You are on page 1of 19

POLICY DISCUSSION PAPER SERIES

CENTER FOR INDUSTRY, SME & BUSINESS COMPETITION STUDIES


TRISAKTI UNIVERSITY

APA DAMPAK DARI UU PERSAINGAN USAHA


NO. 5, 1999 TERHADAP KEMISKINAN?
(What is the impact of Business Competition Law
no.5, 1999 on Poverty?)
Tulus T.H. Tambunan* dan Dedie S. Martadisastra**
No.15/10/09

* Center for the industry, SME & Business Competition Studies, and the Faculty of Economics,
University of Trisakti. Email: sjahrir@rad.net.id.
** Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

ISI

Abstract

1. Alasan-alasan Utama dan Prinsip Persaingan Usaha

2.. Kerangka Teori

3. Beberapa Kasus

4.. Mencari Metode Untuk Menganalisis Dampak

16

Daftar Pustaka

17

Abstract
After the 1997/98 Asian financial crisis, the Indonesian government had issued Law no.5 in 1999 on free and
fair competition. It is generally expected that with this anti-trust law, Indonesia will recover quickly from the
crisis and will have a better and more efficient economic performance than ever achieved before the crisis.
This paper aims to discuss, theoretically, the relationship between competition and poverty. More specifically,
this paper tries to answer the following research question: whether a free and fair competition, as a result of
the implementation of the law, will have a positive or a negative impact on poverty in Indonesia. As argued in
this paper, this issue is very important since, theoretically, a fair and free competition will cause many
inefficient and unproductive companies to collapse and, if these companies are very labour intensive, the
collapse will further lead to the increase in unemployment and, hence, poverty; at least in a short-run. This
paper also presents and discusses several actual cases to support this theoretical thought. Finally, the paper
also suggests a method to get the real picture on the impact of the implementation of the Law on poverty.

1. Alasan-alasan Utama dan Prinsip Persaingan Usaha


Banyak alasan mendasar di balik perlunya persaingan usaha yang sehat dan wajar. Pertama, keterbatasan
sumber daya produksi (SDP). Karena sumber daya tersebut terbatas, diperlukan suatu mekanisme untuk
menentukan siapa yang berhak mengelola SDP, siapa yang berhak menikmati SDP yang ada, dan bagimana
caranya mendapatkan hak tersebut. Persaingan pasar yang sehat dan wajar, yang berarti tidak ada distorsi
harga dan hambatan-hambatan yang direkayasa lainnya, mendorong SDP bebas mengalir ke sektor paling
efisien/produktif. Kedua, persaingan usaha juga mendorong perusahaan memperbaiki kinerjanya, seperti
produktivitas dan efisiensi dalam penggunaan SDP, dan mendorong inovasi sehingga tersedia barang dan jasa
dengan harga lebih murah, mutu lebih baik, serta pilihan lebih luas bagi konsumen. Ketiga, proses persaingan
usaha dapat menyumbang penghapusan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) karena persaingan usaha
membuat sektor swasta dan hubungan antar penguasa di dalamnya menjadi lebih transparan dan dapat
diperhitungkan. Keempat, persaingan usaha dapat mengurangi anggaran pemerintah untuk regulasi sehingga
anggaran pemerintah dapat lebih diarahkan bagi pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Kelima, persaingan
usaha di pasar akan menghilangkan/mengurangi tingkat konsentrasi ekonomi dan memperbesar pangsa pasar
dari usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Keenam, persaingan usaha mengurangi biaya ekonomi
tinggi.
Menurut Aswicahyono (2004), persaingan usaha yang sehat di pasar tidak dapat muncul begitu saja
tanpa kebijakan persaingan yang baik. Secara positif, kebijakan persaingan itu harus meningkatkan persaingan
di tingkat lokal dan nasional. Secara negatif, kebijakan itu harus mencegah kebijakan atau perilaku yang
menghambat persaingan.Dalam merancang dan menerapkan kebijakan persaingan itu beberapa prinsip dasar
perlu diperhatikan. Pertama, kebijakan persaingan harus bersifat nondiskriminatif terhadap semua pelaku
bisnis, baik pelaku bisnis asing maupun domestik; baik pengusaha mikro, kecil, menengah maupun pengusaha
besar. Kebijakan persaingan berdasarkan hal-hal yang tidak terkait dengan efisiensi atau peningkatan daya
saing usaha hanya memberi perlindungan pada perusahaan yang tidak efisien. Kebijakan persaingan ditujukan
untuk melindungi persaingan bukan melindungi pengusaha dari pesaing. Kedua, kebijakan persaingan harus
bersifat komprehensif. Pengalaman sebelum krisis ekonomi tahun 1997/98 lalu menunjukkan bahwa
liberalisasi yang tidak komprehensif telah menyebabkan ekonomi Indonesia rentan terhadap setiap goncangan
ekonomi. Agar komprehensif, kebijakan persaingan harus meliputi: kebijakan persaingan di pasar outout,
yakni barang dan jasa, maupun di pasar input atau faktor-faktor produksi.
Selain itu, diperlukan juga kebijakan dan lembaga yang melindungi proses persaingan dan menciptakan
lingkungan yang kondusif bagi persaingan, baik persaingan antar produsen (swasta (perusahaan non-koperasi
dan koperasi), badan-badan usaha milik negara/BUMN, dan penanaman modal asing/PMA), persaingan
antara produsen dan konsumen (lembaga perlindungan konsumen), maupun persaingan antar konsumen.

Kebijakan persaingan itu harus dilindungi oleh kerangka hukum dan penegakan hukum yang tidak
diskriminatif, efisien, dan efektif.
2. Kerangka Teori
Dampak positif langsung dari implementasi Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat adalah terbukanya semua pasar (untuk semua jenis
komoditas/kegiatan ekonomi) bagi setiap (calon) pelaku usaha/pengusaha, yang selanjutnya akan membuat
jumlah pelaku usaha meningkat di semua pasar tersebut, ceteris paribus, faktor-faktor berpengaruh lainnya
tetap tidak berubah (Gambar 1). Tentu, laju penambahan jumlah pelaku usaha akan berbeda menurut pasar/
kegiatan ekonomi, karena faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuhnya pelaku usaha atau pasar juga berbeda
antar pasar. Faktor-faktor berpengaruh yang dimaksud itu antara lain adalah banyaknya pembeli (yang
ditentukan antara lain oleh sifat/jenis dari produk yang diperdagangkan, harga jual, dan pendapatan riil
konsumer rata-rata per kapita), besarnya modal yang dibutuhkan, dan keberadaan sumber-sumber modal. Di
Indonesia, pada umumnya, seorang pengusaha di industri manufaktur akan lebih mudah mendapatkan kredit
perbankan dibandingkan rekannya di pertanian. Jika modal merupakan hambatan utama untuk membuka suatu
usaha selama ini di Indonesia, maka hipotesisnya adalah bahwa dengan diberlakunya UU no.5 itu,
kemungkinan penambahan pelaku usaha di industri manufaktur akan lebih besar dibandingkan di sektor
pertanian.
Semakin banyaknya jumlah pemain di suatu pasar, bukan saja pengusaha-pengusaha nasional tetapi juga
pengusaha-pengusaha asing seperti perusahaan-perusahaan berbasis PMA, dengan sendirinya akan membuat
persaingan antar pengusaha semakin ketat dan proses persainghannya juga semakin kompleks Segala cara
(dengan asumsi bahwa cara-cara yang diperbolehkan adalah menurut UU no.5 tersebut) akan dilakukan oleh
setiap perusahaan untuk mengalahkan pesaingnya atau untuk bisa meningkatkan pangsa pasarnya, atau paling
tidak untuk bisa bertahan. Persaingan akan terjadi tidak hanya dalam harga tetapi juga kualitas, pemasaran,
dan pelayanan. Persaingan yang ketat seperti ini memaksa setiap perusahaan yang terlibat meningkatkan
efisiensi, produktivitas, dan kualitas produknya.
Jika di dalam teori Darwin dipercaya bahwa kehidupan manusia dan makluk hidup lainnya didasarkan
pada suatu proses seleksi alam, yang pada akhirnya hanya menghasilkan makluk-makluk hidup yang paling
kuat, sedangkan yang lemah akan tersingkirkan (punah), maka di dalam persaingan bebas di suatu pasar,
dapat dikatakan bahwa seleksi alam (atau mungkin lebih tepat dikatakan seleksi pasar) juga berlaku. Hanya
perusahaan-perusahaan yang paling efisien, paling produktif, menghasilkan produk paling murah atau dengan
kualitas paling baik, paling agresif dalam promosi dan pemasaran, paling baik dalam sistem distribusinya, dan

paling unggul dalam aspek-aspek lainnya yang sangat menentukan kemampuan suatu perusahaan untuk
bertahan atau berkembang, yang bisa bertahan di pasar.
Gambar 1: Kerangka Teori Mengenai Hubungan antara Persaingan Usaha dan Kemiskinan
UU No.5 Tahun 1999

Persaingan sehat dan wajar

Pelaku bisnis nasional


meningkat

Perusahaan yang tidak


kompetitif

Persaingan usaha semakin


ketat
di pasar domestik

>

Pesaing dari LN

Perusahaan yang
kompetitif

Pengangguran /

Kemiskinan /

Jika di suatu pasar dengan persaingan bebas, jumlah perusahaan yang unggul lebih banyak daripada
yang tidak unggul, maka jumlah perusahaan yang bisa bertahan di pasar tersebut lebih banyak daripada yang
gugur. Sebaliknya, jika jumlah perusahaan yang terpaksa tutup lebih banyak daripada jumlah perusahaan yang
bisa bertahan ditambah dengan jumlah perusahaan yang baru masuk, maka jumlah perusahaan yang masih
beroperasi berkurang. Efeknya akan tambah besar jika perusahaan-perusahaan tersebut memiliki keterkaitan
bisnis dengan perusahaan-perusahaan lain, baik ke belakang maupun ke depan; yang disebut efek
penggandaan (multiplier).
Kesimpulan secara teoritis dari uraian di atas tersebut adalah bahwa persaingan bebas dan sehat belum
tentu mengurangi kemiskinan, bahkan bisa meningkatkan kemiskinan jika lebih banyak perusahaan yang
kalah bersaing dibandingkan yang bertahan; paling tidak untuk periode jangka pendek. Untuk mendapatkan
efek positif dari penerapan UU No.5 tahun 1999 tersebut terhadap pengurangan kemiskinan, maka penerapan

UU tersebut harus dibarengi dengan pemberdayaan/ penguatan usaha-usaha yang lebih lemah, yang pada
umumnya di Indonesia adalah usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
Jadi manfaat dari persaingan memang masih pertanyaan. Sama seperti yang dikatakan oleh Aswicahyono
(2004) bahwa masih ada keraguan dikalangan masyarakat, yaitu apakah persaingan pasar memberi lebih
banyak manfaat daripada mudarat? Menurutnya, jika keraguan itu sirna, muncul pertanyaan berikut: prinsipprinsip, instrumen dan institusi apa yang harus dikembangkan untuk menyehatkan iklim persaingan?
Sekarang masalahnya adalah empiris. Bagaimana membuktikan bahwa sejak penerapan UU tersebut
hingga sekarang ini, dampak netonya positif, bukan negatif. Data Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan
bahwa setelah sempat naik pesat pada waktu krisis ekonomi 1997/98 lalu, tingkat kemiskinan di Indonesia
menunjukkan suatu tren yang menurun (Tabel 1). Sementara, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus
meningkat, terkecuali tahun 2009 diperkirakan akan rendah akibat krisis ekonomi global 2008-2009 (Gambar
2).
Table 1: Kemiskinan di Indonesia, 1976-2008
Tahun
1976
1980
1984
1987
1990
1996
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
Sumber: BPS (2008).

Jumlah orang miskin (juta)


Perkotaan
Perdesaan
44,20
10,00
32,80
9,50
25,70
9,30
20,30
9,70
17,80
9,40
24,59
9,42
31,90
17,60
32,33
15,64
26,40
12,30
29,30
8,60
25,10
13,30
25,10
12,20
24,80
11,40
22,70
12,40
24,81
14,49
23,61
13,56
22,19
12,77

Persentase Kemiskinan (%)


Perkotaan
Perdesaan
40,37
38,79
28,42
29,04
21,18
23,14
16,14
20,14
14,33
16,75
19,78
13,39
25,72
21,92
26,03
19,41
22,38
14,60
24,84
9,76
21,10
14,46
20,23
13,57
20,11
12,13
19,98
11,68
21,81
13,47
20,37
12,52
18,93
11,65

Total
54,20
42,30
35,00
30,00
27,20
34,01
49,50
47,97
38,70
37,90
38,40
37,30
36,10
35,10
39,30
37,17
34,96

Total
40,08
28,56
21,64
17,42
15,08
17,47
24,23
23,43
19,14
18,41
18,20
17,42
16,66
15,97
17,75
16,58
15,42

Gambar 2: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia, 2004-2009 (%)


7
6

6,3
5,7

6,2

5,5

5,5

5
4
3
2
1
0
2004

2005

2006

2007

2008

2009

Sumber: Menteri Koordinasi Ekonomi R.I, 2009.

Berdasarkan data di Tabel 1 dan Gambar 2 tersebut, dapat dikatakan bahwa ada suatu korelasi positif
antara pertumbuhan ekonomi dan penurunan kemiskinan. Namun ini merupakan bukti tidak langsung dari
hipotesa bahwa ada suatu korelasi positif antara persaingan bebas dan sehat dengan pengurangan kemiskinan
di Indonesia. Karena pada era Suharto, dimana persaingan waktu itu sangat tidak bebas dan tidak sehat;
banyak perusahaan besar swasta, yang umum dikenal dengan sebutan konglomerat, yang dekat dengan
keluarga Cendana, memonopoli sejumlah sektor. Demikian juga banyak sektor ekonomi waktu itu
sepenuhnya masih dikuasai oleh BUMN. Namun demikian, laju pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata per
tahun sangat tinggi, yang belum pernah dicapai lagi sejak krisis ekonomi 1997/98. Dalam kata lain,
persaingan tidak bebas dan tidak sehat tidak harus berdampak negatif pada `pertumbuhan ekonomi; walaupun
itu membuat ekonomi menjadi tidak sehat/tidak efisien.
3. Beberapa Kasus
Berikut ini dibahas secara garis besar beberapa kasus yang bisa mendukung teori bahwa perubahan iklim
persaingan dari pasar monopoli atau oligopoli ke pasar dengan persaingan bebas dan adil/sehat bisa
berdampak positif atau negatif terhadap jumlah kesempatan kerja dan berarti juga kemiskinan, paling tidak
dalam periode jangka pendek.
3.1 Perkembangan UMKM
Mungkin perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia selama ini dapat digunakan
sebagai suatu refleksi dari iklim persaingan yang berlaku di pasar domestik selama ini. Data dari BPS
menunjukkan bahwa selama era Orde Baru hingga sekarang, jumlah unit usaha dari kelompok UMKM tetap
mendominasi jumlah unit usaha di Indonesia (Tabel 2) maupun jumlah kesempatan kerja. Pada tahun 2006
usaha mikro dan kecil (UMK) mengerjakan 80.933.384 orang, atau sekitar 91,14 persen dari jumlah angkatan
kerja yang bekerja. Jumlah ini meningkat dari 70.282.178 orang pada tahun 2003, atau laju pertumbuhan
sebesar 15,15 persen. Sedangkan di usaha menengah (UM) dan usaha besar (UB), masing-masing, tercatat
sebanyak 4.483.109 dan 3.388.462 orang. Jumlah pekerja di UM dan UB tersebut, masing-masing, menurun
dan meningkat dari 8.754.615 dan 438.198 orang (atau masing-masing dengan tingkat pertumbuhan -48,79
dan 673,27 persen) pada tahun 2003 (Gambar 3 dan Gambar 4).
Tabel 2: Jumlah unit usaha menurut skala usaha di semua sektor: 1997-2006 (000 unit)*
Skala usaha

1997

2003

2004

2005

2006

UMK

39.704,7

1998

36.761,7

1999

37.804,5

2000

39.705,2

2001

39.883,1

43.372,9

44.684,4

47.006,9

48.822,9

UM
UB
Total

60,5
2,1
39.767,3

51,9
1,8
36.815,4

51,8
1,8
37.858,1

78,8
5,7
39.789,7

80,97
5,9
39.969,97

87,4
6,5
43.466,8

93,04
6,7
44.784,14

95,9
6,8
47.109,6

106,7
7,2
48.936,8

Ketarangan: * UMK = usaha mikro dan kecil, UM = usaha menengah; UB = usaha besar.
Sumber: Tambunan (2008) (data dari Menegkop dan UKM & BPS)

Gambar 3: Kesempatan Kerja Menurut Skala Usaha, 2003


0,6

11,02

UMK
UM

88,43

UB

Sumber: lihat Tabel 2

Gambar 4: Kesempatan Kerja Menurut Skala Usaha, 2006


5,05

3,82

UMK
UM

91,14

UB

Sumber: lihat Tabel 2

Namun, perkembangan UMKM di Indonesia selama ini tidak tanpa tekanan berat, khususnya pada era
Orde Baru, yakni pada masa persaingan pasar sangat tidak sehat, karena praktek-praktek monopoli dan
oligopoli oleh sejumlah UB (umum disebut perusahaan-perusahaan konglomerat) di hampir semua sektor
ekonomi masih sangat nyata. Tekanan berat yang dihadapi oleh UMKM, khususnya UMK, bukan saja dari
sisi pasar output, yakni sulitnya memperluas pangsa pasar karena tidak mampu bersaing dengan UB, tetapi
juga dari sisi pasar input, yaitu sulitnya mendapatkan kredit, teknologi dan sumber daya manusia (SDM) yang
berkualitas.
Tekanan dari dua sisi tersebut membuat tingkat produktivitas di UMKM selalu lebih rendah daripada di UB,
seperti yang dapat dilihat di Gambar 5 mengenai perbedaan dalam rata-rata tingkat produktivitas tenaga kerja
antara UMKM dan UB di semua sektor ekonomi. Khusus di industri manufaktur, produktivitas tenaga kerja di
UM dan UB pada tahun 2005 tercatat sebesar Rp 257,58 juta per pekerja, sedangkan di UMK hanya sebanyak
Rp 19,83 juta per pekerja. Pada tahun 2001, produktivitas tenaga kerja di kelompok usaha pertama tersebut
tercatat sebanyak Rp 167,70 juta dibandingkan hanya sekitar Rp 10,98 juta di kelompok usaha kedua itu
(Gambar 6).
. Iklim persaingan juga sangat mempengaruhi nilai penjualan atau omset dari suatu kelompok usaha.
Hipotesisnya adalah bahwa semakin tidak sehat iklim persaingan pasar yang merugikan suatu kelompok

usaha, semakin rendah jumlah penjualan/omset rata-rata per perusahaan dari kelompok usaha tersebut. Untuk
rasio ini, data BPS yang ada menunjukkan bahwa UMI (usaha mikro) memiliki nilai omset rata-rata per hari
per unit usaha jauh lebih rendah dibandingkan UK (usaha kecil), apalagi dibandingkan UM. Sedangkan rasio
yang sama di kedua sub-kelompok usaha tersebut lebih tinggi daripada rata-rata UMKM (Gambar 7).
Memang, di dalam kelompok UMKM itu sendiri di Indonesia, UMK adalah kelompok usaha yang lebih sulit
perkembang dibandingkan kelompok UM, walaupun jumlah unitnya paling banyak.
Gambar 5: Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja di UMKM di Semua Sektor Ekonomi,
(Rp/pekerja)
422987

450000
400000

UMK
UM
UB

350000
300000

240000

250000
200000
150000

68400

100000
2606

50000

8678

9000

0
2003

2006

Sumber: lihat Tabel 2

Gambar 6: Tingkat Produktivitas Tenaga Kerja di Industri Manufaktur Menurut Kelompok Usaha
(juta rupiah per pekerja)
300

UM+UB

250

UMK

200

257,58
227,97
196,26

167,7

166,31

150
100
50

10,98

12,36

13,55

15,52

19,83

0
2001

2002

2003

2004

2005

Sumber: lihat Tabel 2

Rendahnya produktivitas tentu membuat pendapatan pengusaha maupun pekerja di UMKM juga rendah.
Sesuai prinsip ekonomi yang dianut oleh pengusaha/perusahaan yakni memaksimalkan keuntungan/
meminimalkan biaya, maka besar dan arah perubahan produktivitas akan mengikuti sepenuhnya besar dan
arah perubahan upah/pendapatan riil; tentu dengan asumsi tidak ada distorsi pasar (mekanisme pasar berjalan
sempurna). Sebaliknya, upah yang tinggi akan memberi suatu insentif bagi peningkatan produktivitas. Data
BPS mendukung pernyataan ini, yang menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata per tenaga kerja, yang terdiri
dari upah atau gaji dan insentif lainnya, di UMI lebih rendah dibandingkan di UK dan hampir hampir 50 persen

lebih rendah daripada di UM; juga lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata di UMKM (Gambar 8).
Rendahnya produktivitas atau pendapatan tenaga kerja dan pengusaha di UMKM membuat kelompok usaha ini
menjadi sumber kemiskinan bukan sumber kesejahteraan.
Gambar 7: Rata-rata Nilai Omset/hari/unit usaha dari UMKM menurut Sub-Kelompok Usaha,
2006 (ribu Rp)
6673,53

7000
6000
5000
4000
3000
2000
1000

706,55

452,55

120,65

UMI

UK

UM

UMKM

Sumber: lihat Tabel 2

Gambar 8: Rata-rata Pendapatan per Tenaga Kerja di UMKM menurut Sub-Kelompok Usaha,
2006 (ribu rupiah)
742,78

800
700

571,74

551,26

600
500

396,26

400
300
200
100
0
UMI

UK

UM

UMKM

Sumber: lihat Tabel 2

Memang sulit menemukan UMKM, terutama UMK di Indonesia yang menunjukkan kemajuan, yang dapat
diukur dengan kondisi keuangan perusahaan atau keuangan keluarga pengusaha yang membaik, dibandingkan,
misalnya, 10 tahun yang lalu. Beberapa contoh, pengrajin-pengrajin sepatu dan tahu di daerah Ciomas yang
lokasinya dekat dengan kota Bogor, dan pengusaha-pengusaha logam di Kabupaten Tegal (Jawa Tengah) yang
hingga saat ini tidak jauh berbeda dengan 10 tahun yang lalu. Banyak dari mereka tetap berusaha namun mereka
tetap miskin. Tentu dengan beberapa contoh ini tidak mengatakan tidak ada sama sekali UM, misalnya yang
telah menjadi UK, atau UK menjadi UM; atau UK yang dulu hanya melayani pasar lokal, sekarang telah
melakukan ekspor. Namun, kasus-kasus seperti ini bisa dihitung dengan jari.
Menurut sebuah laporan dari BPS (2006), mengenai kontribusi dari keuntungan UMKM terhadap keuangan
keluarga mendukung pandangan di atas tersebut. Seperti yang dapat dilihat di Tabel 3, ada kecenderungan
bahwa semakin besar skala usaha semakin besar rata-rata anggota rumah tangga (ART) yang hidupnya dibiayai

oleh UMKM. Kelompok UMI memiliki rasio ketergantungan sebesar 4,3 yang artinya rata-rata sebanyak 4,3
orang ART hidupnya dibiayai oleh satu unit UMI. Sementara itu, untuk UK dan UM, rasionya lebih besar, yakni
masing-masing 5,1 dan 5,9. Kecenderungan lain yang ditunjukkan oleh tabel tersebut adalah semakin besar
skala usaha semakin besar pula kontribusi keuntungan usaha tersebut terhadap total pendapatan RT dan
keuntungan usaha per ART per hari
Tabel 3: Kontribusi Pendapatan UMKM terhadap Total Pendapatan RT menurut Sub-kelompok,
2006
Skala usaha

Rasio ketergantungan
(orang)
UMI
4,33
UK
5,12
UM
5,93
UMKM
4,58
Sumber: BPS (2006).

Kontribusi
keuntungan usaha (%)
68,82
89,90
99,19
86,42

Keuntungan usaha per ART per hari


(Rp)
9.863
37.607
280.239
27.501

Memang, kondisi UMKM yang dijabarkan di atas itu tidak hanya disebabkan oleh iklim persaingan pasar
yang tidak (belum) menguntungkan kelompok usaha tersebut. Banyak faktor lainnya yang turut berperan
seperti sulitnya akses ke permodalan, teknologi , SDM, bahan baku yang terjangkau dengan kualitas yang
baik, informasi pasar, dll. Namun, faktor-faktor lainnya tersebut juga tidak lepas dari pengaruh dari iklim
persaingan yang berlaku. Di sisi lain, iklim persaingan yang baik, juga belum tentu membuat UMKM dapat
berkembang dengan baik, karena sangat tergantung pada kemampuan kelompok usaha itu untuk bisa
memanfaatkan peluang pasar yang semakin terbuka.
Jadi, poin penting dari kasus di atas adalah bahwa UMKM sangat padat karya atau menciptakan sangat
banyak kesempatan kerja. Jika penerapan UU No.5 1999 membuat pertumbuhan UMKM lebih pesat, dengan
asumsi bahwa UMKM mampu bersaing dengan UB, maka dampak dari penerapan UU tersebut terhadap
kesempatan kerja dan kemiskinan positif. Namun sebaliknya, jika penerapan UU tersebut membuat
munculnya banyak UB yang padat modal namun sangat efisien dan berdaya saing tinggi yang mengalahkan
banyak UMKM, terutama UMI dan UK, yang tidak efisien/produktif dan berdaya saing rendah, maka dampak
netonya terhadap kesempatan kerja dan kemiskinan bisa negatif.
3.2 Petani Jeruk
Salah satu masalah serius yang sering dihadapi para petani di Indonesia adalah sistem tata niaga yang
merugikan mereka, dan salah satu atau bahkan penyebab utama terjadinya distorsi di dalam sistem tata niaga
adalah adanya praktek-praktek monopoli di dalam sistem tersebut. Masalah ini juga dihadapi oleh petanipetani jeruk di Pontianak, Kalimantan, terutama pada era pemerintahan Soeharto, tepanya sekitar awal dekade
90-an ketika diberlakukan tata niaga jeruk yang monopolistik oleh pemerintah. Setiap jeruk petani harus dijual

10

kepada PT Bina Citra Mandiri (BCM), yang merupakan perusahaan milik Tommy Soeharto. Bukan cuma
harga jeruk yang ditentukan PT BCM, tetapi kuota jeruk juga diberlakukan dengan sangat ketat.
Sistem monopoli dalam tata niaga ini melarang petani menjual jeruk hasil produksinya yang melimpah
kepada pihak lain diluar PT BCM. Pedagang pengumpul hanya boleh menjual sekitar 10 persen dari total
omsetnya. Ketentuan ini dengan sendirinya membuat pasokan di pasar sedikit, yang berakibat pada
peningkatan harga jeruk yang signifikan dan yang mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga tersebut
hanyalah PT BCM..
Sistem tata niaga jeruk seperti itu menjadi suatu faktor disinsentif bagi petani untuk meneruskan atau
meningkatkan produksinya. Bahkan sejak diterapkan kebijakan tata niaga itu, banyak petani jeruk di
Pontianak (dan juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia) membiarkan jeruk mereka membusuk dikebun.
Dari pohon yang masih tersisa, Departemen Pertanian bekerjasama dengan Universitas Tanjungpura
Pontianak serta berbagai instansi lainnya yang peduli mulai mengembangkan kembali jeruk Pontianak dengan
bibit unggulan. Kini jeruk Pontianak perlahan lahan bangkit kembali dan petanipun mulai bergairah kembali
menanam jeruk Pontianak. Hanya satu yang diinginkan petani, jangan ada lagi tata niaga jeruk yang terbukti
telah menghancurkan jeruk Pontianak. (Kompas 16 mei 2005).
Contoh kasus ini jelas menunjukkan bahwa persaingan yang tidak sehat pada akhirnya akan berdampak
negatif terhadap sisi suplai/produksi, yang selanjutnya mengurangi kesempatakan kerja dan meningkatkan
kemiskinan. Andaikata setiap petani jeruk mengerjakan rata-rata dua orang buruh tani, dapat dibayangkan
berapa besarnya peningkatan kemiskinan di daerah-daerah yang merupakan sentra-sentra perkebunan jeruk
jika semua pemilik perkebunan jeruk menghentikan produksi mereka. Terkecuali jika mereka beralih ke
komoditas-komoditas lainnya, maka dampak negatifnya bisa lebih kecil.
3.3 Sektor Penerbangan
Beberapa tahun yang lalu, atas saran dan permintaan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU),
pemerintah telah melakukan pencabutan mandat kebijakan pengaturan tarif dari INACA dan kebijakan
penetapan tarif penerbangan dikembalikan kepada pemerintah sesuai dengan Pasal 40 UU No.15 tahun 1992
tentang penerbangan. Kemudian pemerintah mengambil langkah konkrit, melalui Kepmenhub No.8 tahun
2002, pemerintah menghapus kebijakan tarif batas bawah kemudian disusul dengan Kepmenhub No.9 tahun
2002 tentang kebijakan penetapan tarif batas atas. Kebijakan-kebijakan ini, di satu sisi, menghilangkan kartel
terselubung yang terjadi selama itu di sektor penerbangan, dan, di sisi lain, secara implisit, membiarkan harga
terbentuk sepenuhnya berdasarkan mekanisme pasar.
Pada periode jangka pendek, kebijakan-kebijakan pemerintah itu tentu berdampak positif terhadap volume
kegiatan di sektor penerbangan karena memunculkan aneka maskapai penerbangan yang menawarkan layanan

11

angkutan penumpang udara. Data Departemen perhubungan menunjukkan bahwa pada tahun 1996 jumlah
perusahaan penerbangan nasional hanya ada enam maskapai. Dalam kurun waktu tujuh tahun jumlahnya
meningkat pesat, yang pada tahun 2003 tercatat sebanyak 21 maskapai dengan perincian 16 pendatang baru
dan 5 pemain lama. Jumlah penumpang pun tumbuh dengan pesat dari rata-rata pertumbuhan 14 persen
sebelumnya menjadi 26 persen.
Penambahan jumlah perusahaan dan berarti juga volume produksi di suatu sektor dengan sendirinya
menambah jumlah kesempatan kerja. Ini memang merupakan suatu reaksi logis dari suatu kebijakan yang
membuka akses ke suatu pasar. Melihat kenyataan bahwa kegiatan penerbangan tidak berdiri sendiri,
melainkan sektor itu mempunyai keterkaitan-keterkaitan bisnis dengan sektor-sektor ekonomi lainnya, ke
depan (misalnya dengan sektor pariwisata dan transportasi darat) maupun ke belakang (misalnya dengan
industri makanan dan minuman, industri pembuat pesawat terbang atau komponennya, perdagangan, dll.),
maka dengan sendirinya efek totalnya atau umum disebut efek penggandaannya (yakni jumlah dari efek
langsung/awal dan efek tidak langsung lewat keterkaitan-keterkaitan bisnis seperti yang dimaksud tersebut)
terhadap penambahan kesempatan kerja lebih besar daripada efek langsung-/awalnya.
Pada periode jangka panjang, efek kesempatan kerja dari kebijakan-kebijakan pemerintah di sektor
penerbangan tersebut bisa negatif, atau lebih kecil daripada efek jangka pendeknya, yang disebabkan oleh
reaksi harga yang menurun di sektor penerbangan. Kebijakan-kebijakan tersebut membuat terjadinya
penurunan tarif tiket angkutan penerbangan yang sangat drastis dan terbentuknya strategi penentuan harga
tiket yang bertingkat-tingkat (subclasses). Perubahan strategi penentuan harga tiket ini adalah suatu
konsekwensi logis dari persaingan usaha yang sepenuhnya terbuka, karena strategi itu dianggap sebagai salah
satu cara (bahkan sebagai satu-satunya cara jangka pendek yang harus dilakukan) agar bisa survive. Masuknya
perusahaan penerbangan dengan biaya rendah, mendorong para pelaku lainnya di sektor tersebut untuk
merekayasa ulang bisnisnya. Semua ini pada akhirnya memberikan pilihan produk dan harga yang lebih
beragam bagi konsumen yang berarti juga memperluas pasar bagi industri penerbangan itu sendiri.
Namun demikian, strategis harga seperti ini yang membuat harga transportasi udara turun drastis pada
gilirannya bisa berimbas negatif pada moda transportasi lainnya. Ini berarti, di satu sisi, ada banyak
penambahan kesempatan kerja (di industri penerbangan), sedangkan, di sisi lain, terjadi pengurangan
kesempatan kerja (di perusahaan-perusahaan transportasi non-pesawat terbang). Jika kasus yang terakhir ini
memang yang terjadi, dengan jumlah rata-rata pekerja per perusahaan yang ada dan efek penggandaan dari
kegiatan-kegiatan transportasi udara lebih kecil dari pada transportasi nion-udara (yakni laut dan darat), maka
jumlah pengangguran akan bertambah (jumlah kesempatan kerja akan berkurang), yang selanjutnya berarti
jumlah orang miskin juga turut meningkat.

12

Secara teori hal ini bisa dijelaskan dengan Gambar 9. Dimisalkan harga pesawat sebelum kebijakan harga
tersebut adalah PTU0 dengan kurva penawarannya STU0. Pada harga ini, jumlah permintaan terhadap jasa
penerbangan adalah O-B. Sedangkan harga transportasi darat adalah PTD0 dengan kurva penawarannya STD0.
Pada harga ini, jumlah permintaan terhadap jasa transportasi darat adalah O-A. Setelah kebijakan harga
tersebut, jumlah perusahaan penerbangan meningkat yang dicerminkan oleh pergeseran kurva suplainya ke
kanan (STU1) sepanjang kurva permintaan hingga membuat harga penerbangan turun menjadi PTU1, yang lebih
rendah daripada PTD0. Pada PTU1 permintaan terhadap jasa udara meningkat sebesar B-C, sedangkan
permintaan terhadap jasa transportasi darat menurun yang membuat suplainya juga berkurang sebesar D-A.
Gambar 9 Dampak dari Kebijakan Harga Jasa Penerbangan: Suatu Pemikiran Teoretis
STU0

STD0

PTU0

STU1

PTD0
PTU1

DT
0

B D

3.4 Perdagangan Ritel


Sektor perdagangan merupakan salah satu sektor ekonomi di Indonesia yang sangat rawan terhadap praktekpraktek monopoli atau monopsoni, terutama di subsektor perdagangan ritel. Salah satu kasusnya adalah
PT.Carrefour, yang pada tahun 2005 perusahaan tersebut dihadapkan oleh putusan perkara No.02/KPPUL/2005 dari KPPU tentang pelanggarannya terhadap syarat-syarat perdagangan.
PT Carrefour melakukan hubungan usaha jual beli berbagai macam produk dengan banyak pemasok yang
menggunakan sistem jual putus. Hubungan usaha tersebut dituangkan dalam perjanjian tertulis yang
dinamakan National Contract, yang didalamnya memuat syarat-syarat jual beli (yang dapat dinegosiasikan
dengan pemasok, antara lain: listing fee, fixed rebate, minus margin, term of payment, regular discount,
common assortment cost, opening cost/new stor dan penalty).
Banyak pemasok atas produk (makanan dan minuman dalam kemasan siap saji, kebutuhan sembilan
bahan pokok serta produk segar, produk rumah tangga, dan elektronik) mengeluh bahwa syarat-syarat jual

13

beli tersebut memberatkan, khususnya mengenai listing fee 1 dan minus margin 2 , karena setiap tahunnya
carrefour melakukan penambahan jenis item, menaikkan biaya dan persentase fee. Carrefour memiliki
kekuatan tawar terhadap pemasok dalam menegosiasikan item dalam syarat-syarat jual beli dan menggunakan
kekuatan tawarnya untuk menekan pemasok. Bentuk tekanan yang dilakukan antara lain berupa menahan
pembayaran yang jatuh tempo, memutuskan secara sepihak untuk tidak menjual produk pemasok dengan
tidak mengeluarkan perintah pembelian, dan mengurangi jumlah pemesanan jumlah produk pemasok.
Berdasarkan bukti memberlakukan minus margin tersebut mengakibatkan salah satu pemasok Carrefour
menghentikan pasokannya kepada pesaing Carrefour yang menjual dengan harga lebih murah dibanding
dengan harga jual di gerai Carrefour untuk produk yang sama.
Keputusan KPPU No.02/KPPU-L/2005 menyatakan bahwa terlapor (Carrefour) terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar Pasal 19 huruf a Undang-Undang No.5 Tahun 1999 dan menghukum Carrefour
membayar denda sebesar Rp.1.500.000.000 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Memang bentuk atau pola persaingan yang terjadi hingga saat ini antara ritel modern dengan ritel
tradisional sangat baik untuk digunakan sebagai penguji tingkat efektivitas dari pelaksanaan UU nomor 5
tahun 1999 tentang larangan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di lapangan Alasan memilih
kasus ritel, karena potensi persaingan tidak sehat dapat muncul dalam bentuk penyalahgunaan kekuatan pasar,
antara lain, dalam bentuk syarat-syarat jual beli antara peritel dan pemasok seperti dalam kasus Carrefour
tersebut.
Secara teoritis, dapat dikatakan bahwa apabila persaingan yang terjadi di sektor ritel selama ini tidak
sehat, maka jumlah pelaku ritel tradisional akan terus berkurang sedangkan jumlah pelaku ritel modern akan
bertambah terus. Atau, jumlah omset atau rata-rata per unit usaha di kelompok pertama itu menurun
sedangkan di kelompok kedua tersebut meningkat. Hipotesa ini tentu harus didasarkan pada asumsi bahwa
faktor-faktor lain yang juga berpengaruh terhadap perubahan jumlah unit usaha (pedagang) atau omset di
sektor tersebut, seperti misalnya modal, informasi pasar, teknologi, infrastruktur, dll. tetap, tidak berubah.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, pertumbuhan omset dari ritel modern sangat pesat melebihi
pertumbuhan omset dari ritel tradisional, khususnya di Jakarta (Gambar 10). Menurut Data Biro
Perekonomian DKI Jakarta, pada tahun 1985 terdapat 156 pasar tradisional versus hanya 42 ritel modern;
tahun 1995 perbandingannya 159: 249, dan pada tahun 2004 adalah 151:449. Menurut survei AC Nielsen
1

Listing fee menurut Carrefour adalah biaya pemasok untuk produk baru ke gerai Carrefour dan memiliki fungsi sebagai jaminan
apabila barang tidak laku. Listing fee hanya ditetapkan sekali dan tidak dapat dikembalikan.
2
Minus margin adalah jaminan pemasok kepada Carrefour bahwa harga jual produk mereka adalah harga jual yang paling murah.
Apabila Carrefour mendapatkan bukti tertulis bahwa pesaingnya dapat menjual produk yang sama dengan harga yang lebih rendah
daripada harga pembelian Carrefour, maka Carrefour berhak meminta kompensasi dari pemasok sebesar selisih antara harga beli
Carrefour dengan harga jual pesaingnya. Kompensasi diperoleh Carrefour dengan cara memberlakukan sanksi minus margin berupa
pemotongan invoice pemasok, tanpa memberikan kesempatan kepada pemasok untuk membuktikan bahwa pemasok tidak
melakukan diskriminasi harga jual.

14

(Hidayat, 2007), diantara beberapa bentuk ritel modern seperti supermarket, minimarket, pusat grosir, dan
hipermarket, pertumbuhan paling cepat dialami oleh hipermarket. Tahun 2003 terdapat 43 hipermarket
beroperasi di Indonesia. Tahun 2005, sudah tercatat 83 hipermarket di Indonesia. Sementara supermarket
bertambah dari 896 unit pada tahun 2003 menjadi 961 unit pada tahun 2005.
Gambar 10: Pertumbuhan Ritel Modern dan Tradisional di Jakarta (% dari total omset ritel)
80

Modern
Tradisional

70
60
50
40
30
20
10
0
1985

1995

2004

Sumber: Biro Perekonomian DKI Jakarta

3.5 Industri Susu


Berdasarkan evaluasi dan kajian dampak dari kebijakan pemerintah (Direktorat Kebijakan Persaingan, Komisi
Pengawas Persaingan Usaha, 2008) mengenai persaingan usaha dalam industri susu, pola pengembangan
peternakan dan jalur distribusi susu sapi ditandai dengan adanya ketergantungan koperasi/peternak terhadap
industri pengolahan susu (IPS). Ketergantungan tersebut mengakibatkan IPS memiliki posisi dominan
sehingga dapat menetapkan standar teknis dan kebijakan harga beli secara sepihak.
Dari sisi koperasi/peternak, banyak masalah hingga saat ini, yang dapat diduga (secara empiris belum
terbukti) juga disebabkan oleh sistem ketergantungan tersebut. Pertama, walau ada peningkatan produktifitas
namun tingkatnya masih relatif rendah, dan secara agregat, pemilikan sapi perah per peternak masih di bawah
ambang skala ekonomis. Kedua, tingkat kesesuaian mutu teknis masih rendah. Ketiga, pasokan maupun harga
bahan pakan ternak serta konsentrat (yang secara finansial, kedua pos tersebut mendominasi struktur biaya
usaha sapi perah).dalam kondisi tertentu relatif tidak stabil.
Memang, kenaikan harga bahan baku susu internasional yang sering terjadi belakangan ini membuat
permintaan dan harga beli susu domestik naik, yang menguntungkan peternak. Namun kenaikan harga beli
susu domestik belum berkesinambungan, jika dilihat dari sisi kesejahteraan peternak, karena masih sangat
rentan dipengaruhi oleh harga bahan baku susu dunia.
Selama ini kekuatan tawar dari koperasi/peternak terhadap IPS masih lemah, dan beresiko besar terhadap
kelangsungan peternak sapi perah dalam periode jangka panjang. Penguatan kekuatan tawar koperasi/peternak
tentu akan menambah peningkatan pendapatan peternak jangka panjang, yang selanjutnya lewat kekerkaitan

15

bisnis maupun konsumsi dengan sektor-sektor lainnya akan berdampak positif terhadap penambahan
kesempatan kerja dan pengurangan kemiskinan
4. Mencari Metode Untuk Menganalisis Dampak
Sebenarnya, untuk mendapatkan bukti langsung, perlu diketahui beberapa hal berikut ini. Pertama, sejak
implementasi UU tersebut hingga saat ini, berapa jumlah perusahaan baru (berdiri sejak itu) dan berapa
jumlah perusahaan yang gugur. Atau, sebagai alternatifnya, berapa jumlah perusahaan yang sejak
implementasi UU itu mengalami akselerasi penambahan tenaga kerja karena mengalami akselerasi
pertumbuhan output, dan, berapa perusahaan yang mengalami pengurangan tenaga kerja karena mengalami
penurunan laju pertumbuhan output. Kedua, dari perusahaan-perusahaan yang gugur tersebut, bagaimana
kinerja mereka pada tahun-tahun terakhir sebelum tutup, yakni antara tahun implementasi UU tersebut dan
tahun saat perusahaan tutup, dan apa sebenarnya yang membuat perusahaan-perusahaan tersebut tutup.
Ketiga, berapa jumlah pekerja di perusahaan-perusahaan yang tutup maupun yang berdiri sejak pelaksanaan
UU itu. Keempat, sejak tutupnya perusahaan-perusahaan tersebut, berapa persen dari pekerja-pekerjanya yang
diberhentikan telah mendapatkan pekerjaan saat ini di sektor formal; berapa persen di sektor informal; dan
berapa persen yang masih nganggur.
Namun demikian, diakui bahwa mendapatkan informasi mengenai kelima hal tersebut di atas sangatlah
sulit, terutama karena tidak ada catatan mengenai perusahaan yang gulung tikar, dan mencari pekerjanya juga
sangat sulit, kalau tidak dapat dikatakan mustahil. Oleh karena itu, ada dua pendekatan tidak langsung.
Pertama, mengkaji apakah terjadi akselerasi pertumbuhan ekonomi (PDB) dan akselerasi penurunan
kemiskinan sejak implementasi UU tersebut hingga saat ini, dan menguji secara statistik hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan selama periode pelaksanaan UU tersebut; tentu dengan asumsi
bahwa akselerasi pertumbuhan PDB itu disebabkan oleh perubahan iklim persaingan di pasar. Kedua,
pendekatan pertama itu diterapkan pada sektor. Untuk ini, cari sektor atau subsektor ekonomi yang pada era
Suharto praktek monopoli atau oligopoli sangat dominan. Perbandingkan laju-laju pertumbuhan output,
kesempatan kerja, dan jumlah perusahaan di sektor tersebut pada era Suharto dengan periode pelaksanaan
UU tersebut.
Memang, secara teori, kedua pendekatan tersebut memiliki banyak kelemahan. Karena, pertumbuhan
output, misalnya, disebabkan oleh banyak faktor, bukan hanya oleh iklim persaingan; dan bahkan beberapa
diantara faktor-faktor tersebut juga saling mempengaruhi satu sama lainnya. Namun demikian, cara pertama
atau kedua itu bisa memberikan suatu gambaran mengenai kemungkinan dampak dari pelaksanaan UU
Persaingan Usaha No.5 tahun 1999 terhadap tingkat kemiskinan.

16

Daftar Pustaka
Aswicahyono, Haryo (2004), Persaingan Pasar, Kompas, 3 Desember.
BPS (2008), Analisa dan Penghitungan Tingkat Kemiskinan 2008 (analysis and calculation of the level of
poverty 2008), Jakarta: Biro Pusat Statistik.
ELIPS (1999), Persaingan usaha dan hukum yang mengaturnya di Indonesia, Jakarta: Indonesia-USAID
KPPU (2005), Laporan 5 tahun KPPU 2000-2005, periode Pengembangan Kelembagaan dan Implementasi
Awal, Jakarta: Komisi Persaingan Usaha Republik Indonesia.
KPPU (2008), Laporan Semester Satu Tahun 2008, Tahun Implementasi Persaingan Usaha yang Sehat,
Jakarta: Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia
OECD (2008), Pengukuran Dampak Persaingan. Competition Assessment Tool Kit
Tambunan, Tulus T.H. (2008), Development of SMEs in ASEAN, Readworthy Publications, Ltd, New Delhi.

17

You might also like