupted and monasteries would have been pulled down as well as synagogues, churches and mosques. Diversity, balance of powers, indeed involve a risk of conflicts and strife. Yet, it is for all men a condition of survival and an education to measure and humility. Thus looking out to consider the world and societies as they are brings the conscience back into itself and compels it to reassess its own tendency to believe that its own truth alone is true: We are forever lured by the sirens of the dogmatic mind, with its haughty complacency, which determines that ones relationship to others is only meaningful when one tries to convince them of ones single truth. Holding a dialogue then consists in speaking, never listening: The other is the privileged scope of my proselytism. My truth has thus become a blind, blinding passion: It imprisons me; it was supposed to liberate me; an alienation. An act of reason is therefore necessary, first of all, to teach us how to become reasonable. Recognising the diversity of paths and the equality of all human beings are the first two conditions of respect (through which the power play involved in the relationship of tolerance can be overcome). To this factual, objective recognition, one should also add a disposition of the mind: If I can tolerate and suffer the presence of what I do not know, I cannot respect others without trying to know them. Respect, therefore, calls for an attitude that is not passive but active, and proactive, towards others: Being curious of their presence and their being and attempting to know them after recognising them. Recognition, active curiosity and knowledge bring our intelligence and our hearts into the universe of the others complexity: We can thus gain access to his principles, his hopes, his tensions, his contradictions, as well as the diversity of trends which run through his universe of reference. Tolerance can reduce the other to the simplicity of his presence; respect opens us up to the complexity of his being. As in a mirror, it means recognising the other to be as complex as oneself: He is the equal, the mirror, the question; the other in me and myself in him. Yet, nothing is ever fully achieved. Rejection, intolerance, xenophobia, individual and institutionalized racism, missionary proselytism, colonising temptations, imposed truths and collective, passionate, if not hysterical and deaf complacencies will never stop threatening men, rich or poor, and societies, industrialised or not. Human beings will never be totally safe from that dark side of their humanity. Spiritualities, philosophies and religions run through History to remind us of those fragilities, those vulnerabilities, those risks, they are so many reminders along the road, as their own excesses must also be. One should observe the world, and observe oneself, with the humility of those who feel and know, deep within themselves, how important it is to engage in a continuous, perpetually renewed education to humanity; to learn to listen and listen to oneself, everyday, always. This is a truth: Nothing is ever fully achieved, neither respect, nor love. - tariqramadan.com, October 2, 2013. * Tariq Ramadan is Professor of Contemporary Islamic Studies at the Oxford University (Oriental Institute, St Antony's College) and also teaches at the Oxford Faculty of Theology. He is Visiting Professor at the Faculty of Islamic Studies, (Qatar) and theUniversity of Malaysia Perlis; Senior Research Fellow at Doshisha University (Kyoto, Japan) and Director of the Research Centre of Islamic Legislation and Ethics (CILE) (Doha, Qatar). * This is the personal opinion of the writer or publication and does not necessarily represent the views of The Malaysian Insider.

TEOLOGI ISLAM MODERN HASAN HANAFI

SEJARAH MUNCULNYA TEOLOGI MODERN (Hassan Hanafi)


Pada taahun 1952-1956 Hanafi duduk di bangku Universitas Kairo untuk mendalami bidang filsafat.Tahun 1954 terjadi pertentangan keras antara gerakan ikhwan dan gerakan revolusi.Ia berada dipihak Muhammad Najib yang berhadapan dengan Nasser, karena yang pertama mempunyai komitmen dan visi keislaman yang jelas. Hanafi 9 mulai optimissetelah Nasser berhasil menasionalisasikan suez dan berubah menjadi pahlawan nasional. Peristiwa demi peristiwa yang dia alami selama dikampus telah membuatnya bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu, dan revormis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat islam selalu mudah dikalahkan dan mengapa konflik internal dikalangan mereka terus terjadi. Dalam keprihatinan semacam itu, hanafi beruntung memperoleh kesempatan untuk belajar di Universitas Sorbonne, Prancis pada tahun 1956-1966. Keberuntungannya disini bukan karena ia berhasil melarikan diri dari situasi sulit di negerinya, akan tetapi ia memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-persoalan mendasar yang sedang dihadapi oleh negerinya dan sekaligus ia mulai merumuskan jawaban-jawaban itu. Sebagaimana ia akui, di Prancis ia dilatih berfikir secara metodologis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan atas karya orientalis. Ia sempat belajar pada seorang pemiir reformis katolik, J. Gitton, tentang metodologi berfikir, pembaharuan, dan sejarah filsafat. Ia belajar fenomenologi dari Paul Ricoeur dan analisis kesadaran dari Husserl. Sepulangnya dari Prancis pada tahun 1966, semangat Hanafi untuk meneruskan tulisannya tentang pembaharuan peemikiran islam sangat tinggi. Akan tetapi, kekalahan Mesir melawan Israel tahun 1967 membalik niatnya tersebut. Kemudian, ia ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun kembali semangat Nasionalisme. Karena itu, ia memanfaatkan media masa sebagai corong perjuangannya. Ia menulis artikel-artikel untuk menanggapi masalah-masalah actual untuk melacak faktor kelemahan umat islam. Disini, terlihat Hanafi ingin menggabungkan antara semangat akademik dengan semangat kerakyatan. Artinya, sebagai seorang pemikir dan cendekiawan, ia sangat peka terhadap persoalan yang sedang dihadapi masyarakat. Pada tahun yang terakhir tersebut, ia terkena suatu permasalahan dengan pemerintah sehingga ia diminta untuk memilih, antara berhenti dari aktifitasnya di Mesir atau pergi ke Amerika. Akhirnya, ia memilih yang kedua. Sepulang dari Amerika ia berusaha memulai tulisannya tentang pembaharuan pemikiran islam yang telah lama tertunda. Pengalaman itulah antara lain, yang mempertajam pemikirannya dan mendorong dirinya untuk memanfaatkan sisa umurnya untuk menulis dan menyelesaikan problem yang sedang dihadapai oleh dunia Islam. Disini, terlihat bahwa disamping sebagai pemikiran pembaru, ia juga cendekiawan yang mempunyai perhatian besar terhadap persoalan umat, bahkan, ia banyak terlihat langsung dalam kegiatan-kegiatan pergerakan. (Moh.Nurhakim,2003:9-10)

Pemikiran-pemikiran Teologi Islam ModernHasan Hanafi 1.


MODERNISME
Modernisme adalah sebuah pemberontakan terhadap tradisi masa lampau, yang terdiri atas tradisi masa lalu dan masa kini, guna menciptakan sebentuk tradisi baru. Saat ini, Modernisme dalam Ilmu Pengetahuan, Peradaban, Filsafat, Metodologi, Sosial dan Ekonomi tidak memiliki batas-batas geografis, atau paling tidak, ia merupakan term yang tidak terbatas dan tidak dapat dibatasi dalam satu wilayah geografis dimuka bumi ini. Modernisme saat ini adalah Modernisme agresif total, sehingga kalau anda tidak segera mengantisipasinya, atau bekerja keras untuk memberikan kontribusi karya didalamnya, atau paling sedikitnya,untuk mengetahui proses

keberlanjutannya dalam kenyataan dan privasi anda, maka anda akan disingkirkan olehnya, atau digusur oleh kenyataan anda sendiri, atau dipinggirkan dan diposisikan di wilayah marginal di luar area masa kini dan area masa yang akan datang, dengan merenungkan masa lampau, atau bahkan menjerumuskan anda ke dalam masa lampau tersebut. Hal ini tidak serta merta menunjukkan bahwa kita harus menentang tradisi yang telah kita miliki serta menghadirkan diri kita sebagai sebuah totalitas dalam Peradaban Kontemporer, sehingga seolah-olah kita adalah makhluk yang tidak memiliki tradisi. Tentu tidak! Sesungguhnya peletakan dasar-dasar modernism bgi kita dan dalam lingkungan kita dapat dicapai dengan resistemisasi atas tradisi kita dan rekonstruksi hubungan kita dengannya dalam bentuk modern. Modernisme dimulai dengan penguasaan dan kepemilikan terhadap tradisi, karena hanya itulah jalan satu-satunya untuk menyambung banyak jalur yang terputus dengannya, termasuk untuk mewujudkan proyeksi jauh ke depan menuju formulasi tradisi baru yang kita bentuk, yakni sebuah tradisi baru yang bersifat praktis, berhubungan dengan tradisi masa lampau dari segi identitas dan tipikalitas karakteristiknya, serta terpisah dengan masa lampau itu dari segi totalitas dan universalitasnya.(Hassan hanafi, 1990: 113-114)

1.

SEKULARISME DAN ISLAM


Al-ilmaniyyah adalah tern yang diarabkan dan bukan kata asli dari arab. Kata tersebut menjadi sinonim dari Sekularisme, yang berasal dari bahasa latin Saeculum. Artinya adalah masa (Al-ashr). Kata ini berasal dari peradaban barat.(Hasan Hanafi,1990:68). Yang untuk selanjutnya golongan yang menjunjung sekularisme ini pada gilirannya adalah menjadi lawan dari golongan yang fundamentalis (memegang pondasi/dasar pemikiran), dimana golongan fundamentalis adalah golongan yang menolak pengaruh dari luar yang datang, baik secara menyeluruh maupun yang dari tingkat yang sangat detail. Di Barat, term ini menunjukkan pemisahan antara gereja dan negara atau antara otoritas religius dan otoritas politik. Di Eropa sendiri terjadi pertentangan antara para Pope di Roma, uskup dan para raja. Pertentangan ini semula dimenangkan oleh para Pope tetapi kemudian kemenangan itu berpindah tangan pada para raja setelah terjadinya revolusi prancis Asyniqu akhir malik bi amai akhir qissis (Ikatlah raja terakhir itu dengan usus uskup terkhir). Selanjutnya kembali pada sabda Isa Al Masih Berikan apa yang menjadi milik raja kepadanya dan apa yang manjadi milik Allah kepadaNya (Hasan Hanafi,1990:68-69), berangkat dari pernyataan ini maka solusi yang ditawarkan dan sekarang telah terjadi adalah pemisahan antara dua otoritas yang keduanya pernah mengalami kemenangan yaitu gereja untuk urusan agama dan negara untuk dunia (Sekuler). Dalam peradaban barat, Sekularisme menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari serta ditegakkan diatas undang-undang Eropa. Karena dipisahkan kehidupan agama dan kehidupan dunia maka hukum-hukum yang dibuat pun tidak berlandasaakan pada agama tapi pada pemikiranpemikiran secara rasional yang dikembangkan oleh yang berwenang membuat hukum-hukum. Karena terpisah pula maka tidak ada agama resmi bagi negara, mereka menganggap semua agama sama jadi tidak perlu ada pendominasian terhadap agama maka agama apapun bebas berkembang tidak peduli agama ataupun kepercayaan, tidak ada persyaratan beragama bagi seorang pemimpin negara sebagai salah satu persyaratan kemimpinan, tidak ada hukum gereja yang mengatur hubungan antara individu, seperti hukum kelurga (Al-Ahwal al-Syakhshiyyah) atau hukum kriminal (Jinayah) sebagai contoh jika ada pencuri yang ketahuan pebuatannya maka sanksi yang diberikan itu tidak mengacu pada hukum-hukum agama dalam artian disini bahwa pihak negara sendiri tanpa campur tangan pihak gereja yang notabene memegang doktrin-doktrin agama gereja, yang selanjutnya produk dari sekukarisme ini adalah tidak ada pengajaran-pengajaran agama di sekolahsekolah serta tidak ada dakwah keagamaan dalam berbagai media informasi. Dengan itu, setelah kerajaan memenangkan otoritas atas gereja (para Pope), maka gereja digunakan untuk kepentingan negara sehingga gereja dimanfaatkan untuk mengantarkan penjajahan dan kolonialisme.Maka, penjajahan itu selalu dihubungkan dengan misionari, demikian juga sebaliknya. Kemenangan pertama bangsa-bangsa non Eropa tercapai dengan kecintaan terhadap

barat setelah hilangnya kecintaan mereka terhadap negara sendiri dan timbul perubahan iman terhadap agama barat menjadi kecintaan secara politik. Konsepsi peradaban barat itu mulai tersebar diantara kita dan membuat kita mengerti diri kita dan membuat kita mengerti diri kita.Seperti sekularisme dan liberalisme sehingga keduanya tersebar begitu mendarah dadging diantara kita serta menjadi salah satu factor penyebab terjadinya modernisme di Barat.Tetapi ketika modernisme, bangsa-bangsa di seluruh dunia dan perputaran sejarah itu menjadi satu, maka tida diragukan lagi banyak penolakan dan pembelaan yang mewujudkan kemajuan masyarakat tanpa memperhatikan beragam karakteristik bangsa serta perputaran sejarah yang dilewati oleh masyarakat tidak ada satu ideal menuju modernitas tersebut. Dan hal ini merupakan kelemahan kita dalam menciptakan beragam cara untuk maju dari inspirasi religius, rasional, tradisi bangsa dan khazanah historisnya. Bagi gerakan islam, hal diatas diungkapkan dalam bentuk Sekularisme dan menghubungkannya dengan westernisasi yang mengandung unsur kolonialisme dan missionary serta berpegang teguh kepada agama islam yang menyatukan agama dan dunia. Gerakan ini menjunjung tinggi slogan Al-Hakimiyyah (supremasi Hukum Allah) sebagai penjelasan dari ayat barang siapa yang tidak menempuh hukum yang diturunkn oleh Allah maka mereka termasuk orang-orang yang kafir. Karena orang-orang kafir adalah yang menolak untuk beriman, orang fasik adalah orang yang menerima iman hanya sebagai konsep dan menolak untuk mengamalkannya dan orang yang merugi itu adalah orang yang tidak mengetahui kemaslahatan dan dunia.(Hasan hanafi,1990:71) Maka kesalahan pertama adalah transformasi model sekularisme barat, dan sedikitnya reaksi yang munsul atas slogan Supremasi hukum Allah sebagai kesalahan kedua.Menyatunya kedua kesalahan ini tidak menghadirkan solusi yang tepat. Hambatannya bagi kita adalah bagaimana cara mewujudkan tujuan-tujuan kelompok sekuler berupa kebebasan dan kemajuan yang diinginkan oleh masyarakat disaat yang sama islam berusaha melaksanakan syariat islam sebagai upaya untuk menghindari pemikiran dualistik antara dunia dan agama, amal dan iman, atau antara syariah dan akidah? Syariat islam adalah syariat positif ditegakkan berdasarkan kemashlahatan umum yang dilihat dari dimensi primer (Dlaluriyyat), sekunder (Hajiyat), tersier (Tahsinat). Dimensi primer ada lima macam yaitu menjaga agama, kehidupan, akal, kehormatan diri dan harta benda. Semua dasardasar kehidupan.(Hasan Hanafi,1990:72) Agama adalah hakikat obyektif yang bebas dari segala nafsu manusia, kehidupan manusia dilihat sebagai system nilai bagi dirinya sendiri, akal dipandang sebagai sarana taklif dan pengendali indra, kemuliaan adalah sarana bag manusia untuk mencapai derajat kemanusiaan dan harta benda adalah alat untuk memenuhi kebutuhan manusia serta menjamin keberlanjutan dan berlangsungnya hidup mereka. Kelima kelompok primer ini dibela oleh para sekularis namun mereka mengadopsi dari peradaban barat dan tidak bersumber pada syariat islam. Para sekulerisme ini tidak menghiraukan sistem sanksi yang terdapat dalam undang-undang kriminal yang sangat dibela dan dipertahankan oleh para pemuka muslim sebagai reaksi untuk menolak para sekularisme yang pada hakikatnya adalah sebuah prasangka sebagai hasil dari terpecah-pecahnya konsep nasionalisme dan peperangan dengan saudara dan musuh-musuh sebagai akibat dari pengkafiran terhadap berbagai golongan yang menjerumuskan kesadaran nasional. Adapun dispensasi pelaksanaan syariah yang kapasitasnya digugat oleh sekularisme merupakan sikap emosinal akibat tidak memahami ruh syariah.Hal itu dilakukan hanya untuk melarang, mengebiri dan mengharamkan saja dan tidak memandang dimensi kemanusiaan dan sensifitasnya terhadap fenomena aam semesta. Hukum-hukum syariat yang berjumlah lima macam yakni, wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah hanyalah mendiskripsikan stratifikasi perbuatan alamiah manusia, sebagaimana ditempatkan oleh para sekuler di luar wilayah halal dan haram yang terbentuk dan adopsi dari luar.

2.

FUNDAMENTALISME

Istiah fundamentalisme berasal dari bahasa inggris fundament yang dapat di artikan dasar dari sesuatu atau sesuatu yang asasi. Selanjutnya, kata fundamentalisme biasa diartikan idea atau gerakan yang mendasarkan diri pada suatu gerakan yang mendasarkan diri pada suatu ajaran atau doktrin yang diyakini paling dasar dan benar, seperti kitab suci bagi pemeluk suatu agama atau dasar Negara (ideologi) bagi suatu bangsa. Hasan hanafi sangat berhati-hati dalam menggunakan istilah fundamentalisme dalam islam. Kata-kata ushuliyyah Islamiyah (fundamentalisme islam) diberi tanda kutip sambil dijelaskan beberapa istilah lain yang berlaku di kalangan umat islam. Di dalam pandangan dan pengalaman kaum muslimin merupakan respon atas keadaan yang buruk dan upaya untuk bangkit. Namun demikian, hanafi merasa terpaksa menggunakan istilah ushuliyah islamiyah (fundamentalisme islam) sebagai judul buku, karena pertimbangan kalangan pembaca akademis di seluruh dunia. Lebih lanjut, hanafi mendefinisikkan fundamentalisme dalam islam sebagai suatu gerakan yang berusaha menegakkan dan merealisasikan syariat islam serta membangun system yang islami dengan menolak system non-islam yang sedang berlaku. Gerakan tersebut berusaha mendasarkan realitas kehidupan pada dasar islam, sebab dasardasar yang lain dianggap tidak sah. Karena itu, jika ia di pergunakan sebagai dasar maka realitas menjadi rusak seperti yang sedang berjalan saat ini. Pengikut gerakan itu meyakini bahwa berbagai masalah yang timbul dewasa ini di sebabkan manusia tidak menerapkan syariat Allah dengan sebenar-benarnya. Maka, jika ingin masalah-masalah itu hilang, satu-satunya cara adalah dengan menerapkan syariat Allah, meskipun realitas menolak. Bagi hanafi, gerakan itu membuat analisis persoalan berdasarkan syariat yang bersifat ideal, bukan pada realitas.Mereka menghendaki realitas mengikuti ideal syariat, bukan syariat memperturutkan realitas.Di sinilah, letak gerakan semacam itu disebut fundamentalisme. (Moh.Nur hakim,2003:148-149)

3.

LIBERALISME
Liberalisme adalah sistem terpanjang yang masuk ke dalam kehidupan kita, khususnya di Mesir selama fajar kebangkitan Arab Modern setelah gerakan Islam.Pelopornya adalah Al Tanththawi di Mesir dan Khairuddin Al Tunisi di Tunisia.Mereka berkeinginan untuk mendirikan Negara modern seperti yang diinginkan oleh filsafat pencerahan di Barat, seperti yang diungkapkan oleh La Charte dalam revolusi Perancis.Untuk itu, Al Thahtawi menerjemahkannya sebagai penegas ultimatum bagi Negara Nasionalis Modern.Liberalisme tidaklah menuntut penghapusan system kerajaan dan kekhilafahan, namun menuntut system kerajaan yang terikat pada undang-undang dan system parlemen yang dibangun di atas multi-partai. Kebebasan Pers, urgensi ajaran nasional yang bebas dan independen, tanggung jawab departemen di depan para wakil rakyat, kebebasan berpendapat, berkumpul dan bekerja serta kebebasan berfikir dan menganut sebuah kepercayaan. Liberalisme telah memimpin sejumlah peperangan untuk membangun Negara modern, sejumlah selokan dan saluran air, jembatan dan bendungan, pendirian sekolah-sekolah dan universitasuniversitas, penyebaran pengajaran tanpa pembedaan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan, serta pembentukan semangat nasionalisme, yang independen. Maka meletuslah beberapa revolusi nasional, seperti revolusi tahun 1919 di Mesir yang mengatas namakan Liberalisme.(Hassan Hanafi,1990:95)

TEOLOGI KLASIK
Pada zaman klasik ini berkembang teologi sunnatullah.( 650 1250 M ) Sunnatullah adalah hukum alam, yang dibarat disebut natural laws.Bedanya, natural laws adalah ciptaan alam, sedangkan sunnatullah adalah ciptaan Tuhan. Diantara ciri-ciri teologi sunnatullah adalah : 1. Kedudukan akal yang tinggi 2. Kebebasan manusia dalam kemauan dan perbuatan 3. Kebebasan berfikir hanya diikat oleh ajaran-ajaran dasar dalam al-Quran dan alHadits yang sedikit sekali jumlahnya 4. Percaya adanya sunnatullah dan kausalitas 5. Mengambil arti metaforis dari teks wahyu

6. Dinamika dalam sikap dan berfikir Ulama pada zaman klasik ini cenderung memakai metode berfikir rasional, ilmiah dan filosofis6. Dan yang cocok dengan metode berfikir ini adalah filsafat qadariyah yang menggambarkan kebebesan manusia dalam kehendak dan perbuatan. Karena itu, sikap umat Islam zaman itu adalah dinamis, orientasi dunia mereka tidak dikalahkan oleh akhirat. Keduanya berjalan seimbang. Tidak mengherankan kemudian kalau pada zaman klasik itu, soal dunia dan akhirat samasama dipentingkan dan produktivitas umat dalam berbagai bidang meningkat pesat. Sehingga dalam sejarah Islam masa klasik tersebut disebut sebagai masa keemasan dalam perkembangan keilmuan Islam, khususnya di bidang teologi.

A. KRITIK ATAS TEOLOGI ISLAM KLASIK


Jika kita membaca salah satu karya monumental Hanafi yang berjudul Dari Akidah ke Revolusi: Sikap Kita terhadap Tradisi Lama, hal pertama yang akan kita rasakan adalah gugatannya yang keras, tajam dan radikal terhadap tradisi lama Islam. Gugatan dan kritik keras itu tidak hanya ditujukan terhadap paradigma klasik dalam ilmu ushuluddinkhususnya ilmu kalamtetapi juga terhadap tradisi dan konvensi teknis di kalangan mutakallimun [para teolog Muslim] dalam pembahasan ilmu ini.dan memang, sejarah Islam tentang teologi kenyataannya telah jauh menyimpang dari misinya yang palingawal dan mendasar, yaitu liberasi atau emansipasi umat manusia. Rumusan klasik di bidang teologi yang kita warisi dari para pendahulu Muslim pada hakikatnya tidak lebih dari sekumpulan diskursus keagamaan yang kering dan tidak punya kaitan apapun dengan fakta-fakta nyata kemanusiaan.Paradigma teologi klasik yang ditinggalkan para pendahulumenurut Hanafihanyalah sebentuk ajaran langitan, wacana teoritis murni, abstrakspekulatif, elitis dan statis; jauh sekali dari kenyataan-kenyataan sosial kemasyarakatan. Padahal, semangat awal dan misi paling mendasar dari gagasan teologi Islam [Tauhid] sebagaimana tercermin di masa Nabi saw. sangatlah liberatif, progresif, emansipatif dan revolutif. Dalam kaitan ini, Farid Essack menulis, Tuhan yang disangkal orang-orang Mekkah bukanlah Tuhan yang Esa yang didakwahkan oleh Muhammad, melainkan Tuhan yang menghendaki keadilan sosial ekonomi dan tatanan politik egaliter yang mengancam feodalisme serta otoritarianisme masyarakat Arab. Menurut Hanafi, semangat liberasi tauhid terefleksikan dalam pernyataan keimanan berupa kesaksian teologis .Beliau berpendapat bahwa kedua kalimat syahadat itu kesaksian bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nyabukanlah sekedar pernyataan verbalisme tentang ketuhanan dan kenabian, melainkan diikuti dengan kesaksian yang bersifat teoritis dan kesaksian yang bersifat praksis tentang problematika modernitas dan kejadian-kejadian sejarah. Dalam berbagai karyanya yang mengulas proyek pembaharuan teologi Islam klasik, Hanafi berupaya menyingkap sejarah kelahiran ilmu kalam, keragaman alirannya, rumusan isi dan metodologinya, perkembangannya, hingga sampai pada taraf analisis terhadap kekurangan dan kelebihan masing-masing aliran teologi. Kesimpulannya: pertama, ada dimensi yang hilang dari wacana teologi Islam tradisional. Yaitu persoalan manusia, alam dan sejarah. Selama ini, yang ditonjolkan oleh ilmu kalam selalu saja pembahasan abstrak seputar eksistensi Tuhan, atribut-atribut yang melekat kepada-Nya, eksistensi malaikat, artikel-artikel eskatologis, kenabian, dan ha-hal teoritik lain yang tidak berkorelasi dengan kenyataan yang terjadi. Tuhan selalu menjadi obyek menarik untuk diperbincangkan, justru di saat umat mengalami keterbelakangan.Tuhan menjadi fokus perdebatan, sedangkan umat dipinggirkan. Akibatnya, teologi hanya bergaung di forumforum perdebatan, di bawah catatan-catatan ilmiah, di ujung pena para sarjana, di dalam buku-buku dan berakhir di meja tulis para pemikir. Problem nyata semacam penindasan manusia, eksploitasi alam dan kesadaran sejarah tidak sedikitpun menjadi concern teologi. Menurutnya, wacana kalam klasik tidak lagi mamiliki hubungan harmonis dengan kenyataan riil

kemanusiaan.Dan ini adalah distorsi besar-besaran terhadap sejarah dan ajaran Islam, karena sebelumnya teologi sangat lekat dengan antropologi. Baginya, mukaddimah konvensional dan susunan pembahasan teologi klasik tidak sedikitpun membahas realitas manusia atau konsepsi alam; sebaliknya, yang dihadirkan hanyalah ...Pujian kepada Allah, shalawat dan salam kepada Rasulullah...penyucian Allah dengan sebenar-benarnya, pemaparan sifat-sifat Tuhan dalam bahasa yang penuh dengan kecintaan, sehingga hakikat Tuhan merupakan sesuatu yang sulit dicapai, membingungkan akal manusia serta melemahkan daya imajinasi.... Kedua, eksistensi teologi Islam tradisional dalam paradigmanya yang spekulatif, teoritik, elitik, statis dan kehilangan daya dorong sosial serta momentum perlawanannya.Bagi Hanafi, selama ini artikel-artikel teologi klasik hanya penuh dengan refleksi keimanan murni; menggambarkan keimanan sema-mata dan tidak berkaitan dengan kemanusiaan nyata.Gaya pembahasan seperti ini sangat berbahaya, sesuatu yang tak berarti dan hampa makna.Ungkapan yang berisi muatan keimanan sering mengabaikan argumentasi, menghancurkan dalil-dali dan menyia-nyiakan keilmuan, demikian teriak Hanafi. Ketiga, paradigma teologi klasik Islam sudah saatnya diperbaharui [reformasi], dipahami ulang [rekonstruksi] dan dirumuskan kembali [reformulasi] dalam modelnya yang baru dan progresif, karena sudah tidak relevan dengan tuntutan modernitas, gerak sejarah dan dinamika perkembangan zaman. Selain ketiga poin di atas, Hanafi juga melontarkan beberapa kritikan terhadap paradigma tauhid klasik.Pertama, ketidaksesuaian konsep-konsepnya dengan era industrialisasi.Kdua, pembahasannya cenderung mengulang-ulang [repetisi].Ketiga, pengungkapan pesan-pesannya secara apologis.Keempat, menggunakan metode retorika dan dialektika.Kelima, keterbatasan bahasa klasik yang digunakan.

B. KRITIK TERHADAP TEOLOGI TRADISIONAL


Dalam gagasan Hassan hanafi tentang rekonstruksi teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks-politik yang terjadi. Teologi tradisional, kata Hanafi, lahir dalam konteks sejarah ketika inti keislaman sistem kepercayaan,yakni transedensi Tuhan, diserang oleh wakil dari sekte dan budaya lama. Teologi itu dimaksudkan untuk mempertahankan doktrin utama dan memelihara kemurniannya.Sementara itu, konteks sosial-politik sekarang sudah berubah. Islam mengalami berbagai kekalahan diberbagai medan pertempuran sepanjang periode kolonialisasi. Oleh karena itu, kerangka konseptual lama masa-masa permulaan, yang berasal dari kebudayan klasik, harus diubah menjadi kerangka konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modern Hanafi ingin meletakkan teologi islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh di persoalkan lagi dan harus diterima begitu saja secara taken for granted. Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi, baik secara historis maupun eidetis Secara praxis, teologi tradisional gagal menjadi semacam ideologi yang sungguh-sungguh fungsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim. Kegagalan para teolog tradisional disebabakan oleh sikap para penysun teologi yang tidak mengaitkan dengan kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Akibatnya, muncul keterpecahan antara keimanan teoritik dengan amal praktisny di kalangan umat.

C. REKONSTRUKSI TEOLOGI

Melihat kelemahan dari teologi tradisional, Hanafi lalu mengajukan saran rekonstruksi teologi dengan tujuan menjadikan teologi tidak sekedar dogma-dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi manusia Langkah melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya di latar belakangi oleh tiga hal berikut : a) kebutuhan akan adanya sebuah ideologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai ideologi. b) pentingnya teologi baru ini bukan semata-mata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak pada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan ideologi sebagai gerakan dalam sejarah. Salah satu kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di negara-negara muslim. c) kepentingan teologi yang bersifat praktis(amaliyah filiyah) yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia islam. Hanafi menghendaki adanya teologi dunia yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan umat islam di bawah satu orde. Menurut Hassan Hanafi, rekonstruksi teologi salah satu cara yang mesti di tempuh jika mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang konkret bagi sejarah kemanusiaan. Kepentingan rekonstruksi itu pertama-pertama untuk mentransformasikan teologi menuju antropolgi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara ekstensial, kognitif, maupun kesejarahan.

A. TEOSENTRISME
Teosentrisme berasal dari bahasa Yunani, theos, yang memiliki arti Tuhan, dan bahasa Ingris, center, yang berarti pusat. Pada konteks ini, teosentrime mengacu pada pandangan bahwa sistem keyakinan dan nilai terkait Ketuhanan secara moralitas lebih tinggi dibandingkan sistem lainnya.Singkatnya, teosentrisme lebih menekankan tentang keberpusatan pada Tuhan dibandingkan pada manusia (anthroposentrisme). Pada kajian yang lebih mendalam, teosentrisme berarti menegakan kejayaan Tuhan dengan melakukan berbagai hal yang baik dan menghalau berbagai hal yang buruk.Terkait hal ini, perspektif Kristiani serupa dengan Islam. Kitab suci Quran menyatakan bahwa tujuan dari penciptaan manusia adalah untuk mengagungkan dan menyembah Allah SWT, seperti yang dinyatakan pada surat Adh Dhariyat 51:56: dan tidak aku ciptakan jinn dan manusia kecuali untuk menyembah-Ku. Menyembah, dalam kajian Islam, berarti mengakui pada kesatuan dan kekuasaan Allah SWT. Kehidupan merupakan perjuangan yang berkelanjutan antara kebajikan dan kejahatan. Sehingga, dalam memutuskan apa yang dapat dilakukan dan harus ditinggalkan, Muslim seharusnya mengacu pada tuntunan Quran dan Hadis. Keduanya merupakan pondasi dari hukum Islam atau sharia.Tujuan sharia adalah untuk menjadi panduan dalam pencapaian kebaikan dalam hidup, contohnya adalah keindahan karakter dan kehidupan, dan untuk menghindari berbagai hal yang merusak dan buruk. Mereka yang bersungguh-sungguh dan melakukan kebajikan akan dikaruniai dengan keabadian hidup di surga, sementara mereka yang condong pada keburukan akan dihukum di neraka. Sementara kajian Kristiani juga mengandung banyak afirmasi mengenai konsep keberpusatan pada Tuhan dalam penciptaan manusia. Pada Yesaya 43:7, dikatakan: semua orang yang disebutkan dengan nama-Ku yang kuciptakan untuk kemuliaan-Ku, yang Kubentuk dan juga Kujadikan! Dengan kata lain, tujuan akhir manusia di dunia ini adalah untuk mengagungkan Tuhan. Perspektif teosentrisme bahwa Tuhan meminta manusia untuk mengikuti hukum moralitas disajikan melalui uraian mencitai Tuhan kita dengan sepenuh hati, sepenuh jiwa, dengan sepenuh tenaga, dan dengan sepenuh pikiran. Inilah sejatinya keutamaan dari teosentrisme dalam mencari Tuhan dan mengagungkan-Nya di

atas yang lainnya, manusia memenuhi tujuan dari penciptaannya.Santo Agustine mengatakan, Engkau telah menciptakan kamu untuk diri-Mu, dan hati kami tidak tenang hingga mereka dapat beristirahat di diri-Mu. Sementara dari kajian Islam, Imam Gazali, mengelaborasi sikap spiritual ketika ia menjelaskan pentingnya menumbuhkan taqwa dalam hati setiap Muslim. Taqwa dalam Quran memiliki tiga arti.Pertama takut dan takjub; kedua kepatuhan dan penyembahan dan ketiga adalah membebaskan hati dari dosa, yang mana merupakan esensi dari taqwa. Singkatnya, taqwa adalah melindungi diri dari kemurkaan dan hukuman Allah SWT dengan mematuhi anjuran dan mehindari larangan-Nya.Hal ini kembali lagi mengafirmasi kenyataan bahwa tujuan manusia dalam hidup ini adalah untuk mencari keridhaan Allah dengan menjalani hidup sesuai dengan petunjuk sharia. Akhirnya, dalam teologi modern, teosentrisme sering kali dihubungkan dengan pelayanan dan etika lingkungan.Hal ini terkait dengan keyakinan bahwa manusia harus menjaga dunia sebagai pemelihara dan sehingga yang mana Tuhan menginginkan mereka.Manusia seharusnya memikirkan semua, dari hewan hingga tumbuhan hingga ke manusia sendiri.Hal ini memelihara bahwa manusia sejatinya di sini untuk waktu yang singkat dan seharusnya menjaga dunia untuk generasi mendatang. Di Islam, konsep yang selaras dengan hal ini adalah konsep khalifah. Kita suci Al Quran menjelaskan hal ini sebagai berikut: Renungkan saja ketika Allah berkata pada para malaikat: Dan (ingatlah) tatkala Tuhan engkau berkata kepada Malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan di bumi seorang khalifah. Berkata mereka: Apakah Engkau hendak menjadikan padanya orang yang merusak di dalam nya dan menumpahkan darah, padahal kami bertasbih dengan memuji Engkau dan memuliakan Engkau ? Dia berkata : Sesungguhnya Aku lebih mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. (AlBaqarah 2:30). Sebagai kalifah, manusia dipandang sebagai yang pelindung dunia. Pada posisi ini, ia seharusnya tidak melakukan tindakan koruptif dalam berbagai bentuk pada dunia, ia seharusnya merawat hubungan baik antara sesama manusia dan mengabadikan keindahan dari dunia untuk generasi mendatang.

B. ANTROPOSENTRIS
Karena menganggap bahwa teologi Islam tidak ilmiah dan tidak membumi, Hanafi mengajukan konsep baru tentang teologi Islam. Tujuannya untuk menjadikan teologi tidak sekedar sebagai dogma keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual sebagai landasan etik dan motivasi tindakanmanusia. Karena itu, gagasan-gagasan Hanafi yang berkaitan dengan teologi,berusaha untuk mentranformulasikan teologi tradisional yang bersifat teosentris menuju antroposentris, dari Tuhan kepada manusia (bumi), dari tekstual kepadakontekstual, dari teori kepada tindakan, dan dari takdir menuju kehendak bebas.Pemikiran ini, minimal, di dasarkan atas dua alasan; pertama, kebutuhan akanadanya sebuah ideologi (teologi) yang jelas di tengah pertarungan global antaraberbagai ideologi. Kedua, pentingnya teologi baru yang bukan hanya bersifatteoritik tetapi sekaligus juga praktis yang bisa mewujudkan sebuah gerakan dalamsejarah.Untuk mengatasi kekurangan teologi klasik yang dianggap tidak berkaitandengan realitas sosial, Hanafi menawarkan dua teori.Pertama, analisa bahasa.Bahasa dan istilah-istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyangdalam bidang teologi yang khas yang seolah-olah sudah menjadi doktrin yangtidak bisa diganggu gugat.Menurut Hanafi, istilah-istilah dalam teologisebenarnya tidak hanya mengarah pada yang transenden dan ghaib, tetapi jugamengungkap tentang sifat-sifat dan metode keilmuan; yang empirik-rasionalseperti iman, amal dan imamah, yang historis seperti nubuwah dan ada pula yangmetafisik, seperti Tuhan dan akherat.Kedua, analisa realitas. Menurut Hanafi,analisa ini dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologismunculnya teologi dimasa lalu dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupanmasyarakat atau para penganutnya.

Muhammad `Abduh (1849-1905) The Egyptian religious scholar, jurist, and liberal reformer, Muhammad `Abduh led a late 19thcentury movement in Egypt and other Muslim countries to modernize Muslim institutions. He was born 1849 in the Nile Delta area and died near Alexandria on July 11, 1905. Muhammad `Abduh was greatly influenced by Jamal ud-Din al-Afghani, the founder of the modern pan-Islamic movement which sought to unite the Muslim world under the banner of the faith. When they met in al-Azhar in 1872 `Abduh was roused from his asceticism to activism and sought to bring about a renaissance of Islam and a liberation of Muslims from colonialism. Unlike his mentor, Jamal ud-Din al-Afghani, `Abduh tried to separate politics from religious reform. `Abduh advocated the reform of Islam by bringing it back to its pristine state and casting off what he viewed as its contemporary decadence and division. His views were opposed by the established political and religious order, but were later embraced by Arab nationalism after World War I. `Abduh spent some years in exile in Paris, where he helped al-Afghani issue the anti-British Muslim periodical al-`Urwah al- Wuthqa (The Firmest Bond). `Abduh eventually broke with al-Afghani. He taught in Beirut. Rejecting the radicalism he had embraced in the 1870s and 1880s, he returned to Cairo, after the favorable intervention of the British with the Khedive, to pursue educational and language reforms. This conversion to liberalism paralleled a decline in revolutionary fervor among the rural notables in the late 1880s. After the British takeover of Egypt in 1882, taxes rose to intolerably high levels under the Khedive Isma`il (r. 1863-1879), and the threat of more revolts forced the new colonial regime of Evelyn Baring (later Earl of Cromer) to keep taxes down. The landholding families which managed to keep their large holdings together transformed themselves into agrarian capitalists and became urbanized absentee landlords; many of them did not actively oppose British rule, and their nationalism was muted by a conviction that it was only through education and gradual reform that the Egyptians could achieve independence. `Abduh became a spokesman for this class. In 1899, he was appointed Grand Mufti (jurisconsult) for all of Egypt through British influence, and he used the office to promulgate liberal reforms in Islamic law, administration and education. As European influence grew in Egypt, Westernizers in Egypt were adopting Western education, Western sciences, and a Western medium of teaching, specifically in French. `Abduh distrusted the Westernizers. He called upon parents to refrain from sending their children to schools established by missionaries. But he was in no way opposed to Western science and technology. In an article written in 1877, `Abduh advocated the introduction of modern sciences together with the local sciences into Al Azhar University. He described the strength of prejudice against modern sciences in Al Azhar and related that Al-Ghazali and others considered the study of logic and similar disciplines obligatory for the defense of Islam. He went on to say: There is no religion without a state and no state without authority and no authority without strength and no strength without wealth. The state does not possess trade or industry. Its wealth is the wealth of the people and the peoples wealth is not possible without the spread of these sciences amongst them so that they may know the ways for acquiring wealth. [Tarikh, vol.ii, p.37ff.] He said that new and useful sciences are essential to our life in this age and are our defense against aggression and humiliation and further the basis of our happiness, wealth and strength. He said, These sciences we must acquire and we must strive towards their mastery. `Abduh considered that the Persian and Greek elements which were dominant in Islamic tradition were not congruous with modernity, and he worked to substitute Greek philosophy with modern ideas. Because of his own limitations and insufficient knowledge of science, modern philosophy and the West, he often went beyond his simple formula of modernity is based on reason, Islam must therefore be shown not to contradict reason, thus we may prove that Islam is compatible with

modernity to show agreement between detailed scientific theories or discoveries with the Quran. `Abduh interpreted certain things mentioned in the Quran, such as the world of jinn or the angels to agree with modern discoveries. The jinns became microbes and stories of astronomy were explained to be addressing simple people at their level of understanding. He tried to make the theory of evolution compatible to the story of Genesis in the Quran and he used evolution to prove that Muhammad was the seal of the Prophets. He wanted to show that Islam does not reject the principle of causality and was determined to limit the region of the miraculous. Asharite Sunnis appeared to deny an automatic relationship between cause and effect, and he preferred the Mutazalites view of the world. For this reason, `Abduh was skeptical of the miracles performed by saints (Karamats). He simply strove to rely on the texts of the Quran and the Sunnah, without getting into their implications. `Abduh wrote, There are two books: one created which is the universe, and one revealed which is the Quran and only through reason are we guided by this book to understand that one. [ Al Manar, vol. vii, p.292] The impact of Western ideas, however, as he saw them, forced him to make accommodations. Regarding prophecy, `Abduh not only considered it evolutionary in nature, but also emphasized that it is not in the jurisdiction of prophets to teach arts or industries or sciences. This idea was further developed by his students and Egyptian secularists in their search to legitimately limit the authority of religion in the social sphere. By the end of the nineteenth century, scientific exegesis had established itself as an independent discipline. In 1898, `Abduhs Syrian student, Rashid Rida, encouraged him to write a tafsir, but he was not interested. But in 1900-01, Muhammad `Abduh gave a series of lectures on the Quran and Muhammad Rashid Rida took notes, which Rida later expanded. The enlarged work was shown to `Abduh who approved and corrected it, as needed. These lectures appeared in the periodical AlManar, vol. iii, 1900 as Tafsir Manar of `Abduh. It is somewhat ironic that the earnest, and religiously strict young Rida should develop a close relationship with the worldly, broadminded `Abduh. But this, perhaps, is an indication of `Abduh's ability to tailor his conversation to the interests of his audience. After `Abduhs death in 1905, Rashid Rida continued Tafsir al-Manar, from Q. 4:125 to Q. 12:107, indicating those parts (in posthumous portions) which were the result of `Abduhs lectures and his own additions. Eventually, Tafsir al-Manar was published in 12 volumes in 1927; a later edition with indices is Tafsir al-Quran al-Hakim al-Mustahir bi Tafsir alManar, 12 vols. Cairo, 1954-1961. In addition, `Abduh had published in his own life time, Tafsir juz `Amma, Tafsi Surat al-`Asr, [Tafsir al-Fatiha], Fatihat al-Kitab, Tafsir al-Ustadh al-Imam, and his lectures on the Quran were edited and published as Durus min al-Quran al-Karim. `Abduhs tafsir has been thoroughly analyzed by the Dominican orientalist, J. Jomier (1954) in his book Le Commentaire Coranique du Manar . He considered that Muhammad Abduh and Rashid Ridas viewpoints corresponded with la scolastique chretienne [ Le Commentaire Coranique du Manar 82] in the sense that the relation of reason and revelation was complementary, not antipodal. For example, on the questions related to prophethood, such as How is a prophet made capable of his task? Do predisposition and surroundings make a difference?, Muhammad `Abduh said it is because of the fortunate possession of a special natural talent that makes a prophet transcende les frontirs entre ce monde et lautreit apprend ce quest lautre vie, it les moyens dy parvenir [J. Jomier, Le Commentaire Coranique du manar 77] Rida rejected the view that man, however gifted he might be, could attain information of the other world on his own. Revelation could not be acquired by effort. In 18:62,63 it is said that the fish of Musa and his servant took its way in the sea `ajaban (in a wondrous sort) and this `ajaban is explained by Muhammad `Abduhs son Ali Fikra as, so that the prophet of God was astonished at it, an astonishment quite understandable, as he and his servant had not paid attention to the fish they carried in a basket, so that it had been able to dive away into the sea. [al-Quran yanbu1`al`ulum wal-irfan, (1948), ii, 305f.] `Abduh maintained that religion must not be made into a barrier, separating mens spirits from God-

given abilities in the knowledge of the truth of the contingent world. Rather, religion must promote this very search, demanding respect for evidence and enjoining the utmost possible devotion and endeavor through all the worlds of knowledge. He considered that the study of the contingent world, the analysis of astronomical worlds and the diverse theories of stars in their courses, the dimensions of the worlds length and breadth, the sciences that study plants in their growth and animals in their quest to survive, that all of these and more belong with the relevant branches of learning and have been the area of much eager rivalry over their detailed investigation. These things, however, belong wholly with the means to material acquisition and well-being and are within those gifts of comprehension whereby God has willed that humanity be directed. Those who pursue these sciences increase in prosperity but short-comers incur only trouble. Only gradually does man attain to perfection--so runs the Divine principle. The prophetic laws are to promote endeavor along this path, in a general sense, and to sustain man in the attainment of the high dignity that God has promised to human nature. [Theology of Unity, p.103] In his elucidation of ibada (worship), `Abduh spoke piously. It refers to complete surrender springing from a deep consciousness of the Worshipped One, without knowing the origin of its form or essence. The only thing one knows of, is being surrounded by it. [Tafsir al-Fatiha, 56] In his Risalat al-Tawhid (Theology of Unity), `Abduh says: The Quran directs us, enjoining rational procedure and intellectual enquiry into the manifestations of the universe, and, as far as may be, into its particulars, so as to come by certainty in respect of the things to which it guides. Among the proofs of knowledge in the necessary Being is what we may observe of the principles and certainties in the order of the contingent universe, and the fact that everything has its place, and each has at hand what is needful for it to be and continue to be. This situation manifests itself readily in the spectacle of things visible, both small and great, high and low. Take the situation among the stars and their dependable interrelation, the fixed law of their movement by which they keep their appointed courses and every star knows its orbit. Were they irregular, the planetary order indeed the whole universe would be thrown into confusion. There are other like points which the astronomical sciences expound. All this bears witness to the makers knowledge and wisdom. ...Take, again, what is observable in the detailed study of plants and animals and the powers with which they are endowed, and the organs as needful for the maintenance of life, with faculties and limbs rightly located in their bodies. The insensible things among them, like plants, have a natural capacity to obtain the appropriate food and leave the inappropriate. The seed of the colocynth is there side by side with the melon seed, in one ground and water and in the same cultivation. Yet the one takes from the one context what yields the bitterest poison and the other the most delightful sweetness. Consider too the guidance of the creatures of sense in the employment of their members and organs, and exercise of all their powers in their proper capacities. It is He who knows the embryo when it is no more than a sperm drop. He knows how, when it is perfected into a creature and has from Him the `fiat of independent life, it needs hands, feet, eyes, nose and ears and other, inner, faculties to use in pursuance of its being and in self-protection, as well as the necessity of stomach, liver and lung and the rest of the organs indispensable to growth and life throughout the allotted span. Does not this created world, which men of intelligence fall over themselves to investigate until they attain its secrets, in truth bear witness to its originator, the all-knowing, who has given being to every created thing and guided it? Is it possible that nothing but coincidence, the thing we call `chance, gave rise to all this order? Has chance laid down the laws upon which are built the universes mighty and lowly? Never. The artificer of all is He whom `not an atoms weight in heaven and earth escapes. He hears and knows all. [The Theology of Unity, p.49] He further states: but reason quite lacks the competence to penetrate to the essence of things.

For the attempt to discern the nature of things, which necessarily belongs with their essential complexity, would have to lead to the pure essence and to this, necessarily, there is no rational access. So the utmost that our rationality can attain is acknowledge of accidents and effects. ..Take, for example, light the most clear and evident of things. Students have propounded many laws about it and arranged them in a special science. But none of them can understand what it is or penetrate the nature of illumination. They know only about light what every non-student using his eyes knows equally well The study of creation is necessarily salutary in a practical way and lightens for the soul the way to the knowledge of Him who can be characterized by the fact that aside from Him none of these things would have the order they plainly possess. Contradictory views of the universe are part of the conflict of truth with error. Truth must prevail over falsehood by dint of sound thought or by the strength of the case outweighing its weaknessthe Quran and earlier Scriptures confine themselves to directing attention to the creators existence and to His perfect attributes, as these may be known from the contemplation of the created world. As for the nature of His attributes and what they signify, it is beyond our province to discuss. [Theology of Unity, p.55] Ironically, `Abduh found that those Muslims who were attracted to Western science, did not meet his criteria. Does it not appear that the very Muslims who have known something of science are precisely those who, for the most part, instinctively regard Islams doctrines as superstitious and its principles and precepts as a farce? They find pleasure in ape-ing the free-thinking people who scoff and jeer and think themselves forward-looking. How far they are from the rational study of the Quran which they despise and regard as worthless to religion and the world! Many of them simply pride themselves on ignorance, as if thereby they had evaded prohibited things and achieved some distinction. Those Muslims who stand on the threshold of science see their faith as a kind of old garment in which it is embarrassing to appear among men, while those who deceive themselves that they have some pretension to be religious and orthodox believers in its doctrines regard reason as a devil and science as supposition. Can we not, in the light of all this, call God, His angels and all men to witness that science and reason have no accord this religion? [Theology of Unity, p.153] `Abduh proposed an educational programme whose objective was for students to internalize religion to the extent that it directed every action, thus to unit them materially and spiritually in the service of Islam. In a speech he gave at Al Madrassah Al Sultaniyyah in Beirut, he said, The sciences which we feel in need of is thought of by some people to be technology and other means of mastering agriculture and trade. This is false, for if we look at what we complain of, we find something deeper than the mere lack of technology and similar disciplines...The science which will revive the souls is the science of disciplining the soul. Such a discipline exists only in religion, therefore what we lack is extensive knowledge of the ethics of religion and what we need in accordance with our feelings is to have a true understanding of religion. Like other modernists, Muhammad `Abduh maintained that Islam is the universal religion for and from all times. He interpreted the word salihat, as it occurs in 103:3, as works to be found among the nations in the possession of a prophetic sharia as well as among the nations to whom no prophet was sent, and since the principles of the salihat are universal, they are indicated by the Quran as bi`l-ma `ruf. [Tafsir Sura al- `Asr, 19] In a radical departure from accepted doctrine, he taught that modern scientific thought could be accepted without damage to Islam. H.A.R. Gibb wrote about `Abduh that he was a modernist in the sense that he urged the pursuit of modern thought, confident that it could only confirm the religious thought of Islam. In relation to the traditional orthodox structure of belief he was no innovator [but] by restating the rights of reason in religious thought he....allowed the possibility of reformulating doctrine in modern instead of medieval terms. 'Abduh's ideas were met with great enthusiasm, but also by tenacious opposition. They are still a

subject of contention today, nearly 80 years after his death, as questions of modernism and tradition re-emerge in conflict in the Muslim world. Although he did not achieve his goals, Muhammad 'Abduh remains a continuing influence, and his work, Risalat al-Tauhid (The Theology of Unity), is the most important statement of his thought. Elma Harder Works by Muhammad `Abduh (1903), Tafsir Surat al-`Asr, Cairo. (1904) Tafsir juz `Amma, al-Matb. al-Amiriyya, Cairo. (1927) Tafsir Manar, 12 volumes (1954-1961), Tafsir al-Quran al-Hakim al-Mustahir bi Tafsir al-Manar, 12 vols. with indices, Cairo. (1382), Fatihat al-Kitab, Tafsir al-Ustadh al-Imam, Kitab al-Tahrir, Cairo. (no date), Durus min al-Quran al-Karim, ed. by Tahir al-Tanakhi, Dar al-Hilal, Cairo. (1966), The Theology of Unity, trans. by Ishaq Musa'ad and Kenneth Cragg. London. Bibliography Badawi, M. A. Zaki (1976, 1978), The Reformers of Egypt, Croom Helm, London. [Chapter 2, pp. 35-95 is devoted to `Abduh and his work.] Baljon, J. M. S. (1961), Modern Muslim Koran Interpretation, E. J. Brill, Leiden. Kedourie, Elie (1966), Afghani and `Abduh: An Essay on Religious Unbelief and Political Activism in Modern Islam, Frank Cass & Co. Ltd. London. Ahmed Lutfi el-Sayed

Muhammad Abduh
From Wikipedia, the free encyclopedia Jump to: navigation, search Muhammad Abduh 1849 (1849)[1] Nile Delta, Egypt July 11, 1905 (aged 56)[1] Died Alexandria, Egypt Region Islam Movement Islamic Modernism Influenced[show] Born Rashid Rida, Muhammad Asad Muammad 'Abduh (circa. 1849 - 11 July 1905) (also spelled Mohammed Abduh, Arabic: )was an Egyptian Islamic jurist, religious scholar and liberal reformer, regarded as one of the key founding figures of Islamic Modernism sometimes called Neo-Mu'tazilism after the Medieval Islamic Mu'tazilites.[2] He broke the rigidity of the Muslim ritual, dogma, and family ties. He also

wrote among other things, "Treatise on the Oneness of God", and a commentary on the Qur'an.[1] According to some sources, Abduh was a freemason [3] and had a close relationship with the Baha'i faith. [4]

Contents
[hide] 1 Biography 2 Thought 3 Freemason 4 Abduh and the Baha'i Movement 5 Works 6 See also 7 References 8 Notes 9 External links

Biography[edit source | edit]


Muhammad Abduh was born in 1849 into a family of peasants in Lower Egypt (i.e. the Nile Delta). [1] He was educated in Tanta at a private school.[1] When he turned thirteen he was sent to the Amad mosque which was one of the largest educational institutions in Egypt. A while later Abduh ran away from school and got married. He enrolled at al-Azhar University in 1866.[5] Abduh studied logic, philosophy and Islamic mysticism at the Al-Azhar University in Cairo. He was a student of Jamal al-Din al-Afghani,[6] a philosopher and Muslim religious reformer who advocated Pan-Islamism to resist European colonialism. Under al-Afghani's influence, Abduh combined journalism, politics, and his own fascination in Islamic mystical spirituality. Al-Afghani taught Abduh about the problems of Egypt and the Islamic world and about the technological achievements of the West. In 1877, Abduh was granted the degree of 'Alim ("teacher") and he started to teach logic, theology and ethics at al-Azhar. In 1878, he was appointed professor of history at Cairo's teachers' training college Dar al-Ulum, later incorporated into Cairo University. He was also appointed to teach Arabic at the Khedivial School of Languages.[7] Abduh was appointed editor and chief of alWaqi al-Miriyya, the official state newspaper. He was dedicated to reforming all aspects of Egyptian society and believed that education was the best way to achieve this goal. He was in favor of a good religious education, which would strengthen a childs morals, and a scientific education, which would nurture a childs ability to reason. In his articles he criticized corruption, superstition, and the luxurious lives of the rich.[8] In 1879, due to his political activity, Jamal al-Din al-Afghani was exiled and Abduh was exiled to his home village. The following year he was granted control of the national gazette and used this as a means to spread his anti-colonial ideas, and the need for social and religious reforms.[1] He was exiled from Egypt by the British in 1882 for six years, for supporting the Egyptian nationalist revolt led by Ahmed Orabi in 1879. He had stated that every society should be allowed to choose a suitable form of government based on its history and its present circumstances.[9] Abduh spent several years in Ottoman Lebanon, where he helped establish an Islamic educational system. In 1884 he moved to Paris, France where he joined al-Afghani in publishing The Firmest Bond (alUrwah al-Wuthqa), an Islamic revolutionary journal that promoted anti-British views. Abduh also visited Britain and discussed the state of Egypt and Sudan with high-ranking officials. In 1885, after

vrief stays in England and Tunisia, he returned to Beirut, as a teacher,[1] and was surrounded by scholars from different religious backgrounds. During his stay there he dedicated his efforts toward furthering respect and friendship between Islam, Christianity and Judaism.[10] When he returned to Egypt in 1888, Abduh began his legal career. He was appointed judge in the Courts of First Instance of the Native Tribunals and in 1891, he became a consultative member of the Court of Appeal.[1] In 1899, he was appointed Mufti of Egypt, the highest Islamic title, and he held this position until he died. As a judge, he was involved in many decisions, some of which were considered liberal such as the ability to utilize meat butchered by non-Muslims and the acceptance of loan interest. His liberal views, endeared him to the British, in particular Lord Cromer; however it also caused a rift between him and the khedive Abbas Hilmi and the nationalist leader Mustafa Kamil.[1] While he was in Egypt, Abduh founded a religious society, became president of a society for the revival of Arab sciences and worked towards reforming al-Azhar University by putting forth proposals to improve examinations, the curriculum and the working conditions for both professors and students. He travelled a great deal and met with European scholars in Cambridge and Oxford University. He studied French law and read a great many European and Arab works in the libraries of Vienna and Berlin. The conclusions he drew from his travels were that Muslims suffer from ignorance about their own religion and the despotism of unjust rulers.[11] Muhammad Abduh died in Alexandria on 11 July 1905. People from all around the world sent their condolences.

Thought[edit source | edit]


I went to the West and saw Islam, but no Muslims; I got back to the East and saw Muslims, but not Islam. Muhammad Abduh[citation needed] Muhammad Abduh argued that Muslims could not simply rely on the interpretations of texts provided by medieval clerics, they needed to use reason to keep up with changing times. He said that in Islam man was not created to be led by a bridle, man was given intelligence so that he could be guided by knowledge. According to Abduh, a teachers role was to direct men towards study. He believed that Islam encouraged men to detach from the world of their ancestors and that Islam reproved the slavish imitation of tradition. He said that the two greatest possessions relating to religion that man was graced with were independence of will and independence of thought and opinion. It was with the help of these tools that he could attain happiness. He believed that the growth of western civilization in Europe was based on these two principles. He thought that Europeans were roused to act after a large number of them were able to exercise their choice and to seek out facts with their minds.[12] His Muslim opponents refer to him as an infidel; however, his followers called him a sage, a reviver of religion and a reforming leader. He is conventionally graced with the epithets al-Ustdh al-Imm and al-Shaykh al-Muft. In his works, he portrays God as educating humanity from its childhood through its youth and then on to adulthood. According to him, Islam is the only religion whose dogmas can be proven by reasoning. Abduh does not advocate returning to the early stages of Islam. He was against polygamy and thought that it was an archaic custom. He believed in a form of Islam that would liberate men from enslavement, provide equal rights for all human beings, abolish the religious scholars monopoly on exegesis and abolish racial discrimination and religious compulsion.[13] Mohammad Abduh made great efforts to preach harmony between Sunnis and Shias. Broadly speaking, he preached brotherhood between all schools of thought in Islam. However, he criticized what he perceived as errors such as superstitions coming from popular Sufism.[14] Abduh regularly called for better friendship between religious communities. As Christianity was the second biggest religion in Egypt, he devoted an special efforts toward friendship between Muslims and Christians. He had many Christian friends and many a time he stood up to defend Copts.[15]

During the Urabi revolt, some Muslim mobs had misguidedly attacked a number of Copts resulting from their anger against European colonialism. Abduh's collected works have been compiled and published in five volumes by Muhammad Imarah.

Freemason[edit source | edit]


At the age of 28 Abduh joined a Masonic lodge, the Kawkab Al-Sharq (Star of the East). Its members included Prince Tawfiq, the Khedives son and heir, leading personalities such as Muhammad Sharif Pasha who had been a minister, Sulayman Abaza Pasha and Saad Zaghlul.[16] A.M. Broadbent declared that, Sheikh Abdu was no dangerous fanatic or religious enthusiast, for he belonged to the broadest school of Moslem thought, held a political creed akin to pure republicanism, and was a zealous Master of a Masonic Lodge. [17] In line with masonic principles, Abduh sought to encourage unity with all religious traditions. He stated that, I hope to see the two great religions, Islam and Christianity hand-in-hand, embracing each other. Then the Torah and the Bible and the Quran will become books supporting one another being read everywhere, and respected by every nation. He added that he was looking forward to seeing Muslims read the Torah and the Bible. [18] 'Abduh was asked why he and (his teacher) Afghani had become Masons. He replied that it was for a "political and social purpose".[19]

Abduh and the Baha'i Movement[edit source | edit]


Like his teacher, Abduh was associated with the Bahai movement, which had made deliberate efforts to spread the faith to Egypt, establishing themselves in Alexandria and Cairo beginning in the late 1860s. Abduh met the leader of the Bahai's, Abdul Baha at a time when they had similar goals.[20] Remarking on Abdul Bahas excellence in religious science and diplomacy, Abduh said of him that, [he] is more than that. Indeed, he is a great man; he is the man who deserves to have the epithet applied to him. [21]

Works[edit source | edit]


Wikimedia Commons has media related to: Mohammed Abduh Peak of Eloquence with comments Other works by Muhammad `Abduh (1897), Rislat al-tawd (Treatise on the oneness of God; first edition)[1] (1903), Tafsir Surat al-`Asr, Cairo. (1904), Tafsir juz `Amma, al-Matb. al-Amiriyya, Cairo. (1927), Tafsir Manar, 12 volumes (1944), Muhammad Abduh. Essai sur ses ides philosophiques et religieuses, Cairo (19541961), Tafsir al-Qur'an al-Hakim al-Mustahir bi Tafsir al-Manar, 12 vols. with indices, Cairo. (1962 or 1963) (Islamic year 1382), Fatihat al-Kitab, Tafsir al-Ustadh al-Imam, Kitab alTahrir, Cairo. (no date), Durus min al-Qur'an al-Karim, ed. by Tahir al-Tanakhi, Dar al-Hilal, Cairo. (1966), The Theology of Unity, trans. by Ishaq Musa'ad and Kenneth Cragg. London.

See also[edit source | edit]


List of Islamic scholars

References[edit source | edit]


Benzine, Rachid (2008). Les nouveaux penseurs de l'islam. Paris: Albin Michel. ISBN 9782-226-17858-9. Black, Antony (2001). The History of Islamic Political Thought. New York: Routledge. ISBN 0-415-93243-2. Sedgwick, Mark (2009). Muhammad Abduh. Oxford: Oneworld. ISBN 978-1-85168-432-8. Watt, W. Montgomery (1985). Islamic Philosophy and Theology. Edinburgh: Edinburgh University Press. ISBN 0-7486-0749-8.

Notes[edit source | edit]


1. ^ Jump up to: a b c d e f g h i j Kerr, Malcolm H. (2010). "'Abduh Muhammad". In Hoiberg, Dale H. Encyclopedia Britannica. I: A-ak Bayes (15th ed.). Chicago, IL: Encyclopedia Britannica Inc. pp. 2021. ISBN 978-1-59339-837-8. 2. Jump up ^ Ahmed H. Al-Rahim (January 2006). "Islam and Liberty", Journal of Democracy 17 (1), p. 166-169. 3. Jump up ^ Karim Wissa, Freemasonry in Egypt 1798-1921. The British Society for Middle Eastern Studies Bulletin, vol.16, no.2, 1989 4. Jump up ^ Juan R.I. Cole. "Muhammad `Abduh and Rashid Rida: A Dialogue on the Baha'i Faith." World Order Vol. 15, nos. 3-4 (Spring/Summer 1981):7-16. 5. Jump up ^ Kgelgen, Anke von. "Abduh, Muammad." Encyclopaedia of Islam, THREE. Edited by: Gudrun Krmer, Denis Matringe, John Nawas and Everett Rowson. Brill, 2009. Brill Online. Syracuse University. 23 April 2009 <http://www.brillonline.nl.libezproxy2.syr.edu/subscriber/entry?entry=ei3_COM-0103.> 6. Jump up ^ Kedourie, E. (1997). Afghani and 'Abduh: An Essay on Religious Unbelief and Political Activism in Modern Islam, London: Frank Cass. ISBN 071464355. 7. Jump up ^ Kgelgen, Anke von. "Abduh, Muammad." Encyclopaedia of Islam, THREE. Edited by: Gudrun Krmer, Denis Matringe, John Nawas and Everett Rowson. Brill, 2009. Brill Online. Syracuse University. 23 April 2009 <http://www.brillonline.nl.libezproxy2.syr.edu/subscriber/entry?entry=ei3_COM-0103.> 8. Jump up ^ Kgelgen, Anke von. "Abduh, Muammad." Encyclopaedia of Islam, THREE. Edited by: Gudrun Krmer, Denis Matringe, John Nawas and Everett Rowson. Brill, 2009. Brill Online. Syracuse University. 23 April 2009 <http://www.brillonline.nl.libezproxy2.syr.edu/subscriber/entry?entry=ei3_COM-0103.> 9. Jump up ^ Kgelgen, Anke von. "Abduh, Muammad." Encyclopaedia of Islam, THREE. Edited by: Gudrun Krmer, Denis Matringe, John Nawas and Everett Rowson. Brill, 2009. Brill Online. Syracuse University. 23 April 2009 <http://www.brillonline.nl.libezproxy2.syr.edu/subscriber/entry?entry=ei3_COM-0103.> 10.Jump up ^ Kgelgen, Anke von. "Abduh, Muammad." Encyclopaedia of Islam, THREE. Edited by: Gudrun Krmer, Denis Matringe, John Nawas and Everett Rowson. Brill, 2009. Brill Online. Syracuse University. 23 April 2009 <http://www.brillonline.nl.libezproxy2.syr.edu/subscriber/entry?entry=ei3_COM-0103.> 11.Jump up ^ Kgelgen, Anke von. "Abduh, Muammad." Encyclopaedia of Islam, THREE. Edited by: Gudrun Krmer, Denis Matringe, John Nawas and Everett Rowson. Brill, 2009. Brill Online. Syracuse University. 23 April 2009 <http://www.brillonline.nl.libezproxy2.syr.edu/subscriber/entry?entry=ei3_COM-0103.>

12.Jump up ^ Gelvin , J. L. (2008). The Modern Middle East (2nd ed., pp. 161-162). New York: Oxford university Press. 13.Jump up ^ Kgelgen, Anke von. "Abduh, Muammad." Encyclopaedia of Islam, THREE. Edited by: Gudrun Krmer, Denis Matringe, John Nawas and Everett Rowson. Brill, 2009. Brill Online. Syracuse University. 23 April 2009 <http://www.brillonline.nl.libezproxy2.syr.edu/subscriber/entry?entry=ei3_COM-0103.> 14.Jump up ^ Benzine, Rachid. Les nouveaux penseurs de l'islam, p. 43-44. 15.Jump up ^ Benzine, Rachid. Les nouveaux penseurs de l'islam, p. 44. 16.Jump up ^ http://www.arabnews.com/node/341054 17.Jump up ^ Raafat, Samir. Freemasonry in Egypt: Is it still around? Insight Magazine, March 1, 1999 18.Jump up ^ Muhammad Abduh, Islam and Christianity, in Waqf Ikhlas, The Religion Reformers in Islam, Istanbul, 1995, p. 117 19.Jump up ^ Rida, "Tatimmat," p. 402. Journal of the American Oriental Society, Vol. 92, No. 1 (Jan. - Mar., 1972), pp. 25-35 20.Jump up ^ Oliver Scharbrodt, Islam and the Baha'i Faith: A Comparative Study of Muhammad Abduh and Abdul-Baha Abbas, p 170 21.Jump up ^ Cole, Juan R. I. Rashid Rida on the Bahai Faith: A Utilitarian Theory of the Spread of Religions, Arab Studies Quarterly 5, 3 (Summer 1983): 278

External links[edit source | edit]


Center for Islam and Science: Muhammad `Abduh From Wikipedia, the free encyclopedia Jump to: navigation, search Ahmed Lutfi el-Sayed or Amad Luf Sayyid Pasha (IPA: [md lotfi (e)ssjjed]) (15 January 1872 5 March 1963) was an Egyptian intellectual, anti-colonial activist and the first director of Cairo University. He was an influential person in the Egyptian nationalist movement and used his position in the media to strive and gain an independent Egypt from British rule. He was also one of the architects of modern Egyptian nationalism as well as the architect of Egyptian secularism and liberalism. He was fondly known as the "Professor of the Generation". Lutfi was one of the fiercest opponents of pan-Arabism, insisting that Egyptians are Egyptians and not Arabs. [1] He is considered one of the most influential scholars and intellectuals in the history of Egypt.[2]

Contents
[hide] 1 Early life 2 Writings and scholarly work 3 Denshaway incident 4 Hizbal-Umma 5 Intellectual contribution 6 Later years 7 Influences and legacy 8 See also

9 References

Early life[edit]
Lutfi was born in the rural village of Berqin, near Al Senbellawein in the Dakahlia Governorate on 15 January 1872. He was educated in a traditional kuttb, a government school in Manra, the Khedivial Secondary School in Cairo and the School of Law in Cairo. While at law school, AlSayyid made contact with influential people such as Muhammad Abduh and Hassuna al-Nawawi. Abduh played a pivotal role in Lutfi's experience with his reformist movement as well as his ideology concerning politics.[3]

Writings and scholarly work[edit]


After graduating from law school, Lutfi entered the legal department of government services and worked there until 1905, then under the British administration of Lord Cromer. Lutfi became editorin-chief of a newspaper called al-Djarida in 1907. The paper was prominent for writing enlightened and liberal materials and attracted the attention of many liberal activists. The writings Lutfi composed for al-Djarida during his time as editor-in-chief are considered his most important and influential. He expounded upon his liberal beliefs about the freedom of Egypt and how people must stand up take action in the newsletters; because of these views, Lutfi created a name for himself in the media and government of Egypt.

Denshaway incident[edit]
The Denshawai incident was a violent clash that occurred in June 1906 between Egyptian peasants in the village of Denshaway and British soldiers who were pigeon hunting in the area. The British had occupied Egypt in 1882 and used British soldiers to help put down the Urabi Rebellion, an Egyptian constitutionalist movement. On June 13, 1906, five British officers were hunting for pigeons in Denshaway, an area that needs approval from a headsman. The hunt was approved, but the headsman was not with the officers. They shot pigeons belonging to villagers, angering the owners. The major catalyst was the accidental shooting of the wife of the prayer leader at the local mosque. Enraged, the Egyptians mobbed the British officers and camp. The British officers opened fire on the villagers, wounded five, and set fire to the grain of Abd-el-Nebi. Abd-el-Nebi, whose wife had been seriously injured, struck one of the officers with a stick. He was joined by the elderly Hassan Mahfouz, whose pigeons had been killed. Other villagers threw stones at them. The officers surrendered their weapons, along with their watches and money, but this failed to appease the villagers. Two officers escaped, one of whom managed to contact the British Army; the other died of heatstroke some distance from the village. An Egyptian peasant who tried to help the sick man was killed by soldiers who came across them. Meanwhile, the elders had intervened, saving the remaining soldiers and allowing them to return to their base. After the incident, 52 villagers were arrested for crimes of violence against British officers. The trial for the villagers was administered by Ahmed Lutfi-al Sayyid. As editor-in-chief of al-Djarida, Lutfi was able to spread word of the incident quickly and the treatment and violence directed toward the accused. He participated as attorney in the trial after finding out that his daughter was directly involved, which prompted Lutfi to take action. A statement by Lutfi describing the brutality of the incident read, They fell upon Denshwai, and spared neither man nor his brother. Slowly they hanged the one and flogged the other. It was the Denshwai incident which triggered the creation of the first Egyptian political party created by Lutfi.[Macmillan Reference USA 1]

Hizbal-Umma[edit]
In 1907 after the Denshawai incident, Ahmed Lutfi el-Sayed founded Egypt's first political party, el-Umma ("the Nation"), which came as a reaction to the 1906 Denshaway incident and the rise of Egyptian nationalist sentiment. Lutfi's earlier work with al-Djarida helped his cause from the numerous writings he published in the paper along with his gaining support upon the Denshwai incident. His involvement during this time is considered to be one of the most pivotal roles in the evacuation of British forces in the 20th century. It was also in 1907 that Lutfi published the alDjarida, a collection of his nationalist ideas and opinions on political issues, whose statement of purpose read: "al-Djarida is a purely Egyptian party which aims to defend Egyptian interests of all kinds".[4] Lutfi introduced the Arab public to the ideas of British philosopher and economist John Stuart Mill and his definition of liberalism.

Intellectual contribution[edit]
Ahmed Lutfi al-Sayyid was an outright liberal and believed in equality and rights for all people. Lutfi's contribution to Egypt in intellectual ideas and movements redefined history in Egypt. He was considered one of the first Egyptian officials to introduce Mills works and reading to the general Arab public so they could educate themselves on concepts of liberalism. He believed that people should have a say in what goes on in their government and country, and that all people had certain civil rights that could not be taken away. He was a staunch proponent of anti-colonialism and the negative effects it has on countries, which is what led to him being such an active member of the anti-British involvement in Egypt. He took a strong stance against the pan-Arabism view that was held at that time which emphasized a unification of all Arab countries and people into one entity. He believed that Egyptians were different from Arabs and had their own separate beliefs and cultural aspects.[5]

Later years[edit]
In 1915 Lutfi was appointed as director of the National Library of Egypt. While working for the library, Lutfi did a substantial amount of work including translations from Aristotle through the French versions. He was a member of the Egyptian delegation to the Paris Peace Conference held in Versailles in 1919, where he pleaded for the independence of Egypt from Britain. Ahmed Lutfi el-Sayed was the first director of the Egyptian University, inaugurated on Monday 11 May 1925. He was a close friend of Taha Hussein and resigned his post as university director as a protest against the Egyptian government's decision to transfer Hussein from his university position in 1932.[6] He resigned again in 1937 when the Egyptian police broke into the court of the Egyptian University. He ultimately stepped down as President in May 1941. During his presidency of the Egyptian University, the first promotion of women graduated with university degrees. In addition, Ahmed Lutfi el-Sayed held positions such as the minister of education, the minister of interior, the director of the Arabic language assembly, a member of the senate, and the director of House of Books. He died in 1963.

Influences and legacy[edit]


A bulk of Lutfi's political influences came from Western rhetoric that he had encountered through his time studying at the law university. His primary influencers were Aristotle, John Locke, Bentham, Mill, Spencer, Rousseau, Comte, and Le Bon. Lutfi saw Egyptian nationalism as the direct result of historical and environmental factors, which is why he was against pan-Islamic, panArab, and pan-Ottoman ideologies. Lutfi was against religion as a basis for nationhood and instead advocated that social and political utility was more important. Lutfi's teachings and works were

considered so important that he was dubbed ustdh al-djl or Professor of the Generation.[Brill Online 1]

See also[edit]
Liberal Egyptian Party Egyptian nationalism

References[edit]
1. Jump up ^ Hourani, Albert. 1962. Arabic Thought in the Liberal Age. pg 177. 2. Jump up ^ Wendell, C; Th. Bianquis; C. E. Bosworth; E. van Donzel; and W. P. Heinrichs (2011). "Lufal-Sayyid, Amad". Encyclopaedia of Islam, Second Edition. Retrieved April 11, 2011. 3. Jump up ^ Wendell, C; : P. Bearman; Th. Bianquis; C. E. Bosworth; E. van Donzel; and W. P. Heinrichs (2011). "Lufal-Sayyid, Amad.". Encyclopaedia of Islam, Second Edition. Retrieved April 11, 2011. 4. Jump up ^ Vatikiotis, P. J. The History of Modern Egypt. 4th edition. Baltimore: Johns Hopkins University, 1992, p. 227 5. Jump up ^ Nations & Nationalism 13 (2): 285300. 2007. |accessdate= requires | url= (help) 6. Jump up ^ "To be free," Chronicles of Ahram Weekly, 1521 December 2005 1. Jump up ^ Benjamin, Thomas (2007). Encyclopedia of Western Colonialism since 1450 1: 304305. |accessdate= requires |url= (help) 1. Jump up ^ Wendell, C; Th. Bianquis; C. E. Bosworth; E. van Donzel; and W. P. Heinrichs (2011). "Lufal-Sayyid, Amad". Encyclopaedia of Islam, Second Edition. Retrieved April 11, 2011.

You might also like