You are on page 1of 4

Pengaruh Tindakan Kraniotomi pada Penggunaan Ventilasi Mekanis dan Lama Perawatan Intensif pada Pasien Stroke Hemoragis

di Unit Perawatan Intensif RS Persahabatan


Mochamad Cahyo*, Andi Nazaruddin**, Menaldi Rasmin**, Prasenohadi**, I Dewa Ketut Sidharta***, Navy GHM Lolong Wulung***, Ranjan Khumar*** * Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya. ** Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. *** Departemen Anestesi dan Reanimasi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta. Effect of Craniotomy on the Use of Mechanical Ventilation and Lenght of Intensive Care on Hemorrhagic Stroke Patients in the Intensive Care Unit (ICU) at Persahabatan Hospital
Abstract: Introduction: Hemorrhagic stroke is common medical problem in elderly, and contribute to high mortality rate. Craniotomy is standard brain surgery to evacuate blood clot to decrease intracranial pressure and complication of the disease. Methods: Design of this study is retrospective study using medical record of patient with diagnosed of hemorrhagic stroke using mechanical ventilation since January-December 2011 in ICU Persahabatan Hospital. This study is conducted to know impact of craniotomy to patient outcomes; length of stay in ICU, length of mechanical ventilation, and survival patients. Results: There are totally 11 patient that diagnosed of hemorragic stroke and all paients using mechanical ventilation for certain periods, from these patients only 4 conducted craniotomy. Of 4 patients who was performed craniotomy, 2 patients transfered to common ward, 1 patient forced discharge and 1 patents was died that to septic shock. Mean length of stay from these patients was 13 days. While 7 patient that was not conducted craniotomy, 4 patients was died and 3 patients transfered to common ward. Mean length of stay from these patients was 8 days. Conclusion: Length of stay in ICU and duration of mechanical ventilation not only depend from craniotomi, but also depend from severity of illness and complication. Craniotomy can be considered to standard surgical therapy that can decrease mortality rate of hemorrhagic stroke patients. Keywords: hemorrahagic stroke, craniotomy, length of stay in ICU, length using mechanical ventilation, mortality rate. Abstract: Pendahuluan: Stroke hemoragis merupakan masalah kesehatan yang sering dialami oleh pasien lanjut usia dan berkontribusi terdadap tingginya angka kematian. Kraniotomi merupakan suatu prosedur standar pembedahan otak untuk mengeluarkan bekuan darah dan menurunkan tekanan intrakranial serta komplikasi penyakit ini. Metode: Desain studi ini menggunakan deskriptif analisis dengan mengambil data rekam medis pasien yang didiagnosis stroke hemoragis yang menggunakan ventilasi mekanis pada periode Januari-Desember 2011 di unit perawatan intensif (UPI) rumah sakit Persahabatan. Studi ini bertujuan mempelajari pengaruh kraniotomi pada hasil pengobatan pasien, lama perawatan di ruang UPI, lama penggunaan ventilasi mekanis, dan harapan hidup pasien. Hasil: Total 11 pasien yang didiagnosis stroke hemoragis dan kesemuanya menggunakan ventilator mekanis selama periode waktu tertentu, hanya 4 pasien yang dilakukan kraniotomi. Dari 4 pasien yang dikraniotomi, 2 pasien dialih rawat ke ruang rawat umum, 1 pasien pulang paksa dan 1 orang meninggal dunia dengan sebab kematian syok sepsis. Rata-rata lama perawatan pada kelompok ini adalah 13 hari. Sedangkan 7 pasien tidak dilakukan kraniotomi, 4 pasien dari kelompok ini meninggal dunia dan 3 orang lainnya dialih rawat ke ruang rawat umum. Rata-rata lama

100

J Respir Indo Vol. 32, No. 2, April 2012

perawatan pada kelompok ini adalah 8 hari. Kesimpulan: Lama perawatan di UPI dan penggunaan ventilasi mekanis tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh kraniotomi, tetapi juga tergantung dari parahnya penyakit serta ada tidaknya penyulit. Tetapi kraniotomi dapat dipertimbangkan sebagai terapi standar pembedahan otak yang dapat menurunkan angka kematian pasien stroke hemoragis. Kata Kunci : stroke hemoragis, kraniotomi, lama perawatan di UPI, lama penggunaan ventilasi mekanis, angka kematian.

PENDAHULUAN Stroke hemoragis merupakan masalah kesehatan yang sering terjadi pada kelompok usia lanjut yang merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi pada kelompok usia tersebut dan hipertensi merupakan faktor risiko utama kelainan ini.1-3 Kraniotomi merupakan prosedur pembedahan otak standar yang masih merupakan terapi utama dalam penangan stroke hemoragis, keberha silan tindakan ini tergantung dari luas dan letak lesi di otak dan komplikasi yang terjadi sebelum, selama dan pascapembedahan.4,5 Stroke hemoragis seringkali memerlukan perawatan intensif di rumah sakit baik itu sebelum maupun setelah tindakan pembedahan karena pemantauan secara intensif diperlukan pada keadaan klinis pasien yang mengalami perburukan sewaktuwaktu.1-3 Stroke merupakan defisit neurologis dengan onset akut yang disebabkan oleh gangguan fokal pada pembuluh darah otak. Manifestasi klinik dari stroke sangat bervariasi karena kompleknya anatomi otak dan vaskularisasinya. Stroke diklasifikasikan menjadi stroke iskemik, stroke hemoragis dan anomali serebrovaskuler seperti aneurisma intrakranial dan malformasi arterivena atau arteriovenous malformations (AVMs).1 Stroke hemoragis yaitu stroke yang disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak, diklasifikasikan menjadi perdarahan intraserebral atau intracerebral hemorrhage (ICH) dan perdarahan subarahnoid atau subarachnoid hemorrhage (SAH). Intra Cerebral Hemorrhagic mempunyai prevalensi lebih dari 2x dibandingkan dengan SAH dan lebih banyak

menyebabkan kematian (dengan angka kematian pertahunnya sekitar (35-52%) dan kecacatan dibandingkan dengan infark serebral dan SAH.2 Usia lanjut dan hipertensi merupakan faktor risiko utama stroke hemoragis yang sedikit lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada perempuan dan secara signifikan lebih sering terjadi pada orang kulit hitam dibandingkan dengan orang kulit putih. Penyebab lain dari stroke hemoragis yaitu malformasi pembuluh darah otak, ruptur dari aneurisma pembuluh darah otak, gangguan koagulasi, tumor otak, penggunaan obat-obatan anti koagulan dan trombolitik.3 Intubasi belum tentu diperlukan pada semua pasien, masalah perlindungan saluran napas dan kecukupan ventilasi merupakan masalah yang krusial. Pasien dengan penurunan kesadaran yang berat dan terdapat tanda-tanda disfungsi batang otak merupakan kandidat untuk penanganan jalan napas yang agresif. Intubasi seharusnya dilakukan apabila terdapat insufisiensi respirasi dibandingkan dengan penilaian kesadaran dengan skor Glasgow Coma Scale (GCS). Intubasi diindikasikan pada insufisensi ventilasi yang ditunjukkan dengan adanya hipoksia (pO2 <60 mm Hg atau PCO2 >50 mm Hg) atau risiko aspirasi yang jelas dengan atau tanpa gangguan dari oksigenasi arterial. Intubasi orotrakeal seharusnya dilakukan secara hati-hati, mengikuti protokol seperti pemberian oksigenasi awal secara maksimal dan pemberian obatobatan untuk mencegah refleks aritmia seperti atropin dan thiopental, midazolam, propofol dan succinylcholine . Perhatian harus ditujukan untuk mencegah aspirasi lambung. Semua pasien dengan pipa endotrakea dilakukan pemasangan selang nasogaster atau orogaster untuk mencegah aspirasi

J Respir Indo Vol. 32, No. 2, April 2012

101

dan dilakukan monitor cuff pressure tiap 6 jam. Pipa endotrakeal dapat dipertahankan 2 minggu. Adanya status koma yang lama atau komplikasi paru, seharusnya dilakukan trakeostomi elektif setelah 2 minggu.4 Tindakan pembedahan pada stroke hemoragis bertujuan mengeluarkan bekuan darah sesegera mungkin dan berusaha seminimal mungkin untuk terjadinya trauma otak akibat tindakan pembedahan tersebut. Tindakan pembedahan seharusnya juga dapat mengatasi penyebab dari stroke hemoragis, seperti malformasi arterivena dan mencegah komplikasi seperti hidrosefalus dan bekuan darah masif yang menekan otak. Kraniotomi merupakan prosedur pembedahan standar untuk mengatasi stroke hemoragis. Manfaat utama tindakan ini adalah dapat mengeluarkan hampir semua bekuan darah.5 METODE Tujuan penelitian ini adalah menelaah pengaruh tindakan kraniotomi pada lama perawatan di ruang rawat intensif dan angka kematian penderita stroke hemoragis yang dilakukan pemasangan ventilasi mekanis. Dilakukan studi deskriptif retrospektif pada semua kasus stroke hemoragis yang menjalani kraniotomi dan menggunakan ventilasi mekanis selama periode Januari sampai Desember 2011 di unit perawatan intensif (UPI) RS Persahabatan Jakarta. HASIL Total 11 pasien stroke hemoragis yang dirawat dan dilakukan pemasangan ventilator di UPI RS Persahabatan pada periode Januari-Desember 2011. Dari jumlah tersebut hanya 4 pasien yang dilakukan tindakan kraniotomi, sedangkan 7 pasien tidak dilakukan prosedur ini. Empat pasien yang dilakukan kraniotomi dan pemasangan ventilasi mekanis pascakraniotomi, 2 pasien pindah ruangan (ruang rawat bedah), 1 pasien pulang paksa dan 1 pasien meninggal dunia akibat syok sepsis. Rata-rata penggunaan ventilasi mekanis pada kelompok ini adalah 13 hari.

Sedangkan dari 7 pasien yang tidak dilakukan kraniotomi, 4 pasien meninggal dunia dan 3 pasien pindah ruangan (ruang rawat bedah). Rata-rata penggunaan ventilasi mekanis pada kelompok ini adalah 8 hari (Tabel 1). PEMBAHASAN Stroke hemoragis terjadi pada usia tua dengan rata-rata umur pasien adalah 56 tahun dan hipertensi merupakan risiko utama terjadinya stroke hemoragis. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyebutkan bahwa usia lanjut dan hipertensi merupakan faktor risiko utama dari stroke hemoragis. Keseluruhan angka kematian dari pasien stroke hemoragis cukup tinggi yaitu sekitar 45%, hal ini hampir sama dengan angka kematian pasien stroke hemoragis di Amerika Serikat yaitu 35-52%.1
Tabel 1. Data pasien stroke hemoragis yang dirawat di UPI RS Persahabatan pada tahun 2011
No Jenis Kelamin 1 Umur MRS GCS Komor bid HT st II Kranio Venti Kompli Kete tomi lator kasi rangan X 2 CAP+ Pindah Sepsis IMA CAP+ Sepsis CAP+ Sepsis CAP CAP CAP+ Gagal napas VAP+ Anemia Anemia CAP (syok kardiogenik) (syok sepsis) (syok sepsis) Pindah Pindah (gagal napas)

Perempuan 60 26/03/11 11

2 3 4 5 6 7

Laki-laki Laki-laki

58 05/05/11 6 57 26/05/11 9

Perempuan 55 29/05/11 7 87 17/06/11 14 Laki-laki Perempuan 38 17/07/11 15 Perempuan 50 11/08/11 9

CHF III+ CAD HT st II+ CAD DM tipe II+CAD HT st II HT st II HT st II

X V(8) X V(1) V(5) X

3 23 13 1 20 2

Perempuan 73 30/08/11 15

HT st I HT st II HT st II HT st II

X V(1) X X

20 8 5 10

Pindah Pulang paksa Pindah (syok sepsis)

9 Perempuan 45 27/09/11 8 10 Perempuan 53 03/11/11 14 11 Perempuan 47 21/11/11 8

Keterangan tabel X (tidak dilakukan kraniotomi), V (dilakukan kraniotomi)

Angka kematian yang tinggi terdapat pada kelompok yang tidak dilakukan tindakan pembedahan (kraniotomi). Hal ini dikarenakan adanya perdarahan aktif yang progresif atau adanya bekuan darah yang dapat menekan struktur jaringan otak di sekitarnya.6 Jika mengenai area sentral dari pusat pernapasan dan sirkulasi akan berakibat fatal apabila dibiarkan (tanpa operasi) ditambah dengan penyembuhan yang relatif lama dan komplikasi yang terjadi selama perawatan di UPI atau penggunaan ventilasi mekanis yang

102

J Respir Indo Vol. 32, No. 2, April 2012

memberikan peningkatan risiko infeksi nosokomial dan sepsis.6 Lama perawatan di UPI dan penggunaan ventilasi mekanis pada kelompok yang dilakukan kraniotomi rata-rata lebih lama daripada kelompok yang tidak dilakukan kraniotomi (13 hari vs 8 hari), namun hal ini bukan merupakan indikator yang menunjukkan bahwa kelompok yang tidak dilakukan kraniotomi mempunyai waktu penyembuhan lebih cepat dibandingkan kelompok yang dilakukan kraniotomi. Kebanyakan pasien yang tidak dilakukan kraniotomi dan hanya memerlukan waktu lebih singkat di ruang rawat intensif karena banyak diantaranya yang meninggal (4 dari 7 pasien dengan rata-rata perawatan di UPI selama 7 hari) sedangkan pasien yang tidak meninggal (3 dari 7 pasien) mempunyai rata-rata perawatan di UPI selama 9 hari. Hal ini juga dikarenakan bahwa lama perawatan dan penggunaan ventilator tidak bergantung sematamata dari tindakan kraniotomi tetapi juga dari derajat keparahan stroke dan komplikasi yang terjadi selama pasien di rawat di UPI. KESIMPULAN

Lama perawatan di UPI dan pemasangan ventilasi mekanis tidak tergantung semata-mata dari tindakan kraniotomi dan lebih tergantung dari derajat keparahan stroke dan komplikasi yang terjadi sehingga memerlukan perawatan intensif dan penggunaan ventilasi mekanis yang lebih lama di UPI.

DAFTAR PUSTAKA 1. Smith W. Cerebrovascular Diseases. Harrisons Principle of Internal Medicine 16th edition. McGraw Hill Companies, USA. 2005.p.2372. Broderick J, Brott T, Tomsick T, Miller R, Huster G. Intracerebral hemorrhage is more than twice as common as subarachnoid hemorrhage. J Neurosurg. 1993;78:188-91. Broderick J. Intracerebral hemorrhage. In: Gorelick PB, Alter M, eds.Handbook of Neuroepidemiology. New York, NY: Marcel Dekker, Inc; 1994:141-67. Harold P. Guidelines for the Management of Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. American Heart Association; Strok 1999, 30:905-15. Zuccarello M. Management of intracerebral hemorrhage. In: Batjer H, ed. Cerebrovascular Disease. Philadelphia, Pa:Lippincott-Raven; 1996:118. Brott T, Broderick J, Kothari R, Barsan W, Tomsick T, Sauerbeck L, Spilker J, Duldner J, Khouri J. Early hemorrhage growth in patients with intracerebral hemorrhage. Strok. 1997;28:1-5.

2.

3.

4.

5. Stroke hemoragis merupakan penyakit neurologis yang banyak dialami oleh pasien usia tua. Hipertensi masih merupakan faktor risiko utama penyebab kelainan ini dengan angka kematian yang masih cukup tinggi. Angka kematian lebih tinggi didapatkan pada kelompok yang tidak dilakukan tindakan kraniotomi dibandingkan kelompok yang dilakukan kraniotomi. Hal ini menjadi bahan pertimbangan bahwa terapi pembedahan ini masih merupakan terapi pilihan untuk mengurangi angka kematian penderita stroke hemoragis.

6.

J Respir Indo Vol. 32, No. 2, April 2012

103

You might also like