You are on page 1of 4

A civic culture or civic political culture is a political culture characterized by "acceptance of

the authority of the state" and "a belief in participation in civic duties". The term was first used in
Gabriel Almond and Sidney Verba's book, The Civic Culture.[1] Civic political culture is a
mixture of other political cultures namely parochial, subject and participant political cultures.[2]
Almond and Verba characterised Britain as having a civic political culture.[3] In "Is Britain Still a
Civic Culture?" Patrick Seyd and Paul Whiteley discuss the extent to which Britain can still be
regarded as having a civic political culture.[4] The term civic culture is used to identify the
political culture characteristics that explain the stability of a democratic society's political
structure.[5]
Almond and Verba state that the following are characteristics of a civic culture:[6]

Orientation toward political system in both the political and governmental senses
Pride in aspects of one's nation
Expectation of fair treatment from government authorities
Ability to talk freely and frequently about politics
An emotional involvement in elections
Tolerance towards opposition parties
A Valuing of active participation in local government activities, parties, and in civic
associations
Self-confidence in one's competence to participate in politics
Civic cooperation and trust
Membership in the political associations.

It is worth noting that the proper combination of the various types of political culture will
provide a culture that has a positive implications for the growth of democracy.
Further reading
Pateman, C. (1980). The civic culture: A philosophic critique. In Almond, G. & Verba, S.,
editors. The civic culture revisited. (1989). Newbury Park, CA: Sage Publications.

Terminologi politik (politics) mengadung arti yang sangat luas dan beragam. Luasnya cakupan
politik dapat dilihat dari beragamnya batasan pengertian yang disampaikan oleh para teoritisi
politik. Membaca situasi politik berarti memetakan situasi dan kndisi politik kontempirer yang
terjadi sebagai akibat dari interaski antara berbagai komponen masyarakat yang berkaitan dengan
sebab dan akibat dari proses dan peristiwa politik. Nasional dan lokal, menyangkut locus delicty
atau wilayah teritorial suatu peristiwa politik terjadi. Nasional merujuk pada keseluruhan
peristiwa politik yang berpusat pada negara atau pusat, sedangkan lokal merujuk pada locus
delicty atau wilayah teritorial dalam cakupan yang lebih sempit, bagian dari pusat adalah daerah,
dalam hal ini misalnya daerah Bali.
Untuk tidak terjebak pada bahasan yang luas sebagaimana terminologi politik, maka pembahasan
dan pembatan secara konseptual sangat penting dilakukan. Mengingat setiap peristiwa bisa saja

terkait dan dikait-kaitkan seolah-olah menjadi peristiwa politik dan dengan sendirinya dianggap
sebagai persoalan politik. Pembatasan melalui pendekatan konseptual penting dilakukan
sebelum mengindentifikasi isu-isu politik, merumuskan masalah sampai pada pengambilan
kebijakan publik sebagai proses politik resolutif.
Makalah singkat ini bermaksud mengurai secara singkat terhadap konsepsi politik, pendekatan
yang lazim dipergunakan dalam membaca situasi politik, identifikasi isu-isu politik nasional dan
lokal.

Mungkin maksud Anda adalah: A civic culture or civic political culture is a political culture
characterized by "acceptance of the authority of the state" and "a belief in participation in civic
duties". The term was first used in Gabriel Almond and Sidney Verba book, The Civic
Culture.[1] Civic political culture is a mixture of other political cultures namely parochial,
subject and participant political cultures.[2] Almond and Verba characterised Britain as having a
civic political culture.[3] In "Is Britain Still a Civic Culture?" Patrick Seyd and Paul Whiteley
discuss the extent to which Britain can still be regarded as having a civic political culture.[4] The
term civic culture is used to identify the political culture characteristics that explain the stability
of a democratic society's political structure.[5] Almond and Verba state that the following are
characteristics of a civic culture:[6] Orientation toward political system in both the political and
governmental senses Pride in aspects of one's nation Expectation of fair treatment from
government authorities Ability to talk freely and frequently about politics An emotional
involvement in elections Tolerance towards opposition parties A Valuing of active
participation in local government activities, parties, and in civic associations Self-confidence in
one's competence to participate in politics Civic cooperation and trust Membership in the
political associations. It is worth noting that the proper combination of the various types of
political culture will provide a culture that has a positive implications for the growth of
democracy.
Budaya sipil maupun budaya politik sipil adalah budaya politik yang ditandai dengan
"penerimaan otoritas negara" dan "keyakinan dalam partisipasi dalam tugas-tugas sipil". Istilah
ini pertama kali digunakan dalam Gabriel Almond dan buku Sidney Verba, The Civic Culture [1]
budaya politik Civic adalah. Campuran budaya politik lainnya yaitu sempit, subjek dan peserta
budaya politik. [2] Almond dan Verba ditandai Inggris sebagai memiliki budaya politik sipil. [3]
Dalam "Apakah Inggris Masih Civic Culture?" Patrick Seyd dan Paul Whiteley membahas
sejauh mana Inggris masih dapat dianggap sebagai memiliki budaya politik sipil. [4] Istilah
budaya sipil digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik budaya politik yang menjelaskan
stabilitas struktur politik masyarakat demokratis. [5 ]
Almond dan Verba menyatakan bahwa berikut ini adalah karakteristik budaya sipil: [6]
Orientasi terhadap sistem politik di kedua indera politik dan pemerintahan
Kebanggaan pada aspek bangsa seseorang
Harapan perlakuan yang adil dari pemerintah

Kemampuan untuk berbicara secara bebas dan sering tentang politik


Sebuah keterlibatan emosional dalam pemilu
Toleransi terhadap partai-partai oposisi
Sebuah Menilai partisipasi aktif dalam kegiatan lokal pemerintah, partai, dan asosiasi sipil
Percaya diri dalam kompetensi seseorang untuk berpartisipasi dalam politik
kerjasama Civic dan kepercayaan
Keanggotaan dalam asosiasi politik.
Perlu dicatat bahwa kombinasi yang tepat dari berbagai jenis budaya politik akan memberikan
budaya yang memiliki implikasi positif bagi pertumbuhan demokrasi.

C. Konsepsi Negara Menurut Max Weber


Kalau di ikuti lebih lanjut sebenarnya dalam beberapa hal, Max Weber masih sependapat dengan
analisa Marxist tentang negara, namun ia sendiri menganggap masyarakat tanpa kelas malah
sebagai utopia atau hanya impian belaka. Weber menolak kritik Marx atas sistem kapitalis dan
juga ia melihat sedikit adanya perbedaan antara masyarakat sosialis yang didominasi elit birokrat
dengan sistem kapitalis yang didominasi oleh kaum borjuis. Bagi Weber, negara adalah
hubungan manusia yang mendominasi manusia, yaitu hubungan yang didukung oleh saranasarana kekerasan. Ia memandang bahwa pemaksaan kehendak kepada orang lain bahkan dengan
kekerasan sudah menjadi bawaan manusia karena adanya hak milik dalam mendapatkan saranasarana materi untuk mendominasi baik itu secara administrasi ataupun pemaksaan. [3]
Dalam kritiknya, Weber, ketiadaan lembaga sosial yang dapat mengontrol kekerasan malah akan
mengantarkan pada anarki dalam pengertian kata yang khas. Jadi menurutnya, negara
didefinisikan sebagai komunitas manusia yang telah berhasil mengklaim monopoli serta dapat
memanfaatkan penyalahgunaan hukum dalam suatu wilayah tertentu.
Bagi Weber, monopoli penyelewengan adalah rasional bahkan karenanya malah dapat
mengurangi kemungkinan konflik.[4] Namun sekali lagi, rasionalitas dominasi tersebut dapat
diterima jika berpusat pada kemungkinan memenuhi perintah-perintah yang sah. Kalau Marx
mencoba mereduksi peran aparatur negara, nah kalau Weber menyandarkan diri pada peran
aparatur negara. Namun bagaimanakah selanjutnya jika mereka telah mendasari bahwa manusia
itu adalah anarki, sampai-sampai bagaimana caranya melegalkan cara untuk mensahkan tindakan
manusia yang secara nyata telah menyimpang.
D. Kesimpulan
Tak bisa dipungkiri, aspek penting dari Manifesto tentang Negara adalah sifat instrumentalisnya.
Yakni, Negara adalah alat dari kelas tertentu. Marx dengan terang mengatakan di dalam
pengertiannya yang sebenarnya, kekuasaan politik atau negara adalah kekuasaan terorganisasi
dari suatu kelas untuk menindas kelas yang lain.[5] Pernyataan ini, tentu saja bisa dipakai juga
untuk melukiskan masyarakat non-kapitalis, katakanlah masyarakat dengan corak produksi
feudal atau lainnya.

Lantas, Marx secara khusus menyebut negara di dalam masyarakat kapitalis sebagai berikut:
Eksekutif negara modern adalah sebuah komite yang mengelola kepentingan bersama kaum
borjuis secara keseluruhan. Di bagian lain, ketika menjelaskan transisi dari feudalisme menuju
kapitalisme, keduanya menyatakan, transisi itu diikuti dengan penyesuaian kekuasaan politik
(baca Negara) terhadap kepentingan kelas kapitalis yang sedang tumbuh. Sebagai gantinya
datanglah persaingan bebas (atau kapitalisme), disertai oleh susunan sosial dan politik yang
diselaraskan dengannya, dan oleh kekuasaan ekonomi dan politik dari kelas borjuis.
Sedangkan menurut max weber, Pengertian negara menurut Weber kiranya jelas. Negara adalah
sebuah masyarakat umat manusia dengan unsur-unsur (a) penduduk (human community), (b)
wilayah yang ada batasnya, (c) otoritas yang tidak lain adalah pemerintahan, dan (d) otoritas itu
ditopang oleh kekuasaan yang sah (legitimate). Untuk menjaga eksistensinya, negara memiliki
monopoli menggunakan kekuatan fisik terhadap siapa saja, termasuk rakyatnya sendiri.
Dari mana negara mendapatkan kekuasaannya yang bersifat monopoli, Weber tidak
menyebutkan secara jelas. Namun, uraian Weber tentang kekuasaan, secara implisit mengakui
bahwa kekuasaan tersebut berasal dari rakyat. Rakyat banyak membentuk sebuah komunitas
yang disebut negara. Negara memilih sebuah pemerintahan. Pemerintahan yang terpilih dengan
sendirinya memiliki kekuasaan sah untuk mewujudkan cita-cita negara. [6]
Konsep Negara Weber, sebetulnya, mirip dengan konsep negara Jean-Jacques Rousseau, seorang
filsuf politik Prancis, yang hidup sekitar 150 tahun sebelum Weber. Dalam naskah politiknya
yang tersohor, ''Kontrak Sosial'' (1762), Rosseau mengkonsepsikan negara sebagai hasil dari
sebuah kontrak sosial yang dibuat oleh individu-individu didasarkan atas kepentingan bersama.
Kepentingan bersama itu berdiri di atas kepentingan masing-masing individu yang kemudian
disebut warganegara. Negara kemudian menyusun sebuah pemerintahan. Warganegara menjadi
bagian tak terpisahkan dari negara, karena janji yang telah mereka buat untuk mengikatkan
dirinya pada negara. Sebagai imbalannya, negara mengemban tanggung jawab untuk melindungi
dan mengakomodasi kepentingan semua warganegara. [7]

You might also like